Anda di halaman 1dari 25

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 3


BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 4
2.1. Anatomi Telinga .......................................................................................................... 4
2.1.1. Telinga ................................................................................................................. 4
2.1.2. Membran Timpani ............................................................................................... 5
2.1.3. Kavum Timpani ................................................................................................... 7
2.1.4. Tuba Eustachius ................................................................................................. 10
2.1.5. Prosesus Mastoideus .......................................................................................... 10
2.2. Fisiologi Pendengaran ................................................................................................... 11
2.3. Otitis Media Efusi ..................................................................................................... 12
2.3.1. Definisi ............................................................................................................... 12
2.3.2. Epidemiologi ...................................................................................................... 12
2.3.3. Etiologi ............................................................................................................... 12
2.3.4. Patofisiologi ....................................................................................................... 13
2.3.5. Klasifikasi .......................................................................................................... 14
2.3.6. Manifestasi Klinis .............................................................................................. 15
2.3.7. Diagnosis............................................................................................................ 15
2.3.8. Tatalaksana ........................................................................................................ 17
2.3.9. Pencegahan ........................................................................................................ 20
2.3.10. Komplikasi ......................................................................................................... 20
2.3.11. Prognosis ............................................................................................................ 21
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23

2
BAB I
PENDAHULUAN

Otitis media efusi (OME) merupakan salah satu penyakit telinga tengah ditandai
dengan akumulasi sekret nonpurulen. Kondisi ini sering ditemukan pada anak balita sebagai
suatu kelainan jangka pendek (short-term) akibat dari infeksi saluran pernapasan atas
menimbulkan kondisi gangguan pendengar berat, keterlambatan bicara dan bahasa hingga
perubahan struktur membran timpani dan tulang pendengaran.
Sekret dapat muncul akibat dari perubahan tekanan hidrostatik menyebabkan
perpindahan plasma dari pembuluh darah menuju telinga tengah, infeksi bakteri atau virus
yang menyebabkan peningkatan produksi dan viskositas mukus, edema mukosa telinga
tengah dan paralisis silia, terganggunya pembersihan mukus telinga tengah membuat
akumlasi cairan. Sekret dapat berupa serosa dan mukoid, jika cairan yang ditemukan dalam
bentuk mukoid berhubungan dengan jangka waktu yang panjang
Akumulasi cairan di telinga tengah menyebabkan penurunan fungsi membran timpani
dan telinga tengah sehingga menyebabkan menurunnya fungsi pendengaran. OME biasanya
tanpa tanda-tanda inflamasi akut seperti pada OMA, sehingga seringkali penanganan yang
diberikan terlambat. Komplikasi yang dapat terjadi berupa hilangnya fungsi pendengaran dan
penyakit dapat berlanjut menjadi otitis media adesiva dan otitis media maligna. pemeriksaan
dengan menggunakan otoskopi dapat memperlihatkan membrane timpani yang berwarna
kuning kemerahan. Pada tes penala, terjadi tuli konduktif dengan test Rinnie negatif, tes
Weber lateralisasi ketelinga yang sakit, dan tes Schwabach memanjang pada telinga yang
sakit. Pemeriksaan penunjuang yang dapat digunakan yaitu timpanimetri dan audiometri.
Oleh karena itu dengan diagnosis dan penanganan yang tepat dapat memulihkan
fungsi pendengaran sehingga memberikan prognosis yang baik.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga


2.1.1. Telinga
Telinga terbagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus
akustikus eksternus) dan membran timpani. Telinga tengah terdiri dari tulang
– tulang pendengaran (malleus, incus, stapes), mastoid antrum, tuba
eustachius, foramen rotundum, foramen ovale dan tegmen timpani. Telinga
dalam terdiri dari labirin tulang (vestibuli, kanalis semisirkularis, koklea) dan
labirin membran (ductus koklearis, utriculus, sakulus, ductus semisirkularis,
ductus dan sakus endolimfatik).
Bentuk telinga tengah terlihat seperti bangun ruang kubus yang memiliki
beberapa sisi dengan batas – batasnya, Batas – batas telinga tengah sebagai
berikut: (1)
 Batas luar : Membran timpani
 Batas depan : Tuba eustachius
 Batas bawah : Vena jugularis
 Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars
vertikalis
 Batas atas : Tegementum timpani
 Batas dalam : Semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, oval
windom, round window dan promontorium

4
Gambar 2.1 Anatomi Telinga

Gambar 2.2 Batas – Batas Telinga Tengah

2.1.2. Membran Timpani


Membran timpani adalah sebuah lapisan yang dibentuk dari dinding lateral
kavum timpani dan menjadi batas pemisahkan telinga luar dan telinga tengah.
Membran ini mempunyai panjang vertikal rata – rata 9-10 mm dan diameter
antero-posterior 8-9 mm dengan ketebalan rata – rata 0,1 mm. Letak membran
timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga namun sedikitmiring yang
arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan sudut 45o dari dataran sagital
dan horizontal. Membran timpani memiliki bentu kerucut, dimana bagian
puncak dari kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan
umbo. Dari umbo kemuka bawah tampak refleks cahaya (cone of light).
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu:

5
 Stratum kutaneum (lapisan epitel) yang berasal dari liang telinga
 Stratum mukosum (lapisan mukosa) yang berasal dari kavum timpani.
 Stratum fibrosum (lamina propria) terletak di antara stratum kutaneum
dan mukosum. Lamina propria yang terdiri dari dua lapisan anyaman
penyambung elastis yaitu:
o Bagian dalam berbentuk sirkuler

o Bagian luar berbentuk radier


Secara anatomis membrane timpani dibagi menjadi 2 bagian:

 Pars tensa, bagian terbesar dari membran timpani dengan permukaan


yang tegang dan bergetar dan melekat pada anulus fibrosus pada sulkus
timpanikus bagian dari tulang temporal
 Pars flaksida atau membran shrapnel, letaknya dibagian atas muka dan
lebih tipis dari pars tensa dan pars flaksida oleh 2 lipatan yaitu: Plika

maleolaris anterior (lipatan muka). 
 Plika maleolaris posterior (lipatan

belakang).
Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang
dinamakan sulkus timpanikus. Bagian atas muka tidak terdapat sulkus ini dan
bagian ini disebut insisura timpanika (rivini). Permukaan luar dipersyarafi oleh
cabang n. aurikulo temporalis dari n. mandibula dan n. vagus. Permukaan
dalam dipersyarafi oleh n. timpani cabang dari n. glossofaringeal. Pembuluh –
pembuluh epidermal berasal dari aurikula cabang dari a. maksilaris interna.
Permukaan mukosa telinga tengah diperdarahi oleh timpani anterior cabang
dari a. maksilaris interna dan oleh stylomastoid cabang dari a. aurikula
posterior.(2)

Gambar 2.3 Anatomi Membran Timpani


6
2.1.3. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak dalam pars petrosa dari tulang temporal, berbentuk
bikonkaf atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal
15 mm sedangkan diameter transversalnya 2-6 mm. Kavum timpani
mempunyai 6 dinding yaitu: bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding
medial, dinding anterior dan dinding posterior.
 Atap kavum timpani, dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut
tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fossa

kranial dan lobus temporalis dari otak. 


 Lantai kavum timpani, dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai
kavum timpani dari bulbus jugularis atau tidak ada tulang sama sekali
hingga infeksi dari kavum timpani mudah merembet ke bulbus vena

jugularis. 


 Dinding medial, dinding yang memisahkan kavum timpani dari telinga


dalam. Dinding ini terdiri dari kanalis semisirkularis horizontal, kanalis
fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window)

dan promontorium. 


 Dinding posterior, dekat keatap dan mempunyai satu saluran disebut aditus
ad antrum, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid
melalui epitympanum. Dibawah aditus terdapat lekukan kecil yang
dinamakan fossa inkudis yang merupakan suatu tempat prosesus brevis

dari inkus dan melekat pada serat – serat ligamen. 


 Dinding anterior, tempat bertemunya dinding medial dan dinding lateral


kavum timpani. Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba
eustachius. Tuba ini berhubungan dengan nasofaring dan mempunyai 2
fungsi. Pertama, menyeimbangkan tekanan membran timpani pada sisi
sebelah dalam, kedua sebagai drainase sekresi dari telinga tengah,
termasuk sel – sel udara mastoid.
 Dinding lateral, mempunyai 2 bagian yaitu tulang dan membran. Bagian
tulang berada di atas dan bawah membran timpani.
7
Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
 Epitimpanum, berada dibagian atas membran timpani. Disebut juga atik
karena terletak diatas membran timpani. Sebagian besar atik diisi oleh
maleus inkus.
 Mesotimpanum, medial dari membran timpani. Di sebelah anterior dinding
mesotimpani terdapat orifisium timpani tuba eustachius pada bagian
superior dan membentuk bagian tulang dinding saluran karotis ascendes.
 Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus, terletak di bawah membran

timpani dan berhubungan dengan bulbus jugular. 


Kavum timpani terdiri dari:


 Tulang – tulang pendengaran (malleus, inkus, stapes):
o Malleus (hammer/martil), tulang yang paling besar diantara semua
tulang – tulang pendengaran dan terletak paling lateral, leher dan
prosesus brevis (lateral), prosesus anterior, lengan (manubrium).
Panjang kira – kira 7,5-9,0 mm. Kepala terletak pada epitimpanum
atau di dalam rongga atik, sedangkan leher terletak dibelakang pars
flaksida membran timpani. Manubrium terdapat dalam membran

timpani, bertindak sebagai tempat perlekatan serabut – serabut 


tunika propria.
o Inkus (anvil/landasan), terdiri dari badan inkus (corpus) dan 2 kaki

yaitu: 
 prosesus brevis dan prosesus longus. Sudut antara prosesus

brevis dan longus 12 membentuk sudut lebih kurang 100o. Inkus


berukuran 4,8 mm x 5,5 mm. Inkus terletak pada epitimpanum,
dimanan prosesus brevis menuju antrum, prosesus longus jalannya
sejajar dnegan manubrium dan menuju ke bawah. Malleus dan
inkus berkerja sebagai 1 unit memberikan respon rotasi terhadap
gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang merupakan
suatu aksis yang merupakan suatu garis antara ligamentum maleus
anterior dan ligamentum inkus pada ujung prosesus brevis. Gerakan
– gerakan tersebut tetap dipelihara berkesinambungan oleh
inkudomaleus. Gerakan rotasi tersebut diubah menjadi gerakan
seperti piston pada stapes melalui sendi inkudostapedius.
8
o Stapes, tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti
sanggurdi beratnya 2,5 mg dan tingginya 4-4,5 mm. Stapes terdiri
dari kepala, leher, krura anterior dan posterior dan telapak kaki
(foot plate) yang melekat pada foramen ovale dengan perantara
ligamentum anulare.
 Otot – otot pada kavum timpani dapat dibagi menjadi 2 yaitu, otot
tensor timpani dan otot stapedius. Otot tensor timpani menyebabkan
membran timpani tertarik kearah dalam sehingga menjadi lebih tegang
dan meningkatkan frekuensi resonansi sistem penhantar suara serta
melemahkan suara dengan frekuensi rendah. Otot stapedius
menyebabkan keadaan stapes kaku sehingga memperlemah transmisi
suara dan meningkatkan frekuensi resonansi tulang – tulang
pendengaran.
 Saraf korda timpani dan pleksus timpanikus:
o Saraf korda timpani merupakan cabang dari n. fasialis masuk ke
kavum timpani dari kanalikulus posterior yang menghubungkan
dinding lateral dan posterior. Korda timpani juga mengandung
jaringan sekresi parasimpatetik yang berhubungan dengan kelenjar
ludah sublingual dan submandibular melalui ganglion
submandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3

depan lidah bagian anterior.


o Pleksus timpanikus berasal dari n.timpani cabang dari n.


glosofaringeus dan dengan n. karotikotimpani berasal dari pleksus
simpatetik disekitar a. karotis interna.
Pendarahan kavum timpani adalah pembuluh – pembuluh darah yang
memberikan vaskularisasi kavum timpani adalah arteri- arteri kecil yang
melewati tulang yang tebal. Sebagian besar pembuluh darah yang menuju
kavum timpani berasal dari cabang a. karotis eksterna. Pembagian pendarahan
kavum timpani sebagai berikut:
 Pada daerah anterior, pendarahan didapatkan dari a. timpanika anterior
yang merupakan cabang dari a. maksilaris interna yang masuk ke
telinga tengah melalui fisura petrotimpanika.
 Pada daerah posterior, pendarahan didapatkan dari a. timpanika
9
posterior yang merupakan cabang dari a. mastoidea yaitu a.
stilomastoidea.
 Pada daerah superior, pendarahan didapatkan dari a. meningea media
juga a. petrosa superior, a. timpanika superior dan ramus inkudomalei.
 Pembuluh vena kavum timpani berjalan bersama – sama dengan
pembuluh arteri menuju pleksus venosus pterygoid atau sinus petrosus
superior.
 Pembuluh getah bening kavum timpani masuk ke dalam pembuluh
getah bening retrofiring atau ke nodulus limfatikus parotis. (3)

2.1.4. Tuba Eustachius


Tuba eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani. Tuba ini
menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring. Tuba dapat dibagi
menjadi 2 bagian yaitu:
 Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian)
 Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian)
 Otot-otot yang berhubungan:
o Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu, m. tensor veli
palatini, m. elevator veli palatine, m. tensor timpani dan m.
salpingofaringeus.
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan
keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara
luar, drainase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi
masuknya secret dan nasofaring ke kavum timpani.(3,4)

2.1.5. Prosesus Mastoideus


Rongga mastoid berbentuk seperti segitiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah
dinding lateral fossa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah
duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad
antrum. Aditus antrum mastoid adalah suatu pintu yang irregular berasal dari
epitimpanum posterior menuju rongga rongga antrum yang berisi udara dan
10
sering disebut sebagai aditus ad antrum. Antrum mastoid adalah sinus yang
berisi udara di dalam pars petrosa tulang temporal. Berhubungan dengan
telinga tengah melalui aditus dan mempunyai sel – sel udara mastoid yang
berasal dari dinding – dindingnya.
Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga.
Pneumatisasi didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan atau
perkembangan rongga – rongga udara di dalam tulang temporal, dan sel – sel
udara yang terdapat di dalam mastoid adalah sebagian dari sistem
pneumatisasi yang meliputi banyak bagian dari tulang temporal. Menurut
derajatnya pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas: (4)
 Prosesus mastoideus kompakta (sklerotik), dimana tidak ditemui sel –
sel.
 Prosesus mastoideus spongiosa, dimana terdapat sel – sel kecil saja.
 Proses mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel – sel
disini besar.

2.2. Fisiologi Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrane timpani dan
tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes
yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane reissner yang mendorong cairan
endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus
temporalis.(1)
11
Gambar 2.4 Fisiologi Pendengaran

2.3. Otitis Media Efusi


2.3.1. Definisi
Otitis media adalah radang pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media
efusi adalah sebuah keadaan akumulasi sekret nonpurulen dalam rongga
telinga tengah dengan kondisi tanpa gejala, peradangan, infeksi dan kondisi
membran timpani yang utuh. (5)

2.3.2. Epidemiologi
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat ditemukan 50-90% anak
berusia dibawah 5 tahun terjangkit otitis media efusi dengan rata-rata
jangka waktu perjalanan penyakit selama 17 hari, 25% anak berusia
dibawah 9 tahun dilakukan otoskopi ditemukan otitis media efusi dan otitis
media akut, diantaranya sebanyak 13-21 % ditemukan pada kedua telinga
(bilateral). 32% kasus otitis media efusi terjadi pemberian terapi yang tidak
sesuai sehingga menimbulkan kondisi rekurensi dan resistensi. Sebanyak 2-
35 anak dari 10.000 mengalami hilang pendengaran akibat otitis media.(6)

2.3.3. Etiologi
Terdapat beberapa penyebab utama terjadinya otitis media efusi yaitu:
Keganasan lokal seperti karsinoma nasofaring dan sinonasal malignancy
dapat menimbulkan akumulasi cairan di telinga tengah akibat disfungsi tuba
akibat kerusakan otot dan perpindahan cairan langsung menuju telinga

12
tengah. Disfungsi tuba eustachia salah satu penyebab paling kuat terjadinya
otitis media efusi pada orang dewasa dan anak-anak, akibat disfungsi tuba
menyebabkan tekanan negative pada rongga telinga tengah sehingga cairan
terakumulasi, cairan muncul akibat peningkatan permeabilitas tekanan
darah yang membuat plasma dalam darah keluar (berdifusi). Pada anak-
anak sering terjadi kondisi otitis media efusi akibat struktur anatomis dari
tuba eustachius yang pendek, posisi mengarah horizontal dan lumen yang
kecil akibatnya jika terjadi inflamasi mudah terjadi obstruksi. Pada orang
perokok dapat menyebabkan kerusakan pada sistem silia sehingga
pembersihan sekret di dalam telinga tidak dapat berjalan dengan baik.(7,8)

2.3.4. Patofisiologi
Patofisiologi otitis media efusi melibatkan banyak faktor, antara lain infeksi
virus atau bakteri, gangguan tuba eustachius, imunologi, alergi, faktor
linkungan dan sosial. Otitis media efusi dapat terjadi selama resolusi otitis
media akut (OMA). Gangguan fungsi tuba dan alergi diperkirakan paling
sering berperan dalam mekanisme terjadinya otitis media efusi. Gangguan
fungsi tuba menyebabkan mekanisme aerosi ke rongga telinga tengah
terganggu, sehingga drainase dari rongga telinga ke rongga nasofaring ikut
terganggu. Akibat gangguan tersebut rongga telinga tengah akan mengalami
tekanan negatif. Tekanan negatif ditelinga tengah menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan selanjutnya terjadi transudasi.
Kemudian terjadi infiltrasi sel-sel inflamasi dan sekresi kelenjar. Akibatnya
terdapat akumulasi sekret di rongga telinga tengah. Infalamasi kronis di
telinga tengah akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis
dan destruksi tulang.9,10
Obstruksi tuba Eustachius menimbulkan terjadinya tekanan negatif di
telinga tengah akan diikuti dengan terjadinya retraksi membran timpani.
Pada orang dewasa biasanya akan mengeluhkan adanya rasa tidak nyaman,
rasa penuh atau rasa tertekan dan akibatnya timbul gangguan pendengaran
ringan dan tinitus. Jika keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu lama,
cairan akan tertarik keluar dari membran mukosa telinga tengah,
menimbulkan keadaan yang kita sebut dengan otitis media serosa. Kejadian
13
ini sering timbul pada anak-anak yang berhubungan dengan infeksi saluran
napas atas.10,11
Infeksi bakteri merupakan faktor penting dalam patogenesis OME.
Streptococus pneumonia, haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis
dikenal sebagai bakteri patogen terbanyak ditemukan di dalam telinga
tengah. Terdapatnya bakteri tersebut didalam telinga tengah menyebabkan
peradangan mukosa. Mediator inflamasi yang dilepaskan merupakan akibat
adanya antigenik bakteri yang menginduksi regulasi musin. Produksi efusi
musin yang banyak kemudian menyediakan media untuk proliferasi musin
sehingga menyebabkan otitis media akut.(10,11)
Faktor imunologis yang berperan dalam OME adalah sekretori IgA.
Imunoglobulin ini diproduksi oleh kelenjar didalam mukosa kavum
timpani. Sekretori IgA terutama ditemukan pada efusi mukoid dan dikenal
sebagai suatu imuniglobulin yang aktif bekerja dipermukaan mukosa
respiratorik. Ig A bekerja untuk menghadang kuman agar tidak terjadi
kontak langsung dengan epitel, dengan cara membentuk ikatan komplek.
Kontak langsung dengan dinding sel epitel adalah tahap pertama dari
penetrasi kuman untuk menyebabkan infeksi jaringan. Dengan demikian
IgA aktif mencegah infeksi kuman.10 Faktor alergi dalam menyebabkan
terjadinya OME masih belum jelas, akan tetapi secara klinis alergi
memegang peran. Hal ini dapat terjadi karena embriologi mukosa kavum
timpani sama dengan mukosa hidung, sehingga manifestasi alergi pada tuba
Eustachius merupakan penyebab oklusi kronis dan selanjutnya
menyebabkan efusi. Namun dari penelitian kadar IgE yang menjadi kriteria
alergi atopik, baik kadarnya dalam efusi maupun dalam serum tidak
menunjang sepenuhnya alergi sebagai penyebab. Faktor lingkungan dan
sosial ekonomi juga dapat mempengaruhi patogenesis OME, seperti : faktor
musim, riwayat alergi, tingkat kelembaban, aksesibilitas pelayanan
kesehatan, status sosial ekonomi, durasi menyusui, kebiasaan tidak higienis,
perokok pasif dan refluks gastroesofagus.9

2.3.5. Klasifikasi

Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi atas 2 jenis:


14
 Otitis media serosa akut
Adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba
yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Keadaan akut ini dapat
disebabkan antara lain oleh:
o Sumbatan Tuba
Pada keadaan tersebut terbentuknya cairan di telinga tengah
disebabkan oleh tersumbatnya tuba secara tiba-tiba oleh barotrauma.
o Virus
Terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan
infeksi virus pada jalan napas atas.
o Alergi
Terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan
keadaan alergi pada jalan napas atas
o Idiopatik
 Otitis media serosa kronik (glue ear)
Batasan antara kondisi otitis media serosa akut dengan otitis media
kronik hanya pada cara terbentuknya sekret. Pada otitis media serosa
akut sekret terjadi secara tiba – tiba di telinga tengah disertai rasa nyeri
pada telinga, sedangkan pada keadaan kronis, sekret terbentuk secara
bertahap tanpa rasa nyeri dengan gejala-gejala pada telinga yang
berlangsung lama. Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental
seperti lem sehingga maka disebut glue ear. Otitis media serosa kronik
dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis media akut yang tidak
sembuh sempurna. (1)

2.3.6. Manifestasi Klinis


Otitis media efusi tidak menimbulkan gejala yang spesifik, sehingga pada
anak-anak sering terlambat diketahui. Gejala OME dapat ditandai dengan
rasa penuh dalam telinga, terdapat bunyi berdengung yang hilang timbul
atau terus menerus, gangguan pendengaran, dan rasa nyeri yang ringan.
Gejala OME kadang bersifat asimtomatik.(10)

2.3.7. Diagnosis
Otitis media efusi dapat didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
15
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Namun pemeriksaan fisik pada anak
penderita OME berpotensi tidak akurat karena subjektif gambaran membran
timpani sulit dinilai. Berdasarkan anamnesis, keluhan pasien penderita
OME yaitu berkurang sampai hilangnya pendengaran, rasa penuh atau
tersumbat ditelinga. Pada otitis media serosa akut juga terjadi diplacius
binauralis yaitu suara sendiri terdengar lebih nyaring pada telinga yang
sakit. Pasien mengeluhkan terdapat cairan yang bergerak didalam telinga
saat posisi kepala berubah. Pada beberapa pasien terdapat vertigo dan
tinnitus. Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu otoskopi atau tes penala.
Pada pemeriksaan otoskopi dapat terlihat membran timpani yang kelabu
atau menguning yang telah kekurangan pergerakan. Jika membran timpani
translusen, maka dapat terlihat air fluid level pada telinga tengah. Pada
otitis media efusi yang sudah lama, membran timpani pada otoskop terlihat
masih utuh tetapi suram, berwarna kuning kemerahan atau keabu-abuan.
Tes penala pada penderita OME dapat ditemukan terjadinya tuli konduktif
dengan test Rinnie negatif, tes Weber lateralisasi ke telinga yang sakit, dan
tes Schwabach memanjang pada telinga yang sakit.(12,13)

Gambar 2.5 Air fluid level pada membran timpani

Gambar 2.6 Membran timpani berwarna kuning kemerahan

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu


16
timpanometri dan audiometri. Pada timpanometri, dengan mengukur
kompliens dari transformer telinga tengah. Timpanometri akan
memperlihatkan sebuah puncak (misalnya pada kompliens maksimal)
ketika tekanan di kanalis akustik eksternal sama dengan di telinga tengah.
Dengan membedakan tekanan telinga luar, apabila terjadi efusi maka
kompliensnya tidak akan bervariasi dengan perubahan telinga luar atau
dapat terbentuk flat timpanogram (B). Jika tekanan telinga tengah sama atau
mendekati tekanan atmosfer, terbentuk timpanogram normal (A). Jika
tekananya negatif maka akan terbentuk puncak kompliens yang berada
dibawah -99daPa (C). Pada audiometri, pasien dengan otitis media efusi
biasanya terdapat tuli konduktif yang moderate. Audiometri dapat
menentukan tingkat keparahan kehilangan pendengaran dan menyediakan
informasi yang berguna pada pengambilan keputusan dalam menajeman
terapi. (14)

Gambar 2.7 Timpanogram

2.3.8. Tatalaksana
Prinsip tata laksana otitis media efusi (OME) pada dasarnya adalah
identifikasi penyebab OME, evakuasi cairan, tatalaksana penyebab dan
pencegahan kekambuhan. Hal ini dapat dicapai melalui pengobatan
medikamentosa, pembedahan atau kombinasi keduanya. (15)
 Tatalaksana Medikamentosa
Kebanyakan pasien dengan otitis media efusi tidak memerlukan
terapi, terutama jika gangguan pendengarannya ringan dikarenakan
resolusi spontan sering terjadi. Oleh karena itu pasien hanya perlu
17
diobservasi dalam 3 bulan pertama sejak ditegakkan diagnosis otitis
media efusi. Dalam jangka waktu tersebut, Menurut studi, cairan dapat
menghilang hingga 90 persen. Jika cairan tetap bertahan setelah 3 bulan
(6)
maka perlu dilakukan tindakan pembedahan dan tes pendengaran.
Tatalaksana medikamentosa dari otitis media efusi (OME) meliputi
penggunaan antibiotik, steroid, antihistamin dan dekongestan, serta
mukolitik. Antibiotik diberikan jika otitis media efusi menunjukkan
terdapatnya bakteri pathogen. Penelitian eritromisin, sulfisoxazole,
amoksisilin, amoksisilin-klavulanat, dan trimetoprim-
sulfametoksazol telah menunjukkan tingkat kesembuhan lebih
cepat dibandingkan dengan placebo. Pada anak ampisilin dapat
diberikan dengan dosis 50 – 100 mg/kgBB per hari, atau amoksisilin 40
mg/kgBB per hari atau eritromisin 40 mg/kgB per hari. Hasil penelitian
terkini, membuktikan bahwa penggunaan antibiotik terbukti efektif
hanya pada sejumlah kecil pasien. Oleh karena itu, penggunaan
antibiotik tidak selalu mutlak dimana efek sampingnya seperti
gastroenteritis dan risiko resistensi tidak sebanding dengan
(1,16)
keefektifannya. Dalam 3 uji klinis plasebo terkontrol secara
acak, otitis media efusi tidak membaik dengan hanya steroid oral dalam
waktu 2 minggu pengobatan. Ketika steroid oral dikombinasikan
dengan antibiotik, tingkat kesembuhan efusi telinga tengah tidak
menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan dengan hanya
memakai antibiotik. Studi lain menemukan bahwa steroid topikal
intranasal saja atau kombinasi dengan antibiotik tidak memiliki
manfaat jangka pendek maupun jangka panjang dalam tatalaksana
otitis media efusi. Studi besar terkontrol secara acak dari 430
anak - anak mengungkapkan bahwa tingkat penyembuhan otitis
media efusi tidak meningkat secara signifikan dengan mukolitik.
Dekongestan dapat diberikan melalui tetes hidung, atau kombinasi anti
histamin dengan dekongestan oral namun antihistamin maupun
dekongestan tidak berguna bila tidak ada kongesti nasofaring. Oleh
karena itu sebuah konferensi konsensus internasional dari International
Federation of Oto-rhino-laryngological Societies Congress 2017 tidak
18
merekomendasikan pengobatan otitis media efusi dengan menggunakan
steroid, antibiotik, dekongestan, atau antihistamin, dengan menyebutkan
kekhawatiran mengenai efek samping dan biaya, serta kurangnya bukti
untuk efektivitas terapi jangka panjang Pembedahan menjadi terapi
yang paling banyak diterima untuk otitis media efusi persisten
/kronik (OME) dan ini jelas lebih efektif. (17,18)

 Pembedahan
Tatalaksana pembedahan dianjurkan untuk pasien yang telah mengalami
OME persisten/ lebih dari 3 bulan yang tidak membaik, gangguan
pendengaran (> 40 db). Pilihan terapi pembedahan untuk pasien OME
adalah miringitomi dan memasang pipa ventilasi (Grommet)/tuba
timpanostomi untuk memberikan ventilasi rongga telinga tengah yang
bertujuan untuk meningkatkan ambang batas pendengaran. Grommet
perlu dipasang dalam waktu yang cukup lama, yaitu selama minimal 4-6
bulan. Durasi pemasangan tuba ini berbeda-beda pada tiap kasus.
Penelitian menunjukkan bahwa durasi pemasangan tuba selama 4 bulan
menunjukkan resolusi OME pada 80% kasus. Studi lain yang dilakukan
oleh Gates et al menunjukkan tindakan miringitomi diikuti
pemasangan tuba timpanostomi, dapat mempercepat perbaikan
pendengaran, mempersingkat durasi penyakit, mengurangi angka
rekuren. Miringotomi adalah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani agar terjadi drenase sekret dari telinga tengah ke liang telinga
luar. Lokasi miringotomi adalah di kuadran posterior – inferior. Untuk
tindakan ini harus memakai lampu kepala yang mempunyai sinar cukup
terang, memakai corong telinga yang sesuai dengan besar liang telinga,
dan pisau khusus (miringotom) yang digunakan berukuran kecil dan
steril. Luka insisi setelah miringitomi biasanya sembuh dalam
1minggu, namun, biasanya disfungsi tuba eustachius membutuhkan
waktu lebih lama untuk sembuh (biasanya 6 minggu). Oleh karena ini,
tindakan miringitomi saja, akan meningkatkan angka rekurens sehingga
19
perlu dilakukan juga pemasangan tuba timpanostomi. Komplikasi
miringitomi yang mungkin terjadi adalah perdarahan akibat trauma pada
liang telinga luar, dislokasi tulang pendengaran, trauma pada saraf
(1,19)
fasialis. Menurut The American Academy of Family Physicians
(AAFP), American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery (AAO-HNS), dan American Academy of Pediatrics (AAP),
Jika terdapat indikasi operasi pada seorang anak, miringitomi dan
pemasangan pipa ventilasi adalah prosedur awal yang sering dipakai,
dan Adenoidektomi tidak boleh dilakukan pada anak dibawah 4 tahun,
kecuali terdapat indikasi misalnya, sumbatan hidung, dan adenoiditis
kronis.(6)

Gambar 2.8 Miringotomi

2.3.9. Pencegahan
Pencegahan merujuk pada mengendalikan atau menghilangkan faktor
risiko, antara lain yaitu (20)
 Menghindari rokok atau asap rokok
 Melengkapi vaksinasi seperti vaksi flu dan pneumococcal untuk
mencegah infeksi telinga.
 Sering mencuci tangan
 Menghindari allergen yang diketahui
 Makan makanan yang bernutrisi, istirahat yang cukup untuk
meningkatkan imunitas
 Memberikan ASI eksklusif.
 Menghindari paparan dengan pengidap otitis media

2.3.10. Komplikasi
20
Komplikasi dari OME dapat mengakibatkan hilangnya fungsi pendengaran
sehingga akan mempengaruhi perkembangan bicara dan intelektual pada
anak. Perubahan yang terjadi pada telinga tengah dapat mengakibatkan
penyakit berlanjut menjadi otitis media adhesiva dan otitis media kronis
maligna.(10)

2.3.11. Prognosis
Secara umum, prognosis pasien dengan otitis media efusi tergolong baik.
Sebagian besar kasus otitis media dengan efusi hilang dengan sendirinya
dalam beberapa minggu atau bulan. Pengobatan dapat mempercepat proses
penyemuhan. Kebanyakan pasien tidak memiliki efek jangka panjang pada
telinga, pendengaran, atau kemampuan berbicara mereka. (21)

21
BAB III
KESIMPULAN

Otitis media efusi adalah sebuah keadaan akumulasi sekret nonpurulen dalam rongga
telinga tengah dengan kondisi tanpa gejala, peradangan, infeksi dan kondisi membran
timpani yang utuh. Disfungsi tuba eustachia salah satu penyebab paling kuat terjadinya
otitis media efusi pada orang dewasa dan anak-anak, akibat disfungsi tuba menyebabkan
tekanan negative pada rongga telinga tengah sehingga cairan terakumulasi, cairan muncul
akibat peningkatan permeabilitas tekanan darah yang membuat plasma dalam darah
keluar (berdifusi).

Gejala otitis media efusi (OME) dapat ditandai dengan rasa penuh dalam telinga,
terdapat bunyi berdengung yang hilang timbul atau terus menerus, gangguan
pendengaran, dan rasa nyeri yang ringan. Gejala OME kadang bersifat asimtomatik. Pada
pemeriksaan otoskopi dapat terlihat membrane timpani yang kelabu atau menguning yang
telah kekurangan pergerakan. Jika membrane timpani translusen, maka dapat terlihat air
fluid level pada telinga tengah. Pada otitis media efusi yang sudah lama, membran
timpani pada otoskop terlihat masih utuh tetapi suram, berwarna kuning kemerahan atau
keabu-abuan. Tes penala pada penderita OME dapat ditemukan terjadinya tuli konduktif
dengan test Rinnie negative, tes Weber lateralisasi ke telinga yang sakit, dan tes
Schwabach memanjang pada telinga yang sakit

Prinsip tata laksana otitis media efusi (OME) pada dasarnya adalah identifikasi
penyebab OME, evakuasi cairan, tatalaksana penyebab dan pencegahan kekambuhan.
22
Hal ini dapat dicapai melalui pengobatan medikamentosa, pembedahan atau kombinasi
keduanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sospardi E. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. 7th
ed. Badan Penerbit FKUI; 2015.
2. Boies A. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. EGC; 2014.
3. Dhingra S. Diseases of Ear, Nose, Throat, Head and Neck surgery. 6th ed. Elsevier; 2014.
4. Bansal M. Textbook of Ear, Nose & Throat with Head & Neck Surgery. 2nd ed. Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2013
5. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta
6. Rosenfeld R, Shin J, Schwartz S, Coggins R, Gagnon L, Hackell J et al. Clinical Practice
Guideline: Otitis Media with Effusion (Update). Otolaryngology–Head and Neck
Surgery. 2016;154(1_suppl):S1-S41.
7. Pang KP, Ang AHC, Tan HKK, Orl F. Otitis Media with Effusion : An Update.
2002;57(3):376–83.
8. Mills R, Hathorn I. Aetiology and pathology of otitis media with effusion in adult life.
2019;(March 2016):418–24.
9. Mario E Zernotti et al., “Otitis Media with Effusion and Atopy : Is There a Causal
Relationship ?”. 2017: 1–9.
10. Soepriyadi, Agus Widodo. Diagnosis Otitis Media Efusi. Available at
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl1edef339ab2full.pdf. Access on 27th,
2019
11. Thrasher RD. Otitis Media With Effusion. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/858990-overview#a3. Access on 26th April 2019
12. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A step-by-step Learning Guide. 2006.
New York: Thieme.
13. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 23
Second edition. 2008. New York: McGraw Hill.
14. Richard M Rosenfeld et al., Clinical Practice Guideline : Otitis Media with Effusion ( Update ),
2016.
15. Ibekwe T, Nwaorgu O. Classification and management challenges of otitis media in a
resource-poor country. 2019.
16. Sumit K Agrawal, Aguila J Demetrio, Ahn S Min, et al. Current Diagnosis &
Treatment –Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2th ed. USA: Mc Graw Hill. 2008
17. Simon F, Haggard M, Rosenfeld RM, et al. International consensus (ICON) on
management of otitis media with effusion in children. Eur Ann Otorhinolaryngol Head
Neck Dis. 2018 Feb. 135 (1S):S33-9.
18. Otitis Media With Effusion Treatment & Management: Overview of Medical and
Surgical Approaches, Modification of OME Risk Factors, Pharmacotherapy [Internet].
Emedicine.medscape.com. 2019 [cited 26 April 2019]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/858990-treatment
19. Ferdian R, Anggareni R, Affriani Y. Pemasangan Grommet Pada Pasien Otitis Media
Efusi Dengan Riwayat Karsinoma Nasofaring Pasca Radioterapi. Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran. 2015;13.
20. Adams L George, 1R Lawrence, Higler A Peter. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC. 1997: 88-118
21. staff f. Otitis Media (with Effusion) - Symptoms - Treatment | familydoctor.org [Internet].
familydoctor.org. 2019 [cited 26 April 2019]. Available from:
https://familydoctor.org/condition/otitis-media-with-effusion/

24
25

Anda mungkin juga menyukai