Ardiansyah, Andi Wijaya, Argian Prayoga, Destya, Ery Kusnadi, Eva Silvana,
Muhammad Edo Kasjoliandra, Samsul Bahri, Syahri Ramadhan, Umi
Jurusan Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji
Abstrak
Konflik antarnegara Indonesia dan Timur Leste adalah masalah
perbatasan di darat Indonesia dan Timor Leste, ada beberapa wilayah
perbatasan antara Indonesia-Timor Leste yang masih belum disepakati
dan masih menjadi klaim Fokus penelitian terdiri atas dua pertanyaan,
yaitu bagaimana konflik perbatasan antara Indonesia dan Malaysia dan
bagaimana upaya penyelesaian konflik. Dengan menggunakan metode
kualitatif yang deskriptif analitis, penelitian ini menemukan bahwa isu
belum selesainya delimitasi dan rendahnya tingkat kesejahteraan menjadi
faktor struktural penyebab konflik, dimana aktor-aktor yang bermain pun
tidak hanya melibatkan unsur pemerintah dan aparat militer, tetapi juga
masyarakat sipil. Dalam penyelesaian konflik, upaya pemeliharaan
perdamaian berupa penghentian kekerasan dan penciptaan perdamaian
berupa negosiasi delimitasi perbatasan sudah dilakukan, sementara
pembangunan perdamaian masih belum terlihat. Selain itu, berbagai
kebijakan pengelolaan batas wilayah dan pembangunan kawasan
perbatasan juga berpotensi berperan mencegah kembali pecahnya
konflik.
Pendahuluan
Tinjauan Pustaka
Penelitian ini dilakukan oleh Sandy Nur Ikfal Raharjo (2014) dengan
judul Analisis dan Upaya Penyelesaian Konflik antara Warga Perbatasan
Timor Tengah Utara, Indonesia dengan Warga Distrik Oecussi, Timor
Leste Pada 2012-2013. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
yang deskriptif analitis yang bertujuan untuk mengetahui faktor struktural
penyebab konflik. Penelitian ini menemukan bahwa faktor struktural
penyebab konflik adalahisu belum selesainya delimitasi dan rendahnya
tingkat kesejahteraan menjadi dimana aktor-aktor yang bermain pun tidak
hanya melibatkan unsur pemerintah dan aparat militer, tetapi juga
masyarakat sipil.Dalam penyelesaian konflik, upaya pemeliharaan
perdamaian berupa penghentian kekerasan dan penciptaan perdamaian
berupa negosiasi delimitasi perbatasan sudah dilakukan, sementara
pembangunan perdamaian masih belum terlihat.Selain itu, berbagai
kebijakan pengelolaan batas wilayah dan pembangunan kawasan
perbatasan juga berpotensi berperan mencegah kembali pecahnya
konflik.
Penelitian ini dilakukan oleh Marianus Watungadha (2014) dengan
judul Status Kewarganegaraan Masyarakat yang Berdomisili di Kawasan
Perbatasan antara Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor
Leste Khususnya yang Berdomisili di Wilayah Kabupaten Belu(Studi
Kasus Eks Pengungsi Timor Timur). Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif.Status kewarganegaraan eks pengungsi Timor-Timur yang
berdomisili di Kabupaten Belu seluruhnya telah menjadi WargaNegara
Indonesia. Pada dasarnya warga eks pengungsi Timor-Timur yang
berdomisili di wilayahIndonesia khususnya di Kabupaten Belu telah
menjadi Warga NegaraIndonesia tetapi menurut Uni Timor Aswain
(UNTAS) statuskewarganegaraan warga eks pengungsi Timor-Timur
secara nasional adalahWNI sedangakan dunia Internasional berpendapat
bahwa warga ekspengungsi Timor-Timor adalah warga negara Republik
Demokratik TimorLeste.
Penelitian Ini dilakukan oleh Tyas Suartika (2015)dengan Judul
Korban Jajak Pendapat Di Timor Timur, 1999 dengan Menggunakan
Metode Sejarah.Jajak pendapat di Timor Timur harus dilakukan dengan
pertimbangan bahwa nasib Timor Timur tidak bisa hanya ditentukan oleh
Jakarta, melainkan juga harus ditentukan oleh rakyat Timor
Timur.Peristiwa jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999 telah menelan
korban baik dari pihak pro-otonomi maupun pihak pro-
kemerdekaan.Beberapa dari mereka meninggal, luka-luka atau harus
mengungsi. Kejahatan yang terjadi antara lain adalah pembunuhan,
penganiayaan, kekerasan pada wanita dan pemindahan anak Timor
Timur. Sepanjang jajak pendapat tahun 1999, telah tercatat setidaknya
5297 orang, yang terdiri dari 149 orang tewas, 4 orang luka-luka, 5150
orang mengungsi dan 23 kejahatan terhadap wanita.
Yustina Dwi Jayanti (2014) dengan judul Penyelesaian Sengketa
Batas Wilayah Darat Antara Indonesia Dan Malaysia (Studi Kasus Di
Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat). Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Dasar hukum batas wilayah darat
Indonesia dan Malaysia MOU tahun 1973 yang berorientasi kepada
Traktat London buatan Belanda dan Inggris saat masih menjajah
Indonesia dan Malaysia. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis
tentang cara penyelesaian sengketa batas wilayah darat antara Indonesia
dan Malaysia di Pulau Kalimantan. Dan hasil yang diperoleh adalah,
negosiasi adalah cara yang paling tepat untuk menyelesaikan sengketa
batas darat antara Indonesia dan Malaysia.
Penelitian ini dilakukan oleh Yeni Puspita Sari (2013) yang berjudul
Upaya Indonesia dalam menangani masalah keamanan perbatasan
dengan Timor Leste pada periode 2002-2012.Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui upaya
apa yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah
perbatasan dikedua Negara. Masalah keamanan diperbatasan merupakan
persoalan dikedua Negara yang dapat memicu berbagai permasalahan
pengungsi dan penyeludupan yang terjadi diperbatasan.Sehingga
pemerintah melakukan berbagai upaya dalam pengelolaan perbatasan di
kedua Negara unilateral dan bilateral serta melalui adanya diplomasi
perbatasan (border diplomacy).
Perbatasan merupakan sebuah manifestasi penting dalam satu
imajiner di atas permukaan bumi dan suatu garis yang memisahkan suatu
daerah lainnya. (J.G. Starke, 1989, 244).JRV. Prescott
(Drysdale:1989:85)menandai ada empat sangketa yang muncul diwilayah
perbatasan, yaitu:
1. Positional Dispute, yaitu sengketa yang terjadi akibat adanya
interprestasi mengenai dokumen legal atau adanya perubahan di
lokasi yang berupa perubahan tanda-tanda fisik yang dipakai di
perbatasan,
2. Teritorial Dispute, yaitu sangketa yang terjadi ketika dua nedara
atau lebihmengklain satu wilayah yang sama sebagai wilayahnya
atau bagian dari wilayahnya. Halini terjadi karena alasan sejarah
atau kepentingan geografis.
3. Functional Dispute, yaitu sangketa yang terjadi adanya pergerakan
orang-orang atau atau barang-barang karena tidak dijaga ketat.
4. Transboundary Resource Dispute, yaitu sangketa yang muncul
karena adanya eksploitasi sumber daya alam oleh Negara lain dan
merugikan Negara lain diperbatasan.
Identifikasi Masalah
Geo-Politik dan Geo-strategi, dengan permasalahan perbatasan
Indonesia denga Timor Leste, hubungan pada dimana letak
mempertahankan kedaulatan negara karena yang diketahui ruang lingkup
pada geo politik salah satunya yaitu national power, tentang negara
mempertahankan negaranya dan kekuasaan negara. Jadi hubungan
antara Indonesia dengan Timor Leste oleh geo politik jelas pada national
power letak kekuatan di dua negara dalam mempertahankan kedaulatan
negara.
Geo-fisik,Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua
negara telah menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar
96% dari panjang total garis batas. Garis batas darat tersebut ada di
sektor Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan Distrik
Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat
(Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang
berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi sepanjang 119,7
km.
Geo-kultural, Secara geo-kultural Indonesia memilikiKomposisi
agama dan etnis dalam populasinya beberapa kekhasan kultural.Geo-
ekonomi,Sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan timor
leste memang lebih disebabkan perebutan lahan petanian (sumber daya
alam) antara kedua warga negara. Geo-ideologis, perbedaan ideologi
setelah berpisah dengan Indonesia tentu akan berubah ideologi yang
dipakai dalam suatu negara di Timor Leste yang berbeda dengan
Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila
Pembahasan
Sengketa Perbatasan IndonesiaTimor Leste Pemerintah Indonesia
akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan referendum atas nasib
timor leste, dan akhirnya dari hasil referendum tersebut rakyat timor-timur
berkendak untuk memisahkan diri dari Indonesia. Timor-leste dulunya
adalah wilayah jajahan dari portugis, namun pada tahun sekitar 1975an
Indonesia menginvasi timor leste dan akhirnya menjadi wilayah negara
Indonesia.Berbagai macam gugatan dunia internasional mengenai
keabsahan invasi ABRI (TNI Kalau sekarang) terhadap timor leste
dipertanyakan, pelanggaran HAM berat dan ringan menjadi suatu polemic
di masyarakat internasional menjelang akhir tahun 1990-an atau tepatnya
tahun-tahun menjelang 2000. Yang pada saat itu Indonesia juga
mengalami krisis politik dan ekonomi yang luar biasa pada tahun 1998
yang terkenal dengan sebutan reformasi.Situasi tersebut dimanfaatkan
oleh Jose Ramos Horta untuk meminta dukungan internasional guna
menekan pemerintah Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30 agustus 1999
pemerintah Indonesia dibawah presiden Habibie mengadakan referendum
untuk timor leste dan akhirnya timor leste ingin memisahkan diri Indonesia.
Namun Timor-Timur resmi merdeka dari Indonesia 20 mei 2002
dan berganti nama menjadi republic rakyat demokratik timor leste setelah
bergabung menjadi anggota PBB. Persoalan kemerdekaan Timor leste
tentunya menjadi cabuk tersendiri bagi pemerintah Indonesia yang tidak
mampu menjaga wilayah kedaulatan dan malah memilih opsi untuk
memerdekaan timor leste. Persoalan disintegrasi Timor Leste dari
Indonesia tidak selesai sampai disitu saja, masalah pelik yang sering
muncul yakni masalah perbatasan. Ada beberapa wilayah perbatasan
antara Indonesia timor leste yang masih belum disepakati dan masih
menjadi klaim antar dua negara tersebut. Pemerintah Indonesia dan Timor
Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua negara di
atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di dua titik batas yang
belum terselesaikan. Dua titik batas yang masih dipersoalkan antara
kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang
berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069
hektare dan Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna,
Desa Oben, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan
dengan distrik Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha.
Wilayah perbatasan ini sering menimbulkan konflik antara warga
perbatasan yang banyak memakan korban jiwa, memang pada tahun
2005 pemerintah Indonesia dan timor leste bertemu di Bali untuk
membahas masalah tapal batas kedua negara. Namun seiring
berkembang isu politik dan ekonomiantar kedua negara, wilayah
perbatasan tersebut masih menyisakan persoalan. Pada Oktober 2013,
Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat
perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah
Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan
juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota
kesepahaman kedua negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh
dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste. Selain
itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang
pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan
milik Indonesia, serta merusak sembilan kuburan orang-orang tua warga
Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara.
Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik
antara warga Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada
Senin, 14 Oktober 2013.
Eskalasi konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden
penggiringan 19 ekor sapi milik warga Indonesia yang diduga digiring oleh
warga Timor Leste masuk ke wilayah mereka.Selanjutnya, 10 warga
Indonesia didampingi enam anggota TNI Satgas-Pamtas masuk ke
wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Sementara itu,
ratusan warga lainnya dari empat desa di Kecamatan Naibenu berjaga-
jaga di perbatasan dan siap perang melawan warga Leolbatan, Desa
Kosta, Kecamatan Kota, Distrik Oekussi, Timor Leste. Berita terakhir yang
terkumpul dari media massa, warga masih berjaga-jaga di perbatasan.
Sengketa perbatasan tersebut harus mendapat tindakan dengan
melakukan komunikasi politik berupa pertemuan maupun negosiasi ulang,
sehingga konflik tersebut tidak berkembang dan malah menjadi konflik
yang besar dan terbuka.
Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-
Timor Leste.Satu tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan
Timur Tengah Utara-Oecussi. Pada 31 Juli 2012, warga desa Haumeni
Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT,
terlibat bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste.
Bentrokan ini dipicu oleh pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai,
Imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor Leste di zona netral yang masih
disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke
wilayah Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah
tersebut dibabat habis oleh pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling
ejek, warga dari kedua negara kemudian saling lempar batu dan benda
tajam sebelum akhirnya dilerai oleh aparat TNI perbatasan dan tentara
Timor Leste.Menurut Kepala Desa Haumeni Ana, Petrus Asuat, Selasa
(16/9/2014) mengatakan, enam titik yang berpotensi konflik itu yakni
Subina di Desa Inbate, Pistana di Desa Nainaban dan Desa Sunkaen,
Tububanat di Desa Nilulat, Oben di Desa Tubu, Nefonunpo dan Faotben
di Desa Haumeni Ana.
Walaupun jika kita melihat konflik perbatasan memang kejadian
yang muncul agaknya lebih bersifat komunal antar warga Pasabbe, Distrik
Oecussi, Timor Leste dan desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara,
Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Namun dua warga desa yang
berbeda negara ini menyebabkan isu konflik maupun eskalasinya menjadi
urusan dua negara yakni Indonesia dan Timor Leste. Bagi penulis untuk
mencegah konlfik tersebut agar tidak berkembang, tidak perlu adanya
intervensi dari pihak luar karena apabila ada intervensi dari pihak luar
khususnya Australia bisa jadi konflik tersebut malah akan semakin rumit
dan mudah sekali dipolitisasi, mengingat ada kepentingan yang kuat pihak
Australia di Timor Leste.
Sengketa perbatasan antara wilayah India-Pakista muncul sejak
kemerdekaan kedua negara, wilayah yang menjadi sengekta yakni jammu
khasmir. Wilayah tersebut menjadi sengketa karena masing-masing
negara mengklaim bahwa wilayah tersebut adalah daerah territorial
mereka. Buku yang berjudul Kashmir : Roots of Conflict , Path of Peace
karangan Sumantra Bose 2003 ini menjelaskan bahwa konflik antara India
Pakistan sangat sulit untuk diselesaikan. Perbuatan wilayah Kashmir-
jammu menjadi polemic konflik yang tidak berkesudahan. India Pakistan
juga pernah terlibat perang terbukan untuk memperbutkan wilayah
kashmir. Walaupun beberapa kali PBB menfasilitasi mereka untuk
melakukan perundingan damai namun konflik tersebut tidak berhenti dan
terkadang terjadi eskalasi yang tinggi antar kedua negara.Akhirnya PBB
seolah menyerah untuk meng-intervensi persoalan konflik tersebut dan
menyerahkan sepenuhnya urusan konflik tersebut pada kedua
negara.Selain persoalan perbatasan yang bersifat Tangible ada persoalan
idelogis yang tidak ketemu antara India-Pakistan yakni persoalan Hindu-
dan Islam.
Sengketa konflik perbatasan India- Pakistan, bisa menjadi suatu
refrensi tersendiri untuk menganalisa kasus sengketa perbatasan
Indonesia-timor leste. Dengan eskalasi konflik yang tinggi antara India-
Paskitan yang sampai memunculkan perang terbuka, diharapakan konflik
yang terjadi antara Indonesia Timor Leste tidak sampai sebesar konflik
India-Pakistan.Yang berbeda dari konflik India-Pakistan dan Indonesia-
Timor leste yakni tidak ada persoalan ideologis yang menjadi penyebab
sengketa perbatasan antara Indonesia-Timor leste. Konflik territory sering
menjadi suatu masalah domestic bahkan bisa berkembang menjadi
persoalan dua negara ataupun lebih bahkan menjadi suatu masalah
internasional.Eskalasi konflik dan dampak dari konflik tersebut menjadi
suatu ukuran dalam memetakan konfik tersebut masuk pada wilayah.
Konflik perbatasan secara level analisa dibedakan menjadi beberapa
level, pertama yakni sengketa perbatasan domestic yang terjadi didalam
suatu negara itu sendiri, biasa sengketa antar batas kota/kabupaten
maupun provinsi. Kedua yakni sengketa perbatasan antara dua negara,
misalkan terjadi antara Indonesia-Timor leste, India-Pakistan, Kamboja
Thailand dan beberapacontoh lainya. Ketiga yakni persoalan sengketa
perbatasan yang melibatkan dua negara atau lebih, misalkan sengekta
klaim wilayah Laut Cina Selatan yangmelibatkan banyak negara Cina,
Filipina, Vietnam, Malaysia bahkan Indonesia bisa saja terlibat dalam
konflik Laut Cina Selatan.
Dalam buku Land, Conflict, and Justice: a Political Theory Territory
dengan penulis Avery Kolers pada 2009 menjelaskan mengenai konflik
perbatasan dengan menggunakan beberapa pendekatan, misalkan yang
disebutkan diatas mengenai level analisa konflik perbatasan dengan
menggunakan tiga pendekatan. Konsep cosmopolitanism ditawarkan
dalam buku ini, bagaimana bahwa sudah tidak umum lagi untuk hari
mengatakan mengenai suatu perbatasan wilayah negara (bourderless),
cosmopolitanism yang berarti suau konsep mengenai tatanan masyarakat
internasional tanpa batas wilayah negara, yang mengasumsikan bahwa
tidak ada penduduk negara tapi yang ada hanya penduduk dunia.
Persoala konflik perbatasan yang tidak kunjung usai menjadi salah satu
faktor atas tawaran konsep cosmopolitanism tersebut.Namun konsep
tersebut seolah masih bersifat utopis, karena permasalahan kedaulatan
negara menjadi persoalan yang belum bisa dijwab juga ole kolers.Bagi
penulis cosmopolitanism bukan menjadi suatu solusi interaktif dalam
mengelola konflik perbatasan, Negara tetapa menjadi aktor yang penting
untuk memenuhi hak warga negaranya.
Yang menjadi entry point dalam buku ini yakni bagaimana
persoalan konflik perbatasan sudah seharusnya ditinggal dan beralih pada
konsepsi masyarakat internasional.Persoalan politik ekonomi sumber daya
juga dibahas dalam buku, bagaiman adanya suatu konflik perbatasan
yang disebabkan oleh ketersediaan sumber daya alam.Perkara
kesejahterahan juga menjadi suatu pemicu dalam suatu konflik, yang
kontrakdiktif yakni bagaimana menyelesaikan persoalan konflik tersebut
dengn tawaran konsep cosmopolitanism.Namun yang menjadi suatu
prefrensi dalam buku ini yakni bagaimana mengukur level konflik.Dimana
hal ini bisa menjadi rujukan dalam mengerjakan tulisan. Sehingga bisa
digunakan pada level kedua dalam analisa konflik pada sengketa
perbatasan Indonesia-TimorLeste.
Konflik sendiri secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana
dua atau lebih aktor berjuang untuk mendapatkan sumber langka dalam
waktu yang sama,atau setidaknya aktor-aktor tersebut mempunyai posisi
yang dipersepsikan dan diyakini berlawanan dalam satu waktu yang
sama.Secara lebih khusus, untuk sengketa dan konflik perbatasan, Paul
K. Huth menjelaskan ada tiga faktor mengapa wilayah perbatasan sering
disengketakan dan menjadi pemicu konflik, yaitu kandungan sumber daya
alamnya, Komposisi agama dan etnis dalam populasinya, dan lokasinya
yang strategis secara militer. Sengketa perbatasan yang terjadi antara
Indonesia dan timor leste memang lebih disebabkan perebutan lahan
petanian (sumber daya alam) antara kedua warga negara yakni warga
desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah
Utara, Nusa Tenggara Timur dan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor
Leste. Permasalahan mengenai penetepan sengketa batas wilayah antar
kedua negara juga menjadi pemicu, namun pendekatan pembangunan
ekonomi berupa kesejahterhaan dan tingkat pendidikan juga berpengaruh
dalam konflik tersebut.
Resolusi konflik secara umum dapat diartikan sebagai upaya yang
dilakukan untuk menyelesaikan konflik secara konstruktif dengan cara
mencari kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam
konflik.Menurut Vestergaard, resolusi konflik mencakup dua hal utama,
yaitu isu dan relasi (hubungan antar-aktor). Johan Galtung
memperkenalkan tiga pendekatan perdamaian dalam resolusi
konflik.Pertama, pemeliharaan perdamaian (peacekeeping), yaitu upaya
untuk mengurangi atau menghentikan kekerasan melalui intervensi yang
dilakukan oleh pihak penengah, umumnya dilakukan oleh militer.Kedua,
penciptaan perdamaian (peacemaking), yaitu upaya untuk menciptakan
kesepakatan politik antarpihak yang bertikai, baik melalui mediasi,
negosiasi, arbitrasi, maupun konsolidasi.Ketiga, pembangunan
perdamaian (peacebuilding) yaitu upaya rekonstruksi dan pembangunan
sosial ekonomi pasca konflik untuk membangun perubahan sosial secara
damai.
Dengan tiga tahapan ini, diharapkan konflik bisa terselesaikan
sampai ke akar masalah, sehingga di masa mendatang konflik tersebut
tidak pecah kembali.Pemerintah Indonesia ataupun Timor Leste harus
duduk bareng demi menciptakan perdamaian di perbatasan, jangan
sampai ketika konflik tersebut mengalami eskalasi baru dua negara muali
bertindak.Pendekatan semacam ini harus ditinggal, lebih baik mencegah
daripada mengobati.Persoalan kemapanan secara ekonomi maupun yang
disebut sebagai kesejahterahan adalah entry point yang harus segara
mendapat tindakan dari kedua negara. Intervensi militer memang
dibutuhkan dalam ranah pendekatan keamanan secara tradisional namun
pendekatan human security harus lebih diutamakan, karena ini
menyangkut persoalan hak warga negara dan menyangkut nama baik
negara serta keamanan negara tentunya.
Penyelesaian konflik
Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, melakukan
kunjungan resmi dan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
untuk melakukan diskusi terkait sengketa batas. Berdasarkan perjanjian
perbatasan darat 2012, kedua negara telah menyepakati 907 koordinat
titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Garis
batas darat tersebut ada di sektor Timur (Kabupaten Belu) yang
berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro
sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat (Kabupaten Kupang dan
Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan
wilayah enclave Oecussi sepanjang 119,7 km. Dalam upaya diplomasi
untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum disepakati, hambatan yang
perlu diantisipasi adalah perbedaan pola pendekatan penyelesaian yang
digunakan oleh masing-masing pihak. Pihak Timor Leste dengan dipandu
oleh ahli perbatasan UNTEA menekankan bahwa penyelesaian
perbatasan hanya mengacu kepada traktat antara Belanda-Portugis
Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan dinamika
adat-istiadat yang berkembang di wilayah tersebut.
Sementara itu, pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat
masyarakat adat ikut dipertimbangkan.Upaya diplomasi yang dilakukan
kedua memang perlu dilakukan, hal ini setidaknya penggunaan kekuata
structural mampu mengatasi konflik di perbatasan tersebut.Namun
perbedaan pendapat antara kedua negara tentang refrensi pembagian
batas wilayah juga harus diselesaikan. Apabila sengketa perbatasan ini
belum final bisa jadi konflik tersebut akan terulang kembali. Menurut
penulis tidak perlu ada campur tangan asing dalam kasus ini, lebih baik
Indonesia melakukan kebijakan domestik seperti pengembangan
perbatasan diwilayah tersebut begitu juga dengan pihak Timor-Leste.
Penutup
Kesimpulan
Letak mempertahankan kedaulatan Negara Indonesia dan Timor
Leste karena yang diketahui ruang lingkup pada geo politik salah satunya
yaitu national power, tentang negara mempertahankan negaranya dan
kekuasaan negara. Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua
negara telah menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar
96% dari panjang total garis batas. Garis batas darat tersebut ada di
sektor Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan Distrik
Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat
(Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang
berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi sepanjang 119,7
km. Sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan timor leste
memang lebih disebabkan perebutan lahan petanian (sumber daya alam)
antara kedua warga negara.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal
sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah kedua Negara RDTL dan NKRI untuk tetap
mengutamakan hubungan bertetangga yang baik dalam
menyelesaikan persoalan garis perbatasan yang belum
disepakati, dengan itu diharapkan akan memberikan keuntungan
bagi pemerintah kedua Negara dan masyarakat yang tingal di
wilayah perbatasan.
2. Bagi Pemerintah Timor Leste supaya menjaga kondisi politik
dalam negeri yang stabil dan aman sehingga segala upaya dalam
mengelolah wilayah perbatasan bisa terealisasikan. Bagi
masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan untuk saling
menhargai supaya terhindar dari konflik antar masyarakat dan
mengunakan pas lintas batas dengan benar supaya bisa
bermanfaat sesuai yang diharapkan.
3. Bagi aparat keamanan dari kedua Negara RDTL dan NKRI yang
bertugas di wilayah perbatasan untuk menghormati norma adat
istiadat yang ada diantara masyarakat perbatasan dan diharapkan
bisa mempererat hubungan antara aparat keamanan dengan
masyarakat, selain itu diharapkan aparat keamanan dari Timor
Leste dan Republik Indonesia saling bekerja sama dan
mempererat hubungan yang baik demi keamanan di wilayah
perbatasan.
4. Bagi pemerintah kedua Negara dalam pengelolaan wilayah
perbatasan di beberapa titik yang belum disepakati oleh kedua
Negara tersebut diupayakan pembentukan pembangunan yang
bisa dimanfaatkan secara bersama oleh kedua Negara dan
masyarakat perbatasan
Daftar Pustaka
A. Buku
Wuryandari, Ganewati dkk.2009. Keamanan Di Perbatasan Indonesia-
Timur Leste. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hadi, Syamsul dkk. 2007. Disintegarasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik
Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Nur Ikfal Raharjo, Sandy. 2014. Analisis Dan Upaya Penyelesaian Konflik
Antara Warga Perbatasan Timor Tengah Utara, Indonesia Dengan
Warga Distrik Oecussi, Timor Leste Pada 2012-2013.Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.Volume 4, Nomor
1.http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&c
d=7&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwim3eC149DMAhXFuY8KHRpn
CVAQFghOMAY&url=http%3A%2F%2Fidu.ac.id%2Findex.php%2Fp
ublikasi%2Fjurnalpertahanan%2Fartikeljurnal%3Fdownload%3D18%
3Asandyraharjo&usg=AFQjCNFxZn9ujLJFi1uX1HVfunh9FBjI4Q&sig
2=4SnslFatQ_qCdepT2lO9ng&bvm=bv.121421273,d.c2I. 12 Mei
2016
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&ve
d=0ahUKEwim3eC149DMAhXFuY8KHRpnCVAQFghWMAc&url=htt
p%3A%2F%2Fthesis.umy.ac.id%2Fdatapublik%2Ft18091.pdf&usg=
AFQjCNHa71tf1fbbHPstuXR1lqqGNQaAvg&sig2=RVZKH_Ir0dxC6Ki
h_ZWkaQ&bvm=bv.121421273,d.c2I. 13 Mei 2016