Anda di halaman 1dari 21

PERUBAHAN SISTEM PENCERNAAN

YANG TERJADI PADA PROSES PENUAAN

Dosen Pembimbing :
Elida Ulfiana, S.Kep.Ns.,M.Kep

Disusun oleh :
Kelompok 3 Kelas A1 2017
1. Alfia Nuril Firdaus (131711133024)
2. Yonia Rafika Nanda (131711133044)
3. Fadhilla Setiyasari (131711133045)
4. Zenitha Rani (131711133062)
5. Fanny Nayluzzuharo’ N. (131711133101)
6. Wiwik Uswatun Hasanah (131711133106)
7. Muhammad Rafly Bagus N. (131711133119)
8. Asna’ul Lailiyah (131711133157)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
A. MULUT
Perubahan Fisiologis Rongga Mulut pada Lansia
Proses perubahan akan mengubah struktur dan keadaan rongga mulut. Perubahan pada
sistem mastikasi pada lansia juga dipengaruhi oleh kebiasaan, kebersihan rongga mulut dan
lingkungan.

Anatomi Fisiologi Proses Menua (Age-Related Change)

1. Struktur dan tampilan gigi - Perubahan warna menjadi gelap atau kekuningan
geligi
- Seringkali terjadi keretakan

- Menipisnya lapisan enamel yang disebabkan oleh


atrisi, abrasi dan erosi. Hal ini akan berlanjut dengan
tereksposnya dentin yang menyebabkan terbentuknya
dentin sekunder yang dalam waktu jangka lama dapat
menyebabkan gigi kurang sensitif akan tetapi lebih
rapuh, sehingga lebih berisiko terhadap terjadinya
karies dan fraktur.

2. Oral Mukosa Menjadi lebih tipis, halus, dan kering, sehingga lebih
rentan terhadap trauma.

3. Lidah - Terjadi penurunan ketebalan epitel

- Penyederhanaan struktur epitel dan rete peg yang


kurang menonjol, sehingga lidah terlihat lebih halus.

4. Kelenjar Ludah - Penurunan fungsi kelenjar ludah merupakan keadaan


normal pada proses penuaan, tidak bermakna secara
klinis.

- Penurunan aliran saliva yang menuju pada


kekeringan mulut (xerostomia) seringkali berkaitan
dengan penyakit kronis atau pemakaian obat-obat
tertentu.

5. Fungsi otot dan Tulang alveolar turut ambil bagian dalam hilangnya
persyarafan mineral tulang karena usia melalui resorbsi matriks
tulang. Proses ini dapat dipercepat dengan tanggalnya
gigi, penyakit periodontal, atau protesa yang kurang
baik.

6. Gigi Kehilangan gigi, berdampak pada;

- Migrasi dan rotasi gigi

- Erupsi berlebih

- Gangguan Temporomandibular Joint (TMJ)

- Beban berlebih jaringan pendukung

- Estetika yang buruk

- Kelainan bicara

- Atrisi

- Kemampuan mengunyah pada pasien yang


kehilangan gigi hanya sebesar 1/6 kali dibandingkan
pasien yang masih memiliki gigi.

- Gangguan psikologis akibat kehilangan gigi juga


akan mempengaruhi selera makan dan kegiatan
mengunyah. Gangguan mengunyah akan
mempengaruhi asupan makanan dan status gizi pada
lansia.

B. FARING
 ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING
Pharynx atau Faring merupakan organ berbentuk corong sepanjang 15cm yg tersusun
atas jaringan fibromuscular yang berfungsi sebagai saluran pencernaan dan juga sebagai
saluran pernafasan. Pharynx terletak setinggi Bassis cranii (bassis occipital dan bassis
sphenoid) sampai cartilage cricoid setinggi Vertebrae Cervical VI. Bagian terlebar dari
pharynx terletak setinggi os. Hyoideum dan bagian tersempitnya terletak pada
pharyngoesophageal junction. Pharynx sebagai organ pencernaan menghubungkan antara
cavum oris dan Oesophagus. Sedangkan sebagai organ pernafasan berfungsi untuk
menghubungkan antara cavum nasi dan Larynx.

Pembentuk dinding faring:


Membrane mucosa yang tersusun atas epitel squamos pseudokompleks bersilia pada bagian
atas dan epitel squamos kompleks di bagian bawah.

 Submucosa
 Jaringan fibrosa, membentuk fascia pharyngobasillaris yang melekat pd bassis crania
 Jaringan muscular yang terdiri atas otot sirkular dan longitudinal
 Jaringan ikat longgar yang membentuk fascia buccopharyngeal

Pembagian faring:

a) Nasopharynx (Epipharynx)
Nasopharynx merupakan bagian dari pharynx yang terletak di bagian atas maka dari itu
nasopharynx juga disebut dg epipharynx. Nasopharynx memiliki skeletopi setinggi
Bassis cranii sampai Vertebrae cervical I.
b) Syntopi Nasopharynx(Nasofaring)/ Epifaring (Epipharynx)
Nasopharynx memiliki syntopi :
 Ventral : choanae (nares posterior), menghubungkan pharynx dg cavum nasi
 Superior : bassis crania
 Belakang : vertebrae cervical yang dipisahkan oleh fascia prevertebrae dan m.
capitis
 Lateral : dinding medial leher
 Inferior : palatum mole
c) Bangunan pada Nasopharynx (Nasofaring)/ Epipharynx (Epifaring)
 Ostium pharyngeum tuba auditiva eustachii, menghubungakn pharynx dengan
caum timpani.
 Adenoid (tonsilla pharyngea/ tonsillo luscha), merupakan kelenjer limfe
submucosa
 Recessus pharynx (fossa rosenmulleri), di belakang torus tubarius
 isthmus nasopharynx, batas antara nasopharynx dan oropharynx yg akan
tertutup oleh pallatum molle saat proses deglutition/ menelan.
d) Oropharynx/ Orofaring
Merupakan bagian dari pharynx yang terletak di tengah. Memiliki skeletopi setinggi
Vertebrae cervical II sampai Vertebrae Cervical III.
e) Syntopi Oropharynx
 Superior : nasopharynx (isthmus nasopharynx, palatum mole)
 Ventral : cavum oris propia dengan arcus palatopharynx dan uvulae
 Dorsal : Vertebrae Cervical II – III
 Lateral : dinding medial leher
 Inferior : tepi atas epiglottis, basis linguae

 PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA

Otot otot faring melemah sehingga lansia sering merasa susah menelan atau tersedak
karena makanan masuk ke saluran pernafasan. pada lansia, disfagia banyak terjadi karena usia.
Penuaan yang tejadi pada orga tubuh memang tak dapat dicegah. Hal ini dapat beroengaruh
pada fungsi kerjanya. Begitupula yang terjadi pada kerongkongan. Tenggorokan atau faring
pada lansia, refleknya akan menurun. Sehingga lansia memiliki resiko lebih besar untuk
mengalami disfagia
C. ESOPHAGUS

 ANATOMI DAN FISIOLOGI ESOPHAGUS

Esofagus merupakan sebuah saluran berupa tabung berotot yang menghubungkan dan
menyalurkan makanan dari rongga mulut ke lambung. Dari perjalanannya dari faring menuju
gaster, esofagus melalui tiga kompartemen dan dibagi berdasarkan kompartemen tersebut,
yaitu leher (pars servikalis), sepanjang 5 cm dan berjalan di antara trakea dan kolumna
vertebralis. Dada (pars thorakalis), setinggi manubrium sterni berada di mediastinum posterior
mulai di belakang lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, lalu membelok ke kanan
bawah di samping kanan depan aorta thorakalis bawah. Abdomen (pars abdominalis), masuk
ke rongga perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia lambung,
panjang berkisar 2-4 cm (Chandramata, 2000). Pada orang dewasa, panjang esofagus apabila
diukur dari incivus superior ke otot krikofaringeus sekitar 15-20 cm, ke arkus aorta 20-25 cm,
ke v.pulmonalis inferior, 30-35 cm, dan ke kardioesofagus joint kurang lebih 40-45cm. Pada
anak, panjang esofagus saat lahir bervariasi antara 8 dan 10 cm dan ukuran sekitar 19 cm pada
usia 15 tahun (Chandramata, 2000).
Bagian servikal:
 Panjang 5-6 cm, setinggi vertebra cervicalis VI sampai vertebrathoracalis I
 Anterior melekat dengan trachea
 Anterolateral tertutup oleh kelenjar tiroid
 Sisi dextra/sinistra dipersarafi oleh nervus recurren laryngeus
 Posterior berbatasan dengan hipofaring
 Pada bagian lateral ada carotid sheath beserta isinya (Chandramata,2000).
Bagian torakal:
 Panjang 16-18 cm, setinggi vertebra torakalis II-IX
 Berada di mediastinum superior antara trakea dan kolumna vertebralis
 Dalam rongga toraks disilang oleh arcus aorta setinggi vertebratorakalis IV dan
bronkus utama sinistra setinggi vertebra torakalisV
 Arteri pulmonalis dextra menyilang di bawah bifurcatio trachealis
 Pada bagian distal antara dinding posterior esofagus dan ventralcorpus vertebralis
terdapat ductus thoracicus, vena azygos, arteri dan vena intercostalis (Chandramata,
2000).
Bagian abdominal:
 Terdapat pars diaphragmatica sepanjang 1 - 1,5 cm, setinggi vertebratorakalis X
sampai vertebra lumbalis III
 Terdapat pars abdominalis sepanjang 2 - 3 cm, bergabung dengan cardia gaster disebut
gastroesophageal junction (Chandramata, 2000).

Esofagus mempunyai tiga daerah normal penyempitan yang sering menyebabkan benda
asing tersangkut di esofagus. Penyempitan pertama adalah disebabkan oleh muskulus
krikofaringeal, dimana pertemuan antara serat otot striata dan otot polos menyebabkan daya
propulsif melemah. Daerah penyempitan kedua disebabkan oleh persilangan cabang utama
bronkus kiri dan arkus aorta. Penyempitan yang ketiga disebabkan oleh mekanisme sfingter
gastroesofageal (Chandramata, 2000).
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut, 1) pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, 2) upaya sfingter mencegah terhamburnya
bolus ini dalam fase-fase menelan, 3) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring
pada saat respirasi, 4) mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring, 5) kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan
ke arah lambung, 6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan di mulut,
faring, laring, dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan
(Soepardi, 2007).
Menelan dibagi menjadi tahap orofaring dan tahap esofagus. Tahap orofaring
berlangsung sekitar 1 detik dan terdiri dari pemindahan bolus dari mulut melalui faring untuk
masuk ke esofagus. Ketika masuk ke faring, bolus makanan harus diarahkan ke dalam esofagus
dan dicegah untuk masuk ke lubang-lubang lain yang berhubungan dengan faring. Dengan kata
lain, makanan harus dijaga agar tidak masuk kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, atau
masuk ke trakea (Sherwood, 2009).
Posisi lidah yang menekan langit-langit keras menjaga agar makanan tidak masuk
kembali ke mulut sewaktu menelan (Sherwood, 2009). Kontraksi m.levator palatini
mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan
bagian atas dinding posterior faring akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena
lidah terangkat ke atas. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus
fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan
berbalik ke rongga mulut (Soepardi, 2007).
Uvula terangkat dan menekan bagian belakang tenggorokan, menutup saluran hidung
atau nasofaring dari faring sehingga makanan tidak masuk ke hidung (Sherwood, 2009).
Makan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan erat pita
suara di pintu masuk laring atau glotis (Sherwood, 2009). Faring dan laring bergerak ke arah
atas oleh kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring. Aditus
laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.ariepiglotika dan m.aritenoid
obligus. Bersamaan dengan ini terjadi juga pengentian aliran udara ke laring karena refleks
yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke dalam saluran
napas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus
piriformis sudah dalam keadaaan lurus (Soepardi, 2007).
Tahap esofagus dari proses menelan kini dimulai. Pusat menelan memicu gelombang
peristaltik primer yang menyapu dari pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya
menelusuri esofagus untuk masuk ke lambung. Gelombang peristaltik memerlukan waktu
sekitar 5 sampai 9 detik untuk mencapai ujung bawah esofagus. Perambatan gelombang
dikontrol oleh pusat menelan, dengan persarafan melalui saraf vagus. Sewaktu gelombang
peristaltik menyapu menuruni esofagus, sfingter gastroesofagus melemas secara refleks
sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung. Setelah bolus masuk ke lambung, proses
menelan tuntas dan sfingter gastroesofagus kembali berkontraksi (Sherwood, 2009).
 PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA
Pada esophagus terdapat gelombang peristaltik yang berfungsi memasukkan makanan ke
dalam lambung. Menurut Miller (2012), lansia mengalami penurunan gelombang peristaltic
dan adanya peregangan pada esophagus. Selain itu, lansia juga mengalami presbyphagia yaitu
melambatnya menelan atau bahkan disphagia yaitu susah menelan (Ebersole, dkk ,2014) Lower
esophageal sphingter mengalami penurunan untuk relaksasi sehingga lansia rentan mengalami
refluks makanan (Mitty, 2008). Hal ini menyebabkan risiko tinggi terjadi aspirasi pada lansia
yang dapat menyebabkan lansia rentan mengalami penyakit saluran pernapasan seperti
pneumonia.
Banyak lansia yang mengalami kelemahan otot polos sehingga proses menelan lebih sulit.
Motilitas esofagus tetap normal meskipun esophagus mengalami sedikit dilatasi seiring
penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah kehilangan tonus, reflex muntah juga melemah
pada lansia, sehingga meningkatkan risiko aspirasi pada lansia (Stanley, 2007).

D. LAMBUNG
 ANATOMI LAMBUNG
Lambung adalah organ pencernaan yang paling melebar, dan terletak di antara bagian
akhir dari esofagus dan awal dari usus halus (Gray, 2008). Lambung merupakan ruang
berbentuk kantung mirip huruf J, berada di bawah diafragma, terletak pada regio epigastrik,
umbilikal, dan hipokondria kiri pada regio abdomen (Tortora & Derrickson, 2009).
Secara anatomik, lambung memiliki lima bagian utama, yaitu kardiak, fundus, badan
(body), antrum, dan pilori (gambar 2.1). Kardia adalah daerah kecil yang berada pada
hubungan gastroesofageal (gastroesophageal junction) dan terletak sebagai pintu masuk ke
lambung Fundus adalah daerah berbentuk kubah yang menonjol ke bagian kiri di atas
kardia. Badan (body) adalah suatu rongga longitudinal yang berdampingan dengan fundus
dan merupakan bagian terbesar dari lambung. Antrum adalah bagian lambung yang
menghubungkan badan (body) ke pilorik dan terdiri dari otot yang kuat. Pilorik adalah suatu
struktur tubular yang menghubungkan lambung dengan duodenum dan mengandung
spinkter pilorik (Schmitz & Martin, 2008).
Gambar 2.1 Pembagian daerah anatomi lambung
(Tortora & Derrickson, 2009)

 FISIOLOGI LAMBUNG
Fungsi utama sistem pencernaan adalah memindahkan nutrien, air, dan
elektrolit dari makanan yang kita telan ke dalam lingkungan internal tubuh. Sistem
pencernaan melakukan empat proses pencernaan dasar yaitu: motilitas, sekresi,
digesti, dan absorpsi (Guyton, 2014).
Ketika tidak ada makanan, mukosa lambung berbentuk lipatan yang besar,
disebut rugae, dapat dilihat dengan mata telanjang. Pada saat terisi makanan, rugae
menghilang dengan lancar seperti alat musik akordion dimainkan. Mukosa lambung
terdiri dari tiga sel sekresi: sel chief, sel parietal, dan sel mukus. Sel chief menyekresi
enzim pepsinogen, sel parietal menyekresi asam klorida yang mengaktifkan
pepsinogen menjadi pepsin, dan sel mukus menyekresi mukus untuk melindungi
gaster (Rizzo, 2016).
Gaster bekerja dengan memperkecil partikel makanan menjadi larutan yang
dikenal dengan nama kimus. Kimus tersebut mengandung fragmen molekul protein
dan polisakarida, butiran lemak, garam, air, dan berbagai molekul kecil lain yang
masuk bersama makanan. Tidak ada ada molekul-molekul tersebut yang dapat
melewati epitel gaster kecuali air. Absorpsi paling banyak terjadi di usus halus
(Widmaier, Raff, dan Strang, 2014).
Faktor di lambung yang memengaruhi laju pengosongan gaster yaitu volume
kimus dan derajat fluiditas. Faktor di duodenum yang memengaruhi laju pengosongan
lambung antara lain:
a. Respon saraf melalui pleksus saraf intrinsik dan saraf autonom.
b. Respon hormon dikenal dengan enterogastron yang dibawa darah dari mukosa usus
halus ke gaster tempat mereka menghambat kontraksi antrum. Enterogastron
tersebut yang penting adalah sekretin (dihasilkan sel S) dan kolesistokinin
(dihasilkan sel I).
c. Lemak paling efektif dalam memperlambat pengosongan lambung karena lemak
memiliki nilai kalori yang tinggi. Selain itu, pencernaan dan penyerapan lemak
hanya berlangsung di usus halus. Trigliserida sangat merangsang duodenum untuk
melepaskan kolesistokinin (CCK). Hormon ini menghambat kontraksi antrum dan
menginduksi kontraksi sfingter pilorus, yang keduanya memperlambat
pengosongan lambung.
d. Asam dari kimus yang di dalamnya terdapat HCl dinetralkan oleh natrium
bikarbonat di dalam lumen duodenum. Asam yang belum dinetralkan akan
menginduksi pelepasan sekretin, yaitu suatu hormon yang akan memperlambat
pengosongan lebih lanjut isi gaster yang asam hingga netralisasi selesai.
e. Hipertonisitas. Pengosongan gaster secara refleks jika osmolaritas isi duodenum
mulai meningkat.
f. Peregangan. Kimus yang terlalu banyak di duodenum akan menghambat
pengosongan isi lambung (Costanzo, 2018).
Emosi juga dapat memengaruhi motilitas lambung. Meskipun tidak
berhubungan dengan pencernaan, emosi dapat mengubah motilitas lambung dengan
bekerja melalui saraf autonom untuk memengaruhi derajat eksitasbilitas oto polos
lambung. Efek emosi pada motilitas lambung barvariasi dari orang ke orang lain dan
tidak selalu dapat diperkirakan, rasa sedih dan takut umumnya mengurangi motilitas,
sedangkan kemarahan dan agresi cenderung meningkatkannya. Selain emosi, nyeri
hebat dari bagian tubuh manapun cenderung menghambat motilitas, tidak hanya di
lambung tetapi di seluruh saluran cerna. Respon ini ditimbulkan oleh peningkatan
aktivitas simpatis (Guyton, 2014).

 PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA


Perubahan yang terjadi pada lambung adalah atrofi mukosa. Atrofi sel
kelenjar, sel parietal dan sel chief akan menyebabkan berkurangnya sekresi asam
lambung, pepsin dan faktor instrinsik. Karena sekresi asam lambung yang berkurang,
maka rasa lapar juga akan berkurang. Ukuran lambung pada lansia juga mengecil
sehingga daya tampung makanan berkurang. Selain itu, proses perubahan protein
menjadi pepton terganggu (Fatmah, 2010). Selain itu, Meiner (2006) menjelaskan
perubahan pH dalam saluran gastrointestinal dapat menyebabkan malabsorbsi vitamin
B. Penurunan sekresi HCl dan pepsin yang berkurang pada lansia juga dapat
menyebabkan penyerapan zat besi dan vitamin B12 menurun (Arisman, 2004).

E. PANKREAS
 ANATOMI PANKREAS

Pankreas merupakan organ retroperitoneal yang terletak di bagian posterior dari


dinding lambung. Letaknya diantara duodenum dan limfa, di depan aorta abdominalis
dan arteri serta vena mesenterica superior. Organ ini konsistensinya padat, panjangnya
±11,5 cm, beratnya ±150 gram. Pankreas terdiri bagian kepala/caput yang terletak di
sebelah kanan, diikuti corpus ditengah, dan cauda di sebelah kiri. Ada sebagian kecil
dari pankreas yang berada di bagian belakang Arteri Mesenterica Superior yang disebut
dengan Processus Uncinatu

Jaringan penyusun pankreas terdiri dari :

a) Jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik yang berbentuk seperti anggur yang disebut
sebagai asinus/Pancreatic acini, yang merupakan jaringan yang menghasilkan enzim
pencernaan ke dalam duodenum.
b) Jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-pulau Langerhans/Islet of Langerhans
yang tersebar di seluruh jaringan pankreas, yang menghasilkan insulin dan glukagon
ke dalam darah. Pulau-pulau Langerhans tersebut terdiri dari beberapa sel yaitu:
 Sel α (sekitar 20%), menghasilkan hormon glukagon.
 Sel ß (dengan jumlah paling banyak 70%), menghasilkan hormon insulin.
 Sel δ (sekitar 5-10%), menghasilkan hormon Somatostatin.
 Sel F atau PP (paling jarang), menghasilkan polipeptida pankreas.
 FISIOLOGI PANKREAS
 Insulin menyediakan glukosa untuk sebagian besar sel tubuh, terutama untuk otot
dan adiposa, melalui peningkatan aliran glukosa yang melewati membrane sel
dalam mekanisme carier.
 Insulin memperbesar simpanan lemak dan protein dalam tubuh pertama dengan
cara meningkatkan transport asam amino dan asam lemak dari darah kedalam sel
yang kedua meningkatkan sintesis protein dan lemak, serta menurunkan
katabolisme protein dan lemak.
 Insulin meningkatkan penggunaaan karbohidrat untuk energi
 PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA
Produksi ensim amylase, tripsin dan lipase menurun sehingga kapasitas metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak juga menurun. Pada lansia sering terjadi pankreatitis yang
dihubungkan dengan batu empedu. Batu empedu yang menyumbat ampula vateri
menyebabkan oto-digesti parenkim pankreas oleh ensim elastase dan fosfolipase-A yang
diaktifkan oleh tripsin dan/atau asam empedu. Pengecilan ukuran hati dan penkreas.
Implikasi dari hal ini adalah terjadi penurunan kapasitas dalam menyimpan dan
menyintesis protein dan enzim-enzim pencernaan. Sekresi insulin normal dengan kadar
guladarah yang tinggi (250-300 mg/dL).

F. USUS HALUS
 ANATOMI USUS HALUS
Usus halus merupakan tabung yang memiliki panjang kurang-lebih 6 – 7 meter
yang dimulai pada pilorus dan berakhir di katup ileocecal. Usus halus terdiri atas duodenum
(20 cm), jejunum (1.8 m), serta ileum (Juffrie, 2018). Usus kecil berakhir di katup
ileocecal, yang terdiri dari 2 bibir semilunar yang menjulur ke dalam sekum dan berfungsi
untuk mengendalikan kecepatan masuknya makanan dari usus halus ke usus besar dan
mencegah refluks sisa makanan dari usus besar ke usus halus. Sebagian besar proses
digesti kimia dan absorpsi terjadi di dalam usus halus (Juffrie, 2018).
Usus halus memiliki permukaan yang luas dengan adanya plika (lipatan mukosa),
vili (tonjolan mukosa seperti jari atau jonjot usus), serta mikrovili atau brush border.
Vili mengandung banyak kapiler dan pembuluh limfa (central lacteal) yang memiliki
peran sentral dalam proses absorbsi. Selain itu, vili juga bergerak seperti tentakel
gurita yang membantu proses pergerakan zat makanan di dalam rongga usus halus
(Juffrie, 2018).

 FISIOLOGI USUS HALUS

1. Digesti Kimia: Usus Halus dan Pankreas


Brush border banyak mengandung enzim yang berikatan dengan membran sel epitel
dan berfungsi dalam proses digesti kimia. Enzim-enzim tersebut berperan dalam proses
hidrolisis disakarida, polipeptida, dan lain sebagainya. Salah satu jenis enzim yang terdapat
pada brush border adalah enterokinase. Enzim ini berfungsi untuk mengaktifkan enzim
tripsin yang diproduksi oleh pankreas. Tripsin selanjutnya berfungsi dalam proses
pemecahan polipeptida menjadi peptida rantai pendek dan asam amino. Adapun enzim
disakaridase berfungsi untuk memecah disakarida menjadi monosakarida, seperti sukrase
yang memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa serta laktase yang memecah laktosa
menjadi glukosa dan galaktosa (Juffrie, 2018).
Kelenjar eksokrin pankreas mensekresi jus pankreas ke dalam duodenum. Jus tersebut
mengandung beberapa enzim dan elektrolit, yaitu (1) amilase yang berfungsi untuk
memecah karbohidrat/zat tepung; (2) tripsinogen yang diaktifkan menjadi tripsin oleh
enterokinase; (3) lipase dan ko-lipase yang berfungsi untuk mencerna trigliserida; (4)
enzim-enzim protease serta nuklease; dan (4) natrium bikarbonat (alkali) yang berfungsi
untuk menetralisir asam lambung (Juffrie, 2018).
2. Digesti Kimia: Liver
Pada proses digesti kimia, liver memiliki fungsi utama untuk mensekresi cairan empedu
dan memetabolisme zat-zat yang telah diabsorbsi. Cairan empedu yang dihasilkan oleh
liver disimpan di dalam kantung empedu (gall bladder) untuk kemudian disekresikan ke
dalam duodenum. Garam empedu berguna dalam proses emulsi/absorbsi lemak. Selain itu,
cairan empedu juga mengandung bilirubin yang merupakan hasil pemecahan sel darah
merah dan akan dibuang melalui saluran cerna (Juffrie, 2018).
Berbagai proses metabolisme terjadi di dalam hati. Darah kaya nutrien mengalir dari
vili usus ke sistem porta hepatik. Berbagai nutrien tersebut akan diproses terlebih dulu di
dalam liver sebelum masuk ke sirkulasi umum. Selain itu, liver juga berfungsi dalam proses
degradasi sampah metabolisme, hormon, obat, dan lain sebagainya. Organ ini juga
mensintesis protein plasma dan menjadi tempat penyimpanan kelebihan glukosa dalam
bentuk glikogen, penyimpanan cadangan lemak, mineral, dan vitamin. Glikogen akan
dipecah kembali menjadi glukosa untuk mempertahankan kadar gula darah dalam rentang
normal dan menyuplai kebutuhan energi saat tubuh memerlukannya (Juffrie, 2018).
3. Absorpsi Karbohidrat dan Protein
Karbohidrat dan protein dipecah berturut-turut menjadi monosakarida dan asam
amino/peptida rantai pendek. Selanjutnya, partikel-partikel tersebut akan ditranspor ke
permukaan epitel oleh ko-transporter. Monosakarida dan asam amino/peptida rantai pendek
diserap melalui proses coupling dengan ion Na+ atau H+ ke dalam sel epitel dan kemudian
masuk ke dalam kapiler darah menuju sistem porta hepatik (Juffrie, 2018).
4. Absorpsi Lemak
Sebelum diserap dan dipecah, lemak (lipid) mengalami proses emulsifikasi oleh
garam empedu. Pada proses ini, lipid berinteraksi dengan garam empedu untuk
membentuk droplet. Selanjutnya, enzim lipase yang dihasilkan oleh pankreas akan
memecah lemak teremulfikasi menjadi asam lemak bebas dan monogliserida yang
kemudian diserap oleh epitelium. Di dalam sel epitel, asam lemak dan monogliserida
tersebut menjalani proses re-sintesis untuk kembali membentuk trigliserida.
Trigliserida kemudian berikatan dengan protein untuk membentuk chylomicron yang
dilepaskan ke dalam submukosa melalui proses eksositosis. Selanjutnya, chylomicron
memasuki sistem limfatik lakteal sentral dan ditranspor ke dalam sirkulasi darah
(Juffrie, 2018)
 PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA

Penuaan yang terjadi pada lansia berpengaruh pada kekuatan otot di usus dalam gerakan
peristaltik. Selain itu, mukosa yang bertugas melicinkan permukaan juga mengalami
penurunan jumlah. Perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012) adalah:
1. Adanya atrofi otot
2. Pengurangan jumlah folikel limfatik
3. Pengurangan berat usus kecil
4. Memendek dan melebarnya vili
Perubahan struktur ini memang tidak berdampak signifikan pada motilitas, permeabilitas,
atau waktu pencernaan. Tetapi yang perlu diwaspadai adalah perubahan ini dapat berdampak
pada fungsi sistem imun dan absorpsi nutrien, seperti folat, kalsium, vitamin B12 dan D
(Ebersole,dkk, 2014). Penuaan dapat mengakibatkan turunnya jumlah enzim laktase. Hal ini
mengakibatkan penguraian nutrien makanan pun lebih lama. Selain itu, lansia juga berpotensi
mudah kembung karena lebih mudah mengalami peningkatan jumlah bakteri. Hal ini
memungkinkan adanya sakit perut, perut terlihat besar karena kembung. Bakteri dapat
berbahaya jika berkembang terus-menerus karena akan mengurangi absorpsi nutrisi tertentu
seperti vitamin B12, zat besi, dan kalsium (Ebersole, dkk, 2014).
Hati berperan dalam metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, membunuh zat toksik,
dan mensekresi empedu. Hati dan kandung empedu sebagai organ aksesori sistem
Gastrointestinal juga mengalami perubahan seperti (Miller, 2012):
1. Hati menjadi lebih kecil, berserat, terakumulasi lipofuscin (pigmen coklat), dan
2. Menurunnya aliran darah
Hal ini menyebabkan makanan yang masuk tidak di metabolisme dengan sempurna untuk
menghasilkan ATP untuk kerja sel tubuh serta zat toksik tidak dibunuh dengan optimal
sehingga lansia rentan terhadap penyakit. Kandung empedu mensekresikan empedu setelah
dirangsang oleh hati yang berfungsi untuk mencerna lemak dalam tubuh. Namun semakin
bertambahkan usia terjadi penurunan jumlah sekresi empedu, pelebaran saluran empedu,
peningkatan sekresi cholecystokinin (Miller, 2012). Hal tersebut mengakitbatkan lemak tidak
dimetabolisme dengan sempurna, meningkatnya risiko terjadi batu empedu, dan menurunnya
nafsu makan (Miller, 2012).

G. USUS BESAR (COLON)

 ANATOMI KOLON
Panjang usus besar (kolon dan rectum) 1.500cm, yang terdiri dari sekum, kolon
asenden, kolon tranversum, kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Dinding usus besar
mempunyai tiga lapis yaitu lapisan mukosa (bagian dalam), yang berfungsi untuk
mencernakan dan absorpsi makanan, lapisan muskularis (bagian tengah) yang berfungsi
untuk menolak makanan ke bagian bawah, dan lapisan serosa (bagian luar), bagian ini
sangat licin sehingga dinding usus tidak berlengketan satu sama lain di dalam rongga
abdomen. Berbeda dengan mukosa usus halus, pada mukosa kolon tidak dijumpai villi dan
kelenjar biasanya lurus-lurus dan teratur. Permukaan mukosa terdiri dari pelapis epitel tipe
absortif (kolumnar) diselang seling sel goblet. Pelapis epitel kripta terdiri dari sel goblet.
Pada lamina propria secara sporadik terdapat nodul jaringan limfoid. Sel berfungsi
mengabsorpsi air, lebih dominan pada kolon bagian proksimal (asendens dan tranversum),
sedangkan sel goblet lebih banyak dijumpai pada kolon desenden. Lamina propria lebih
seluler (sel plasma, limfosit dan eosinofil) pada bagian proksimal dibanding dengan distal
dan rektum. Pada bagian distal kolon, sel plasma hanya ada dibawah epitel permukaan. Sel
paneth bisa ditemukan pada sekum dan kolon asenden. Pada anus terdapat sfingter anal
internal (otot polos) dan sfingter anal eksternal (otot rangka) yang mengitari anus.
 FISIOLOGI KOLON
Kolon mengabsorpsi air sampai dengan 90% dan juga elektrolit, sehingga mengubah
kimus dari cairan menjadi massa semi padat, disebut feses. Kolon tidak memproduksi
enzim, tetapi hanya mukus. Terdapat sejumlah bakteri pada kolon, yang mampu mencerna
sejumlah kecil selulosa, dan menghasilkan sedikit nutrien bagi tubuh. Bakteri juga
memproduksi vitamin K dan juga gas, sehingga menimbulkan bau pada feses. Secara
imunologis, oleh karena banyak limfonodus terutama di aappendiks dan rektum; dan sel
imun dilamina propria. Feses juga bewarna coklat yang disebabkan pigmen empedu.
 PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA
Pada lansia perubahan yang terjadi di usus besar dan rectum mencakup penurunan
sekresi mucus, penuruanan elastisitas dinding rectum dan penuruan persepsi distensi pada
dinding rectum. Perubahan ini memiliki sedikit atau tidak ada hubungan pada motalitas
dari feses saat buang air besar, tetapi ini merupakan predisposisi konstipasi pada lansia
karena volume rectal yang bertambah. Selain itu, proses defekasi yang seharusnya dibantu
oleh kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen
pada lansia sudah melemah.

H. REKTUM DAN ANUS


 ANATOMI FISIOLOGI REKTUM DAN ANUS
Rectum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon
sigmoid) dan berakhir dianus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
sementara feses. Biasanya rectum ini kososng karena disimpan ditempat yang lebih tinggi,
yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tunja masuk kedalam
rectum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding
rectum karena penumpukan material didalam rectum akan memicu system saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali
material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air akan kembali
dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan
feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan
anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting
untuk menunda buang air besar.

Anus merupakan lubang diujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari
tubuh. Anus terletak di dasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter.

a) Sfingter ani internus (sebelah atas), bekerja tidak menuruti kehendak.


b) Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menuruti kehendak
c) Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menuruti kehendak.

Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagiannya lagi dari usus.
Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sfingter. Feses dibuang dari tubuh melalui
proses defekasi (buang air besar), yang merupakan fungsi utama anus.

 PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA


Pada lansia kemampuan untuk mengendalikan defekasi berkurang karena kemampuan
fisiologis sejumlah organ menurun sehingga ia sering melakukan defekasi secara
langsung, karena tonus sfingter ani menurun. Dapat juga terjadi penurunan elastisitas
dinding rectum dan penurunan distensi pada dinding rectum yang mana merupakan factor
predisposisi konstipasi karena volume rektal yang bertambah. Adanya impaksi masa feses
yang merupakan masa feses yang keras dilipatan rectum yang diakibatkan oleh retensin
dan akumulasi material feses yang berkepanjangan, biasanya disebabkan oleh konstipasi,
kurangnya aktivitas, dan kelemahan tonus otot.
Daftar Pustaka

Diktat Anatomi Situs Abdominis, ed. 2011, Laboratorium Anatomi, FK UNISSULA.

Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2009). Principles of Anatomy & Physiology. USA : John

Wiley & Sonc. Inc

Guyton A. C., dan Hall, J. E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC,
1022

Fatmah. (2010). Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Rizzo, D. C. 2016. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Boston, MA : Cengange


Learning.

Neil Volk, Brian Lacy. 2017. Anatomy and Physiology of the Small Bowel. Gastrointest
Endoscopy Clin N Am. (27): 1–13
Juffrie, Muhammad & Basrowi, Rey & Chairunita, Chairunita. 2018. Saluran Cerna yang
Sehat: Anatomi dan Fisiologi. Diakses di:
https://www.researchgate.net/publication/325986943_Saluran_Cerna_yang_Sehat_Ana
tomi_dan_Fisiologi. 30 Januari 2020 pukul 23.15 WIB
Alifia Salsabhilla, dkk. 2018. Makalah Keperawatan Gerontik Sistem Gastrointestinal pada
Lansia. Universitas Indonesia: Fakultas Ilmu Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai