Penyaji :
dr. Rivai Baharuddin
Penguji:
Dr.dr. H. Kms Yusuf Effendi, SpOG(K)-FER
dr. H. Firmansyah Basir, SpOG(K)-Obsos, MARS
dr. Hj. Hartati, SpOG(K)-Obsos, M.Kes
dr. H. Irawan Sastradinata, SH, SpOG(K)Onk, MARS
Dr. dr. Peby Maulina Lestari, SpOG(K)-KFM
Penguji :
Dr.dr. H. Kms Yusuf Effendi, SpOG(K)-FER (…………………….)
Penyaji :
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.........................................................................................................v
I PENDAHULUAN......................................................................................................1
II REKAM MEDIS........................................................................................................2
A. Identitas..............................................................................................................2
B. Anamnesis..........................................................................................................2
C. Pemeriksaan fisik...............................................................................................3
D. Pemeriksaan penunjang.....................................................................................6
E. Diagnosis kerja..................................................................................................9
F. Diagnosis banding.............................................................................................9
G. Penatalaksanaan.................................................................................................9
III PERMASALAHAN.................................................................................................9
IV DISKUSI..................................................................................................................9
V SIMPULAN.............................................................................................................32
VI RENCANA OPERASI...........................................................................................32
RUJUKAN...................................................................................................................34
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
I. PENDAHULUAN
Fibroid uterus adalah tumor jinak berasal dari sel otot polos miometrium dan
mengandung kumpulan besar matriks ekstraseluler yang terdiri dari kolagen,
elastin, fibronektin, dan proteoglikan. Fibroid uterus (leiomioma atau
mioma) adalah tumor pelvis jinak yang paling umum pada wanita dan
merupakan masalah kesehatan yang penting karena merupakan indikasi yang
paling sering untuk dilakukannya histerektomi.1,2
Diperkirakan bahwa 60% wanita usia reproduksi terpengaruh, dan 80%
wanita menderita penyakit ini selama hidup mereka. Prevalensi semakin
meningkat seiring dengan peningkatan usia, dan puncaknya pada usia 40
tahun. Berdasarkan studi angka kejadian mioma uteri berkisar antara 5,4 –
77% populasi, tergantung dari jumlah sampel studi dan cara penegakan
diagnosis. Mioma terdeteksi di 70% uteri setelah histerektomi, di mana
mioma multipel ditemukan di lebih dari 80% kasus. Di Indonesia sendiri
mioma uteri ditemukan 2,39- 11,7% pada semua penderita ginekologi yang
dirawat.3,4
Meskipun penyebab pasti dari fibroid masih tidak diketahui, kemajuan
telah dibuat dalam memahami biologi molekuler dari tumor jinak ini dan
faktor hormonal, genetik, dan pertumbuhannya. Berbagai studi menyatakan
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mioma yaitu
pengaruh hormon estrogen dan progesteron, faktor genetik.1,3,5
Fibroid hampir tidak pernah dikaitkan dengan mortalitas, tetapi dapat
menyebabkan morbiditas dan secara signifikan mempengaruhi kualitas
hidup. Wanita yang menjalani histerektomi karena gejala yang berhubungan
dengan fibroid memiliki skor yang jauh lebih buruk pada kuesioner kualitas
hidup dibandingkan wanita yang didiagnosis dengan hipertensi, penyakit
jantung, penyakit paru-paru kronis, atau artritis. Dengan demikian,
penegakkan diagnosa yang lebih dini mampu memberikan pemilihan
tatalaksana yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
penderitanya.6,7
2
1. Riwayat pernikahan
Menikah 1 kali, lama menikah 20 tahun
2. Riwayat Reproduksi
Menarche 13 tahun, siklus haid tidak teratur, lama haid 5-7 hari, banyaknya
2-3 kali ganti pembalut hari 1-3 hai, nyeri haid tidak ada. HPHT: 17 mei
2021
3
3. Riwayat persalinan
P0A0
6. Riwayat gizi/sosioekonomi
Sedang
7. Riwayat kontrasepsi
Tidak ada.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
a. Keadaan umum
Kesadaran : kompos mentis
Berat badan : 52 kg
Tinggi badan : 156 cm
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
4
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6 °C
b. Keadaan khusus
Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala dan rambut : Normal
Pemeriksaan Mata
- Konjungtiva : Pada mata kanan dan kiri tidak terlihat tidak anemis.
- Sklera : Pada mata kanan dan kiri tidak terlihat ikterik
Pemeriksaan Leher
- JVP : Tidak meningkat
- Kelenjar tiroid : Tidak membesar
- Kelenjar limfonodi : Tidak membesar
Pemeriksaan Thorax
Paru-paru
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, tidak ada retraksi
- Palpasi : Stem fremitus kanan sama kiri.
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak ada suara tambahan di
semua lapang paru.
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : Reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Pemeriksaan Ekstremitas
Edema pretibial tidak ada
Status Ginekologi
Inspeksi : Abdomen cembung, tidak terlihat pelebaran vena, rambut
5
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium 24 Mei 2021
Darah Lengkap
Kimia Darah
Glukosa sewaktu 99 (<200 mg/dl)
Ureum 15 (20 – 40 mg/dl)
Kreatinin 0.75 (0,5 – 0,9 mg/dl)
Albumin 4.2 (3,5 – 5,0 g/dl)
SGOT 17 (0-32 U/l)
SGPT 15 (0-31 U/l)
Natrium 141 (135 - 155 mEq/l)
Kalium 3.9 (3,6 - 5,5 mEq/l)
Kalsium 9.0 (8.8-10.2 mg/dL)
HBsAg Non reaktif
Anti HIV Non reaktif
FT4 0.92
TSHs 0.0751
E. Diagnosis Kerja
Mioma uteri intramural
F. Diagnosis Banding
Adenomiosis uteri
G. Penatalaksanaan
Rencana : Laparotomi histerektomi total
Persiapan tindakan :
1. Informed consent
2. Cross match, persiapan darah dan persiapan usus
3. Konsultasi ke KSM Penyakit Dalam dan Anestesi
III. PERMASALAHAN
a. Apakah dasar penegakan diagnosis kerja pada kasus ini?
b. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini selanjutnya?
IV. DISKUSI
a. Apakah dasar penegakan diagnosis kerja pada kasus ini ?
Ny. N, 44 tahun, sudah menikah dan belum pernah melahirkan anak,
mengeluh perut terasa membesar dan teraba benjolan sejak 4 tahun terakhir
disertai dengan rasa nyeri yang hilang timbul. Pasien menyangkal adanya
keluhan perdarahan dari
10
kemaluan di luar siklus haid, perdarahan setelah senggama tidak ada, riwayat
nyeri saat senggama tidak ada, BAK dan BAB seperti biasa. Penurunan nafsu
makan tidak ada, penurunan berat badan tidak ada. Adanya massa abdomen
harus dibedakan apakah massa tersebut berasal dari organ ginekologi atau non
ginekologi. Dengan melakukan pemeriksaan bimanual akan membantu dalam
memperkirakan apakah massa berasal dari organ ginekologi (ovarium atau
uterus) atau nonginekologi.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan abdomen cembung, fundus uteri
teraba setinggi 4 jari di bawah procesus xhypoideus, permukaan rata,
konsistensi kenyal, nyeri tekan tidak ada, tanda cairan bebas tidak ada.
Berdasarkan pemeriksaan inspekulo didapatkan portio tidak livid, OUE
tertutup, fluor tidak ada, fluxus tidak ada, erosi tidak ada, laserasi tidak ada,
polip tidak ada, sondase AF 9 cm. Berdasarkan pemeriksaan ginekologi, dapat
disimpulkan bahwa massa di abdomen bagian bawah yang dikeluhkan pasien
merupakan uterus yang membesar. Pembesaran uterus selama periode
reproduksi dan perimenopause dapat dipikirkan sebagai suatu lesi jinak
(adenomiosis, mioma uteri) dan jarang keganasan (leiomiosarkoma,
karsinoma endometrium).
Etiologi pasti terjadinya mioma uteri sampai saat ini belum diketahui.
Namun literatur menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mioma yaitu pengaruh hormon estrogen dan progesteron, faktor
genetik, dan faktor pertumbuhan. Stimulasi estrogen diduga sangat berperan
untuk terjadinya mioma uteri, hipotesis ini didukung oleh mioma uteri banyak
ditemukan pada usia reproduksi dan kejadiannya rendah pada usia menopause.
Ichimura mengatakan bahwa hormon ovarium dipercaya menstimulasi
pertumbuhan mioma karena adanya peningkatan insiden setelah menarke dan
pada kehamilan pertumbuhan tumor ini makin besar namun menurun setelah
menopause. Hal ini sesuai dengan temuan pada pasien ini yang saat
terdiagnosis berusia 41 tahun. Perempuan nullipara dilaporkan mempunyai
risiko yang tinggi untuk terjadinya mioma uteri, sedangkan perempuan
multipara mempunyai risiko relatif yang lebih rendah untuk terjadinya mioma
uteri.5,8
11
Leiomioma uteri ditemukan pada pemeriksaan histologi rutin pada 40%
wanita di New Zealand dengan usia <46 tahun yang menjalani histerektomi,
meskipun angka kejadian sebenarnya jauh lebih tinggi. Pada penelitian
spesimen uterus paska histerektomi ditemukan 77% leiomioma. Pada kasus ini
pun, pasien hanya mengeluhkan adanya benjolan di perut yang semakin
membesar. Sesuai literatur, pada umumnya leiomioma memang biasanya
bersifat asimptomatik dan terdiagnosa insidental pada pemeriksaan klinis atau
pencitraan. Namun, pada beberapa kasus leiomioma juga dapat menyebabkan
berbagai keluhan termasuk gangguan menstruasi, anemia, benjolan atau massa
di rongga pelvis, nyeri atau sumbatan hingga masalah fertilitas. Sebuah
penelitian di Kanada menyatakan bahwa leiomioma dapat mengganggu
kualitas kehidupan dan produktivitas. Survey terhadap 21.000 wanita,
gangguan seksual (43%), performa kerja (28%), dan gangguan hubungan
kekeluargaan (27%).9
Uterus yang membesar karena mioma dapat menimbulkan sensasi
penekanan di rongga pelvis, meningkatkan frekuensi miksi, inkontinensia
urin, atau konstipasi. Meskipun jarang, mioma dapat membesar ke arah lateral
dan menekan ureter pada uretero-vesical junction sehingga menyebabkan
obstruksi ureter dan hidronefrosis. Mioma submukosum bertangkai yang besar
dapat mengisi dan mendistensi vagina serta menekan urethra ke arah simpisis
sehingga menyebabkan retensio urin. Mioma pada korpus posterior uteri dapat
menyebabkan penekanan kolon rektosigmoid sehingga terjadi konstipasi atau
tenesmus. Adanya sensasi penekanan dan komplikasi organ lain akibat mioma
dapat menjadi salah satu indikasi terapi.10-12
Patogenesis dari mioma uteri ini masih belum diketahui secara pasti, diduga
adanya peranan predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan hormon steroid
12
dalam proses fibrotik dan angiogenesis yang mendasari timbul nya mioma
uteri. Berdasarkan lokasinya di uterus, mioma uteri dibagi atas 4 jenis yaitu
mioma submukosum, mioma intramural, mioma subserosum, dan mioma
intraligamenter. Lokasi mioma yang paling sering adalah jenis intramural
(54%), subserosum (48,2%), jenis submukosum (6,1%) dan jenis
intraligamenter (4,4%).2,11
dan fibroid.19,20,21
Insulin juga telah dihipotesiskan berperan dalam patogenesis fibroid. Insulin
dan IGF-I memiliki aktivitas pemacu pertumbuhan yang serupa, dan keduanya
memiliki afinitas pengikatan yang lemah terhadap reseptor yang lain.
Pengobatan eksperimental jaringan fibroid dengan insulin dapat meningkatkan
proliferasi sel di vitro. Selain itu, hiperinsulinemia dapat merangsang
peningkatan produksi hormon ovarium, yang secara tidak langsung dapat
meningkatkan perkembangan fibroid.19,20,21
a) Terapi medisinalis
Berbagai obat, baik hormonal maupun nonhormonal, telah dicoba untuk
mengontrol gejala yang dihasilkan oleh fibroid. Beberapa terapi medis
menyebabkan pengurangan sementara ukuran mioma dan memperbaiki
gejala umumnya. Intervensi ini dapat mempersiapkan pasien untuk
pembedahan dan dalam beberapa kasus membuat pembedahan tidak perlu
dilakukan jika untuk sementara pasien memasuki masa menopause. Untuk
tujuan reproduksi efek terapi medis kurang jelas karena mioma cenderung
tumbuh kembali saat penghentian terapi.13,14
1) Gonadotropine Relasing Hormone Analog (GnRH-analog)
GnRH analog telah berhasil digunakan untuk mencapai
hipestrogenisme dan menjadi pilihan terapi konservatif untuk mioma
uteri. GnRH analog berikatan dengan reseptor GnRH sehingga
menyebabkan respon bifasik yaitu peningkatan kadar gonadotropin
dan steroid gonad (fase agonis) diikuti dengan penekanan/supresi
kronik dari sekresi gonadotropin dan steroid gonad (fase
desensitisasi). Friedman dkk. menyatakan terdapat reduksi ukuran
mioma sebanyak 35-50% setelah 3-6 bulan terapi GnRH.13,14
Terapi GnRH dilimitasi oleh efek samping hipopoestrogenik yang
berkepanjangan dapat menyebabkan berkurangnya densitas trabekular
tulang, terutama dengan terapi yang dilakukan untuk lebih 6 bulan.
Terapi add-back dapat diberikan apabila pemberian GnRH analog
akan diperpanjang, dengan menggunakan regimen estrogen-
progesteron dosis rendah atau agen progestational dengan atau tanpa
estrogen. Terapi add-back bertujuan untuk menghilangkan gejala
hipoestrogenik sambil mempertahankan efikasi GnRH sebagai terapi
mioma, dan menghindari flare up dini gonadotropin.13,14
2) Antagonis Progesteron
Mifepristone atau RU-486, sebuah antagonis reseptor progesteron, akan
21
Mekanisme kerja yang pasti dari agen ini belum diketahui, namun
diduga berhubungan dengan downregulation sintesis kolagen melalui
peningkatan regulasi induser matriks ekstraseluler metaloproteinase.
SPRM menawarkan keuntungan antagonisme progesteron tanpa efek
samping. Namun, uji klinis Tahap III mengevaluasi efek jangka panjang
(durasi studi 2 tahun) keamanan obat ini dalam dosis oral harian 10 dan
25
22
Gejala ini biasanya hilang dalam 2-7 hari. Komplikasi yang dapat disebabkan
EAU antara lain discharge vagina dan demam (4%), kegagalan EAU bilateral
(4%), dan sindroma postembolisasi (2,9%).5,10
2) MR-guided focused ultrasound (MRg-FUS)
MRg-FUS merupakan terapi noninvasif menggunakan gelombang
ultrasonografi dosis tinggi untuk menghancurkan mioma tanpa menciderai
jaringan sekitarnya. Sebuah serial kasus pada 359 pasien yang menjalani terapi
MRg-FUS menyatakan efikasi terapi ini cukup adekuat namun komplikasi
seperti kulit terbakar didapatkan 7% dan terdapat satu kasus perforasi usus.
Kekurangan terapi ini adalah biaya mahal, memerlukan mesin MRI, waktu
tindakan lama, hanya dapat menghancurkan 1 mioma dalam sekali terapi, dan
mengablasi mioma secara sentral padahal mioma tumbuh ke arah perifer. 5,10
3) Radiofrekuensi miolisis
Salah satu terapi terbaru adalah laparoskopi miolisis dengan melibatkan energi
radiofrekuensi ke mioma melalui panduan ultrasonografi. Mapping mioma
dilakukan dengan laparoskopi dan visualisasi ultrasonografi. Setelah mioma
ditarget untuk ablasi, maka probe RF diinsersi secara perkutan dengan panduan
laparoskopi melalui insisi kulit 2 mm. Kekurangan terapi ini adalah peralatan
laparoskopi dan ultrasonografi yang khusus, insisi kulit perkutan tambahan,
hanya dapat melakukan terapi untuk 1 mioma (dengan diameter <8 cm) sekali
tindakan, dan ablasi hanya dapat dilakukan di tengah mioma. 5,10
Berbagai bentuk miolisis - bipolar, cryo, frekuensi radio, laparoskopi, dan
laser yang dipandu MRI, telah dicoba sebagai alternatif konervatif untuk
miomektomi pada wanita yang ingin pertahanan terhadap uterus. Laser karbon
dioksida telah digunakan untuk langsung menguapkan mioma kecil pada saat
laparotomi, sedang dan mioma besar dipotong. Peningkatan hemostasis dan
ketepatan yang lebih besar pada pemindahan tampaknya menjadi keuntungan
utama, tetapi teknik tersebut belum diuji dalam seri yang lebih besar pasien.
Beberapa mioma submukosa telah berhasil dirawat dengan Nd: YAG
(aluminium yttrium yang
26
d)Tindakan Operatif
Pengamatan yang cermat cocok untuk sebagian besar mioma, seperti kebanyakan
tidak menimbulkan gejala, terbatas pada panggul, dan jarang ganas. Pilihan
bedah dapat dipertimbangkan dalam kasus perdarahan uterus abnormal yang
tidak responsif untuk manajemen konservatif, tingkat kecurigaan yang tinggi dari
keganasan panggul, pertumbuhan miom setelah menopause, distortion rongga
endometrium atau obstruksi tuba pada infertil wanita dan pada mereka dengan
27
keguguran berulang, nyeri, atau gejala tekanan yang mengganggu kualitas hidup,
dan anemia akibat kehilangan darah uterus kronis.5,10
1) Miomektomi perabdominam (laparoskopi atau laparotomi)
Miomektomi telah menjadi prosedur pilihan untuk mioma simptomatik pada
wanita yang menginginkan retensi uterus dan seringkali untuk miom
bertangkai soliter. Risiko kehilangan darah lebih tingi dan waktu operasi
lebih besar pada miomektomi dibandingkan dengan histerektomi tetapi resiko
cedera ureter dapat dikurangi dengan miomektomi. Mioma uteri memiliki
tingkat kekambuhan 15% dan 10% pada wanita yang menjalani miomektomi
dan pada akhirnya akan membutuhkan histerektomi dalam waktu 5 hingga 10
tahun. Risiko kekambuhan dikaitkan dengan usia, jumlah mioma pra-operasi,
ukuran uterus, penyakit terkait, dan persalinan setelah miomektomi. Sejak
mioma submukosa telah terlibat dalam etiologi infertilitas dan keguguran
berulang, miomektomi direkomendasikan oleh beberapa orang sebelum
stimulasi gonadotropin untuk fertilisasi in vitro dan juga pada wanita dengan
mioma besar yang dapat mengganggu pengambilan oosit. Prosedur dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan mioma besar, terutama yang mengalami
distorsi rongga endometrium dan pada pasien dengan kegagalan fertilisasi in
vitro yang tidak dapat dijelaskan. 5,10
Evaluasi sebelum operasi menyeluruh disarankan sebelum melakukan
proseder miomektomi. Wanita dengan ketidakteraturan menstruasi dan
mereka dengan risiko patologi endometrium membutuhkan evaluasi
histologis endometrium sebelum miomektomi, terutama jika berusia lebih
dari 35 tahun. Histeroskopi, jika tersedia, mungkin berguna pada saat
pengambilan sampel endometrium dalam mendiagnosis patologi intrauterine
seperti polip, benda asing, atau lupa alat kontrasepsi. Operasi definitif harus
ditunda selama 4-6 minggu setelah histeroskopi meminimalkan kemungkinan
infeksi menyebar.5,10
28
V. SIMPULAN
1. Diagnosis pasien ini adalah mioma uteri intramural multipel dengan
diagnosis banding adenomiosis uteri. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan pemeriksaan patologi anatomi.
2. Tindakan yang akan dilakukan pada pasien ini adalah histerektomi
total.
15. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum sakrouterina kanan dan kiri
dengan chromic cat gut 1.0
16. Dilakukan identifikasi batas serviks dan vagina, lalu puncak vagina
dipotong setinggi portio, lalu sudut puncak vagina dijahit secara jelujur
dengan PGA no. 1.
17. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya
18. Setelah diyakini tidak ada perdarahan dilakukan pencucian cavum bdomen
dengan NaCl 0,9%
19. Dilanjutkan dengan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis
20. Seluruh jaringan di PA-kan
34
RUJUKAN
1. Berek JS, Rinehart RD, Williams. Uterine Fibroids. Novak’s Textbook of Gynecology
15th edition. Lippincott Williams & Willkins. USA. 2012:797-815
2. Vilos GA, Allaire C, Laberge PV, Leyland N. The management of uterine leiomyomas :
SOGC Clinical practice guideline. J Obstet Gynaecol Can. 2015:157-78.
3. De La Cruz MS, Buchanan EM. Uterine fibroids: diagnosis and treatment. Am Fam
Physician. 2017 Jan 15;95(2):100-107. PMID: 28084714.
4. Hendarto H. Implikasi klinis PALM COEIN terhadap penatalaksanaan perdarahan uterus
abnormal. Dalam : Astarto N.W, Djuwantono T, Permadi W, Madjid T.H, Bayuaji H,
Ritonga M.A. Kupas tuntas kelainan haid. Jakarta. Sagung seto. Departemen Obstetri
dan Ginekologi FK universitas Pajajaran RS Dr. Hasan Sadikin.2011; 19-41.
5. Valle RF, Ekpo GE. Patophysiology of uterine myomas and its clinical implications. In :
Tinelli A, Malvasi A, eds. Uterine myoma, myomectomy, and minimally invasive
treatments. Switzerland: Springer, 2015:1-11..
6. Mas A, Tarazona M, Dasí Carrasco J, Estaca G, Cristóbal I, Monleón J. Updated
approaches for management of uterine fibroids. Int J Womens Health. 2017;9:607-617.
7. Donnez J. Uterine fibroids and progestogen treatment : lack of evidence of tts efficacy: a
review. J Clin Med. 2020;9(12):3948
8. Flake GP, Andersen J, Dixon D. Etiology and pathogenesis of uterine leiomyomas: a
review. Environ Health. 2003;111(8):1037-49.
9. Laughlin SK, Stewart EA. Uterine leiomyomas: individualizing the approach to a
heterogenous condition. Obstet Gynecol. 2011;117(2):396-403.
10. Breech LL, Rock JA. Leiomyomata uteri and myomectomy. In: Rock JA, Jones HW,
eds. Te Linde’s operating gynecology. 10 th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer,
2008:687- 726.
11. Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG.
Pelvic mass. In: Hoffman BL, ed. Williams Gynecology. 2nd edition. New York: Mc-
Graw Hill, 2012:246-80.
12. Ciarmela P, Ciavattini A, Giannubilo SR, Lamanna P, Fiorini R, Tranquilli AL.
Management of leiomyomas in perimenopausal women. Maturitas 2014;78:168-73.
13. Parker WH. Uterine myomas: management. Fertil Steril. 2007;88(2):255-71.
14. Patel A, Malik M, Britten J, Cox J, Catherino WH. Alternative therapies in management
of leiomyomas. Fertil Steril. 2014;102(3):649-55.
15. Wong L, White N, Ramkrishna J, Araujo J, Meagher S, Costa S. Three- dimensional
imaging of the uterus: the value of the coronal plane. World J Radiol. 2015. 7: 484-493.
16. Putra AD. Ultrasonografi ginekologi I. Edisi ke-2. Jakarta: Divisi Onkologi Departemen
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011:25-34.
17. Jarret, R. et al. A Prospective study of hypertension and risk of uterine leiomyomata.
Am J Epidemiol. 2005 April 1; 161(7): 628–638
18. Nowak RA. Novel therapeutic strategies for leiomyomas: targeting growth factors and
their receptors. Environ Health Perspect. 2000; 108:849–853.
19. Tak YJ, Lee SY, Park SK, Kim YJ, Lee JG, Jeong, DW, et al. Association between
uterine leiomyoma and metabolic syndrome in parous premenopausal women. Medicine.
2016. 95(46), e5325.
35
20. Baird, D. Uterine leiomyomata in relation to insulin-like growth factor-I, insulin, and
diabetes. Epidemiology. 2009 July ; 20(4): 604–610
21. Faerstein E, Szklo M, Rosenshein NB. Risk factors for uterine leiomyoma: a practice-
based case- control study. II. Atherogenic risk factors and potential sources of uterine
irritation. Am J Epidemiol 2001;153:11–19
22. Baziad A, Hestiantoro A, Wiweko B. Panduan tatalaksana perdarahan uterus abnormal.
HIFERI. 2011:1-34.
23. Peura DA. Gastrointestinal safety and tolerability of nonselective nonsteroidal anti-
inflammatory agents and cyclooxygenase-2-selective inhibitors. Cleve Clin J Med.
2002;69:S131–S139.The Society of Obstetricians and Gynaecologist of Canada.
Abnormal uterine bleeding in pre-menopausal women. J Obstet Gynaecol
Can.2013;35(5):S1-S28.
24. Wilkens J, Chwalisz K, Han C. Effects of the selective progesterone receptor modulator
asoprisnil on uterine artery blood flow, ovarian activity, and clinical symptoms in
patients with uterine leiomyomata scheduled for hysterectomy. J Clin Endocrinol Metab.
2008;93(12): 4664–4671.
25. Karaer O, Oru A, Koyuncu FM. Aromatase inhibitors: possible future applications. Acta
Obstet Gynecol Scand. 2004;83(8):699–706.
26. ACOG. Salpingectomy for ovarian cancer prevention. ACOG. 2015; 620:1-4.
27. Kalezic, C. Preoperative preparation of patient with diabetes mellitus. Acta Chirurgica
Iugoslavica . 2011. 8.
28. Papadakos, P. Management of preoperative hypertension. Anesthesiology news special
edition. 2015. 20-24