Anda di halaman 1dari 17

BAB I

ILUSTRASI KASUS
1.1. Identitas Pasien
Nama : Bpk. MH
Tempat/tanggal lahir : Surabaya, 5 Juni 1967
Usia : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : swasta
Alamat : Jalan Jaha Cilandak Timur
Status Perkawinan : Sudah menikah
No. MR : 4181**

1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 13 Mei 2019 di
ruang poliklinik Kulit dan Kelamin

1.2.1. Keluhan Utama


Lepuh di mata kaki kiri sejak 3 hari dan di kelamin 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan lepuh pada mata kaki kiri sejak 3 hari yang lalu. Awalnya
pasien merasa gatal di bagian mata kaki kiri, kemudian menjadi kemerahan dan terlihat melepuh.
Hal serupa juga terjadi pada kemaluan pasien sejak 2 hari yang lalu, tetapi lepuh pecah karena
bergesekkan dengan celana pasien. Menurut pasien gatal sering muncul walau pasien sedang
tidak beraktifitas, seperti sedang menonton dan tidur, sehingga pasien sulit tidur, namun jika
berjalan gatal yang dirasakan berkurang. Pada saat muncul gatal, pasien tidak berani menggaruk.
Selain gatal, pasien juga merasa pedih dan panas pada bagian yang melepuh, pedih yang
dirasakan muncul jika memakai celana dan bergesekkan dengan celana. 2 minggu yang lalu,
pasien mengonsumsi obat ultraflu karena mengalami gejala flu. Pasien mengaku suka meminum
jamu, terakhir meminumnya 1 minggu yang lalu dan lupa nama jamu yang diminumnya. Pasien
menyangkal menggunakan sepatu yang sempit saat beraktifitas. Paisen tidak sedang mengalami
batuk, flu, dan demam. Pasien tidak mengeluhkan nyeri saat buang air kecil. Tidak ada nanah
yang keluar dari penis, dan tidak berganti-ganti paasangan seks.

1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, asma, dan
alergi. Pasien mengatakan 2 tahun yang lalu mengalami keluhan yang serupa tetapi lepuh hanya
muncul di mata kaki kiri. Pasien tidak ingat obat-obat apa saja yang dikonsumsi pada waktu itu.

1.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat dengan keluhan yang serupa. Riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, asama, alergi dan penyakit kulit sebelumnya
dalam keluarga disangkal.

1.2.5. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan


Tidak ada teman atau tetangga pasien yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
Pasien memiliki kebiasaan merokok, tetapi tidak meminum alkohol maupun obat-obatan
terlarang.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tanda – tanda vital:
● Tekanan darah : 120/80 mmHg
● Pernapasan : 19 x/menit
● Nadi : 85 x/menit
● Suhu tubuh : 36,70C
1.3.1. Status Generalis
Kulit Pigmentasi kulit seragam warna sawo matang, sianosis (-), kekuningan (-),
keseluruhan edema (-), lesi (+)

Kepala Normosefali

Rambut: rambut tersebar merata, warna hitam, kuat, tidak mudah rontok

Kulit kepala: lesi (-), massa (-), kekuningan (-), edema (-)

Mata Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Pupil: bulat isokor, 3 mm/3 mm

THT Telinga: bentuk dan ukuran normal, serumen (-)

Hidung: bentuk dan ukuran normal, septum ditengah, sekret (-), darah (-),
mukosa hiperemis (-), napas cuping hidung (-)

Tenggorok: bibir normal, mukosa lembab, ulkus (-), geographic tongie (-),
tonsil T1/T1, detritus (-), faring hiperemis (-)

Leher Pembersaran KGB (-), pembersaran tiroid (-), deviasi trakea (-)

Thorax Paru I: Perkembangan dinding dada simetris dan dinamis, retraksi (-),
deformitas (-), lesi (-)

P: Perkembangan dada simetris, taktil fremitus simetris kanan dan kiri

P: Sonor pada seluruh lapang paru

A: suara vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung I: iktus kordis tidak terlihat

P: ikuts kordis tidak teraba

P: tidak dilakukan

A: suara S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)


Abdomen I: Datar, bekas luka (-), striae (-), caput medusa (-), spider nevi (-), lesi (-)

A: bising usus (+) normal, metalic sound (-), bruit (-)

P: timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok CVA (-/-)

P: nyeri tekan (-), pembesaran hepar tidak teraba, pembesaran lien tidak
teraba

Extremitas atas I: pigmentasi kulit seragam, deformitas pada jari (-), sianosis (-),
dan bawah kekuningan (-), edema (-), clubbing finger (-), lesi (+) unilateral pada
area area pedis lateral sinistra.

P: Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-)

1.3.2. Status Dermatologis

Regio pedis lateral sinistra, tampak patch eritema-keunguan berbentuk bulat,


sirkumskrip, dengan bula dibagian tengah.
1.4. Resume
Pasien, laki-laki usia 39 tahun, datang dengan keluhan lepuh pada bagian mata kaki kiri
sejak 3 hari dan pada kelamin sejak 2 hari yang lalu. Awalnya pasien merasa gatal di bagian
mata kaki kiri, kemudian menjadi kemerahan dan terlihat melepuh. Hal serupa juga terjadi pada
kemaluan pasien sejak 2 hari yang lalu, tetapi lepuh pecah karena bergesekkan dengan celana
pasien. Menurut pasien, gatal sering muncul walau pasien sedang tidak beraktifitas, seperti
sedang menonton dan tidur, sehingga pasien sulit tidur, namun jika berjalan gatal yang dirasakan
berkurang. Pada saat muncul gatal, pasien tidak berani menggaruk. Selain gatal, pasien juga
merasa pedih dan panas pada bagian yang melepuh, pedih yang dirasakan muncul jika memakai
celana dan bergesekkan dengan celana. 2 minggu yang lalu, pasien mengonsumsi obat ultraflu
karena mengalami gejala flu. Pasien mengaku suka meminum jamu, terakhir meminumnya 1
minggu yang lalu dan lupa nama jamu yang diminumnya. 2 tahun yang lalu pasien pernah
mengalami keluhan serupa, dan lepuh muncul di tempat yang sama dengan lesi yang sekarang.
Pada pemeriksaan fisik terdapat lesi pada regio pedis lateral sinistra, tampak patch eritema-
keunguan berbentuk bulat, sirkumskrip, dengan bula dibagian tengah.

1.5. Diagnosis Kerja


Fix drug eruption

1.6. Diagnosis Banding


 Urtikaria dan angioderma ec. erupsi obat
 Herpes genitalia
 Dermatitis kontak alergi

1.7. Terapi yang di dapat


 Metilprednisolon 24 mg/hr (24mg-8mg-0)
 Cetirizine 10 mg 1 x 1 (malam)
 Kompres NaCL 2 x 1 (15 menit)
 Desoksimetason cr 10 + pirotop cr 10 gr
1.8. Prognosis
 Ad vitam : bonam
 Ad functionam : bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Fix Drug Eruption


2.1.1. Definisi
Fix drug eruption (FDE) adalah salah satu bentuk erupsi kulit akibat alergi obat, yang
bila berulang akan timbul pada tempat yang sama.1

2.1.2. Epidemiologi
Fix drug eruption berupakan bentuk manifestasi klinis erupsi obat yang paling tersering.
Terdapat 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa.2 Kajian oleh Noegrohowati pada tahun 1999,
mendapatkan FDE (63%) sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus
bayi dan anak.3 Data Divisi Alergi dan Imunilogi Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI-RSCM menunjukkan selama tahun 1999-2001 alergi obat yang terbanyak pada anak usia
dibawah 14 tahun adalah FDE (46%), eksantema (5%), dan urtikaria (21%).4

2.1.3. Etiologi
Banyak obat yang dapat menyebabkan FDE. Obat yang paling sering dilaporkan adalah
tetrasiklin, phenolptalein, barbiturate, sulfonamide, antipiretik, naproxen, dan metamizol. 5,6
Daftar obat penyebab FDE
Antibiotik Obat antiinflamasi non steroid
 Sulfonalid (co-trimoxazole)  Aspirin
 Tetrasiklin  Oxyphenbutazone
 Penisilin  Phenazone
 Ampisilin  Metimazole
 Eritromisin  Paracetamol
 Trimethoprin  Ibuprofen
 Nistatin Phenolphalein
 Griseofulvin Codein
 Dapson Hydralazin
 Arsen Oleoresin
 Garam merkuri Symphatomimetic
 P amino salicylic acid Symaphatolitic

 Thiacetazone Parasymphatolitic

 Quinine Hyoscine butylbromide

 Metronidazole Magnesium hydroxide


Magnesium trisilicate
 Clioquinol
Anthralin
Barbiturat dan tranquilizer lainnya
Chlorthiazone
 Derivat barbiturat
Chlorphenesin carbamate
 Opiat
 Benzodiazepine
 Chlordiazepoxide
 Anticonvulsan
 Dextromethoephan

2.1.4. Patofisiologi
Saat ini patogenesis FDE masih belum diketahui dengan pasti, diduga karena reaksi
imunologi. Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, patomekanisme yang mendasari EOA
(Erupsi Obat Alergik) dibagi menjadi 4 tipe mekanisme. Tipe I dimesiasi oleh Imunoglobulin
(Ig) E yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis, urtikaria, dan angioderma, timbul secara
cepat, terkadang dapat urtikaria/angioderma persisten beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantai reaksi antigen, yang diperantarai reaksi
antigen, IgG, dan komplemen terhadap eritrosit, leukosit, trombosit, atau sel prekusor
hematologik lain. Obat yang dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe ini antara lain golongan
penisilin, sefalosporin, streptomisisn, klorpromazin, sulfonamid, analgesik, dan antipiretik.
Sedangkan tipe III adalah reaksi imun komplek yang sering terjadi akibat penggunaan obat
sistemik dosis tinggi dan terapi jangka panjang, menunjukkan manifestasi berupa vaskulitis pada
kulit dan penyakit autoimun yang diinduksi oleh obat. Tipe terakhir yang paling sering
mendasari insidens EOA adalah tipe IV (tipe lambat), yang diperantarai oleh limfosit T dengan
manifestasi klinis erupsi ringan hingga berat. Selain pada kulit, reaksi hipersensitivitas dapat
melibatkan hati, ginjal dan organ tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T
terbagi atas 4 subklas yaitu tipe Iva hingga IVd.5

Terdapat dua konsep patomekanisme pengenalan obat oleh sel T, yaitu : 5


1. Konsep hapten/Prohapten
Pada umumnya obat merupakan prohapten, artinya tidak bersifat reaktif bila tidak
berikatan dengan protein. Obat dimetabolisme terlebih dahulu untuk dapat
membentuk ikatan kovalen dan menjadi imunogenik sehingga mampu
menstimulasi respons imun. Contohnya adalah oabt golongan beta-laktam, yaitu
penisilin dan sefalosporin. Contoh lain yaitu obat golongan sulfametoksazol yang
dimetabolisme oleh sitokrom P450 di hati menjadi bentuk reaktif.
2. Konsep pharmacological interaction (p-i concept)
Pichler dkk dengan konsep baru yang dikenal dengan p-i concept
(pharmacological interaction of drugs with immune receptors), adalah obat yang
dapat membentuk ikatan spesifik secara langsung dan reversibel dengan berbagai
macam reseptor antigen spesifik dan berinteraksi sehingga mampu menstimulasi
respons imun. Menurut konsep ini obat inert yang tidak mampuh membentuk
ikatan kovalen dengan protein atau peptida, masih dapat merangsang sistem imun
tubuh melalui ikatan langsung dengam reseptor sel T.
Penelitian Alanko dkk membuktikan bahwa pada lesi FDE terjadi peningkatan kadar
histamine dan komplemen yang sangat bermakna (200-640 nMol/L). Keadaan ini diduga sebagai
penyebab timbulnya reaksi eritema, lepuh dan rasa gatal.7 Penelitian Visa dkk dilakukan untuk
mengetahui sel imunokompoten pada FDE dengan teknik imnunoperoksidase. Pada penelitian
tersebut, ternyata ditemukan sekitar 60-80% sel infiltrat pada FDE adalah limfosit T (T4-T8).
Selain itu, terdapat peningkatan sel mast sebesar 5-10%, serta ditemukan HLA-DR pada limfosit
T(limfosit aktif) yang berada di dermis. Keadaan ini sama dengan lesi hipersensitivitas tipe
lambat. Limfosit T yang menetap pada lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan
menjelaskan terjadinya rekurensi lesi pada tempat yang sama. Keratosit pada kulit FDE
menunjukkan peningkatan ekspresi pada ICAM 1 dan HLA-DR. Peningkatan ICAM 1
menjelaskan migrasi limfosit T ke sel epidermis dan mengakibatkan kerusakan. Selain itu Visa
dkk juga menyatakan bahwa mekanisme imunologi bukan satu-satunya penyebab kelianan ini,
akan tetapi faktor gentik dapat terlibat dalam terjadinya keadaan ini. Hal ini dapat dibuktikan
dengan terjadinya kasus FDE dalam satu keluarga yang menunjukkan kesamaan pada HLA-
B12.9
2.1.5. Gambaran Klinis
Lesi FDE umumnya muncul dalam waktu 30 menit-8 jam setelah penggunaan obat secara
oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, soliter atau multipel berwarna merah atau keunguan,
berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi dapat disertai dengan bula dibagian tengah, dapat juga
berupa makula atau plak eritema-keunguan. Predileksi tersering didaerah bibir, tangan, dan
genitalia. Ciri khas FDE adalah lesi berulang pada predileksi yang sama setelah pejanan obat
penyebab, dapat juga disertai dengan lesi yang baru. Tetapi jumlah lesi biasanya sedikit. Gejala
lokal dapat meliputi gatal dan rasa terbakar, jarang dijumpai gejala sistemik. Tidak disertai
pembesaran KGB regional. Jika lesi FDE menyembuh akan meninggalkan bercak
hiperpigmentasi post-infalmasi yang lama hilang atau menetap.4,5
2.1.6. Histopatologi
Gambaran histopatologi FDE menyerupai eritema multiforme. Reaksi dapat terjadi di
dermis, dan epidermis atau keduanya. Paling tersering melibatkan dermis dan epidermis. Pada
tahap awal pemeriksaan histopatologi, terdapat adanya bula subepidermal dengan degenerasi
hidropik sel basal epidermis. Selain itu, dapat dijumpai diskeratosis keratinosit dengan
sitoplasma eosinofilik dan inti piknotik di epidermis. Pada tahap lanjut terlihat melanin dan
makrofag pada dermis dan terdapat peningkatan jumlah menan pada lapisan basal epidermis.10

Diskeratosis, vakuolisasi basal dan inflamasi perivaskular. Tampak adanya inkontinensi pigmen
dan infiltrasi eosinofil pada permukaan.
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan gambaran klinis yang khas. Selain itu
pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis : 3,10
1. Biopsi kulit dapat membantu memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis
banding.
2. Uji tempel obat. Tidak berbahaya dan reaksi anafilaksis jarang terjadi, tetapi untuk
mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dama waktu setengah jam setelah
pemeriksaan ini. Secara teori, dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam
prakteknya jarang ditemui. Jika erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya, maka
pemeriksaan ini tidak dianjurkan. Uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6
minggu setelah erupsi mereda.
Pada penelitian Alanko dkk, untuk FDE menggunakan cara uji tempel yang berbeda.
Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan secara
terbuka pada bekas lesi dan punggung penderita. Observasi dilakukan 24 jam pertama,
dan dainggap positif bila terdapat eritema yang jelas, dan bertahan selama minimal 6 jam.
Jika cara ini tidak memungkinkan dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan
pertama setelah penempelan 24 jam.
Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan hasil positif
dapat menyokong diagnosis serta dapat menentukan penyebab, meskipun peranannya
masih kontroversi.
3. Uji provokasi oral, merupakan pemeriksaan gold standard dalam diagnosis kelainan ini.
Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya pada pasien anak. Tujuannya untuk
mencetuskan tanda dan gelaja klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil
biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk menimbulkan reaksi dan
biasanya muncul dalam beberapa jam. Walaupn dikatakan aman tetapi uji ini tetap harus
dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih.

2.1.8. Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat diberikan yaitu :11
1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab.
2. Pengobatan sistemik
Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak diperlukan. Dalam megatasi rasa gatal
dimalam hari yang mengganggu, dapat diberikan obat antihistamin generasi lama yang
memiliki efek sedasi.
3. Pengobatan topikal
Pemberian topikal bergantung pada keadaan lesi kulit, apakah kering atau basah.
a) Jika lesi basah dapat diberikan kompres secara terbuka. Tunjuannya untuk
meringkan eksudat, membersihkan debris, dan krusta serta memberikan efek
menyejukkan. Kompres dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi
tidak sampai menetes) selama ±15-30 menit. Eksudat akan ikut mengering
bersama penguapan, pengompresan cukup dilakukan 2-3 hari pertama. Cairan
kompres yang dapat digunakan antara lain larutan NaCL 0,9 atau dengan larutan
antiseptik ringan seperti larutan permanganas kalikus 1:10.000 atau asam salisilat
1:1000.
b) Jika lesi kering, dapat diberikan krim kortikosteroid. Krim hidrokortison 1% atau
2,55. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam
jangka waktu yang lama.
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien, laki-laki usia 39 tahun, datang dengan keluhan lepuh pada bagian mata kaki kiri
sejak 3 hari dan pada kelamin sejak 2 hari yang lalu. Awalnya pasien merasa gatal di bagian
mata kaki kiri, kemudian menjadi kemerahan dan terlihat melepuh. Hal serupa juga terjadi pada
kemaluan pasien sejak 2 hari yang lalu, tetapi lepuh pecah karena bergesekkan dengan celana
pasien. Menurut pasien, gatal sering muncul walau pasien sedang tidak beraktifitas, seperti
sedang menonton dan tidur, sehingga pasien sulit tidur, namun jika berjalan gatal yang dirasakan
berkurang. Pada saat muncul gatal, pasien tidak berani menggaruk. Selain gatal, pasien juga
merasa pedih dan panas pada bagian yang melepuh, pedih yang dirasakan muncul jika memakai
celana dan bergesekkan dengan celana. 2 minggu yang lalu, pasien mengonsumsi obat ultraflu
karena mengalami gejala flu. Pasien mengaku suka meminum jamu, terakhir meminumnya 1
minggu yang lalu dan lupa nama jamu yang diminumnya. 2 tahun yang lalu pasien pernah
mengalami keluhan serupa, dan lepuh muncul di tempat yang sama dengan lesi yang sekarang.
Pada pemeriksaan fisik terdapat lesi pada regio pedis lateral sinistra, tampak patch eritema-
keunguan berbentuk bulat, sirkumskrip, dengan bula dibagian tengah. Maka dari itu, pada pasien
ini terdapat 4 kemungkinan diagnosisnya yaitu FDE, urtikaria dan angioderma, herpes genitalia,
dan dermatitis kontak alergi.
Lesi lepuh pada pedis dan penis yang dikeluhkan oleh pasien sudah berlangsung selama
kurang lebih 3 hari, sehingga diagnosis urtikaria dan angioderma dapat disingkirkan karena lesi
urtikaria biasanya bertahan kurang dari 24 jam kemudian hilang perlahan. Pada pasien ini, tidak
mengeluhkan gejala demam, malase dan anoreksia serta tidak ditemukan pembesaran getah
bening regional. Pada pemeriksaan fisik lesi tidak terlihat seperti lesi yang terjadi pada penyakit
herpes genitalia. Diagnosis banding herpes genitalia dapat disingkirkan karena pada infeksi
primer HSV, biasanya lesi berkelompok, eritematosa, berisi cairan, kemudian seropurulen, dan
kadang-kadang menjadi ulserasi yang dangkal, yang tidak terasa nyeri, panas, dan gatal, biasanya
sembuh tanpa sikatriks. Selain itu pasien juga tidak memiliki riwayat berganti-ganti pasangan
seks. Dalam anamnesis pasien menyangkal penggunaan sepatu yang sempit dalam beraktifitas.
Pada DKA lesi dapat berupa eritematosa berbatas tegas, diikuti edema, vesikel dan bula yang
dapat pecah menyebabkan erosi dan eksudasi. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
diagnosis DKA masih belum dapat disingkirkan sehingga masih perlu dilakukan test patch untuk
menyingkirkan diagnosis ini.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan lesi berupa patch eritema-keunguan berbentuk
bulat, sirkumskrip, dengan bula dibagian tengah yang berlangsung selama kurang lebih 3 hari.
Sebelumnya, 2 tahun yang lalu pasien pernah mengalami hal serupa pada mata kaki kiri. Dalam
2 minggu terakhir pasien juga mengonsumsi obat ultraflu dan jamu, sehingga dapat diperkirakan
diagnosis penyakit pasien yaitu fix drug eruption.
Daftar Pustaka

1. Partogi Donna. Ilmu, Departemen, Kesehatan Kulit, dan Kelamin. “Fixed Drug Eruption”
(2009).
2. Solekhah, Nur Khamilatusy, and Rochman Mujayanto. “Laporan Kasus Fixed Drug
Eruption Pada Perioral Akibat Obat Golongan Quinolone” (2018): 2–7.
3. Noegrohowati T. Alergi obat pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Widaty S, Rihatmaja R,
eds. Alergi kulit pada bayi dan anak. Masalah dan Penanganan. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2002:19-28. 


4. Susilowati A, Akib AAP, Satari HI. Gambaran klinis fixed drug eruption pada anak di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri 2014;15(5):269-73.
5. Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin. 7th ed. Depok:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2018
6. Breathnach SM. Drug reaction. In: Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, eds. Textbook of
Dermatology. 6th ed. London Balckwell Scientific Publications. 1998:3349-87. 


7. Sudigdoadi, Widiantoro Y. Fixed Drug Eruption pada Anak berumur 18 bulan. Media Dermato-
Venereologica Indonesiana 1995, 22 :4 : 166-8. Jakarta

8. Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung DYM, Greaves
MW. Allergic skin diseases. Marcel Dekker, Inc: New York-Basel. 2000:307-35.
9. Hurwitz S. Eczematous Eruption in Childhood. In: Clinical Pediatric Dermatology. 2nd
ed. Philadelphia.WB Saunders Company. 1993:67-8.
10. Effendi EH. Uji kulit pada Erupsi Alergi Obat. Dalam: Sudigdoadi, Sutedja E, Agusni
YH, Sugiri U,eds. Buku Makalah Lengkap Kursus Imuno-dermatologi I. Kelompok Studi
Dermatologi Bag/SMF Kulit dan Kelamin – RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung. 2000:35-
8.
11. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediardja SA,eds.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.2001:139-42. 


Anda mungkin juga menyukai