Anda di halaman 1dari 124

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG WANITA 54 TAHUN DENGAN ANGINA PECTORIS STABIL,


DIABETES MELLITUS TIPE 2, DAN HIPERTENSI STAGE 2

Oleh:
Aryanda Widya T.S G99151033
Ardian Hidayat G99151034
Dyah Tantry D G99151035

Pembimbing

dr. Sri Marwanta, Sp.PD, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016

1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Besar Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

SEORANG WANITA 54 TAHUN DENGAN ANGINA


PECTORIS STABIL, DIABETES MELLITUS TIPE 2, DAN HIPERTENSI
STAGE 2

Oleh:
Aryanda Widya T.S G99151033
Ardian Hidayat G99151034
Dyah Tantry D G99151035

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:


Januari 2017

dr. Sri Marwanta, Sp.PD, M.Kes

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas penderita
Nama : Ny. S
No. RM : 0098xxxx
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 54 tahun
Alamat : Jebres, Surakarta
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Masuk RS : 26 Desember 2016
Dikasuskan : 28 Desember 2016

B. Data dasar
Autonamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan
pada tanggal 26 dan 28 Desember 2016.

Keluhan utama:
Nyeri dada sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan nyeri dada sejak 4
jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan pada bagian
tengah dada, saat pasien sedang membersihkan rumah. Nyeri dada
berkurang dengan istirahat. Nyeri dada dirasakan 3-5 menit, seperti
ditusuk-tusuk dan menembus sampai ke punggung, namun tidak
menjalar ke lengan kiri ataupun leher. Saat nyeri dada pasien merasa
keluar keringat dingin. Nyeri dada tidak disertai sesak. Pasien tidak
memiliki riwayat trauma. Pasien tidak mengeluhkan mual dan muntah.

3
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Batuk berdahak berwarna putih kental, disertai demam 1 hari
terus menerus. Demam dapat turun dengan obat penurun panas dan
kembali demam jika efek obat sudah habis. Pasien tidak mengeluhkan
sesak.
Pasien buang air besar 1-2 hari sekali, konsistensi lembek berwarna
kuning kecokelatan. Berak tidak disertai adanya lendir ataupun darah,
dan tidak hitam.
Pasien buang air kecil 4-5 kali sehari, sebanyak 1/2-1 gelas
belimbing, berwarna kuning jernih. Tidak didapatkan nyeri saat buang
air kecil atau rasa anyang-anyangan. Buang air kecil disertai batu,
darah atau berpasir disangkal. Buang air kecil seperti teh disangkal.
Pasien mempunyai riwayat sakit gula sejak 3 tahun sebelum masuk
rumah sakit dan rutin kontrol berobat dengan pengobatan insulin 2x
sehari 6-0-6 IU subkutan. Pasien juga memiliki riwayat sakit tekanan
darah tinggi sejak 5 tahun sebelum masuk rumah sakit dan rutin
minum Bisoprolol 1x2.5mg dan Ramipril 1x10mg. Pasien mempunyai
riwayat kanker rahim tahun 2005 dan sudah pernah menjalani
kemoterapi dan radioterapi sampai selesai siklus.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Penyakit Keterangan
Riwayat sakit jantung (+) STEMI 1 tahun yang lalu
Riwayat sakit liver Disangkal
Riwayat sakit ginjal Disangkal
Riwayat mondok (+)
Riwayat kemoterapi & radioterapi (+) Ca Cervix

RRiwayat Penyakit Keluarga

4
Penyakit Keterangan
DM Disangkal
Hipertensi Disangkal
Penyakit jantung Disangkal
Riwayat sakit ginjal Disangkal

Keterangan :
: Pasien

: Meninggal

: Perempuan

: Laki-laki

Riwayat Kebiasaan
Merokok Disangkal
Alkohol Disangkal
Obat bebas Disangkal
Olahraga Jarang

Riwayat gizi
Makan pasien teratur 3 kali dalam sehari dengan nasi, lauk dan
sayur.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien tinggal
bersama keluarga anaknya. Pasien berobat di RSDM menggunakan
fasilitas BPJS Kesehatan.

5
Anamnesis sistem
1. Keluhan utama : Nyeri dada
sejak 4 jam SMRS
2. Kulit : Kering (-), pucat (-),
menebal (-), gatal (-), kuning (-)
3. Kepala : Pusing (-), kepala
terasa berat (-), perasaan berputar-putar
(-), nyeri kepala (-), rambut mudah
rontok (-)
4. Mata : Mata berkunang-
kunang (-/-), pandangan kabur (-/-),
gatal (-/-), mata kuning (-/-), mata
merah (-/-), konjungtiva pucat (-/-)
5. Hidung : Tersumbat (-), keluar
darah (-), keluar lendir atau air
berlebihan (-), gatal (-)
6. Telinga : Telinga berdenging
(-/-), pendengaran berkurang (-/-),
keluar cairan atau darah (-/-)
7. Mulut : Bibir kering (-), gusi
mudah berdarah (-), sariawan (-), gigi
mudah goyah (-)
8. Tenggorokan : Rasa kering
dan gatal (-), nyeri untuk menelan (-),
sakit tenggorokan (-), suara serak (-)
9. Sistem respirasi : Sesak nafas
(-), batuk (+), dahak (+), darah (-),
mengi (-)
10. Sistem kardiovaskuler : Nyeri
dada (+) menjalar ke punggung,
terasa ditusuk-tusuk (+), terasa ada
yang menekan (-), sering pingsan (-),
berdebar-debar (-), keringat dingin
(+), ulu hati terasa panas (-), denyut

6
jantung meningkat (-), bangun malam
karena sesak nafas (-)
11. Sistem gastrointestinal :
Muntah darah (-), diare (-), perut
mrongkol (-), perut membesar (-), BAB
bercampur air (-), BAB bercampur
darah (-), BAB bercampur lendir (-),
rasa penuh di perut (-), cepat kenyang
(-), kembung (-), sulit BAB (-), nyeri
perut (-), berat badan menurun
progresif (-)
12. Sistem muskuloskeletal: Lemas di
seluruh tubuh (-), nyeri di panggul
kanan (-), leher kaku (-), seluruh badan
terasa keju-kemeng (-), kaku sendi (-),
nyeri sendi (-), nyeri otot (-), kaku otot
(-), kejang (-)
13. Sistem genitouterinal :
anyang-anyangan (-), nyeri di
kandung kemih (-), nyeri saat BAK (-),
panas saat BAK (-), BAK tidak lampias
(-), BAK menetes (-), sulit menahan
BAK (-), sering buang air kecil (-), air
kencing warna seperti teh (-), BAK
darah (-), nanah (-), rasa pegal di
pinggang (-), rasa gatal pada saluran
kencing (-), rasa gatal pada alat
kelamin (-).
14. Ekstremitas :
a. Atas : Bengkak (-/-), lemah
(-/-), luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor

7
(-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), nyeri
(-/-), lebam-lebam kulit (-/-)
b. Bawah : Bengkak (-/-), lemah
(-/-), luka (-/-), kesemutan (-/-), tremor
(-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), nyeri
(-/-), lebam-lebam kulit (-/-)

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 28 Desember 2016 dengan hasil
sebagai berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sesak,
compos mentis, GCS: E4V5M6, gizi
kesan cukup
2. Tanda vital
Tensi : 160/90 mmHg
Nadi : 110 kali /menit
Frekuensi nafas : 24 kali /menit
Suhu : 36,80C (per axilla)
VAS : 4 di dada
3. Status gizi
Berat Badan : 52 kg
Tinggi Badan : 153 cm
IMT : 22,21 kg/m2
Kesan : Normoweight
4. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-),
hiperpigmentasi (-), kering (-), teleangiektasis (-),
petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,
beruban, mudah rontok (-), alopesia (-) luka (-), atrofi m.
temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+),
edema palpebra (-/-), strabismus (-/-)

8
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid
(-), nyeri tekan tragus (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-),
epistaksis (-)
9. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah
atrofi (-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral
thrush (-), mukosa bibir kering (+)
10. Leher : JVP tidak meningkat R + 2 cm, trakea di
tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar getah bening leher (-), leher kaku
(-), distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk simetris, retraksi (-), benjolan
(-), spider nevi (-), pembesaran kelenjar getah bening
axilla (-/-)
12. Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat
Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC V linea sternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC V linea medioklavicularis
sinistra
Kesan batas jantung tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni,
intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).
13.Pulmo
a. Depan
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris
- Dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Fremitus vocal dada kanan
= kiri normal
Perkusi

9
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler,
suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah kasar (-), ronkhi basah halus (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler,
suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah kasar (-), ronkhi basah halus (-)
b. Belakang
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris
- Dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Fremitus vokal kanan = kiri
Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler,
suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah kasar (-), ronkhi basah halus (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler
normal, suara tambahan: wheezing (-),
ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah
halus (-)
13. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding
thorax, venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput
medusae (-), ikterik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 12
kali/menit, bruit hepar (-), bising epigastrium (-)
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), undulasi
(-), liver span 9 cm
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba
14. Ekstremitas

10
Superior Ka/Ki: Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral dingin (-/-), ikterik
(-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri
gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior Ka/Ki: Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral dingin (-/-), ikterik
(-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-), clubing
finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak
genu bilateral (-/-), deformitas (-/-)

III.PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium darah (Tanggal: 26 Desember 2016)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 10.2 g/dl 11.6 16.3
Hematokrit 32 % 33 45
Leukosit 9.1 ribu/ul 4.5 11.0
Trombosit 260 ribu/ul 150 450
Eritrosit 3.36 juta/ul 4.50 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 93.7 /um 80.0 96.0
MCH 30.4 pg 28.0 33.0
MCHC 32.4 g/dl 33.0 36.0
RDW 11.7 % 11.6 14.6
MPV 8.6 fl 7.2 11.1
PDW 16 % 25 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 1.00 % 0.00 4.00
Basofil 0.60 % 0.00 2.00
Netrofil 87.50 % 55.00 80.00
Limfosit 6.90 % 22.00 -44.00

11
Monosit 4.00 % 0.00 7.00
KIMIA KLINIK
GDS 150 mg/dl 60 140
SGOT 12 u/l <31
SGPT 7 u/l <34
Albumin 4.4 g/dl 3.2 4.6
Creatinine 1.2 mg/dl 0.6 1.2
Ureum 44 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 130 mmol/L 132 146
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.7 5.4
Calsium Ion 1.11 mmol/L 1.17 1.29
SEROLOGI
CKMB 1.12 mg/mL <2.9
Troponin I <0.01 ug/L 0.00 0.01
HbsAg Rapid Nonreactive Nonreactive

12
B. EKG (Tanggal 27 Desember 2016)

Irama : sinus rythm


Heart rate : 90 bpm
Axis : normoaxis
ST segmen : isoelektrik
Q patologis : Lead III, aVF
T inverted : V1-V4
Kesimpulan : Sinus rhytm, HR 90 bpm, normoaxis, OMI Inferior, Iskemik
Anteroseptal

13
C. RONTGEN THORAX (26 Desember 2016)

Cor : Besar dan bentuk kesan normal


Pulmo : Tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan
bronkovaskuler normal
Sinus costrophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan: Cor dan paru tidak ada kelainan

14
IV. RESUME

1. Keluhan utama
Nyeri dada sejak 4 jam SMRS
2. Anamnesis:
Pasien mengeluh nyeri dada sejak 4 jam SMRS. Nyeri dada
menembus sampai punggung, dirasakan saat aktivitas dan tidak
berkurang dengan istirahat. Tidak ada sesak. Pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak warna putih kental sejak 1 hari, batuk
disertai demam 1 hari terus menerus. BAB dan BAK pasien tidak ada
keluhan. Pasien mempunyai riwayat sakit gula sejak 3 tahun, rutin
berobat insulin 2x sehari 6-0-6 IU subkutan. Pasien juga memiliki
riwayat sakit tekanan darah tinggi sejak 5 tahun, rutin minum
Bisoprolol 1x2.5mg dan Ramipril 1x10mg. Pasien mempunyai
riwayat kanker rahim tahun 2005 dan sudah menjalani kemoterapi
dan radioterapi sampai selesai siklus. Riwayat STEMI 1 tahun yll.
3. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis. Tekanan
darah 160/90 mmHg, nadi 110 kali/menit, frekuensi nafas 24
kali/menit, suhu 36,80C, dan VAS: 2 di dada.
4. Pemeriksaan tambahan:
a. Laboratorium darah:
Anemia normositik hipokromik (Hb: 10.2, MCHC: 32.4)
Hiperglikemia (150), Hiponatremia ringan (130), Hipokalemi
ringan (3.6), Hipokalsemi (1.11) dan enzim jantung tidak
meningkat.
b. EKG
Sinus rhytm, HR 90 bpm, normoaxis, OMI Inferior, Iskemik
Anteroseptal
c. Foto Thorax
Cor dan pulmo tak tampak kelainan

15
V. DIAGNOSIS ATAU PROBLEM
1. Angina pectoris stabil
2. Diabetes Mellitus tipe 2 non obese
3. Hipertensi stage 2

16
Rencana Awal

Pengkajian Rencana Awal Rencana Rencana


No Diagnosis Rencana Terapi
(Assesment) Diagnosis Edukasi Monitoring
1. Angina pectoris Anamnesis: Profil Lipid Tirah baring tidak Penjelasan KUVS/12jam
stabil Nyeri dada 4 jam SMRS Echocardio total kepada pasien EKG/hari

Seperti ditusuk, grafi O2 3 lpm nasal tentang

menjalar sampai kanul penyakit,

punggung Diet DM 1300 komplikasinya

Riwayat DM dan kkal, rendah


Hipertensi garam 2gr/24jam
Riwayat STEMI 1 tahun ISDN 5mg/12jam
yang lalu Lisinopril
Pemeriksaan Fisik: 10mg/24jam
TD: 160/90 mmHg Bisoprolol
N: 110 kali/menit 2.5mg/24jam
Aspilet
Pemeriksaan 80mg/24jam

17
Penunjang: Simvastatin
Hasil EKG: Sinus 20mg/24jam
rythm, HR 90bpm,
normo axis, OMI
Inferior, Iskemik
Anteroseptal
CKMB: 1.12,
Troponin I: <0.01
2. Diabetes Mellitus Anamnesis: GDP, GD2PP Diet DM 1300 kkal Penjelasan GDS/8jam
tipe 2 non obese Riwayat DM sejak 3 Insulin 6-0-6 IU kepada pasien
HbA1C
tahun, rutin subkutan tentang
Profil Lipid
menggunakan insulin penyakit,
Asam Urat
6-0-6 IU subkutan komplikasi dan
Pemeriksaan Fisik: asupan nutrisi
IMT= 22,21 kg/m2
Penunjang:
GDS: 150

18
3. Hipertensi stage Anamnesis Ro thorax Bisoprolol Penjelasan KUVS/ 12jam
2 Riwayat hipertensi sejak 2.5mg/24jam tentang
5 tahun yang lalu, rutin Lisinopril penyakit,
minum Bisoprolol 10mg/24jam komplikasinya
1x2.5mg dan Ramipril
1x10mg
Pemeriksaan Fisik:
TD: 160/90
Tanggal 27 Desember 2016 (DPH 1) 28 Desember 2016 (DPH 2)

Subyektif Nyeri dada sudah berkurang Nyeri dada sudah tidak dirasakan
Obyektif KU : tampak sakit sedang, KU : tampak sakit ringan,
composmentis, gizi kesan composmentis, gizi kesan
cukup cukup
Tensi : 140/80 mmHg Tensi : 130/80 mmHg
Respirasi : 20 kali/menit Respirasi : 18 kali/menit
Nadi : 90 kali/menit Nadi : 88 kali/menit
Suhu : 36.5 C Suhu : 36.7 C
VAS : 2 di dada VAS : 1 di dada
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera Mata : konjungtiva pucat (-/-),

19
ikterik (-/-) konjungtiva pucat
Telinga : sekret (-/-) Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping Hidung : sekret (-/-) nafas cuping
hidung (-) hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah Mulut : sianosis (-), mukosa basah
(+) (+)
Leher : JVP tidak meningkat, KGB Leher : JVP tidak meningkat, KGB
tidak membesar tidak membesar
Cor Cor
I : IC tidak tampak I : IC tidak tampak
P : IC tidak kuat angkat P : IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, A : BJ I-II intensitas normal, reguler,
bising (-), gallop (-) bising (-), gallop (-)
Pulmo Pulmo
I : Pengembangan dada kanan = kiri I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri P : Fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/ sonor P : sonor/ sonor
A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara

20
tambahan wheezing (-/-) ronchi tambahan wheezing (-/-) ronchi
basah kasar (-/-) ronchi basah basah kasar (-/-) ronchi basah
halus (-/-) halus (-/-)
Abdomen Abdomen
I : dinding perut sejajar dinding dada I : dinding perut sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 11x/menit A : Bising usus (+) 14x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), area P : Timpani, pekak alih (-), area
troube timpani troube timpani
P : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan P : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba lien tidak teraba

Akral dingin Akral dingin

Oedem Oedem
- -
- - Palmar pucat Palmar pucat

21
Px. - HbA1c 6.3; GDP 99, GD2PP 184,
Penunjang Kolesterol total 154, LDL 96, HDL 32,
Trigliserida 121

1. Angina pectoris stabil Angina pectoris stabil


2. Diabetes Mellitus tipe 2 non obese Diabetes Mellitus tipe 2 non obese
3. Hipertensi stage 2 Hipertensi stage 2
Terapi 1. Bed rest tidak total 1. Bed rest tidak total
2. O2 3 lpm nasal kanul 2. O2 3 lpm nasal kanul
3. Diet DM 1300 kkal, Rendah 3. Diet DM 1300 kkal, Rendah
garam 5gr/hari garam 5gr/hari
4. Inj Novomix 6-0-6 IU subkutan 4. Inj Novomix 6-0-6 IU subkutan
5. ISDN 5mg/12jam 5. ISDN 5mg/12jam
6. Aspilet 80mg/24jam 6. Aspilet 80mg/24jam
7. Simvastatin 20mg/24jam 7. Simvastatin 20mg/24jam
8. Lisinopril 10mg/24jam 8. Lisinopril 10mg/24jam
9. Bisoprolol 2.5mg/24jam 9. Bisoprolol 2.5mg/24jam
Planning Monitoring KUVS/12jam Monitoring KUVS/12 jam

22
GDS/12jam GDS/12jam
EKG/hari EKG/hari

Laboratorium Darah (28 Desember 2016)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


KIMIA KLINIK
HbA1c 6.3 % 4.8 5.9
GDP 99 mg/dl 70 110
GD2PP 184 mg/dl 80 140
Kolesterol Total 154 mg/dl 50 200
Kolesterol LDL 96 mg/dl 96 206
Kolesterol HDL 32 mg/dl 33 92
Trigliserida 121 mg/dl <150

23
Tanggal 29 Desember 2016 (DPH 3) 30 Desember 2016 (DPH 4)

Subyektif Nyeri dada sudah tidak dirasakan Tidak ada keluhan


Obyektif KU : tampak sakit ringan, KU : tampak sakit ringan,
composmentis, gizi kesan composmentis, gizi kesan
cukup cukup
Tensi : 130/80 mmHg Tensi : 120/80 mmHg
Respirasi : 18 kali/menit Respirasi : 16 kali/menit
Nadi : 83 kali/menit Nadi : 81 kali/menit
Suhu : 36.4 C Suhu : 36.8 C
VAS : 1 di dada VAS : 1 di dada
Mata : konjungtiva pucat (-/-), Mata : konjungtiva pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-) sklera ikterik (-/-)
Telinga : sekret (-/-) Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping Hidung : sekret (-/-) nafas cuping
hidung (-) hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah Mulut : sianosis (-), mukosa basah
(+) (+)
Leher : JVP tidak meningkat, KGB Leher : JVP tidak meningkat, KGB
tidak membesar tidak membesar

24
Cor Cor
I : IC tidak tampak I : IC tidak tampak
P : IC tidak kuat angkat P : IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, A : BJ I-II intensitas normal, reguler,
bising (-), gallop (-) bising (-), gallop (-)
Pulmo Pulmo
I : Pengembangan dada kanan = kiri I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri P : Fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/ sonor P : sonor/ sonor
A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara
tambahan wheeing (-/-), ronchi tambahan wheeing (-/-), ronchi
basah kasar (-/-), ronchi basah basah kasar (-/-), ronchi basah
halus (-/-) halus (-/-)
Abdomen Abdomen
I : dinding perut sejajar dinding dada I : dinding perut sejajar dinding dada
A : Bising usus (+) 14x/menit A : Bising usus (+) 10x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), area P : Timpani, pekak alih (-), area
troube timpani troube timpani

25
P : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan P : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba lien tidak teraba

Akral dingin Akral dingin

Oedem Oedem
- -
- - Palmar pucat Palmar pucat

Px. EKG: Sinus rythm, HR 84 bpm, -


Penunjang normoaxis, OMI Inferior, Iskemik
Septal

Assesment 1. Angina pectoris stabil 1. Angina pectoris stabil


2. Diabetes Mellitus tipe 2 non obese 2. Diabetes Mellitus tipe 2
3. Hipertensi stage 2 non obese
3. Hipertensi stage 2
Terapi 1. Bed rest tidak total 1. Bed rest tidak total
2. O2 3 lpm nasal kanul 2. O2 3 lpm nasal kanul aff

26
3. Diet DM 1300 kkal, Rendah 3. Diet DM 1300 kkal, Rendah
garam 5gr/hari garam 5gr/hari
4. Inj Novomix 6-0-6 IU subkutan 4. Inj Novomix 6-0-6 IU subkutan
5. ISDN 5mg/12jam 5. ISDN 5mg/12jam
6. Aspilet 80mg/24jam 6. Aspilet 80mg/24jam
7. Simvastatin 20mg/24jam 7. Simvastatin 20mg/24jam
8. Lisinopril 10mg/24jam 8. Lisinopril 10mg/24jam
9. Bisoprolol 2.5mg/24jam 9. Bisoprolol 2.5mg/24jam
Planning Monitoring KUVS/12jam BLPL
GDS/12jam Kontrol Poli Penyakit Dalam
EKG/hari

Hasil EKG (29 Desember 2016)

27
Irama : sinus rythm
Heart rate : 90 bpm
Axis : normoaxis
ST segmen : isoelektrik
Q patologis : Lead III, aVF
T inverted : V1-V2

28
Kesimpulan: Sinus rythm, HR 84 bpm, normoaxis, OMI Inferior, Iskemik Septal

29
BAB II
PEMBAHASAN

Seorang wanita 54 tahun dengan angina pektoris stabil, diabetes mellitus tipe 2, dan hipertensi stage 2. Dari anamnesis kami
dapatkan pasien mengeluh nyeri dada sejak 4 jam SMRS. Nyeri dada menembus sampai punggung, dirasakan saat aktivitas dan tidak
berkurang dengan istirahat. Tidak ada sesak. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak warna putih kental sejak 1 hari, batuk disertai
demam 1 hari terus menerus. BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan. Pasien mempunyai riwayat sakit gula sejak 3 tahun, rutin
berobat insulin 2x sehari 6-0-6 IU subkutan. Pasien juga memiliki riwayat sakit tekanan darah tinggi sejak 5 tahun, rutin minum obat
bisoprolol 1x2.5mg dan ramipril 1x10mg. Pasien mempunyai riwayat kanker rahim tahun 2005 dan sudah menjalani kemoterapi dan
radioterapi sampai selesai siklus. Pasien juga memiliki riwayat STEMI 1 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik kami dapatkan
keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis. Tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 110 kali/menit, frekuensi nafas 24
kali/menit, suhu 36,80C, dan VAS: 4 di dada. Pada pemeriksaan laboratorium kami dapatkan anemia normositik hipokromik (Hb:
10.2, MCHC: 32.4) Hiperglikemia (150), Hiponatremia ringan (130), Hipokalemi ringan (3.6), Hipokalsemi (1.11) dan enzim jantung
tidak meningkat, pada EKG terlihat sinus rhytm, HR 90 bpm, normoaxis, OMI Inferior, Iskemik Anteroseptal. Rontgen thorax
didapatkan cor dan pulmo tak tampak kelainan.

Angina pektoris adalah suatu sindroma kronis dimana pasien mendapat serangan sakit dada di daerah sternum atau substernal
atau dada sebelah kiri yang khas, yaitu seperti ditekan, atau terasa berat di dada yang seringkali menjalar ke lengan kiri, kadang-
kadang dapat menjalar ke punggung, rahang, leher atau ke lengan kanan. Sakit dada tersebut biasanya timbul pada waktu pasien

30
melakukan aktivitas dan segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. Keluhan lain yang dapat timbul pada angina pektoris
stabil seperti sesak napas, perasaan kadang-kadang sakit dada disertai keringat dingin. Angina pektoris stabil adalah salah satu
manifestasi klinis dari penyakit jantung iskemik. Penyakit jantung iskemik adalah sebuah kondisi dimana aliran darah dan oksigen ke
salah satu bagian myocardium tidak adekuat. Hal ini sering terjadi saat terjadi imbalansi antara oksigen supply and demand pada
myocardium.
Angina pectoris stabil dapat disebabkan oleh beberapa hal, yakni: aterosklerosis, spasme arteri koroner, anemia berat, artritis
atau aorta insufisiensi. Penyebab utama hal ini yang paling sering adalah karena terjadinya aterosklerosis pada arteri koronaria. Ada
pula faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya angina pectoris, yakni: umur, jenis kelamin dan riwayat penyakit
dalam keluarga, merokok, hiperlipidemi, hipertensi, obesitas, dan diabetes mellitus. Tekanan darah tinggi menimbulkan aliran darah
terlampau kuat yang lamakelamaan mengakibatkan pengikisan pada dinding arteri koroner. Dinding yang rusak memudahkan
terjadinya endapan lipid. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari
ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses
aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan
tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis angina pektoris stabil yaitu: EKG, echocardiografi,
uji latihan fisik dan angiografi koroner. Pada EKG bisa terlihat adanya gambaran ST elevasi/ ST depresi atau T inverted, yang
menunjukkan adanya iskemik atau infark pada jantung. Echocardiografi bermanfaat pada pasien dengan murmur sistolik untuk
memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta yang signifikan atau kardiomiopati hipertrofik. Selain itu dapat pula menentukan luasnya
iskemia bila dilakukan waktu berlangsungnya nyeri dada. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menganalisis fungsi miokardium

31
segmental bila hal ini telah terjadi pada pasien angina pektoris stabil kronik atau bila telah pernah infark sebelumnya, walaupun hal
ini tidak dapat memperlihatkan adanya iskemia yang baru terjadi.
Tatalaksana pada angina pektoris stabil adalah nitrat, beta blocker, calsium channel blocker, antiplatelet dan statin. O2 diberikan
untuk men-supply oksigen lebih banyak sehingga imbalance antara supply dan demand oksigen dapat berkurang. ISDN berfungsi
sebagai vasodilator, sehingga dapat mengurangi preload dan afterload jantung, yang dapat menurunkan kebutuhan oksigen pada
jantung. Bisoprolol diberikan untuk menurunkan kecepatan denyut dan kontraktilitas jantung sehingga kebutuhan oksigen berkurang.
Lisinopril diberikan sebagai vasodilator dan antiremodelling sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan mencegah hipertrofi
yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen jantung. Aspilet diberikan sebagai antiplatelet sehingga tidak terbentuk trombus pada
pembuluh darah koroner. Simvastatin berfungsi untuk antiinflamasi, menstabilkan plak ateroskeloris dan memperbaiki profil lipid.

32
Algoritma Tatalaksana Angina Pektoris Stabil

Diabates Mellitus diartikan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia kronis yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, defek kinerja insulin atau kombinasi keduanya (Hermawan AG, 2006; PERKENI 2015), dapat juga diartikan
suatu penyakit metabolik yang dinyatakan dengan adanya hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein yang berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan, disfungsi dan kerusakan beberapa organ khususnya mata,

33
ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Suyono, 2007). Gejala klinis klasik Diabetes Melitus berupa rasa haus yang berlebihan
(polidipsi), sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan yang turun dengan cepat.
Di samping itu kadang-kadang ada keluhan tidak khas seperti lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal,
penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007;
Hermawan AG, 2006). Pada kasus, pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus sejak 3 tahun yang lalu dan mengaku awal mulanya
pasien juga mengalami gejala yang khas seperti sering terbangun karena kencing di malam hari, mudah haus, banyak makan namun
berat badan malah menurun 5 kg. Kemudian pasien memeriksakan keadaannya dan diminta untuk melakukan cek gula darah puasa,
saat itu dikatakan pasien gulanya berkisar 200. Sesuai dengan pedoman penegakkan diagnosis Diabetes Melitus pada gambar 3.1,
bahwa terdapat gejala yang khas disertai gula darah puasa 126. Selain itu, diagnosis DM juga dapat ditegakkan dengan (1) Gejala
klasik + gula darah sewaktu 200mg/dl; (2) Gejala klasik + gula darah puasa 126 mg/dl; (3) Glukosa plasma 2 jam post prandial
(GDPP) 200 mg/dl selama Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO); (4) Gejala tidak klasik + hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru 1 kali abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan DM, perlu hasil pemeriksaan sekali lagi yang abnormal untuk
menegakkan DM (Hermawan AG, 2006). Pada tahun 2015, PERKENI menambahkan 1 kriteria lagi yaitu HbA1c 6,5% dengan
metode yang terstandarisasi oleh NGSP (PERKENI, 2015).

Gambar 3.1. Langkah Diagnosis DM (PERKENI, 2006)

Keterangan :

34
GDP: Glukosa Darah Puasa
GDS: Glukosa Darah Sewaktu
GDPT: Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT: Toleransi Glukosa Terganggu

Faktor resiko seorang dapat mengalami DM yaitu: (1)


Usia 45 tahun; (2) IMT > 23 kg/m; (3) Kebiasaan tidak aktif; (4)
Turunan pertama dari orang tua dengan DM; (5) Riwayat melahirkan
bayi dengan BB lahir bayi > 4 kg, atau riwayat DM gestasional; (6)
Hipertensi ( 140/90 mmHg); (7) Kolesterol HDL 35 mg/dL dan atau
trigliserida 250 mg/dL; (8) Menderita Policictic Ovarial Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi
insulin; (9) Adanya riwayat TGT atau GDPT sebelumnya; (10) Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, TBC dan hipertiroidisme
(PERKENI, 2002; PERKENI, 2015; Hermawan AG, 2006). Sedangkan pada kasus, dari anamnesis faktor resiko 3 tahun lalu pasien
mengalami DM berupa usia 45 tahun, kebiasaan jarang melakukan olahraga, dan riwayat hipertensi.
Perjalanan penyakit serta pengobatan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2 tidaklah sama, untuk itu perlu dibedakan antara DM tipe
1 dan DM tipe 2 pada tabel 3.1 (Hermawan AG, 2006). Adapun dalam kasus, tergolong pada DM tipe 2, mengingat onset
timbulnya terjadi pada usia > 45 tahun.

35
Tabel 3.1 Perbedaan DM tipe 1 dan DM tipe 2
DM tipe 1 DM tipe 2
Mudah terjadi ketoasidosis Tidak mudah terjadi ketoasidosis
Pengobatan harus dengan insulin Tidak harus menggunakan insulin
Onset akut Onset lambat
Biasanya pasien kurus Gemuk/tidak gemuk
Biasanya terjadi pada usia muda Biasanya > 45 tahun
Berhubungan dengan gen HLA-DR3 Tidak berhubungan dengan HLA
Tidak ada islet cell antibody (ICA)
dan DR4
Didapatkan islet cell antibody (ICA) Riwayat keluarga pada 30%
Riwayat keluarga DM sekitar 10% 100% kembar identik terkena
30-50% kembar identic yang terkena
Agar mencegah terjadinya komplikasi, diperlukan pengendalian DM yang baik yag merupakan sasaran terapi. DM terkendali
baik, apabila memenuhi kriteria pada Tabel 3.2 (PERKENI, 2015). Pada kasus, hasil laboratorium darah, IMT dan tekanan darah pada
tanggal 28 Desember 2016 (Tabel 3.3) menunjukkan hasil yang memuaskan, menunjukkan bahwa DM yang terkendali dengan baik
(terkontrol).

Tabel 3.2 Kriteria Pengendalian DM


GD puasa 80 130
GD 2 jam pp <180
A1C <7
LDL < 100
HDL >40 laki-laki;

36
>50 perempuan
Trigliserida < 150
IMT 18,5 22,9
Tekanan darah < 140/90

Tabel 3.3 Hasil laboratorium darah, IMT dan tekanan darah pada 28 Desember 2016

Pemeriksaan Hasil
HbA1c 6.3
Penatalaksaan pada DM secara umum adalah
GDP 99
meningkatnya kualitas hidup. Terbagi atas jangka pendek
dan panjang. Penatalaksanaan GD2PP 184 jangka pendek untuk
menghilangnya keluhan dan Kolesterol Total 154 tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman dan tercapainya Kolesterol LDL 96 target pengendalian glukosa
darah. Sedangkan Kolesterol HDL 32 penatalaksanaan jangka
panjang untuk mencegah dan Trigliserida 121 menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati, Tekanan darah 130/80 makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan IMT 22,21 adalah turunnya morbiditas
dan maortalitas dini DM (Sudoyo, 2006). Pilar
penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2006) berupa (1) Edukasi, (2) Terapi gizi medis, (3) Latihan jasmani, (4) Intervensi
farmakologis.

37
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2 4
minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral
(OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai
indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, gagal dengan kombinasi obat hipoglikemik oral (OHO) dosis hampir
maksima, diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan TGM, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi
dan atau alergi terhadap OHO, ketoasidosis berat, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin
dapat segera diberikan (PERKENI, 2006; PERKENI 2015; Sudoyo, 2006; Hermawan, 2006). Dari anamnesis yang dilakukan kepada
pasien, pasien mengaku pada awal terdiagnosis langsung diberikan obat berupa Metformin dan Glibenclamid, namun setelah 3 bulan
kontrol, HbA1c 9% sehingga diganti dengan obat minum dan 6 IU insulin sebelum tidur. Kemudian kontrol 3 bulan berikutnya dan
didapatkan hasil HbA1c 8,5% sehingga diganti menjadi insulin 3 x sehari dan sebelum tidur. Karena pasien merasa kerepotan dengan
banyaknya suntikan, pasien diberikan insulin kombinasi hanya 2 x sehari. Hingga saat ini insulin yang digunakan sebanyak 6 IU dan
target HbA1c tercapai yaitu <6,5%. Alur tersebut sesuai dengan algoritma pengobatan DM tipe 2 oleh PERKENI (Gambar 3.2) yang
menyebutkan bahwa untuk mengevaluasi keberhasilan pengobatan menggunakan HbA1c, jika target HbA1c tidak tercapai, pilihan
terakhirnya adalah penggunaan insulin (PERKENI, 2006). Namun pada tahun 2015, PERKENI mengeluarkan algoritma baru pada
Gambar 3.3.

Gambar 3.2 Algoritma Pengobatan DM tipe 2 (PERKENI, 2006)

38
Gambar 3.3 Algoritma Pengobatan DM tipe 2 (PERKENI, 2015)

39
Diet yang diberikan pada pasien dengan DM prinsip utamanya adalah pengaturan makan hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada DM
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang

40
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006; PERKENI 2015). Kebutuhan kalori pada pasien selama
dirawat menggunakan berat badan ideal (BBI) menurut Brocca yang dimodifikasi, yaitu 90% x (153-100) x 1kg = 47.7 kg kemudian
dikalikan 25 kal/kg sehingga kebutuhan kalori pasien sebesar 1200kal. Namun perlu dikurangi 5% karena usia pasien 54 tahun,
ditambahkan 10% karena pasien istirahat, sehingga kebutuhan total kalori pasien sebesar 1300kal. Kebutuhan kalori tersebut
diberikan dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta 2-3 porsi makan ringan (10-15%)
diantaranya.

Pada kasus ini, pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengaku berobat ke puskesmas sekitar 5
tahun yang lalu karena merasakan sering sakit kepala, sulit tidur, mudah marah dan leher belakang kaku, dan di puskesmas tekanan
darah diketahui 160/90 mmHg. Pasien rutin kontrol tiap bulannya dan mendapatkan obat Ramipril 1x10mg dan bisoprolol 1x2.5mg.
Saat di IGD tekanan darah pasien 160/90 mmHg, hal ini bisa karena faktor risiko dari hipertensi itu sendiri, yaitu kelelahan fisik dan
psikis, dimana pasien mengaku takut ketika harus rawat inap di RS. Namun ketika dibangsal tekananan darah menjadi 140/90 mmHg,
pasien mengaku tekanan darah biasanya 140/90 mmHg, hal ini bisa terjadi karena diberikannya obat anti hipertensi golongan ACE
inhibitor dan beta blocker.
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten di mana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik
di atas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90
mmHg. Faktor risiko dari hipertensi antara lain usia, jenis kelamin, keturunan, obesitas, stres, merokok, olahraga, alkohol, diet tinggi
garam, hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia. Terapi dari hipertensi antara lain: non farmakologi yakni menurunkan berat badan,

41
diet rendah garam, olahraga teratur, berhenti merokok dan konsumsi alkohol; farmakologi yakni ACE inhibitor, beta blocker, calsium
channel blocker, diuretik dan angiotensin receptor blocker. Pada pasien ini diketahui hipertensi sejak 5 tahun yang lalu. Pasien
mendapat terapi Lisinopril 10mg/24jam dan Bisoprolol 2.5mg/24jam saat di rawat di rumah sakit.

42
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

ANGINA PEKTORIS STABIL


Angina Pektoris yaitu rasa nyeri dada yang disebabkan oleh ketidak cukupan suplai oksigen ke otot jantung (myocardinal
ischemic). Dada terasa ada beban berat ditambah dengan suhu badan panas seperti terbakar. Gerah menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, hingga tembus ke punggung. Biasanya juga disertai sesak napas, mual muntah, keringat dingin dan jika semakin berat akan
mengakibatkan pingsan.
Penyebab Angina Pektoris dipengaruhi berbagai faktor resiko, yakni: (Allaedini, 2015)
1. Faktor Perdiposisi
a. Merokok

Perokok berat, sangat beresiko terkena angina pektoris dan serangan jantung, sebab dengan merokok, nikotin,
karbonmonoksida dan zat lainnya yang terkadung dalam rokok berpotensi menimbulkan kerusakan dinding pembuluh darah.
Hal ini mempermudahkan kolesterol untuk melekat di dinding pembuluh darah yang mengalami kerusakan hingga akhirnya
membentuk plak dalam koroner. Selain itu, merokok juga bisa menimbulkan kejang atau pemendekan otot arteri sehingga
mengurangi aliran darah ke jantung.
b. Kolesterol

43
Kolesterol tinggi bisa menyebabkan terjadinya ateroklerosis (penimbunan deposit lemak) atau plak pada arteri koroner
(pembuluh darah jantung). Akibatnya, arteri koroner semakin menyempit karena dindingnya bertambah tebal dan keras oleh
timbunan lemak sehingga aliran darah menjadi kurang lancar.
c. Hipertensi

Tekanan darah tinggi menimbulkan aliran darah terlampau kuat yang lama kelamaan mengakibatkan pengikisan pada
dinding arteri koroner. Dinding yang rusak memudahkan terjadinya endapan kolesterol. Peningkatan tekanan darah sistemik
meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga
ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen
untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar
oksigen yang tersedia.
d. Stress

Stress bisa meningkatkan kadar hormon epinefrin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Hal itu
mempermudah terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah.
e. Aktivitas

Aktivitas fisik terlalu berat dapat memicu serangan dengan cara meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.kebutuhan
2. Faktor Presipitasi
a. Usia

44
Angina pektoris biasanya menyerang orang yang lebih tua dari 65 tahun karena jika usianya sudah tua maka akan lebih rentan
terkena angina sebab elastisitas dari otot-otot telah berkurang, regenerasi sel telah berkurang, hormon dan kerja jaringan telah
berkurang pula, tetapi dapat pula terjadi pada orang dengan usia 20-an atau 30-an tahun. Hal ini disebabkan oleh gaya hidup
yang tidak sehat meski masih di usia muda. Hindari kebiasaan merokok dan atasi masalah kesehatan seperti tekanan darah
tinggi, diabetes, obesitas, dan kolesterol tinggi sejak dini. Penyakit-penyakit tersebut dapat meningkatkan risiko penyakit pada
jantung.
b. Jenis Kelamin
Yang sering berisiko terkena angina pektoris adalah pria, karena pria beraktivitas lebih berat daripada wanita, dan karena
aktivitas yang terlalu berat dapat meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.
c. Hereditas (Genetik)
Faktor keturunan berhubungan dengan angina pektoris serta penyakit jantung lainnya. Tetapi faktor keturunan mungkin saja
disebabkan oleh kecendrungan bawaan terhadap kolestrol tinggi dalam darah sebagai akibat memakan makanan yang
mengandung lebih banyak kolesterol. Kecendrungan menuju penyakit jantung bawaan juga bisa tercermin dari faktor risiko,
seperti diabetes, hipertensi dan obesitas bawaan.

A. Patofisiologi Angina Pektoris Stabil


Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidak adekuatan suplai oksigen ke sel-sel miokardium yang
diakibatkan karena kekakuan arteri dan penyempitan lumen arteri koroner (aterosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti

45
apa penyebab ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang bertanggungjawab atas perkembangan
ateriosklerosis.
Aterosklerosis merupakan penyakit arteri koroner yang paling sering ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan
meningkat, maka kebutuhan oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat maka arteri koroner
berdilatasi dan megalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung.
Namun apabila arteri koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi
sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium.
Angina Pectoris adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat Oksida) yang berfungsi untuk
menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbul
spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang.
Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %. Bila penyempitan
lebih dari 75 % serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang.
Sel-sel miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Metabolisme ini
menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung
berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses
ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya asam laktat nyeri akan reda. (Corwin, 2000; Selwyn, 2005)

46
B. Manifestasi Klinis Angina Pektoris Stabil
Angina Pektoris yaitu rasa nyeri dada yang disebabkan oleh ketidak cukupan suplai oksigen ke otot jantung (myocardinal
ischemic). Dada terasa ada beban berat ditambah dengan suhu badan panas seperti terbakar. Gerah menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, hingga tembus ke punggung. Biasanya juga disertai sesak napas, mual muntah, keringat dingin dan jika semakin berat
akan mengakibatkan pingsan.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Pasien terus menerus mengubah
posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak berhasil.
Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin. (Rahman, 2009)
Angina Pektoris memiliki keluhan nyeri dada yang mempunyai ciri khas sebagai berikut (Kim, 2006):

47
Lokasi nyeri. Pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum (tulang dada) atau di bawah sternum (substernal), atau dada
sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri sampai kelingking, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher.
Nyeri dada juga dapat timbul di tempat lain seperti di daerah ulu hati.
Kualitas nyeri. merupakan nyeri yang tumpul, seperti rasa tertindih atau berat di dada, rasa desakan yang kuat, seperti
diremas-remas atau dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak napas. Tidak
jarang keluhan hanya berupa rasa tidak enak di dada.
Nyeri berhubungan dengan aktivitas (seperti olahraga, terburu-buru), hilang dengan istirahat. Nyeri juga dapat dipresipitasi
oleh stress fisik, stress emosional, kemarahan, ketakutan, atau frustasi
Kuantitas nyeri. Nyeri yang pertama kali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit sampai kurang dari 20 menit.
Menurut ESC Guideline 2006, nyeri dada ini biasanya terjadi singkat, yaitu dari 1-10 menit 5. Bila lebih dari 20 menit dan
berat maka harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable angina pectoris = UAP) dan dimasukkan kedalam
sindrom koroner akut. Nyeri dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik sampai beberapa menit.
Nyeri tidak terus menerus tetapi hilang timbul dengan intensitas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai
terkontrol.

48
Gradasi beratnya nyeri dada berdasarkan Canadian Cardiovaskuler Society
sebagai berikut (Alaeddini, 2015; Kim, 2004):
Klas I Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai
dan lain-lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada
latihan yang berat, berjalan cepat serta terburu-buru waktu kerja atau
berpergian
Klas II Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila melakukan
aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga
lebih dari 1 lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak atau melawan
angin dan lain-lain

Klas III Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik
tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa

Klas IV AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua aktivitas dapat
menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu, dan lain-lain

C. Pemeriksaan Diagnostik Angina Pektoris Stabil (Kim, 2006)


1. Pemeriksaan EKG
Setiap penderita dengan gejala yang mengarah pada angina harus dilakukan EKG 12 lead. Namun hasil EKG akan normal
pada 50 % dari penderita dengan angina pectoris. Depresi atau elevasi segmen ST menguatkan kemungkinan adanya angina
dan menunjukkan suatu ischemia pada beban kerja yang rendah.

49
2. Foto thoraks
Pada penderita angina pectoris biasanya normal. Foto thoraks lebih sering menunjukkan kelainan pada penderita dengan
riwayat infark miokard atau penderita dengan nyeri dada yang bukan berasal dari jantung. Manfaat pemeriksaan foto thorak
secara rutin pada penderita angina masih dipertanyakan.
3. Pemeriksaan laboratorium
Tidak begitu penting dalam diagnosis angina pektoris. Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark jantung
akut sering dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan meningkat kadarnya pada infark
jantung akut sedangkan pada angina kadarnya masih normal. dan penanda inflamasi akut jika nyeri dada cukup berat dan
lama (enzim CK, CKMB, CRP/hs CRP, troponin). Pemeriksaan lipid darah seperti kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan
pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk mencari faktor risiko seperti hiperlipidemia dan/atau diabetes melitus.
4. Ekokardiografi
Dilakukan untuk menentukan adanya stenosis aorta, luasnya iskemia saat nyeri dada berlangsung, menganalisis fungsi
miokardium segmental. Bila ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai 30 menit setelah serangan angina, dapat terlihat
adanya segmen miokardium yang mengalami disfungsi. Segmen ini akan pulih kembali setelah hilangnya iskemia akut.
5. Uji latih beban
Uji latih beban dengan monitor EKG merupakan prosedur yang sudah baku. Dari segi biaya, tes ini merupakan termurah bila
dibandingkan dengan tes echo. Untuk mendapatkan informasi yang optimal, protocol harus disesuaikan untuk masing-
masing penderita agar dapat mencapai setidaknya 6 menit. Selama EKG, frekwensi, tekanan darah harus dimonitor dengan
baik dan direkam pada tiap tingkatan dan juga pada saat abnormallitas segmen ST. metode yang dipakai pada uji beban yaitu

50
dengan menggunakan treadmill dan sepeda statis. Interpretasi EKG uji latih beban yang paling penting adalah adanya
depresi dan elevasi segmen ST lebih dari 1 mm. Biasanya uji latih beban dihentikan bila mencapai 85% dari denyut jantung
maksimal berdasarkan umur, namun perlu diperhatikan adanya variabilitas yang besar dari denyut jantung maksimal pada
tiap individu. Indikasi absolute untuk menghentikan uji beban adalah penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg
dari tekanan darah awal meskipun beban latihan naik jika diikuti tanda ischemia yang lain: angina sedang sampai berat,
ataxia yang meningkat, kesadaran menurun, tanda-tanda penurunan perfusi seperti sianosis.
Pada penderita yang tidak bisa di diagnosa dengan uji latih beban berdasarkan EKG, maka dilakukan uji latih beban dengan
pencitraan. Isotop yang biasa digunakan adalah thalium-210. Tes uji latih ekokardiografi dianalisa berdasarkan penilaian
penebalan miokard pada saat uji latih dibandingkan dengan saat istirahat. Gambaran ekokardiografi yang mendukung adanya
ischemia miokard adalah: penurunan gerakan dinding pada 1 atau lebih segmen ventrikel kiri, berkurangnya ketebalan
dinding saat sistol atau lebih segmen pada saat uji latih beban, hiperkinesia kompensasi pada segmen dinding yang berkaitan
atau yang tidak ischemia.
6. Kateterisasi Jantung dengan Angiografi
Diindikasikan pada pasien dengan iskemia yang diketahui dengan angina atau nyeri dada tanpa kerja, pada pasien dengan
kolesterolemia dan penyakit jantung keluarga yang mengalami nyeri dada, dan pasien dengan EKG istirahat abnormal. Hasil
abnormal ada pada penyakit katup, gangguan kontrakstilitas, gagal ventrikel, dan abnormalitas sirkulasi. Catatan: 10%
pasien dengan angina tidak stabil mempunyai arteri koroner yang tampak normal.

51
D. Tata Laksana Angina Pektoris Stabil
1. Teknik invasif seperti percutaneous transluminal coronary angioplasty (PCTA) dan dapat menurunkan serangan angina
klasik. Dengan PCTA, lesi aterosklerotik berdilatasi dengan bantuan kateter yang dimasukkan menembus kulit ke dalam
arteri femoralis atau brakialis dan didorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh yang sakit, balon di dalam kateter
digembungkan. Hal ini akan memecah plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang
sakit diikat, dan diambil arteri atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran darah
dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering digunakan untuk transplantasi adalah vena safena atau
arteri mamaria interna. Respons awal terhadap PCTA tampaknya baik, tetapi pembuluh sering (20-40%) kembali mengalami
sklerosis dalam beberapa bulan. Pemasangan slang artifisial, atau stent, ke dalam arteri agar tetap terbuka memperbaiki
keberhasilan teknik ini. Stent yang dilapisi obat dapat menurunkan frekuensi restenosis stent. Bedah pintas koroner
menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak memengaruhi mortalitas jangka panjang (Alaeddini, 2015; Kim, 2006).
2. Pembedahan

Pembedahan dengan coronary artery bypass graft (CABG) tidak menjamin hidup yang panjang atau mencegah serangan
infark miokars, tetapi dapat mengurangi angina sehingga pasien mampu melakukan kegiatan-kegiatan dan memulihkan
kualitas hidupnya. Tujuan dari bypass adalah memperbaiki suplai oksigen ke miokardium. Vena yang sering digunakan
untuk grafting adalah vena safena. Dokter juga sering menggunakan arteri mamaria internal (Alaeddini, 2015; Kim, 2006).

3. Karena penyebab angina adalah insufisiensi oksigen untuk memenuhi kebutuhan energi jantung, pengobatan angina
ditujukan untuk menurunkan kebutuhan energi:

52
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume sekuncup) dengan kecepatan yang
lambat (penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurunkan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga
berkurang. Posisi duduk adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya, berbaring, meningkatkan aliran
balik darah ke jantung sehingga terjadi peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup, dan curah jantung.
Mengontrol emosi, mengurangi kerja yang berat dimana membutuhkan banyak oksigen dalam aktivitasnya, mengurangi
konsumsi makanan berlemak, dan istirahat yang cukup. Disarankan untuk mengubah gaya hidup antara lain
menghentikan konsumsi rokok, menjaga berat badan ideal, mengatur pola makan, melakukan olah raga ringan secara
teratur, jika memiliki riwayat diabetes tetap melakukan pengobatan diabetes secara teratur, dan melakukan kontrol
terhadap kadar serum lipid.
2) Nitrogliserin dan nitrat lain bekerja sebagai dilator kuat sistem vena sehingga menurunkan aliran darah vena kembali ke
jantung. Penurunan aliran balik vena menurunkan volume diastolik akhir sehingga jantung dapat mengurangi volume
sekuncupnya. Nitrat menyebabkan dilatasi sistem arteri, menurunkan afterload (beban hilir) yang harus dilawan oleh
pompa jantung dan meningkatkan aliran darah koroner. Arteri koroner yang sedang mengalami spasme dapat berdilatasi.
Semua efek ini menurunkan ketidakseimbangan kebutuhan versus suplai oksigen, dan nitrogliserin yang diberikan
secara sublingual (di bawah lidah) biasanya meredakan angina.
3) Penyekat adrenergik beta meredakan angina dengan menurunkan kecepatan denyut dan kontraktilitas jantung sehingga
kebutuhan oksigen berkurang. penyekat saluran kalsium menurunkan afterload yang harus dilawan oleh pompa jantung
dengan mendilatasi arteri dan arteriol di sebelah hilir. Penyekat salluran kalsium tidak boleh digunakan pada pasien
berisiko mengalami gagal jantung.
4) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung (Nilawati, 2008)

53
5) Obat-obatan. Obat-obatan yang sering digunakan untuk angina pektoris dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Gunawan,
2007).

No Golongan Obat Kegunaan Indikasi Kontra Indikasi

1 Vasodilator Nitrogliserin, Vasodilator Pencegahan dan Hipersensitif


Amyl, perifer untuk pengobatan terhadap nitrat
Nitrate, mengurangi angina pektoris organik,
Isosorbide resistensi akibat penyakit hipersensitid
(Sorbitrate) perifer; arteri koroner, terhadap isosobide,
mengurangi gagal jantung nitrogliserin.
tekanan darah kongestif Jangan diberikan
diastolik; (terutama bila pada pasien
mengurangi disebabkan oleh hipovolemia yang
preload; miokard akut, tidak terkoreksi /
vasodilatasi hipertensi dehidrasi karena
koronaria untuk pulmoner, risiko menginduksi
memperbaiki emergensi hipotensi.
distribusi suplai hipertensi selama PTIK, trauma

54
darah ke operasi kepala, anemia berat
miokardium (pembedadahn
jantung)
2 Agens Propanolol Mengurangi Digunakan untuk Berkontra-indikasi
penyekat (Inderal), kebutuhan mengobati atau dengan bradycardia,
beta- Metaprolol oksigen mencegah sebelumnya ada
adrenergik (Lopressor) miokardium gangguan yang tingkatan AV block
dengan meliputi migrain, yang tinggi, sindrom
Nadolol
mengurangi arrhythmias, sakit sinus dan
(Corgard)
kecepatan angina pectoris, kegagalan LV yang
Atenolol denyut jantung; hipertensi, tak stabil.
(Tenormin) menurunkan menopause, dan 2. Gunakan dengan
tekanan darah; gangguan hati-hati pada pasien
mengurangi kecemasan. bronchopasma,
kontraktilitas asma, atau penyakit
jantung dan sumbatan
output kalsium pernapasan.
Gunakan dengan
hati-hati dengan

55
tingkatan block
pertama, depresi,
pasien dengan PVD,
dan pasien yang
menggunakan
insulin.
3 Bloker Verapamil Mencegah Digunakan untuk Pasien dengan gagal
kalsium (Isoptin) transportasi ion mengobati jantung, meskipun
kalsium ke tekanan darah vasoselective
Nifedipn
dalam sel tinggi dihydropyridine
(Procardia)
miokardium dan (hipertensi), (seperti Amlodipine,
Diltiazem menghambat angina, dan Felodipine) dapat
(Cardizem) kegiatan gangguan irama bertahan pada pasien
inotropik dan jantung tertentu. penderita penurunan
kronotropik, LVEF.
mengurangi 2. HR yang
beban jantung mengatur kalsium
antagonist berkontra-
indikasi dengan

56
pasien penderita
bradycardia,
gangguan batang
sinus & AV nodal
block.

E. Komplikasi Angina Pektoris Stabil


1. Penyakit arteri Koroner atau Jantung koroner (coronary artery disease)
Penyakit ini ditandai adanya endapan lemak yang berkumpul di dalam sel yang melapisi dinding suatu arteri koroner dan
menyumbat aliran darah. Endapan lemak (ateroma) terbentuk secara bertahap dan tersebar di percabangan besar dari kedua
arteri koroner utama, yang mengelilingi jantung dan menyediakan darah bagi jantung. Proses pembentukan ateroma ini
disebut aterosklerosis.
Ateroma bisa menonjol ke dalam arteri dan menyebabkan arteri menjadi sempit. Jika ateroma terus membesar, bagan dari
ateroma bisa pecag dan masuk ke dalam aliran darah atau bisa terbentuk bekuan darah di permukaan ateroma tersebut.
Supaya bisa berkontraksi dan memompa secara normal, otot jantung (miokardium) memerlukan pasokan darah yang kaya
oksigen dari arteri koroner. Jika penyumbatan arteri koroner semakin memburuk, bisa terjadi iskemik (berkurangnya
pasokan darah) pada otot jantung, menyebabkan kerusakan pada jantung.

57
Hal ini akan mengakibatkan otot janrtung di daerah tesebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan
komplikasi utama dari penyakit arteri koroner yaitu angina pectoris (nyeri dada).
2. Aritmia / Distrimia
Terjadi akibat iskemia pada miokardium atau ketidakseimbangan eletrolit akibat penurunan curah jantung. Serangan jantung
seringkali merusak sistem listrik jantung yang mengontrol irama jantung. Hal ini dapat menyebabkan problem seperti terjadi
aritmia. Bila sistem listrik tersebut lenyap, kondisinya akan amat berbahaya.
3. Infark Miokard
Infark miokard atau nekrosis iskemik pada miokardium, diakibatkan oleg iskemia miokard yang berkepanjangan yang
bersifat irreversibel. Waktu yang diperlukan bagi sel sel otot jantung mengalami kerusakan adalah iskemia selama 15 20
menit. Infark miokard hampir selalu terjadi di ventrikel kiri dan dengan nyata mengurangi ventrikel kiri, makin luas daerah
infark makin kurang daya kontraksinya.
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen. Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55
tahun, tanpa gejala pendahuluan
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak
sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin
4. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi akibat kurang mampunya ventrikel kiri/kanan memompa cukup banyak darah, sehingga tekanan
sistol rendah, perfusi perfier kurang dengan gejala kulit lembab dan dingin, takikardia, bingung dan kurang menghasilkan

58
urin. Di perifer terjadi metabolisme anaerob yaitu asam laktat dan dapat menimbulkan asidosis metabolik yang dapat
berakhir fatal. Penyebab syok kardogenik adalah infark miokard, namun kardiomiopati, distrimia dan embloisme puolmonal
dapat menekan fungsi miokard dapat mencetus syok kardiogenetik

F. Prognosis
Semakin luas arteri koroner yang terkena atau semakin buruk penyumbatannya, maka prognosisnya semakin buruk.

59
DIABETES MELLITUS
A Definisi dan Etiologi
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan karena
kegagalan relatif sel dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mengimbangi resistensi
insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Gustaviani, 2006). Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis
Diabetes Melitus (DM). Sel pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah
masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi kelelahan sel pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis,
yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus (Gustaviani,
2006).

B Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal merupakan patofisiologi kerusakan
sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak

60
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimburkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2
(PERKENI, 2015).
Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar patofisiologi
ini memberikan konsep tentang (PERKENI, 2015):
1 Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbAlc saja
2 Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3 Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah
terjadi pada penyandang gangguan toleransi glukosa.

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral
dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet
(gambar 1)

61
Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 (DeFronzo, 2009)

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut (PERKENI, 2015):
1 Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui
jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2 Liver:

62
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam
keadaan basal oleh liver (HGP= hepotic grucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah
metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
3 Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi
tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4 Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam
lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh
FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5 Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GLP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi
GLP-1 dan resisten terhadap GLP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga
hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja dalam menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukokinase

63
yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukokinase adalah akarbosa.
6 Sel Alpha Pancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi
dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya didalam plasma penderita meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
7 Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 g glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-
Transporter) pada bagian convuloted tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-L pada
tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan
ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin
adalah salah satu
8 Otak:
lnsulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanismd kompehsasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru

64
meningkat mengacu akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja dijalur lni adalah GLP-1
agonis, amylin dan bromokriptin.

C Patofisiologi
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan
energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik. Energi pada mesin tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan
sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam sel untuk dapat diolah. Di dalam sel,
zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini
disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan
glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang
dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono, 2007).
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi autoimun yang disebabkan oleh peradangan pada sel beta. Ini
menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan
antibodi (ICA) menyebabkan hancurnya sel beta (Suyono, 2007).
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang
terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.
Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang

65
kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan
glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin (Suyono, 2007).
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-faktor di bahwa ini banyak berperan
(Suyono, 2007) :
Obesitas terutama yang berbentuk sentral
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Kurang gerak badan
Faktor keturunan (herediter)

D Manifestasi klinik
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing terutama pada malam hari
(poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah,
kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh dan
pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).
Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama. Demikian juga pengobatannya. Oleh
karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.

Tabel 2. Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2


DM Tipe 1 DM Tipe 2

66
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau
tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau
normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin
Sumber : Suyono S, 2007

E Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan kadar glukosa darah (gula darah puasa, gula
darah 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO) (Gustaviani Reno, 2006).
1 Pemeriksaan kadar glukosa darah.
Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 12 jam sebelum diambil darahnya. Setelah diambil
darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan
harus dihabiskan dalam waktu 15 20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP
(Gustaviani Reno, 2006).

2 Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)

67
Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic antibodies (ICA), insulin
autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) (Gustaviani Reno, 2006).
Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 digunakan pemeriksaan C-
peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indicator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bias digunakan untuk memonitor
respons individual setelah operasi pancreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pancreas atau
transplantasi sel-sel pulau pancreas (Gustaviani Reno, 2006).
3 Pemeriksaan untuk Pemantauan Diabetes Melitus (DM)
Untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan adalah kadar gula darah puasa, 2 jam PP, dan
pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin (Gustaviani Reno, 2006). Pemeriksaan
fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu lama . Pemeriksaan
lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau
terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin (Gustaviani Reno, 2006).
Interpertasi hasil pemeriksaan HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu,
HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi
peningkatan HbA1C-nya) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat : pemberian Therapi lebih intensif untuk
menghindari komplikasi (Gustaviani Reno, 2006).
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol) : 4%, 5,9%.(6) Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah
penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA 1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali
(Gustaviani Reno, 2006).

68
F Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria, Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan seperti (PERKENI, 2015):
1 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria Diagnosis DM menurut PERKENI, 2015 antara lain;

Hasil pemeriksaan yang tidak


memenuhi kriteria normal atau kriteria
DM digolongkan ke dalam kelompok
prediabetes yang meliputi:
Toleransi glukosa terganggu (TGT)
dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)

69
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2-jam <14O mg/dl;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan
glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

70
Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa

71
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu

Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes Melitus (DM) namun tidak menunjukkan
adanya gejala DM. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun
GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga
disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2002).

Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan Belum pasti DM
DM DM
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler < 90 90-199 > 200
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)
Darah kapiler < 90 90-199 > 110
Sumber : Soegondo S (2005)

72
Catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka
yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Langkah-langkah Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Tolerangi Glukosa


Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan utnuk patokan diagnosis DM
(Sudoyo, 2006).
Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus (DM), hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali
lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari
yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200
mg/dl (Sudoyo, 2006).
Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2015) :
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)

73
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan
diminum dalam waktu 15 menit
Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Tabel 4. Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa


1 Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl
Atau
2 Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl

74
Atau
3 Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO **
Sumber : PERKENI, 2002
*
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat.
**
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria
diagnostik kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.

G Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo, 2006).
1 Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa
darah.
2 Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir
pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus(PERKENI, 2015)
1 Edukasi
2 Terapi gizi medis
3 Latihan jasmani
4 Intervensi farmakologis

75
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2 4
minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral
(OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi,
sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun
dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2006)
1 Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
Perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa
darah mandiri tidak tersedia)
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia
Pentingnya latihan jasmani yang teratur

76
Masalah khusus yang dihadapi (misal : hiperglikemia pada kehamilan)
Pentingnya perawatan diri
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
2 Terapi gizi medis (TGM)
Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai target terapi
prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan
yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
a Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
Karbohidrat
- Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi
Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi
Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat
digunakan sebagai pengganti jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan permen
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari

77
Lemak
Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori
Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu penuh (whole milk)
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA /
Mono Unsaturated Fatty Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
Protein
Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi
Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang dan kacang-kacangan, tahu, tempe
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi
dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi

Garam
Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh)
garam dapur

78
Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada mereka yang hipertensi
Serat
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat larut
Pemanis
Batasi penggunaan pemanis bergizi
Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
b Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi. Diantaranya adalah dengan
perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori basal sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung
pada beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi adalah sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam
cm 100) x 1 kg
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %

79
Penentuan status gizi dapat digunakan :
BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.
BB (kg)
IMT =
TB (m2)

Klasifikasi IMT :
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5 22,9
BB lebih 23,0
Dengan risiko 23,0 24,9
Obes I 25,0 29,9
Obes II 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:


Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal / kg BB dan untuk
pria sebesar 30 kal / kg BB

80
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10
% untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan dikurangi 20 % untuk usia diatas 70 tahun
Aktifitas fisik atau pekerjaan
Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20 % pada pasien dengan aktifitas ringan, 30
% dengan aktifitas sedang, dan 50 % dengan aktifitas sangat berat
Berat badan
- Bila kegemukan dikurangi 20 30 % bergantung pada tingkat kegemukan
- Bila kurus ditambah 20 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB
- Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 1200 kkal / hari untukwanita dan
1200 1600 kkal / hari untuk pria

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan
pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % ) serta 2 3 porsi makan ringan ( 10 15 % ) diantaranya. Untuk
meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan.
Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
3 Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous
Rhytmical Interval Progressive Endurace training).

81
Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh: bila dipilih jogging 30 menit,
maka selama 30 menit pasien melakukan jogging tanpa istirahat.
Rytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb

Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate
Maksimum Heart Rate = 220-umur
Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur),
jogging, berenang dan bersepeda. Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai
memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas, didampingi oleh orang yang tahu bagaimana
cara mengatasi hipoglikemia, harus membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam
pengobatan, dan memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga. Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau
zona latihan yaitu 75-85% denyut nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :

82
DNM = 220 Umur ( dalam Tahun )

Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 4 kali seminggu selama 30 menit )
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas malasan.
4 Terapi Farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo,
2006).
a Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (Sudoyo, 2006) :
Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis : metformin
Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase

83
1 Golongan Insulin Secretagogues
Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta
pankreas.
Sulfonilurea
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan
sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi
dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi
karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung
pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka
akan terjadi penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran dan membuka
channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada
Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang
tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi
insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan
hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea

84
dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek
klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil
dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila
glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan
setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari
sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan
sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin) kedua-duanya diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan
2 sampai 3 kali sehari.
2 Golongan Insulin Sensitizing
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam
konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui
ginjal. Oleh karena itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk
extended release.

85
Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak
diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl
pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada
orang usia lanjut.
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada
tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa di usus
sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertingi dalam darah
setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak
dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan
berat badan.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional karena
mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes,
berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen
pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tungal metformin atau sulfonylurea
sampai dosis maksimal.

86
Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang
sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan
metformin. Penelitian lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding
dengan insulin saja.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan
memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang
gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi
tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
Glitazone
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione) merupakan agonist peroxisome proliferators-activated receptor
gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin
seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator
homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak
mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam
bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari)
memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo.

87
Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I IV karena dapat memperberat udem / retensi
cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidakdigunakan sebagai obat tunggal.
3 Penghambat Glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), disamping juga
memperbaiki ambilan perifer. Terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan.
4 Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna
sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia
postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh
pada kadar insulin. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami

88
metabolisme di dalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal
dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian
besar diekskresi melalui feses.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:
Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap.
Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut (misalnya
klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam).
Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.
Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain,
bila gagal baru beralih kepada insulin.
Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

Tabel 5. Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C

( Hb-glikosilat )

Golongan Cara kerja utama Efek samping utama Penurunan A1C


Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin BB naik, hipoglikemia 1,5 2 %
Glinid Meningkatkan sekresi insulin BB naik, hipoglikemia 1,5 2 %
Metformin Menekan produksi glukosa hati Diare, dyspepsia, asidosis laktat 1,5 2 %
& menambah sensitifitas

89
terhadap insulin
Penghambat Menghambat absorpsi glukosa Flatulens, tinja lembek 0,5 1,0 %
glukosidase
Tiazolidindion Menambah sensitifitas terhadap Edema 1,3%
insulin
Insulin Menekan produksi glukosa hati, Hipoglikemia, BB naik Potensial sampai normal
stimulasi pemanfaatan glukosa
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2015) :


OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai
dosis hampir maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat
Acarbose : bersama suapan pertama makan
Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan

90
Tabel 6. Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia

Golongan Generik Mg/tab Dosis Lama Frek/hari Waktu


harian kerja
Klorpropamid 100-250 00-500 24-36 1
Glibenklamid 2,5 - 5 2,5 - 15 12-24 12
Sulfonilurea Glipizid 5 - 10 5 2- 10-16 12 Sebelum
Glikuidon 30 30 - 120 6-8 23 makan
Glimepirid 1,2,3,4 0,5 - 6 24 1
Glinid Repaglinid 0,5,1,2 1,5 - 6 - 3
Nateglinid 120 360 - 3
Tiazolidindion Rosiglitazon 4 4-8 24 1 Tdk bergantung
Pioglitazon 15,30 15 - 45 24 1 jadwal makan
Penghambat Acarbose 50-100 00-300 3 Bersama suapan
glukosidase pertama
Biguanid Metformin 500-850 50-3000 6-8 1-3 Bersama/sesudah makan
Sumber : Sudoyo, 2006

b INSULIN (Sudoyo, 2006)


Insulin diperlukan pada keadaan :
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetic
Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik

91
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin )
Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
Insuln campuran tetap ( premixed insulin )
Efek samping terapi insulin :
Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia

92
Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin

Tabel 7. Insulin di Indonesia


Nama Buatan Efek puncak Lama kerja
Cepat 2-4 jam 6-8 jam
Actrapid Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-R Eli Lilly (U-100)
Menengah 4-12 jam 18-24 jam
Insulatard Novo Nordisk (U-40&U-100)
Monotard Human Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-N Eli Lilly (U-100)
Campuran 1-8 14-15
Mixtard 30 Novo Nordisk (U-40&U-100)
Humulin-30/70 Eli Lilly (U-100)
Panjang
Lantus Aventis Tidak ada 24 am
Bentuk Penfill untuk Novopen 3 adalah :
Actrapid Human 100
Insulatard Human 100

93
Maxtard 30 Human 100
Bentuk Penfill untuk Humapen Ergo adalah :
Humulin-R 100
Humulin-N 100
Humulin-30/70
Bentuk Penfill untuk Optipen adalah :
Lantus
Sumber : PERKENI, 2006

3 Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara
bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan kombinasi harus dipilih
dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi
kombinasi dengan tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal
(insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.

94
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit yang diberikan sekitar
jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat
hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja (PERKENI, 2006)

H Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun (Sudoyo, 2006).
1 Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus ditangani dengan tepat dan benar karena
hanya dengan cara itulah angka kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
2 Penyulit menahun
a Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak

95
b Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
Neuropati

I Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yag merupakan sasaran terapi.
DM terkndali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar
yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah (Sudoyo Aru, 2006).
Tabel 8. Kriteria pengendalian DM
Baik Sedang Buruk
GD puasa 80 - 109 110 - 125 126
GD 2 jam pp 80 - 144 145 - 179 180
A1C < 6,5 6,5 8 >8
Kolesterol total < 200 200 - 239 240
LDL < 100 100 - 129 130
HDL >45
Trigliserida < 150 150 - 199 200
IMT 18,5 22,9 23 - 25 >25
Tekanan darah < 130/80 130 140 / 80 - 90 >140/90
Sumber : Sudoyo, 2006

96
J PROGNOSIS
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan,
gagal ginjal kronis, dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat (Mansjoer, 2001).

97
HIPERTENSI
A Definisi
Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika
tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobaniam, 2003).
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten di mana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan
diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan
diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005).
B Etiologi
1 Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus
merupakan hipertensi essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi
kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin
dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan
lain-lain (Nafrialdi, 2009). Penelitian pada berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih
(obesitas) memberikan risiko 65-70% untuk terkena hipertensi primer (Guyton, 2008).
2 Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang
dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit

98
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003).
Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung
koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat (Sunardi, 2000).
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi yang
kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120
mmHg, dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi (American Diabetes Association, 2003). Pada
hipertensi emergensi, tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif,
sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut.
Contoh gangguan organ target akut antara lain, encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai
edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil dan eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan
(Depkes 2006).
C Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor pada medula di otak. Dari
pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak
ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan
merangsang serabut saraf pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norpinefrin mengakibatkan kontriksi
pembuluh darah (Brunner, 2002).

99
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa
hal tersebut bisa terjadi (Corwin, 2005). Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresikan kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Brunner, 2002).
Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahaan tekanan
darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan
dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang menyebabkan penurunan distensi dan daya regang pembuluh darah. Akibat hal
tersebut, aorta dan arteri besar mengalami penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup) sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Corwin, 2005).
D Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan
perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema
pupil (edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit
tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005).

100
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang
normal hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga
berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah
dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang
dan pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).
Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri
kepala saat terjaga, kadang kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah intrakranial (Corwin,
2005).
E Faktor Risiko
1 Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a Usia
Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar
sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas usia
65 tahun (Depkes, 2006).
Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan sistolik. Sedangkan menurut WHO
memakai tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi.
Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang disebabkan oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah
besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik. Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung,

101
Yogyakarta, Denpasar dan Makassar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi terbesar 52,5 %
(Depkes, 2006).
b Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak yang menderita hipertensi
dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup
yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita (Depkes, 2006). Namun, setelah
memasuki manopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada
wanita lebih meningkat dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal. Penelitian di Indonesia prevalensi
yang lebih tinggi terdapat pada wanita (Depkes, 2006).
Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menyebutkan bahwa prevalensi penderita hipertensi di Indonesia lebih
besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki (5,8%). Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan (2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55
sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi (Depkes, 2008).
c Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi,
terutama pada hipertensi primer (essensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang
kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan
garam dan renin membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan

102
turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-
anaknya (Depkes, 2006).
2 Faktor risiko yang dapat diubah
a Kegemukan (obesitas)
Kegemukan (obesitas) adalah presentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT)
yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter. Kaitan erat antara kelebihan berat badan
dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan IMT berkorelasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki
berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006).
IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan
obesitas pada orang dewasa (Zufry, 2010). Menurut Supariasa, penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa
berumur di atas 18 tahun (Supriasa, 2001).
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko
relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya
normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006).
Hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal dapat juga disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin
angiotensin (Suhardjono, 2006). Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat
meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifudin,
2006).

103
b Psikososial dan stress
Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu dengan lingkungannya yang
mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis,
psikologis dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Depkes, 2006).
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat
merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih
kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan
penyesuaian sehingga Timbul kelainan organis atau perubahaan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi
atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih
tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka
(Depkes, 2006).
c Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran
darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah
tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya artereosklerosis pada seluruh
pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.
Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri
(Depkes, 2006).

104
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam penelitian bahwa dalam satu batang rokok
terkandung 4000 racun kimia berbahaya termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu 1) Nikotin,
merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan
pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh darah dan penggumpalan darah. 2) Tar, dapat
mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO) merupakan gas beracun
yang dapat menghasilkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen (Depkes, 2008).
d Olahraga
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas
fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari
tubuh (Supariasa, 2001).
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui mekanisme penurunan denyut jantung, tekanan
darah, penurunan tonus SImpatis, meningkatkan diameter arteri koroner, sistem kolateralisasi pembuluh darah,
meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) darah. Melalui kegiatan
olahraga, jantung dapat bekerja secara lebih efisien. Frekuensi denyut nadi berkurang, namun kekuatan jantung semakin
kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan serta
menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008). Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat
menurunkan tekanan darah tanpa perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006).

105
e Konsumsi alkohol berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat
alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta
kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara
tekanan darah dan asupan alkohol dilaporkan menimbulkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat apabila
mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya (Depkes, 2006).
Di negara barat seperti Amerika, komsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi.
Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya.
Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di usia ini (Depkes, 2006).
Konsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan
darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih satu kali minum per
hari (Krummel, 2004).
f Komsumsi garam berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan,
sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (essensial) terjadi
respon penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata
rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006).
Almatsier (2001) dan (2006), natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan
natrium dalam darah diatur oleh ginjal. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl, selain itu garam lainnya

106
bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO3), baking powder, natrium benzoate dan vetsin (monosodium glutamate). Kelebihan
natrium akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan hipertensi. WHO
menganjurkan bahwa komsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari setara 110 mmol natrium (Almatsier,
2001, 2006).
g Hiperlipidemia/Hiperkolestrolemia
Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan kadar kolestrol total, trigliserida, kolestrol
LDL atau penurunan kadar kolestrol HDL dalam darah. Kolestrol merupakan faktor penting dalam terjadinya
aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.
Penelitian Zakiyah (2006) didapatkan hubungan antara kadar kolestrol darah dengan tekanan darah sistolik dan diastolik
(Zakiyah, 2006). Penelitian Sugihartono (2007) diketahui sering mengkomsumsi lemak jenuh mempunyai risiko untuk
terserang hipertensi sebesar 7,72 kali dibandingkan orang yang tidak mengkomsumsi lemak jenuh (Sugihartono, 2007).
F Komplikasi
1 Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran
darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah. Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba
dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi (Hacke, 2003).
Stroke dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh otak
yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak

107
mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri otak
yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin, 2005).
2 Infark miokardium
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menyumbat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi
kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia
jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi dapat menimbulkan perubahaan-perubahan waktu hantaran
listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung dan peningkatan risiko pembentukan bekuan (Corwin,
2005).
3 Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab,
salah satunya pada bagian yang menuju ke kardiovaskular. Mekanisme terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh
karena penimbunan garam dan air atau sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) (Chung, 1995).
4 Ensefalopati (kerusakan otak)
Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat).
Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong ke dalam ruang
intersitium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps yang dapat menyebabkan ketulian, kebutaan
dan tak jarang juga koma serta kematian mendadak. Keterikatan antara kerusakan otak dengan hipertensi, bahwa hipertensi
berisiko 4 kali terhadap kerusakan otak dibandingkan dengan orang yang tidak menderita hipertensi (Corwin, 2005).

108
G Penatalaksanaan
1 Pengendalian faktor risiko
a Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko
relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sesorang yang
badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih
(overweight). Dengan demikian, obesitas harus dikendalikan dengan menurunkan berat badan (Depkes, 2006).
Beberapa studi menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari 20% dan
hiperkolestrol mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi (Rahajeng, 2009).
b Mengurangi asupan garam di dalam tubuh
Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita. Pengurangan asupan garam secara
drastis akan sulit dirasakan. Batasi sampai dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak (Depkes,
2006).
c Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol sistem saraf yang akan menurunkan tekanan
darah (Depkes, 2006).
d Melakukan olahraga teratur

109
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak 3-4 kali dalam seminggu, diharapkan
dapat menambah kebugaran dan memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya mengontrol tekanan darah (Depkes,
2006).
e Berhenti merokok
Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia
beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat
merusak jaringan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses arterosklerosis dan peningkatan tekanan
darah. Merokok juga dapat meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.
Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.
f Mengurangi komsumsi alkohol
2 Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
hipertensi dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan hipertensi
dimulai dengan obat tunggal, masa kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat
ditambahkan selama beberapa bulan perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan
penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi. Beberapa prinsip pemberian obat antihipertensi sebagai berikut :
a Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi.
b Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan
mengurang timbulnya komplikasi.

110
c Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat antihipertensi.
d Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan seumur hidup.

Algoritma Penanganan Hipertensi


Dalam penananan hipertensi para ahli umumnya mengacu kepada guideline yang ada. Salah satu guideline terbaru dan dapat
diadikan acuan dalam penananan hipertensi di Indonesia adalah Guideline Joint National Committee JNC VIII yang dipublikasikan
pada tahun 2014. Guideline hipertensi evidence-based ini berfokus pada :
1 Pada pasien hipertensi dewasa apakah memulai terapi farmakolois antihipertensi pada batas tekanan darah spesifik memperbaiki
outcome kesehatan?
2 Pada pasien hipertensi dewasa apakah terapi farmakolois antihipertensi dengan target tekanan darah spesifikk memperbaiki
outcome?
3 Pada pasien hipertensi dewasa apakah pemberian obat hipertensi dari kelas dan etnis berbeda mempunai outcome manfaat dan
risiko yang berbeda?
Guideline JNC VIII mencantumkan 9 rekomendasi penanganan hipertensi berdasarkan refleksi tiga pertanyaan di atas:
1 Pada populasi umum berusia 60 tahun terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik
150 mm atau tekanan darah diastolik 90 mm denan target sistolik < 150 mm dan taret diastolik < 90 mm. (Strong
Recommendation Grade).

111
Pada populasi umum berusia 60 tahun jika terapi farmakologis hipertensi menghasilkan tekanan darah sistolik lebih rendah
misalnya 140 mm dan ditoleransi baik tanpa efek samping kesehatan dan kualitas hidup dosis tidak perlu disesuaikan. (Expert
Opinion Grade ).
2 Pada populasi umum < 60 tahun terapi farmakolois untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah diastolik > 90
mm dengan target tekanan darah diastolik < 90 mm untuk usia 30-59 tahun (Strong Recommendation Grade) untuk usia 1-29
tahun (Expert Opinion Grade).
3 Pada populasi umum < 60 tahun terapi farmakolois untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik >140
mm dengan target tekanan darah sistolik < 140 mm (Expert Opinion Grade).
4 Pada populasi berusia > 18 tahun dengan penyakit ginjal kronik terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai
jika tekanan darah sistolik >140 mm atau tekanan darah diastolik > 90 mm dengan target tekanan darah sistolik < 140 mm dan
taret tekanan darah diastolik < 90 mm (Expert Opinion Grade).
5 Pada populasi berusia > 18 tahun dengan diabetes terapi farmakolois untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah
sistolik > 140 mm atau tekanan darah diastolik > 90 mm dengan taret tekanan darah sistolik < 140 mm dan target tekanan darah
diastolik < 90 mm (Expert Opinion Grade).
6 Pada populasi non-kulit hitam umum termasuk mereka dengan diabetes terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik
tipe thiazide, calcium channel blocker, angiotensin-converting enzyme inhibitor, atau angiotensin receptor blocker. (Moderate
Recommendation Grade).

112
7 Pada populasi kulit hitam umum termasuk mereka dengan diabetes terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe
thiazide atau CCB. Untuk populasi kulit hitam: (Moderate Recommendation Grade). Untuk kulit hitam dengan diabetes: (Weak
Recommendation)
8 Pada populasi berusia > 18 tahun dengan penyakit ginjal kronik terapi antihipertensi awal atau tambahan sebaiknya mencakup
ACEI atau ARB untuk meningkatkan outcome ginjal. Hal ini berlaku untuk semua pasien penyakit ginjal kronik dengan
hipertensi terlepas dari ras atau status diabetes. (Moderate Recommendation Grade) .
9 Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan target tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak
tercapai dalam 1 bulan perawatan tingkatkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari salah satu kelas yang
direkomendasikan dalam rekomendasi 6 (thiazide-type diuretic, CCb, ACEI atau ARB). Dokter harus terus menilai tekanan darah
dan menyesuaikan regimen perawatan sampai target tekanan darah dicapai. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan 2
obat tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada satu pasien.
Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai menggunakan obat di dalam rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau perlu
menggunakan lebih dari 3 obat, obat antihipertensi kelas lain dapat digunakan. Rujukan ke spesialis hipertensi mungkin
diindikasikan jika target tekanan darah tidak dapat tercapai dengan strategi di atas atau untuk penanganan pasien komplikasi yang
membutuhkan konsultasi klinis tambahan. (Expert Opinion Grade). Kesembilan rekomendasi ini diringkas menjadi 1 algoritma
penananan hipertensi.
Algoritma Penanganan Hipertensi menurut JNC VIII

113
114
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu
1 Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga
menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang
interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat jelas pada
diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang
nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat
penurunan resistensi perifer (Nafrialdi, 2009).
Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh obat lain
sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang. Bahkan bila menggunakan kombinasi dua
atau lebih antihipertensi, maka salah satunya dianjurkan diuretik (Nafrialdi, 2009).
a Golongan Tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan
diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama
(symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi, 2009). Tiazid seringkali
dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena: 1) dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme
kerja yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah resistensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga
efek obat-obat tersebut dapat bertahan (Nafrialdi, 2009).

115
b Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-,
menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid.
Oleh karena itu diuretik ini jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau
gagal jantung (Nafrialdi, 2009).
c Diuretik Hemat Kalium
Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan
diuretik lain untuk mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2009).
2 Penghambat Adrenergik
a Penghambat Adrenoreseptor Beta (-Bloker)
Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor
beta-1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan
otot lurik. Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor
beta juga dapat ditemukan di otak (Nafrialdi, 2009).
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang akan meningkatkan
aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan miocardiak meningkatkan heart rate dan
kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin dan meningkatkan aktivitas
sistem renin angiotensin aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantai aldosteron dan retensi air (Nafrialdi, 2009).

116
b Penghambat Adrenoresptor Alfa (a-Bloker)
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 (a 1) yang digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker
non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2 (a 2) di ujung saraf adrenergik akan
meningkatkan penglepasan norefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis (Nafrialdi, 2009).
Hambatan reseptor a1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di
samping itu, venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung. Venodilatasi
ini dapat menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama) yang
menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka penjang refleks kompensasi
ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensinya akan bertahan (Nafrialdi, 2009).

3 Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah) yang menurunkan
resistensi dan karena itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan gejala
berpacu dari kontraksi miokard yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut dapat menimbulkan angina pectoris,
infark miokard atau gagal jantung pada orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan renin plasma,
menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping yang tidak diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama
diuretika dan penyekat- (Mycek et al, 2001).
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan vasodilator antara lain hidralazin, minoksidil, diakzoksid dan natrium
nitroprusid. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kepala (Depkes, 2006).

117
4 Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor) menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari
prekusor angitensin I yang inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu,
degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-
Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan
ekskresi air dan natrium (Nafrialdi, 2009).
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan ACE- Inhibitor antara lain benazepril, captopril, enalapril, fosinopril,
lisinoril, moexipril, penindropil, quinapril, ramipril, trandolapril dan tanapres (Benowitz, 2002). Beberapa perbedaan pada
parameter farmakokinetik obat ACE- Inhibitor. Captopril cepat diabsorbsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga
bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACE- Inhibitor. Dosis pertama ACE-
Inhibitor harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi, efek ini akan meningkat
jika pasien mempunyai kadar sodium rendah (Depkes, 2006).

5 Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)


Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1 (Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1
terdapat terutama di otot polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain itu terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal.
Reseptor AT1 memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2
terdapat di medula adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum jelas (Nafrialdi, 2009).

118
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi
renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien
hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan (Nafrialdi, 2009). Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi
frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak
mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2009).
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan antagonis reseptor ATII antara lain kandersartan, eprosartan, irbesartan,
losartan, olmesartan, telmisartan dan valsartan (Depkes, 2006).
6 Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)
Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi
jantung dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan
propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan kontriksi otot polos pembuluh
darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2009).
Terdapat tiga kelas CCB : dihdropiridin (nifedipin, amlodipin, veramil dan benzotiazipin (diltiazem)). Dihidropiridin
mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai
efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina (Gormer, 2008).

7 Penghambat Simpatis

119
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf simpatis (saraf yang bekerja saat kita beraktivitas). Contoh
obat yang termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah metildopa, klonidin dan reserpin. Efek samping yang
dijumpai adalah anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah karena pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi hati dan
terkadang menyebabkan penyakit hati kronis. Obat ini jarang digunakan (Depkes, 2006).

120
DAFTAR PUSTAKA

Alaeddini J. Angina Pectoris. 2015. eMedicine Cardiology. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/150215-overview

Camn JA, Luscher TF, dan Serruys PW. 2007. The ESC Textbook of Cardiovascular Medicine. London: Blackwell Publishing.

Chobanian, et al. 2003. The seventh report od the joint national committee (JNC). 289: 19, pp: 2560-70.

Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi edisi 3. Jakarta. EGC

Crawford MH, Abdulla C, Richard WA, Nitish B, Andrew JB. 2012. Current Diagnosis & Treatment. Congestive Heart Failure.
Cardiology update, 3rd Edition. Chapter 18: The McGraw-Hill.Companies.

Depkes RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta.

Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelinesfor the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure .
European heart journal. 2008.

Ettinger LM. 2008. Hypertension. Emedicine.

Flack JM, Sica DA, Bakris G, et al. International Society on Hypertension in Blacks. Management to high blood pressure in Black:
An update of the International Society on Hypertension Blacks consensus statement. 2010, 56 (5): 780-800.

Fonarow GC. An Approach to Heart Failure and Diabetes Mellitus. Am J Cardiol. 2005; 96: 47E-52E.

Foster DW, Unger RH. 1998. DM, in: Williams Textbook of Endocrinology, 9th ed, WB Saunders, Philadelphia, Pp: 973-1039.

121
Ganiswarna, SG. 2003. Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.

Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. Edisi ke 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal: 361-72

Gustaviani Reno. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4 th. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, pp: 1857-9.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Hermawan GA. 2006. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit UNS Press. Surakarta: hal 28-41

Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, et al, and the American College of Cardiology Foundation; American Heart Association. 2009.
Focused update incorporated into the ACC/AHA 2005 guidelines for the diagnosis and management of heart failure in adults: a
report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on practice guidelines
developed in collaboration with the International Society for Heart and Lung Transplantation. J Am Coll Cardiol. 2009.
53(15):e1-e90

Kabo P. 2010. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskuler secara rasional. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.

Kim Fox, Chairperson, et al., Guidelines on The Management of Stable Angina Pectoris. European Heart Journal 2006.
doi:10.1093/eurheartj/ehl002

Lily IR, Faisal B, Santoso KK, Poppy SR. 2002. Buku ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.

122
Mansjoer Arif, et al. 2015. Kapita selekta kedokteran jilid I. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nafrialdi. 2007. Antihipertensi.Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI, pp: 341-60

National Institute or Health and Clinical Excellence.Hypertension. 2011. [diakses pada 21 Desember 2016]

Nilawati, Sri, dkk. 2008. Care Yourself Kolesterol. Jakarta: Penebar Plus

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2002. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni,
pp: 1-19.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Semarang.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni.

Powers C Alvin. 2015. Harrisons Principle of Internal Medicine 16th. Medical Publishing Division Mc Graw-Hill. North America.

Rahman AM. 2009. Angina Pektoris Stabil, In: Buku Ajar Penyakit Dalam, ed.5, jilid II. Editors; Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al.
Jakarta: Interna Publishing; p.1735-9

Roesli R, Endang S, Djaafar J. 1996. Nefropati Diabetik. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam . 3rd ed. Jakarta: Gaya Baru, pp: 356-365.

Rolph A DeFronzo. 2009. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Tretment of Type 2 Diabetes
Mellitus. Diobetes. 58: 773-795.

Sheps, Sheldon G. 2005. Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah. Tinggi. Jakarta: PT Intisari Mediatama.

123
Selwyn AP, Braunwald E. 2005. Ischemic Heart Disease, In Harrisons Principles of Internal Medicine, 16 th ed. Editors; Kasper DL,
Fauci AS, et al. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. p. 1435-7

Soegondo S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4 th. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 1860-3.

Soegondo S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jilid 2. Jakarta: Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, pp: 1974-
80.

Subekti I. 2004. Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp:
217-23.

Sudoyo Aru, et al. 2006. Penyakit Ginjal Diabetik, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, pp: 545-547.

Supartondo, Waspadji S. 2003. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 375-7.

Suyono S. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 7-14.

Yogiantoro M. 2009. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam.Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, pp: 1079-85.

Yunir Em, Soebardi Suharko. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4 th. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 1864-7.

124

Anda mungkin juga menyukai