Anda di halaman 1dari 3

Untuk 1 Mei, Islam Punya Solusi

May Day atau hari buruh dunia diperingati setiap tanggal 1 Mei. Pasti kita bertanya-tanya,
kenapa sih harus tanggal 1 Mei ?. Nah ada alasan atau sejarahnya sob.. ternyata Penetapan
tanggal 1 Mei sebagai hari buruh dunia terilhami dari kesuksesan aksi buruh di Negara Kanada
pada tahun 1872. Saat itu buruh melakukan aksi menuntut pengurangan jam kerja yang semula
jam kerja berdurasi 19-20 jam/hari berubah menjadi 8 jam kerja/hari, tuntutan itupun pun
disetujui. Sehingga delapan jam kerja per hari di Kanada resmi diberlakukan mulai tanggal 1
Mei 1886 (dakwatuna.com / Syamil). Lalu bagaimana dengan Indonesia? Adakah sejarah
tentang buruh? Ternyata juga ada sob..
Perjuangan para buruh di Negara kita dilakukan dalam jangka waktu yang tidak
sebentar, sekitar sepuluh tahun. Perjuangan para buruh di Indonesia untuk menuntut haknya
membuahkan hasil melalui pengesahan UU Kerja No. 12 Tahun 1948, pada pasal 15 ayat 2,
dinyatakan bahwa “Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban kerja.”. Namun, apakah
dengan disahkan UU tersebut dapat menyelesaikan masalah perburuhan di Negara kita?
Permasalahan yang terjadi tentang pemberian honor dan permasalahan sistemik yang
menimpa para buruh terus terjadi tiap tahunnya, bahkan cenderung bertambah
permasalahannya. Dalam peringatan Hari Buruh Internasional 2016, kaum buruh mengajukan
empat tuntutan, yakni:

1. Menolak upah murah, pencabutan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, dan
menaikkan upah minimum pada 2017 sebesar Rp 650 ribu.
2. Menghentikan kriminalisasi buruh dan aktivis sosial, serta menghentikan pemutusan
hubungan kerja (PHK).
3. Menolak reklamasi, penggusuran, dan RUU pengampunan pajak ( tax amnesty) yang
dianggap merugikan buruh. Sementara kaum buruh dikendalikan dengan sistem upah
murah melalui PP 78/2015, para pengemplang pajak justru diampuni.
4. Deklarasi organisasi masyarakat buruh sebagai kekuatan politik atau kelompok penekan
yang terdiri dari kalangan buruh, guru honorer, mahasiswa, dan nelayan.
(http://www.rappler.com)
Tuntutan yang diajukan setidaknya menjadi indikasi adanya ketidakadilan dari sistem
kepada para buruh saat ini. Oleh karena itu, untuk memberikan solusi dari tiap permasalahan
sistem, Islam punya solusinya. Islam sebagai rahmtan lil alamin, sangat memperhatikan hak
asasi manusia, sekalipun dia seorang budak. Para sahabat yang pernah membantu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik budak maupun orang merdeka, semua merasa puas dengan
sikap baik yang beliau berikan. Inilah potret ideal yang bisa dijadikan contoh muamalah antara
majikan dengan pembantunya, antara pimpinan dengan pekerjanya (Rasulullah gitu lho…  )
Namun, Islam membedakan antara budak dengan pembantu atau buruh. Budak, jiwa dan
raganya milik majikannya, sehingga apapun yang dimiliknya, menjadi milik majikannya. Dia
tidak bisa bebas melakukan apapun, kecuali atas izin si majikan. Hal itu berbeda dengan
pembantu. Hubungan seorang pembantu dengan majikan, tidak ubahnya seperti pekerja yang
sedang melakukan tugas untuk orang lain, dengan gaji sebagaimana yang disepakati.
Muamalah antara pembantu dengan majikan adalah ijarah (sewa jasa). Sehingga, beban tugas
yang diberikan dibatasi waktu dan kuantitas tugas. Lebih dari batas itu, bukan kewajiban
pembantu atau buruh.
Berikut Hak buruh dalam Islam:
1. Islam memposisikan pembantu sebagaimana saudara majikannya (HR. Bukhari no. 30)
2. beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberikan beban tugas kepada pembantu
melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa itu harus dilakukan, beliau perintahkan agar
sang majikan turut membantunya. (HR. Bukhari no. 30)
3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan para majikan untuk memberikan gaji
pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun
“Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya .” (HR. Ibn Majah dan
dishahihkan al-Albani).
4. Islam memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantunya
atau pegawainya. (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442).
5. Islam memotivasi para majikan agar meringankan beban pegawai dan pembantunya.
Dari Amr bin Huwairits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Keringanan yang kamu berikan kepada budakmu, maka itu menjadi pahala di
timbangan amalmu.” (HR. Ibn Hibban dalam shahihnya dan sanadnya dinyatakan shahih
oleh Syuaib al-Arnauth).
6. Islam memotivasi agar para majikan dan atasan bersikap tawadhu yang berwibawa
dengan buruh dan pembantunya. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad 568, Baihaqi dalam
Syuabul Iman 7839 dan dihasankan al-Albani).
7. Islam menekan semaksiamal mungkin sikap kasar kepada bawahan. Seorang utusan
Allah, yang menguasai setengah dunia ketika itu, tidak pernah main tangan dengan
bawahannya. Aisyah menceritakan:
َ َ ‫ش ْيًئ ا َقط ُّ بِيَ ِد ِه َوال َ ا ْم َرَأ ًة َوال‬
‫خا ِد ًما‬ َ ِ‫ل هللا‬
ُ ‫سو‬
ُ ‫ب َر‬
َ ‫ض َر‬
َ ‫… َما‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul dengan tangannya sedikit
pun, tidak kepada wanita, tidak pula budak.” (HR. Muslim 2328, Abu Daud 4786).
Namun jika kita cermati, problem perburuhan selain hubungan antara majikan dengan
buruh, juga terkait dengan kesalahan tolok ukur yang digunakan dalam menentukan gaji buruh.
Selama ini tolok ukur yang digunakan adalah Living cost terendah yaitu standart terendah yang
digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Itu berarti para buruh hanya digaji sekedar
agar mereka bias mempertahankan hidup saja. Dan ini semua dibawah sistem kapitalis.
Akhirnya yang terjadi adalah ekspoitasi besar-besaran yang dilakukan oleh para
perusahaan terhadapa buruh yang memicu gagasan yang diadopsi dari pemikiran sosialis
komunis tentang pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial dan sebagainya.
Dampaknya, kaum kapitalis terpaksa melakukan beberapa “tambal sulam” untuk menutupi
kelemahan sistem mereka, diantaranya ide kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja, Living
cost terendah tidak lagi menjadi dasar penentuan gaji buruh.
Namun bolehkah hal-hal demikian di dalam Islam?
1. Kebebasan kepemilikan adalah haram dalam Islam
Kebebasan kepemilikan dalam sistem kapitalis adalah membebaskan manusia untuk bisa
memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal dan haram,
padahal islam sangat memperhatikan factor halal dan haram dalam status kepemilikan.
Setelah harta berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa
digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual beli, sewa menyewa, dan
sebagainya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan
cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya.
2. Kebebasan bekerja adalah haram dalam Islam
konsep kebebasan bekerja membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan
apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh
bekerja sebagai pelacur, mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala
cara. Semuanya bebas. Itulah konsep kebebasan bekerja. Sangat bertentangan dengan
Islam Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan tidaknya
pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Tiap Muslim boleh bekerja, tetapi cara
(pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum
syariah. Dia boleh bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani, berkebun, tetapi ketika
dia melakukan pekerjan tersebut harus terikat dengan hukum syariah.
3. Islam memiliki solusi tentang standar gaji buruh.
Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah
manfaat tenaga yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena
itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri
sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan
yang berlaku di tengah masyarakat. Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan
UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan,
dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah,
sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga
adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa
4. Hak Berserikat dan Serikat Pekerja
Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka ini deperbolehkan dalam Islam. Mereka
boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan.
Hanya saja, diperbolehkannya hak berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para
buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang
berbeda. Hak membentuk serikat pekerja tidak diberikan kepada yang lain, selain
kepada negara. Karena negaralah yang bertanggungjawab terhadap kewajiban, baik
dalam perkara parsial maupun menyeluruh.
Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada
dasarnya bukanlah solusi namun hanya “tambal sulam” untuk menutupi kelemahan
sistem tersebut. Hanya solusi Islamlah satu-satunya solusi terbaik karena datangnya
dari sang Pencipta, yang lebih memahami permasalahan manusia serta potensi-potensi
dalam diri manusia. Wallaualam.

Anda mungkin juga menyukai