ILUSTRASI KASUS
1.1. Identitas Pasien
Nama : Bpk. MH
Tempat/tanggal lahir : Surabaya, 5 Juni 1967
Usia : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : swasta
Alamat : Jalan Jaha Cilandak Timur
Status Perkawinan : Sudah menikah
No. MR : 4181**
1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 13 Mei 2019 di
ruang poliklinik Kulit dan Kelamin
Kepala Normosefali
Rambut: rambut tersebar merata, warna hitam, kuat, tidak mudah rontok
Kulit kepala: lesi (-), massa (-), kekuningan (-), edema (-)
Hidung: bentuk dan ukuran normal, septum ditengah, sekret (-), darah (-),
mukosa hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
Tenggorok: bibir normal, mukosa lembab, ulkus (-), geographic tongie (-),
tonsil T1/T1, detritus (-), faring hiperemis (-)
Leher Pembersaran KGB (-), pembersaran tiroid (-), deviasi trakea (-)
Thorax Paru I: Perkembangan dinding dada simetris dan dinamis, retraksi (-),
deformitas (-), lesi (-)
P: tidak dilakukan
P: nyeri tekan (-), pembesaran hepar tidak teraba, pembesaran lien tidak
teraba
Extremitas atas I: pigmentasi kulit seragam, deformitas pada jari (-), sianosis (-),
dan bawah kekuningan (-), edema (-), clubbing finger (-), lesi (+) unilateral pada
area area pedis lateral sinistra.
2.1.2. Epidemiologi
Fix drug eruption berupakan bentuk manifestasi klinis erupsi obat yang paling tersering.
Terdapat 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa.2 Kajian oleh Noegrohowati pada tahun 1999,
mendapatkan FDE (63%) sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus
bayi dan anak.3 Data Divisi Alergi dan Imunilogi Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI-RSCM menunjukkan selama tahun 1999-2001 alergi obat yang terbanyak pada anak usia
dibawah 14 tahun adalah FDE (46%), eksantema (5%), dan urtikaria (21%).4
2.1.3. Etiologi
Banyak obat yang dapat menyebabkan FDE. Obat yang paling sering dilaporkan adalah
tetrasiklin, phenolptalein, barbiturate, sulfonamide, antipiretik, naproxen, dan metamizol. 5,6
Daftar obat penyebab FDE
Antibiotik Obat antiinflamasi non steroid
Sulfonalid (co-trimoxazole) Aspirin
Tetrasiklin Oxyphenbutazone
Penisilin Phenazone
Ampisilin Metimazole
Eritromisin Paracetamol
Trimethoprin Ibuprofen
Nistatin Phenolphalein
Griseofulvin Codein
Dapson Hydralazin
Arsen Oleoresin
Garam merkuri Symphatomimetic
P amino salicylic acid Symaphatolitic
Thiacetazone Parasymphatolitic
2.1.4. Patofisiologi
Saat ini patogenesis FDE masih belum diketahui dengan pasti, diduga karena reaksi
imunologi. Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, patomekanisme yang mendasari EOA
(Erupsi Obat Alergik) dibagi menjadi 4 tipe mekanisme. Tipe I dimesiasi oleh Imunoglobulin
(Ig) E yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis, urtikaria, dan angioderma, timbul secara
cepat, terkadang dapat urtikaria/angioderma persisten beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantai reaksi antigen, yang diperantarai reaksi
antigen, IgG, dan komplemen terhadap eritrosit, leukosit, trombosit, atau sel prekusor
hematologik lain. Obat yang dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe ini antara lain golongan
penisilin, sefalosporin, streptomisisn, klorpromazin, sulfonamid, analgesik, dan antipiretik.
Sedangkan tipe III adalah reaksi imun komplek yang sering terjadi akibat penggunaan obat
sistemik dosis tinggi dan terapi jangka panjang, menunjukkan manifestasi berupa vaskulitis pada
kulit dan penyakit autoimun yang diinduksi oleh obat. Tipe terakhir yang paling sering
mendasari insidens EOA adalah tipe IV (tipe lambat), yang diperantarai oleh limfosit T dengan
manifestasi klinis erupsi ringan hingga berat. Selain pada kulit, reaksi hipersensitivitas dapat
melibatkan hati, ginjal dan organ tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T
terbagi atas 4 subklas yaitu tipe Iva hingga IVd.5
Diskeratosis, vakuolisasi basal dan inflamasi perivaskular. Tampak adanya inkontinensi pigmen
dan infiltrasi eosinofil pada permukaan.
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan gambaran klinis yang khas. Selain itu
pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis : 3,10
1. Biopsi kulit dapat membantu memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis
banding.
2. Uji tempel obat. Tidak berbahaya dan reaksi anafilaksis jarang terjadi, tetapi untuk
mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dama waktu setengah jam setelah
pemeriksaan ini. Secara teori, dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam
prakteknya jarang ditemui. Jika erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya, maka
pemeriksaan ini tidak dianjurkan. Uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6
minggu setelah erupsi mereda.
Pada penelitian Alanko dkk, untuk FDE menggunakan cara uji tempel yang berbeda.
Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan secara
terbuka pada bekas lesi dan punggung penderita. Observasi dilakukan 24 jam pertama,
dan dainggap positif bila terdapat eritema yang jelas, dan bertahan selama minimal 6 jam.
Jika cara ini tidak memungkinkan dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan
pertama setelah penempelan 24 jam.
Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan hasil positif
dapat menyokong diagnosis serta dapat menentukan penyebab, meskipun peranannya
masih kontroversi.
3. Uji provokasi oral, merupakan pemeriksaan gold standard dalam diagnosis kelainan ini.
Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya pada pasien anak. Tujuannya untuk
mencetuskan tanda dan gelaja klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil
biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk menimbulkan reaksi dan
biasanya muncul dalam beberapa jam. Walaupn dikatakan aman tetapi uji ini tetap harus
dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih.
2.1.8. Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat diberikan yaitu :11
1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab.
2. Pengobatan sistemik
Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak diperlukan. Dalam megatasi rasa gatal
dimalam hari yang mengganggu, dapat diberikan obat antihistamin generasi lama yang
memiliki efek sedasi.
3. Pengobatan topikal
Pemberian topikal bergantung pada keadaan lesi kulit, apakah kering atau basah.
a) Jika lesi basah dapat diberikan kompres secara terbuka. Tunjuannya untuk
meringkan eksudat, membersihkan debris, dan krusta serta memberikan efek
menyejukkan. Kompres dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi
tidak sampai menetes) selama ±15-30 menit. Eksudat akan ikut mengering
bersama penguapan, pengompresan cukup dilakukan 2-3 hari pertama. Cairan
kompres yang dapat digunakan antara lain larutan NaCL 0,9 atau dengan larutan
antiseptik ringan seperti larutan permanganas kalikus 1:10.000 atau asam salisilat
1:1000.
b) Jika lesi kering, dapat diberikan krim kortikosteroid. Krim hidrokortison 1% atau
2,55. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam
jangka waktu yang lama.
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien, laki-laki usia 39 tahun, datang dengan keluhan lepuh pada bagian mata kaki kiri
sejak 3 hari dan pada kelamin sejak 2 hari yang lalu. Awalnya pasien merasa gatal di bagian
mata kaki kiri, kemudian menjadi kemerahan dan terlihat melepuh. Hal serupa juga terjadi pada
kemaluan pasien sejak 2 hari yang lalu, tetapi lepuh pecah karena bergesekkan dengan celana
pasien. Menurut pasien, gatal sering muncul walau pasien sedang tidak beraktifitas, seperti
sedang menonton dan tidur, sehingga pasien sulit tidur, namun jika berjalan gatal yang dirasakan
berkurang. Pada saat muncul gatal, pasien tidak berani menggaruk. Selain gatal, pasien juga
merasa pedih dan panas pada bagian yang melepuh, pedih yang dirasakan muncul jika memakai
celana dan bergesekkan dengan celana. 2 minggu yang lalu, pasien mengonsumsi obat ultraflu
karena mengalami gejala flu. Pasien mengaku suka meminum jamu, terakhir meminumnya 1
minggu yang lalu dan lupa nama jamu yang diminumnya. 2 tahun yang lalu pasien pernah
mengalami keluhan serupa, dan lepuh muncul di tempat yang sama dengan lesi yang sekarang.
Pada pemeriksaan fisik terdapat lesi pada regio pedis lateral sinistra, tampak patch eritema-
keunguan berbentuk bulat, sirkumskrip, dengan bula dibagian tengah. Maka dari itu, pada pasien
ini terdapat 4 kemungkinan diagnosisnya yaitu FDE, urtikaria dan angioderma, herpes genitalia,
dan dermatitis kontak alergi.
Lesi lepuh pada pedis dan penis yang dikeluhkan oleh pasien sudah berlangsung selama
kurang lebih 3 hari, sehingga diagnosis urtikaria dan angioderma dapat disingkirkan karena lesi
urtikaria biasanya bertahan kurang dari 24 jam kemudian hilang perlahan. Pada pasien ini, tidak
mengeluhkan gejala demam, malase dan anoreksia serta tidak ditemukan pembesaran getah
bening regional. Pada pemeriksaan fisik lesi tidak terlihat seperti lesi yang terjadi pada penyakit
herpes genitalia. Diagnosis banding herpes genitalia dapat disingkirkan karena pada infeksi
primer HSV, biasanya lesi berkelompok, eritematosa, berisi cairan, kemudian seropurulen, dan
kadang-kadang menjadi ulserasi yang dangkal, yang tidak terasa nyeri, panas, dan gatal, biasanya
sembuh tanpa sikatriks. Selain itu pasien juga tidak memiliki riwayat berganti-ganti pasangan
seks. Dalam anamnesis pasien menyangkal penggunaan sepatu yang sempit dalam beraktifitas.
Pada DKA lesi dapat berupa eritematosa berbatas tegas, diikuti edema, vesikel dan bula yang
dapat pecah menyebabkan erosi dan eksudasi. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
diagnosis DKA masih belum dapat disingkirkan sehingga masih perlu dilakukan test patch untuk
menyingkirkan diagnosis ini.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan lesi berupa patch eritema-keunguan berbentuk
bulat, sirkumskrip, dengan bula dibagian tengah yang berlangsung selama kurang lebih 3 hari.
Sebelumnya, 2 tahun yang lalu pasien pernah mengalami hal serupa pada mata kaki kiri. Dalam
2 minggu terakhir pasien juga mengonsumsi obat ultraflu dan jamu, sehingga dapat diperkirakan
diagnosis penyakit pasien yaitu fix drug eruption.
Daftar Pustaka
1. Partogi Donna. Ilmu, Departemen, Kesehatan Kulit, dan Kelamin. “Fixed Drug Eruption”
(2009).
2. Solekhah, Nur Khamilatusy, and Rochman Mujayanto. “Laporan Kasus Fixed Drug
Eruption Pada Perioral Akibat Obat Golongan Quinolone” (2018): 2–7.
3. Noegrohowati T. Alergi obat pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Widaty S, Rihatmaja R,
eds. Alergi kulit pada bayi dan anak. Masalah dan Penanganan. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2002:19-28.
4. Susilowati A, Akib AAP, Satari HI. Gambaran klinis fixed drug eruption pada anak di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri 2014;15(5):269-73.
5. Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin. 7th ed. Depok:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2018
6. Breathnach SM. Drug reaction. In: Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, eds. Textbook of
Dermatology. 6th ed. London Balckwell Scientific Publications. 1998:3349-87.
7. Sudigdoadi, Widiantoro Y. Fixed Drug Eruption pada Anak berumur 18 bulan. Media Dermato-
Venereologica Indonesiana 1995, 22 :4 : 166-8. Jakarta
8. Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung DYM, Greaves
MW. Allergic skin diseases. Marcel Dekker, Inc: New York-Basel. 2000:307-35.
9. Hurwitz S. Eczematous Eruption in Childhood. In: Clinical Pediatric Dermatology. 2nd
ed. Philadelphia.WB Saunders Company. 1993:67-8.
10. Effendi EH. Uji kulit pada Erupsi Alergi Obat. Dalam: Sudigdoadi, Sutedja E, Agusni
YH, Sugiri U,eds. Buku Makalah Lengkap Kursus Imuno-dermatologi I. Kelompok Studi
Dermatologi Bag/SMF Kulit dan Kelamin – RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung. 2000:35-
8.
11. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediardja SA,eds.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.2001:139-42.