Anda di halaman 1dari 3

RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA: LEGALISASI KEZALIMAN

TERHADAP PEKERJA

Oleh :
Delya Lusiana
(Mahasiswi Universitas Padjadjaran)

Rezim nampaknya membuat rakyat terus menderita dengan aturan yang


dibuatnya, bukankah adanya sebuah aturan ditunjukan untuk sesuatu yang lebih baik ?
akan tetapi, kini dimasa sistem kapitalis diterapkan yang ada hanya membuat
kegaduhan semata. Seperti kontroversi rancangan undang-undang (RUU) Cipta kerja
atau yang sering kita dengar istilah omnibus law. Kontroversi RUU Cipta Kerja ini
terus berlanjut. Pasalnya, meski masih di masa pandemi Covid-19, pemerintah
bersama DPR sudah tidak sabar untuk segera menuntaskan RUU ini.

RUU Cipta Kerja ini diyakini oleh pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, memperbaiki kesejahteraan rakyat, bahkan membawa negara indonesia
menuju lima besar ekonomi di dunia. Hal ini dikarenakanoleh terjadinya wabah
covid-19 yang membawa dampak besar bagi perekonomian indonesia, sehingga
investasi yang cukup besar sangat dibutuhkan untuk mendongkrak kembali
perekonomian indonesia. Alih-alih mendapat dampak postif terhadap RUU Cipta
Kerja namun realitanya kini menambah masalah baru khususnya bagi para pekerja
buruh. Alhaasil, pemerintah memperoleh berbagai kritik dan tekanan publik.
Termasuk dari rakyat yang menuntut hak sebagai pekerja.

Baru-baru ini sejumlah orang yang tergabung dalam Aliansi Rakyat bergerak
menggelar demonstrasi untuk menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja
pada tanggal 16 juli 2020. Aksi ini menunjukkan bahwa betapa mengerikannya RUU
Omnibus Law bagi pekerja. Sebab, di dalam RUU ini banyak aturan yang merampas
hak-hak dasar warga negara dari sisi ketenagakerjaan, lingkungan, keamanan dan
pendidikan. Salah satunya adalah akan memperpanjang jam kerja dan lembur serta
penetapan upah minimum menjadi rendah. Bukan itu saja, RUU Cipta Kerja akan
menghilangkan hak-hak pekerja perempuan untuk cuti haid, hamil, dan keguguran.
Tampak sekali bahwa pasal-pasal dalam RUU ini akan sangat menyulitkan bagi
para pekerja. Tercantum pula aturan bahwa pekerja akan lebih mudah direkrut tetapi
mudah juga untuk di-PHK. Hal ini bukan menyerap tenaga kerja, malah yang ada
justru memperpanjang barisan para pengangguran, bahkan yang sungguh memilukan
adalah PHK. RUU Cipta Kerja juga berdampak pada pendidikan, sebab terdapat
pasal-pasal yang menggambarkan seolah-olah pendidikan hanya dianggap sebagai
komoditas ekonomi (kapital) semata. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan,
justru akan memperlemah sistem pendidikan bangsa. Bahkan beberapa regulasi terkait
pendidikan dihapuskan dan dianggap membatasi atau menghalangi kemajuan
ekonomi. Padahal sejatinya pendidikan merupakan sektor utama yang dapat
membawa kemajuan bangsa.

Rupanya banyak sekali alasan dari masyarakat terkait penolakan RUU Omnibus
Law Cipta Kerja. Banyak kalangan yang kontra terhadap RUU ini memandang bahwa
RUU tersebut dinilai melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan
investasi rakyat, prosedur RUU yang cacat yang dilakukan secara tertutup, bahkan
RUU ini menimbulkan terbuka lebarnya kasus korupsi dan yang lebih parahnya RUU
ini mengambil hak rakyat.

Ambisi pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Cipta Kerja tentu diamini
oleh kalangan pengusaha. Tentu saja karena sampai hari ini sistem ekonomi
Kapitalisme--dengan spirit meraih keuntungan sebesar-besarnya-- masih diterapkan.
Keberpihakan akan lebih condong kepada pengusaha dan pemilik modal, sedangkan
nasib rakyat cenderung terabaikan. Maka tak heran, kekhawatiran terbentuknya jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin semakin melebar seiring pembahasan RUU
Cipta Kerja.

Berbeda halnya apabila kita berkaca kepada Islam. Islam memiliki konsep dalam
hal pekerjaan khususnya dalam hal hubungan majikan dengan pekerja dan kosep
pemberian upah. Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap pekerja dengan
memastikan mereka mendapatkan penghasilan yang layak sesuai kadar beban
pekerjaan. Sebab dalam perspektif Islam, bekerja adalah kewajiban yang mulia bagi
setiap manusia agar dapat hidup layak dan terhormat. Bahkan kedudukan buruh dalam
Islam menempati posisi terhormat. Rasullullah Saw. menyampaikan juga pentingnya
kelayakan upah, yang berbunyi: “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah
saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa
mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa
yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya
(sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika
kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka
(mengerjakannya).” (HR Muslim).

Bukan hanya itu saja banyak hadist yang menjelaskan tentang para buruh salah
satunya juga tentang tata cara pembayaran upah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda, “Berikanlah
upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Imam
Thabrani). Dari hadist ini menunjukkan bahwa dalam kacamata Islam seorang pekerja
sangat benar-benar dihormati dan haknya wajib dipenuhi. Dengan demikian, kita
dapati bahwa Islam memiliki sebuah prinsip muswah (kesetaraan) dan ‘adlah
(keadilan). Dengan prinsip tersebut pengusaha dan pekerja berada pada posisi yang
sama, yaitu sama-sama saling membutuhkan dan saling memenuhi hak masing-
masing, salah satu pihak tidak menzalimi yang lain. Sehingga dalam hal hak dan
kewajiban masing-masing memiliki asas kesetaraan.

Walhasil, RUU Cipta Kerja yang sudah nampak akan merugikan pekerja,
semestinya membuka mata dan hati pemerintah untuk menghentikan langkahnya ini.
Kemudian selanjutnya fokus memikirkan bagaimana upaya untuk bisa memenuhi
kebutuhan rakyat dan pekerja secara adil. Menerima pada apa yang ditawarkan Islam
menjadi hal yang sangat urgen.

Anda mungkin juga menyukai