Anda di halaman 1dari 20

PERMASALAHAN PERBATASAN WILAYAH ANTARA

INDONESIA-TIMOR LESTE dan PENYELESAIAN DARI


PEMERINTAH

Disusun oleh :

Nama : Ratumas Salma Zulaika

Nim : 1191002014

Kelas : AKT22

Dosen : Suhermanto

Anggota Kelompok :

Firzah Muhamad Farid Barawas (1191002042)

Vera Aulia Dewi (1191002049)

UNIVERSITAS BAKRIE

FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL

PRODI AKUNTANSI

2020
ABSTRAK

Wilayah perbatasan darat Timor-Leste dengan Indonesia memiliki dua sektor yaitu sektor barat
dan sektor timur. Perbatasan darat kedua negara awalnya ditentukan oleh perjanjian antara
Portugis dan Belanda pada tahun 1904 yang sebagai dasar hukum dengan prinsip uti posidetis
juris yang kemudian menjadi kesepakatan antara Timor-LesteIndonesia pada tahun 2002 terkait
landasan pengaturan batas darat kedua negara. Berbagai masalah yang terjadi di perbatasan darat
yaitu: masalah lintas batas, perebutan sumber daya alam dan bentrokan antara masyarakat yang
klaim wilayahnya masing-masing. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pemerintah
Timor-Leste dengan Indonesia sepakat membentuk berbagai bidang melalui dialog Joint
Ministerial Committee (JMC) tingkat Menteri Luar Negeri, Joint Border Committee (JBC),
Technical Sub Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR) dan Senior
Official Consultation (SOC). Hal ini menarik perhatian penulis untuk meneliti: “Upaya Timor-
Leste-Indonesia Dalam Penyelesaian Perbatasan Darat di Citrana dan Oben”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana kerjasama Timor-Leste-Indonesia dalam menyelesaikan
perbatasan darat, mengetahui kondisi perbatasan darat di wilayah Citrana dan Oben serta upaya
apa saja yang dilakukan oleh pemerintah Timor-Leste dalam menyelesaikan perbatasan darat
dengan Indonesia dan kendala apa saja yang dihadapi oleh pemerintah Timor-Leste dalam
menyelesaikan perbatasan darat. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif analisis, untuk menggambarkan dan menganalisis fenomena-fenomena
yang sedang terjadi berkaitan dengan penyelesaian perbatasan darat antara Timor-Leste dengan
Indonesia di Citrana-Noel Besi dan Oben-Bidjael Sunan. Dengan karya ilmiah ini
mendeskripsikan fakta-fakta yang ada. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
penyelesaian perbatasan darat dengan bentuk mekanisme kerja SOC belum memberikan hasil
yang signifikan. Tetapi dengan upaya-upaya dan tugas yang dilakukan oleh kedua belah pihak,
Timor-Leste maupun Indonesia ada kemajuan di forum SOC, seperti keterlibatan tokoh
masyarakat pada saat melakukan negosiasi mengenai tapal batas.

Kata Kunci: Diplomasi bilateral, Senior Official Consultation, Perbatasan darat di Citrana dan
Oben, Upaya Timor-Leste.
ABSTRAC

The territory of Timor-Leste land border with Indonesia has two sectors, namely sector West and
sector East. Land border the two countries initially determined by agreement between the
Portuguese and Netherlands in 1904 that as legal basis the principle of uti posidetis juris which
later became the agreement between Timor-Leste-Indonesia in 2002 Related settings border both
countries. Various problems that occur on the land border are: cross border issues, the scramble
for natural resources and the clashes between the community claims its territory respectively. To
overcome these problems, the Government of Timor-Leste with Indonesia agreed to form
various fields through dialogue the Joint Ministerial Committee (JMC) the level of Foreign
Ministers, the Joint Border Committee (JBC), Technical Sub Committee on Border Demarcation
and Regulation (TSC-BDR) and Senior Official of the Consultation (SOC). This attracted the
attention of writers to research: "the efforts of Timor-Leste-Indonesia in the settlement border in
Citrana and Oben". The purpose of this research, to find out how the cooperation between
Timor-Leste and Indonesia in resolving land border, knowing the condition of the land border in
the region as well as efforts in Citrana and Oben and the efforts doing by the Government of
Timor-Leste in the complete the land border with Indonesia and any constraints faced by the
Government of Timor-Leste in resolving land border. Research methods used in this research is
descriptive analytic research, to describe and analyze actual phenomena that are happening
related to the settlement of the land border between Timor-Leste- Indonesia in Citrana-Noel Besi
and Oben -Bidjael Sunan. Thus, this manuscript describes and report the actual facts that
occurred. The results of this research show that the settlement of the land border with SOC work
mechanism has yet to provide significant results. But with the efforts and the tasks performed by
the parties, the Timor-Leste or Indonesia there is progress on the SOC forum, such as the
involvement of the community leaders at the time of the negotiations about the border.

Keywords: Bilateral Diplomacy, Senior Official Consultation, land border in Citrana and Oben
Monday, Efforts of Timor-Leste.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara kepulauan. Hal itu ditegaskan dalam pasal 25A UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa NKRI adalah sebuah Negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan
oleh undang-undang. Jumlah pulau di Indonesia kurang lebih 18.110 pulau. Dari jumlah tersebut
yang didiami oleh penduduk hanya sekitar 6.044 pulau, selebihnya tidak berpenduduk.

Berkaitan dengan wilayah Negara Indonesia, pada 13 Desember 1957 pemerintah


Indonesia mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang menyatakan: “Bahwa segala perairan di
sekitar,diantaranya, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan
RI,dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan
Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan
pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada
pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang”

Pada masa pemerintahan kabinet reformasi dibawah pimpinan presiden Habibie, dengan
persetujuan DPR, diadakan jajak pendapat bagi rakyat Timor Timur yang sekarang menjadi
Timor Leste. Berdasarkan hasil jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih menjadi sebuah
Negara yang berdaulat. Dengan demikian, sejak tahun 1999, Timor timur tidak lagi termasuk
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

sejak tahun 2000 Indonesia juga sudah mencoba untuk melakukan negosiasi awal terkait
garis batas antarnegara dengan menggunakan dasar hukum yang disepakati bersama. Dasar
hukum tersebut mengacu ke hukum internasional yakni Traktat (Treaty) dan Persetujuan
(Agreement) tahun 1904.Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 terbentuk sejumlah
provinsi baru, sehingga jumlah seluruh provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ada 33
provinsi. Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km2.

Wilayah negara adalah daerah yang menunjukan batas-batas suatu negara, di mana dalam
wilayah tersebut negara yang bersangkutan dapat melaksanakan kekuasaannya. Wilayah
merupakan hal yang sering disangkut pautkan dengan kedaulatan. Saat wilayah suatu negara dilanggar oleh
negara lain, maka sama dengan mengganggu kedaulatan suatu Negara. Sama halnya dengan negara Indonesia
dan Timor Leste, karena suatu batas wilayah kedua negara tersebut bersengketa.

Timor leste merupakan suatu negara yang dulunya termasuk ke dalam wilayah Indonesia. Setelah
merdeka pada tanggal 20 Mei 2002, Timor Leste resmi memisahkan diri dan membentuk negara baru yaitu
Republic Rakyat Demokratik Timor Leste. Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia karena adanya berbagai
macam gugatan dunia internasional mengenai kesahan invasi ABRI (sekarang TNI) terhadap Timor Leste
dipertanyakan, pelanggaran HAM berat dan ringan menjadi suatu polemic di masyarakat internasional menjelang
akhir tahun 1990-an atau tepatnya tahun-tahun menjelang 2000. Yang pada saat itu Indonesia juga mengalami
krisis politik dan ekonomi yang luar biasa pada tahun 1998 yang terkenal dengan sebutan reformasi. Situasi
tersebut dimanfaatkan oleh Jose Ramos Horta untuk meminta dukungan internasional guna menekan
pemerintah Indonesia.

Direktur Kewilayahan Perkotaan dan Batas Negara Kemendagri, R Budiono Subambang,


mengakui bahwa masalah sengketa di wilayah perbatasan tersebut telah lama ada sejak kedua
negara berpisah. Setelah Timor leste memilih memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 2002,
yang dulunya Timor-leste adalah wilayah jajahan dari portugis dan pada tahun 1976 berintegrasi
dengan Negara Republik Indonesia. Masih terdapat masalah rumit yang sering muncul yakni
masalah perbatasan antara Indonesia-Timor Leste. Ada beberapa wilayah perbatasan antara
Indonesia – timor leste yang masih belum disepakati dan masih menjadi klaim antar dua negara
tersebut. Dua titik batas yang masih dipersoalkan diantara kedua negara yakni wilayah di Desa
Oepoli, Kabupaten Kupang, yang berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas
1.069 hektare dan Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben,
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor
Leste, seluas 142,7 ha. Untuk Noel Besi, masalahnya belum ada kata sepakat soal intrepretasi
hukum Treaty maupun di lapangan, karenanya masih dinegosiasikan. Selain masalah itu, ada
juga masalah adat yaitu garis batas negara yang disengketakan terdapat sebuah makam adat.
Sedangkan di Bijael Sunan-Oben, kendala utamanya,justru masyarakat setempat yang tidak
sepenuhnya sepakat dengan Pemerintah Pusat jika menggunakan Treaty. Masyarakat,
menginginkan kesepakatan itu terjadi dengan kemauan antarmasyarakat kedua negara sendiri.

Masalah timbul karena ada perbedaan persepsi antarbatas negara yang ditetapkan oleh
negara penjajah terdahulu. Batas negara Timor Leste dengan Indonesia ditetapkan oleh Portugal.
Sedangkan sebaliknya, batas negara Indonesia dengan Timor Leste ditetapkan Belanda.Wilayah
perbatasan ini sering menimbulkan konflik antara warga perbatasan yang banyak memakan korban jiwa. memang
pada tahun 2005 pemerintah Indonesia dan Timor Leste bertemu di Bali untuk membahas masalah tapal batas
kedua negara. Namun seiring berkembang isu politik dan ekonomi antar kedua negara, wilayah perbatasan
tersebut masih menyisakan persoalan.

jika ada perbedaan keinginan soal kesepakatan pengelolaan perbatasan Indonesa dengan
Timor Leste. Untuk di Noel Besi, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia
menginginkan Noel Besi sebagai wilayah sesuai toponimi atau asal usul nama tempat.
Sebaliknya, Timor Leste menginginkan Sungai Nono Nomna berdasarkan Azimuth atau besar
sudut antara utara magnetis (nol derajat) dengan titik/sasaran yang dituju atau disebut juga
sebagai Sudut Kompas. Untuk Bijael Sunan, Desa Manusasi, Kabupaten Miofaffo Barat, Timor
Tengah Utara, Indonesia menginginkan garis batas dipindahkan ke arah utara Sungai Miomafu
ditarik dari pilar yang dibuat tahun 1966 menyusuri punggung bukit. Seperti diketahui, Timor
Leste membangun bangunan permanen di atas wilayah sengketa dengan Indonesia yang berada
di Noelbesi-Citrana, Desa Netamnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang,
Nusa Tenggara Timur. Bangunan permanen yang dibangun seperti kantor pertanian, balai
pertemuan, gudang dolog, tempat penggilingan padi, pembangunan saluran irigasi dan jalan
diperkeras.

Permasalahan wilayah perbatasan ini diakibatkan juga karena terjadi suksesi Negara,
karena sebelum kemerdekaan Timor Leste wilayah perbatasan ini tidak menjadi persoalan. Akan
tetapi setelah wilayah Timor Leste merdeka menjadi persoalan karena baik RDTL dan NKRI
tidak akan melepaskan kedaulatan negaranya. Guna menyelesaikannya maka pemerintah harus
melakukan kebijakan supaya tidak terjadi konflik di masa depan.

Persoalan-persoalan yang muncul di wilayah perbatasan Republic Democratic Timor


Leste dan Negara Kesatuan Republik Indonesia akibat belum jelasnya penetapan batas tersebut
menimbulkan banyak konflik yang terjadi baik antara aparat keamanan RDTL dan NKRI
maupun antara masyarakat, sehingga dalam menetapkan garis perbatasan kedua Negara tersebut
pemerintah juga harus mengikutsertakan peran masyarakat lokal di perbatasan supaya bisa
menghasilkan kesepakatan yang diterima oleh masyarakat.

Dari latar belakang tersebut di atas penulis ingin mengkaji untuk menemukan
permasalahan yang lebih detail dan upaya untuk menangani sengketa permasalahan tentang batas
wilayah yang terjadi antara Indonesia – Timor Leste tersebut, yang akan mempengaruhi dan
langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh kedua Pemerintah dalam mencapai penyelesaian
demi menjamin keadilan dan kepastian hukum, maka makalah ini diberi judul “Permasalahan
batas wilayah antara Republik Indonesia dan Timor Leste”.

Pemerintah Indonesia ataupun Timor Leste harus duduk bareng demi menciptakan
perdamaian di perbatasan, jangan sampai ketika konflik tersebut mengalami peningkatan
masalah yang lebih berat baru dua negara mulai bertindak. Pendekatan semacam ini harus
ditinggal, lebih baik mencegah daripada mengobati. Persoalan kemapanan secara ekonomi
maupun yang disebut sebagai kesejahterahan adalah entry point yang harus segara mendapat
tindakan dari kedua negara. Intervensi militer memang dibutuhkan dalam ranah pendekatan
keamanan secara tradisional namun pendekatan human security harus lebih diutamakan, karena
ini menyangkut persoalan hak warga negara dan menyangkut nama baik negara serta keamanan
negara tentunya.

B. Pokok Permasalahan

1. Apa penyebab adanya permasalahan antara Indonesia  – Timor Leste


2. Bagaimana cara penyelesaian permasalahan yang terjadi antara Indonesia  – Timor Leste
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Wilayah Negara


Wilayah merupakan suatu daerah yang dikuasai dan juga yang menjadi teritorial dari
sebuah kedaulatan. Secara umum, wilayah (region) merupakan suatu bagian permukaan
bumi yang mempunyai karakteristik khusus atau juga khas tersendiri yang
menggambarkan satu keseragaman atau juga homogenitas sehingga akan dengan jelas
dapat dibedakan dari wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Wilayah Negara merupakan
adanya suatu area yang dikendalikan oleh kedaulatan atau teritorial. Di masa lalu, suatu
daerah sering dikelilingi ialah batas-batas kondisi fisik alami seperti sungai, laut, dan
gunung. Serta dalam artian wilayah negara adalah daerah yang menunjukkan batas-batas
suatu negara, di mana dalam wilayah tersebut negara yang bersangkutan dapat
melaksanakan kekuasaannya, sehingga menjadi tempat berlindung sekaligus sebagai
tempat bagi pemerintah untuk mengorganisir dan menyelenggarakan pemerintahannya.
Wilayah merupakan suatu konsep yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi serta
juga mengorganisasi daerah (area) di muka Bumi untuk segala tujuan. Suatu wilayah
mempunyai karakteristik tertentu yang memberikan ukuran-ukuran kesamaan serta juga
perbedaan dengan wilayah lain.

Menurut kamus bahasa Indonesia, kata wilayah diartikan sebagai daerah atau
lingkungan yang menjadi area kepemilikan, kekuasaan atau pengawasan. Sedangkan
negara adalah organisasi dalam suatu wilayah tertentu yang diatur oleh kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati rakyat. Wilayah memiliki batas-batas yang jelas dan diakui
atau disepakati oleh masing-masing pihak yang memiliki wilayah tersebut.

Pertimbangan dalam UU No. 43 tahun 2008 tentang wilayah adalah:

 Bahwa adanya sebuah peraturan tentang wilayah negara tersebut mencakup tanah,
perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial, serta dasar laut dan tanah serta
wilayah udara yang mendasarinya, termasuk semua sumber kemakmuran yang
terkandung di dalamnya.

 Atas dasar pertimbangan yang disebutkan dalam huruf a, b dan c, undang-undang tentang
wilayah nasional harus diberlakukan.

 Bahwa dengan adanya suatu peraturan terhadap wilayah nasional sebagaimana dimaksud
dalam huruf b diterapkan untuk memberikan warga negara kepastian dan kejelasan
hukum berkenaan dengan wilayah nasional.
 Bahwa dalam suatu negara kesatuan Republik Indonesia, sebagai negara kepulauan yang
ditandai oleh kepulauan, memiliki kedaulatan atas wilayahnya dan hak-hak
kedaulatannya di luar wilayahnya dan otoritas tertentu lainnya yang dikelola dan
digunakan sejauh mungkin untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia
sebagaimana disyaratkan oleh UUD Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

B. Pengertian Wilayah Negara Indonesia

Dalam UUD 1945 pasal 25A, menyebutkan bahwa :


"Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-
Undang."
Lalu, yang dimaksud wilayah negara yaitu daerah yang menunjukkan batas negara
dimana daerah tersebut merupakan tempat berlindung bagi rakyat dan tempat untuk
melaksanakan pemerintahan.Wilayah yang termasuk dalam wilayah NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) meliputi wilayah daratan, lautan, dan udara.

1. Wilayah Daratan

Wilayah daratan merupakan tempat permukiman atau kediaman warga Negara atau
penduduk Indonesia.. Meliputi pulau-pulau besar seperti Pulau Sumatra, Pulau Jawa,
Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Bali, dan Pulau Papua.Serta pulau-pulau
kecil yang ada di sekitarnya.Karena jumlah total pulau - pulau yang ada di Indonesia
sekitar 17.500 an lebih (tepatnya saya tidak tahu).
a. Batas-batas wilayah Indonesia sebelah utara
Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia(bagian timur), tepat di sebelah
utara pulau Kalimantan.
b. Batas-batas wilayah Indonesia sebelah barat
Wilayah NKRI berbatasan langsung dengan samudera Hindia dan perairan
Negara india. Dua pulau yang menandai perbatasan Indonesia-India adalah pulau
Ronde di Aceh dan pulau Nicobar di India.
c. Batas-batas wilayah Indonesia sebelah timur
Wilayah timur Indonesia berbatasan dengan daratan Papua Nugini dan perairan
Samudera Pasifik. Wilayah Indonesia sebelah timur, yaitu Provinsi papua
berbatasan dengan wilayah papua nugini sebelah barat, yaitu Provinsi Barat(Fly)
dan Provinsi Sepik Barat(Sandaun).
d. Batas-batas wilayah Indonesia sebelah selatan
Indonesia sebelah selatan berbatasan dengan wilayah darat Timor Leste,Perairan
Australia, dan Samudera Hindia. Timor Leste adalah bekas wilayah Indonesia
yang memisahkan diri menjadi Negara sendiri. Provinsi Nusa Tenggara Timur
adalah provinsi yang berbatasan langsung dengan wilayah Timor Leste, di
kabupaten Belu.

2. Wilayah Laut

wilayah laut ini dapat diukur dari pantai yang batasnya 200 mil dari pantai. Ini disebut
juga dengan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Sejak Indonesia mengesahkan
UNCLOS 1982 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985, dunia
internasional mengakui Indonesia sebagai Negara kepulauan. Berkat pandangan visioner
dalam Deklarasi Djuanda, bangsa Indonesia akhirnya memiliki tambahan wilayah seluas
2.000.000km2, termasuk sumber daya alam yang ada. Negara Indonesia merupakan
Negara kepulauan terbesar di dunia. Sesuai dengan hukum laut internasional yang telah
disepakati oleh PBB tahun 1982. Wilayah laut di Indonesia memiliki pembagian menurut
konvensi Hukum Laut PBB. Yaitu:
a. Zona Laut Teritorial
Batas laut teritorial ialah garis khayal yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar
kearah laut lepas.sedangkan garis dasar adalah garis khayal yang menghubungkan
titik-titik dari ujung-ujung pulau terluar
b. Zona Landas Kontinen
Landas kontinen ialah dasar laut yang secara geologis maupun morfologi merupakan
lanjutan dari sebuah kontinen(benua). Indonesia terletak pada dua buah landasan
kontinen yaitu landasan kontinen asia dan landasan kontinen Australia.
c. Zona Ekonomi Ekslusif(ZEE)
Zona ini adalah jalur laut selebar 200 mil laut kearah laut terbuka diukur dari garis
dasar. Dimana di garis ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama dalam
memanfaatkan sumber daya laut.

3. Wilayah Udara

Indonesia juga mempunyai kekuasaan atas wilayah udara. Wilayah udara terletak di atas
permukaan wilayah daratan dan lautan Republik Indonesia.
BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A. Awal penyebab permasalahan Indonesia-Timor Leste

Setelah merdeka pada tanggal 20 Mei 2002, Timor Leste resmi memisahkan diri dan
membentuk negara baru yaitu Republic Rakyat Demokratik Timor Leste. Persoalan
kemerdekaan Timor Leste tentunya menjadi cabuk tersendiri bagi pemerintah Indonesia yang
tidak mampu menjaga wilayah kedaulatan dan malah memilih opsi untuk memerdekaan Timor
Leste.

Persoalan disintegrasi Timor Leste dari Indonesia tidak selesai sampai disitu saja, masalah
pelik yang sering muncul yakni masalah perbatasan. Ada beberapa wilayah perbatasan antara
Indonesia – Timor Leste yang masih belum disepakati dan masih menjadi klaim antar dua negara
tersebut. 

Masalah perbatasan menjadi hal yang lumrah untuk diperdebatkan mengingat kedua
negara tersebut hanya berbatasan dengan tapal batas. Hingga sekarang pemerintah Indonesia dan
Timor Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua negara di atas lahan seluas
1.211,7 hektare yang terdapat di dua titik batas yang belum terselesaikan. Dua titik batas yang
masih dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang
berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare dan Batas lainnya
yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten Timor Tengah Utara
(TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha.

Wilayah perbatasan ini sering menimbulkan konflik antara warga perbatasan yang banyak
memakan korban jiwa, memang pada tahun 2005 pemerintah Indonesia dan Timor Leste bertemu
di Bali untuk membahas masalah tapal batas kedua negara. Namun seiring berkembang isu
politik dan ekonomi antar kedua negara, wilayah perbatasan tersebut masih menyisakan
persoalan.

Pada pertengahan Oktober 2013, konflik antarwarga di perbatasan Indonesia-Timor Leste


kembali pecah. Warga kedua negara saling serang dengan melempar batu dan kayu di perbatasan
Kabupaten Timor Tengah Utara (Indonesia) dengan Distrik Oecussi (Timor Leste). Konflik ini
menimbulkan ketegangan hubungan antarwarga hingga berhari-hari. Konflik tersebut bukan
pertama kali terjadi, karena pada akhir Juli 2012 konflik serupa juga terjadi di kabupaten yang
sama, tetapi melibatkan warga dari desa yang berbeda. 
Biasanya masalah yang muncul di wilayah perbatasan darat tersebut berupa belum disepakatinya
penetapan dan penegasan batas serta maraknya aktivitas lintas batas ilegal. Bisa dikatakan jarang
sekali terjadi kekerasan antarwarga. Oleh karena itu, analisis terhadap permasalahan perbatasan
antara Indonesia-Timor Leste tersebut penting untuk dilakukan, agar Indonesia dapat membuat
langkah antisipasi sehingga kejadian serupa tidak terjadi di masa depan.

Pada Oktober 2013 itu terjadi karena, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste
membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor
Tengah Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga
menggunakan zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua negara
pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun
Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar
perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta
merusak sembilan kuburan orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor
Tengah Utara.

1. Penyebab Terjadinya masalah antara Indonesia – Timor Leste

 Pembangunan jalan di dekat perbatasan


Pada Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat
perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut
telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m.
Padahal berdasarkan nota kesepakataan kedua negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak
boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste. Selain itu,
pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak
pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak sembilan kuburan
orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara.
Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara warga Nelu,
Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14 Oktober 2013.

 Insiden penggiringan 19 ekor sapi


Eskalasi konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19 ekor sapi milik
warga Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste masuk ke wilayah mereka.
Selanjutnya, 10 warga Indonesia didampingi enam anggota TNI Satgas-Pamtas masuk ke
wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Sementara itu, ratusan warga lainnya
dari empat desa di Kecamatan Naibenu berjaga-jaga di perbatasan dan siap perang melawan
warga Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan Kota, Distrik Oekussi, Timor Leste.
 Pembangunan di wilayah zona netral/telah melebihi batas wiayah.
Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Satu tahun
sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah Utara-Oecussi. Pada 31 Juli 2012,
warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT,
terlibat bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrokan ini dipicu oleh
pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor Leste di zona
netral yang masih disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke wilayah
Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut dibabat habis oleh pihak
Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga dari kedua negara kemudian saling lempar
batu dan benda tajam sebelum akhirnya dilerai oleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor
Leste. Menurut Kepala Desa Haumeni Ana, Petrus Asuat, Selasa (16/9/2014) mengatakan, enam
titik yang berpotensi konflik itu yakni Subina di Desa Inbate, Pistana di Desa Nainaban dan Desa
Sunkaen, Tububanat di Desa Nilulat, Oben di Desa Tubu, Nefonunpo dan Faotben di Desa
Haumeni Ana.

 Membuka lahan pertanian di zona netral


Puluhan warga distrik Oecusi Timor Leste dilaporkan membuka lahan pertanian di zona netral
Sunkaen (Pistana) yang merupakan satu dari empat titik sengketa antara Indonesia dan Timor
Leste yang berada disepanjang perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara
Timur. Luas lahan yang di garap itu diperkirakan mencapai 3000 meter persegi. Pembukaan
lahan tersebut tentu saja merupakan sebuah pelanggaran.

Kedua negara sudah sepakat untuk menjadikan ke-empat lokasi sengketa  sebagai daerah
netral. Kedua negara tidak boleh melakukan aktifitas apa pun di daerah itu.  Warga Oecusi secara
sepihak telah mengklaim lokasi Sungkaen sebagai wilayah Timor Leste. Empat titik sengketa di
wilayah itu meliputi Manusasi, Haumeni Ana, Inbate, dan Sungkaen. Pemerintah kedua negara
sudah berulang kali melakukan survei dan pemetaan dilokasi yang menjadi sengketa. Apalagi
tim negosiasi kedua negara memiliki bukti historis dan sejarah yang berbeda mengenai
kepemilikan lahan yang disengketakan.

2. Pembahasan Kasus

Terdapat berbagai lokasi di sekitaran daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor
Leste:
 Masalah Perbatasan Indonesia – Timor Leste

Persetujuan Penegasan dan Penetapan Batas RI-RDTL tertuang dalamkomunike bersama yang
ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI HasanWirajuda dan Ketua UNTAET Sergio Viera de Mello di
Denpasar padatanggal 2 Februari 2002. Selanjutnya pemerintah RI dan UNTAET sepakatuntuk segera
melakukan peninjauan lapangan sebagai langkah awalmenuju penegasan dan penetapan batas wilayah RI-RDTL.
 Wilayah/Area Permasalahan 

a) Noel Besi / Citrana

Daerah sengketa terletak di Kabupaten Kupang, dengan luas + 1.069 Ha,berawal dari sengketa lahan. Pada
waktu Timor Timur masih bergabungdengan NKRI, daerah Noel Besi/Citrana merupakan daerah
perbatasanKabupaten Kupang (NTT) dengan kabupaten Ambeno (wilayah Timor Timur). Daerah ini
dialiri Sungai Noel Besi yang bermuara di selat Ombaidimana sejak jaman Portugis aliran sungai
mengalir di sebelah kiri daerah sengketa.

Dari aspek yuridis, batas Negara menurut Treaty/Traktat 1904 Belanda-Portugis disebutkan


muara Sungai Noel Besi mempunyai Azimuth kompas 300 47’ NW kearah pulau Batek dan dari aspek
Teknis (menurut Toponimi) nama Sungai Noel Besi terdapat di sebelah timur Sungai Nono
Noemna.Mengingat adanya perbedaan pandangan yang sangat tajam tentang batasdarat kedua Negara,
masing-masing merasa perlu adanya data/analisis yang lebih lengkap dan akurat.

b) Bijael Sunan/Manusasi

Daerah sengketa meliputi daerah seluas 142,7 Ha, dikarenakan adanya perbedaan persepsi
traktat/Treaty juga di sebabkan karena masalah adat. Sebelum tahun 1893 daerah ini di kuasai
oleh masyarakat Timor Barat, namun antara 1893-1966 daerah ini di kuasai masyarakat Timor
Timur (Portugis). Pada tahun 1966, garis batas di sepanjang Sungai Noel Miomafo digeser ke
utara mengikuti puncak pegunungan/bukit (watershed) mulai dari puncak Bijael Sunan sampai
dengan barat laut Oben yang ditandai dengan pilar Ampu Panalak.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemindahan batas wilayah yang dilakukan secara
adat dengan melintasi batas antar Negara/batas Internasional, disaksikan oleh Gubenur Portugis
dan NTT pada saat itu. Pada kasus manusasi terdapat 2 hal yang cukup
menarik, pertama menurut Treaty 1904 garis batas mengikuti Thalweg (walaupun prinsip
median line termasuk disepakati), kedua menurut adat, garis batas mengikuti punggung bukit
(Bukit Oelnasi). Prinsip delineasi berdasarkan watershed/punggung bukit juga dianut
dalam Treaty 1904.

c) Dilumil/Memo

Daerah bermasalah di Dilumil/Memo Kabupaten Belu mencakup daerah seluas ± 41,9 Ha,
berawal dari sengketa lahan yang berada di delta S. Malibaka sebagai hasil proses pengendapan.
Dalam hal ini, pihak RI pada awalnya menghendaki batas wilayah RI-RDTL berada disebelah
timur Delta, sedangkan RDTL menghendaki di sebelah barat Delta. Namun pada perkembangan
terakhir (sesuai pertemuan TSC-BDR RI-RDTL tahun 2004), pihak RI menghendaki penarikan
batas sesuai median line yang membagi dua river island/delta.
d) Subina-Oben.

Penyelesaian permasalahan unsurveyed hingga sekarang belum ada kemajuan (titik temu). Oleh


karena itu perlu adanya upaya penyelesaian dengan merujuk pasal 6 Provisional Agreement RI-
RDTL (2005) yang melibatkan Pemda dan masyarakat setempat. Penegasan dan penetapan batas
antar kedua Negara dilakukan lewat forum kerjasama Technical Sub Committee on Border
Demarcation and Regulation (TSC-BDR),  yang dibuat berdasarkan perjanjian-perjanjian yang
telah dilakukan oleh Belanda dengan Portugis yaitu Colonial Boundary
Treaty 1859, Convention 1893 dan Convention 1904, Masalah batas timbul karena adanya
perbedaan fisik lapangan dan penafsiran serta RDTL pernah menjadi salah satu propinsi NKRI

Wilayah yang menjadi sengketa tersebut sering menimbulkankonflik kekerasan antar warga desa
dua negara. Kemiskinan didaerahtersebut menjadi salah satu penyebab konflik, mengingat
daerag free zone(yang masih diklaim pihak Indonesia –  Timor Leste) adalah lahanpersawahan
yang cukup subur untuk pertanian. Sehingga terkadang wargadari Timor Leste melakukan
penanaman bibit pertanian dilahan tersebut yang mana kegiatan tersebut tentunya sangat tidak
disukai oleh warga NTTdiperbatasan. Seringnya pihak dari Timor Leste melakukan
pembangunangedung maupun jalan yang melewati batas yang ditetapkan membuat
pihakIndonesia geram. Bentrok yang sering terjadi di beberapa desa yang telahdisebutkan diatas,
perlu ada tindakan tegas dan negosiasi damai antaradua pihak (Indonesia dan Timor Leste) untuk
menyelsaikan konfliktersebut, sebelum konflik ini berkembang menjadi besar sehingga
dapatmenimbulkan korban jiwa

3. Analisa Konflik Perbatasan Indonesia –  Timor Leste

Dalam konteks pertahanan-keamanan, salah satu isu yang patut diperhatikan adalah
kemungkinan munculnya konflik antarnegara, yaitu antara Indonesia dan Timor-Leste. Potensi
konflik ini bisa terjadi sebagai akibat persaingan antara dua negara dalam memperoleh sumber-
sumber daya alam dan tumpang tindih klaim batas-batas territorial darat dan laut di daerah
perbatasan. Sebab itu pemerintah Timor-Leste harus tegas dalam menyelesaikan garis batas
wilayah darat dengan Indonesia sehingga hak dan kewajiban kehidupan masyarakat perbatasan
jelas.

Masih terdapat 2 segmen belum diselesaikan, yang pertama segmen Noel Besi-Citrana. Bagian
Timor-Leste yaitu Citrana di distrik Oecusse subdistrik Nitibe perbatasan dengan Indonesia yaitu
Noel Besi di Desa Netemnanu Utara Amfoang Timur, Kabupaten Kupang menyangkut areal
persawahan sepanjang Sungai Noel Besi, yang status tanahnya masih merupakan daerah steril.
Tempat yang bernama Naktuka ini disengketakan oleh penduduk wilayah Timor-Leste dan
penduduk wilayah Indonesia. Contohnya kedudukan masyarakat Timor-Leste di wilayah
Naktuka, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Menurut
Kabag Humas dan Protokhol Setda Kabupaten Kupang Stefanus Baha bahwa masyarakat yang
tinggal di Naktuka tidak hanya berkebun untuk menyambung hidup, tetapi juga membangun
permukiman di wilayah demarkasi tersebut. Masyarakat Amfoang Utara tidak menerima kalau
warga TL menduduki di wilayah Naktuka, dan masyarakat siap berperang atau melakukan
tindakan apapun terhadap warga Timor-Leste yang menguasai lahan di Naktuka. Ketidak jelasan
batas darat menimbulkan konflik dan rasa tidak nyaman antar masyarakat perbatasan.

Kedua segmen yaitu Bidjael Sunan-Oben. Bagian Timor-Leste yaitu Oben ada di distrik
Oecusse, subdistrik Passabe yang perbatasan dengan Bidjael Sunan di Kabupaten Timor Tengah
Utara Indonesia, yaitu areal seluas 489 bidang tanah sepanjang 2,6 kilometer atau 142,7 hektar.
Tanah tersebut merupakan tanah yang disterilkan agar tidak menimbulkan masalah karena
Indonesia dan Timor-Leste mengklaim sebagai miliknya. Contoh konflik yang terjadi di
Kecamatan Naibenu Kabupaten Timor Tengah Utara, pada bulan Oktober 2013, Pemerintah
Timor-Leste membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-Timor-Leste, dimana menurut
warga Timur Tengah Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan
juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua
negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak baik oleh Indonesia
maupun Timor-Leste.

Pembagunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antar warga Nelu,
Indonesia dengan warga Leolbatan Timor-Leste pada senin 14 Oktober 2013. Warga saling
lempar batu dan kayu. Hal ini berimplikasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan keamanan
bagi warga di sekitar perbatasan. Salah satu permasalahan utama daerah perbatasan adalah
ketertinggalan dan keterisolasian, sehingga daerah-daerah ini secara umum dikategorikan sebagai
daerah tertinggal.Meningkatnya kemiskinan masyarakat di daerah perbatasan, akan
menyebabkan meningkatnya kegiatan illegal dan membuka jalan bagi tindak kejahatan lintas
perbatasan, seperti pembalakan liar, illegal fishing, illegal trafficking in person dan perdagangan
wanita dan anak.

Selain ketertinggalan dan keterisolasian adanya penyelundupan dan lalu lintas illegal yang harus
diperhatikan juga, aktivitas ini terjadi antara lain, karena disebabkan adanya perbedaan harga
bahan-bahan kebutuhan pokok antara Provinsi NTT dengan Timor Leste. Sementara itu,
Mayjend. TNI. Amirn Syamsuddin, Direktur C BAIS TNI, mengakui bahwa terdapat hubungan
ekonomi, sosial dan budaya yang sangat erat di perbatasan darat RI-TL, sehingga memunculkan
suatu garis yang tidak nyata, yaitu semacam jalan tikus, karena saling ketergantungan antara
kedua warga masyarakat yang dipisahkan oleh garis perbatasan secara politik. Penyeludupan,
seperti minyak tanah, sembako lain-lain terjadi melalui jalan-jalan tikus, sehingga sering kali
menjengkelkan petugas.
B. Penyelesaian Konflik Indonesia – Timor Leste

Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, melakukan kunjungan resmi dan menemui
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan diskusi terkait sengketa batas.
Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua negara telah menyepakati 907 koordinat
titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Garis batas darat tersebut
ada di sektor Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan
Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat (Kabupaten Kupang dan Kabupaten
Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi sepanjang
119,7 km.
Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum disepakati,
hambatan yang perlu diantisipasi adalah perbedaan pola pendekatan penyelesaian yang
digunakan oleh masing-masing pihak. Pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan
UNTEA menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada traktat antara
Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan dinamika adat-
istiadat yang berkembang di wilayah tersebut. Sementara itu, pihak Indonesia mengusulkan agar
pendapat masyarakat adat ikut dipertimbangkan.

Pada tahun 2016 sedang berlangsung joint field survey (survei lapangan bersama) yang
dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste. Hal tersebut dilakukan, terkait perundingan
mengenai batas wilayah darat. Kemlu RI secara konsisten sudah menyampaikan keberatan atas
pembangunan secara permanen oleh pihak Tinor Leste.  Perwakilan Kemlu RI juga telah
melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai rincian letak wilayah perbatasan antara Indonesia
dan Timor Leste. Tak hanya Kemlu, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan juga bernjanji
untuk memeriksa informasi mengenai pendirian bangunan permanen di wilayah sengketa ini.

Kegiatan rapat koordinasi para Raja, Fettor sebagai tokoh adat kerajaan dan aparat pemerintah
daerah dihadiri juga personel Korem 161/Wira Sakti untuk merumuskan keinginan rakyat adat
kerajaan Amfoang sehingga permasalahan sengketa RI-RDTL di wilayah Naktuka dapat
diselesaikan. Menurut Ida Bagus, kebijakan Danrem 161/Wira Sakti, Brigjen TNI Teguh Muji
Angkasa, terhadap klaim maksimal atas wilayah sengketa tersebut merupakan implementasi
tugas TNI dalam menjaga kedaulatan negara.

Pertemuan itu dihadiri sekitar 350 orang dari perwakilan pemerintah serta tokoh adat kedua
negara dengan menghasilkan pernyataan bersama. Kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh keempat raja yaitu Raja Liurai, Raja Sonba’i, Raja Amfoang
dari Indonesia dan Raja Ambenu dari Timor Leste.

Isi kesepakatannya antara lain:


1) Memperkokoh tali persaudaraan dalam rangka melestarikan nilai-nilai adat istiadat yang
telah ditanamkan oleh para leluhur dalam filosofi Nekaf Mese Ansaof Mese Atoni Pah
Meto.
2) Mendukung tegaknya perdamaian di tapal batas sebagaimana telah ditetapkan dalam
sumpah adat oleh para leluhur dan diharapkan kedua negara.
3) Menjalin kerja sama dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat masyarakat di
bidang sosial, budaya, dan ekonomi.
4) Mengakui dan memperteguh batas-batas adat antar Kerajaan Liurai Sila, Sonbai Sila,
Beun Sila, dan Afo Sila sesuai dengan sumpah mereka.
5) Garis batas antarnegara tidak menjadi titik sengketa sebagaimana terjadi selama ini,
melainkan menjadi titik sosial dan titik persaudaraan.
6) Hasil pertemuan perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat kedua negara.
7) Mendorong pemerintah kedua negara agar memfasilitasi pertemuan serupa pada tahun
2018 di Ambenu, hal-hal teknis terkait kehadiran peserta agar tidak dipersulit.
8) Mendorong dan mendesak pemerintah kedua negara agar segera menyelesaikan titik-titik
batas yang belum diselesaikan.

Delapan poin pernyataan bersama hasil pertemuan tokoh adat RI-RDTL, telah disetujui oleh
keempat raja yang disaksikan oleh tokoh adat dan tokoh masyarakat kedua negara. Kesepakatan
ini akan menjadi acuan dalam perundingan diplomasi antara Pemerintah RI yang diwakili oleh
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam negeri dan Kemempolhukam dan Pemerintah
RDTL. Dengan demikian, masalah batas wilayah antara kedua negara ini dapat diselesaikan
secara tuntas dan tidak terjadi permasalahan pada masa yang akan datang.
BAB IV
Kesimpulan

Masalah perbatasan menjadi hal yang lumrah untuk diperdebatkan mengingat kedua negara
tersebut hanya berbatasan dengan tapal batas. Hingga sekarang pemerintah Indonesia dan Timor
Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua Negara. Dua titik batas yang
masih dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang
berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste.

Sengketa antara Indonesia dan Timor Leste terjadi karena perebutan batas wilayah. Penyebab sengketa tersebut
karena Timor Leste berulang-ulang kali melanggar kesepakatan yang telah disepakati tentang batas wilayah
tersebut. Hingga sekarang telah dilakukan berbagai upaya untuk meredam persoalan ini agar tidak ada lagi bentrok
yang hingga menimbulkan korban jiwa seperti pertemuan antara Perdana Menteri Timor Leste, Xanana
Gusmao dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan diskusi terkait sengketa batas pada tahun
2012. Upaya diplomatik juga telah dilakukan dan pada tahun 2016 ini sedang berlangsung joint field survey
(survei lapangan bersama) yang dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste.

Pengelolaan wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste selama ini lebih mengutamakan
pada aspek kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan, ini ditandai dengan
dibukanya pasar-pasar tradisional dan diberlakukannya penetapan pass lintas batas bagi
masyarakat perbatasan, hal ini dikarenakan bahwa masyarakat perbatasan merupakan masyarakat
yang serumpun yang masih memiliki ikatan kekeluargaan sehingga dengan penetapan pas lintas
batas tersebut memudahkan masyarakat untuk saling berkunjung ini sesuai dengan Provisional
Agreement kedua Negara yang menitikberatkan pada faktor budaya dalam pengelolaan
perbatasan.

Dalam pengelolaan wilayah perbatasan tersebut pemerintah kedua Negara menghadapi persoalan
sehingga kesepakatan tidak direalisasikan. Persoalan yang utama adalah menyangkut stabilitas
politik di Timor Leste yang rawan konflik sehingga pemerintah Republik Indonesia harus
menyesuaikan dengan kondisi di Timor Leste dalam melaksanakan kesepakatan. Keterbatasan
kemampuan pemerintah Timor Leste untuk menerapkan semua kesepakatan mengenai
pengelolaan wilayah perbatasan tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik yang ada.
Pengelolaan wilayah perbatasan yang dilakukan pemerintah RDTL dengan NKRI selama ini
walaupun telah dilaksanakan, akan tetapi masih terdapat banyak kekurangan misalnya minimnya
prasarana dalam meningkatkan kehidupan masyarakat perbatasan kedua Negara seperti sulit.

Pada pertengahan Oktober 2013, konflik antarwarga di perbatasan Indonesia-Timor Leste


kembali pecah. Warga kedua negara saling serang dengan melempar batu dan kayu di perbatasan
Kabupaten Timor Tengah Utara (Indonesia) dengan Distrik Oecussi (Timor Leste). karena,
Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-
Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah
NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan
nota kesepahaman kedua negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara
sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste.

Salah satu permasalahan utama daerah perbatasan adalah ketertinggalan dan keterisolasian,
sehingga daerah-daerah ini secara umum dikategorikan sebagai daerah tertinggal.Meningkatnya
kemiskinan masyarakat di daerah perbatasan, akan menyebabkan meningkatnya kegiatan illegal
dan membuka jalan bagi tindak kejahatan lintas perbatasan, seperti pembalakan liar, illegal
fishing, illegal trafficking in person dan perdagangan wanita dan anak.

Pertemuan bilateral antara Indonesia dan Timor Leste memang perlu dilakukan guna membahas
konflik yang terjadi agar tidak meluas. Pertemuan antara Xanana Goesmau dan SBY pada tahun
2012 yang lalu mengenai kesepakatan perbatasan masih belum selesai dan final. Harus ada
pertemuan lanjutan untuk membahas masalah tersebut, mengingat sengketa perbatasan ini apaila
tidak ditangaani secara serius maka akibatnya akan besar dan menggangu hubungan antar kedua
negara. Namun langkah berupa pertemuan tersebut harus dibarengi dengan penyelesaian konflik
di akar rumput.pertemuan tersebut berhasil membuat suatu kesepakatan dan diterima dengan
baik dengan kedua Negara. Dengan demikian, masalah batas wilayah antara kedua negara ini
dapat diselesaikan secara tuntas dan tidak terjadi permasalahan pada masa yang akan datang.

Isi kesepakatannya antara lain:

1) Memperkokoh tali persaudaraan dalam rangka melestarikan nilai-nilai adat istiadat yang
telah ditanamkan oleh para leluhur dalam filosofi Nekaf Mese Ansaof Mese Atoni Pah
Meto.
2) Mendukung tegaknya perdamaian di tapal batas sebagaimana telah ditetapkan dalam
sumpah adat oleh para leluhur dan diharapkan kedua negara.
3) Menjalin kerja sama dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat masyarakat di
bidang sosial, budaya, dan ekonomi.
4) Mengakui dan memperteguh batas-batas adat antar Kerajaan Liurai Sila, Sonbai Sila,
Beun Sila, dan Afo Sila sesuai dengan sumpah mereka,dll.

Serta, Pertemuan itu dihadiri sekitar 350 orang dari perwakilan pemerintah serta tokoh adat
kedua negara dengan menghasilkan pernyataan bersama. Kesepakatan itu dituangkan dalam
bentuk tertulis yang ditandatangani oleh keempat raja yaitu Raja Liurai, Raja Sonba’i, Raja
Amfoang dari Indonesia dan Raja Ambenu dari Timor Leste.
Daftar Pustaka

Erlangga. IPS Terpadu kelas VI Sekolah Dasar KTSP 2006. Jilid 6, Tim Bina Karya Guru

Hartati, Atik dan Sarwono. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan SMA/MA Kelas X Kurikulum
2013. Jakarta

Asvi Warman Adam, Profesor Riset Bidang Sejarah Politik LIPI. 2018. Konflik Perbatasan
Indonesia – Timor leste dan Penyelesaiannya

http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/899-konflik-komunal-di-
perbatasan-indonesia-timor-leste-dan-upaya-penyelesaiannya.html

Ola, Keda. 2017. Akhir Sengketa Batas Indonesia – timor leste

https://www.liputan6.com/regional/read/3193326/akhir-sengketa-batas-indonesia-timor-
leste

Burhan, hernandez. 2015. Analisis konflik perbatasan Indonesia – timor leste

https://www.kompasiana.com/www.burhanhernandez.com/5559e93ab67e610c7dd366af/
analisa-konflik-perbatasan-indonesia-timor-leste

Dari Jurnal:

Komputer, Fantasi. 2017. Makalah Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia – timor leste

http://www.jaluku.com/2017/01/makalah-penyelesaian-sengketa-antara.html

Oktaviansyah, Marcelino. 2019. Makalah sengketa perbatasan Indonesia – timor leste

https://www.academia.edu/38392719/Makalah_Sengketa_Perbatasan_Indonesia-
Timor_Leste

syafril, syafril. 2010. Masalah Perbatasan RI – TL

https://www.academia.edu/6848784/MASALAH_PERBATASAN_RI-TL

Domingas Maria Lobato, Silva. Pasundan U. 2018. UPAYA TIMOR-LESTE-INDONESIA


DALAM PENYELESAIAN PERBATASAN DARAT

http://repository.unpas.ac.id/33972/1/BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai