Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PERPAJAKAN LANJUTAN

Pengintegrasian NIK menjadi NPWP

Disusun Untuk Melengkapi Tugas Individu Mata Perpajakan Lanjutan

Dosen Pengampu : Anton,S.T.,S.E.,M.SI.

Disusun Oleh :

Awangga Fahrezy (122220020)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS AKI SEMARANG

TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

Selama beberapa tahun belakangan penerimaan pajak negara Indonesia tidak


mencapai target. Salah satu penyebabnya adalah rasio pajak yang tidak naik-naik, hanya
berkisar di angka 11-12 %. Rasio pajak indonesia relatif sangat rendah dibandingkan negara-
negara lain. Ada beberapa metode untuk menghitung rasio pajak, namun secara umum adalah
membandingkan jumlah pajak yang dibayar dengan jumlah produk domestik bruto (PDB).
Atau bahasa gampangnya adalah rasio pajak mencerminkan prosentase perbandingan
penerimaan pajak dengan jumlah transaksi yang ada di suatu negara.

Banyaknya transaksi yang tidak dilaporkan dan terhindar dari kewajiban perpajakan
disebabkan tidak adanya nomor atau kode yang merupakan identitas para pelaku transaksi
yang dicantumkan saat bertransaksi. Beberapa transaksi memang telah diwajibkan untuk
mencantumkan NPWP sehingga pengawasan dapat dilakukan seperti pembelian tanah dan
bangunan, pembukaan rekening bank, dan lain-lain. Namun banyak transaksi yang tidak
mencantumkan NPWP karena tidak semua orang memiliki NPWP.
BAB II

PERMASALAHAN

Pada 7 Oktober 2021, DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang


Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi Undang-Undang (UU). Banyak aturan dalam
UU ini yang menarik perhatian publik, salah satunya adalah ketentuan yang mengatur
integrasi data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan, artinya fungsi Nomor
Induk Kependudukan (NIK) pada KTP telah ditambahkan untuk keperluan perpajakan
menggantikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pengintegrasian ini dilakukan
sebagai langkah mewujudkan satu identitas atau Single Identity Number (SIN) yang
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, baik di bidang
pendidikan, kesehatan, sosial, maupun administratif.

Proses reintegrasi data ini tidak akan mudah dilakukan mengingat banyaknya
instansi yang terlibat sehingga dibutuhkan adanya koordinasi antarinstansi yang baik.
Selain itu, luasnya wilayah jangkauan pelayanan hingga ke pelosok, tentunya membutuhkan
pengamanan yang berlapis dari segi teknologi, pengawasan yang ketat, serta kesiapan
infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). Sementara itu, minimnya tingkat
pendidikan masyarakat juga menjadi kendala tersendiri di bidang pelayanan. Meskipun
demikian, Pemerintah memprediksi dapat menyelesaikan proses integrasi pada tahun 2024.
Pro kontra terhadap aturan inipun bermunculan. Pihak yang mendukung (pro)
menyatakan bahwa reintegrasi data kependudukan dengan perpajakan ini akan melengkapi
database perpajakan dan wajib pajak akan semakin sulit untuk memalsukan nominal pajak.
Sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa kebijakan ini dapat membahayakan
pelindungan data pribadi masyarakat, terlebih lagi data perpajakan sangat berkaitan
dengan data keuangan. Pada beberapa kasus kebocoran data pribadi ini belum ada
sanksi yang tegas terhadap pihak yang seharusnya bertanggung jawab, dan masyarakat
yang dirugikan juga tidak mendapatkan kompensasi apapun sehubungan dengan
kebocoran data tersebut. Hanya saja instrumen hukum tersebut memiliki kelemahan,
seperti ketidakjelasan batasan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (“melanggar”
memiliki makna yang berbeda dengan “melawan”); batas waktu pengajuan gugatan; dan
parameter ganti kerugian. Oleh karenanya kelemahan tersebut hendaknya dapat ditutupi
dengan adanya aturan yang jelas terkait batasan pemprosesan data pribadi oleh badan publik
dan keberadaan badan/otoritas pengawas pelindungan data pribadi yang dapat mengawasi
pemrosesan data pribadi oleh badan publik dalam suatu UU yang melindungi data
pribadi.identitas untuk menaikkan rasio pajak membuat Direktorat Jenderaal Pajak (DJP)
sejak dulu berkeinginan untuk menerapkan Single Identity Number (SIN). Nomor identitas
yang unik untuk setiap warga yang digunakan untuk segala urusan. Seandainya SIN
diterapkan akan sangat memudahkan masyarakat. Bayangkan begitu banyak nomor yang
harus kita ingat dan kita simpan. Nomor KTP, SIM, paspor, BPJS, Kartu Asuransi, kartu
bantuan sosial, DPT Pemilu, dan lain-lain.
BAB III

Dasar/ Konsep Teori

Sesuai dengan bunyi pasal 1 point 12 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan bahwa
Nomor Induk Kependudukan (NIK) adalah nomor identitas penduduk yang bersifat
unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk
Indonesia. NIK tersebut berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh
Pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah
dilakukan pencatatan biodata. NIK pertama kali diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal
Administrasi Kependudukan ketika Institusi Pemerintah ini menerapkan sistem KTP
nasional yang terkomputerisasi. Dengan disahkannya UU No. 24 Tahun 2013 sebagai
peraturan pelaksanaan UU tersebut masih mengacu pada PP No. 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan UU No. 26 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. PP Nomor 37
Tahun 2007 Pasal 36 menyebutkan bahwa Pengaturan NIK meliputi penetapan digit
NIK, penerbitan NIK dan pencantuman NIK ditetapkan secara nasional oleh Menteri,
dalam hal ini Menteri Dalam Negeri. Sedangkan pasal 37 menyebutkan NIK terdiri
dari 16 (enam belas) digit dan kode penyusunannya terdiri dari 6 (enam) digit pertama
provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, 6 (enam) digit kedua adalah tanggal, bulan,
tahun kelahiran dan 4 (empat) digiti terakhir merupakan nomor urut penerbitan NIK yang
diproses secara otomatis dengan SIAK.

Kementerian Dalam Negeri melalui Ditjen Dukcapil saat ini sedang


mewujudkan penerapan Single Identity Number (SIN) dalam semua layanan publik, baik di
lingkungan pemerintah maupun swasta. Penerapan SIN tersebut terwujud melalui
pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai nomor identitas tunggal bagi setiap
penduduk. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari
kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-
sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan
nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya
merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut
berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan
nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan
kewajiban kenegaran di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk
memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang
dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal
Pajak, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan/penyuluhan,
pelayanan, dan pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Direktorat
Jenderal Pajak berusaha sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada masyarakat
sesuai visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak
BAB IV

Analisa Pembahasan

Masih banyak masyarakat yang memiliki perspektif salah tentang perubahan NIK jadi
NPWP. Mereka mengira dengan dijadikannya NIK sebagai nomor identitas perpajakan akan
membuat semua kalangan dikenakan pajak. Padahal, ada variabel-variabel seperti
Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang perlu
diketahui untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dikenakan pajak atau tidak.
Malah, pemerintah baru saja menaikkan bracket atau batas PKP Pajak Penghasilan (PPh) OP
dari Rp 0-50 juta pada lapisan pertama, menjadi Rp 60 juta. Artinya, Wajib Pajak yang
PKP-nya < 60 juta setelah penghasilan netonya dikurangi PTKP, tidak akan dikenakan PPh.

Dengan terintegrasinya NIK dengan NPWP, menjadikan Wajib Pajak lebih


terdata dan tertib sehingga database perpajakan menjadi lebih lengkap. Dengan begitu,
pengawasan yang dilakukan menjadi lebih efektif. Dapat dikatakan, penerapan NIK
menjadi NPWP ini meningkatkan efisiensi bagi otoritas pajak dan Wajib Pajak. Bagi
Wajib Pajak, penerapan NIK menjadi NPWP ini akan memberikan kemudahan, karena
untuk mengurus dokumen administrasi, sering dibutuhkan NPWP atau bisa dikatakan
untuk mengurangi ribetnya birokrasi. Selain itu, masyarakat juga menjadi melek dalam
melakukan kewajiban perpajakan, seperti pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT).

Kemudahan akibat pengintegrasian tersebut juga bisa menjadi bumerang.


Misalnya terjadi penyalahgunaan NIK oleh orang tak bertanggung jawab. Akibatnya akan
fatal karena NIK ini terintegrasi dengan banyak data seperti BPJS dan NPWP. Ini harus
menjadi perhatian utama pemerintah. Terlebih, sudah menjadi “rahasia umum” bahwa
situs pemerintahan Indonesia mudah diretas atau keamanannya sangat kurang. Ada
baiknya, jika pemerintah dengan matang melakukan pengembangan system agar
meminimalisir terjadinya peretasan. Tidak masalah jika membutuhkan waktu lebih untuk
pemantapan keamanan data. Memang, jika tidak diterapkan, kita tidak akan tahu apakah
langkah pengintegrasian ini efektif atau tidak. Namun jika risiko bisa diminimalisir akan
lebih baik.

Penerapan NIK menjadi NPWP ini diharapkan bisa meningkatkan efektivitas


kepatuhan Wajib Pajak. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengawasi
pengelolaan APBN, termasuk memberantas dan menindak tegas para koruptor untuk menjaga
kepercayaan masyarakat. Selain itu juga, berantas oknum-oknum yang menjual-belikan
data pribadi masyarakat, dalam hal ini NIK, dan tidak perhitungan dalam
pengalokasian dana untuk pengembangan sistem agar keamanan data masyarakat bisa
terjaga.

Sistem Perpajakan Indonesia menganut self assessment, Wajib Pajak (WP) dipercaya
melaksanakan kewajiban perpajakannya dalam hal menghitung, membayar (menyetor),
dan melapor sendiri tanpa menunggu surat ketetapan pajak (Pasal 12 ayat (1) KUP).
Sarana administrasi perpajakan adalah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang
diberikan kepada WP sebagai sarana administrasi perpajakan sekaligus tanda
pengenal diri atau identitas WP dalam diri yang terarah melaksanakan hak dan
kewajiban perpajaknnya. Fungsi NPWP sebagai tanda pengenal diri (identitas)
merupakan hal penting dalam menjaga ketertiban pembayaran pajak dan pelaksaan
administrasi perpajakan. Pencantuman NPWP dalam hal berhubungan dengan dokumen
perpajakan, WP diwajibkan mencantumkan NPWP yang dimilikinya. NPWP
merupakan sarana kehadiran representasi WP dalam konteks subjek pajak. Pajak
Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan cara mengalikan
tarif dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) atau Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Setiap
tahapan mendapatkan, menagih, dan memelihara menggunakan administrasi perpajakan.

Menelisik pada aktivitas tersebut maka salah satu pihak akan meminta NPWP
dari lawan transaksinya sebagai pertanggung jawabanlaporan perpajakan di SPT, namun
bila salah satu pihak enggan memberikan NPWP nya maka bias jadi tarif pajak yang
dikenakan lebih tinggi dari yang mempunyai NPWP, demikian juga pada saatnya
sekiranya ada pemeriksaan pajak bisa jadi menjadi bahan temuan pemeriksa atau
pengecualian. Sehingga dengan adanya Single Identity Number (SIN) akan lebih
mudah menelusuri lebih lanjut transaksi perpajakannya dan pelaporannya. SIN sarana
dalam tatapan kesadaran yang muncul dari balik angka 83% realisasi pencapaian
penerimaan pajak. SIN menjadi kehadiran realitas sosial baru sekaligus merupakan
makna pertama sebagai sarana representasi kehadiran subjek. Kehadiran realitas sosial
baru SIN diciptakan bermakna bidang perpajakan membutuhkan sebagi sarana
administrasi perpajakan.

WP bebas untuk menunaikankewajiban perpajaknnya dengan cara menghitung,


setor, lapor sendiri. Seringkali Wajib Pajak melaporkan Pajak tidak sesuai dengan yang
terjadi sehingga pihak Fiskus harus menggali potensi Pajak WP dengan
mengandalkan pemeriksaan sedangkan apabila dengan adanya Single Identity
Number(SIN) maka penggalian potensi perpajakan Wajib pajak dapat secara otomatis
tercatat pada masing-masing transaksi, contoh dengan adanya transaksi jual beli
Property maka akantercatat di Notaris, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah
dan pihak Fiskus akan lebih mudah menelusuri SPT yang dilapor oleh Wajib Pajak
dengan kenyataan riil dilapangan. Perluasan pemahaman SIN menghadirkan makna ketiga
sebagai ekstensifikasi dan intensifikasi menjadi mungkin. Kepatuhan WP tidak saja
proses intensif bagi fiskus untuk memaksimalkan penerimaan pajak, namun juga
sekaligus proses ekstensif untuk mengoptimalkan. Kendali informasi pada SIN menjadi
terbuka bagi fiscus untuk mampu telusur dan menelisik informasi WP bagi
kepentingan fiskus dalam keterarahan pada penerimaan pajak.
BAB V

Penutup

Kesimpulan

Penerapan NIK menjadi NPWP merupakan langkah strategis yang diambil pemerintah
untuk memudahkan masyarakat dalam urusan administrasi perpajakan, serta membantu
pemerintah menghadirkan layanan publik yang lebih baik melalui terciptanya suatu database
yang solid. Dengan kesederhanaan yang ditawarkan, diharapkan ke depannya Wajib Pajak
akan merasa lebih terbantu dalam urusan perpajakan dan memiliki self-awarenes terkait
pentingnya pajak bagi kesejahteraan umum bangsa dan negara. Berdasarkan data yang
diperoleh melalui survei online dan literatur yang telah dibaca, dapat disimpulkan bahwa
penerapan NIK menjadi NPWP dapat memenuhi asas kesederhanaan.
Daftar Pustaka

https://disdukcapil.pontianakkota.go.id/page/nomor-induk-kependudukan

https://www.hipajak.id/artikel-pengertian-jenis-dan-manfaat-npwp

https://www.pajak.go.id/id/pajak

https://www.pajak.com/komunitas/opini/integrasi-data-nik-pada-npwp-efektifkah/2/

Anda mungkin juga menyukai