Anda di halaman 1dari 5

Jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa membangun rezim Orde Baru membawa

angin segar bagi rakyat Timor Timur. Referendum kemerdekaan yang dinanti-nanti
akhirnya terlaksana atas permintaan Presiden B.J. Habibie ke Kofi Annan, Sekretaris
Jendral PBB pada 27 Januari 1999.

Dilaksanakan di Timor Timur pada 30 Agustus 1999, tepat hari ini 20 tahun lalu, rakyat
Timor Timur diajukan dua pertanyaan dalam mekanisme voting. Pertama, apakah anda
menerima otonomi khusus untuk Timor Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
dan kedua, apakah anda menolak otonomi khusus yang diusulkan untuk Timor Timur,
yang menyebabkan pemisahan Timor Timur dari Indonesia.

Hasilnya, dari total 438,968 suara, sebanyak 344.580 atau 78,50 persen rakyat Timor
Timur memilih opsi kedua. Mereka menolak otonomi khusus dan memilih berpisah dengan
Indonesia. Sedangkan sisanya sebanyak 94.388 suara atau 21,50 persen memilih
menerima otonomi khusus dan bergabungnya Timor Timur ke Indonesia.

Provinsi ke-27 Indonesia itu akhirnya lepas dari Indonesia dan memperoleh status
resminya sebagai negara anggota PBB pada 20 Mei 2002. Mereka yang memilih tetap
menjadi bagian dari Indonesia lantas berbondong-bondong mengungsi, menyeberang ke
Nusa Tenggara Timur.
Tujuh bulan setelah BJ Habibie memegang tampuk kekuasaan atau tepatnya 19
Desember 1998, Perdana Menteri Australia, John Howard mengirim surat kepada
Presiden Habibie.Ia mengusulkan untuk meninjau ulang pelaksaan referendum bagi rakyat
Timor Timur.

Merespon permintaan PM Australia itu, pemerintah NKRI menggelar sidang kabinet di


Bina Graha pada 27 Januari 1999. Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan hasil
keputusan sidang yang memakan waktu lebih dari lima jam itu, bahwa Indonesia akan
lepas tangan dari TimtimTimor Timur jika mereka menolak opsi penyelesaian konflik Timor
Timur yaitu tawaran otonomi khusus yang diperluas. Referendum kemerdekaan yang
dinanti-nanti akhirnya terlaksana atas permintaan Presiden B.J. Habibie ke Kofi Annan,
Sekretaris Jendral PBB pada 27 Januari 1999.

Presiden Habibie membahas lebih dalam tentang nasib TimtimTimor Timur dengan
Perdana Menteri Australia, John Howard pada 27 April 1999. Habibie mengungkapkan
akan melaksanakan penetuan pendapat untuk mengetahui kemauan sebenarnya rakyat
Timimtim, tetap berintegrasi atau memisahkan dairi dari Indonesia. Rencana awal
referendum akan dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1999.

Sebagai implementasi dari pernyataan Habibie, Menteri Luar Negeri (Menlu), Ali Alatas
dan Menlu Portugal Jaime Gama, bersama Sekretaris Jendeal PBB Kofi Annan
menandatangani kesepakatan pelaksanaan referendum pada 8 Agustus 1999 di Timor
Timor. Di sisi lain, Indonesia tetap bertanggung jawab pada keamanan pelaksanaan
referendum tersebut. Sidang Umum PBB menerima dengan bulat kesepakatan itu pada 7
Mei 1999.

Untuk membuat kondisi Timor Timur kondusif selama masa persiapan referendum,
perwakilan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan mengadakan pertemuan di
Jakarta pada 16-18 Juni 1999. Dalam pertemuan ini, mereka sepakat menyerahkan
senjata yang dimiliki kelompok bersenjata kedua pihak kepada UNAMET atau pemerintah
RI. Setelah kesepakatan penyerahan senjata tercapai, pada 23 Juni 1999 pemerintah
Indonesia mengirimkan 4.4452 anggota Polri untuk mengamankan pelaksanaan jajak
pendapat di TimtimTimor Timur .

Pada 26 Juni 1999, Sekjen PBB Kofi Annan merespon permintaan perubahan jadwal
pelaksanaan yang sebelumnya diajukan Indonesia dan memutuskan menunda
pelaksanaan jajak pendapat di TimtimTimor Timur , dua minggu dari tanggal yang
ditentukan, sehingga rencana berubah menjadi tanggal 21 Agustus.

Untuk menyukseskan referendum sejak tanggal 16 Juli-8 Agustus mulai diadakan


pendaftaran pemilih. Secara umum, hari pertama pendaftaran berlangsung aman, kecuali
di Kecamatan Zumalai, Kovalima, terjadi kerusuhan yang mengakibatkan satu korban
tewas dan lima luka-luka.

Di tengah-tengah masa pendaftaran referendum, PBB kembali merubah keputusan


pelaksanaan referendum yang dirubah menjadi tanggal 30 Agustus 1999.

Hari referendum pun tiba, pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan referendum dengan situasi
yang relatif aman dan diikuti hampir seluruh warga TimtimTimor Timur . Namun, satu hari
setelah referendum dilaksanakan suasana menjadi tidak menentu, terjadi kerusuhan
berbagai tempat.
Untuk meredakan ketegangan, pada 2 September 1999 diadakan rapat dengar pendapat
antara Komisi Referendum dengan pihak pro-integrasi tentang berbagai penyimpangan
dalam pelaksanaan jajak pendapat. Front Bersama untuk Otonomi TimtimTimor Timur
(UNIF) memperotes dan menolak hasil referendum. Mereka mengutuk keras gaya dan
cara kerja Unamet yang dianggap tidak netral, memihak, dan manipulatif.

Sekjen PBB akhirnya menyampaikan hasil refrendum kepada Dewan Keamanan PBB
pada 3 September 1999. Hasilnya 344.580 suara (78,5 %) menolak otonomi, 94.388 (21
%) suara mendukung otonomi, dan 7.985 suara dinyatakan tidak valid. Hasil referendum
tersebut kemudian diumumkan secara resmi di Dili pada 4 September 1999.

Pada 30 Oktober 1999, bendera Merah Putih diturunkan dari bumi Timor Leste dalam
upacara yang sangat sederhana dan tanpa adanya liputan. Interfet melarang wartawan
untuk meliput acara itu. Upacara dipimpin Ketua Indonesian Task Force in East Timor
(IFTET) Brigjen JD Sitorus di Markas Batalion Lintas Udara 700, kawasan Faroul, Dili
Barat.upacara senan juga diadakan di Bandara Komor, dipimpin Komandan Lanud Letkol
Pnb John Dalas. Upacara penurunan bendera itu sekaligus menandai lepasnya mantan
provinsi ke-27 Indonesia, yang selama bertahun-tahun menjadi permasalahan bangsa.
Pada tanggal 17 Juli, di tahun 1976, Timor Timur secara resmi melakukan integrasi
dengan Indonesia. Timor Timur melakukan integrasi di Indonesia dengan bergabung
menjadi provinsi ke-27 Indonesia. Wilayah Timor Timur meliputi wilayah bekas kolonial
Portugis di Pulau Timor bagian timur.

Proses integrasi Timor Timur didahului dengan invasi militer oleh rezim Orde Baru yang
disebut-sebut mendapat dukungan dari pemerintah Amerika Serikat (AS). Masuknya
wilayah Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dilakukan melalui sebuah operasi yang
dikenal dengan nama Operasi Seroja. Kala itu, wilayah Timor Timur masih berada di
bawah pendudukan Portugal sejak tahun 1702 hingga 1975. Saat itu, nama Timor Timur
dikenal dengan nama Timor Portugis. Pada 1974, Portugal yang menjadi penguasa Timor
Timur memprakasai sebuah proses dekolonisasi bertahap terhadap wilayah koloninya,
termasuk Timor Portugis. Dalam proses dekolonisasi tersebut terjadi konflik sipil di Timor
Timur. Konflik sipil tersebut melibatkan Uni Demokrasi Timor (UDT), Front Revolusi untuk
Timor Timur Merdeka (Fretilin), dan Asosiasi Demokratik Rakyat Timor (APODETI).

Dalam konflik sipil tersebut, UDT menyatakan dukungannya supaya Timor Timur merdeka
dan menjadi negara yang mandiri, tetapi UDT mengupayakan supaya kemerdekaan
dilakukan secara bertahap. Berbeda dengan UDT, Fretilin mendukung kemerdekaan Timor
Timur secara cepat dan radikal. Namun, dukungan untuk mendirinkan negara Timor Timur
tidak didukung oleh APODETI. APODDETI menghendaki supaya Timor Timur bergabung
dengan Indonesia karena khawatir dengan kondisi perekonomian Timor Timur yang masih
lemah dan belum mapan.

Polemik internal di Timor Timur ternyata membuat pemerintahan Orde Baru cemas.
Presiden RI kala itu, Soeharto, merasa khawatir jika nantinya Timor Timur merdeka akan
menjadi negara komunis. Namun, Soeharto juga tidak rela membiarkan wilayah Timor
Timur terus di bawah penguasaan Portugal.

Dalam laporan yang dirilis oleh James Dunn menunjukan bahwa pada Januari 1975, UDT
dan Fretilin membentuk koalisi untuk memperjuangakan kemerdekaan Timor Timur.
Fretilin yang berpaham komunis dan menginginkan kemerdekaan lebih diminati oleh
sebagian besar rakyat Timor Timur. Di sisi lain, APODETI yang mendukung integrasi
Timor timur dengan Indonesia mendapatkan dukungan dari militer Indonesia, khusunya
dari Komando Operasi Khusus Indonesia (Kopassus). Di waktu yang bersamaan,
Pemerintah Australia melaporkan bahwa militer Indonesia melakukan latihan untuk
mempersiapkann invasi ke wilayah Timor Timur.

Soeharto kemudian menjalin komunikasi dengan Presiden Amerika Serikat kala itu, Gerald
Rudolph Ford Jr. Tanggal 6 Desember 1975, Presiden Ford dan Menteri Luar Negeri AS,
Henry Kissinger, diterima Presiden Soeharto di Jakarta. Terungkap dalam Chega: Laporan
Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi [CAVR] di Timor-Leste Volume 5 (2010),
sehari setelah pertemuan itu, dilancarkan invasi militer ke Timor Timur yang dikenal
sebagai Operasi Seroja.

Kelak, dokumen transkrip pertemuan antara Soeharto dengan Ford dan Kissinger itu
dipublikasikan tanpa sensor pada 7 Desember 2001. Di dalamnya terungkap bahwa
pemerintah AS secara sengaja membiarkan invasi militer Indonesia ke Timor Timur. Selain
itu, merujuk pada laporan Washington Post, terkuak juga bahwa Amerika Serikat
menyuplai 90 persen senjata untuk militer Indonesia dalam upaya invasi tersebut.
Dalam Operasi Seroja, pasukan militer Indonesia melawan pasukan Fretilin dan Falintil.
Kekuatan Fretilin ternyata kalah unggul dari angkatan perang RI. Malam tanggal 7
Desember 1975, Dili jatuh. Tiga hari berselang, giliran kota terbesar kedua di Timor Timur,
Baucau, yang direbut oleh militer Indonesia

Bahkan, dalam The War Against East Timor, dilaporkan bahwa ada 10.000 tentara yang
menduduki Dili dan ada lebih dari 20 ribuan tetntara yang dikerahkan ke daerah Timor
Timur. Mobilisasi besar-besaran militer Indonesia ke wilayah Timor Timur memaksa
pejuang kemerdekaan Timor Timur melarikan diri ke wilayah hutan dan pegunungan untuk
melanjutkan perang secara gerilya.

Setelah operasi militer besar-besaran dan semakin terdesaknya pasukan kemerdekaan


Timor Timur, akhirnya Indonesia secara resmi melakukan aneksasi wilayah Timor Timur
dan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 pada 17 Juli 1976 yang menjadi
dasar integrasi wilayah Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dan menjadi dasar hukum
pembentukan Provinsi Timor Timur.

Anda mungkin juga menyukai