Anda di halaman 1dari 92

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan bukan

negara atas kekuasaan, maka kedudukan hukum baru ditempatkan di atas

segala-galanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa

kecuali.1 Termasuk dalam hal ini adalah hukum untuk mengatur tindakan

warga negaranya, seperti hukum pidana maupun hukum acara pidana. Pada

hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana.

Namun demikian, hukum acara pidana lebih mengatur tentang bagaimana

negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk menjatuhkan pidana.

Sementara itu, hukum pidana lebih mengatur tentang perbuatan mana yang

dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak

pidana.2

Hukum dapat dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk

menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh

karena itu, hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah

laku dan karena itu pula hukum berupa norma. Hukum yang berupa

normadikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan

diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut.3

1
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006. Hal. 69
2
Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis Dan Praktik. Bandung:
Alumni. 2008. Hal. 26
3
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. 1982. Hal. 14

1
Indonesia sebagai suatu negara hukum mempunyai ciri penting, yaitu

supremacyoflaw, equalitybeforethelaw, dan dueproccesoflaw. Untuk itulah

pembuktian sangat penting dalan proses peradilan pidana di Indonesia, karena

dengan pembuktian akan menentukan posisi antara tersangka dan korban

sehingga hukum dapat mempertimbangkan fakta-fakta hukum dan alat bukti

yang ada. Alat bukti yang sah sebagaimana ditegaskan dalam KUHAP adalah

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Dalam persidangan hakim harus meneliti sampai dimana kekuatan

pembuktian dari setiap alat bukti tersebut.4

Pembuktian mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses

pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib

terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana

dapat dijatuhi hukuman pidana. Pada intinya, pembuktian merupakan

sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti

yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-

syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk

menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.

Sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pidana,

merupakan suatu sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana

dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat yang mutlak

yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

yaitu: alat bukti yang cukup serta sah dan keyakinan hakim. Alat bukti yang

sah dalam hukum acara pidana diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1)

4
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: SinarGrafika. 2000. Hal. 7

2
KUHAP antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa.

Sejak bulan Maret 2020 Indonesia dihadapi dengan permasalahan

mewabahnya Corona Virus Disease (COVID-19) atau biasa disebut covid-19

yang oleh WHO (World HealtyOrganitation) sebagai organisasi dibawah

Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan covid-19 sebagai penyakit pandemi.

Munculnya pandemi covid-19 ini berdampak secara langsung terhadap

Indonesia diberbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, keamanan serta

pelayanan publik.

Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk penanganan

Covid-19 seperti penyediaan infrastruktur kesehatan, penyediaan alat

pelindung diri (APD) berkualitas serta peralatan medis mumpuni dan tenaga

medis, penerapan social distancing, kesiapsiagaan aparatur di tingkat

Provinsi, Kabupaten, kecamatan sampai dengan tingkat terbawah yakni

Rukun Tetangga (RT) serta memberlakukan status darurat sipil dengan

dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 Tentang

Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019

(Covid 19) dan peraturan pendukung lainnya sepertiPerpu Nomor 1 Tahun

2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan

Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan/atau

Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian

Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Peraturan Pemerintah

Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam

Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19).

3
Meskipun demikian ditengah merebaknya covid-19, Lembaga Negara

dan pelayanan publik haruslah tetap berjalan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat yang membutuhkan. Agar bersinergi dengan kebijakan

pencegahan covid-19 yang telah diterbitkan sebelumnya dan agar pelayanan

publik tetap berjalan juga diterbitkannya Surat Edaran Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun

2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya

Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah.

Peraturan ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi ASN pada instansi

pemerintah untuk bekerja di rumah/tempat tinggalnya/ Work Form Home

(WFH) dalam melaksanakan tugas kedinasan dan sebagai upaya mencegah

dan meminimalisasi penyebaran COVID-19. Kemudian seiring di

perpanjangnya status darurat covid-19 maka dikeluarkan lagi Surat Edaran

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 34

Tahun 2020 tentang Perubahan atas Surat Edaran Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2020 tentang

Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan

Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah.

Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga

negara bidang yudikatif yang juga salah satu fungsinya memberikan

pelayanan publik dalam bidang hukum bagi pencari keadilan haruslah tetap

berjalan sebagaimana mestinya dan dapat berpedoman pada Surat Edaran

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 34

Tahun 2020 tentang Perubahan atas Surat Edaran Menteri Pendayagunaan

4
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2020 tentang

Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan

Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Instansi Pemerintahdan sebagai salah

satu bentuk upaya dukungankepada pemerintah dalam menangani dan

mencegah covid-19.

Untuk merespon Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur

Negara dan Reformasi Birokrasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia

kemudian menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020

Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran

Corona Virus Disesae (covid-19) diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2020 Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan

Penyebaran Corona Virus Disesae (covid-19) yang pada dasarnya mengatur

tentang WorkFromHome (WFH). Setelah itu Direktorat Jenderal Peradilan

Umum mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Peradilan Umum Nomor 04

Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Tugas Kedinasan Dari Rumah

(WorkFromHome) Pada Direktorat Jenderal Peradilan Umum. Selain itu

untuk tetap melaksanakan proses persidangan pada Pengadilan yang haruslah

tetap berjalan sehingga tidak merugikan hak-hak Terdakwa yang menyangkut

masa penahanan saat proses di Pengadilan maka Direktur Jenderal Peradilan

Umum mengeluarkan surat Nomor 379/DJU/ PS.00/3/ 2020;

Adapun subtansi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan

Penyebaran Corona Virus Disesae (covid-19) dan Surat Edaran Mahkamah

5
Agung Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2020 Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan

Penyebaran Corona Virus Disesae (covid-19) yakni sebagai berikut:

Bahwa pelaksanaan tugas kedinasan di rumah / ternpat tinggal selama

masa pencegahan penyebaran COVID-19di lingkungan Mahkamah Agung

dan Badan Peradilan dibawahnya dilakukan sampai tanggal 05 April 2020

dan akan dievaluasi lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan.;

Bahwa berdasarkan data World Health Organization (WHO) dan data

Kementerian Kesehatan pada tanggal 3 April 2020 tingkat perkembangan

kasus COVID-19 baik didunia maupun di Indonesia masih terus meningkat.

Di samping itu pada tanggal 30 Maret 2020, Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam Surat Edaran Nomor 34

Tahun 2020 tentang Perubahan atas Surat Edaran Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2020 tentang

Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara Dalam Upaya Pencegahan

Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah,telah

memperpanjang masa pelaksanaan tugas kedinasan di rumah/ternpat tinggal

(Work From Home)sampai dengan tanggal 21 April 2020;

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,dipandang perlu melakukan

perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2020,sebagai

berikut:

1. Memperpanjang masa pelaksanaan tugas kedinasan dirumah/tempat

tinggal selama masa pencegahan penyebaran COVID-19 dilingkungan

6
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dilakukan sampai

tanggal 21 April 2020 dan akan dievaluasi lebih lanjut sesuai kebutuhan;

2. Menegaskan kembali bahwa untuk mencegah penyebaran COVID-19 dan

untuk memastikan tetap terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan

peradilan,selama berlakunya Surat Edaran ini Hakim dan Aparatur

Peradilan tidak boleh bepergian keluar kota tempat;

Selanjutnya subtansi dari Instruksi Direktur Jenderal Peradilan Umum

Nomor 04 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Tugas Kedinasan Dari Rumah

(Work From Home) Pada Direktorat Jenderal Peradilan Umum yang pada

intinya bagi pelaksanaan Work From Home (WFH) bagi setiap pegawai

Mahkamah Agung .

Kemudian terkait dengan sidang teleconference pelaksanaannya diatur

dalam Surat Direktur Jenderal Peradilan Umum Nomor 379/DJU/ PS.00/3/

2020 yang subtannsinya berupa perihal perkara pidana melalui teleconference

yang memerintahkan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua

Pengadilan Negeri se-Indonesia selama masa darurat bencana wabah penyakit

akibat virus corona (Covid-19) persidangan dapat dilakukan melalui jarak

jauh atau teleconference yang mana pelaksanaanya dilaksanakan dengan

berkoordinasi dengan Kejaksaan, Rumah Tahanan/Lapas dengan tetap

memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai salah satu Pengadilan Negeri yang berada di Direktorat

Jenderal Peradilan Umum, Pengadilan Negeri Tuban melaksanakan intruksi

tersebut dengan mempersiapkan segala persiapan baik itu persiapan masalah

sarana dan prasarana maupun teknis pelaksanaanya nanti terutama mengenai

7
pelaksanaan sidang pada perkara pidana. Dimana haruslah terdapat koordinasi

antara Pengadilan Negeri Tuban, Kejaksaan Negeri Tuban dan Lapas Tuban.

Tidak hanya itu dalam surat instruksi tersebut juga menyatakan bahwa

pelaksanaan sidang perkara pidana melalui teleconference bahwa

menyerahkan sepenuhnya kepada Pengadilan Negeri masing-masing dan

pelaksanaannya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi Pengadilan masing-

masing. Dikarenakan hal tersebut maka pelaksanaan sidang perkara pidana

melalui teleconference dilakukan melalui teknis yang berbeda-beda ditiap

Pengadilan Negeri. Kemudian apakah persidangan melalui teleconference ini

tidak bertentangan dengan hukum acara pidana yang telah diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana maupun peraturan hukum Indonesia

lainnya.

Maka dari latar belakang diatas maka penulis mengambil suatu sikap

untuk mengambil penulisan hukum skripsi dengan judul “PERSIDANGAN

PERKARA PIDANA MELALUI TELECONFERENCE ATAS DASAR

SEMA NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG PEDOMAN

PELAKSANAAN TUGAS SELAMA MASA PENCEGAHAN

PENYEBARAN CORONA VIRUS DISESAE (COVID-19) DI

PENGADILAN NEGERI TUBAN”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatasmaka dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana proses persidangan melalui teleconference pada pengadilan

negeri tuban berdasarkan SEMA NO.1 TAHUN 2020 tentang pedoman

8
pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Corona Virus

Disease (COVID -19) ?

2. Apakah persidangan pidana melalui teleconference berdasarkan SEMA

NO. 1 TAHUN 2020 tentang pedoman pelaksanaan tugas selama masa

pencegahan penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) tidak

bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini memiliki

tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan proses persidangan melalui teleconference pada

pengadilan negeri tuban berdasarkan SEMA NO.1 TAHUN 2020 tentang

pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Corona

Virus Disease (COVID -19).

2. Untuk menganalisis persidangan pidana melalui teleconference

berdasarkan SEMA NO. 1 TAHUN 2020 tentang pedoman pelaksanaan

tugas selama masa pencegahan penyebaran Corona Virus Disease

(COVID-19) dihubungkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) atau peraturan lainnya.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan

informasi mengenai proses persidangan melalui teleconference pada

9
pengadilan negeri tuban berdasarkan SEMA NO.1 TAHUN 2020 tentang

pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Corona

Virus Disease (COVID -19) kepada masyarakat serta mencari pemecahan

masalah yang dihadapi dalam pelaksanaanya sehingga tidak mengabaikan

Hak Terdakwa.

2. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan

menambah wawasan Ilmu pengetahuan bagi penulis sendiri dan pihak lain

yang secara langsung maupun tidak terkait penelitian ini.

E. Sistematika Penulisan

Untuk penulisan dapat memberikan gambaran yang komperehensip,

maka penyusunan hasil penilitian perlu dilakukan secara runtut dan sistematis

sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan gambaran teori-teori yang melandasi

penelitian ini. Dalam bab ini akan menjelaskan mengenai

Tinjauan Umum mengenai proses hukum acara pidana, Hak

Hak terdakwa dan asas asas hukum acara pidana

BAB III : METODE PENELITIAN

Terdiri dari jenis penelitian Empiris dengan metode

pendekatan yuridis sosiologis meliputi wawancara, Lokasi

10
penelitian, jenis data dan sumber data, teknik pengumpulan

data dan teknik analisa data.

BAB IV : PERSIDANGAN PIDANA MELALUI

TELECONFERENCE ATAS DASAR SEMA NOMOR 1

TAHUN 2020 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN

TUGAS SELAMA MASA PENCEGAHAN

PENYEBARAN CORONA VIRUS DISEASE 2019

(COVID-19) DI PENGADILAN NEGERI TUBAN

Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai berbagai dasar

hukum atas pelaksanaan persidangan pidana melalui

teleconference serta subtansinya, pelaksanaan persidangan

melalui telenconference pada Pengadilan Negeri Tuban dan

analisis persidangan melalui teleconference dikaitkan dengan

hukum acara pidana serta peraturan lainnya

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini berisikan kesimpulan uraian dari bab-bab

sebelumnya dan juga berisi tentang saran yang diberikan

penulis.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah pemakaian Teleconference dalam persidangan Pidana di

Indonesia

Teleconference menurut kamus istilah teknologi informasi adalah:

pertemuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang dilakukan melalui

telepon atau koneksi jaringan. Pertemuan tersebut, dapat hanya menggunakan

suara (audio conference) atau menggunakan video (video conference) yang

memungkinkan peserta konferensi saling melihat. Penggunaan di Indonesia

untuk pertama kali yaitu setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mendapat

dukungan dari stasiun TV swasta (SCTV) untuk membantunya. Kesaksian

Habibie ini penting, karena Habibie merupakan saksi kunci atas

penyalahgunaan dana Bulog pada masa pemerintahannya. Saat ini, dua orang

menteri pada era Habibie, Akbar Tandjung selaku mantan Mensesneg dan

Rahardi Rammelan mantan Menperindag yang juga sekaligus (Pjs) Kabulog,

menjadi terdakwa dalam kasus korupsi di Bulog.[xii] Penggunaan

teleconference dianggap Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili

perkara tersebut dalam Surat Penetapan Nomor: 354/Pid.B/2002/PN. Jakarta

Selatan memberikan pertimbangan bahwa: Pemeriksaan terhadap B.J Habibie

oleh Majelis Hakim dipandang sangat perlu untuk mendapat kebenaran

materiil tetapi karena mendapat permasalahan keberadaan saksi yang berada

di Hamburg, Jerman karena harus menemani istri yang sedang berobat, maka

12
solusinya adalah menggunakan teleconference dalam memberikan

keterangan.

Hakim dalam pertimbangan hukumnya putusan pengadilan

menyatakan bahwa, Pertama, penggunaan teknologi teleconference sebagai

solusi untuk kepentingan persidangan khususnya terhadap pemeriksaan saksi

yang tidak dapat dihadirkan di persidangan, di mana keterangan tersebut

sangat perlu untuk mendapatkan kebenaran materiil, sehingga eksistensinya

tidak bertentangan dengan KUHAP. Kedua, pemanfaatan kemajuan teknologi

komunikasi elektronik melalui pemberian keterangan melalui teleconference

dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dalam hukum acara

manakala timbul kendala sebagaimana dihadapi oleh saksi B.J. Habibie.

Diharapkan langkah yang ditempuh majelis hakim ini mendapatkan respon

positif dari pihak eksekutif maupun legislatif dalam kerangka penyempurnaan

hukum acara pidana di masa yang akan datang. Ketiga, pemeriksaan saksi

melalui teleconference di satu sisi sesuai dengan peran dan tugas hakim

dalam menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding), dan di sisi lain

sebagai salah satu terobosan terhadap hukum acara yakni mempermudah

mendengar keterangan saksi B.J. Habibie yang berada di benua Eropa

sehingga dapat didengar dan diikuti secara langsung dan transparan oleh

masyarakat secara luas di Indonesia. Oleh karena itu, penggunaan teknologi

teleconference dinilai sah dan mempunyai nilai pembuktian. Keempat,

walaupun saat pemeriksaan persidangan saksi B.J Habibie berada di

Hamburg, tepatnya di Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia dan

persidangan dilaksanakan di gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hal

13
demikian tetap merupakan satu kesatuan dari persidangan itu sendiri karena

saksi telah mengucapkan sumpah yang dituntun oleh Ketua Majelis dalam

persidangan ini. Kelima, fakta persidangan menunjukkan bahwa proses

pelaksanaan pemeriksaan saksi melalui video teleconference telah

berlangsung dengan baik, dalam arti terjadi tanya jawab antara Majelis Hakim

dengan saksi, antara Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, dan Terdakwa

dengan saksi sebagaimana tertuang secara lengkap dalam berita acara

persidangan serta rekaman persidangan teleconference itu sendiri.

Penggunaan teleconference untuk kedua kalinya di Indonesia pada kasus Abu

Bakar Ba‘asyir pada 2003, Penuntut Umum menghadirkan 32 orang saksi,

dan 7 di antaranya memberikan keterangan melalui teleconference, yaitu Faiz

Abu Bakar Bafana, Hasyim bin Abbas alias Osman alias Rudi, Ja’far bin

Mistoki alias Saad alias Badar, Ahmad Sajuli bin Abd Rahman alias Fadlul

Rahman alias Fadlul alias Uyong alias Mat, Agung Biyadi alias Husain,

Muhammad Faiq bin Hafidh, dan Ferial Muchlis bin Abdul Halim. Dari

ketujuh saksi yang memberikan keterangan melalui teleconference, hanya

saksi Faiz Abu Bakar Bafana yang sebelumnya tidak diperiksa di penyidikan.

Dalam perkara ini, pihak yang meminta agar ketujuh orang saksi memberikan

keterangan melalui teleconference adalah Jaksa Penuntut Umum. Alasannya

adalah karena saksi-saksi tersebut tidak dapat dihadirkan ke persidangan

karena sedang ditahan oleh Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Singapura

sehingga tidak mungkin dihadirkan ke persidangan. Lokasi kesaksian ketujuh

orang saksi melalui teleconference adalah di wilayah Negara Malaysia dan

14
Negara Singapura. Jadi, saat keterangan disampaikan melalui teleconference,

lokasinya tidak berada di wilayah hukum Negara Indonesia.

B. Hak-hak Terdakwa

Seorang terdakwa diberikan seperangkat hak-hak yang diatur di dalam

KUHAP. Sesuai dengan tujuannya, KUHAP memberikan keadilan dan

perlindungan terhadap hak – hak asasi dalam keseimbangannya dengan

kepentingan umum, tak terkecuali kepada seseorang yang dijadikan terdakwa.

Pengaturan hak-hak terdakwa ini terdapat dalam Pasal 50 sampai

dengan Pasal 68 KUHAP, meliputi :

a. Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan dan diadili (Pasal 50

ayat (1), (2), dan (3));

b. Hak untuk mengetahui dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti

olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 5

butir a dan b);

c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau

hakim (Pasal 52);

d. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1));

e. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan

(Pasal 54);

f. Hak untuk mendapat nasehat hukum dari penasehat hukum yang ditunjuk

oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi

tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati atau ancaman pidana

lima belas tahun atau lebih dengan biaya cuma – cuma (Pasal 56)

15
g. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk

menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat

(2));

h. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah

dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan

hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan

dengan keluarga dengan maksud yang sama diatas (Pasal 59 dan Pasal

60);

i. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan

perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau

kekeluargaan (Pasal 62); 10) Hak untuk berhubungan surat menyurat

dengan penasihat hukum dan sanak keluarganya (Pasal 62);

j. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal

63);

k. Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang menguntungkan bagi dirinya

(Pasal 65);

l. Hak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama

kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang

menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan

pengadilan dalam acara cepat (Pasal 67);

m. Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68)5

Hak – hak terdakwa yang dijamin oleh KUHAP diatas, bertujuan

untukmemberikan rasa keadilan dan memberikan perlindungan terhadap


5
Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 2006, hal. 66.

16
terdakwa.Karena setiap orang harus setara dihadapan hukum, tak terkecuali

seorang Terdakwa.

C. Asas-asas Hukum Acara Pidana

Konsep asas dapat ditemukan dalam buku The Liang Gie

(SudiknoMertokusumo, 2010: 42) yang mengatakan bahwa asas adalah suatu

dalil

umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara

khusus mengenai pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian

perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

Asas hukum atau prinsip hukum yang ditafsirkan beberapa ahli di

atas, menekankan bahwa asas hukum bukanlah peraturan hukum konkret,

melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan

latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan

dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-

undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat

diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret

tersebut (SudiknoMertokusumo, 2010: 43).

Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta

maratabat manusia yang telah diletakan di dalam undang-undang, baik pada

waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan.

Terdapat asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum

sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak

hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP.Makna asas-asas hukum itu

17
sendiri merupakan ungkapan hukum yang bersifat umum. Sebagian berasal

dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau etis kelompok manusia

dan sebagian yang berasal dari pemikiran dibalik peraturan undang-undang

serta yurisprudensi. Rumusan pengertian asas-asas hukum yang demikian itu

konsekuensinya adalah kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar

yang penting dari peraturan hukum.

1. Asas Praduga Tidak Bersalah (PresumptionOfInnocene)

Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara

pidana. Ketentuan asas praduga tidak bersalah eksistensinya tampak pada

Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan penjelasan

umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau

dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum

ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam praktik peradilan asas ini dapat diuraikan lebih lanjut

selama proses peradilan masih berjalan (pengadilan negeri, pengadilan

tinggi, dan mahkamah agung Republik Indonesia) dan belum

memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrachtvangewijsde), maka

terdakwa belum dapat dikategorikan bersalah sebagai pelaku dari tindak

pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut harus

mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur undang-undang, yaitu hak

untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak

segera mendapatkan pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan

18
putusan seadil-adilnya, hak untuk mendapatkan juru bahasa, hak untuk

memperoleh bantuan hukum, dan sebagainya.

2. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan;

Asas ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2)

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka 3 huruf

e KUHAP. Secara konkret, jika dijabarkan bahwa dengan dilakukan

peradilan secara cepat, sederhana dan biaya ringan dimaksudkan agar

terdakwa tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut,

kemudian memperoleh kepastian prosedural hukum serta proses

administrasi biaya perkara yang ringan dan tidak terlalu membebaninya.

Menurut Yahya Harahap menjabarkan mengenai asas sederhana dan

biayar ingan adalah sebagai berikut:

a. Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi yang

bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian

sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh

terdakwa;

b. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti

rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai

pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses penahanan;

c. Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata

memberikan makna menyederhanakan penanganan fungsi dan

wewenag penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik,

tumpang tindih atau overlappingan dan saling bertentangan.

3. Asas Hak Ingkar

19
Hak ingkar diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No. 48 Tahun

2009 dan Pasal 157 KUHAP adalah hak seseorang yang diadili untuk

mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang

hakim yang mengadili perkaranya.

4. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Keterbukaan dari suatu proses peradilan (open baar heidvan

hetprocess) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini

secara eksplisit tercermin dari ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-

undang No. 48 Tahun 2009, penjelasan umum angka 3 huruf I KUHAP

dan diuraikan dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menentukan

bahwa:

“untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan

menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atas

terdakwanya anak-anak”.

Andi Hamzah berpendapat mengenai hal ini bahwa: “Seharusnya

kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan

kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Sebenarnya

hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya

atau sebagainya tertutup untuk umum yang artinya persidangan

dilakukan dibelakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya

diberikan kepada Hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya

atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat

mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan

alasan demi nama baik keluarganya. Misalkan dalam kasus perkosaan,

20
saksi korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas

memberikan kesaksiannya”6

5. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya

Kehadiran Terdakwa

Asas ini diatur dalam ketentuan Pasal 154, Pasal 176 ayat (2), dan

Pasal 196 ayat (1) KUHAP serta Pasal 12 ayat (1) Undang-undang No.

48 Tahun 2009 khususnya terhadap perkara-perkara yang diajukan secara

biasa (pid. B) dan singkat (pid. S), dengan asas kehadiran terdakwa ini,

maka pemeriksaan pengadilan secara in absentia sebagaimana dikenal

dalam tindak pidana khusus (iussingulare, iusspeciale, atau

bijzonderstrafrecht) pada tindak pidana korupsi (Undang-undang No. 20

Tahun 2001) dan tindak pidana pencucian uang (Undang-undang No. 7

Drt. Tahun 1955) dalam konteks ini tidak diperkenankan kecuali dalam

acara cepat,khususnya acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalulintas

jalan. Akan tetapi, asas ketidakhadiran terdakwa ini kenyataannya

diperlemah dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman di mana menurut Pasal 12 ayat (2) undang-

undang tersebut bahwa:

“dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan

telah selesai, putusan dapa tdiucapkan tanpa dihadiri terdakwa”.

6. Asas Persamaan yang sama didepan hukum (Equal Before The Law)

Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

maksudnya ialah hukum tidak membeda-bedakan siapapun tersangkanya


6
Andi Hamzah. Op.Cit, hlm. 18

21
atau apapun jabatan dalam melakukan pemeriksaan. Romli Atmasasmita

dalam bukunya mengatakan: “Asas persamaan di muka hakim tidak

secara eksplisit tertuang dalam KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan

bagian yang tak terpisahkan dari KUHAP.7 Ditempatkan asas ini sebagai

satu kesatuan menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata

kehidupan Hukum Acara Pidana di Indonesia”.

Asas yang umum dianut Negara-negara yang berdasarkan hukum

ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman Pasal 5 ayat(1) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 19821

tentang Hukum Acara Pidana(KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3a

Pasal 5 ayat (1) tersebut merumuskan:

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang”.

7. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

Asas bantuan hukum ditegaskan pada penjelasan umum angka 3

huruf f KUHAP:

“setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberikan kesempatan

memproleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk

melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”.

Adapun asas bantuan hukum dalam Bab XI Pasal 56 Undang-

undang No. 48 Tahun 2009 dirumuskan bahwa:“setiap orang yang

tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Ketentuan Pasal 69 sampai Pasal 74 Undang-UndangNomor 8

7
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Jakarta, 1983. hlm.
30

22
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang

bantuan hukum dimana tersangka / terdakwa mendapatkan kebebasan-

kebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai

berikut:

a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau

ditahan.

b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.

c. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada

semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.

d. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar

oleh penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang

menyangkut keamanan Negara.

e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat

hukum guna kepentingan pembelaan.

f. Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari

tersangka / terdakwa8

8. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dariLisan

Pada asasanya dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di

depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa

dan saksi- saksi serta dilaksanakan dengan secara lisan dalam bahasa

Indonesia. Tegasnya hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal

pemeriksaan perkara pidana dengan cara mewakilkan dan pemeriksaan

secara tertulis sebagaimana halnya dalam hukum perdata, implementasi

asas ini lebih luas dapat dilihat dari penjelasan umum angka 3 huruf h,
8
Andi Hamzah. Op.cit. hlm. 21,

23
Pasal 153, Pasal 154, serta Pasal 155 KUHAP, dan seterusnya.

Bambang Poernomo berpendapat bahwa:

“Pemeriksaan perkara pidana antara pihak yang terlibat dalam

persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan

lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar dari

yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara

pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan langsung

adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa untuk

mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan keterangan

ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak bebas

keterangannya yang diperiksa secara tertutup”.9

9. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi

Apabila seseorang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut, atau

diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan,

baik mengenal orangnya maupun penerapan hukumnya, wajib

memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus bebas (vrispraak)

atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslagvanallerechtsvervolging)

sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat

serta martabatnya”.

10. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilakukan oleh jaksa (Bab XIX,

9
Bambang Poernomo, Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Liberty,
Yogyakarta, 1985. hlm.79.

24
Pasal 270 KUHAP, Pasal 54 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009

dan kemudian pelaksanaan pengawasan dan pengamatan ini dilakukan

oleh ketua pengadilan negeri yang didelegasikan kepada hakim yang

diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan

pengawasan dan pengamatan. Dalam praktik hakim tersebut lazim

disebut sebagai “hakim wasmat” atau “kimwasmat” (Bab XX Pasal 277

ayat (1) KUHAP, Bab VI Pasal 55 Undang-undang No. 48 Tahun 2009,

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 7 Tahun 1985

tanggal 11 Februari 1985).

11. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan

Pada KUHAP secara limitatif batas waktu penahanan dalam

setiap tingkat pemeriksaan telah dibatasi (Lilik Mulyadi, 2012: 13-19).

D. Tata Cara Persidangan Perkara Pidana sesuai dengan KUHAP

Secara umum, pemeriksaan terdakwaa dalam persidangan perkara

pidana diatur dalam Bab XVI bagian Ketiga Undang-undangNomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni mulai dari Pengadilan

Negeri menerima surat pelimpahan perkara sampai kepada putusan, antara

lain yaitu:

1. Pemeriksaan Identitas Terdakwa

Menurut Yahya Harahap bahwa pemeriksaaan identitas terdakwa

didahului pembukaan sidang oleh ketua.10 Pembukaan sidang harus

dinyatakan “terbuka untuk umum”.11

10
Pasal 155 (1) KUHAP
11
Pasal 153 (3) dan (4) KUHAP

25
Kemudian hakim melakukan pemeriksaan identitas dengan jalan bertanya

kepada terdakwa mengenai:12

a. nama lengkap;

b. tempat lahir;

c. umur atau tanggal lahir;

d. jenis kelamin;

e. kebangsaan;

f. tempat tinggal;

g. agama, dan

h. pekerjaan.

Pemeriksaan dicocokkan dengan identitas terdakwa yang terdapat

pada surat dakwaan dan berkas perkara, untuk memastikan persidangan

memang terdakwalah yang dimaksud dalam surat dakwaan sebagai pelaku

tindak pidana yang didakwakan kepadanya.13

2. Pembacaan Dakwaan

Ketua sidang memerintahkan penuntut umum untuk membacakan

surat dakwaan. Dalam proses pemeriksaan acara biasa, penuntut umum

yang bertugas membaca surat dakwaan dan dilakukan oleh penuntut umum

atas permintaan ketua sidang.14

Fungsi pembacaan surat dakwaan sesuai dengan kedudukan jaksa sebagai

penuntut umum dan langkah awal taraf penuntutan tanpa mengurangi

penuntutan yang sebenarnya pada waktu membacakan rekuisitor.15

12
Pasal 155 (1) KUHAP dan Yahya Harahap. Op. Cit, hal. 121
13
Yahya Harahap hal.121
14
Pasal 155 (2) huruf a KUHAP dan Yahya Harahap. Op. Cit, hal.122
15
Yahya Harahap. Op. Cit, hal.122

26
3. Eksepsi

Eksepsi adalah tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak

mengenai atau tidak ditujukan terhadap “materi pokok” surat dakwaan,

tetapi keberatan atau pembelaan yang ditujukan terhadap cacat

formal yang melekat pada surat dakwaan.16

Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan

bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan

tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah

diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya,

hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya

mengambil keputusan.17

4. Pembuktian

Pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan undang-undang yang boleh digunakan hakim untuk

membuktikan kesalahan yang didakwakan.18Pembuktian adalah ketentuan

yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan

mempertahankan kebenaran dan majelis hakim berpedoman pada alat

bukti dalam memutus perkara.19

Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP dalam

pengadilan pidana terbagi menjadi:

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

16
Yahya Harahap. Op. Cit, hal. 123
17
Pasal 156 (1) KUHAP
18
Yahya Harahap. Op. Cit, hal. 273
19
Yahya Harahap. Op. Cit, hal. 274

27
3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

5. Pembacaan Surat Tuntutan

Surat tuntutan, diajukan oleh penuntut umum setelah pemeriksaan

di sidang pengadilan dinyatakan selesai. Jadi, surat tuntutan dibacakan

setelah proses pembuktian di persidangan pidana selesai dilakukan.20

6. Pledoi (Pembelaan)

Setelah dibacakan tuntutan, giliran terdakwa dan/atau penasihat

hukumnya membacakan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut

umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukumnya

mendapat giliran terakhir.

7. Putusan Hakim

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan

dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau

bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang.21

Dalam penyelesaian perkara pidana di pengadilan terdapat tiga

bentuk putusan:22

1. Putusan bebas;

2. Putusan lepas; dan

3. Putusan pemidanaan

E. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020

20
Pasal 182 (1) huruf a KUHAP
21
Pasal 1 angka 11 KUHAP
22
Pasal 191 (1) (2) dan pasal 193 (1) KUHAP

28
1. Melakukan penyesuaian sistem kerja dengan berpedoman pada Surat

Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

Nomor19 Tahun 2020 tanggal 16 Maret 2020 tentang Penyesuaian Sistem

Kerja Aparatur Sipil Negara Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran

COVID-19 di lingkungan instansi Pemerintah, yaitu:

a. Hakim dan Aparatur Peradilan dapat menjalankan tugas kedinasan

dengan bekerja di rumah/tempat tinggalnya(workfromhome).

b. Bekerja di rumah merupakan kegiatan melaksanakan tugas kedinasan

termasuk pelaksanaan administrasi persidangan yang memanfaatkan

aplikasi e-court , pelaksanaan persidangan dengan menggunakan

aplikasi e-litigation, koordinasi, pertemuan, dan tugas kedinasan

lainnya.

c. Pejabat Pembina Kepegawaian Mahkamah Agung dan Pimpinan

Pengadilan harus memastikan terdapat minimal 2 (dua) level Pejabat

Struktural tertinggi pada setiap satuan kerja untuk tetap melaksanakan

tugasnya di kantor agar penyelenggaraan layanan peradilan dan

layanan lainnya kepada masyarakat tidak terhambat.

d. Berkaitan dengan hal tersebut, Pejabat Pembina Kepegawaian

Mahkamah Agung dan Pimpinan Pengadilan mengatur sistem kerja

yang akuntabel dan mengatur secara selektif pejabat/pegawai di

lingkungan unit kerjanya yang dapat bekerja dirumah / tempat

tinggalnya melalui pembagian kehadiran dengan mempertimbangkan

antara lain :

1) Jenis Perkara yang sedang ditangani ;

29
2) Jenis Pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai;

3) Peta sebaran COVID-19 yang dikeluarkan Pemerintah Pusat

maupun Pemerintah Daerah;

4) Domisili Pegawai;

5) Kondisi kesehatan Hakim dan Aparatur Peradilan yang dibuktikan

dengan surat keterangan dokter;

6) Kondisi kesehatan keluarga Hakim dan Aparatur Peradilan (dalam

status Orang Dalam Pemantauan/ODP, Pasien Dalam

Pengawasan/PDP, diduga/suspected, dan dikonfirmasi/confirmed

terjangkit COVID-19)

7) Ibu hamil;

8) Ibu yang baru melahirkan atau sedang menyusui;

9) Hakim dan Aparatur Peradilan yang menggunakan moda

transportasi umum meuju kantor khususnya di wilayah

Jaboditabek, dan wilayah lain yang berdasarkan penilaian atasan

atau hasil laporan kesehatan memiliki resiko tinggi terpapar

COVID-19;

10) Waktu tempuh Hakim dan Aparatur Peradilan menuju kantor;

11) Riwayat perjalanan Hakim dan Aparatur Peradilan keluar negeri

dalam 14(empat belas) hari kalender terakhir ;

12) Riwayat interaksi pada penderita terkonfirmasi COVID-19 dalam

14 (empat belas) hari kalender terakhir;

13) Efektivitas pelaksanaan tugas dan pelayanan unit kerja;

30
e. Pengaturan sistem kerja tersebut agar tetap memperhatikan dan tidak

mengganggu kelancaran penyelenggaraan peradilan dan pelayanan kepada

masyarakat khususnya terkait dengan perpanjangan penahanan dan upaya

hukum.

f. Pimpinan satuan kerja wajib melaporkan Hakim dan Aparatur Peradilan

yang melaksanakan tugas kedinasan di rumah / tempat tinggalnya kepada

Pejabat Pembina Kepegawaian Mahkamah Agung dengan tembusan Biro

Kepegawaian Mahkamah Agung.

g. Hakim dan Aparatur Peradilan yang mendapatkan giliran berkerja di kantor

dapat melakukan presensi masuk / pulang kantor secara manual , untuk

sementara tidak menggunakan Fingerprin tAttendance Machine.

h. Hakim dan Aparatur Peradilan yang mendapatkan giliran bekerja di kantor

untuk tugas pelayanan peradilan yang memberikan layanan langsung

kepada masyarakat dengan menjaga jarak aman (socialdistancing) serta

menggunakan alat pelindung dari virus yaitu masker dan sarung tangan

medis sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

i. Aparatur Peradilan yang melaksanakan tugas kedinasan di rumah / tempat

tinggalnya dan Aparatur Peradilan yang mendapatkan giliran untuk bekerja

dikantor yang terlambat datang atau pulang lebih awal dari ketentuan jam

kerja dengan persetujuan atasan langsung, tidak dikenakan potonngan

tunjangan kinerja selama surat edaran ini diberlakukan.

j. Setiap satuan kerja menyediakan handsanitizer untuk ditempatkan di setiap

pintu masuk kantor dan ruang sidang, serta memperbanyak tempat cuci

tangan yang dilengkapi dengan sabun antiseptik cair.

31
k. Setiap satuan kerja agar menyediakan alat pendeteksi suhu badan seperti

InfraredThermometersebagai deteksi awal dan pencegahan penyebaran

COVID-19.

l. Hakim dan Aparatur Peradilan yang sedang melaksanakan tugas kedinasan

di rumah/ tempat tinggalnya, tidak boleh meninggalkan tempat tinggalnya

masing-masing kecuali dalam keadaan mendesak harus meninggalkan

tempat tinggalnya seperti untuk memenuhi kebutuhan terkait pangan ,

kesehatan ataupun keselamatan , dan harus melaporkan keatasan langsung.

m. Hakim dan Aparatur Peradilan tidak boleh berpergian keluar negeri baik

dalam rangka kedinasan maupun diluar kedinasan.

n. Hakim dan Aparatur Peradilan yang sedang melaksanakan tugas kedinasan

dirumah / tempat tinggalnya tidak boleh berpergian ke luar kota tempat

tinggal / tempat melaksanakan tugas atau tidak kembali ke daerah asalnya

selama masa pencegahan penyebaran COVID -19 dan harus senantiasa

siaga apabila sewaktu-waktu diminta untuk kembali ke kantor pada hari

dan jam kerja untuk tugas yang bersifat mendesak dan harus hadir secara

fisik.

o. Atasan langsung mewajibkan Hakim dan Aparatur Peradilan yang sedang

melaksanakan tugas kedinasan di rumah/ tempat tinggalnya untuk

memenuhi target kerja yang dibebankan selama masa melaksanakan tugas

kedinasan di rumah/ tempat tinggalnya.

p. Dalam hal terdapat rapat / pertemuan penting yang harus dihadiri, Hakim

dan Aparatur Peradilan yang sedang melaksanakan tugas kedinasan di

rumah / tempat tinggalnya dapat mengikuti rapat tersebut melalui sarana

32
teleconferencedan/atau video conference dengan memanfaatkan sistem

informasi dan komunikasi ataupun media elektronik.

q. Pelaksanaan tugas kedinasan di rumah/ tempat tinggal selama masa

pencegahan penyebaran COVID -19 di lingkungan Mahkamah Agung dan

Badan Peradilan di bawahnya dilakukan sampai tanggal 05 April 2020 dan

akan di evaluasi lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan.

r. Hakim dan Aparatur Peradilan yang sedang melaksanakan tugas kedinasan

di rumah / tempat tinggalnya apabila tidak terdapat indikasi sakit agar

segera masuk bekerja kembali pada hari kerja pertama setelah berakhirnya

masa pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan Mahkamah Agung

dan Badan Peradilan dibawahnya berdasarkan surat edaran ini.

s. Bagi Hakim dan Aparatur Peradilan yang mengalami gejala atau terinfeksi

COVID-19 berdasarkan surat keterangan dokter sampai dengan

berakhirnya masa pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan

Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya berdasarkan surat

edaran ini, agar menginformasikan kepada atasan langsung , yang

kemudian diteruskan kepada pengelola kepegawaian di unit kerjanya

masing-masing , dan terus menjalani perawatan sampai dengan dinyatakan

sehat oleh pihak yang berwenang.

t. Bagi Hakim dan Aparatur Peradilan yang menjalani tugas belajar di luar

negeri agar secara aktif menjaga diri dengan menghindari tempat yang

terindikasi lokasi penyebaran COVID-19, dan mengikuti anjuran / prosedur

keselamatan yang dikeluarkan di Negara tempat melaksanakan tugas

belajar.

33
u. Bagi Hakim dan Aparatur Peradilan yang menjalani tugas belajar di luar

negeri namun saat ini sedang berada di Indonesia, agar berkoordinasi

dengan pihak Perguruan Tinggi di negara tempat tugas belajarnya dan tidak

kembali ke negara tempat tugas belajar sebelum diizinkan oleh otoritas

yang berwenang baik di Indonesia maupun dinegara tempat tugas

belajarnya.

2. Persidangan Pengadilan

a. Persidangan perkara pidana, pidana militer dan jinayat tetap

dilaksanakan khusus terhadap perkara-perkara yang terdakwanya

sedang ditahan dan penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi

selama masa pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan

Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya.

b. Persidangan perkara pidana , pidana militer dan jinayat terhadap

Terdakwa yang secara hukum penahanannya masih beralasan untuk

dapat diperpanjang, ditunda sampai dengan berakhirnya masa

pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan Mahkamah Agung

dan Badan Peradilan dibawahnya. Penundaan sidang dapat dilakukan

oleh Hakim Tunggal.

c. Terhadap perkara-perkara yang dibatasi jangka waktu

pemeriksaannya oleh ketentuan perundang-undangan, Hakim dapat

menunda pemeriksaannya walaupun melampaui tenggang waktu

pemeriksaan yang dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan

dengan perintah kepada Panitera Pengganti agar mencatat dalam

34
Berita Acara Sidang adanya keadaan luar biasa berdasarkan surat

edaran ini.

d. Dalam hal terdapat perkara-perkara yang tetap harus disidangkan ,

maka :

1. Penundaan persidangan dan pembatasan pengunjung sidang

merupakan kewenangan majelis Hakim untuk menentukan.

2. Majelis hakim dapat membatasi jumlah dan jarak aman antar

pengunjung sidang (socialdistancing).

3. Majelis hakim dapat memerintahkan pendeteksian suhu badan

serta melarang kontak fisik seperti bersalaman bagi pihak-pihak

yang akan hadir ataupun dihadirkan dipersidangan.

4. Majelis hakim maupun pihak-pihak dalam persidangan dapat

menggunakan alat pelindung berupa masker dan sarung tangan

medis sesuai dengan kondisi dan situasi persidangan.

e. Pencari keadilan dianjurkan untuk memanfaatkan aplikasi e-litigation

untuk persidangan perkara perdata, perdata agama dan tata usaha

negara.

3. Seluruh penyelenggaraan tatap muka yang menghadirkan banyak peserta

termasuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan ( diklat) agar di tunda

atau dibatalkan.

4. Penyelenggaraan pendidikan , pelatihan dan orientasi dilaksanakan melalui

pembelajaran jarak jauh (e-learning) dengan mengoptimalkan

pemanfaatan sarana teknologi informasi.

35
5. Apabila berdasarkan urgensi yang sangat tinggi harus diselenggarakan

rapat dan/ atau kegiatan lainnya di kantor , agar memperhatikan jarak

aman antar peserta rapat (socialdistancing) .

6. Dalam hal pemerintah pusat mengumumkan karantina menyeluruh terkait

COVID-19 (COVID-19 lockdown) baik untuk daeah-daerah tertentu

maupun secara nasional, maka Mahkamah Agung dan Badan Peradilan

dibawahnya akan menyesuaikan.

7. Bagi Hakim dan Aparatur Peradilan yang telah melakukan perjalanan ke

negara yang terjangkit COVID-19 atau yang pernah berinteraksi dengan

penderita terkonfirmasi COVID -19 agar segera menghubungi Hotline

Centre Coronamelalui Nomor telepon 119 (ext) 9 dan/atau Halo Kemkes

pada Nomor 1500567

8. Pimpinan satuan kerja dapat menetapkan pengaturan lebih teknis yang

diperlukan terkait surat edaran ini dengan mengutamakan faktor kesehatan,

keselamatan dan melaporkannya kepada atasan langsung masing-masing

serta berkoordinasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian Mahkamah

Agung.

36
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris ialah metode penelitian

yang condong bersifat kualitatif, berdasarkan data primer. Metode ini

dimaksudkan untuk melihat kenyataan secara langsung yang terjadi dalam

masyarakat, khususnya pada pelaksanaan persidangan perkara pidana pada

Pengadilan Negeri Tuban.23

B. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis adalah

pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat.

Pendekatan sosiologi hukum merupakan pendekatan yang digunakan untuk

melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam masyarakat, dan

berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi

temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan hukum. 24

Pendekatan yuridis sosiologis adalah menekankan penelitian yang bertujuan

memperoleh pengetahuan hukum secara empiris dengan jalan terjun langsung

ke objeknya yaitu mengetahui secara langsung persidangan secara

teleconference pada masa pandemi covud-19 di Pengadilan Negeri Tuban.

23
Peter, Mahmud Marzuki, 2008. Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana
24
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 105.

37
C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini bertempat di Kantor Pengadilan Negeri Tuban

yaitu ada di Jalan Veteran Nomor 08 Tuban, dengan saat ini dipimpin oleh

Bpk. Fathul Mujib, SH., MH. Selaku Ketua Pengadilan Negeri Tuban.

Pengadilan Negeri Tuban tergolong Pengadilan Kelas I B karena jumlah

volume perkara yang masuk kategori 1-2000 perkara. Pada saat ini

dikarenakan adanya pandemi pada bulan Maret sehinga proses persidangan

perkara pidana dilakukan secara daring atau melalui teleconference yang

dimulai sejak bulan April 2020 sampai dengan sekarang dan pelaksanaan

persidangan perkara pidana sejak bulan April 2020 tersebut sampai dengan

sekarang sudah mencapai 165 perkara.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek / subyek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi,

populasi bukan hanya orang, tapi juga benda-benda alam yang yang lain.

Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang

dipelajari tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh

subyek/obyek itu, Populasi dalam penelitian ini adalah Panitera Muda

Pidana Pengadilan Negeri Tuban dan Perkara Pidana yang disidangkan di

Pengadilan Negeri Tuban sebanyak 165 perkara yang masuk pada saat

pandemi dan sudah di selesaikan dengan sidang teleconference sebanyak

165 perkara pada bulan April 2020 sampai dengan oktober 2020.

38
2. Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik “purposive sampling”.

Purposive sampling adalah tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan

tertentu,25 atau dengan kata lain tehnik ini diartikan sebagai suatu proses

pengambilan sampel dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel

yang hendak diambil, kemudian pemilihan sampel dilakukan berdasarkan

tujuan-tujuan tertentu asalkan tidak menyimpang dari ciri-ciri sampel yang

ditetapkan. Di dalam penelitian ini penulis meneliti 4(empat) jenis perkara

dari perkara yang masuk sebanyak 165 perkara dari bulan april sampai

september.

E. Jenis dan Sumber Data

Sumber Data adalah segala materi yang menjadi objek penelitian yang

terdiri dari hukum primer dan sekunder. Bahan hukum Primer adalah bahan

yang bersifat mengikat, otoritatif berupa peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi dan perjanjian. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum

yang menjelaskan bahan hukum primer yang terdiri dari penjelasan bahan

perundang-undangan, naskah akademik, doktrin dn pendapat para ahli.

Adapun sumber bahan hukum yang akan dipakai dalam penelitian ini

yakni ;

1. Sumber Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

sumber pertama yang terkait dengan permasalahan yang akan

25
Sugiono, “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif”, Bandung: alfabeta, 2008, hal-85

39
dibahas26. Sumber data diperoleh secara langsung dengan wawancara

kepada:

a. Ketua Pengadilan Negeri Tuban yaitu Bapak Fathul Mujib.SH.MH.

selaku Hakim Ketua pada saat persidangan teleconference.

b. Humas Pengadilan Negeri Tuban yaitu Bapak Donovan Akbar K.B.

SH.MH

c. Panitera Pengadilan Negeri Tuban yaitu Bapak H. Sumargi SH.

MH.

2. Sumber Data sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa peraturan

perundang-undangan meliputi peraturan yang dibuat oleh Mahkamah

Agung republik Indonesia yakni Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2

Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

2020 Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran

Corona Virus Disesae (covid-19), Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana Ataupun peraturan hukum lainnya.

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier dalam penelitian ini meliputi buku-buku dan

literatur-literatur terkait dengan hukum acara pidana khusunya yang terkait

dengan judul penelitian penulis. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini

akan memberikan informasi lebih lanjut tentang bahan hukum primer dan

tersier berupa data statistik. Sedangkan data primer penelitian ini diperoleh

26
Amiruddin, Pengantar Metode Penilitian Hukum, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada:2006)hlm.30

40
dari penetian empiris dengan melakukan wawancara dengan informasi

terpilih

F. Teknik Pengumpulan Data

Pada bagian ini peneliti mendapatkan data yang akurat dan otentik

karena dilakukan dengan mengumpulkan sumber data baik data primer dan

sekunder, yang disesuaikan dengan pendekatan penelitian. Teknik

pengumpulan data primer dan data sekunder yang digunakan adalah :

1. Wawancara Langsung

Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka, ketika

seseoang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah

penelitian kepada responden.

Wawancara langsung dalam pengumpulan fakta sosial sebagai kajian ilmu

hukum empiris, dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung dimana

semua pertanyaan disusun secara sistematis, jelas dan terarah sesuai dengan

isu hukum yang diangkat dalam penelitian. Wawancara dilakukan untu

memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan yaitu

mendapatkan informasi yang akurat dari narasumber yang berkompeten.

Adapun pengelolahan data di telusuri dan diperoleh melalui :

a. Wawancara langsung kepada :

1) Ketua Pengadilan Negeri Tuban yaitu Bapak Fathul Mujib.SH.MH

selaku Hakim Ketua pada saat persidangan teleconference.

2) Humas Pengadilan Negeri Tuban yaitu Bapak Donovan Akbar K.B.

SH.MH

41
3) Panitera Pengadilan Negeri Tuban yaitu Bapak Sumargi SH.MH.

b. Observasi langsung di lokasi penelitian yaitu di Kantor Pengadilan

Negeri Tuban

2. Studi Dokumentasi

Teknik dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang

berwujud sumber data tertulis atau gambar. Sumber data tertulis atau

gambar berbentuk dokumen resmi, buku, majalah, arsip, dokumen

pribadi dan foto yang terkait dengan permasalahan penelitian.27

G. Analisis Data

Setelah data sekunder diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan

substansinya di analisis secara kualitatif untuk memperoleh gambaran tentang

pokok permasalahan dengan mempergunakan metode berfikir deduktif.

Sedangkan data primer dikelompokkan berdasrkan variabel penelitian dan

selanjutnya dianalisis secara kualitatif sehingga diperoleh gambaran yang jelas

tentang pokok permasalahan. Dengan demikian, kegiatan Analisis ini

diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan sesuai dengan pemasalahan dan

tujuan penelitian serta dipresentasikan dalam bentuk deskriptif, yaitu dengan

menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan Permasalahan

yang diteliti dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang

merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

27
Sudarto , Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002) hlm 71

42
BAB IV

PERSIDANGAN PIDANA MELALUI TELECONFERENCE ATAS DASAR

SEMA NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN

TUGAS SELAMA MASA PENCEGAHAN PENYEBARAN CORONA

VIRUS DISESAE (COVID-19) DI PENGADILAN NEGERI TUBAN

A. Proses persidangan melalui teleconference pada Pengadilan Negeri

Tuban berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1

Tahun 2020 tentang pedoman pelaksanaan tugas selama masa

pencegahan penyebaran Corona Virus Disease (Covid -19)

1. Sterilisasi ruangan dan pengunjung sidang

Di Pengadilan Negeri Tuban didalam melakukan pencegahan khususnya

melalui sterilisasi ruang sidang dilakukan dengan penyemprotan ruang

sidang dengan desinfektan. Selanjutnya bagi pengunjung sidang baik itu

bagi penonton maupun orang-orang yang akan menjadi Saksi dalam suatu

perkara dilakukan pembatasan jumlah pengunjung. Selain itu setiap

pengunjung juga diwajibkan memakai masker serta dilakukan gunshot

suhu tubuh serta pemberian handsanitaizer untuk mencuci tangan mereka

terlebih dahulu. Setelah memenuhi persyaratan tersebut barulah

pengunjung diperbolehkan memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri

Tuban. Protokol covid-19 ini juga berlaku bagi Hakim, Penuntut Umum,

Penasehat Hukum ataupun pihak lainnya yang bersangkutan.

43
2. Pra persidangan

Sebelum persidangan pidana secara elektronik dilaksanakan maka

Panitera Pengganti dibantu oleh Staff IT Pengadilan Negeri Tuban

melakukan pengecekan tentang kesiapan peserta dan sarana persidangan

dan melaporkan kepada Majelis Hakim. Adapun sarana yang diperlukan

untuk melaksanakan persidangan elektronik yakni laptop yang memadai,

baik laptop diruang persidangan maupun milik Penuntut Umum dan yang

terdapat di Rumah Tahanan (Rutan) tempat Terdakwa ditahan. Selain itu

agar persidangan elektronik berjalan dengan lancar maka diperlukan suatu

jaringan internet yang stabil. Tidak kala pentingnya komunikasi yang

intensif antara Pengadilan Negeri Tuban, Lapas Tuban dan Kejaksaan

Negeri Tuban juga harus dilaksanakan agar tidak terjadi komunikasi yang

kemudian dapat merugikan hak-hak Terdakwa.

Adapun sarana dan prasarana yang digunakan meliputi agar

persidangan pidana melalui teleconference di Pengadilan Negeri Tuban ini

berjalan yakni:

a. Laptop/komputer

Laptop merupakan salah satu sarana penting yang wajiblah tersedia

agar dapat melaksanakan sidang pidana teleconference pada

Pengadilan Negeri Tuban. Adapun laptop yang dibutuhkan yakni

memenuhi spesifikasi untuk digunakan seperti memenuhi persyaratan

spesifikasi cukup tinggi, kamera depan memiliki kemampuan yang

jernih dan jelas. Sedangkan untuk soundspeaker diperlukan untuk

mendengarkan suara yang jelas dan jernih juga. Jumlah laptop yang

44
diperlukan untuk dipakai pada ruang sidang Pengadilan Negeri Tuban

yakni sebanyak lebih kurang 4 unit laptop dengan rincian 3 unit untuk

majelis Hakim, 1 unit untuk Panitera Pengganti dan 1 unit di pasang

ditengah-tengah ruang sidang. Sedangkan jika nantinya Penuntut

Umum ataupun Penasehat Hukum berada diruang sidang maka

haruslah membawa perangkat laptop sendiri.

b. Apilkasi Zoom

Adapun aplikasi yang digunakan untuk melaksanakan persidangan

pidana teleconference ini yakni aplikasi zoom. Zoom merupakan

aplikasi komunikasi dengan menggunakan video. Aplikasi tersebut

dapat digunakan dalam berbagai perangkat seluler, desktop, hingga

telepon dan sistem ruang. Pada umumnya, para pengguna

menggunakan aplikasi ini untuk melakukan meeting hingga konferensi

video dan audio.28 Namun penggunaan aplikasi daring haruslah

medapatkan persetujuan antara pihak seperti Antara Pengadilan Negeri

Tuban, Kejaksaan Negeri Tuban dan Lapas Tuban telah menyetujui

penggunaan aplikasi zoom untuk melaksanakan sidang pidana melalui

teleconference. Namun setiap aplikasi mempunyai kekurangan dan

penggunaan aplikasi zoom ini haruslah diawasi penggunaanya

sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab.

c. Layar dan projektor


28
https://tirto.id/mengenal-aplikasi-meeting-zoom-fitur-dan-cara-menggunakannya-eGF7

45
Selain laptop alat yang digunakan adalah Layar dan projektor.

Meskipun sarana ini hanyalah sebagai pelengkap namun alat ini

berfungsi sebagai pemantau keseluruhan siaran didalam ruang sidang.

Jadi nantinya baik Majelis Hakim, Penuntut Umum ataupun Penasehat

Hukum dapat melihat kelayar besar melalui projektor

d. Microphone

Perlengkapan ini dipakai agar pada saat persidangan suara dari

Penuntut Umum atau Penasehat Hukum Terdakwa maupun Majelis

Hakim lebih terdengar oleh Terdakwa pada saat melakukan sidang

teleconference melalui aplikasi Zoom.

Pada Pengadilan Negeri Tuban masing-masing pihak yakni Hakim,

Penuntut Umum ataupun Terdakwa berada dikantornya masing-masing

yaitu Hakim beserta Panitera Pengganti berada diruang sidang layaknya

pada sidang pidana pada umumnya, Penuntut Umum berada dikantor

Kejaksaan Negeri Tuban dengan menggunakan ruangan yang

diperuntukan untuk persidangan teleconference sedangkan Terdakwa tetap

berada di dalam rumah tahanan dengan menggunakan ruang khusus untuk

sidang teleconference ataupun ruang lainnya tergantung dengan kondisi.

3. Persidangan

Setelah dirasakan cukup dilakukan persiapan pra sidang maka

untuk menghemat waktu sidang haruslah dimulai. Pertama kali memulai

sidang Majelis Hakim dengan dibantu oleh Panitera Pengganti memastikan

Para Pihak yakni Penuntut Umum dan Terdakwa/Penasehat Hukumnya

hadir baik secara fisik dan hadir dalam aplikasi zoom.

46
Ketua Majelis akan meminta kepada petugas Kejaksaan yang

berada di Lapas untuk masuk kedalamapikasi Zoom. Kemudian Ketua

Majelis Hakim akan memastikan terlebih dahulu bahwa Terdakwa dapat

melihat dan mendengar dengan baik melalui aplikasi zoom mengenai apa

yang dikatakan dan dilakukan Majelis Hakim diruang sidang.

Didalam perkara pidana maka sesuai dengan hukum acara pidana

pada umumnya meliputi:

a. Sidang pertama sekaligus pembacaan surat dakwaan;

b. Eksepsi dan jawaban Terdakwa/Penasehat Hukum;

c. Tanggapan Penuntut Umum atas Eksepsi Terdakwa/Penasehat Hukum;

d. Putusan Sela;

e. Pemeriksaan alat bukti dan Saksi;

f. Tuntutan Penuntut Umum;

g. Pembelaan/Pledoi Terdakwa/Penasehat Hukum;

h. Replik;

i. Duplik;

j. Putusan Akhir;

a. Sidang pertama dan Pembacaan Dakwaan

Dalam sidang pertama sesuai dengan hukum acara pidana maka

Majelis Hakim membuka sidang dan menyatakan bahwa sidang

terbuka untuk umum (kecuali perkara kesusilaan). Setelah itu

Penuntut Umum diperintah oleh Majelis Hakim untuk berada masuk

keaplikasi Zoom, pada prakteknya Terdakwa telah siap didepan

47
aplikasi sebelum dibukanya sidang. Selanjutnya Terdakwa akan

ditanyakan mengenai identitas dirinya dan Terdakwa diperintahkan

untuk menjawab apakah identitas tersebut sudah benar atau belum.

Selanjutnya Majelis Hakim menanyakan apakah Terdakwa

dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan siap untuk mengikuti

sidang dan barulah kemudian menanyakan mengenai apakah

Terdakwa didampingi Penasehat Hukum atau tidak dan jika hal

tersebut semisal diancam dengan pidana penjara lima tahun atau

lebih/pasal 56 KUHAP ayat (1) maka Ketua Majelis akan langsung

menunjuk Penasehat Hukumnya. Jika pada saat itu Terdakwa telah

didampingi Penasehat Hukumnya maka Penasehat Hukum dapat

mendampingi Terdakwa di Lapas atau agar lebih praktis dan efesien

maka Penasehat Hukum pada saat sidang pertama akan berada di

Ruang Sidang bersama Majelis Hakim dan hal tersebut tetap

mengikuti protokoler Covid-19. Hal tersebut guna memudahkan

dimana nantinya Penasehat hukum yang ditunjuk oleh Terdakwa

untuk menunjukan surat penunjukan Penasehat Hukumnya kepada

Majelis Hakim dan secara logika Penuntut Umum harusnya juga

berada di ruang sidang.

Kemudian menanyakan kepada Terdakwa/ Penasehat

hukumnya telah menerima salinan surat dakwaan dari Penuntut

Umum. Pada prakteknya Terdakwa akan merasa bingung mengenai

apa yang dimaksud surat dakwaan dan tindakan yang diambil oleh

Majelis Hakim yakni dengan menunjukan bentuk suratnya kepada

48
terdakwa melalui aplikasi Zoom dengan mendekati ke kamera laptop

dan dengan demikian biasanya Terdakwa mengerti sehingga surat

dakwaan dapat dibacakan oleh Penuntut Umum. Selanjutnya Majelis

Hakim menanyakan kepada kepada Terdakwa apakah telah mengerti

dengan isi surat dakwaan Penuntut Umum. Jika Terdakwa belum juga

mengerti maka pada Prakteknya Ketua Majelis akan menjelaskan

secara subtansi saja perihal surat dakwaan.

Selanjutnya Majelis Hakim akan menanyakan kepada

Terdakwa/Penasehat Hukum apakah ada Eksepsi/Jawaban terhadap

surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum. Untuk hal seperti

ini jika Terdakwa tidak didampingi oleh Penasehat hukum maka akan

ditanyakan langsung sikapnya. Berbeda halnya jika Terdakwa telah

didampingi oleh Penasehat hukum yang telah ditunjuknya maka

terdapat 2 kemungkinan cara yakni jika Penasehat Hukum

mendampingi Terdakwa dilapas maka Terdakwa dapat berkonsultasi

secara kontak dan menyatakan sikapnya. Namun apabila Penasehat

Hukum Terdakwa berada terpisah dengan Terdakwa yakni berada di

ruang sidang Pengadilan sedangkan Terdakwa di Lapas maka

Terdakwa dapat berkonsultasi melalui teleconference dengan melihat

ke layar projektor untuk segera menentukan sikapnya.

Setelah itu bilamana Terdakwa/Penasehat Hukumnya

menyatakan Eksepsi ataupun tidak maka Majelis Hakim menentukan

hari sidang selanjutnya dan sekaligus membuat agenda sidang dan

menutup persidangan seperti pada sidang umumnya.

49
b. Sidang pembacaan Eksepsi, keberatan Penunutut Umum,

Tuntutan, Pledoi, replik dan Duplik.

Pada dasarnya tahapan sidang berupa pembacaan Eksepsi,

keberatan Penunutut Umum, Tuntutan, Pledoi, replik dan Duplik

melalui telenconference memiliki kesamaan maka dari itu Penulis

menggabungkan kesemua tersebut didalam satu pembahasan agar

lebih efektif dan memudahkan pembaca dalam memahami penelitian

hukum ini.

Pada sidang dengan agenda ini seperti sidang biasanya maka

Majelis Hakim membuka sidang sesuai dengan hukum acara pidana

yang berlaku. Selanjutnya Majelis Hakim menanyakan apakah

Terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan siap untuk

mengikuti sidang. Kemudian sebelum Para Pihak membacakan

Eksepsi, tanggapan, Tuntutan, Pledoi ataupun Duplik Majelis Hakim

memastikan bahwa Terdakwa/Penasehat Hukumnya yang berada di

Lapas/Rutan dapat melihat dan mendengarkan dengan baik yang

terjadi diruang sidang. Setelah hal tersebut dilakukan maka barulah

Majelis Hakim memerintahkan Para Pihak membacakan surat yang

bersangkutan sesuai dengan agenda sidangnya.

Dalam prakteknya pada saat persidangan jika Terdakwa yang

berada didalamLapas/Rutan tidak memakai/didampingi oleh

Penasehat maka Penuntut Umum tetap berada di Kejaksaan Negeri

sehingga tidak terdapat agenda Eksepsi, Tanggapan, Pledoi, Replik

dan Duplik. Namun jika Terdakwa yang berada didalamLapas/Rutan

50
memakai/didampingi oleh Penasehat Hukum maka Penuntut Umum

berada di Ruang sidang Pengadilan Negeri sehingga dalam

persidangan ini biasanya terdapat agenda Eksepsi, tanggapan, Pledoi,

Replik dan Duplik.

Jika pada waktu itu merupakan agenda sidang berupa

Tanggapan ataupun Duplik dari Penuntut Umum maka setelah

dibacakan salinan surat tersebut haruslah diserahkan kepada Majelis

hakim dan Terdakwa dengan diwakili oleh Penasehat Hukumnya yang

berada diruang persidangan. Sebaliknya jika terdapat agenda sidang

Eksepsi, Pledoi ataupun Duplik dari Terdakwa/Penasehat Hukumnya

maka dilakukan hal yang sama seperti Penuntut Umum sebelumnya.

Maka setelah itu sidang pidana teleconference ditutup sesuai dengan

sidang pidana menurut hukum acara.

c. Sidang pembacaan putusan sela dan putusan akhir

Pada sidang dengan agenda ini seperti sidang biasanya maka

Majelis Hakim membuka sidang sesuai dengan hukum acara pidana

yang berlaku. Selanjutnya Majelis Hakim menanyakan apakah

Terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan siap untuk

mengikuti sidang. Kemudian Majelis Hakim akan menjelaskan terkait

bahwa pada hari ini merupakan agenda pembacaan putusan sela oleh

Majelis Hakim dan meminta kepada Terdakwa/Penasehat Hukumnya

serta Penuntut Umum untuk mendengarkan secara seksama putusan

sela tersebut. Kemudian Majelis Hakim membacakan putusan sela dan

setelah itu menjelaskan sedikit mengenai isi putusan tersebut dan

51
menerangkan hak-hak dari Penuntut Umum atau Terdakwa/Penasehat

Hukum terkait putusan tersebut. Lalu sebagaimana biasanya Majelis

Hakim menutup sidang dan memerintahkan kepada Penuntut Umum

agar Terdakwa kembali kedalam Tahanan dan hadir kembali

sebagaimana agenda sidang yang telah ditentukan sebelumnya.

Sementara untuk pembacaan putusan akhir untuk pembukaan

sidang tahapannya hampir sama dengan pembacaan putusan sela,

hanya mengenai penjelasan dari hak-hak Terdakwa saja yang agak

berbeda bagi terdakwa dan Penuntut Umum yakni hak untuk

menerima putusan, upaya hukum ataupun pikir-pikir.

d. Sidang pemeriksaan alat bukti dan saksi

Didalam pemeriksaan alat bukti sidang pidana melalui

teleconference pada Pengadilan Tuban tetap dilakukan dengan

menunjukan alat bukti yang diajukan oleh penuntut Umum ke

persidangan dengan cara Hakim menunjukan alat bukti yang

bersangkutan kepada Terdakwa melalui aplikasi zoom dan jika

terdapat Penasehat Hukumnya diruang sidang maka sekalian

ditunjukan juga. Sebaliknya jika Terdakwa atau Penasehat Hukumnya

mengajukan alat buktinya maka dilakukan dengan cara yang sama.

Sementara itu, untuk pemeriksaan Saksi pada Pengadilan Negeri

Tuban dibagi kedalam 2 cara pemeriksaan yakni pemeriksaan

terhadap Saksi biasa dan pemeriksaan terhadap Saksi yang sekaligus

Terdakwa dalam perkara lain. Untuk pemeriksaan terhadap Saksi

biasa dilakukan dengan cara Saksi ini biasa pada saat sebelum sidang

52
dimulai sudah berada didalam ruangan sidang atau bisa juga berada di

Kejaksaan Negeri, Pada Pengadilan Negeri Tuban kedua hal ini telah

dilakukan yang mana penyebabnya tergantung dengan kondisi pada

saat itu. Namun agar lebih efektif biasanya Saksi langsung dihadirkan

di ruang sidang bersama Penuntut Umum. Menurut Hukum Acaranya,

Saksi awalnya diminta untuk duduk didepan dan diperintahkan

menyerahkan Identitas diri guna disamakan dengan berita acara

Penyidik. Jika Saksi pada saat itu berada diKejaksaan maka cukup

dengan menunjukan di layar Zoom kepada Majelis Hakim.

Sedangkan untuk Saksi yang sekaligus menjadi Terdakwa dalam

perkara lain yang pada saat itu berada di Lapas/Rutan, Majelis Hakim

cukup menanyakan namanya saja tanpa menanyakan identitas

lengkapnya. Untuk pertanyaan lainnya seperti hubungan Saksi baik itu

mengenai hubungan keluarga ataupun kerja ditanyakan dengan tata

cara yang sama.

Didalam tata cara penyumpahan terhadap Saksi, bagi Saksi yang

berada diruang sidang Pengadilan Negeri Tuban maka Saksi disumpah

seperti biasa yang dibantu oleh Juru Sumpah Pengadilan. Sedangkan

untuk Saksi yang berada di Kejaksaan Negeri ataupun Lapas/Rutan

maka Juru Sumpah dapat dibantu dan digantikan dengan petugas yang

berada disana.

Terhadap Saksi yang juga sekaligus sebagai terdakwa dalam

perkara lain biasanya berada 1 layar zoom yang sama dengan

Terdakwa. Sebelum disumpah dalam prakteknya Terdakwa

53
disingkirkan terlebih dahulu dari layar zoom sejenak dan setelah

disumpah maka Terdakwa di kembalikan kedalam 1 layar zoom yang

sama kembali.

Selanjutnya adalah menanyakan pertanyaan terkait perkara

kepada Saksi .Untuk melakukan pertanyaan ini biasanya Hakim,

Penuntut Umum ataupun Penasehat hukum mengeluarkan volume

yang agak keras agar keterangannya dapat didengar oleh semua pihak.

Jika terdapat barang bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum, jika

Penuntut Umum berada diruang persidangan maka dapat ditunjukan

langsung kepada Majelis Hakim dan langsung dikonfirmasi kepada

Terdakwa. Namun jika Penuntut Umum berada di Kejaksaan Negeri

maka Penuntut Umum akan menunjukan barang bukti melalui

teleconferencezoom dan mengkonfirmasinya kepada Terdakwa.

Sebaliknya jika Terdakwa menghadirkan Saksi meringankan

bagi Terdakwa maka dilakukan dengan hal sama seperti sebelumnya

terhadap Saksi dari Penuntut Umum. Jika Terdakwa tidak ada

Penasehat Hukum dan terdapat bukti surat yang akan diajukan, untuk

mempermudah proses biasanya bukti surat dibawa oleh keluarga

Terdakwa di ruang sidang Pengadilan untuk kemudian diberikan

kepada Majelis Hakim dan langsung dikonfirmasi oleh Terdakwa

yang berada di aplikasi Zoom.

4. Kelebihan dan kelemahan persidangan pidana melalui teleconference

Setiap pemakaian perangkat digital dalam setiap bidang pelayanan

publik tentunya terdapat kelemahan dan kelebihan begitu juga dengan

54
persidangan pidana melalui teleconference pada Pengadilan Negeri Tuban.

Adapun kelebihan yang didapat dari persidangan dengan cara seperti ini

yakni keamanan Terdakwa lebih terjamin, dalam hal ini keamanan

Terdakwa terinfeksinya dari virus covid-19. Namun selain terdapat

kelebihan banyak juga kelemahan yang didapat dari persidangan jenis ini

yakni:

a. Memerlukan persiapan Fasilitas sehingga membutuhkan anggaran;

b. Seringnya terjadi gangguan jaringan internet pada saat persidangan

sehingga membuang banyak waktu;

c. Keadaan lampu mati akan mengakibatkan terhambatnya proses

persidangan;

d. Aura kesakralan persidangan berkurang;

e. Hakim susah menilai perilaku Terdakwa dan Saksi dalam persidangan

yang dijadikan rujukan kebenaran keterangannya;

f. Seringnya Terdakwa menyepelekan proses persidangan dikarenakan

secara psikis Terdakwa tidak merasakan proses persidangan;

B. Persidangan pidana melalui teleconference berdasarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang pedoman

pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Corona Virus

55
Disease (Covid -19) dikaitkan dengan Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)

Persidangan pidana melalui teleconference yang memiliki landasan hukum

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang pedoman

pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Corona Virus Disease

(Covid -19) serta peraturan lain yang mendasari merupakan kebijakan yang

diambil untuk mengatasi permasalahan persidangan di keadaan penyebaran

covid-19 di Indonesia pada saat ini. Meskipun demikian, mengenai

persidangan pidana pada dasarnya telah diatur didalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana atau biasa disebut KUHAP.

Memang terdapat beberapa pengaturan yang diubah dalam hukum acara

pidana untuk menyesuaikan dengan keadaan pada saat sekarang ini dan

apakah perubahan hukum acara ini tidak bertentangan dengan KUHAP atau

tidak. Adapun yang hal-hal yang dilangkahi dalam hukum acara pidana yakni:

1. Kehadiran Terdakwa dimuka Persidangan

Pemanggilan terdakwa dalam persidangan memiliki keterkaitan dengan

pentingnya kehadiran terdakwa untuk proses pemeriksaan perkara.

Sebelumnya, pemanggilan terdakwa secara sah untuk hadir di

persidangan dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 145 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):

a. Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara

sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di

alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak

diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir;

56
b. Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat

kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa

yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat

kediaman terakhir;

c. Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan

kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara;

d. Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh

orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda

penerimaan;

e. Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak

dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di

gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.29

Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan pemanggilan

adalah penuntut umum. Hal ini dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal

146 ayat (1) KUHAP:

“Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang

memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil

yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya

tiga hari sebelum sidang dimulai”30

Kemudian Pasal 154 KUHAP menyatakan:

a. Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil

masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan

bebas;

29
Pasal 145 KUHAP
30
Pasal 146 ayat (1) KUHAP

57
b. Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak

hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang

meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah;

c. Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang

menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil

lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya;

d. Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang

di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak

dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar

terdakwa dipanggil sekali lagi;

e. Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak

semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap

terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan;

f. Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir

tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua

kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya;

g. Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat dan ayat (6) dan

menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.31

Berdasarkan data di lapangan untuk penetapan-penetapan dari

majelis hakim baik itu penetapan hari sidang pertama serta penetepan

penahanan dari majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tuban telah

diserahkan kepada Penuntut Umum serta Terdakwa yang berada dalam

tahanan oleh Jurusita Pengganti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


31
Pasal 154 KUHAP

58
Selanjutnya Penuntut Umumlah yang memiliki kewenangan untuk

menghadirkan Terdakwa dalam persidangan. Dalam persidangan perkara

pidana secara Teleconference Penuntut Umum tidak menghadirkan

Terdakwa keruang sidang Pengadilan Negeri Tuban namun

mempersiapkan Terdakwa di tempat yang telah di sediakan, dalam hal ini

untuk sidang pidana Terdakwa disiapkan di ruang yang telah diatur

sedemekian rupa oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan sehingga

memenuhi syarat agar bisa dilakukan sidang secara teleconference

(melalui media secara jarak jauh) agar terdakwa, penuntut umum serta

majelis hakim bisa saling bertatap muka.

Berdasarkan hal tersebut penulis berpendapat bahwa Kehadiran

yang dimaksud dalam artian bahwa Terdakwa hadir secara pisik/raga

didalam ruang sidang. Namun jika kita memakai sidang pidana secara

teleconference maka secara prakteknya kehadiran Terdakwa hanya

diwakilkan secara digital didalam monitor. Meskipun demikian Terdakwa

tidak hadir secara pisik namun dapat dianggap telah hadir

2. Terdakwa Dalam Keadaan Bebas Saat Sidang

Pada Pasal 154 ayat 1 menyatakan “Hakim ketua sidang

memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam

tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas”32

Mengenai pengertian dalam keadaan bebas ini, tidak terdapat

satupun peraturan hukum yang memberikan pengertian secara lengkap.

Namun dalam prakteknya dalam sidang pidana pada saat Terdakwa

memasuki ruang sidang dan duduk didepan, maka borgol yang berada
32
Pasal 154 ayat 1

59
ditangan Terdakwa dilepas oleh Petugas dan ada juga yang melepaskan

rompi tahanan pada Terdakwa.

Dalam pelaksanaan sidang pidana secara teleconference Terdakwa

duduk ditempat yang telah disiapkan serta menghadap ke kamera dan

mengenakan rompi yang telah disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan

serta dalam keadaan bebas (tangan tidak memakai borgol tangan)

sehingga terdakwa dapat memegang microfon yang ada didepannya dan

menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dan Majelis

Hakim.

Menurut penulis pelaksanaan sidang teleconference tidak

bertentangan dengan KUHAP berkaitan dengan keadaan bebas terdakwa

saat menghadap keruang sidang. Karena berdasarkan data yang ada

terdakwa telah tampak bebas sebab tidak memakai borgol tangan serta

bisa dengan leluasa menjawab setiap pertanyaan dari Penuntut Umum dan

Majelis hakim. Hal ini tampak dari tampilan monitor yang ada. Karena

untuk definisi kata bebas sendiri disni masih menjadi hal yang perlu diatur

nantinya.

3. Terdakwa dipersidangan dalam keadaan sehat

Untuk pertama kalinya dalam suatu persidangan pidana maka

Hakim akan menanyakan apakah Terdakwa dalam keadaan sehat atau

tidak. Hal ini agar memberikan Hak-hak Terdakwa meskipun seseorang

menjadi terdakwa namun dia tetap harus mendapatkan haknya sebagai

warga negara yakni berhak mendapatkan kesehatan. Didalam persidangan

melalui teleconference Terdakwa yang hanya terlihat melalui sebuah

60
gambar digital melalui layar komputer akan diberikan pertanyaan apakah

dalam keadaan sehat. Meskipun Terdakwa menjawab dalam keadaan

sehat namun Majelis Hakim juga memiliki hak untuk menilai kondisi

secara nyata kesehatan Terdakwa. sehingga Majelis Hakim akan sangat

susah menilai keadaan Terdakwa yang hanya diwakilkan oleh sebuah

gambar Terdakwa dan hal tersebut akan menimbulkan peradilan yang

dipaksakan agar cepat selesai.

4. Juru Sumpah

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, keterangan saksi termasuk alat

bukti dalam perkara pidana. Maka pengambilan sumpah dilakukan

berdasarkan agama yang dianut oleh saksi dengan dibantu oleh

rohaniawan sebagai juru sumpah. Selanjutnya dikaitkan dengan sidang

pidana secara telenconferen yang mana Saksinya berada di Kejaksaan

Negeri, yang pada prakteknya juru sumpah ini dipakai pegawai pada

Pengadilan Negeri namun jika Saksi memberikan kesaksian biasanya juru

sumpah yang dipakai adalah pegawai Kejaksaan Negeri karena tidak

mungkin Juru sumpah yang berada di Pengadilan Negeri bersedia ke

Kejaksaan Negeri dengan melihat banyaknya proses persidangan

selanjutnya.

5. Pemberian keterangan Saksi

Pasal 185 KUHAP menegaskan “keterangan saksi sebagai alat

bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Pasal 160

menyebutkan “saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi

seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua

61
sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, Terdakwa atau

Penasihat Hukumnya”.33

Saksi dalam pengertian sehari-hari adalah mereka yang melihat

dan/atau tahu tentang suatu hal atau peristiwa. Untuk membenarkan

pernyataan yang dibuat, tidak jarang kita menyebut orang lain untuk di

tanyai kebenaran tentang hal dinyatakan tersebut apabila terdapat keragu-

raguan, atau sekedar menguatkan asumsi telah terjadi hal sebagaimana

telah dinyatakan oleh orang yang memberikan pernyataan.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana, atau yang umum disebut dengan KUHAP, saksi adalah

orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri

Pengertian saksi yang dimaksud oleh KUHAP di atas telah

“dirombak” oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor

65/PUU-VIII/2010, sehingga pemaknaan saksi dalam KUHAP, tidak

melulu tentang apa yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dan dia alami

sendiri, namun harus dimaknai pula “orang yang dapat memberikan

keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu

tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia

alami sendiri”.

Keterangan saksi termasuk sebagai alat bukti dalam hukum acara

pidana Indonesia, hal tersebut berdasarkan Pasal 184 KUHAP ayat (1),

yang dimaksud dengan Alat bukti yang sah adalah:


33
Pasal 185 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

62
a. Keterangansaksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa;

Berdasarkan Pasal tersebut, yang menjadi alat bukti dalam hukum

acara pidana Indonesia adalah keterangan saksi, bukan saksi itu sendiri.

Hal ini penting terkait apabila salah satu saksi meninggal dunia, sementara

saksi yang dapat dihadirkan misalnya hanya dua, sehingga hanya satu

saksi saja yang masih hidup, maka hal tersebut tidak sekonyong-konyong

menyebabkan alat bukti menjadi kurang. Oleh karena keterangan saksi

yang bernilai sebagai alat bukti, maka saksi melalui serangkaian

pemeriksaan (biasanya dengan pertanyaan-pertanyaan), diambil

keterangannya oleh penyidik maupun pengadilan, kemudian setelah

keterangan itu diberikan, maka saksi tidak terikat lagi dengan jalannya

acara penyidikan atau persidangan, atau dapat melanjutkan kegiatannya

masing-masing. KUHAP juga memperbolehkan penyampaian keterangan

saksi tanpa harus dilakukan di hadapan persidangan. Pasal 162 KUHAP

menyatakan “jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan

meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di siding

atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya

atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara,

maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan”.

63
Pada dasarnya, meskipun sedemikian banyak yang bersaksi dalam

pemeriksaan pembuktian, apabila keterangannya tidak berkualitas atau

tidak dapat membuat terang suatu tindak pidana, maka hal tersebut

merupakan bentuk ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, KUHAP

menyelaraskan antara kuantitas dengan kualitas dari saksi. KUHAP

menyebutkan dengan tegas pada Pasal 183, yakni Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.34 Pasal tersebut memberikan gambaran, bahwa setidaknya

ada dua alat bukti yang sah yang dapat membuktikan kesalahan dari

tersangka atau terdakwa.

Terkait dengan alat bukti keterangan saksi, batasan dua alat bukti

tersebut diperkuat lagi pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan

bahwa “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membutikan

bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

kepadanya”. Pasal 185 ayat (2) KUHAP merupakan “kristalisasi” asas

hukum unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Kesimpulannya,

KUHAP secara tegas mengharuskan setidaknya dua alat bukti yang sah

untuk menunjukkan kesalahan tersangka atau terdakwa, atau setidak-

tidaknya ada dua orang saksi yang memberikan keterangan untuk

terangnya terjadinya suatu tindak pidana. Setelah menjelaskan kuantitas

saksi dalam pembuktian suatu tindak pidana, KUHAP menjabarkan ada

hal-hal yang perlu diperhatikan terkait keterangan saksi, agar keterangan


34
Pasal 183 KUHAP

64
tersebut “berkualitas”. Adapun patokan “kualitas” dari keterangan saksi,

dapat dilihat dalam Pasal 185 KUHAP, yakni sebagai berikut:

a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di

sidang pengadilan;

b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;

c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila

disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;

d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri - sendiri tentang suatu

kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang

sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang

lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu

kejadian atau keadaan tertentu;

e. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran

saja, bukan merupakan keterangan saksi;

f. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus

dengan sungguh - sunggguh memperhatikan:

1) Persesuaian antara keterangan saksi atau satu dengan yang lain

2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

3) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi

keterangan yang tertentu;

4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu

dipercaya.

65
g. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu

dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila

keterangan itu sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat

dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Kemudian, untuk menjadi saksi, maka keadaan orang tersebut tidak

boleh bertentangan dengan aturan yang dimaksud dalam Pasal 168

KUHAP, dimana pasal tersebut tidak memperbolehkan (dan dapat

mengundurkan diri) sebagai saksi:

1) keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa.

2) saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai

derajat ketiga;

3) suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa.

Dalam pelaksanaan persidangan melalui teleconference maka seorang

saksi berada didalam ruang yang telah disiapkan oleh penuntut umum

pada kejaksaan negeri yang telah dilengkapi dengan fasilitas untuk

melakukan teleconference sehingga bisa bertatap muka dengan para

pihak, tetapi ada juga Pengadilan yang mana Saksinya berada di

Kejaksaan Negeri. Hal tersebut dengan alasan menyesuaikan dengan

keadaan diwilayah tersebut serta sesuai dengan jenis perkara yang

66
disidangkan. Misalnya untuk perkara tentang perlindungan anak dan

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mengharuskan proses

persidangan secara tertutup serta pekara dengan jumlah saksi yang banyak

atau lebih dari 8 orang biasanya majelis hakim akan menghadirkan saksi

secara langsung di Pengadilan Negeri Tuban. Namun jika seorang Saksi

diluar ruang sidang Pengadilan Negeri hal ini akan memberatkan Majelis

Hakim dalam menilai kebenaran keterangan saksi, kebenaran seorang

Saksi tidak hanya dinilai dari kata-katanya tetapi juga dinilai dari bahasa

tubuhnya sehingga disinilah kecerdasan seorang Hakim akan ditantang.

Menurut penulis pemeriksaan dalam persidangan secara

teleconference tidak bertentangan dengan KUHAP karena saksi juga telah

dihadirkan dan masuk keruang netral yang telah disiapkan penuntut

umum yang telah memenuhi standar untuk dilakukan teleconference

sehingga bisa bertatap muka serta bisa menjawab pertanyaan yang

diajukan oleh Penuntut umum, majelis hakim serta penasihat hukum

terdakwa apabila ada.

6. Pemberian Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa adalah keterangan yang diberikan oleh

terdakwa di depan persidangan tentang perbuatan yang ia laukan atau

yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.35 Keterangan terdakwa pada

prinsipnya hampir sama dengan keterangan saksi. Bedanya, kalau

keterangan saksi itu disumpah sedangkan terdakwa tidak disumpah.

Berdasarkan Pasal 52 KUHAP, terdakwa diberikan hak untuk

memberikan keterangan secara bebas. Yang artinya ketika memberikan


35
Pasal 189 Ayat 1 KUHAP

67
keterangannya terdakwa tidak boleh dipaksa atau ditekan oleh siapapun

melainkan terdakwa bebas memberikan keterangan sesuai dengan

keinginannya.36

Adanya kebebasan dalam memberikan keterangan ini tentu

memberikan hak kepada terdakwa, apakah dia akan memberikan

keterangan yang sesuai dengan apa yang terurai dalam surat Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) atau sebaliknya, atau dengan kata lain semua

tergantung kepada terdakwa apakah di persidangan dia akan mengakui

perbuatannya atau tidak.

Dalam hal terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk

menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, maka hakim

menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu persidanga dilanjutkan. 37

Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

Seandainya di dalam persidangan terdakwa langsung mengakui bahwa dia

bersalah telah melakukan suatu perbuatan pidana sebagaimana yang

didakwakan kepadanya, maka keterangan tersebut tidak bisa dijadikan

dasar oleh hakim untuk menetapkan dan kemudian menjatuhkan hukuman

kepada si terdakwa, Melainkan keterangan terdakwa tersebut harus juga

disertai dengan alat bukti yang lain misalnya keterangan saksi, surat,

dsb.38

Dalam persidanganpidana melalui teleconference, Terdakwa yang

secara pisik diluar ruang persidangan dengan hanya diwakilkan oleh

gambar yang nyata dengan keadaan yang sebenarnya dari Terdakwa

36
Pasal 52 KUHAP
37
Pasal 175 KUHAP
38
Pasal 189 Ayat 4 KUHAP

68
apakah hal demikian juga dapat dimaksud didalam persidangan. Namun

Terdakwa juga mempunyai hak untuk menyatakan keberatan jika hal

tersebut dirasa memberatkannya. Namun selain itu hal ini berkaitan

dengan penilaian akhir majelis Hakim dimana Keterangan terdakwa

sebagai salah satu alat bukti di letakan pada bagian akhir suatu proses

persidangan. Majelis Hakim tidak dapat menilai keterangan terdakwa

dengan hanya mendengar suara terdakwa tanpa melihat bahasa tubuhnya

untuk menilai keterangan tersebut jujur atau tidak.

7. Kedudukan, fungsi dan tujuan hukum acara pidana dan

keterkaitannya dengan persidangan teleconference

Menurut Prof Moeljatno Hukum Pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan

dasar-dasar dan aturan untuk :

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,

yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana

tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut

(CriminalAct).

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi

pidana sebagaimana yang telah diancamkan dalam ketentuan pidana

(CriminalLiability/ CriminalResponsibility).

Bagian ke-1 dan ke-2 masuk dalam lingkup SubstantiveCriminal

Law/Hukum Pidana Materiil. Selanjutnya untuk menentukan dengan cara

69
bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang

yang disangka telah melanggar larangan tsb kita menggunakan

CriminalProcedure / Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana yang

juga dikenal dengan hukum pidana fomil termasuk dalam hukum public.

Adapun fungsi dari hukum acara pidana yakni sebagai berikut:

a. Fungsi Penegakan Hukum Usaha untuk menciptakan tata tertib

keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat, baik merupakan

usaha penegakan maupun pemberantasan atau penindakan setelah

terjadinya pelanggaran hukum.

b. Tujuan Mencari dan Mendapatkan Kebenaran Materiil Yaitu

kebenaran yang selengkap lengkapnya dari suatu perkara pidana,

dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan

tepat, dengan tujuan mencari siapa pelakunya yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya

meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan

apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah

orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

c. Melaksanakan Putusan Pengadilan Setelah upaya hukum dilakukan

putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka

jaksa melaksanakan putusan pengadilan.

d. Tujuan Melindungi Hak Asasi Manusia Di samping bertujuan

menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, hukum acara

pidana juga bertujuan melindungi hak asasi tiap individu baik yang

menjadi korban, maupun si pelanggar hukum.

70
Tujuan hukum acara pidana seperti dikemukakan dalam Pedoman

Pelaksana KUHAP seperti dikutip di atas dapat dirumuskan menjadi tiga

fungsi menurut vanBemmelen yaitu :

f. Mencari dan menemukan kebenaran.

g. Pemberian keputusan oleh hakim.

h. Melaksanakan keputusan.

Apabila kita simak definisi hukum acara pidana sebagai diuraikan

sebelumnya, maka kita dapat mengambil suatu kesimpulan, bahwa

tujuan/fungsi hukum acara pidana adalah untuk menegakkan atau

mengkongkritkan hukum pidana materiil. Seperti contoh dikemukakan

sebelumnya, bagaimana seorang yang melakukan pencurian atau

pembunuhan dapat dijatuhkan pidana yaitu dengan melalui proses

penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan dan melaksanakan putusan

pengadilan tersebut. Dengan demikian hukum pidana dan hukum acara

pidana merupakan dua hal yang saling berkaitan dan melengkapi dalam

penanganan suatu perkara pidana sehingga kepastian dan keadilan hukum

dapat dicapai.

Maka jika dilihat dari kedudukan, fungsi dan tujuan dari hukum

acara pidana itu sendiri maka persidangan pidana melalui teleconference

pada Pengadilan Negeri Tuban telah selaras dengan hal-hal tersebut.

Meski terdapat perubahan yang sangat mencolok dalam pelaksanaanya

namun tidak melenceng dari apa yang menjadi tujuan dan fungsi hukum

acara pidana meskipun untuk mencapai kebenaran materil dalam proses

persidangan agak susah didapat oleh Hakim pemeriksa perkara .

71
8. Asas-asas hukum acara pidana dan keterkaitannya dengan

persidangan teleconference

Undang-undang Hukum Acara Pidana disusun dengan didasarkan

pada falsafah dan pandangan hidup bangsa dan dasar negara, dimana

penghormatan atas hukum menjadi sandaran dalam upaya perlindungan

terhadap setiap warga negaranya. Sejalan dengan perkembangan

pandangan bangsa ini terhadap hak asasi manusia maka materi pasal dan

ayat harus mencerminkan adanya perlindungan, pemenuhan dan

penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini tergambar dari

sejumlah hak asasi manusia yang terdapat dalam KUHAP yang pada

dasarnya juga diatur dalam dua aturan perundang-undangan lainnya yaitu

UU No. 28 tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

dan Undang-undang N0. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Disamping itu asas-asas ini juga merupakan panduan penting dalam

pelaksanaan berjalannya system peradilan pidana. Karenanya dengan

asas-asas ini mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap berjalannya

sistem ini dapat berjalan. Asas-asas hukum acara pidana yang berkaitan

langsung dengan persidangan teleconference yakni :

a. Perlakuan Yang Sama Dari Setiap Orang Dimuka Hukum Dengan

Tidak Mengadakan Perbedaan Perlakuan.

Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum

dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan dimana setiap orang.

Asas ini menjadi fundamental dalam Hak asasi. manusia karena sangat

terkait dengan persoalan diskriminasi yang merupakan dianggap

72
merupakan salah satu permasalahan HAM utama. Diskriminasi

dimaknai sebagai: “Segala bentuk perbedaan, pengecualian,

pembatasan atau pilihan yang berdasarkan pada ras, warna kulit,

keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau

pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau

pelaksanaan pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan

yang hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang lain

dari kehidupan masyarakat” Bagian I, Pasal 1 (1) Konvensi

Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial

1965 Dalam melindungi dan melayani masyarakat, penegak hukum

tidak boleh melakukan diskriminasi secara tidak sah berdasarkan ras,

gender, agama, bahasa, Wama kulit, pandangan politik, asal

kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status lainnya (UDHR, Pasal 2;

ICCPR, Pasal 2 dan 3, CERD, Pasal 2 dan 5) Dalam hal ini upaya-

upaya bagi penegak hukum untuk memberlakukan langkah-langkah

khusus tertentu yang dirancang untuk menangani status dan kebutuhan

khusus dari perempuan (termasuk perempuan hamil dan ibu yang baru

melahirkan), anak-anak, orang sakit, orang tua dan lain-lain yang

membutuhkan perlakuan khusus sesuai dengan standar hak asasi

manusia internasional (ICCPR), Pasal 10; Convention on the

Elimination of All Formsof Discrimination against Women CEDAW,

Pasal 4 (2) dan 12 (2); Convention on the Rights of the Child Pasal 37

dan Pasal 40; Standart Minimum Rulesfor The Treatmenof Prisoners,

Pasal 5,8,53,82 dan 85 (2); Bodyof Princip les for the Protection of/Sill

73
Personsunder Any Formof Detention or Imprisonment prinsip 5(2);

United Nations Standard of Minimum Rules for the Administration of

Juvenile Justice Y Peraturan Beijing - peraturan l8, Pasal 6 dan 7

UDHR, Pasal l6 ICCPR, Pasal 5 Konvensi Intemasional tentang

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial). Setiap negara

dihimbau untuk melarang dan menghapuskan segala bentuk

diskriminasi ras dan menjamin hak bagi setiap orang, tanpa melihat

ras, warna kulit, atau asal bangsa atau suku, untuk diperlakukan sama

di dalam hukum, khususnya dalam menikmati hak-hak di bawah ini:

1. Hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum, pengadilan dan

dihadapan badan-badan administrative keadilan lainnya.

2. Hak untuk rasa aman dan perlindungan dari Negara terhadap

kekerasan atau kerusakan fisik, baik yang disebabkan oleh aparatur

pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, atau lembaga tertentu.

Implementasi asas ini pada pelaksanaan sidang pidana melalui

teleconference pada Pengadilan Negeri Tuban dapat dilihat dari

pelaksanaan sidang yakni Hakim tidak membeda-bedakkan para

Terdakwa dengan tidak melihat dari fktor-faktor tertentu khususnya

dalam pandemi covid-19 yang pada dasarnya Terdakwa yang

mempunyai kedudukan, harta dan jabatan menginginkan perlakukan

yang khusus dalam pelaksanaan sidang teleconference ini.

b. Peradilan Yang Bebas, Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan

Asas ini harus ditegakkan pada semua tingkat pemeriksa dan

sangat menyangkut pada sikap mental aparat penegak hukum. Pada

74
pasal-pasal dalam KUHAP di samping ada tindakan aparat yang

dibatasi dengan jangka waktu tertentu, akan tetapi lebih banyak pasal

yang hanya menyebutkan dengan kata “ Adanya dua titik perhatian

yang penting, yaitu:

1. Adanya peradilan yang bebas dari pengaruh apapun (independent

judiciary);

2. Proses peradilan pidana harus dilakukan secara cepat dan

sederhana (speedytrial).

Kebebasan peradilan adalah titik pusat dari konsep negara hukum

yang menganut paham “ruleofIaw”, di mana hukum ditegakkan dengan

secara tidak memihak (impartial), baik terhadap tersangka/ terdakwa/

pelaku, Jaksa Penunut Umum dan korban (masyarakat). Peradilan yang

bebas tidak akan mengijinkan bahwa seseorang telah “dianggap

bersalah” sebelum adanya pembuktian yang kuat tentang hal itu, Tidak

akan mengijinkan adanya “showtrials” di mana terdakwa tidak

diberikan atau dikurangi kesempatan yang layak untuk membela diri

secara maksimal. Sehingga pembatasan Waktu persidangan dengan

mematok sekian hari, adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap

upaya hukum untuk mencari kebenaran materiil. Tidak hanya

merugikan terdakwa namun juga merugikan hakim dan terutama

adalah merugikan hukum. Adalah suatu bentuk penjelmaan “peradilan

yang sesat” apabila orang sudah dapat menduga bahwa putusan hakim

akan mempersalahkan terdakwa tanpa menghiraukan pembuktian

ataupun pembelaan. Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 1981, menyatakan :

75
“Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di

sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa”

Adapun mengenai asas sederhana, artinya dalam penanganan

suatu perkara harus cepat dan tepat, jangan bertele-tele, asas sederhana

ini dapat dilihat pada acara pemeriksa singkat dan cara pemeriksaan

cepat. Asas sederhana juga tercermin dalam hal tertangkap tangan,

pemeriksaan praperadilan, penggabungan pemeriksaan, perkara pidana

dengan tuntutan ganti rugi.

Sedangkan mengenai asas biaya ringan dapat kita lihat pada Surat

edaran MA No. KMA/155/X/1881 tanggal 19 Oktober 1981 yaitu

minimal Rp 500,00 dan maksimal Rp. 10.000,00.

Dengan adanya keadaan pada saat sekarang ini yakni Pandemi

Covid-19 seluruh bidang kehidupan menjadi terganggu khususnya

bidang ekonomi. Hal inilah yang mungkin menjadi pertimbangan juga

bahwa untuk proses persidangan Terdakwa tidak mungkinlah dapat

dihentikan karena akan menghilangkan hak-hak Terdakwa

memperoleh peradilan yang cepat.

Dalam prakteknya pada persidangan pidana melalui

teleconference pada Pengadilan Negeri Tuban asas bebas dapat dilihat

dari Hakim dalam melaksanakan persidangan tidak dapat dicampuri

kepentingan instansi lain seperti Kejaksaan dan Lapas ikut campur

namun tetap melaksanakan koordinasi sesuai dengan aturan yang

berlaku.

76
Sedangkan untuk asas cepat pada persidangan pidana melalui

teleconference pada Pengadilan Negeri Tuban tidaklah dapat

dilaksanakan karena hal ini terkait faktor-faktor teknis dan fasilitas

yang sering menghambat jalannya persidangan teleconference dan hal

ini sama dengan asas biaya ringan yang tidaklah mungkin dapat

terlaksana karena untuk persidangan secara teleconference

memerlukan fasilitas dan peralatan yang agak mahal.

9. Hubungan Tujuan Hukum: Kepastian Hukum, Kemanfaatan Dan

Keadilan dalam pelaksanaan persidangan pidana melalui

teleconference

a. Kepastian Hukum

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus

diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian

secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu

mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara

ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa

yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu

menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati

peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak

adil.

Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari

keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak

hukum yang terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya

77
sebagai penegak hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum

masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut

hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak tahu apa

yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah,

dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat

diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan jelas dalam suatu

undang-undang dan akan jelas pula penerapanya. Dengan kata lain

kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya dan objeknya

serta ancaman hukumanya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin

sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat,

tapi sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan

memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.

Adapun keterkaitan antara kepastian hukum dan pelaksanaan

sidang melalui teleconference pada Pengadilan Negeri Tuban

mempunyai erat hubungan melalui tujuan pelaksanaan sidang itu

sendiri. Pelaksanaan sidang itu sendiri yakni pada Pengadilan Negeri

Tuban adalah telah memberikan kepastian hukum bagi setiap

Terdakwa. Kepastian hukum yang dimaksud disini adalah bahwa

pelaksanaan sidang yang sesuai dengan batas waktu penyelesaian

perkara pidana yakni 4 bulan, meskipun pada saat ini pandemi covid-

19 masih belum juga mereda akan tetapi pemeriksaan terhadap

perbuatan Terdakwa haruslah berjalan tanpa terkecuali dan hal inilah

sebagai bukti bahwa pelaksanaan sidang pidana melalui

teleconference pada Pengadilan Negeri Tuban telah memberikan

78
kepastian hukum ditengah pandemi covid-19 khususnya untuk

Kabupaten Tuban yang termasuk kedalam zona merah pandemi covid-

19;

b. Keadilan Hukum

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling

banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.

Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum. Idealnya, hukum memang harus

mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya, sedapat

mungkin merupakan resultant dari ketiganya. Sekalipun demikian,

tetap ada yang berpendapat, bahwa di antara ketiga tujuan hukum

tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting,

bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan hukum

satu-satunya.

Pengertian keadilan adalah keseimbangan antara yang patut

diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa

kerugian. Dalam bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai

memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau

pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa

berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi

jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan

tidaklah ada artinya sama sekali.

Dari sekian banyak para ahli hukum telah berpendapat tentang

apa keadilan yang sesungguhnya serta dari literatur-literatur yang ada

79
dapat memberikan kita gambaran mengenai arti adil. Adil atau

keadilan adalah menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain

yang menyangkut hak dan kewajiban. Yaitu bagaimana pihak-pihak

yang saling berhubungan mempertimbangkan haknya yang kemudian

dihadapkan dengan kewjibanya. Disitulah berfungsi keadilan.

Membicarakan keadilan tidak semuda yang kita bayangkan,

karena keadilan bisa bersifat subjektif dan bisa individualistis, artinya

tidak bisa disama ratakan. Karena adil bagi si A belum tentu adil oleh

si B. Oleh karen itu untuk membahas rumusan keadilan yang lebih

komprehensif, mungkin lebih obyaktif kalau dilakukan atau dibantu

dengan pendekatan disiplin ilmu lain seperti filsafat, sosiologi dan

lain-lain. Sedangkan kata-kata “rasa keadilan” merujuk kepada

berbagai pertimbangan psikologis dan sosiologis yang terjadi kepada

pihak-pihak yang terlibat, yaitu terdakwa, korban, dan pihak lainnya.

Rasa keadilan inilah yang memberikan hak “diskresi” kepada para

penegak hukum untuk memutuskan “agak keluar” dari pasal-pasal

yang ada dalam regulasi yang menjadi landasan hukum. Ini memang

ada bahayanya, karena kewenangan ini bisa disalahgunakan oleh yang

punya kewenangan, tetapi di sisi lain kewenangan ini perlu diberikan

untuk menerapkan “rasa keadilan” tadi, karena bisa perangkat hukum

yang ada ternyata belum memenuhi “rasa keadilan”.

Pada persidangan melalui teleconference pada Pengadilan

Negeri Tuban dan dikaitkan dengan asas keadilan diatas maka dapat

dirumuskan yang dimaksud adalah terkait pemberian hak-hak atau

80
sesuai dengan hukum acara yang berlaku khususnya untuk Terdakwa.

Didalam pelaksanaan sidang pidana melalui teleconference di

Pengadilan Negeri Tuban setiap Hakim didalam penyelesaian perkara

pidananya masing-masing telah menjalankan sesuai dengan hukum

acara yang berlaku dan memberikan hak-hak Terdakwa dan tidak

terpengaruh dengan keadaan saat ini yakni pandemi covid-19.

Hak-hak yang dimaksud dalam hukum acara ini disini ialah

pemberian hak untuk mengajukan jawaban dan ekspesi oleh

Terdakwa, pemberian hak pembelaan, hak untuk didampingi oleh

penasehat hukumnya dan hak lain sebagainya.

c. Kemanfaatan Hukum.

Hukum adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan

untuk mengatur lalulintas perilaku manusia dapat berjalan lancar,

tidak saling tubruk dan berkeadilan. Sebagaimana lazimnya

pengetahuan, hukum tidak lahuir di ruang hampa. Ia lahir berpijak

pada arus komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi

solusi atas terjadinya kemampatan yang disebabkan okleh potensi-

potensi negatif yang ada pada manusia. Sebenarnya hukum itu untuk

ditaati. Bagaimanapun juga, tujuan penetapan hukum adalah untuk

menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun

jelek dan tidak adil. Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih

berlaku, hukum itu seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak

bisa membuat hukum ‘yang dianggap tidak adil’. Itu menjadi lebih

81
baik dengan merusak hukum itu. Semua pelanggaran terhadap hukum

itu menjatuhkan penghormatan pada hukum dan aturan itu sendiri.

Kemamfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang

mengharapkan adanya mamfaat dalam pelaksanaan penegakan

hukum. Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan

keresahan masyrakat. Karena kalau kita berbicara tentang hukum

kita cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan,

yang trkadang aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif

dengan kehidupan masyarakat. Sesuai dengan prinsip tersebut diatas,

saya sangat tertarik membaca pernyataan Prof. Satjipto Raharjo, yang

menyatakan bahwa : keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi

tetap disamping yang lain-lain, seperti kemanfaatan (utility,

doelmatigheid). Olehnya itu didalam penegakan hukum, perbandingan

antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.

Selanjutnya mengenai asas kemanfaatan dengan dihubungan

pelaksanaan persidangan melalui teleconference pada Pengadilan

Negeri Tuban yakni terkait dengan manfaat dari putusan hakim pada

Pengadilan Negeri ditengah pandemi covid-19. Setiap hakim pada

Pengadilan Negeri Tuban didalam menjatuhkan putusan tetaplah

berpedoman pada pemeriksaan dipersidangan terhadap Terdakwa

namun selain itu juga melihat keadaan pada saat sekarang ini yakni

ditengah pandemi covid -19 keadaan ekonomi setiap orang pastilah

menurun drastis sehingga menjadi salah satu faktor penyebab

82
Terdakwa melakukan tindak pidana untuk memenuhi faktor ekonomi

tersebut.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Proses persidangan terutama persidangan perkara pidana melalui

Teleconference pada Pengadilan Negeri Tuban meliputi semua agenda

sidang dalam pemeriksaan perkara pidana dengan hukum acara biasa

sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, namun kehadiran

Terdakwa dan Saksi serta Penuntut Umum melalui tempat yang terpisah

tetapi tetap dihubungkan melalui media telencoference dan

menyesuaikan dengan keadaan yang ada dalam menghadapi pandemi

covid-19.

2. Persidangan pidana melalui teleconference berdasarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang pedoman

83
pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Corona Virus

Disease (Covid-19) dalam impelemntasinya pada Pengadilan Negeri

Tuban telah jelas dan tujuannya sidang melalui teleconference selaras

dengan tujuan dari hukum acara pidana, perlindungan hak-hak Terdakwa,

serta asas-asas dalam hukum pidana namun memang beberapa tidak

dapat dilaksanakan seperti cepat dan biaya ringan.

B. Saran

Agar Mahkamah Agung RI Lebih mengatur syarat pemberlakuan

sidang melalui teleconference dikarenakan tiap daerah khususnya untuk

daerah yang terpencil terdapat daerah yang tidak terdampak oleh pandemi

Covid-19 sehingga dapat melakukan sidang pidana secara tatap muka

dipersidangan.

84
LAMPIRAN

Pengecekan Suhu Tubuh bagi pengunjung sebelum memasuki ruang sidang

85
Fasilitas dan alat sidang pidana teleconference

86
Tampilan layar monitor sidang pidana teleconference

Tampilan layar monitor sidang pidana teleconference

87
Persidangan pidana teleconference dengan agenda pemeriksaan alat bukti

dan Saksi

88
Sidang pidana teleconference dengan agenda sidang pemeriksaan keterangan

Terdakwa

Majelis Hakim persidangan pidana teleconference

89
Keadaan persidangan pidana teleconference

90
Daftar Pustaka

Ali, Zainudin. 2006. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:

SekretariatJenderal dan KepaniteraanMahkamah Agung RI.

Atmasasmita, Romli. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Jakarta:

Bina Cipta.

Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika.

Harahap, Yahya. 2015, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.

Jakarta: Sinar Grafika.

Mulyadi, Lilik, 2008, Bunga Rampai Hukum PidanaPerspektif Teoritis dan

Praktik, Bandung: Alumni.

Mulyadi, Lilik, 2012,Hukum Acara Pidana Normatif Teoretis Praktek Dan

Permasalahannya , Bandung: Alumnni.

Harahap, Yahya. 2015, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.

Jakarta: Sinar Grafika.

Peter, Mahmud Marzuki, 2008. Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana

Amiruddin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Raja

Grafindo.

Sudarto, 2002 , Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : Raja Grafindo

Persada.

91
Poernomo, Bambang. 1985. Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara

Pidana. Yogyakarta: Liberty.

Rahardjo, Satjipto, 1982, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni.

Amiruddin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Huku,

Soeroso, 2011, Hukum Acara Pidana (Normatif , Teoritis , Praktis, dan.

Permasalahannya) . Bandung : PT. Alumni.

Sugiono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif. Bandung: alfabeta,

Perjanjian Kerjasama Antara Mahkamah Agung RI, Kejaksaan RI dan

Kemenkumham RI tentang Pelaksanaan persidangan melalui teleconference.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020

Tentang pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran corona

virus disesae (covid-19).

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020

Tentang Perubahan atas Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2020 tentang pedoman pelaksanaan tugas selama masa

pencegahan penyebaran corona virus disesae (covid-19).

Surat Direktorat Jenderal Peradilan Umum Mahkamah Agung RI nomor

424/DJU/HMO1.1/4/2020 tentang Persetujuan persidangan melalui teleconference

Surat Direktorat Jenderal Peradilan Umum Mahkamah Agung RI nomor

379DJU/PS.00/3/2020 tentang persidangan pidana melalui teleconferenceUndang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.KitabUndang-undang

Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan Hukum Pidana.

92

Anda mungkin juga menyukai