Anda di halaman 1dari 5

Wawasan Nusantara

Contoh kasus wawasan nusantara

Kasus pandemi di Indonesia

Jakarta - Melihat perkembangan wabah Novel Coronavirus (Covid-19) harus disadari bersama bahwa
bencana non alam ini bukan masalah yang sederhana. Wabah corona ini apabila tidak segera ditangani
akan berdampak pada krisis multidimensi yang berbahaya.
Minggu (22/3), Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat 514 orang sudah terinfeksi
Covid-19. Sebanyak 437 pasien sedang dalam perawatan dan telah menelan korban meninggal dunia
49 orang --prosentase risiko kematian yang sangat besar, berada di angka 9,3 persen.
Data secara global juga sangat mencengangkan. Sejak muncul pada Desember lalu, total kasus positif
corona sebanyak 266.073 orang dengan dampak kematian sebanyak 11.184 orang. Virus ini juga
sudah menyebar ke 179 negara. Angka kematian terbesar terjadi di Italia yang tembus hingga 4.825
nyawa melayang, 1/3 dari total kematian di dunia.
Klaim Budaya Indonesia dengan Malaysia

Perdebatan panas antara Malaysia dan Indonesia soal klaim budaya memang tak pernah sepi
untuk dibahas.Beberapa kali Malaysia membuat warga Indonesia geram lantaran mengakui
budaya Tanah Air sebagai miliknya.Seolah kena karma, kini Malaysia kalang kabut dan tak
terima karena kebudayaan miliknya diakui oleh negara lain.Negeri Jiran memang sering
terlibat konflik dengan Indonesia terkait klaim budaya.Sebagai contoh, klaim Indonesia atas
Reog Ponorogo beberapa tahun silam.
Selain Reog, budaya Indonesia lain yang sempat diklaim Malaysia yakni Batik, Tari Pendet
dan lagu Rasa Sayange.Dengan percaya diri, Malaysia menyebut itu semua adalah warisan
budaya mereka.Namun ternyata bukan hanya dengan Indonesia saja Malaysia terlibat konflik
terkait klaim budaya.Rupanya Negeri Jiran juga pernah bersitegang mengenai klaim budaya
dengan Singapura.
Wilayah Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia

PADA tanggal 30 Agustus 1999, keadaan politik di Indonesia masih terguncang setelah
tumbangnya Orde Baru. Melalui referendum Timor Timur di bawah perjanjian yang
disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara Indonesia dan Portugal, pada
akhirnya Timor Timur harus terlepas dari Indonesia.
Timor Timur merupakan wilayah bekas jajahan Portugis yang kemudian bergabung dengan
Indonesia. Integrasi tersebut diresmikan pada 17 Juli 1976. Timor Timur pada
akhirnya resmi menjadi provinsi ke-27 dan provinsi termuda di Indonesia. Setelah 22
tahun lamanya di bawah rezim Soeharto, sebagian besar rakyat Timor Timur
berkeinginan untuk lepas dari Indonesia.
Setelah melalui penentuan pendapat rakyat pada tanggal 30 Oktober 1999, Indonesia harus
rela kehilangan Timor Timur yang kemudian resmi menjadi negara merdeka dengan
nama Timor Leste pada tanggal 20 Mei 2002.
Namun, ketika itu Timor Timur tidak langsung terlepas begitu saja dari Indonesia. Ada
kronologi-kronologi hingga terbentuk Negara Timor Leste. Pada tanggal 19
Desember 1998, John Howard, perdana menteri Australia saat itu mengirim surat
kepada Presiden BJ Habibie. Pada surat tersebut, John Howard mengusulkan agar
pemerintah RI meninjau ulang pelaksanaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi
masyarakat Timor Timur.
Selanjutnya, pada tanggal 25 Januari 1999 digelar rapat untuk membahas surat Howard.
Rapat tersebut membahas mengenai kondisi masyarakat di Timor Timur setelah 22
tahun bergabung dengan Indonesia. Dalam rapat tersebut juga berencana untuk
membahas lebih lanjut mengenai masyarakat Timor Timur pada Sidang Umum MPR.
Dalam rapat tersebut, Presiden BJ Habibie ingin agar Timor Leste mendapatkan hak
otonomi khusus.
Pada tanggal 27 Januari 1999, Bapak Ali Alatas selaku Menteri Luar Negeri RI
mengumumkan tawaran untuk opsi otonomi khusus yang sangat diperluas kepada
Timor Timur. Namun, jika ditolak maka pemerintah Indonesia harus merelakan
Timor Timur terlepas dari Indonesia. Sempat terjadi pro-kontra pada internal kabinet
saat itu.
Pada bulan Maret dan April 1999 terjadi serangkaian peristiwa menegangkan di Timor Timur.
Terjadi beberapa kejadian eksodus massal warga pendatang dan, kekerasan di Gereja
Liquica yang menyebabkan ratusan orang harus mengungsi. Kerusuhan juga berlanjut
semakin besar dan melebar hingga di Dili yang menelan banyak korban jiwa.
Pada tanggal 21 April 1999, digelar cara untuk menandatangani kesepakatan damai antara
kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan di kediaman Uskup Belo. Pada acara
tersebut disaksikan langsung oleh Wiranto (Menhankam/Pangab), Djoko Soegianto
(Wakil Ketua Komnas HAM) dan beberapa tokoh lainnya.
Pada tanggal 27 April 1999, Presiden Habibie menggelar pertemuan dengan John Howard.
Pada pertemuan tersebut, Presiden Habibie mengungkapkan akan segera
melaksanakan penentuan pendapat untuk mengetahui kemauan rakyat Timor Timur
secara lebih lanjut.
Pada tanggal 5 Mei 1999 Ali Alatas (Menlu RI) dan Jaime Gama (Menlu Portugal), bersama
dengan Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani kesepakatan pelaksanaan penentuan
pendapat rakyat Timor Timur di Markas PBB New York. Dua hari kemudian, Sidang
Umum PBB menerima dengan bulat hasil kesepakatan tersebut.
Pada tanggal 17 Mei 1999 Presiden Habibie mengeluarkan Kepres No.43/1999 tentang Tim
Pengamanan Persetujuan RI-Portugal tentang Timor Timur. Keputusan tersebut
kemudian dikuatkan dengan Inpres No.5/1999 tentang Langkah Pemantapan
Persetujuan RI-Portugal.
Pada tanggal 16-18 Juni 1999, perwakilan kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan
Timor Timur bertemu di Jakarta. Kedua kubu sepakat untuk menyerahkan senjata
kepada PBB atau pemerintah RI.
Selanjutnya, serangkaian konflik terjadi kembali pada tanggal 30 Agustus 1999 setelah
penentuan pendapat rakyat Timor Timur dilaksanakan. PBB mengumumkan hasilnya:
78,5 persen menolak otonomi, 21 persen menerima otonomi, dan 0,5 persen dianggap
tidak sah. Dengan demikian, Timor Timur dipastikan akan segera lepas dari
Indonesia.
Problem Papua dan apuhnya Relasi Kebangsaan

Lima puluh tahun lebih upaya menjadikan Papua sebagai bagian seutuhnya dari bangsa ini terus
memperoleh tantangan dari sebagian masyarakat Papua.Pemberian status otonomi khusus,
transfer triliunan dana pembangunan, pembentukan puluhan daerah otonom baru di berbagai
penjuru Papua, hingga perhatian khusus yang ditunjukkan Presiden Jokowi dalam berkali-kali
kunjungannya ke provinsi itu, masih belum mampu mengambil hati seluruh masyarakat
Papua.Sebaliknya, resistensi cenderung menguat, baik di dalam maupun luar negeri.
Di samping persoalan pembangunan, problem mendasar yang dihadapi adalah semakin rapuhnya
relasi kebangsaan yang menjadi landasan bagi legitimasi negara di mata masyarakat Papua.
Legitimasi dalam hal ini dimaknai sebagai pengakuan dan penerimaan warga atas kekuasaan
negara untuk mengatur warganya.
Berbeda dengan kedaulatan yang bersifat statis, legitimasi adalah unsur yang dinamis –naik turunnya
sangat ditentukan oleh bagaimana relasi di antara institusi negara dengan masyarakat maupun
di antara sesama warga masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai