Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh

Barang dan Jasa oleh Kementerian, Lembaga, Satuan Kerja Perangkat Daerah,

Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai

diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang dan Jasa.1

Kontrak adalah perjanjian atau kesepakatan antara dua pihak yang

menimbulkan pengikatan antara keduanya untuk melaksanakan apa yang telah

diperjanjiakan2. Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Presiden

Nomor 16 Tahun 2018 tentang pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. yang

bertujuan untuk memastikan ketertiban dalam penyelenggaraan pengadaan

barang dan jasa serta mempunyai peran penting dalam pelaksanaan

pembangunan nasional untuk peningkatan pelayanan publik dan

pengembangan perekonomian nasional dan daerah.

Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya merupakan upaya pihak

pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa di

inginkannya, dengan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, waktu,

dan kesepakatan lainnya .Agar hakikat atau esensi pengadaan barang dan jasa

tersebut dapat dilaksanakan sebaikbaiknya, maka kedua bela pihak yaitu pihak

pengguna dan penyedia haruslah selalu berpatokan pada filosofi pengadaan


1
Modul Pelatihan PBJP Berbasis PERPRES No.16 Tahun 2018
2
Soedjono Dirdjosisworo, Misteri dibalik Kontrak Bermasalah, Penerbit Mandar Maju, Bandung,
2014, hlm. 6.

1
2

barang dan jasa ;tunduk pada etika dan norma pengadaan barang dan jasa yang

berlaku mengikuti prinsip-prinsip;metode dan proses pengadaan barang dan

jasa yang berlaku .

Dalam Peraturan Presiden No.16 Tahun 2018 menjelaskan peraturan-

peraturan yang berlaku dalam proses pegadaan barang dan jasa tentang

pelaku-pelaku pengadaan barang dan jasa, jenis pengadaan, metode pengadaan

dan besaran nilai pengadaan yang dapat dikelompokan sebagai metode dalam

pelaksanaan pengadaan, baik berupa pengadaan barang atau pun jasa.

Pengadaan barang /jasa melibatkan beberapa pihak yaitu pihak

pengguna dan pihak penyedia jasa.pihak pengguna adalah pihak yang

meminta atau memberi tugas kepada pihak penyedia untuk memasok atau

melaksanakan pekerjaan tertentu.pengguna barang atau jasa dapat merupakan

individu dan suatu Lembaga atau organisasi seperti BUMN, BUMD,

SWASTA, PEMERINTAH dan lain-lain.3

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mempunyai peran penting dalam

pelaksanaan pembangunan nasional untuk peningkatan pelayanan publik dan

pengembangan perekonomian nasional dan daerah, namun kadang Pemerintah

dihadapkan pada suatu kondisi darurat di luar rencana dan perkiraan manusia

yang menyebabkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menjadi

terhambat dan tidak dapat dilaksanakan seperti pada saat keadaan

ideal/normal, salah satunya adalah adanya pandemi corona virus disease 2019.

(COVID-19).

3
Hugh Collns, op. cit., p. 63.
3

Dampak tersebut telah dirasakan dan berdampak besar pada

perekonomian Indonesia. Banyak terjadi kasus khususnya pada Pembatalan

Perjanjian Kontrak dalam melaksanakan pengadaan barang dan jasa yang

menimbulan wanprestasi perjanjian dan masih banyak lainnya.

Timbulnya berbagai macam peraturan terkait pandemi membuat

pendapat, apakah keadaan yang di timbulkan karena adanya pandemi ini

dan/atau peraturan perundang-undangan membuat prestasi dapat ditangguhkan

atau justru dapat samapai menghilangkan kewajiban serta menghapuskan

perikatan. Pemenuhan prestasi merupakan kewajiabn bagi debitur dalam suatu

perikatan (schuld). Penyimpangan dalam hukum hanya dapat menunda

kewajiban atau bahkan bisa mengakhiri perikatan.4

Berdasarkan hasil penellitian dalam hukum perdata apabila terjadi

Overmacht maka perjanjian batal apabila Overmacht bersifat permanen, tetapi

apabila Overmacht bersifat sementara, maka perjanjian berlanjut meskipun

pemenuhan prestasi tertunda. Risiko kerugian ditanggung oleh pihak yang

menyediakan bahan, didasarkan bahwa seseorang betanggung jawab terhadap

barang miliknya.

Berdasarkan intruksi Presiden nomor 4 tahun 2020, sehubungan

dengan semakin luasnya penyebaran wabah corona virus disease 2019

(COVID-19) yang telah ditetapkan sebagai pandemi global oleh world health

organization (WHO) pada tanggal 11 maret 2020, maka diperlukan Langkah-

4
Inri Januar, Pelaksanaan Prestasi Dalam Keadaan Memaksa Yang Terjadi Pada Masa Pandemi,
Jurnal Hukum: HUKUM UNTUK MENGATUR DAN MELINDUNGI MASYARAKAT Fakultas Hukum
Universitas Kristen Indonesia, Hal. 224.
4

langkah cepat, tepat, fokus, terpadu, dan sinergi antar kementerian/ lembaga

dan pemerintah daerah untuk melakukan refocusing kegiatan, relokasi

anggaran serta pengadaan barang/jasa dalam rangka percepatan penanganan

Corona virus disease 2019 (COVID-19)5.

Penyebaran COVID-19 ini mengakibatkan beberapa negara membatasi

hingga menutup jalan masuknya warga negara lain maupun mengimpor

barang-barang tertentu yang berpangkal dari wilayah epidemi, seperti

contohnya pemerintah indonesia yang pada tanggal 7 Februari 2020 telah

resmi menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 10 Tahun 2020

tentang Larangan Sementara Impor Binatang Hidup dari Tiongkok6. Di mana

sebelum diterbitkannya kebijakan pemerintah tersebut Impor Binatang Hidup

dari Tiongkok bukan merupakan suatu perbuatan yang dilarang.

Pada sektor bisnis juga menimbulkan dampak yang negatif. Produksi-

produksi perusahaan mengalami kekacauan, produktivitas menyusut dan

runtuhnya perusahaan karena tidak mampu bertahan. Terdapat beberapa upaya

yang dapat dilakukan perusahaan agar mampu bertahan menghindari defisit

dan mencapai titik impas, yakni dengan upaya mengubah metode finansial

perusahaan menjadi zero based budgeting, hingga melakukan pembatalan

perjanjian kontrak terhadap pengadaan barang dan jasa.

Dalam hubungan keperdataan juga menimbulkan dampak terhadap

perjanjian. Pada perjanjian yang sedang berlangsung dapat berpotensi

5
World Health Organization, WHO Timeline – Covid-19, diakses tanggal 25 Juli 2020.
6
Tauratiya. Overmacht: Analisis Yuridis Penundaan Pelaksanaan Prestasi Akibat Pandemi
COVID-19. Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi, dan Keagamaan. Volume 7 No.1, 2020, hlm.2.
5

menghambat pihak debitur sehingga ia dimungkinkan wanprestasi karena

tidak mampu mewujudkan kewajiban dalam prestasi perjanjian. Berkurangnya

permintaan dan terbatasnya produksi mengakibatkan merosotnya pemasukkan

pihak debitur sehingga ia berpotensi gagal memiliki kemampuan membayar.

Akibatnya, banyak pihak-pihak dalam suatu perjanjian yang kesulitan

bahkan gagal memenuhi prestasi mereka melakukan pembatalan perjanjian

akibat penyebaran pandemi COVID-19. Ditetapkannya pandemi COVID-19

sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020,

kemudian dilanjutkan dengan pemerintah memberlakukan berbagai regulasi

terkait PSBB, lockdown dan/atau social distancing, hingga adanya pembatasan

jalur masuk antar wilayah, serta menghendakki masyarakat untuk menjalankan

stay at home atau work from home menunjukkan fakta bahwa Pandemi

COVID-19 ini telah berupa peristiwa yang sangat berdampak multidimensi

yang masif kepada segala aspek kehidupan masyarakat, terutama telah

berdampak buruk terhadap perekonomian negara seluruh dunia termasuk

indonesia. Suatu prestasi dalam perjanjian yang sulit bahkan menjadi tidak

mampu dilakukan sama sekali membuat pihak debitur gagal untuk memenuhi

prestasinya dan mengakibatkan ia wanprestasi.

Dalam penanganan keadaan darurat tersebut pemerintah memiliki

kewajiban untuk hadir memberikan pelayanan kepada masyarakat agar

keadaan darurat dapat segera teratasi dan terkendali. Salah satu penanganan

dalam keadaan darurat adalah diperlukannya barang/jasa yang bersifat

mendesak yang mengakibatkan tingkat pemenuhannya memiliki prioritas


6

kecepatan dan ketepatan seperti melakukan penyelamatan dalam kondisi

bencana, pencarian pertolongan nyawa manusia dalam suatu kecelakaan,

kerusakan infrastruktur yang mengganggu kegiatan pelayanan publik dan/atau

membahayakan keselamatan masyarakat, atau pemberian bantuan/layanan

untuk korban bencana. Secara umum keseluruhan keadaan di atas merupakan

suatu kondisi yang pemenuhan kebutuhan barang/jasa tidak direncanakan

sebelumnya baik dari sisi jenis, jumlah dan waktu yang tidak dapat ditunda

dan harus dilakukan segera mungkin7

Keadaan darurat membutuhkan penanganan yang cepat, khususnya

dalam pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan penanganan COVID-19

bagi tenaga medis maupun masyarakat dan berbagai barang dan jasa kesehatan

lainnya, serta pemenuhan kebutuhan komoditas pangan. Kondisi darurat

tersebut memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan proses

pengadaan barang dan jasa melalui mekanisme dalam keadaan darurat.

Menyikapi status keadaan darurat yang telah ditetapkan oleh pemerintah maka

menteri, pimpinan lembaga, dan kepala daerah segera mengambil langkah-

langkah lebih lanjut dalam rangka percepatan pengadaan barang dan jasa

penanganan darurat dalam rangka penanganan COVID-19.

Bahwa untuk mewujudkan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah

sebagaimana dimaksud diatas, perlu pengaturan pengadaan barang/ jasa yang

memberikan pemenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya (Value for

money) dan kontribusi dalam peningkatan penggunaan produk dalam negeri,


7
Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat, Lampiran I.
7

peningkatan peran usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah serta

pembangunan berkelanjutan.

Dalam pelaksanaan perjanjian kontrak pengadaan barang dan jasa,

sebagai pihak debitur memiliki kewajiban untuk melaksanakan dan

menyelesaikan prestasinya sesuai dengan kewajiban yang diatur dalam

Kontrak. Namun, selama pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa, Apabila

debitur tidak selalu dapat melaksanakan kewajiibannya ataupun membatalkan

kesepakatan sesuai ketentuan yang telah diatur dalam kontrak kerja karena

hal-hal yang tidak dapat diduga maupun peristiwa tak terduga oleh para pihak.

Hal ini menyebabkan pembatalan pelaksanaan kontrak Pengadaan Barang dan

jasa yang dapat mengakibatkan kerugian bagi para pihak dalam kontrak kerja.

Dalam hukum kontrak, peristiwa tak terduga tersebut dapat dikatakan sebagai

force majeure.

Ajaran ini didasari adanya kemungkinan dalam pelaksanaan perjanjian

timbul peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya serta di luar kesalahan

debitur, dan kemudian peristiwa itu menghalangi debitur untuk memenuhi

prestasi sebagaimana telah diperjanjikan. Force majeure tersebut dikenal pula

dalam KUHPerdata, yakni termuat dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.

Ketentuan kedua pasal tersebut menyebutkan, dalam hal terjadi force majeure,

tidak berprestasinya debitur tidaklah menimbulkan akibat hukum berupa

penggantian biaya, rugi dan bunga kepada kreditur.

Pada tahun 2020 lalu, terdapat banyak pelaksanaan kontrak pengadaan

barang dan jasa yang mengalami pembatalan. hal ini tidak hanya terjadi di
8

Indonesia, tetapi hampir di seluruh negara di dunia karena adanya Corona

Virus 2019 (Covid-19) yang ditemukan di Wuhan, Cina pada akhir 2019 lalu

oleh World Health Organization (WHO). Berdasarkan data terakhir pada 1

Maret 2021, pandemi Covid-19 telah menyebar ke lebih dari 218 negara

dengan total 114.756819 kasus yang dikonfirmasi.8

WHO telah menetapkan bahwa Covid-19 sebagai pandemi pada 11

Maret 2020 lalu.9 Penyebaran pandemi Covid-19 membuat beberapa negara

menetapkan kebijakan lockdown untuk mengurangi penyebaran Pandemi

Covid-19 dan telah diterapkan di beberapa negara di dunia, seperti Hongkong,

Malaysia dan beberapa negara lainnya. Namun, kebijakan lockdown tersebut

tidak digunakan oleh pemerintah Indonesia sebagai langkah untuk mencegah

penyebaran Covid-19, karena kebijakan lockdown dapat memberikan dampak

ekonomi yang signifikan bagi masyarakat menengah kebawah. Sebagai

alternatif, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial

Berskala Besar115dengan menetapkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 21

Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka

Percepatan Penanggulangan Corona virus disease 2019 (Covid-19).

Pembatasan Sosial Berskala Besar didefinisikan sebagai pembatasan aktivitas

individu di daerah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi

untuk mencegah penyebaran Covid-19.

8
World Health Organization, WHO Coronavirus Disease (Covid19),https://covid19.who.int/,
diakses pada 1 Maret 2021
9
World Health Organization, WHO Director-Generals opening remarks at the Media Briefing on
Covid-19, https://www.who.int/dg/speeches/detail/whodirector-general-s-opening-remarks-at-the-
mediabriefing-on-covid-19---11-march-2020diakses pada 25 Desember 2020
9

Baik kebijakan lockdown maupun kebijakan Pembatasan Sosial

Berskala Besar (PSBB) berdampak besar bagi industri Pengadaan Barang dan

jasa. Kebijakan-kebijakan tersebut juga mempengaruhi beberapa bahan yang

diimpor dari negara asing yang terinfeksi Covid-19 atau negara yang tidak

terinfeksi Covid-19 tetapi pengiriman bahan terkendala karena pembatasan

pada jalur impor.

Namun, pihak-pihak dalam kontrak Pengadaan Barang dan Jasa tidak

selalu dapat mengantisipasi hal-hal yang tidak dapat diprediksi sebelumnya,

seperti pandemi Covid-19. Oleh karena itu, klausul force majeure harus selalu

diatur dan sempat ditunda akibat Pandemi Covid-19. Dalam setiap Kontrak

Pengadaan Barang dan Jasa yang mengatur peristiwa, hubungan dan

konsekuensi bagi para pihak ketika peristiwa force majeure terjadi. Klausul

force majeure adalah ketentuan kontraktual yang memberi hak kepada salah

satu pihak untuk tidak melakukan kewajibannya jika terdapat peristiwa

tertentu yang terjadi yang tidak diduga dan menyebabkan pelaksanaan prestasi

kontrakmenjaditidak dapat dilaksanakan.

Namun, dengan adanya pandemi Covid-19 iniakan menjadi masalah

jika klausul force majeure tidak menyebutkan wabah atau pandemi sebagai

peristiwa force majeure di dalam Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa.

Dengan adanya perbedaan pelaksanaan antara praktik pelaksanaan kontrak

selama pandemi Covid-19 dan dengan Peraturan Perundang-undangan yang


10

mengatur pelaksanaan Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa selama pandemi

Covid-19 juga akan menyebabkan permasalahan lain.10

Pandemi Covid-19 mengakibatkan proyek kontrak pengadaan barang

dan jasa tidak dapat terlaksana sesuai isi kontrak. Hal inilah, yang membuat

penulis untuk mengangkat judul. “Akibat Hukum Kontrak Pengadaan

Barang Dan Jasa Pemerintah Pada Masa Pandemi Covid 19”

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka rumusan masalah dari

penelitian ini yaitu, “Bagaimakah akibat hukum kontrak pengadaan

barang/jasa pemerintah pada masa pandemi covid-19 ?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini yaitu, “Untuk menjelaskan dari

akibat hukum kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah pada masa covid-

19.”

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Memberi sumbangan pemikiran yang diharapkan dapat berguna

serta sebagai pijakan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya

yang berhubungan kontrak pengadaan barang dan jasa dan juga menambah

bahan pustaka untuk kemajuan pengembangan ilmu hukum tentang akibat

hukum kontrak pengadaan barang/ jasa pada masa Covid-19.

10
Hansen, Seng.Op.Cit. hlm. 201
11

2. Secara praktis

Dengan adanya penellitian ini diharapkan dapat menjadi masukan

atau saran bagi nahasiswa-mahasiswi fakultas hukum dan juga masyarakat

yang berkaitan dengan kontrak pengadaan barang dan jasa.


BAB II
TINJAUN PUSTAKA

A. Konsep Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji

kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.11 Secara umum pengertian perjanjian tercantum

dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut Herlien Budiono, perjanjian

adalah suatu perbuatan hukum yang terbentuk saat tercapainya kata

sepakat antar dua pihak atau lebih sebagai bentuk pernyataan kehendak

bebas.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat empat unsur

sebagai syarat sahnya perjanjian sehingga perjanjian tersebut mengikat

kedua belah pihak dan sah berdasarkan hukum, yaitu:12

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

c. Mengenai suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

11
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT.intermasa, 2012.
12
Ibid. hlm.17

12
13

Apabila syarat ke 1 dan ke 2 tidak terpenuhi, perjanjian dapat

dibatalkan (vernitegbaar), sedangkan jika syarat 3 dan 4 tidak ada, maka

perjanjian batal demi hukum (nieteg). Namun apabila semua syarat

tersebut dipenuhi maka perjanjian tersebut menjadi perjanjian yang sah

dan berakibat hukum:13

a. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku selayaknya

undangundang bagi pihak yang membuatnya.

b. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain atas kesepakatan

antar pihak, atau disebabkan oleh alasan yang menurut undang-

undang dinyatakan cukup untuk itu.

c. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Berakhirnya suatu kontrak digolongkan menjadi 12 (dua belas)

macam, yaitu:

a. Pembayaran;

b. Novasi (pembaruan utang);

c. Kompensasi;

d. Kondusio (pencampuran utang);

e. Pembebasan utang;

f. Kebatalan atau pembatalan;

g. Berlaku syarat batal;

h. Jangka waktu kontrak telah berakhir;

13
Sudjana. Akibat Hukum Wanprestasi dan Tanggung Jawab Para Pihak dalam Transaksi Anjak
Piutang. Jurnal Ilmu Hukum Veritas et Justitia (VeJ). Vol.5 No.2, 2019, hlm.380
14

i. Dilaksanakan objek perjanjian;

j. Kesepakatan kedua belah pihak;

k. Pemutusan kontrak secara sepihak;

l. Adanya putusan pengadilan.14

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas yang saling

berkaitan, yaitu asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas

keseimbangan.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Hukum perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka,

hal ini berarti hukum memberikan kebebasan untuk mengadakan

perjanjian yang dikehendaki asal tidak bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.15 Dengan

diaturnya sistem terbuka, maka hukum perjanjian menyiratkan asas

kebebasan berkontrak yang dapat disimpulkan dari pasal 1338 (1)

KUHPerdata yang menjelaskan bahwa “Semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya”

Dengan demikian asas konsensualisme yang terdapat dalam

pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan” para pihak

untuk saling mengikatkan diri . asas konsensualisme mempunyai


14
Salim H..S, 2017, Hukum Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan ke-1, Jakarta : Sinar
Grafika, hlm.165
15
A.Qirom Syamsudin Meliala, pokok-pokok hukum perjanjian beserta perkembangannya,
(Yogyakarta: Liberty, 20019), hlm.9
15

hubungan yang sangat erat dengan asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang sangat penting dalam

suatu perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak

bebas, pancaran hak asasi manusia.

b. Asas Konsensualisme

Arti luas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian

dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak

detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian

itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan

tidaklah diperuntukan suatu formalitas. Dikatakan juga, bahwa

perjanjian-perjanjian itu pada umumnya “konsensif”. Adakalanya

undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian

diharuskan perjanjian itu dilakukan secara tertulis (perjanjian

perdamaian) atau dengan akta notaries (perjanjian penhibahan

barang tetap) hal demikian ini merupakan suatu kekecualian. Yang

lazim, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat,

apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok

dari perjanjian itu. Jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa adalah

perjanjian yang konsensual.

c. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,

menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa

satu sama lain akan memegang janjinnya, dengan kata lain akan
16

memenuhi prestasinya dibelakang hari. Tanpa adannya

kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin diadakan oleh

kedua belah pihak.

d. Asas kekuatan

Mengingat asas ini terdapat dalam pasal 1338 (1)

KUHPerdata yang menjelaskan bahwa segala perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya. Sebenarnnya dimaksudkan oleh pasal tersebut,

tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua

belah pihak.16 Yang tersirat pula ajaran asa kekuatan mengikat

yang dikenal juga adagium-adagium “Pacta sunt servanda” yang

berarti janji yang mengikat.

e. Asas Kepastian Hukum

Asas ini menetapkan para pihak dalam persamaan derajat

tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan warna kuli, bangsa,

kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak

wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua

belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai ciptaan

Tuhan Yang Maha Esa.

f. Asas Keseimbangan

16
Subekti, Hukum Perjanjian, Op cit, hlm. 15
17

Asas ini menghendaki bahwa pihak memenuhi dan

melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan

kelanjutan dari asas persetujuan. Kreditur mempunyai kekuatan

untuk enuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut

perbuatan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur

memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan

itikad baik. Dapat dilihat disini kedudukan kreditur yang kuat

seimbang dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik,

sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

3. Jenis-Jenis Perjanjian

Secara garis besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

mengklarifikasikan jenis-jenis perjanjian adalah:17

a. Perjanjian Timbal Balik Dan Perjanjian Sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebanni

hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Sedangkan

perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membrikan kewajiban

kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya.

b. Perjanjian Percuma Dan Perjanjian Dengan Atas Hak Membebani

Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya

memberikan keuntungan kepada saatu pihak saja. Sedangkan

perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian

dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat

17
Abdul kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 2014. Hlm. 36
18

kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan kedua prestasi

tersebut ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian Bernama Dan Tidak Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai

nama sendiri, yang terbatas, misalnya jual beli, sewa-menyewa.

Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak

mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

d. Perjanjian Kebendaan Dan oerjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk

memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian

kebendaan ini sebagai pelaksanan dari perjanjian obligatoir.

Perjajian obligatoir sendiri adalah perjanjian yang menimbulkan

perikatan, artinya sejak timbulnya hak dan kewajiabn para pihak.

e. Perjanjian Konsensual Dan Perjanjian Real

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena

ada perjanjian kehendak antara pihak-pihak. Sedangkan real adalah

perjanjian disamping ada perjanjian kehendak juga sekaligus harus

ada penyerahan nyata atas barang yang diperjanjikan.

4. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian disebutkan dalam pasal 1320

KUHPerdata yaitu:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat seuatu perikatan;


19

c. Suatu pokok persoalan tertentu; dan

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat-syarat diatas terbagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu syarat

objektif dan syarat subjektif, dimana keduannya memiliki akibat hukum

masing-masing, untuk lebih jelasnya penjelasan terhadap hal diatas

sebagai berikut:

a. Sepakat Mereka Yang Mengikat Dirinya

Sepakaat mereka mengikatkan dirinya mengandung makna

bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada

penyesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-

masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan,

kekeliruan dan penipuan.

Kesepakatan adalah penyesuaian pernyataan kehendak

antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Pernyataan

adalah “kapan momentum terjadinya penyesuaian pernyataan

kehendak tersebut ?”. Ada 4 (empat) teori yang menjawab ini

yaitu:18

1) Teori Ucapan (uitingstheorie) menurut teori ini,

kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang

menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima

penawaran. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu

pada saat menjatuhkan pulpen untuk menyatakan menerima

18
R.Joni bambang, Hukum Ketenagakerjaan, (bandung: Pustaka Setia, 2013), hllm. 87
20

kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah

sangat teoritis karena menganggap terjadinnya kesepakatan

secara otomatis.

2) Teori Pengiriman (verzendtheorie) menurut teori ini,

kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima

penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini,

bagaimana hal itu bisa diketahui ? bisa saja walaupun sudah

dikirim, tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.

Teori ini juga sangat teoritis, menganggap terjadinnya

kesepakatan secara otomatis.

3) Teori Pengetahuan (venemingstheorie) teori pengetahuan

berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabia pihak yang

menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie

(penerimaan), tetapi penerimaan itu belum di terimanya

(tidak diketahui secara langsung).

4) Teori Penerimaan (ontvanstheorie) menurut teori ini,

toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan

menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perjanjian

Cakap (bekwaam) merupakan seyarat umum untuk dapat

melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa,

sehat pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-

undangan untul melakukan suatu perbuatan tertntu.


21

Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar

mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala tanggung jawab

yang bakal dipikulnya karena perbuatan itu. Tergasnya syarat

kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung

kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya

maupun dalam hubungannya dengan kesepakatan keluarganya.

c. Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang

menjadi objek suatu perjanjian. Menurut pasal 1333 KUHperdata

barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini haruslah tertentu.

Setidaknya haruslah ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya

tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan

atau diperhitungkan.

Menurut Wirdjono Prodjodikoro, barang yang belum ada

dijadikan objek perjanjian tersebuat bisa dalam pengertian relatif

(inisbi). Belum ada pengertian mutlak misalnya perjanjian jual beli

yang diperjual belikan sudah berwujud beras, pada saat perjanjian

diadakan masih milik penjual.19

d. Suatu Sebab Yang Halal

19
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjannjian, Cetakan VII, (Bandung: Sumur Bandung,
2014), hlm 29
22

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat

untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini pasal 1335 BW

menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah

dibuat karena suatu sebab yang terlarang, tidak mempunyai

kekuatan

Para pihak yang telah sepakat membuat suatu perjanjian,

bebas menentukan segala sesuatu hal untuk dicantumkan dalam

perjanjian dan kemudian perjanjian yang sah tersebut mengikat

para pihak selayaknya sebagai undang-undang. Kebebasan tersebut

karena buku III KUH Perdata yang menganut suatu sistem terbuka

dan bebas.20 Sistem terbuka yang dimiliki hukum perjanjian

memberikan kebebasan sedemikian rupa bagi setiap orang untuk

berhak dan bebas untuk membuat perjanjian atas kehendak masing-

masing pihak yang berjanji, sepanjang kebebasan tersebut tidak

mengesampingkan prinsip-prinsip kejujuran, keadilan dan

kepastian hukum.

5. Akibat Perjanjian

Keempat syarat perjanjian yang telah dijabarkan di atas memiliki 2

(dua ) kategori, yakni syarat objektif dan subjektif. Dari keempat syarat sah

perjanjia, yang termasuk ke dalam syarat subjektif adalah kesepakatan dan

kesepakatan para pihak. Sedangkan adanya objek perjanjian dan sebab

20
Ifada Quratta A’yun Amalia. Akibat Hukum Pembatalan Perjanjian Dalam Putusan Nomor
1572 K/PDT/2015 Berdasarkan Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata. Jurnal Hukum Bisnis Bonum
Commune. Vol.I No 1, 2018, hlm.65.
23

yang halal merupakan syarat objektif. Tidak dipenuhinya syarat sah

perjanjian akan berujung pada pembatalan perjanjian. Namun, pembatalan

perjanjian ini dibagi menjadi 2 (dua) berdasarkan kategori syarat sah

perjanjian

Apabila para pihak tidak memenuhi syarat subjektif, maka

konsekuensinya adalah perjanjian yang telah dibuaat dapat dibatalkan atau

voidable. Artinya, salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat

mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim. Namun, perjanjian

tersebut tetap mengikat para pihak sampai adannya keputusan dari hakim

mengenai pembatalan tersebut.

Lain halnya jika para pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka

perjanjian tersebut akan dianggap batal demi hukum atau null and void.

Artinya, perjanjian ini dianggatp tidak pernah ada sehingga tidak akan

mengikat bagi para pihak.

6. Berakhirnya Perjanjian

Mengenai hapusnya periaktan/perjanjian tidak diatur dalam buku

[1] bab IV KUHPerdata. Dalam pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan 10

(sepuluh) hal yang menghapuskan perikatan, yaitu:

a. Pembayaran;

b. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penitipan;

c. Pembaharuan hutang (novatie);

d. Perjumpaan hutang (kompensasi);

e. Pencampuran hutang;
24

f. Pembebasan hutang;

g. Musnahnya barang yang terutang;

h. Kebatalan dari pembatalan perikatan.

Perjanjian ini dapat pula berakhir karena hal-hal yang telah diautr

dalam isi perjanjian itu. Isi perjanjian akan berakhir apabila telah

melampaui batas waktu berlakunya perjanjian yang telah ditentukan

sebelumnya. Seperti halnya dalam ketentuan pasal 1066 KUHPerdata yang

menyatakan “persetujuan yang demikian hannya mengikat untuk selama

lima tahun, namun setelah leewatnya tengggang waktu ini, dapatlah

persetujuan ini diperbaharui”. Ketentuan mengenai berakhitnya

perjanjian juga terdapat dalam pasar 1646 KUHPerdata yang menjelaskan

bahwa perjanjian dapat berakhir sewaktu-waktu apabila telah

diselesaikannya kewajiabn yang menjadi obyek dari persekutuan, dan

apabila salah seorang dalam perjanjian tersebut meninggal dunia.

B. Konsep Pengadaan Barang Dan Jasa

1. Pengertian Pengadaan Barang Dan Jasa

Pengadaan barang/jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak

pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang/jasa yang

dibutuhkannya, dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar

dicapai kesepakatan spesifikasi, harga, waktu, dan kesepakatan lainnya.

Agar tujuan dari pengadaan barang/jasa tersebut dapat dilaksanakan

sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu pihak Pengguna dan

Penyedia haruslah selalu berpatokan kepada filosofi pengadaan


25

barang/jasa, tunduk kepada etika dan norma pengadaan barang/jasa yang

berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metode dan proses pengadaan barang

dan jasa yang baku.21

Menurut Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Perpres 16 Tahun 2018

disebutkan bahwa pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk

memperoleh barang/jasa oleh Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja

Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari

perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk

memperoleh barang/jasa.22

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mempunyai peran penting

dalam mensukseskan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan

pelayanan publik baik pusat maupun daerah. Adapun tujuan dalam sistem

pengadaan barang/jasa pemerintah berdasarkan Perpres No. 16 tahun

2018, yaitu:

a. Menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang

dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya,

lokasi, dan penyedia;

b. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri;

c. Meningkatkan peran serta usaha  mikro, usaha kecil, dan usaha

menengah;

d. Meningkatkan peran pelaku usaha nasional;

21
https://www.pengadaanbarang.co.id/2020/01/pengadaan-barang-dan-jasa.html
22
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Preseiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2018, Pengadaan
Barang/Jasa, hlm. 2
26

e. Mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa

hasil penelitian;

f. Meningkatkan keikutsertaan industri kreatif;

g. Mendorong pemerataan ekonomi;

h. Mendorong pengadaan berkelanjutan.

Pengadan barang/jasa pemerintah menerapkan prinsip-prinsip

dasar merupakan hal mendasar yang harus menjadi acuan, pedoman dan

harus dijalankan dalam Pengadaann Barang/Jasa. Berdasarkan Perpres No.

16 Tahun 2018, pengadaan barang/jasa pemerintah menerepkan prinsip-

prinsip sebagai berikut:

a. Efisien

Pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus memperhatikan

penggunaan dana APBN/APBD yang  terbatas untuk mencapai

sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan

dapat dipertanggung jawabkan.

b. Efektif

Dalam pengadaan barang/jasa harus didasarkan pada kebutuhan

yang telah ditetapkan (yang ingin dicapai) dan dapat memberikan

manfaat yang tinggi dan sebenar-benarnya sesuai dengan sasaran

yang dimaksud.

c. Transparansi

K/L/PD menyampaikan semua informasi dan ketentuan mengenai

pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi


27

pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon

penyedia barang/jasa, yang sifatnya terbuka kepada seluruh peserta

penyedia barang/jasa, serta bagi masyarakat luas pada umumnya.

d. Bersaing

Memberikan kesempatan kepada semua penyedia barang dan jasa

yang setara dan memenuhi persyaratan sesuai ketentuan, untuk

menawarkan barang/jasanya berdasarkan etika dan norma

pengadaan yang berlaku dan tidak terjadi kecurangan dan praktek

KKN.

e. Adil/tidak diskriminatif

Pemberian perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia

barang/jasa yang berminat mengikuti pengadaan barang/jasa dan

tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak

tertentu dengan cara dan atau alasan.

f. Akuntabel

Pertanggung jawaban pelaksanaan pengadaan barang/jasa kepada

pihak yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika, norma dan

ketentuan peraturan perundang-undangna yang berlaku. Dalam arti

bahwa pengadaan barang/jasa harus mencapai sasaran, baik secara

fisik, maupun keuangannya serta manfaat atas pengadaan tersebut

terhadap tugas umum pemerintahan dan/atau pelayanan masyarkat


28

sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam

pengadaan barang/jasa.

2. Sub Kontrak Dan Prinsip Privity Of Contract

Dalam kontrak pengadaan prestasi perikatan sangat bergantung

pada kualitas dan kemampuan penyedia barang/jasa, baik penyedia

barang/jasa yang berbentuk usaha dan khususnya yang bersifat

perorangan. Penting bagi pengguna barang/jasa bahwa prestasi dari

kontrak pengadaan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Oleh karena itu,

dalam perikatan dengan prestasi berbuat sesuatu yang tidak dapat

menimbulkan hasil yang berbeda. Kualitas pribadi penyedia jasa dalam

kontrak pengadaan barang dan jasa, khususnya jasa pelayanan profesi,

merpakan jenis kontrak yang prestasinya tidak dapat diganti. Oleh sebab

itu, dalam jenis kontrak ini subkontrak dapat dilakukan. Tetapi dalam

kontrak pengadaan barang dan jasa, jenis prestasinya tergolong prestasi

berbuat sesuatu yang tidak dapat diganti. Subkontrak pengadaan barang

dan jasa dengan demikian harus dicegah. Prinsip dasar dalam memberikan

persetujuan subkontrak adalah bahwa subkontrak diperbolehkan sejauh

prestasi dari perikatannya tergolong prestasi yang dapat diganti. Tujuan

jelas yaitu untuk mencegah agar prestasi dari pihak yang menerima tidak

lebih rendah dari prestasi yang telah ditentukan dalam kontrak pokoknya

sehingga tidak merugikan bagi negara.

Syarat adanya persetujuan tertulis dalam kontrak pengadaan, dalam

hal ini penyedia barang/jasa akan melakukan subkontrak penting bagi


29

pengguna barang/jasa, sekalipun dalam hal tertentu subkontrak bersifat

mandatory.

3. Permasalahan Kontrak Pengadaan

Permasalahan pengadaan dapat timbul pada tahap sebelum kontrak

ditandatangani, yaitu proses pemilihan (ex ante screening) dan pada tahap

setelah kontrak ditandatangani, yaitu pelaksanaan kontrak (ex post

adaptation). Sebagian besar permasalahan terjadi pada tahap pelaksanaan

kontrak, meskipun dalam beberapa kasus permasalahan tersebut

disebabkan oleh proses pemilihan yang tidak sesuai dengan prosedur.

Secara garis besar permasalahan kontrak pengadaan barang/jasa

pemerintah di Indonesia yang dalam banyak kasus berakhir dengan

sengketa antara penyedia dan pembeli, terkait dengan tiga hal, yaitu:

a. Ketidaklengkapan dokumen kontrak;

b. ketidakjelasan/multitafsir ketentuan dalam kontrak;

c. munculnya faktor-faktor yang tidak dapat/sulit diprediksi.

Sebuah paket dokumen kontrak yang lengkap pada umumnya

mencakup dokumen lelang, ketentuan umum, spesifikasi, gambar, dan

laporan hasil investigasi kondisi lapangan. Namun demikian terkait

dengan gambar, ketentuan umum, dan hasil investigasi lapangan secara

substansi seringkali tidak lengkap. Untuk pekerjaan konstruksi, gambar

merupakan bagian dari dokumen kontrak yang harus disajikan dengan

jelas dan akurat agar penyedia dapat menyesuaikan diri dengan seluruh

kondisi dalam gambar sehingga konstruksi yang baik akan terbangun.


30

Dalam beberapa kasus gambar ada yang tidak sesuai dengan kondisi

lapangan sehingga perlu dilakukan disain ulang.

Ketentuan umum dalam kontrak yang sering tidak lengkap adalah

tentang klausul warranty dan ketentuan penyelesaian sengketa. Klausul

warranty23 pada umumnya tidak ada dalam kontrak pengadaan barang/jasa

pemerintah, padahal dalam hukum kontrak klausul warranty ini sangat

diperlukan dalam sebuah standar kontrak/perjanjian. Tidak adanya klausul

warranty mengakibatkan pihak yang dirugikan tidak memiliki alasan yang

kuat untuk melakukan gugatan wanprestasi atau menuntut ganti rugi.

Sebaliknya dengan adanya klausul warranty, ketika salah satu pihak

menemukan bahwa warranty yang dibuat oleh pihak lain keliru atau tidak

sesuai dengan fakta, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi. Sedangkan

apabila ditemukan unsur fraud atau penipuan dalam klausul ini maka pihak

yang dirugikan dalam kontrak dapat menuntut pembatalan kontrak.

Ketidakjelasan/multitafsir sering terjadi pada kontrak pengadaan,

dan ini dapat menimbulkan sengketa. Hal ini pada umumnya berkaitan

dengan kriteria pemutusan kontrak, pekerjaan yang melewati batas tahun

anggaran, ketentuan addendum kontrak, klausul perjanjian yang tidak

konsisten dengan dokumen pengadaan, penetapan sanksi, penetapan

jaminan pelaksanaan, dasar penentuan keadaan kahar, penetapan

penyesuaian harga dan tata cara perhitungannya (price adjustment),

23
W. Noel Keyes, op. cit., p. 395.
31

penggunaan jenis kontrak, pembayaran berdasarkan kemajuan/prestasi

pekerjaan, serta penganggaran.

Pada jenis pekerjaan tertentu seperti konstruksi permasalahan

kontrak juga disebabkan faktor yang sulit diprediksi seperti kegagalan

desain, kondisi lingkungan dan lokasi pekerjaan yang tak terduga, serta

perubahan kebijakan. Hal tersebut mengakibatkan gangguan pada jadwal

pelaksanaan pekerjaan. Pada pengadaan barang, faktor yang sulit

diprediksi misalnya barang yang harusnya disediakan ternyata sudah tidak

diproduksi (discontinue). Faktor yang sulit diprediksi ditambah dengan

penggunaan kontrak lumpsum juga sering menimbulkan masalah. Di satu

sisi terjadinya faktor yang sebelumnya sulit diprediksi menuntut adanya

perubahan ruang lingkup pekerjaan, namun di sisi lain perubahan ruang

lingkup pekerjaan (pekerjaan tambah kurang) pada kontrak lumpsum

seperti ini pada praktiknya sulit untuk dilakukan.

4. Berakhirnya Kontrak Pengadaan Barang Dan Jasa

Uraian Prosedur Pengakhiran Kontrak dijabarkan sebagai berikut :

a) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) melakukan pelaporan dan

koordinasi terkait rencana pengakhiran kontrak dengan/kepada

PA/KPA, Kepala Balai PPW dan Direktorat Teknis;

b) PPK melakukan identifikasi dasar/justifikasi teknis pengakhiran

kontrak. Identifikasi dasar dilakukan berdasarkan :

1) Penyimpangan prosedur yang diakibatkan bukan oleh kesalahan

para pihak.
32

2) Pelaksanaan kontrak tidak dapat dilanjutkan akibat keadaan kahar.

3) Ruang lingkup kontrak sudah terwujud. Hasil identifikasi

selanjutnya digunakan sebagai dasar pembahasan dalam rapat

evaluasi dasar.

c) PPK melaksanakan rapat evaluasi dasar pengakhiran kontrak dengan

mengundang Penyedia Jasa (bersama dengan Konsultan Pengawas dan

Pengawas Lapangan;

d) PPK menyampaikan rencana pengakhiran kontrak kepada Penyedia

Jasa melalui Surat Pemberitahuan Rencana Pengakhiran Kontrak;

e) PPK melakukan penyusunan Addendum kontrak;

f) PPK melakukan persiapan pengakhiran kontrak beserta berkas-berkas

yang diperlukan;

g) PPK menginformasikan pengakhiran kontrak kepada Penyedia Jasa;

h) PPK melakukan pembayaran terhadap progres pekerjaan yang telah

dilaksanakan;

i) PA/KPA melaporkan pengakhiran kontrak.

Penyedia barang/jasa lebih sering dijadikan pihak yang dianggap

bersalah dan akibat dari kesalahan itu PPK berhak untuk memutuskan

kontrak secara sepihak.

Ketentuan tentang pemutusan kontrak dalam pasal 93 Perpres

nomor 70 tahun 2012 yang berbunyi:

1) PPK dapat memutuskan kontrak secara sepihak, apabila:


33

a) Kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas

berakhirnya kontrak;

b) Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan

kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam

jangka waktu yang telah ditetapkan;

c) Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan

dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan

oleh instansi yang berwenang; dan/atau

d) Pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN

dan/atau pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa dinyatakan benar oleh instansi yang

berwenang.

2) Dalam hal pemutusan kontrak dilakukan karena kesalahan

penyedia barang/jasa:

a) Jaminan pelaksanaan dicairkan;

b) Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa atau

jaminan uang muka dicairkan;

c) Penyedia barang/jasa membayar denda keterlambatan;

d) Penyedia barang/jasa dimasukkan dalam daftar hitam.24

24
Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 2, 2019
34

C. Konsep Pandemi Covid-19

1. Konsep Covid-19

Penyakit virus corona (COVID-19) adalah penyakit menular

yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2.

Sebagian besar orang yang tertular COVID-19 akan mengalami

gejala ringan hingga sedang, dan akan pulih tanpa penanganan khusus.

Namun, sebagian orang akan mengalami sakit parah dan memerlukan

bantuan medis.25

Virus dapat menyebar dari mulut atau hidung orang yang

terinfeksi melalui partikel cairan kecil ketika orang tersebut batuk,

bersin, berbicara, bernyanyi, atau bernapas. Partikel ini dapat berupa

droplet yang lebih besar dari saluran pernapasan hingga aerosol yang

lebih kecil.

Anda dapat tertular saat menghirup udara yang mengandung

virus jika berada di dekat orang yang sudah terinfeksi COVID-19.

Anda juga dapat tertular jika menyentuh mata, hidung, atau mulut

setelah menyentuh permukaan benda yang terkontaminasi. Virus lebih

mudah menyebar di dalam ruangan dan di tempat ramai.26

2. Akibat Hukum Kontrak Pengadaan Barang Dan Jasa Pada

Kondisi Darurat

Kondisi kedaruratan akibat pandemi Covid-19 yang diperkuat

dengan dikeluarkannya Keppres No.11/2020 tentang Penetapan


25
https://nasional.kontan.co.id/news/kementerian-pupr-hak-hak-pekerja-konstruksi-tetap-dijamin-
saatpandemi-corona
26
https://corona.kendalkab.go.id/berita/profil/kenalan-dengan-covid-19.
35

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona virus disease (Covid-19),

dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, dianggap sebagai kondisi

darurat yang sudah masuk dalam kategori keadaan kahar atau force

majeure. Dampak Wabah Covid-19 ini salah satunya adalah

mengganggu kelangsungan kontrak-kontrak pengadaan barang/jasa

tersebut. 27

Kondisi ini juga dapat dijadikan sebagai alasan dari para

penyedia untuk mengingkari perjanjian dengan alasan keadaan kahar

atau force majeur alias overmacht. Bahkan ada yang berpandangan

bahwa keadaan mamaksa atau force majeur alias overmacht ini bisa

mengganggu bahkan membatalkan kontrak-kontrak bisnis. Hampir

semua perjanjian yang dituangkan dalam suatu dokumen kontrak

terdapat klausula keadaan kahar, overmacht atau force majeure

dikarenakan keadaan kahar ini dapat dipakai sebagai salah satu

pembelaan oleh penyedia untuk menghindarkan pihaknya dari tuntutan

wanprestasi.28

Untuk dapat menggunakan keadaan kahar sebagai alasan

pembebasan dari tuntutan ganti rugi, penyedia harus terlebih dahulu

dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya kewajibannya

diakibatkan oleh suatu hal yang tidak terduga sebagaimana diatur

dalam Pasal 1244 KUH Perdata. Salah satunya adalah adanya

27
Instruksi Menteri PUPR Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Lampiran
I.A.2.b.
28
HS, Salim. (2011). Hukum Kontrak Teori &Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.
36

penetapan Wabah Covid-19 sebagai keadaan kahar atau force majeure.

Untuk itu, diperlukan ketegasan dari Pemerintah untuk menetapkan hal

tersebut. 29

Namun, menurutnya, hal tersebut tidak otomatis dapat

membatalkan kontrak bisnis yang sudah dilakukan sebelum Keppres

tersebut dikeluarkan. Kondisi kahar ini justru dapat menjadi pintu

untuk melakukan renegosiasi kontrak bisnis dengan tetap berpedoman

pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata. Pasal

tersebut menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu

perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua

belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang

dinyatakan cukup untuk itu.

Dengan penegasan tersebut, maka para pihak yang akan

melakukan renegosiasi kontrak bisnis tidak perlu terlebih dahulu

berdebat bahwa Covid-19 ini overmacht atau bukan. Jika semua pihak

sudah sepemahaman bahwa bencana nasional ini adalah overmacht,

maka proses renegosiasi diharapkan dapat berjalan dengan itikad baik

dan berhasil menemukan titik temu.

Selain itu, posisi para pihak dalam kontrak dapat ditentukan

dengan jelas berdasarkan aturan yang berlaku salah satunya yaitu Pasal

1245 KUH Perdata yang mengatur bahwa dalam keadaan memaksa,


29
Dimas Tegar Paliling, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Perlindungan Hukum
Bagi Penyedia Atas Penghentian Kontrak Pengadaan Barang Dan Jasa, Jurnal Hukum Volkgeis,
Vol. 2, 1 Desember 2017.
37

maka penyedia tidak dapat dituntut penggatian biaya, kerugian dan

bunga akibat tidak memenuhi prestasi.

Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan

memaksa membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu

perikatan, di mana pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak

dinyatakan wanprestasi. Posisi para pihak akan berbeda berdasarkan

sifat dari keadaan memaksa atau keadaan kahar tersebut. Sehingga

perlu juga ditentukan pandemi Covid-19 ini termasuk keadaan kahar

sementara atau permanen.

Apabila termasuk keadaan kahar sementara, dimana kejadian

tersebut tidak berlangsung lama, sehingga setelah peristiwa kahar

tersebut selesai maka pelaksanaan kontrak dapat kembali dilanjutkan.

Untuk keadaan kahar yang bersifat sementara atau temporer ini, maka

akan dilakukan penghentian kontrak, yang berakibat pada

ditangguhkannya pelaksanaan kontrak.

Lain halnya jika keadaan kahar tersebut bersifat permanen

dimana kejadiannya paten dan berlangsung dalam periode yang lama.

Untuk keadaan kahar permanen, Posisi para pihak dalam kontrak

hampir sama dengan keadaan kahar sementara. Hanya saja dalam

kasus ini tidak perlu mencantumkan penetapan jangka waktu sampai

kapan kontrak dihentikan mengingat sifat keadaannya permanen. Jadi

bukan hanya pelaksanaannya yang terhenti tapi kontraknya juga.

Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan kahar permanen,


38

penyedia tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal

balik, Pemberi pekerjaan tidak dapat menuntut pembatalan karena

perikatannya dianggap gugur/terhapus. Dalam hal pelaksanaan kontrak

dihentikan, para pihak menyelesaikan hak dan kewajiban sesuai

kontrak. Penyedia berhak untuk menerima pembayaran sesuai dengan

prestasi atau kemajuan hasil pekerjaan yang telah dicapai setelah

dilakukan pengukuran/pemeriksaan bersama atau berdasarkan hasil

audit. Sehingga posisi para pihak dalam kontrak pengadaan barang

dan jasa berkaitan dengan wanprestasi dalam kondisi pandemi Covid-

19 ini tergantung pada penetapan maupun kesepakatan para pihak

dalam kontrak tersebut terkait pandemi Covid-19 itu sendiri. Para

pihak dalam kontrak harus menyepakati apakah pandemi Covid-19 ini

merupakan keadaan kahar atau force majeure yang bersifat sementara

atau permanen. Jika merupakan keadaan kahar sementara maka akan

dilakukan penghentian kontrak dengan melakukan perubahan kontrak

terkait penetapan jangka waktu sampai kapan kontrak dihentikan dan

sistem pembayarannya. Penyedia tetap melakukan kewajibannya

setelah pandemi berakhir dan tidak dapat dikenakan sanksi berupa

ganti rugi maupun denda keterlambatan. Pemberi pekerjaan tetap akan

melakukan pembayaran berdasarkan prestasi yang telah dicapai oleh

Penyedia. Jika pandemi Covid-19 merupakan keadaan kahar permanen

maka akan dilakukan penghentian bukan hanya pelaksanaannya tapi

juga kontraknya. Dalam keadaan ini, Penyedia tidak wajib membayar


39

ganti rugi dan pemberi pekerjaan tidak dapat menuntut pembatalan

karena perikatannya dianggap gugur/terhapus. Para pihak kemudian

menyelesaikan hak dan kewajibannya sesuai kontrak. Penyedia berhak

untuk menerima pembayaran sesuai dengan prestasi atau kemajuan

hasil pekerjaan yang telah dicapai setelah dilakukan

pengukuran/pemeriksaan bersama atau berdasarkan hasil audit. 30

30
Sihotang, Taufik Hasudungan, dkk, Perlindungan Hukum Terhadap Debitur (Pelaksana
Pekerjaan) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Upah Borong (Partisipatif) Dalam Proyek Swakelola
Di Lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang, USU Law Journal, Vol.5.No.1, Januari
2017.
BAB III

METODE PENELITIAN

Menurut Peter Mahmud, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.31 Metode penelitian hukum

adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan

metode. Secara hardiah mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang

harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu

rencana tertentu.32 Secara lebih lanjut Soeejono Soekanto menerangkan bahwa

“Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya”.33

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Normatif yaitu

sebuah pendekatan dengan mengutip Undang-Undang dan regulasi lainnya

yang berkaitan dengan penelitian ini. Sebagai penambah informasi penelitian,

maka dilakukan juga pengambilan dari pandangan buku, jurnal, artikel,

pendapat para ahli dan lain-lain yang bersangkutan dengan penelitian ini.

31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2011, hlm.
35
32
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatof, Bayu Publlshing, Malang,
2016, hlm. 26
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ctk Ketiga, UI Press, Jakarta, 2012, jlm. 42

40
41

B. Metode Pendekatan Hukum

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, penulis perlu

menguraikan pendekatan yang digunakan. Menurut Jonaedi Efendi

pendekatan dalam penelitina hukum normative dimaksudkan adalah sebagai

bahan untuk mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kaerangka berpikir

seorang peneliti untuk melakukan analisis. Di dalam penelitian hukum

terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di

dalam penelitian hukum adalah :34

1. Pendekatan undang-undang (statute approach)

Suatu penelitian normatif terntu harus menggunakan pendekatan

perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan

hukum yang menjadi focus sekaligus tema sentral suatu penelitian.

Untuk itu peneliti aharus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang

mempunyai sifat-sifat sebagi barikut:

a) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada

didalamnnya terkait antara satu dengan yang lain secara logis.

b) All-inclusive artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut

cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada,

sehingga tidak akan kekurangan hukum.

c) Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang

lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.

34
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media. hlm. 1
42

2. Pendekatan kasus (case approach)

Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam praktik hukum. Terauma mengenai kasus-kasus yang

telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi

terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas kasus-

kasus yang terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu aturan

hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya

untuk bahan masukan dalam eksplanasi hukum.

3. Pendekatan historis (historical approach)

Setiap aturan perundang-undangan memiliki latar belakang

sejarah yang berbeda. Menurut perpektif sejarah, ada dua macam

penafsiran terhadap aturan perundang-undangan. Pertama, penafsiran

menurut sejarah hukum dan kedua, penafsiran menurut sejarah

penetapan peraturan perundang-undangan.

4. Pendekatan komparatif (comparative approach)

Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi

perbandingan hukum. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum

merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum. Gutteridge

membedakan antara perbandigan gukum yang bersifat deskriptif yang

tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan

perbandingan hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu,

misalnya keinginan untuk menciptakan keseragaman Hukum Dagang.


43

Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk

membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain.

Disamping itu juga membandingakan suatu peutusan pengadilan yang

satu dengan putusan pengadilan lainnnya untuk masalah yang sama.

Perlu dikemukakan di dalam tulisan ini bahwa melakukan

perbandingan harus mengungkapakan persamaan dan perbedaan.

Persamaan diantara perundang-undangan beberapa negara yang

diperbandingkan mungkin saja terjadi karena adanya persamaan sistem

hukum yang dianut oleh negara-negara tersebut walaupun dari segi

perkembangan ekonomi dan politik mungkin berbeda.

5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur

abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi

yang kadang kala merujuk pada hal-hal universal yang diabstrakkan

dari hal-hal yang particular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah

memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut

pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-

atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep berhasil

menggabungkan kata-kata secara tepat dan menggunakannya dalam

peruses pikiran.

Adapun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa pendekatan

diatas adalah pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan

konseptual (conceptual approach). Pendekatan komparatif adalah pendekatan


44

yang dilakukan dengan membandingkan antara regulasi yang saling

keterkaitan sesuai dengan penelitian ini. Serta pendekatan konseptual

merupakan pendekatan untuk membangun sebuah gagasan untuk dijadikan

sebagai acuan.

C. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan merupakan bagian yang

terpenting dalam penelitian ini yang berupa sumber hukum primer dan sumber

hukum sekunder.

1. Bahan Hukum Primer yaitu:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

b) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Presiden Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 16

Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang Dan Jasa.

c) Peraturan Presiden Nomor 157 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 Tentang Lembaga

Kebijakan Pengadaan Barang Dan Jasa

2. Bahan Hukum Sekunder yaitu :

Bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, artikel dan berita.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan oleh penulis

dalam Penelitian ini adalah studi pustaka yang meliputi Peraturan PerUndang-

Udangan, Buku, Jurnal, Artikel, Skipsi dan berita di media online yang
45

berhubungan dengan permasalahan terhadap Kontrak Pengadaan Barang Dan

Jasa.

E. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang akan di analisis nantinya adalah bahan hukum

yang di dapatkan dari Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang

Dan Jasa dan Peraturan Presiden Nomor 157 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 Tentang Lembaga Kebijakan

Pengadaan Barang Dan Jasa. Bahan hukum yang telah didapatkan melalui

regulasi akan disusun secara sistematis atau di klarifikasikan secara khusus,

kemudian disajikan secara deskriptif untuk memberi gambaran secara

mendalam tentang pengadaan barang dan jasa.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Akibat Hukum Pelaksanaan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah Pada Masa Covid-19

Terjadi perubahan kontrak pengadaan barang/jasa yang didasarkan

karena keadaan kahar (force majeure), tentang penambahan masa kerja karena

adannya penundaan pekerjaan selama satu tahun. Dalam pengadaan

barang/jasa pemerintah, situasi seperti ini Corona Virus disease (Covid-19)

digambarkan sebagai kondisi darurat yang sudah masuk dalam kategori

keadaan kahar atau force majeure. Keadaan Kahar adalah suatu keadaan yang

terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan

sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi

tidak dapat dipenuhi. Perpres No. 16/2018 mengatur bahwa dalam hal

terjadinya keadaan kahar maka pelaksanaan kontrak dapat dilakukan

perubahan kontrak atau dapat pula dihentikan.35

Perubahan kontrak merupakan salah satu klausul yang umumnya

dicantumkan dalam kontrak. Klaususl perubahan kontrak adalah perubahan

atau penambahan klausul/pasal terhadap dokumen kontrak, yang secara fisik

terpisah dari perjanjian pokoknya, namun secara hukum melekat pada

perjanjian pokok tersebut. Perubahan kontrak ditandai dengan adanya

addendum kontrak dengan uraian pasal-pasal yang memuat perubahan yang

terjadi pada kontrak.

35
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

46
47

Klausula perubahan kontrak sejatinya merupakan manisfestasi prinsip

3P’s, yaitu predict, provide, dan protect yang digunakan dalam penuyusan

kontrak,36 dimana para pihak memperkirakan terjadi situasi-situasi dimana

kontrak nantinya harus diubah atau mengatur hal-hal yang belum di

atur/cukup diatur dalam kontrak. Hal ini juga nerlaku dalam kontrak

pengadaan. Kalusul perubahan kontrak bertujuna untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya perubahan situasi pada saat pelaksanaan kontrak.

Melalui klausul perubahan kontrak, para pihak yang terlibat dalam hubungan

kontraktual mengantisipasi adanya kendala-kendala yang mungkin terlibat dan

timbul selama pelaksanaan kontrak.

Perubahan kontrak pada prinsipnya dilakukan berdasarkan kesepakatan

para pihak sebagaiamana diatur dalam pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.

Meskipun demikian, perubahan dalam kontrak pengadaan tidak bisa

dilandaskan semata-mata karena kesepakatan para pihak melainkan harus

sesauai dengan pertimbangan yang sah dan sesaui dengan prosedur yang

berlaku. Hal ini dilatarbelakangi karena pengguna barang/jasa memiliki

kepentingan agar objek pengadaan terpenuhi sesuai dengan besarnya

pengeluaran keuangan negara. Perubahan kontrak dapat berdampak besar

terhadap biaya pekerjaan dan waktu pelaksanaan secara keseluruhan dengan

kata lain perubhan dapat berpotensi mengalami kerugian pada keuangan

negara. Oelh sebab itu, para prinsipnya berlaku larangan untuk mengubah isi

dan syarat kontrak. Namun di sisi lain, perubahan kontrak sejatinya juga dapat

memberikan dampar positif seperti adanya percepatan waktu pekerjaan,


36
Scott J. Burnham, Drafting Kontrak Second Edition, Michle Company, Virginia, 2013, h.2.
48

peningkatan kualitas dari hasil pekerjaan, dan adanya penghematan biaya

karena menggunakan metode kerja yang lebih baik dan efektif. Dengan

demikian dalam hal kontrak mencantum kan kalusul perubahan kontrak

sekalipun, pengguna barang/jasa harus memegang prissip bahwa perubahan

hanya dilakukan jika terdapat alasan yang sah dan tidak merugikan keuangan

negara. Perubahan dapat dilakukan atas pertimbangan efesiensi, ekonomis,

dan kesempurnaan hasil.

Dalam perubahan kontrak maka berlaku prinsip “cardinal changes”37 ,

yaitu perubahan kontrak masih termasuk dalam ruang lingkup perjanjian

pokok dengan kata lain perubahan kontrak tidak boleh mengatur hal-hal diluar

perjnajian pokok. Pengguna barang/jasa dapat menyetujui perpanjangan waktu

pelaksanaan atas kontrak setelah melakukan penelitian dan evaluasi terhadap

usulan tertulis yang di ajukan oleh penyedia barang/jasa.

Perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan dapat terjadi dalam hal

penyedia gagal menyelesaikan pekerjaan sampai pada masa pelaksanaan

kontrak berakhir, namun PKK menilai bahwa penyedia mampu menyelesaikan

pekerjaan sehingga PKK memberikan kesempatan kepada penyedia untuk

menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Menurut Pasal 56 ayat (2)

Perpres 16/2018, pemberian kesempatan kepada penyedia untuk

menyelesaikan pekerjaan yang dimuat dalam Addendum kontrak yang

didalamnya memuat waktu penyelesaian pekerjaan, pengenaan sanksi

keterlambatan kepada penyedia dan perpanjangan jamianan pelaksanaan.

37
Subekti, pokok-pokok Hukum Perdata, PT intermasa, Jakarta, 2012, h. 120.
49

Selaiin itu, jadwal pelaksanaan juga dapat berubah apabila terjadi

keadaan kahar. Butir 7.15 Peraturan LKPP No. 9 Tahun 2018 menjelaskan

bahwa dalam hal terjadi keadaaan kahar, pelaksanaan kontrak dapat

dihentikan atau dilanjutkan setelah kondisi kahar berakhir. Dalam hal

pelaksanaan kontrak dilanjutkan setelah kondisi kahar berakhir. Dalam hal

pelaksanaan kontrak dilanjutkan, para pihak dapat melakukan perubahan

kontrak. Jangka waktu penyelesaian pekerjaan dapat diperpanjang sekurang-

kurangnya sama dengan jangka waktu terhentinya kontrak akibat keadaan

kahar. Perpanjangan waktu untuk penyelesaian kontrak dapat melewati tahun

anggaran.

Selanjutnya ruang lingkup pekerjaan dapar berimplikasi pula pada

nilai/harga kontrak. Perubahan lingkup pekerjaan memiliki nilai kontrak

sebagai berikut.

1. Nilai kontrak tetap;

2. Nilai kontrak bertambah;

3. nilai kontrak tetap, target/sasaran berubah.

4. Nilai kontrak bertambah,target/sasaran berubah

Menurut pasal 54 ayat (2) Perpres 16/2018, dalam hal perubahan

kontrak mengakibatkan penambahan nilai kontrak, perubahan kontrak

dilaksanakan dengan ketentuan penambahan nilai kontrak akhir tidak

melebihi 10% dari harga yang tercantum dalam kontrak awal dan tersedia

anggaran untuk pekerjaan tambahan.


50

Perubahan nilai kontrak juga dapat terjadi akibat penyesuaian harga.

Penyesuaian harga adalah penyesuaian satuan pekerjaan dan nilai kontrak

pengadaan barang/jasa yang disebabkan adanya perubahan harga dilapangan

disbanding harga penawaran. Penyesuaian harga dapat terjadi karena esklasi

(penyesuaian nilai pekerjaan akibat fluktuasi harga) atau de-eskalasi

(penyesuaian nilai pekerjaan akibat fluktuasi harga).

Dalam menanggapi Covid-19, Presiden Republik Indonesia, Joko

Widodo, telah membuat dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12

Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona virus

disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional sebagai dasar

hukum force majeure.38 Hal ini dapat kita perhatikan poin Kesatu Keputusan

Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam

Penyebaran Corona virus disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.

Di mana, poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang

Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona virus disease 2019

(Covid-19) Sebagai Bencana Nasional mengatur bahwa menyatakan bencana

non-alam yang diakibatkan oleh penyebaran Covid-19 sebagai bencana

nasional.

Berkaitan dengan pemenuhan kewajiban kontraktual, ilmu hukum

perjanjian mengenal adanya istilah force majeure atau yang bersinonim

dengan overmacht, dan diartikan sebagai keadaan memaksa atau keadaan

kahar. Force majeure merupakan keadaan yang melepaskan debitur yang tidak

38
Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Nasional Legal
Reform Program, Jakarta, 2010.
51

atau tidak dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk

memberi ganti rugi, biaya dan bunga, dan/atau tanggung jawab untuk

memenuhi kewajibannya tersebut. Ajaran ini didasari adanya kemungkinan

dalam pelaksanaan perjanjian timbul peristiwa yang tidak dapat diduga

sebelumnya serta di luar kesalahan debitur, dan kemudian peristiwa itu

menghalangi debitur untuk memenuhi prestasi sebagaimana telah

diperjanjikan.

Dalam peraturan dijelaskan bahwa perubahan kontrak dapat dilakukan

apabila terjadi keadaan kahar. Perubahan kontrak karena keadaan kahar

dilakukan secara tertulis oleh Pejabat Penandatangan Kontrak dengan disertai

alasan perubahan kontrak pekerjaan.39 Keadaan kahar yang bersifat temporer


40
mensyaratkan kejadian yang berlangsung untuk beberapa saat saja, misalnya

banjir, demo, pemadaman listrik. Sehingga setelah peristiwa kahar selesai,

pelaksanaan kontrak dapat kembali dilanjutkan. Lain halnya dengan kahar

permanen yang sifat kejadiannya paten dan berlangsung dalam periode yang

lama, seperti tsunami, gempa bumi. Untuk peristiwa kahar temporer, maka

akan dilakukan penghentian kontrak. Akibatnya adalah pelaksanaan kontrak

ditangguhkan. Dalam hal ini yang tidak bekerja hanyalah pelaksanaannya, tapi

kontraknya tetap ada. Akibat dari penghentian kontrak ini adalah:

39
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (UU No.2/2020) tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
40
Y. Yogar Simamora, Pengantar Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa, Jawa Timur : Catur
Agung Cahyo Purnomo, 2021.
52

1. Penyedia berhak mendapatkan pembayaran atas pekerjaan yang telah

dilakukan;

2. Pengguna harus melakukan pembayaran atas barang/jasa yang

diterimanya;

3. Penyedia berhak mendapatkan ganti rugi finansial, berbarengan

dengan itu;

4. Pengguna harus memberikan ganti rugi finansial atas keterlambatan

pembayaran; dan

5. Mencantumkan klausula perubahan kontrak untuk penetapan jangka

waktu sampai kapan kontrak dihentikan dan sistem pembayarannya.

Sementara untuk kahar permanen , akibat hukumnya hampir sama

dengan di atas. Hanya saja dalam kasus ini tanpa perlu mencantumkan

penetapan jangka waktu sampai kapan kontrak dihentikan mengingat sifat

keadaannya permanen. Jadi bukan hanya pelaksanaannya yang terhenti tapi

kontraknya. Akibat hukum ini juga berlaku untuk penghentian kontrak yang

disebabkan oleh karena perintah Undang-Undang (tidak didasari oleh

kesalahan masing-masing pihak). Untuk keadaan ini, diberikan kebebasan

kepada pemerintah sebagai wakil badan hukum pemerintah untuk memilih

apakah menghentikan untuk sementara atau memberhentikan secara

permanen. Intinya dalam hal kontrak dihentikan karena keadaan kahar, maka

Pejabat Penandatangan Kontrak wajib membayar kepada penyedia sesuai

dengan kemajuan hasil pekerjaan yang telah dicapai setelah dilakukan

pemeriksaan bersama atau berdasarkan hasil audit.


53

 Akibat Hukum Kontrak Yang sah

Apabila suatu kontrak memenuhi syarat-syarat sah Pasal 1320

KUHPerdata dan syarat-syarat sah di luar pasal tersebut, akibat hukumnya

adalah berlaku ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Sesuai ketentuan Pasal

1338 KUHPdt bahwa : “Kontrak yang dibuat dengan secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya, tidak dapat

dibatalkan secara sepihak, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Maksud ketentuan “berlaku sebagai undang-undang adalah bahwa

kontrak yang memenuhi syarat sah, kekuatan mengikat, dan berlakunya

sama seperti pada undang-undang. Kekuatan mengikat artinya setiap pihak

wajib melaksanakan sama seperti melaksanakan undang-undang. Apabila

tidak dilaksanakan, pihak yang bersangkutan akan dikenai sanksi hukum

sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Sanksi hukum yang

dimaksud, antara lain, mengganti kerugian (compensation), membayar

denda (fine), membayar uang paksa (forcing fund), membatalkan kontrak

(cancellation of contract), atau membatalkan plus mengganti kerugian

(cancellation and compensation).41 Maksud ketentuan “tidak dapat

dibatalkan sepihak” adalah bahwa setiap kontrak yang sah adalah hasil

kesepakatan pihak-pihak. Oleh karena itu. phak-pihak wajib pula

melaksanakan kesepakatan tersebut bersama-sama. Jika salah satu pihak

menginginkan agar kontrak itu dibatalkan, dia wajib memberitahukan

41
J. Wiwoho, Pengantar Hukum Bisnis, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2014, hlm.
134.
54

maksudnya itu kepada pihak lain secara lisan atau secara tertulis sehingga

pembatalan pun harus melalui sepakatan pula. Dengan kata lain, kontrak

berdasarkan kesepakatan, pembatalan pun berdasarkan kesepakatan.

Maksud ketentuan “harus dilaksanakan dengan itikad baik” adalah bahwa

kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak wajib dipenuhi seperti apa

adanya yang tertulis dalam kontrak, tidak lebih dan tidak kurang. Apabila

masih ragu-ragu, pemenuhannya tak terkalahkan dengan tujuan pihak-

pihak ketika mengadakan kontrak. Apabila tujuan masih belum dapat

dicapai, perlu perundingan untuk pemenuhan secara layak, wajar, dan

adil.42 Oleh karena itu, ketika membuat kontrak, ketentuan yang disepakati

dalam kontrak harus jelas sehingga tidak meragukan ketika akan

dilaksanakan.

 Akibat Hukum Kontrak Tidak Sah

Ada dua kemungkinan kontrak dinyatakan tidak sah, yaitu karena tidak

memenuhi syarat subjektif atau karena tidak memenuhi syarat objektif.

Suatu kontrak dikatakan tidak sah subjektif apabila syarat kesepakatan

dan/atau kewenangan melakukan perbuatan hukum dalam Pasal 1320

KUHPerdata tidak dipenuhi. Adapun dikatakan subjektif karena kedua

syarat tersebut melekat pada diri pihak-pihak yang mengadakan kontrak.

Dikatakan objektif karena kedua syarat tersebut melekatkan pada objek

dan tujuan kontrak atau di luar diri subjek kontrak. Tidak sah objektif ini

bersifat mutlak, artinya kontrak yang dibuat dan tidak memenuhi syarat

42
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grrafindo, 2011, hlm. 85.
55

objektif itu batal demi hukum (by law void), sejak perjanjan itu dibuat

dianggap tidak pernah ada karena tidak mungkin mencapai tujuan, atau

walaupun mencapai tujuan pencapaian itu tidak diakui, tidak dibenarkan

karena melanggar undang-undang (kausa tidak halal). Perubahan konatrak

tersebut sudah melalui penetapan pengadilan yang berwenang. Terhadap

kontrak-kontrak yang telah dibuat pada saat virus Corona/ Corona Virus

Disease 19 (Covid-19) merebak di Indonesia/ di dunia tentunya banyak

yang mengalami permasalahan. Hal ini disebabkan aktivitas perusahaan

baik nasional maupun global ikut menerima dampak yang sangat besar

akibat merebaknya Corona Virus Disease 19 (Covid19). Tingkat penularan

yang sangat cepat, risiko kematian bagi orang dengan daya tahan tubuh

lemah hingga anti-virus yang belum ditemukan membuat sejumlah negara

dan pemerintahan mengambil kebijakan yang berimplikasi secara hukum.

Untuk menekan tingkat penyebaran virus, maka kebijakan lockdown atau

social distancing membuat entitas bisnis juga telah menjadi terganggu.

Diperkirakan banyak perusahaan atau orang yang tidak dapat menepati

janjinya. Misal, pengiriman barang ke suatu negara yang sedang

menerapkan lockdown. Dengan kata lain, kemungkinan besar banyak

kontrak, perjanjian, transaksi bisnis atau kegiatan yang tertunda akibat

penyebaran wabah Covid-19 yang secara cepat menyebar pada hampir

seluruh negara-negara di dunia. Terhadap pelaksanaan kontrak dalam

lingkungan bisnis, kegagalan memenuhi perjanjian alias wanprestasi

acapkali dapat dibenarkan oleh hukum jika orang yang tak memenuhi
56

prestasi dapat membuktikan adanya halangan yang tak bisa dihindari.

Bencana alam, misalnya. Terkait dengan wabah Covid-19, apakah secara

hukum pandemik global ini dapat dijadikan alasan sebagai force majeur

untuk tidak menjalankan perjanjian? Apakah harus ada penetapan bencana

nasional agar kejadian Covid-19 dapat disebut force majeur atau kahar?.

Praktisi yang selama ini mendalami hukum kontrak, Ricardo Simanjuntak,

berpendapat force majeur merupakan suatu halangan dimana salah satu

pihak tidak mempunyai kemampuan untuk menghindari halangan itu

walaupun sudah melakukan upaya terbaik. Unsur lain yang mendukung

terjadinya force majeur, pihak tersebut tidak pernah bisa memprediksi

kapan terjadinya halangan, serta ia tidak memiliki contributory factor atas

terjadinya halangan itu. Menurut Ricardo, untuk bisa dikategorikan force

majeur, halangan itu tak harus bersifat permanen. Peristiwa yang terjadi

secara temporer pun masih bisa dikategorikan force majeur. Yang penting

unsur-unsur tadi terpenuhi. “Bila seluruh unsur itu menjadi satu kesatuan

dan secara manusiawi dia betul-betul tidak memiliki contributory effect

dalam peristiwa itu, maka di situlah force majeur berlaku”. 43


Keseluruhan

unsur itu, disebut Ricardo terpenuhi dalam kasus corona. Alasannya,

Pertama, orang tidak pernah tahu kapan ini akan terjadi (tidak terprediksi).

Kedua, orang tidak memiliki contributory effect atas penyebaran wabah

ini. Ketiga, wabah corona memang suatu halangan dimana orang tidak bisa

mengesampingkannya.

43
Ricardo Simanjuntak (2020). Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-
19. Artikel. Hukum Online, Jakarta..
57
61

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas, penulis menyimpulkan poin yang

menjadi pokok kesimpulan penulis, yaitu :

Penundaan kontrak yang terjadi karena Covid-19 mengalami

perubahan-perubahan yang terjadi dalam kontrak pengadaan barang/jasa

pemerintah serta perubahan pada liingkup pekerjaan yang dapat berimplikasi

pula pada nilai kontrak selama masa penyelesaian pekerjaan. Kemudian

terjadinya perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan kepada penerima

barang/jasa untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya. Kondisi

force majeur bukan hanya semata-mata keadaan yang terjadi demi kontrak,

tapi juga terjadi demi hukum, dasar hukumnya tercantum pada Pasal 1245

KUHPerdata.

B. SARAN

Berkaitan dengan pembahasan diatas, maka dalam hal terjadinya perubahan

kontrak yang karena adanya situasi keadaan kahar, maka sebaiknya kedua belah

pihak dalam perjanjian kontrak memberikan pembebasan terhadap hal tersebut

sebagaimana diatur pada Pasal 1245 KUHPerdata, dimana diatur : “Semua pelaku

usaha harus mematuhi, kalaupun ada keberatan dari sisi teknis hukum terkait hak

dan kewajiban dalam kontrak, pihak tersebut tetap harus mengikuti upaya

pembebasan semua pihak akibat keadaan kahar (Force majeure)”


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Y. Yogar Simamora, Pengantar Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa, Jawa


Timur : Catur Agung Cahyo Purnomo, 2021.
Soedjono Dirdjosisworo, Misteri dibalik Kontrak Bermasalah, Penerbit Mandar
Maju, Bandung, 2014.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT.intermasa, 2012.

Salim H.S, 2017, Hukum Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan ke-1,
Jakarta : Sinar Grafika.

Salim.H.S, 2011, Hukum Teori &Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar


Grafika.
J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, Media Group : Bandung,
2010.
A.Qirom Syamsudin Meliala, pokok-pokok hukum perjanjian beserta
perkembangannya, (Yogyakarta: Liberty, 2019),
Abdul kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 2014.

J. Wiwoho, Pengantar Hukum Bisnis, Sebelas Maret University Press, Surakarta,


2014

R.Joni bambang, Hukum Ketenagakerjaan, (bandung: Pustaka Setia, 2013).


Scott J. Burnham, Drafting Kontrak Second Edition, Michle Company, Virginia,
2013
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjannjian, Cetakan VII, (Bandung:
Sumur Bandung, 2014).
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group,
Jakarta, 2011.
Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grrafindo, 2011,
Miru, A. (2011). Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak. Jakarta: Rajawali Pers
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatof, Bayu
Publlshing, Malang, 2016.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ctk Ketiga, UI Press, Jakarta,
2012

Jurnal

Inri Januar, Pelaksanaan Prestasi Dalam Keadaan Memaksa Yang Terjadi Pada
Masa Pandemi, Jurnal Hukum: HUKUM UNTUK MENGATUR DAN
MELINDUNGI MASYARAKAT Fakultas Hukum Universitas Kristen
Indonesia, Hal. 224.
Tauratiya. Overmacht: Analisis Yuridis Penundaan Pelaksanaan Prestasi Akibat
Pandemi COVID-19. Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi, dan Keagamaan.
Volume 7 No.1, 2020, hlm.2.

Sudjana. Akibat Hukum Wanprestasi dan Tanggung Jawab Para Pihak dalam
Transaksi Anjak Piutang. Jurnal Ilmu Hukum Veritas et Justitia (VeJ).
Vol.5 No.2, 2019, hlm.380

Ifada Quratta A’yun Amalia. Akibat Hukum Pembatalan Perjanjian Dalam


Putusan Nomor 1572 K/PDT/2015 Berdasarkan Pasal 1320 dan 1338
KUH Perdata. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune. Vol.I No 1, 2018,
hlm.65.

Dimas Tegar Paliling, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga,


Perlindungan Hukum Bagi Penyedia Atas Penghentian Kontrak
Pengadaan Barang Dan Jasa, Jurnal Hukum Volkgeis, Vol. 2, 1
Desember 2017.

Sihotang, Taufik Hasudungan, dkk, Perlindungan Hukum Terhadap Debitur


(Pelaksana Pekerjaan) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Upah Borong
(Partisipatif) Dalam Proyek Swakelola Di Lingkungan Pekerjaan Umum
Kabupaten Deli Serdang, USU Law Journal, Vol.5.No.1, Januari 2017.

Jurnal Analogi Hukum, Volume 1, Nomor 2, 2019

Peraturan Perundang-Undangan

Modul Pelatihan PBJP Berbasis PERPRES No.16 Tahun 2018

Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Kepala LKPP Nomor
119/3039/SJ dan Nomor 11 Tahun 2020, tentang Tindak Lanjut Atas
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Terhadap Penyesuaian Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020 Sebagai Dampak Keadaan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Sebagai Bencana Nasional Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19).
Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13
Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Penanganan
Keadaan Darurat, Lampiran I.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa


Pemerintah.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Preseiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2018,
Pengadaan Barang/Jasa, hlm. 2
Instruksi Menteri PUPR Nomor 02/IN/M/2020 tentang Protokol Pencegahan
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Lampiran I.A.2.b.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (UU No.2/2020) tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi
Undang-Undang.

Website

Ricardo Simanjuntak (2020). Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat

Penyebaran Covid-19. Artikel. Hukum Online, Jakarta.

World Health Organization, WHO Timeline – Covid-19, diakses pada sabtu


tanggal 25 Januari 2022 pukul 08.15 WITA.

World Health Organization, WHO Coronavirus Disease


(Covid19),https://covid19.who.int/, diakses pada sabtu tanggal 25 Januari
2022 pukul 08.27 WITA

World Health Organization, WHO Director-Generals opening remarks at the


Media Briefing on Covid-19,
https://www.who.int/dg/speeches/detail/whodirector-general-s-opening-
remarks-at-the-mediabriefing-on-covid-19---11-march-2020 diakses pada
selasa tanggal 01 Februari 2022 pukul 14.22 WITA
https://www.pengadaanbarang.co.id/2020/01/pengadaan-barang-dan-jasa.html, di
akses pada Jum’at tanggal 18 Februari 2022 pukul 23.39 WITA
https://nasional.kontan.co.id/news/kementerian-pupr-hak-hak-pekerja-konstruksi-
tetap-dijamin-saatpandemi-corona.
https://corona.kendalkab.go.id/berita/profil/kenalan-dengan-covid-19

Anda mungkin juga menyukai