Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

TUMOR SINONASAL

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Medikal Bedah


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:

Sylvi Wulandari S.Kep


11194692010124

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : TUMOR SINONASAL


NAMA MAHASISWA : Sylvi Wulandari S. Kep
NIM : 11194692110124

Banjarmasin, 13 Januari 2022

Menyetujui,

RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Profesi Ners


Preseptor Klinik Preseptor Akademik

Riannoor, S. Kep., Ns Rifa'atul Mahmudah, S. Kep., Ns.,


MSN
NIK. 19761221 200801 1 008
NIK. 1166062013061
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS : TUMOR SINONASAL


NAMA MAHASISWA : Sylvi Wulandari, S. Kep
NIM : 11194692110124

Banjarmasin, 13 Januari 2022

Menyetujui,

RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Profesi Ners


Preseptor Klinik Preseptor Akademik

Riannoor, S. Kep., Ns Rifa'atul Mahmudah, S. Kep., Ns., MSN


NIK. 1166062013061
NIK. 19761221 200801 1 008

Mengetahui,
Ketua Jurusan Program Studi Profesi Ners

Mohammad Basit, S. Kep., Ns., MM


NIK. 1166102012053
LAPORAN PENDAHULUAN

A. ANATOMI FISIOLOGI
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral
belakang berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides.

1. Dasar Hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang
os nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale.
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas
kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os vomer.
Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan
subkutis, dan kartilago alaris major (Ibnu, 2019).
2. Dinding Lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta
konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Bagian terpenting pada dinding lateral adalah empat buah
konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil
adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media
dan superior:
a. Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus 9
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka
os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus
sfenoid.
b. Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya
terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum.
Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus
medius dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior
dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci
dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum
maksila, dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal
dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan
sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.
c. Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm
di belakang batas posterior nostril (Ibnu, 2019).

Fungsi fisiologis hidung yaitu:


1. Sebagai fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik local
2. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas.

B. PENGERTIAN
Tumor rongga hidung dan sinus paranasal disebut juga sebagai tumor
sinonasal. Tumor ini berasal dari dalam rongga hidung tumor atau sinus paranasal
di sekitar hidung. Tumor sinonasal terbagi atas jinak dan tumor ganas (Rangkuti,
2013). Tumor jinak sinonasal adalah penyakit usia tua yang dikenal manusia sejak
zaman Mesir kuno. Tumor ini cenderung tumbuh secara lambat dan dapat timbul
dari salah satu daerah di dalam hidung atau sinus, termasuk lapisan pembuluh
darah, saraf, tulang, dan tulang rawan (Yale, 2013).

C. STADIUM
Menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006, stadium tumor hidung
adalah:

TX Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0 Tidak tampak tumor primer

Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan


destruksi tulang

T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan


atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris
dan fossa pterigoid

T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan


subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidalis

T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid,
fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal

T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial, medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus
trigeminal V2, nasofaring atau klivu

D. ETIOLOGI
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor
(multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang. Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara lain :
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok pipa,
mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar
penyebab kanker pada kepala dan leher.
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko kanker
kepala dan leher.
3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal,
termasuk diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis,
dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan sepatu.
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia
Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun hingga
85 tahun.
Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar
dan menetap setelahnya. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga
menjadi faktor resiko tambahan.
E. PATOFISIOLOGI
Penyebabnya, penggunaan tembakau, merokok, pengkonsumsi alkohol,
inhalan spesifik: debu, tekstil, debu logam uap alcohol, sinar ionisasi, sinar radiasi,
virus hpv, virus epstein-barr, genetik. Gejala tergantung dari asal primer tumor serta
arah dan perluasannya. Tumor didalam sinus biasanya tampa tanda dan gejala.
Gejalanya timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding
tulang meluas ke rongga hidung, mulut,pipi.
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko
terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan,
debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun
mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan
diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang
peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang
menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel
normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase
inisiasi dan fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam
bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen,
sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah
menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap
inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker.
Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan
karsinogen yang berbeda.
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase
induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti
displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai
timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan
belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun.
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan
masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan
fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran)
sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke
organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan
kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal
sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis
sejak dini dan di berikan terapi.
Inhalan spesifik:
Penggunaan - Debu, tekstil Virus HPV,
Clinical Tembakau: Pengkonsumsi - Debu logam Sinar ionisasi, virus Epstein- Usia >45
Pathway - Merokok Alkohol - Uap alkohol Sinar radiasi barr tahun

Perubahan dari sel normal menjadi sel kangker

Tumor sinonasal

Tumor jinak Tumor ganas

Papiloma Papiloma inversi Displasia fibrosa Angiofibroma Karsinoma sel Undifferentiated Adenokarsinoma Melanoma
skoumosa nasofaring skuomosa carcinoma maligna
juvenil
Mengenai sinus
invasif maxilaris
paranasal
Polip, tidak Massa yang Melalui
mengkilat, Sinus maxilaris, cepat aliran darah
Terdapatnya
menghambat Dapat merubah cavum nasi, membesar Invasi/merusak
Merusak masa yang
jalan masuk kontur wajah sfeinodalis/front jaringan lunak
jaringan lateral mengisi rongga
napas dan fungsi alis dan tulang Metastasis
disekitar hidung hidung dan
wajah nodul
sinus paranasal Mengenai servikal
Hidung saluran sino nasal bermetastasis
Bersihan Jalan
Gangguan Citra tersumbat dan bahkan
Napas Tidak
Tubuh masa pd cavum melampau Polipoid dan
Efektif
Pembengkakan nasi anatomi sinonasal lesi primer
pipi/palatum, Nyeri Kronis
hidung, Epitaksis
Massa pd wajah
Resiko Infeksi Menyumbat
cavum nasi dan Gangguan
Nyeri Kronis sinus paranasal Citra Tubuh

Bersihan Jalan
Napas Tidak
Efektif
F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam
sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga
mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi,
orbita atau intrakranial (Efiaty, 2013).
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret, sering
sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat
mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas
ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbital
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau penonjolan
bola mata ftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau
di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi
goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh
meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi,disertai nyeri, anesthesia atau
parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.
5. Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak
yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau
menembus basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka
saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus
akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan dibawah
mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan, dan organ untuk
mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk mengkonfirmasi diagnosis
apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang ukuran kecil, tumor dapat
diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar maka tumor hanya diambil
sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang sudah diangkat.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang dijadikan
gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak, maka selesailah
pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker, maka ada tindakan
pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau diberikan kemoterapi
atau radioterapi.
2. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa pipa fleksibel
yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya sehingga dapat membantu
untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat terjangkau dan terevaluasi dengan baik
melalui pemeriksaan rhinoskopi. Pemeriksaan endoskopi dapat merupakan
pemeriksaan penunjang sekaligus dapat berfungsi sebagai media biopsi dan juga
terapi bedah pada tumor sinonasal yang jinak.
3. Pemeriksaan X-ray
Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran seperti
udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya dikonfirmasi dengan
pemeriksaan CT scan.
4. CT - Scan
CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang sinus
paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten
yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan
gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan
pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras. CT scan merupakan
pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang
tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan
hubungannya dengan arteri karotis.
5. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan daerah
sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam nasal yang
tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran perineural,
membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan
terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluasi foramen
rotundum, vidian canal, foramen ovale dan kanalis optik. Sagital image berguna untuk
menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave
signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor
yang mirip dengan otak.
6. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam tubuh.
Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini diserap terutama oleh
organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak energi. Karena kanker cenderung
menggunakan energi secara aktif, sehingga menyerap lebih banyak zat radioaktif.
Scanner kemudian mendeteksi zat ini untuk menghasilkan gambar bagian dalam
tubuh. Sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk staging dan
surveillance.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi. Beberapa
komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior dan posterior dan
arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii. Tanda dan
gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin dimulut, dan tanda halo.
Perawatan konservatif dengan tirah baring dan drainase lumbal dapat dilakukan
selama 5 hari bersama antibiotik. Jika gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan.
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh obstruksi pada aliran
traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan dakriosisto rhinostomi mungkin
perlu dilakukan.
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk menghindari
komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan kacamata prisma merupakan terapi
yang paling sederhana.
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Medis:
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-
T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan
karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada daerah kepala,
serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat dianjurkan untuk
mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun
debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk
membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk drainase sinus
paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi dan pendekatan bedah yang
akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan letaknya/ekstensinya.
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis, lateral
rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open surgery).
Tumor tahap lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita, total ataupun
parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base, dan kraniotomi.
Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana kanker sinus
paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti mata yang berada
dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull base surgery sering
direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal. Terapi ini mengharuskan
untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan disamping dilakukannya
maksilektomi.
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan
gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia prevertebral, ke
sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-pasien dengan resiko
tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma optikum.
Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi pada daerah
wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumah sakit lebih singkat.
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat menyebabkan
kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulit an menelan.
Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah penyembuhan luka,
penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi pemisahan
oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara, menelan, dan pemisahan
kavum nasi dan kavum cranii.
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri dimulai
pada stadium T1 dan T2, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap
penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah
dilakukannya terapi utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus
paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi.
Radioterapi melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk
menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi juga
digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi
radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi
(radiasi internal).
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain
terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh
adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh
tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut
kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi
tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun
neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi
paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi obstruksi,
ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal. Pemberian kemoterapi dengan
radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti
pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran
perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.

Penatalaksanaan keperawatan:
1. Mengkaji skala nyeri secara komprehensif
2. Meminimalkan aktivitas klien
3. Mengobservasi tanda-tanda vital klien
4. Mengajarkan klien teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri
5. Berkolaborasi dalam pemberian analgetic
6. Melakukan penghisapan lendir, jika diperlukan

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

a. Identitas Klien
Berisi tentang identitas lengkap klien
b. Keluhan Utama
Berisi tentang keluhan utama yang klien rasakan sekarang
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Berisi tentang riwayat kesehatan sebelum klien masuk RS
d. Riwayat Kesehatan Sekarang
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan
diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-12 %
keganasan di hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis.
Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan
pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor
resiko.
Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, keganasan dan stadium penyakit,
antara lain:
Gejala hidung:
1) Buntu hidung unilateral dan progresif.
2) Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
3) Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
4) Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan
kemungkinan keganasan.
5) Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus,
sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi
tumor ganas.
Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:
1) Pembengkakan pipi
2) Pembengkakan palatum durum
3) Geraham atas goyah, maloklusi gigi
4) Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.

Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:


1) Penurunan berat badan lebih dari 10 %
2) Kelelahan/malaise umum
3) Napsu makan berkurang (anoreksia)

e. Pemeriksaan fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat
asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan
nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin
merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol,
rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding
lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor
pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun
tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.
f. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Biopsi
2) Pemeriksaan Endoskopi
3) Pemeriksaan X-ray
4) CT - Scan
5) Pemeriksaan MRI
6) Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)

1. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Kronis
b. Gangguan Citra Tubuh
c. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
d. Risiko Infeksi

2. Intervensi Keperawatan
SDKI SLKI SIKI
Nyeri Kronis Setalah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238)
(D. 0078) keperawatan dalam 1x24 Observasi
jam diharapkan Nyeri dapat - Identifikasi lokasi,
terkontrol dengan kriteria karakteristik, durasi,
hasil: frekuensi, kualitas dan
Tingkat Nyeri (L.08066) intensitas nyeri
 Keluhan nyeri, dari - Identifikasi respon non
sedang (3) ke menurun verbal
(5) - Identifikasi faktor yang
 Meringis, dari sedang memperberat dan
(3) ke menurun (5) memperingan nyeri
 Gelisah, dari sedang (3) - Monitor keberhasilan
ke menurun (5) terapi yang sudah
 Pola tidur, dari cukup dilakukan
buruk (2) ke cukup Terapeutik
membaik (4) - Berikan tehnik non
farmakologis dalam
melakukan penanganan
nyeri
- Kontrol lingkungan
yang memperberat
nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
priode dan pemicu nyeri
- Ajarkan strategi
meredakan nyeri
- Mengajarkan dan
menganjurkan untuk
memonitor nyeri secara
mandiri
- Mengajarkan tehnik non
farmakologis yang tepat
Kolaborasi
- Kolaborasi dalam
pemberian analgetik
jika perlu
Risiko Infeksi Setelah dilakukan Tindakan Pencegahan Infeksi
(D.0142) keperawatan selama 3x24 (I.14539)
jam, diharapkan risiko Observasi
infeksi teratasi dengan - Monitor tanda dan gejala
kriteria hasil: infeksi local dan sistemik
Tingkat Infeksi (L.14137) Terapeutik
 Demam, dari sedang (3) - Batasi jumlah
ke menurun (5) pengunjung
 Kemerahan, dari - Berikan perawatan kulit
sedang (3) ke menurun pada area edema
(5) - Cuci tangan sebelum dan
 Nyeri, dari cukup sesudah kontak dengan
meningkat (2) ke pasien dan lingkungan
menurun (5) pasien
 Bengkak, dari sedang - Pertahankan teknik
(3) ke menurun (5) aseptic pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci
tangan yang benar
- Ajarkan etika batuk
- Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
- Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
Gangguan citra Setelah dilakukan Tindakan Promosi citra tubuh
tubuh keperawatan selama 1x24 (I.09305)
jam, diharapkan gangguan Observasi
(D.0083)
citra tubuh teratasi dengan - Identifikasi harapan citra
kriteria hasil: tubuh
Citra tubuh (L.08064) - Identifikasi perubahan
 Verbalisasi perasaan citra tubuh
negative tentang - Identifikasi budaya,
perubahan tubuh, dari agama, jenis kelamin
sedang (3) ke menurun Terapeutik
(5) - Diskusikan perubahan
 Verbalisasi kekhwatiran citra tubuh
pada penolakan/reaksi - Diskusi perbedaan
orang lain, dari sedang penampilan fisik terhadap
(3) ke menurun (5) harga diri
 Verbalisasi perubahan - Diskusikan kondisi stres
gaya hidup, dari sedang Edukasi
(3) ke menurun (5) - Jelaskan kepada
Focus pada penampilan keluarga tentang
masa lalu, dari sedang perawatan perubahan
(3) ke menurun (5) tubuh
- Anjurkan pengungkapan
harga diri terhdap citra
tubuh
- Latih fungsi tubuh yang
dimiliki

Bersihan Jalan Setelah dilakukan Tindakan Manajemen Jalan Napas


Napas Tidak keperawatan selama 1x24 (I.01011)
jam, diharapkan bersihan Observasi
Efektif
jalan napas tidak efektif - Monitor pola napas
(D.0001) teratasi dengan kriteria - Monitor bunyi napas
hasil: tambahan
Bersihan Jalan Napas - Monitor sputum
(L.01001) Terapeutik
 Produksi sputum, dari - Pertahankan kepatenan
sedang (3) ke menurun jalan napas dengan
(5) head-tilt dan chifn-tilt
 Mengi , dari sedang (3) - Posisikan semi-fowler
ke menurun (5) atau fowler
 Wheezing , dari sedang - Berikan minum hangat
(3) ke menurun (5) - Lakukan fisioterapi dada,
 Pola napas, dari jika perlu
sedang (3) ke - Lakukan penghisapan
membaik (5) lendir, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hr, jika tidak
terkontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
Daftar Pustaka

Brunner dan Suddarth. 2005. Keperawatan medical bedah. EGC

Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis, Cetakan kedua puluh Sembilan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013. p. 141-142.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Price.S.A dan Wilson. L.M. 2006. Patofisiologi. EGC

Wibowo, Daniel S., Anatomi Tubuh Manusia, Jakarta:Grasindo, 2013.

Wijaya.A.S dan Putri.Y.M. 2013. KMB 2 Keperawatan Medical Bedah (Keperawatan Dewasa).
Bengkuli : Numed

Ibnu, Y. S., Pawarti, D. R., & Wiyadi, M. S. (2019). Efektivitas terapi komplementer propolis
telaah terhadap SGHT dan IL-33 sekret hidung penderita rinitis alergi. Oto Rhino
Laryngologica Indonesiana, 49(1), 57-66.

Anda mungkin juga menyukai