Anda di halaman 1dari 21

1.

Pengertian Islam dan Demokrasi

1.1 Pengertian Islam

Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan
rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman.

Pengertian Islam secara harfiyah artinya damai, selamat, tunduk, dan bersih. Kata
Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar
selamat (Salama).

1.1.1 Pengertian Islam Menurut Bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang
berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama
ini. Ditinjau dari segi bahasanya yang dikaitkan dengan asal katanya, Islam memiliki
beberapa pengertian, diantaranya adalah:

1. Berasal dari kata salm ( )(yang berarti damai.

Dalam al-Quran Allah SWT berfirman (QS. 8 : 61)

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.

Kata salm dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Dan ini
merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang
senantiasa membawa umat manusia pada perdamaian.

Dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman : (QS. 49 : 9)

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mumin berperang maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan
yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sebagai salah satu bukti bahwa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung
tinggi perdamaian adalah bahwa Islam baru memperbolehkan kaum muslimin berperang jika
mereka diperangi oleh para musuh-musuhnya.

Dalam Al-Quran Allah berfirman: (QS. 22 : 39)

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena


sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa
menolong mereka itu.

2. Berasal dari kata aslama ()( yang berarti menyerah.


Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan seseorang yang
secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT. Penyerahan diri
seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa yang Allah perintahkan serta menjauhi
segala larangan-Nya. Menunjukkan makna penyerahan ini,

Allah berfirman dalam al-Quran: (QS. 4 : 125) Dan siapakah yang lebih baik
agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil
Ibrahim menjadi kesayanganNya.

Sebagai seorang muslim, sesungguhnya kita diminta Allah untuk menyerahkan


seluruh jiwa dan raga kita hanya kepada-Nya. Dalam sebuah ayat Allah berfirman: (QS. 6 :
162)

Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah


untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Karena sesungguhnya jika kita renungkan, bahwa seluruh makhluk Allah baik yang
ada di bumi maupun di langit, mereka semua memasrahkan dirinya kepada Allah SWT,
dengan mengikuti sunnatullah-Nya. Allah berfirman: (QS. 3 : 83) :

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-
Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.
Oleh karena itulah, sebagai seorang muslim, hendaknya kita menyerahkan diri kita
kepada aturan Islam dan juga kepada kehendak Allah SWT. Karena Insya Allah dengan
demikian akan menjadikan hati kita tentram, damai dan tenang.

3. Berasal dari kata istaslamamustaslimun : penyerahan total kepada Allah.

Dalam Al-Quran Allah berfirman (QS. 37 : 26) Bahkan mereka pada hari itu
menyerah diri.

Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Karena sebagai
seorang muslim, kita benar-benar diminta untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan
raga serta harta atau apapun yang kita miliki, hanya kepada Allah SWT. Dimensi atau bentuk-
bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah adalah seperti dalam setiap gerak gerik,
pemikiran, tingkah laku, pekerjaan, kesenangan, kebahagiaan, kesusahan, kesedihan dan lain
sebagainya hanya kepada Allah SWT. Termasuk juga berbagai sisi kehidupan yang
bersinggungan dengan orang lain, seperti sisi politik, ekonomi, pendidikan, sosial,
kebudayaan dan lain sebagainya, semuanya dilakukan hanya karena Allah dan menggunakan
manhaj Allah.

Dalam Al-Quran Allah berfirman (QS. 2 : 208)

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara


keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan
itu musuh yang nyata bagimu.

Masuk Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri secara total kepada Allah
dalam melaksanakan segala yang diperintahkan dan dalam menjauhi segala yang dilarang-
Nya.

4. Berasal dari kata saliim ( )(yang berarti bersih dan suci.

Mengenai makna ini, Allah berfirman dalam Al-Quran (QS. 26 : 89):

Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Dalam ayat lain Allah mengatakan (QS. 37: 84) (Ingatlah) ketika ia datang kepada
Tuhannya dengan hati yang suci.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan bersih, yang
mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan kesucian jiwa yang
dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Karena
pada hakekatnya, ketika Allah SWT mensyariatkan berbagai ajaran Islam, adalah karena
tujuan utamanya untuk mensucikan dan membersihkan jiwa manusia.

Allah berfirman: (QS. 5 : 6)

Allah sesungguhnya tidak menghendaki dari (adanya syariat Islam) itu hendak
menyulitkan kamu, tetapi sesungguhnya Dia berkeinginan untuk membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

5. Berasal dari salam )


( yang berarti selamat dan sejahtera.
Allah berfirman dalam Al-Quran: (QS. 19 : 47)

Berkata Ibrahim: Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta


ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.

Maknanya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat
manusia pada keselamatan dan kesejahteraan. Karena Islam memberikan kesejahteraan dan
juga keselamatan pada setiap insan.

1.1.2 Pengertian Islam Menurut Istilah

Definisi di atas, memuat beberapa poin penting yang dilandasi dan didasari oleh ayat-
ayat Al-Quran. Diantara poin-poinnya adalah:

1. Islam sebagai wahyu ilahi

Mengenai hal ini, Allah berfirman QS. 53 : 3-4 :

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

2. Diturunkan kepada nabi dan rasul (khususnya Rasulullah SAW)

Membenarkan hal ini, firman Allah SWT (QS. 3 : 84)


Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub, dan anak-anaknya, dan
apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami
menyerahkan diri.

3. Sebagai pedoman hidup

Allah berfirman (QS. 45 : 20):

Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
meyakini.

4. Mencakup hukum-hukum Allah dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW

Allah berfirman (QS. 5 : 49-50)

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin?

5. Membimbing manusia ke jalan yang lurus.

Allah berfirman (QS. 6 : 153)

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertakwa.
6. Menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Allah berfirman (QS. 16 : 97)

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.(dikutip dari el-misbah.blogspot.com)

1.2 Pengertian Demokrasi

1.2.1 Demokrasi menurut para ahli

Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, di antaranya
seperti yang dikutip Hamidah adalah sebagaimana di bawah ini:

Menurut Joseph A. Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional


untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat.

Menurut Sidney Hook dalam Encyclopaedia Americana mendefinisikan demokrasi


sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting
secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi adalah suatu sistem
pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan
mereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui
kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih.

Dari tiga definisi tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung
nilai-nilai, yaitu adanya unsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat,
adanya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin.

Sementara menurut Abdurrahman Wahid, demokrasi mengandung dua nilai, yaitu


nilai yang bersifat pokok dan yang bersifat derivasi. Menurut Abdurrahman Wahid, nilai
pokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan, musayawarah dan keadilan. Kebebasan
artinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya keseimbangan antara
hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat.

Nurcholish Majid, seperti yang dikutip Nasaruddin5 mengatakan, bahwa suatu negara disebut
demokratis sejauhmana negara tersebut menjamin hak asasi manusia (HAM), antara lain:
kebebasan menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasi menolak6
dektatorianisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi, hubungan antara
penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkan berdasarkan hukum yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

1.2.2 Demokrasi Dalam Al-Quran

Di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsip utama
demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan Al-Syura: 38 (yang berbicara tentang
musyawarah); al-Maidah: 8; al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13 (tentang
persamaan); al-Nisa: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang kebebasan mengkritik);
al-Nisa: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang kebebasan berpendapat).

Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin, agama dan demokrasi
memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan
pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu
menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.

Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa elemen-elemen pokok demokrasi dalam perspektif


Islam meliputi: as-syura, al-musawah, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-
hurriyyah. Kemudian apakah makna masing-masing dari elemen tersebut?

1. as-Syura

Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit
ditegaskan dalam al-Quran. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura: 38:

Dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di antara mereka.

Dalam surat Ali Imran:159 dinyatakan:


Dan bermusayawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.

Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura
adalah ahl halli wa-laqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim
formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah8

Jelaslah bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung
jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap
musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena
pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Begitu pentingnya arti
musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, sehingga Nabi
sendiri juga menyerahkan musyawarah kepada umatnya.

1. 2. al-Adalah

al-adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam
berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi
dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan
oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan. (Lihat pula,
QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa:58 dst.).

Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpa pandang bulu ini,
banyak ditegaskan dalam al-Quran, bahkan disebutkan sekali pun harus menimpa kedua
orang tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, , bahwa kehancuran bangsa-
bangsa terdahulu ialah karena jika orang kecil melanggar pasti dihukum, sementara bila
yang melanggar itu orang besar maka dibiarkan berlalu9.
Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang
ekstrem berbunyi: Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir,
sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam
10

3. al-Musawah

al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi
dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam
suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan
kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan
begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur
dan adil.

Sebagian ulama memahami 11 al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-
syura dan al-adalah. Diantara dalil al-Quran yang sering digunakan dalam hal ini adalah
surat al-Hujurat:13, sementara dalil Sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam
khutbah wada dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabi pernah
berpesan kepada keluarga Bani Hasyim sebagaimana sabdanya:

Wahai Bani Hasyim, jangan sampai orang lain datang kepadaku membawa prestasi amal,
sementara kalian datang hanya membawa pertalian nasab. Kemuliaan kamu di sisi Allah
adalah ditentukan oleh kualitas takwanya.

4. al-Amanah

al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada


orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik.
Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh
rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.
Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil. Sehingga Allah SWT. menegaskan dalam
surat an-Nisa: 58:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil.

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan
orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan
tersebut. Inilah etika Islam.

5. al-Masuliyyah

al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kekuasaan dan
jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka
rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan
sebagai amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan
di depan Tuhan. Sebagaimana Sabda Nabi:

Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya.

Seperti yang diakatakn oleh Ibn Taimiyyah12, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan
dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.
Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-
masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas.
Dengan demikian, pemimpin/ penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-
ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan
demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap
pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

6. al-Hurriyyah

al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi
hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan
dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr
bi-l-maruf wa an-nahy an al-munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk
mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi
pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah
tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
Patut disimak sabda Nabi yang berbunyi:

Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika
tidak mampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang
terakhir ini termasuk selemah-lemah iman.

Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi
di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan demikian maka
roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.

Kata dan konsep demokrasi dapat ditelusuri secara historis ketika konsep ini pertama kali
digunakan sebagai sistem politik dalam praktek negara-kota (city-state) di Yunani Kuno
menjelang pertengahan abad kelima atau ke enam Sebelum Masehi. Orang Yunani menyebut
sistem politik mereka dengan istilah democratia.

Secara etimologis, demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu demos yang
berarti rakyat dan cratia atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dari dua kata
ini, demo-cratein atau demos-cratos dapat diartikan sebagai kekuasaan atau kedaulatan
rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan
rakyat, dan kekuasaan rakyat. Sistem demokrasi yang dianut di negara kota Yunani Kuno
adalah demokrasi langsung (direct democracy) dimana hak untuk membuat keputusan-
keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak
berdasarkan prosedur mayoritas. Menurut Miriam Budiardjo, sistem ini dapat dilaksanakan
dengan efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayah yang terbatas, dan
jumlah penduduk yang hanya sekitar 300.000 orang.Dalam perkembangannya, seiring dengan
kompleksitas kondisi masyarakat, sistem demokrasi ini berkembang menjadi sistem
perwakilan, representative democracy, dimana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk
mengambil keputusan-keputusan politik.
Sementara secara terminologis, para ilmuwan politik tidak memiliki kesepakatan dalam
mendefinisikan demokrasi.

Menurut Ian Adams, setelah Perang Dunia II, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB),
UNESCO ketika berusaha menjelaskan cita-cita demokrasi, menugaskan sejumlah sarjana
untuk mencari definisi demokrasi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Namun dalam
laporannya, Democracy in a World of Tensons (UNESCO, Paris 1991), para sarjana itu
mengakui telah menemui kegagalan karena terdapat begitu banyak definisi demokrasi yang
saling bertentangan dan mustahil untuk dicapai kesepakatan.

Menurut Robert A. Dahl, demokrasi adalah sistem politik dimana para anggotanya saling
menolong antara yang satu dengan yang lainnya, sebagai orang-orang yang sama dari segi
politik, dan mereka secara bersama-sama, berdaulat dan memiliki kemampuan sumber daya,
dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan demi untuk keperluan mereka sendiri.

Sementara menurut Deliar Noer, demokrasi sebagai dasar hidup bernegara mengandung
pengertian bahwa pada tingkat terakhir, rakyat memiliki ketentuan dalam masalah-masalah
mengenai kehidupannya.

Menurut Masykuri Abdillah, definisi yang paling umum tentang demokrasi adalah definisi
yang diberikan oleh Joseph A. Schmpeter, yaitu suatu perencanaan institusional untuk
mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

Menurut Nurchalish Madjid, dari beragam definisi tentang demokrasi, terdapat titik temu
tentang pengertiannya secara umum. Menurut Nurchalish, para penghayat demokrasi
semestinya mempelajari pandangan teoritis yang lebih absah tentang kekuasaan politik di
tangan rakyat, dalam pengertian bahwa rakyatlah yang menentukan langsung pemimpin
mereka.

Sementara secara lebih spesifik Yusuf al-Qardw menjelaskan bahwa hakikat demokrasi
adalah bahwa rakyat yang akan memerintah dan menata persoalan mereka. Tidak boleh
dipaksakan kepada mereka pemimpin yang tidak mereka sukai, atau rezim yang mereka
benci. Rakyat diberikan hak untuk mengoreksi pemimpinnya bila dia keliru. Diberikan hak
untuk mencabut dan mengganti pemimpin tersebut apabila dia menyimpang. Rakyat tidak
boleh dipaksa untuk mengikuti berbagai sistem ekonomi, sosial, dan politik yang tidak
mereka kenal dan sukai, bila sebagian menolak, mereka tidak boleh disiksa atau
difitnah.Menurut Qardw, demokrasi seperti ini memberikan beberapa bentuk dan cara
praktis seperti pemilihan dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan
sistem multipartai, memberikan hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan
pers dan kemandirian pengadilan.

Dalam relevansinya dengan Islam, Bagi Qardw, siapapun yang memahami Demokrasi
seperti pengertian di atas, akan mendapatkan kesesuaian dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Bahkan menurutnya, Islam lebih awal menerapkan prinsip tersebut.

Dalam konteks relevansi dari konsep representative democracy dengan Islam, bentuk yang
paling mendekati konsep ini adalah sebuah komite yang dibentuk oleh khalfah Umar ibn al-
Khattb menjelang beliau wafat. Komite yang terdiri dari enam orang sahabat senior, yakni
Ali ibn Abi Tlib, Utsmn ibn Affn, Sad ibn Abi Waqqs, Abd al-Rahmn ibn Auf,
Zubair ibn Awwm, dan Talhah ibn Ubaidillh, memiliki tugas untuk merundingkan
pengganti khalfah sepeninggalnya. Apabila terdapat kesamaan jumlah suara, maka pengganti
khalfah terpilih adalah yang disetujui oleh Abd Allh ibn Umar sebagai suara ketujuh.

Pembentukan komisi ini, meski tidak sama, memiliki kedekatan dengan konsep
representative democracy, dimana individu-individu yang dianggap mewakili rakyat memilih
pemimpin mereka dengan sistem suara terbanyak.Selain itu, kedekatan demokrasi dan Islam
menurut John L. Esposito dan John O. Voll juga dapat ditelusuri dari konsep-konsep islami
yang telah lama bertahan, yaitu prinsip musyawarah (syra), persetujuan (ijma), dan
penilaian interpretatif (ijtihd.)

Menurutnya, perwakilan rakyat dalam sebuah negara tercermin terutama dalam doktrin
musyawarah (syra). Karena suara Muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun
wanita, adalah khalfah Tuhan. Mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa
dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani permasalahan Negara.

Namun demikian, sebagian umat Islam seperti Jamah Hizb al-Tahrr, memberikan
pandangan yang menunjukkan ketidakseseuaian antara Islam dan demokrasi. Kelompok
seperti Hizb al-Tahrr, mempertentangkan antara aksioma demokrasi, kedaulatan ditangan
rakyat, dengan keyakinan Islam bahwa kekuasaan menetapkan hukum adalah milik Allah.
Kelompok ini merujuk pada landasan al-Qurn Srah Ysf/12: 40,

Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang
kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun
tentang nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.

Ayat ini menjelaskan bahwa penetapan hukum adalah wewenang yang hanya dimiliki oleh
Allah. Menurut kelompok seperti Hizb al-Tahrr, Dalil ini bertentangan dengan aksioma
demokrasi yang mengatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat.

Namun Qardw, tidak sependapat dengan pandangan ini. Baginya, pendapat yang
mempertentangkan antara pemerintahan rakyat dan kedaulatan Tuhan merupakan pendapat
yang tidak tepat. Prinsip kedaulatan di tangan rakyat yang merupakan landasan demokrasi
tidak bertentangan dengan prinsip kedauatan di tangan Allah yang merupakan landasan
fundamental Islami, tapi bertentangan dengan prinsip kekuasaan individu yang merupakan
dasar pemerintahan diktator.

Selaras dengan itu, menurut Yudi Latif, pengakuan Muslim terhadap kedaulatan rakyat ini
tidak lagi menjadi masalah, karena pemahaman terhadap kedaulatan Tuhan yang semula
dipandang bertentangan dengan kedaulatan rakyat telah direvisi dengan pandangan bahwa
kedua hal itu tidak berlawanan. Dikatakan tidak berlawanan sebab kedaulatan Tuhan bisa
didelegasikan kepada kedaulatan rakyat. Istilah khalfah tidak harus dilekatkan kepada
penguasa, tetapi kepada seluruh manusia. Kehendak Tuhan dapat diartikulasikan lewat
kehendak rakyat melalui pemerintahan perwakilan.

Perbedaan pandangan ini, disebabkan karena kalangan yang menunjukkan ketidaksesuaian


antara demokrasi dan Islam memandang demokrasi pada tataran yang real-pragmatis. Bahwa
kekuasaan yang diberikan kepada rakyat banyak, memiliki peluang untuk menghasilkan
keputusan-keputusan yang bertentangan dengan doktrin Islam.

Sementara Qardw, dan kalangan yang menyetujui adanya relevansi demokrasi dan Islam,
memandang demokrasi dari perspektif yang normatif dan ideal, dimana kedaulatan harus
dipegang oleh rakyat yang percaya kepada Tuhan, sehingga tidak menghasilkan keputusan-
keputusan yang bertentangan dengan aturan-Nya.

Intervensi demokrasi dalam ideologi


perjuangan Islam

Oleh Ustadz Irfan S Awwas


Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin

PERJALANAN sejarah perjuangan umat Islam akhir-akhir ini mencatat, bahwa gerakan
Islam memiliki potensi cukup besar untuk memenangkan suara mayoritas melalui pemilu
demokrasi. Akan tetapi, kemenangan tersebut menjadi tidak efektif setelah kekuasaan itu
diraih. Kemenangan FIS di Al-Jazair pada era 90-an sebagai contoh, begitu mudah dianulir
pihak militer. Begitupun kemenangan Najmuddin Erbakan di Turki. Jauh sebelumnya,
kemenangan Masyumi di Indonesia hingga meraih kursi Perdana Menteri.

Dan yang paling baru, kemenangan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Belum genap setahun
berkuasa, pemerintahan Presiden Mursi ditumbangkan secara illegal melalui kudeta militer.

Menyaksikan fakta ini, cukup menarik mengikuti perbincangan A. Hassan dengan PM Moh.
Natsir yang diceritakan pada Muhammad Thalib, tahun 1968, oleh almarhum Abdullah Musa,
penanggungjawab Majalah Al-Muslimun dan menantu A. Hassan.

A. Hassan mengatakan, Setelah Sukarno meraih kekuasaan menjadi Presiden RI dia berani
lansung menghantam dan mendiskreditkan Islam. Tetapi mengapa ketika Natsir menjadi
Perdana Menteri, tidak berani membela Islam dan menghantam lawan lawan Islam? Karena
takut dituduh tidak demokratis oleh Barat.

Kelemahan tokoh-tokoh Islam, takut dituduh anti barat dan tidak demokratis. Sibuk dengan
kesan orang kafir, padahal rezim kuffar dimanapun tidak pernah mempertimbangkan
eksistensi Islam dan umat Islam dalam menentukan sistem pemerintahan apa yang akan
mereka jalankan.

Sikap yang sama berulang lagi pada Presiden Mursi. Dalam suatu wawancara dengan media
Prancis Le Monde, seminggu setelah dilantik sebagai Presiden Mesir. Pewawancara
menanyakan: Apakah Ikhwanul Muslimin akan menjadikan Mesir sebagai negara agama?
Presiden Mursi menjawab: Mesir tidak akan menjadi negara agama.

Ini membuktikan, bahwa Mursi tidak mau berterus terang menghadapi kaum sekuler,
mungkin takut dituduh anti demokrasi. Berani melecehkan Islam, tapi takut melecehkan
demokrasi merupakan sikap umum sebagaian besar tokoh-tokoh Islam.
Intervensi demokrasi sudah sedemikian jauh menyusup ke relung hati sebagian tokoh Islam,
dan mengotori aqidah serta pemahaman agama kaum Muslim. Tidak sedikit yang
berpendapat, demokrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Lalu, sadar atau
tidak sadar, mereka tampil sebagai bemper demokrasi, menjadikannya sebagai barometer
politik dan ideologi.

Makna harfiyah demokrasi, sebagai pecahan dari dua kata demos (rakyat) dan kratos
(kekuasan) adalah kekuasaan rakyat. Inilah makna essensial dari demokrasi, yaitu kekuasaan
berada di tangan rakyat. Termasuk tasyriul jamaahiir (wewenang membuat hukum)
tergantung suara mayoritas rakyat. Sebagai sistem hidup dan tatanan politik dalam bernegara,
demokrasi tidak memiliki sumber hukum, tidak punya kitab suci, apalagi Nabi, semuanya
tergantung kehendak dan hawanafsu rakyat, yang disampaikan melalui wakil-wakilnya di
parlemen.

Prinsipnya adalah, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, suara rakyat adalah suara
Tuhan. Kemauan rakyat mayoritas merupakan hukum tertinggi dalam merumuskan undang-
undang; sedang kebenaran tergantung kehendak mayoritas. Mengapa kaum demokrasi tidak
menggunakan akalnya? Jika suara rakyat adalah suara tuhan, mengapa suara tuhan begitu
mudah dibeli dan dimanipulasi pada setiap Pilpres, Pilgub dan Pilkada?

Sesungguhnya Islam mengajarkan, bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah Swt.
Islam mengajarkan untuk beribadah dan berserah diri hanya kepada Allah saja. Sebagai
tatanan politik bernegara, Islam memiliki sumber hukum, yaitu Quran dan Sunnah
Rasulullah Saw. Hukum buatan manusia disebut Undang-undang, dan hukum ciptaan Allah
disebut SYARIAT. Implementasi dari Hukum Quran dan Hadist, inilah yang seharusnya
dilaksanakan oleh manusia dalam segala aspek kehidupannya.

Kontroversi di kalangan umat Islam, sesungguhnya dipicu oleh dua hal ini. Apakah dalam
menyelenggarakan kekuasaan Negara, umat Islam beriman pada konsep kedaulatan rakyat
(demokrasi) dan menolak konsep kedaulatan Allah Swt (Islam), atau sebaliknya menolak
konsep demokrasi secara totalitas dan menerima konsep Islam secara totalitas pula? Atau
memilih opsi oportunistik, memadukan demokrasi dan Islam, menolak sebagian dan
menerima sebagian ajaran Islam, seperti yang dilakukan orang-orang kafir ahli kitab yang
dimurkai Allah?

Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikiandaripadamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat
berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (Qs. Al-Baqarah, 2:85)

Terhadap kenyataan ini, semestinya umat Islam, baik yang berada di dalam parpol atau ormas
Islam tidak boleh terlena dan lengah. Apa jadinya jika atas nama demokrasi, lalu
menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan sebaliknya? Ada kesan, bahwa parpol Islam
justru menjadi bemper demokrasi. Dalam banyak kasus, parpol Islam justru diperalat oleh
demokrasi untuk menghambat syariat Islam. Boleh saja Islam berperan dalam membangun
masyarakat, sejauh tidak bertentangan dengan demokrasi, alasan mereka.

Buruknya ideologi demokrasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menghalalkan
apa yang diharamkan Allah dan sebaliknya, bagai anak anjing yang tidak menaati induknya.
Seperti sebuah analogi di bawah ini:
Suatu ketika, seorang laki-laki dari bani Israil kedatangan tamu, sedang di rumahnya ada
seekor anjing yang hamil tua. Berkatalah anjing itu, Demi Allah aku tidak akan
menggonggong kepada tamu tuanku. Tiba-tiba anak yang dikandungnyalah yang
menggonggong. Tuan rumah, si pemilik anjing berkata (kepada seseorang), Alamat apa ini?
Kemudian Allah memberikan ilham kepada seorang laki-laki di antara mereka, Ini adalah
permisalan bahwa, akan ada umat sesudahmu, orang-orang bodoh dapat memaksa orang-
orang yang pandai dan bijak di antara mereka.

Analogi ini bersumber dari Abdullah bin Amr yang termuat di dalam kitab Jamius Shaghir
5204. Maksudnya, bahwa proses mencari, memilih dan menetapkan seorang pemimpin
menurut versi demokrasi adalah; siapa yang mendapatkan dukungan terbanyak maka ialah
yang patut duduk sebagai pemimpin. Dan suara terbanyak sama artinya dengan siapa yang
banyak omong. Alkisah orang-orang bodoh suka membuat gaduh dengan beramai-ramai
bersuara keras, berkampanye, bahkan money politic, sehingga suara maupun pemikiran
orang-orang pandai, cerdas, dan shalih tidak terdengar karena tenggelam dalam riuhnya suara
si bodoh (anjing) yang ber-uang. Ketika tipu daya orang-orang jahat dapat mempengaruhi
masyarakat awam, maka orang-orang jahat pun akan dapat mengalahkan orang-orang baik.
Itulah demokrasi yang menganggap suara mayoritas sebagai tuhan (kebenaran).

Tragisnya, sebagian besar penganut Islam tampaknya merasa amat sangat bersyukur bukan
bersedih- Indonesia diatur dengan sistem demokrasi, sehingga beramai-ramai menolak
syariat Islam. Mereka menganggap demokrasi sebagai pemersatu dan penyelamat,
sedangkan syariat Islam diposisikan sebagai ancaman dan pemecah belah rakyat.

Ucapan dan rasa syukur itu diungkapkan, misalnya oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono
dalam orasi pengukuhan sebagai Capres 2009: Saya bersyukur kepada Allah Swt, keluarga
saya diatur dengan demokrasi, sehingga setiap orang dalam anggota keluarga saya bebas
berpendapat, katanya bangga.

Kontra Syariat Islam


Pertarungan antara yang haq dan bathil merupakan sunnatullah. Sedangkan upaya
mensinergikan antara keduanya, adalah program syetan. Oleh karena itu Islam dengan tegas
menolak sinkretisasi/oplos kebenaran dan kebathilan sebagaimana firman-Nya:

Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dan yang bathil, dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahui. (Qs. Al-Baqarah, 2:42)

Pada tataran ideologis dan praktis, pertarungan yang terjadi sekarang bukan hanya antara
Muslim dan Non Muslim, justru antara Muslim yang mendukung dan anti formalisasi
syariah. Proses syetanisasi di negeri ini, tidak hanya dimonopoli orang kafir; tetapi
berlangsung secara legal, formal, dan konstitusional. Seperti dikatakan sekte JIL (Jaringan
Islam Liberal), Kita menerima ideologi demokrasi, karena demokrasi mensinergikan antara
yang baik dan buruk, halal dan haram.

Kelompok anti syariah Islam meyakini bahwa demokrasi lebih tepat bagi bangsa Indonesia,
karena bisa mensinergikan antara halal dan haram sesuai kebutuhan. Akibatnya muncul sikap
ambivalen dan munafik.
Pada masa Orde Baru kekuasaan politik memang cenderung represif pada Islam karena
dianggap menjadi salah-satu potensi ancaman pada rezim yang sedang berkuasa. Upaya
sistematis dilakukan oleh kekuasaan formal untuk menekan gerak sosial-politik umat Islam
termasuk pemberian cap ekstrim kanan, subversi, radikal, teroris dsbnya, yang ujung-
ujungnya menekan aktifis Islam untuk tidak bisa bergerak maju dalam bidang sosial-politik.

Partai politik yang berasas Islam pun secara sistematis diseret ke arah meninggalkan asas
Islam, demikian pula dengan ormas Islam sekalipun yang akhirnya merubah asas Islam
menjadi asas lain. Masalahnya, apakah dengan mimikri politik seperti itu Indonesia menjadi
lebih maju dan berjaya? Kerusakan masyarakat terus saja bertambah di atas kerusakan yang
sudah menggunung.

Lalu, mengapa ada sejumlah tokoh Muslim, bahkan dari kalangan orang-orang yang
menyatakan diri sebagai pembela Islam, justru menolak formalisasi syariat Islam? Mengapa
terdapat hamba Allah yang membangkang kepada Allah Swt? Apa sesungguhnya dasar
berfikir yang melatarbelakangi mereka menolak syariat Islam?

Menurut pengalaman bertahun-tahun di arena perjuangan, dan fakta sosial di masyarakat,


faktor penyebabnya antara lain: di kalangan kaum Muslimin, muncul kesan bahwa
menegakkan kehidupan berbasis Islam merupakan ancaman terhadap keselamatan diri di
tengah berlangsungnya globalisasi politik, ekonomi, budaya dan globalisasi agama. Hal ini
tercermin pada keengganan mereka untuk berterus terang dengan agamanya, dan dengan
terpaksa menerima stigmatisasi musuh-musuh Islam; bahwa Islam adalah agama yang telah
kehilangan relevansi untuk terus dipertahankan di era globalisasi ini. Padahal Allah Swt telah
menginformasikan melalui firman-Nya:

Thaaha, Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi
sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah, yaitu diturunkan dari Allah yang
menciptakan langit dan bumi yang tinggi. (Qs. Thaaha, 20:1-3)

Selain faktor di atas, banyak kalangan Muslim yang memosisikan Islam selaras dengan
demokrasi. Sehingga, ketika mereka melakukan amal-amal demokrasi berlandaskan
kedaulatan rakyat dan tunduk pada suara mayoritas, mereka ingin perbuatannya itu dilabeli
merk Islami. Padahal, tidak semua ajaran demokrasi sesuai syariat Islam, sebaliknya apa
yang sesuai dengan syariat Islam dianggap tidak demokratis.

Jika Islam yang dimaksud seperti yang dipahami kebanyakan orang Islam yang anti syariat
Islam, atau menerima sebagian dan menolak sebagian dari ajaran Islam, mungkin dapat
diselaraskan dengan demokrasi. Tetapi jika Islam yang dimaksud seperti yang diwahyukan
Allah dan diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, mustahil bisa dicocok-cocokkan. Sebab
Islam berdiri tegak di atas landasan Tauhid, sedang demokrasi berdiri tegak di atas landasan
hawa nafsu. Islam memiliki sumber hukum (Quran dan Hadits), sedang demokrasi sumber
hukumnya kemauan orang banyak. Islam mengharamkan daging babi, khamer, pelacuran,
perjudian, ekonomi ribawi, sedang demokrasi menganggap kemaksiatan dan kemungkaran
sebagai fasilitas hidup.

Barangkali benar, bila dalam menjalani kehidupan ini seorang Muslim tidak memiliki ukuran
atau barometer ideologis yang jelas, sikap dan pernyataannya kerapkali kontraproduktif.
Seperti ucapan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Ketua Majelis Syuro PBB), pada Ahad, 16
Shafar 1431 H/ 31 Januari 2010 M, dalam suatu dialog dengan penulis, di hadapan Musywil
Partai Bulan Bintang, Jawa Timur, Surabaya.

Demokrasi tergantung tarif mana yang digunakan, karena makna demokrasi itu banyak,
tidak tunggal. Perbedaan amal demokrasi atau amal Islami, mungkin saja dirasakan oleh
mereka yang bergelut di bidang teori, tapi bagi yang bergelut secara praktis dan pengambil
keputusan, tidak merasakan adanya konflik ideologi seperti itu. Apakah ini amal Islami atau
aktivitas demokrasi, bagi saya sama saja, tegasnya.

Pertanyaannya, jika tarif demokrasi tidak tunggal, lalu umat Islam harus mengidentifikasikan
diri pada makna demokrasi yang mana, sehingga tidak melanggar syariat Islam? Kaitannya
dengan kebingungan memilih dan memilah yang ini amal demokrasi atau yang itu amal
Islami, sebenarnya tidak sulit. Mereka yang sedikit memahami ushul fiqh, dapat
mengetahuinya melalui kaidah ushuliyah. Dalam teori ushul fiqih, Imam Syafii membuat
kategorisasi amal yang disebut Anwau afalin Nabiyyi, yaitu afalun (perbuatan) Nabi,
sebagai barometer amal dibagi tiga bagian:

Pertama, amal yang bersifat Qurbah, seperti tuntunan ibadah dari Nabi yang tidak boleh di
rubah. Kedua, Thoah, kehidupan kemanusiaan, yang dibatasi dengan hukum wajib, sunnah,
dan mubah. Contoh, mandi junub. Mandinya sendiri tanpa diatur agama, kita sudah biasa
mandi, dilakukan oleh orang kafir maupun Muslim. Bedanya, mandi junub bagi orang Islam
adalah mandi yang dilakukan setelah berhubungan seksual dengan istri, perempuan datang
haid atau nifas. Agama yang dibawa Nabi Muhammad menjelaskan itu, maka kita mesti
Thoah. Ketiga, bersifat Jibillah, perbuatan Nabi yang bersifat naluriah. Dalam hal perbuatan
yang bersifat jibillah prinsipnya adalah mubah, kecuali ada larangan.

Jadi, tidak perlu bingung, apalagi melakukan sinkretisasi ideologi. Dengan kategorisasi ini,
dimaksudkan agar seorang Muslim dalam menerima atau menolak sesuatu, bukan karena
sesuai atau bertentangan dengan demokrasi; melainkan selaras dan tidak bertentangan dengan
syariat Islam.

Ketakutan kelompok liberal akan bahaya menguatnya kekuatan Islam yang dianggap sebagai
ancaman bagi masa depan pluralisme di Indonesia terus diopinikan dengan resonansi yang
kian masif. Sebuah forum yang menyebut dirinya Konferensi Nasional Lintas Agama atau
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dihadiri oleh sekitar 80 peserta
tokoh lintas agama dan kepercayaan dari berbagai daerah, dan menolak Perda yang
bernuansa Syariat Islam, memutuskan akan mendesak Pemerintah untuk mencabutnya.

Kami akan sampaikan kepada presiden dan wapres yang baru terpilih agar perda-perda
dievaluasi dan bisa masuk ke MK (Mahkamah Konstitusi) atau Mahkamah Agung (MA)
untuk dilakukan judicial review, ujar ketua forum yang ternyata seorang Doktor Agama
Islam dan PNS di Departemen Agama RI. (Harian Surya, Rabu 7/10/09).

Apa yang disebut Perda Syariah itu? Yaitu, adanya daerah-wilayah di Republik Indonesia ini,
di mana para pejabat legislatif yang beragama Islam membuat kesepakatan untuk
menggoalkan suatu Perda (Peraturan Daerah) yang diinspirasi ajaran agamanya, yakni Syariat
Islam terkait pengelolaan wilayah, (seperti menolak perjudian, pelacuran, korupsi, dan
kemasiatan lain sesuai tuntunan agama yang dipeluknya). Mereka menggunakan mekanisme
yang sudah sejalan dengan proses pembuatan sebuah perda, termasuk, tentu saja rapat-rapat
di DPRD dengan pihak lain, lalu mereka berhasil menggoalkan Perda tersebut. Apa yang
salah dengan Perda seperti itu?

Sebuah acara Nurcholis Madjid Memorial Lecture III yang digelar di Universitas
Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (21/10/09), mengundang Ahmad
Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, untuk menyampaikan orasi ilmiah
bertajuk Politik Identitas dan Masa Depan Plularisme di Indonesia.

Dalam orasinya, Syafii Maarif yang dikenal sebagai kontributor liberalisme menyinggung
soal gerakan-gerakan Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam
(FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kerap mengampanyekan penegakan syariat
Islam dan khilafah Islamiyah.

Syafii menyatakan, sikap MMI yang menyatakan bahwa penolakan syariat Islam secara
konsititusional termasuk kategori kafir, fasik, dan zalim, adalah pernyataan yang berbahaya
bagi pluralisme. Kalau beragama secara hitam putih, mungkin lebih baik saya jadi atheis
saja, tegasnya.

Dengan menggunakan retorika agitatif, Maarif menganggap bahwa tuntutan formalisasi


syariat Islam sebagai beragama hitam putih. Lalu menuduh Majelis Mujahidin (MM) sebagai
kelompok takfir (mengafirkan mereka yang menolak formalisasi syariat Islam). Sekalipun
Syafii Maarif tidak akan dapat membuktikan tuduhannya terhadap MM -karena itu bukan
sikap MM- tetapi lontaran keji itu sudah menyebar bagai virus yang melahirkan trauma
ukhuwah Islamiyah.

Majelis Mujahidin tidak pernah merasa paling benar, apalagi mengafirkan Muslim lainnya.
Tetapi tidak membenarkan yang benar adalah kesalahan. Dan tidak mengatakan kafir
terhadap mereka yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah kekafiran juga. Maka
sikap MM dalam hal ini sesuai dengan sikap Islam, sebagaimana firman Allah:

Siapa saja yang tidak berhukum pada hukum Allah adalah kafir, fasik, dan zalim. (Qs. Al-
Maidah, 5: 44, 45, 47).

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Syafii Maarif yang tercatat sebagai anggota dari
Trilateral Commission sebuah lembaga yang berada di bawah kendali Zionis, memang
dikenal sebagai orang yang berada dalam gerbong para penolak formalisasi syariat Islam.
Dalam diskusi yang banyak dihadiri para aktivis liberal itu, Syafii dengan kalimat nyinyir
mengatakan, Kalau kita ingin melaksanakan syariat Islam secara utuh itu akan sulit hidup
dimana saja. Harusnya kita pakai saja ayat fattaqullah mastathatum, bertakwalah kepada
Allah semampumu, ucapnya.

Dengan bangga, Syafii bernostalgia, dulu pada tahun 70-an sebelum dirinya berangkat ke
Chicago, Amerika Serikat, dirinya adalah orang yang sangat anti-terhadap Pancasila. Tetapi
setelah dicuci otak oleh Fazlul Rahman (Profesor di Chicago) saya berubah, ujarnya sambil
terkekeh. Syafii mengaku dirinya sedih melihat kondisi bangsa ini, dimana pemerintah tidak
serius dalam mengelola negara. Ia juga sedih melihat kelakuan umat Islam yang anti terhadap
pluralisme dan berupaya memaksakan kehendak terhadap minoritas. Kalau tidak sedikit
paham Al-Quran, mungkin saya malas jadi orang Islam, tandas Syafii.
Dalam pandangan Syafii, formalisasi syariah Islam menunjukkan prilaku beragama hitam
putih. Untuk melemahkan tuntutan penegakan syariat Islam, Syafii melakukan manipulasi
sejarah, dan menggiring pemahaman Islam ke arah paham sesat dan menyesatkan.

Belum lama ini Haedar Nasir menulis buku dan dibedah bersama Syafii Maarif, untuk
menghantam Islam syariat di Indonesia. Gerakan syariat berangkat dari daerah-daerah
menuju ke pusat. Gerakan ini mengganggu gerakan islam liberal, karena itu gerakan islam
moderat perlu mengantisipasi.

Apa yang hendak diantisipaisi dari perjuangan Syariat Islam? Apakah mereka punya kitab
suci dan nabi yang mengajarkan penolakan terhadap syariah Islam? Nabi Allah yang mana
yang mendakwahkan Islam tanpa menegakkan syariah Allah? Sikap mereka dan yang
sepaham dengannya, merupakan cermin dari tokoh-tokoh munafiq di zaman Nabi, pewaris
dari sikap tokoh munafiq Ubay bin Salul.

Wallahu alam bis shawab!

A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, Islam, dan Masyarakat Madani


(Jakarta: IAIN Press, 2000), h. 161. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:
Dian Rakyat, 1972; reprint, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 55. Ian Adams,
Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya. Penerjemah Ali
Noerzaman (Solo: Qalam: 2006), h. 75. Robert A. Dahl, Demokrasi Indonesia, dan Para
Pengeritiknya. Jilid II. Penerjemah A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor, 1992),
h.xxviii. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual
Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993 (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h. 71. Nurchalish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1996), h.
255-256. Yusuf al-Qardw, Fiqih Negara. Penerjemah Syaiful Hakim (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), h. 67-68. Ibid., h. 175. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), h. 25-26. John L. Esposito dan John O.
Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan,
1996), h. 32. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, h. 32.
Departemen Agama Republik Indonesia (DEPAG RI), al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya:
Karya Utama, 2000), h. 354. al-Qardw, Fiqih Negara, h. 182. Yudi Latif, Sekularisasi
Masyarakat dan Negara Indonesia, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed.,
Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta:
Paramadina, 2005), h. 143-144.

Anda mungkin juga menyukai