Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH SINGKAT PROSES INTEGRASI TIMOR TIMUR KE REPUBLIK

INDONESIA
Oleh : Dudi Ramdhani Munggara, S.Pd
Materi Sejarah Indonesia kelas XII IPA/IPS
 
Propinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur di bentuk tanggal 17 Juli 1976 dengan Undang-undang
No 7 tahun1976. Wilayah ini, sebelumnya lebih dari 450 tahun berada di bawah tangan 
penjajahan Portugis.
Kedatangan kolonial Portugis tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk pribumisetempat.
Karena itu, lahir pelbagai reaksi, antara lain dalam perlawanan-perlawanan. 
 
Salah satu perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Portugis yang cukup besardan
terorganisasi adalah Perlawanan Viqueque, di samping perlawanan-perlawanan kecil lainnya.
Perlawanan-perlawanan ini terjadi karena penduduk pribumimerasa bahwa pembayaran pajak
yang dilakukan terlalu banyak menekan mereka, disamping berbagai perlakuan pemerintah
Portugis yang dirasakan sangat memberatkandan diskriminatif sebagaimana layaknya setiap
penjajah.
 Perlawanan ini bermula dari situasi setelah Perang Dunia II, dimana bangsa Indonesia yang
berada di bawah penindasan kolonial Belanda menyatakan kemerdekaanya melalui proklamasi
tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini tersebar keseluruh dunia, dan
sampai juga ke Timor Portugis.
 Pada tahun 1953, beberapa tokoh Timor Portugis yang telah mendengar kemerdekaan atas diri
saudara-saudaranya di Timor Barat (NTT) serta mendengar bahwa Pemerintah RI telah berhasil
menyelenggarakan suatu konprensi bangsa-bangsa Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, yang
melahirkan keputusan mendukung kemerdekaan dari penindasan kolonial bagi setiap bangsa .
Pada ahun 1955 itu sebenarnya  sudah ada rencana pemberontakan dari pemuda-pemuda di Dili.
Para pemuda itu lalu menyebar-luaskan rencananya itu ke Kabupaten-kabupaten. Secara
perlahan-lahan lahir perasaan nasionalisme di kalangan pemuda Timor Portugis.
Pada tahun 1959, semangat untuk melepaskan diri dari kaum kolonial makin kuat. Ini terlihat
dari berkembangnya rncana untuk melakukan perjuangan pada akhir tahun 1959. Dukungan
terhadap rencana itu semakin luas dan tersebar ke Aileu, Same, Ermera, Baucau dan lain-lain.
Untuk merencanakan rencana itu, diadakan pertemuan yang hasilnya memutuskan bahwa
pelaksanaan perjuangan ditetapkan pada 42 Desember 1959, bertepatan dengan malam tahun
baru. karena menurut analisis para pemuda itu, pada malam tahun baru orang-orang dan tentara
Portugis selalu berpesta pora sehinga penjagaannya tidak ketat dan serangan dapat dilakukan.
 
Walapun pemberontakan itu di rencanakan secara rahasia dan tertutup, dapat tercium juga oleh
mata-mata Portugis. Mereka segera melakukan penangkapan terhadap pemuda-pemuda yang
dicurigai baik yang berada di kota Dili maupun di Kabupaten-kabupaten. Pemuda-pemuda itu di
tangkap, disiksa dan dibunuh serta sebagian dari mereka sekitar 68 orang di buang ke Angola
dan Mozambique, daerah jajahan Portugis di Afrika dan sebagian di bawa ke Portugal. Akibat
yang paling menyedihkan dari pemberontakan tahun 1959 itu ialah dilakukannya pembunuhan
terhadap ratusan rakyat yang dituduh mempunyai hubungan dengan pemberontakan tersebut.
Perlawanan rakyat yang di gerakkan dari Viqueque ini merupakan awal dari keinginan rakyat
untuk berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. tuntutan integrasi sebenarnya
sudah muncul sejak awal tahun 1950-an. Bahkan pada tanggal 3 Juni 1959, rakyat Timor
Portugis, terutama rakyat Kabupaten viqueque bangkit mengangkat senjata melawan penjajah
portugis. Dengan semangat ingin bersatu dengan Indonesia yang telah merdeka sejak tanggal 17
Agustus 1945, rakyat membusungkan dada dengan mengibarkan bendere merah putih sebagai
panji perjuangan. Beberapa tokoh pemberontakan itu seperti Jose Manuel Duarte, Salem
Musalam Sagran dan Germano D.A. Silva kini menjadi saksi hidup yang banyak bercerita
tentang bagaimana perlawanan terebut, cita-cita intergrasi penderitaan akibat kegagalan
perjuangan karena berhasil ditumpas oleh Pemerintahan Portugis.
Selain ketiga tokoh tersebut, pada pertengahan Januari 1969, ketiga pelaku pergerakan Viqueque
yang oleh pemerintah Portugis di buang ke Angola dan Portugal 36 tahun yang lalu, telah
kembali ke Dili dan menyatakan siap untuk tetap tinggal di Timor-Timur. Ketiga pejuang yang
telah kembali tersebut adalah Evaristo Da Costa, Armindo Amaral dan Dominggos Soares.
Perjuangan mereka gagal karena keterbatasan perlengkapan, kurang strategi, lemahnya
organisasi sehingga akhirnya perlawanan tersebut tidak mencapai hasil. Namun peristiwa
tersebut adalah bukti sejarah bahwa rakyat Timor Timur pernah bangkit dan menyatakan ingin
bersatu dengan Indonesia.  
Perjuangan rakyat Timor Timur melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan kemudian
mendapatkan status sebagai salah satu propinsi di Indonesia, berbeda dengan propinsi-propinsi
lainnya. Tidak ada dugaan sebelumnya bahwa suasana di Timor Portugis akan mengalami
perubahan, jika saja tidak terjadi kudeta militer di Portugal pada tanggal 25 April 1974. Kudeta
yang dijuluki  "Flower Revolution"  atau "Revolusi Bunga" itu tidak hanya mengguncangkan
Portugal, tetapi secara cepat mempengaruhi wilayah-wilayah jajahannya. Salah satu diantaranya
adalah Timor Timur. Revolusi bunga itu memberi angin kepada rakyat Timor Timur untuk
membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik.  
Peluang ini tidak disia-siakan oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat. Kehidupan masyarakat
pada masa-masa sebelumnya terbelenggu dengan berbagai keterbatasan, bahkan hubungan antara
masyarakat Timor Portugis dengan saudara-saudaranya di Timor bagian barat (Propinsi Nusa
Tenggara Timur) tertutup sama sekali. sebab itu pula hampir tidak ada informasi yang berhasil
memasuki wilayah Timor Timur. Wilayah ini betul-betul diisolasi oleh portugis. dengan adanya
sedikit celah kebebasan, menyusul Revolusi Bunga tersebut, keadaan di Timor Timur segera
berubah. dengan cepat diwilayah ini tumbuh dan berkembang beberapa organisasi politik
seperti Uniao Democratica Timorense (UDT), Frente Revolucionaria de Timor-Leste
Independete (Fretelin) dan Associacao Popular Democratica Timorence (Apodeti). Organisasi
Politik yang terakhir ini sebelumnya bernama Associacao Par a Integraco de Timor na Indonesia
(AITI), bertujuan memperjuangkan integrasi dengan Indonesia.  
Di tingkat politik bilateral, antara Indonesia dan Portugis, sudah sejak bertahun-tahun
suasananya dingin. Hal ini disebabkan kegigihan Indonesia mendobrak kolonisasi-kolonisasi
yang masih ada di muka bumi melalui forum-forum internasional, dan memutuskan hubungan
diplomatik dengan Portugal pada tahun 1964. Karena itu pulalah kunjungan Gubernur Nusa
Tenggara Timur El Tari ke Dili, Timor Portugis dari tanggal 28 Februari - 2 Maret 1974
merupakan hal yang istimewa dan membuka linasan sejarah baru.
Sesudah kunjungan Gubernur NTT tersebut mendapat sambutan positif dari Gubernur Timor
Portugis Fernando Alves Aldeia, hubungan antara kedua daerah mulai sedikit terbuka. Sadar
akan perkembangan situasi di Lisabon (Ibu kota Portugal) yang segera dapat membawa dampak
di Timor Portugis setelah Revolusi Bunga, Gubernur Timor Portugis bergegas mengutus Mayor
Arnao Mitello, Kepada Staf Angkatan Darat Portugis di Dili menemui Gubernur El Tari di
Kupang. Ini terjadi kurang dua bulan setelah El Tari berkunjung ke Dili. Arnao
Mitello menjelaskan tentang perubahan politik di Lisabon dan kebijaksaan Pemerintahan
Portugal menyangkut koloni-koloni mereka, yang pada garis besarnya dikatakan akan
melaksanakan dekolonisasi. 
Sesudah perubahan politik di Lisabon tersebut bermuncululanlah partai-partai politik di Timor
Timur dengan mengumumkan keberadaan mereka kepada masyarakat umum, seperti Uniao
Democratica Timorense (UDT) pada tangga l 11 Mei 1974. Tokoh-tokoh UDT antara
lain Francisco Xavier Lopes da Cruz, Agusto Cesar da Costa Mousinho, Domingos de
Oliviera, Joao Carrascalao dan Ir. Mario Viegas Carrascalo. Sesudah itu lahir pula partai
kedua yaitu Amisiacao Social Democratica atau ASDT yang kemudian berubah nama
menjadi Frente  Revolucionaria de Timor-Leste Independente atau Fretelin pada tanggal 20
Mei 1974, dengan tokoh-tokohnya Francisco Xavier do Amaral, Nicalao Labota, Jose Ramos
Horta, Mari Alkatiri. Partai ketiga adalah Associao Popular Democratica de Timor atau Apodeti
yang lahir pada tangggal 27 Mei 1974. Berbeda dengan kedua partai yang terdahulu, Apodeti
dengan mengatakan tujuannya ingin bergabung dengan Indonesia. Tokoh-tokoh partai ini antara
lain adalah Arnaldo dos Reis Araujo, Hermenegildo Martins, Jose Fernandio Osorio Soares,
Guilherme Maria Goncalves, Alexandrino Borromeu, Casmiro A. dos Reis Araujo dan Jose
Antonio Bonifacio dos Reis Araujo. Selain ketiga partai tersebut diatas, masih terdapat dua
partai lainnya yaitu Klibur Oan Timor Aswin atau KOTA dibentuk pada tanggak 5 September
1974 dengan Lemos Pedro dos Reis Amaral dan Jose Martins sebagai tokoh pendiri. Sedang
partai kelima adalah PARDITO TRABALHISTA yang didirikan pada tanggal 9 Juli 1974
dengan pimpinannya Domingos C. Pereira. Selama bulan-bulan pertama kelahiarannya partai-
partai politik ini sibuk mengadakan konsilidasi. Tiga partai di antaranya yakni, UDT, Fretelin,
dan Apodeti mengirimkan juga utusan-utusannya ke berbagai negara, khususnya ke negara-
negara terdekat seperti Australia dan Indonesia. Ke Indonesia sendiri telah datang Ramos Horta
wakil Fretelin dan Francisco Xavier Lopes da Cruz, Ketua Umum UDT. Menanggapi
perkembangan ini, pemerintah Indonesia mengumumkan sikapnya pada tanggal 8 Oktober 1974
bahwa Jakarta tidak mempunyai ambisi teritorial. Indonesia menghormati hak rakyat Timor
Portugis untuk menentukan nasipnya sendiri dan bila rakyat Timor Portugis ingin bergabung
dengan Indonesia, maka penggabungan itu tidak bisa dilakukan atas dua negara, tetapi Timor
Timur harus menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap resmi
Pemerintah R.I. ini disampaikan kepada pemerintah Portugal di Lisabon oleh utusan Indonesia
yang terdiri dari Ali Murtopo, A. Taher (Dubes R.I. di Perancis), dan Frans Seda (Dubes R.I. di
Belgia) pada tanggal 14 Oktober 1974. Dalam pertemuan tanggal 14-15 Oktober 1974 di Lisbon
tersebut dibahas tentang masa depan Timor Timur. Pemerintah Portugal kemudian mengirimkan
utusan balasan ke Jakarta yang dipimpin oleh Dr. Antonio de Almeida Santos (Menteri Seberang
Lautan) tanggal 16 Oktober 1974. Santos mengatakan bahwa apapun yang menjadi keinginan
rakyat Timor Timur, pemerintah portugis akan menghormatinya. Untuk itu, pemerintah akan
menyiapkan undang-undang yang mengatur kepartaian di Timor Timur.
Dalam kunjungannya ke Dili setelah dari Jakarta, Dr. Antonio de Almeida Santos menyatakan
bahwa sebelum referendum, diadakan pemilihan untuk membentuk "dewan konstituante".
Dewan itulah yang akan menentukan segala sesuatu mengenai referendum. Padahal dewan
konstituante tersebut tidak pernah disinggung dalam perundingan dengan Indonesia sewaktu di
Jakarta. Ini menandakan bahwa Portugis tidak konsisten dalam masalah dekolonisasi. Bahkan
dikatakan bahwa kemerdekaan Timor Timur adalah sesuatu yang tidak realistis dan belum
saatnya.  
Beberapa kali partai-partai politik tersebut mengadakan perundingan dengan Portugis, namun
sejauh itu ternyata tidak membawa hasil. Terutama sesudah pertemuan Macao tanggal 26 Juni
1975, keadaan di Timor Timur semakin tegang dan mencekam. Pertarungan fisik antara ketiga
partai politik utama semakin keras dan tidak terhindarkan lagi.
 
Dalam suasana yang semakin tegang dan kacau, Fretelin dan UDT beraliansi dalam wadah
koalisi pada tanggal 20 Juni 1975. Akan tetapi koalisi bubar karena kedua partai tersebut terjadi
saling kecurigaan dan tidak mempercayai satu sama lain dalam perjuangan. Dengan situasi yang
tidak menentu tersebut, UDT melancarkan Gerakan Gerakan Revolusioner Anti Komunis pada
tanggal 11 Agustus 1975. gerakan ini gagal karena Fretelin mengadakan perlawanan bahkan
berhasil mendesak UDT. Fretelin mulai melakukan penangkapan, termasuk Raja Atsabe yang
adalah tokoh Apodeti, dan rumah-rumah pimpinan UDT di Dili dihancurkan.
Situasi semakin memburuk sehingga terjadi pengungsian masyarakat. Arus pengungsi berjejal:
semakin meminta perlindungan kepada perwakilan asing di Dili. ada yang melarikan diri ke
Australia dan sebagian memasuki wilayah Indonesia terutama Atambua (Propinsi Nusa tenggara
Timur) yang semakin lama jumlahnya semakin banyak. Keadaan yang kacau ini sama sekali
tidak dapat dikuasai oleh pemerintah Portugal, bahkan pagi-pagi tanggal 25 Agustus 1975
Gubernur Portugis Lemos Pires meninggalkan daratan Timor dan menyeberang ke Pulau Atauro.
Dari tempat yang baru inilah ia menyeru PBB agar mengirim pasukan Internasional. Pemerintah
Portugis sendiri secara meminta Indonesia untuk mengungsikan warga Portugis dan orang asing
dari kota Dili. Permintaan ini di penuhi Indonesia dengan mengirimkan KRI Mongingsidi
dibawah pimpinan Subiyakto. Tetapi sementara Subiyakto sibuk menyakinkan pihak yang
bersengketa untuk memberi kesempatan mengungsikan penduduk asing dari Dili, tiba-
tiba Lemos Pires  mengeluarkan perintah yang mencengankan. Ia meminta KRI Monging sidi
segera meninggalakan Dili. Tindakan Lemos Pires tidak saja disayangkan Oleh Indonesia tetapi
juga mendapat protes keras dari Autralia. bukan hanya orang asing saja yang ketinggalan,
bahkan staf konsulat Indonesia di Dili juga tidak sempat naik ke kapal, sehingga mereka terpaksa
melaliui jalan darat ke Kupang tanggal 30 Agustus 1975.
Memasuki bulan September 1975 Fretelin sudah mengambil alih kekuasaan di Timor Timur.
Pasukan UDT di berbagai tempat dilumpuhkan. Demikian juga tindakan balas dendam semakin
menjadi-jadi, tidak saja kepada UDT tetapi juga kepada Apodeti. Arus pengungsi ke wilayah
Indonesia semakin berjubel, termasuk juga anggota-anggota UDT, walaupun opes da Cruz terus
bertahan di sekitar perbatasan Indonesia antara Batugade-Raiikun (NTT). Fretelin yang semakin
keras tidak hanya mengejar pengikut-pengikut UDT di wilayah Timor Timur, tetapi juga
mengejar para pengungsi ke perbatasan wilayah Indonesia dan bahkan kemudian dalam
pengejarannya pasukan fretelin ini melewati perbatasan. Banyak penduduk Indonesia ikut
menjadi korban. Dalam keadaan terdesak tersebut, pimpinan UDT mulai reintrospeksi, dan pada
awal September 1975 sejumlah tokoh UDT mengadakan pertemuaannya di tempat pengungsian
sekitar Maliana. 
Mengahadapi keadaan yang semakin memprihatinkan ini, pemerintah Portugis ternyata tidak
bisa berbuat apa-apa. Bahkan Menteri Negara Portugis Dr Antonio de Almeida Santos yang
ditugaskan oleh pemerintahnya untuk melihat situasi Timor Timur dari dekat, tidak pernah
melihat keadaan pengungsi-pengungsi Timor Timur atau pun mengadakan pertemuan dengan
tokoh-tokoh UDT dan Apodeti. Ia hanya mengadakan pertemuan dengan Fretelin guna
pembebasan orang-orang Portugis.
Kendatipun demikian, kedatangan Santos kedua kalinya ke Jakarta pada tanggl 11 September
1975 untuk menjelaskan kegagalannya bertemu tokoh-tokoh UDT dan Apodeti diterima oleh
Pemerintah Republik Indonesia. Bahkan Jakarta menawarkan kembali agar Santos dapat bertemu
dengan pemimpin UDT dan Apodeti sekaligus melihat keadaan pengungsi Timor Timur di
Atambua, wilayah R.I. Tetapi tawaran bantuan Pemerintah Indonesia ini ditolak oleh Dr. Santos,
dan dari sikapnya itu tercermin bahwa Portugis tidak melakukan usaha yang sungguh-sungguh
untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Portugis hanya ingin menyelamatkan serdadu-
serdadunya saja tanpa mengindahkan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak lain seperti
Indonesia, yang sama sekali tidak ada hubungannya dan hanya menerima akibatnya saja seperti
korban jiwa penduduk Indonesia di perbatasan dan biaya yang dikeluarkan untuk membantu para
pengungsi tersebut. Sementara pertemuan Indonesia-Portugal berjalan di Jakarta, situasi di Timor
Timur terus bergejolak. Fretelin yang merasa berada di atas angin segera mengirim telegram ke
berbagai pelosok dunia bahwa mereka sudah menguasai Timor Timur dan memplokamirkan
berdirinya Republik Demokrasi Timor pada tanggal 28 November 1975.
Untuk membendung kegiatan yang menentang usahanya, Fretelin melakukan penangkapan dan
pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya. Antara lain yang menjadi korban
pembunuhannya adalah tokoh dan sekretaris Jendral Apodeti Jose Fernando Osorio
Soares bersama eman orang lainnya di Same pada tanggal 27 Juni 1976. Melihat perkembangan
situasi dari Fretelin yang semakin merajalela, tokoh-tokoh UDT mengadakan pertemuan di
Maliana. Mereka mulai sadar bahwa Integrasi dengan Negara Kesatuan R.I. adalah jalan keluar
yang paling baik bagi masa depan Timor Timur. Konsultasi anrata tokoh UDT, APODETI,
KOTA, dan TRABALHISTA menghasilkan kesepakatan untuk memperjuangkan integrasi
secara bersama-sama. Sebagai reaksi atas proklamasi sepihak Fretelin, maka gabungan
APODETI, UDT, KOTA dan TRABALHISTA menyatakan Deklarasi Balibo sebagai pernyataan
rakyat Timor Timur telah berintegrasi dengan Negara Kesatuan R.I. tanggal 30 November 1975
di Balibo Kabupaten Bobonaro.
Sikap politik keempat partai politik itu, diiringi pula dengan persiapan pembentukan pasukan
gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40.000 orang. Demikianlah
dari perbatasan, pasukan pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan
pasukan Fretelin. Mulanya secara bergerilya tetapi kemudian secara frontal. Tanggal 3 Oktober
1975 pasukan gabungan ini berhasil menguasai Batugade, sebuah kota kecil dekat perbatasan
Timor Timur dengan NTT. Pernyataan atau Proklamasi ini dikeluarkan di Balibo sehingga
selanjutnya terkenal dengan Proklamasi Balibo.
 
Setelah proklamasi tersebut, pasukan gabungan keempat partai semakin meningkatkan
tekanannya terhadap kedudukan-kedudukan pasukan Fretelin. Sampai awal Desember 1975,
pasukan gabungan sudah berhasil mengusai beberapa kota. Fretelin sendiri yang ternyata tidak
mendapat tempat di hati rakyat, terpaksa memusatkan pertahanan mereka di kota Dili. Akhirnya
kota inipun pada lewat tengah malam 7 Desember 1975 berhasil direbut pasukan gabungan.
Pasukan gabungan segera mengeluarkan para tahanan. Salah seorang diantaranya adalah tokoh
utama Apodeti Arnaldo dos Reis Araujo. Setelah Dili dikuasai, Fretelin melarikan diri ke
gunung-gunung. Sinar cerah wilayah bekas jajahan Portugis ini mulai terlihat. Setelah keadaan
sepenuhnya dikuasai, tokoh-tokoh gabungan keempat partai membentuk Pemerintah Sementara
Timor Timur (PSTT) yang bersifat Otonom. Kemudian di lengkapi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Timor Timur. PSTT dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo. Tokoh Apodeti dan
wakilnya Francisco Lopes da Cruz ketua UDT, sedangkan DPR Timor Timur diketahui
oleh Guilherme Maria Goncalves dari unsur Apodeti.   
Pada 31 Mei 1976 Dewan Perwakilan Rakyat Timor Timur mengeluarkan petisi yang isinya
Mendesak Pemerintah Indonesia agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menerima dan
mengesahkan bersatunya rakyat serta wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Seminggu kemudian yaitu tanggal 7 Juni 1976 para pemimpin PST dan DPR Timor
Timur menyerahkan petisi rakyat Timor Timur tersebut pada Presiden Republik Indonesia di
Jakarta. 
Setelah menerima petisi tersebut, maka Pemerintah R.I. membentuk dan mengirimkan delegasi
untuk memperoleh gambaran secara secara langsung kehendak rakyak Timor Timur. Setelah
mengadakan peninjaun ke berbagai wilayah Timor Timur tanggal 29 Juni 1976, kemudian,
pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Penyatuan Timor Timur ke dalam
negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
pada sidang Pleno DPR-RI secara aklamasi pimpinan dan anggota Dewan menyetujui dan
kemudian mengesahkannya dengan Undang-Undang Nomer 7 tahun 1976 tanggal 17 Juli 1976.
Dalam Undang-Undang itu dimuat tentang Penyatuan Timor Timur kedalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan sekaligus pembentukan Timor Timor sebagai provinsi ke-27. Secara
simbolis Presiden kemudian menyerahkan duplikat bendera pusaka kepada Arnaldo dos Reis
Araujo dan Franscico X. Lopes da Cruz, dan salinan teks Proklamasi Republik Indonesia
kepada Lopes da Cruz.  
Sebagai tindak lanjut dari proses integrasi itu, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun
1976 yang mengatur status Pemerinta Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur. Sejak ditetepkan
sebagai propinsi ke-27, Timor Timur telah dipimpin oleh empat orang Gubernur, yaitu: Arnaldo
dos Reis Araujo (1976-1978) sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang pertama, Guilherme
Maria Goncalves (1978-1982) sebagai Gubernur KDH Tingkat kedua, Ir. Mario Viegas
carrascalao  (1982-1992) sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang ketiga, dan Abilio Jose Osorio
Soares (1992- 1999), sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang keempat.

Anda mungkin juga menyukai