Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjalankan shalat lima waktu tidak dapat ditawar-tawar lagi

dalam keadaan apapun, karena di samping sebagai rukun dan simbol umat

Islam juga termasuk sarana efektif kebutuhan pokok manusia untuk

berhubungan dengan Allah SWT. Sumber dari segala hajat manusia yang

dalam hal kebutuhan pada Allah SWT ini tidak dapat dibantah lagi

keberadaanya. Keadaan tersebutlah yang menyadarkan manusia untuk

lebih memperhatikan sisi ajaran agama sebagai pedoman hidup demi

mengantarkan kehidupan yang damai.

Ibadah shalat merupakan sarana bagi seorang hamba untuk

langsung berkeluh kesah dan menyampaikan kerinduannya kepada Dzat

yang dicintainya. Shalat lima waktu yang dilakukan oleh manusia akan

mengajaknya untuk mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan bertaubat atas

apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Shalat lima waktu merupakan

tanggul penghalang dalam menghadapi serangan dosa-dosa yang akan

datang, karena sesungguhnya shalat akan menguatkan iman manusia dan

menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam hatinya. Iman dan

takwa merupakan tanggul yang paling kuat untuk menahan goncangan

dosa, shalat adalah pencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat lima

waktu akan menyibakkan tirai-tirai kesombongan dan egoisme manusia,


serta memporak-porandakan kesombongan dan rasa puas pada diri sendiri.

Pendidikan melalui shalat lima waktu merupakan pendidikan akhlak

mulia, memberikan nilai dan ruh pada keseluruhan amal yang dilakukan

oleh manusia. Shalat lima waktu juga akan menghidupkan hakikat

keikhlasan, dimana shalat merupakan kumpulan dari niat yang murni dan

perkataan yang suci, serta amal-amal yang dilaksanakan dengan penuh

keikhlasan.

Sejarah telah melukiskan bahwa telah menjadi garis ketetapan bagi

umat Muhammad SAW untuk menjadikan shalat sebagai tuntunan ibadah,

terhitung sejak beliau Nabi Muhammad SAW diisra' dan mi'rajkan.1

Allah SWT telah menjadikan shalat sebagai suatu sarana meminta

pertolongan untuk mengatasi berbagai penyakit, penderitaan dan

kekotoran dunia. Betapa ketegangan saat ini telah menimpa banyak orang

dari setiap lapisan masyarakat karena kebanyakan kesulitan yang dialami

oleh individu, baik secara materi maupun spiritual.

Dalam Tafsir al-Mishbah, shalat merupakan ibadah wajib dalam

seluruh agama. Ia adalah pengakuan tentang keagungan Allah dan

kewajaran-Nya untuk disembah dan dimohon bantuannya.2

Shalat fardhu merupakan shalat yang diwajibkan bagi tiap-tiap

orang dewasa dan berakal yakni lima kali sehari semalam. Perintah wajib

shalat mulamula turun pada malam isra’, setahun sebelum tahun Hijriah.
1
Daradjat, Zakiah, 2000. Shalat Menjadikan Hidup Tentram. Jakarta: CV. Ruhama
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 14,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 511
Dalam al-Qur’an bukti peristiwa Isra’ mi‘raj ini terdapat dalam beberapa

ayat:

Maha Suci (Allah), yang telah Memperjalankan hamba-Nya

(Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang

telah Kami Berkahi sekelilingnya agar Kami Perlihatkan kepadanya

sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha

Mendengar, Maha Melihat. (QS. al-Isrā’[17]: 1 Menurut para ahli fikih,

shalat diwajibkan kepada umat Islam pada malam hari ketika Rasulullah

Saw melakukan isra’ mi‘raj, yaitu lebih kurang satu tahun sebelum hijrah.

Akan tetapi, menurut ulama mazhab Hanafi, kewajiban shalat itu

ditetapkan pada waktu malam hari ketika nabi muhammad yaitu malam

jum’at tanggal 10 Ramadhan, satu setengah tahun sebelum Hijrah. Ibnu

Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa tanggalnya adalah 27 Rajab, satu

setengah tahun sebelum Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah3

Shalat dalam syariat islam dimaknai sebagai ibadah yang dibuka

dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Menurut Prof. Dr. Nasaruddin

Umar, ditilik dari fungsinya disebut shalat karena ia merupakan shilah

(penghubung) antara seorang hamba dengan Allah. Shalat yang wajib

dijaga dan ditegakkan oleh setiap muslim ada lima waktu. Shalat subuh,

dzuhur, ashar, maghrib, dan isya. Masing masing memiliki waktu

pengerjaannya sendiri. Allah ‫ ﷻ‬dalam Al-Qur’an memerintahkan

seluruh kaum muslimin untuk menjaga ke lima shalat tersebut.


3
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hlm
1536
Firman Allah “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah)

shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'”.

(QS al-Baqarah 238

Ibadah adalah hak Allah atas hamba-Nya yang wajib ditunaikan,

sebagaimana hutang adalah hak pemberi hutang atas orang yang berhutang

yang wajib dibayarkan.

Meninggalkan shalat adalah perkara yang teramat bahaya. Di

dalam firman Allah berbagai macam ancaman yang sudah sepatutnya

membuat seseorang khawatir akan akibat pelaku yang meninggalkannya

dan lebih terkhususnya lagi bagi orang yang dibebani (Mukhallaf)

shalat wajib agar tidak lalai terhadap rukun Islam yang mulia ini.

Diantara ancaman-ancam Allah yaitu dalam surah Al maaun’un ayat 4-5

Allah berfirman:

(َ)‫َ(نُو هَاْس ِم ِهَتَالْص َنْع ُمَهنِيَّذ ال‬4‫نِيَلُص ْمِلٌلْلَيَو ف‬

Artinya “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)

orang-orang yang lalai dari shalatnya.

‫اللُهلُوَسَر اَل قاللهدبعنبرباجنع‬:ِ‫َةَّالصُالْك َرِتْر ُفْك َالِو ْك ِر شَالْنَيَبِو ُلَّجرَالْنَيَّبِنإ‬

Artinya:Dari jabir bin Abdillah Rosulullah

bersabda :Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan

kemusyrikan juga kekafiran adalah meninggalkan shalat (HR.

Muslim). Terdapat dua alasan syar’i yang bisa diperbolehkannya shalat

dilaksanakan di luar waktu yang telah ditentukan atau shalat di luar


waktunya yaitu karena tidur dan lupa. Sedangkan shalat yang

dikerjakan di luar waktunya disebut sebagai shalat qadha. Didalam hadist

yang diriwayatkan bukhori

Artinya : “barang siapa yang lupa shalat maka ia harus mengulang

sholanya ketika ia ingat kembali”, dan dalam riwayat lain diakatakan yang

diamana riwayat ini dikeluar juga oleh :( )122 /1( ‫صحيحالبخاري‬

‫ر المحيط الثجاج في‬ww‫البح‬،)71 /2( ‫اريالبنحجر‬ww‫فتحالب‬،)846( )477 /1( ‫لم‬ww‫صحيحمس‬،)597

)612 /14(‫لم بنالحجاج‬wwww‫شرحصحيحاإلماممس‬. Adapun isi riwayatnya (

‫ ) مننامعنةالصأونسيهافليصلهاإذا ذكرها‬Artinya : “barang siapa yang ketiduran dari

shalatnya atau lupa maka dia shalat lagi ketia ia mengingatnya “.Tertidur

dan lupa adalah dua alasan syari’i yang menyebabkan

diperbolehkannya seseorang untuk melaksanakan shalat di luar waktu

yang telah ditentukan atau shalat qadha, dan ia tidak dikategorikan

sebagai orang yang berdosa apabila ia mengerjakan atau menqadha

shalatnya akan tetapi ketika ia tidak menqadhanya maka dia

dihukumi sebagai pendosa besar karna telah lalai akan kewajibannya.

Maka dari sini kita biasa menyimpulkan tanggapan sebagian masyarakat

awam yang mengatakan bahwa jika bangun kesiangan di pagi hari

maka tidak perlu shalat shubuh karena sudah lewat waktunya. Ini

adalah sebuah kekeliruan

Qadha dalam bahasa Arab berasal dari kata qadha> yaqdhi> yang

berarti: menyelesaikan4 . Sedangkan menurut istilah: qadha adalah


4
Al-Jawhari, Isma>'il bin H{ammad, As}-s}ihha>h Ta>j Al-Lugah wa S{ih{h{ah{ Al-'Arabiyyah,
(Beirut: Da>r Al-'Ilm li Al-Malayi>n, 1987), jld. 6, hlm. 2464.
melaksanakan ibadah setelah lewat waktunya yang telah ditentukan 5 .

Berdasarkan pengertian di atas, maka melaksanakan ibadah pada waktunya

tidak termasuk qadha secara istilah, meskipun dapat dikatakan qadha

secara bahasa; karena pengertian qadha secara bahasa lebih luas dari

pengertian qadha secara istilah.

Secara umum mengqadha ibadah disyariatkan dalam Islam,

termasuk diantaranya adalah mengqadha shalat; karena shalat adalah

sebuah ibadah, bahkan ibadah yang paling utama dan dicintai Allah SWT.6

Rasa malas dan jenuh ini sudah menjadi fenomena yang sering

terjadi di kalangan kaum muslimin. Terlebih lagi di kalangan para remaja.

Baik laki-laki maupun perempuan. Diantara ibadah yang sering kali para

remaja malas mengerjakannya adalah shalat. Hal ini terjadi karena usia

remaja merupakan usia peralihan. Sehingga kebanyakan mereka di usia ini

menjadi remaja yang labil. Apalagi dengan kedaan zaman yang semakin

maju dan perkembangan teknologi yang semakin canggih, bisa

menjadikan remaja semakin lalai dari sholatnya. Maka tak jarang kita liat

para remaja menunda nunda sholat. Tidak mengerjakannya di awal waktu.

Tak jarang diantara mereka yang bahkan tidak melaksanakan sholat.

Berdasarkan kasus dan fenomena yang ada, peneliti tertarik untuk

meneiti “SUMBER HUKUM SYAFIIYAH TERHADAP HUKUM

5
Al-Isnawi, 'Abdu Ar-Rah}i>m bin Al-Hasan bin 'Ali>, Nihayat As-Su>l Syarh{ Minha>j Al-
Wus}u>l, (Beirut: Da>r Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, 1999), hlm. 32.
6
Kholid Saifulloh, MENGQADHA SHALAT DALAM PERSPEKTIF FIQH ISLAM, Volume 7,
No. 2, Mei 2020
QODHO ORANG YANG MENINGGALKAN SOLAT SECARA

SENGAJA MENURUT HUKUM SYARIAT”.

B. Identifikasi Masalah

1. Pandangan Imam Syafi’I dalam Hukum Qodho

2. Sumber Hukum Syafiiyyah

3. Konsekuensi Meninggalkan Solat secara sengaja

4. Konteks Historis dan Kultural pada masa imam syafi’i

5. Relevansi dalam konteks Kontenporer

C. Batasan Masalah

Memperhatikan identifikasi permasalahan yag ada, maka untuk

memperjelas dan memberikan tujuan penelitian yang tepat, penulis

membatasi permasalahan penelitian ini sebagai berikut :

1. Konsekuensi meninggalkan sholat secara sengaja

2. Pandangan ulama syfi’iyyah terhadap hukum qodho

3. Sumber Hukum qodho menurut Syafi’iyah

D. Rumusan Masalah

1. Apa konsekuensi bagi orang yang meninggalkan sholat secara sengaja

menurut pandangan ulama syafiiyyah

2. Bagaimana pandangan Imam Syafi'i terhadap hukum qodho sholat bagi

individu yang meninggalkan solat secara sengaja dalam konteks

hukum Syariat?
3. Apa saja sumber-sumber hukum Syafi'iyyah yang digunakan oleh

Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum qodho bagi mereka yang

meninggalkan solat secara sengaja?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini,

yaitu:

1. Untuk mengidentifikasi dan memahami konsekuensi yang mungkin

diterapkan bagi individu yang meninggalkan solat secara sengaja

menurut pandangan ulama Syafi'iyyah.

2. Untuk menggali pandangan Imam Syafi'i terhadap hukum qodho sholat

bagi individu yang meninggalkan solat secara sengaja dalam kerangka

hukum Syariat Islam.

3. untuk mengidentifikasi dan menganalisis sumber-sumber hukum

Syafi'iyyah yang digunakan oleh Imam Syafi'i dalam menetapkan

hukum qodho bagi mereka yang meninggalkan solat secara sengaja

F. Kegunaan Penelitian

1. Pemahaman Lebih Mendalam tentang Hukum Syari'ah: Penelitian ini

dapat membantu kita memahami pandangan Imam Syafi'i dan sumber-

sumber hukum Syafi'iyyah yang digunakan dalam menentukan hukum

qodho bagi mereka yang meninggalkan solat secara sengaja. Hal ini

akan memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang kerangka

berpikir dalam hukum Islam menurut pandangan mazhab Syafi'i.


2. Pedoman untuk Masyarakat Muslim: Hasil penelitian dapat menjadi

panduan bagi masyarakat Muslim yang ingin mengetahui hukum yang

berlaku jika seseorang dengan sengaja meninggalkan solat. Ini dapat

membantu individu muslim untuk memahami pentingnya menjalankan

ibadah solat dan akibat dari meninggalkannya dengan sengaja.

3. Relevansi dalam Sistem Hukum Islam Kontemporer: Penelitian ini

dapat memiliki relevansi dalam konteks sistem hukum Islam yang

lebih luas, terutama dalam negara-negara dengan hukum berbasis

Islam atau dalam penentuan hukum keluarga, warisan, atau hukum

pidana yang berkaitan dengan solat. Pandangan Imam Syafi'i dan

sumber hukum Syafi'iyyah dapat menjadi referensi penting dalam

pengembangan dan interpretasi hukum Islam dalam konteks modern.

4. Konteks Pendidikan Agama: Penelitian ini dapat menjadi sumber

materi pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah dan lembaga-

lembaga pendidikan Islam. Ini dapat membantu mendidik generasi

muda tentang pentingnya solat dalam Islam dan konsekuensi

meninggalkannya secara sengaja.

5. Basis untuk Perdebatan dan Diskusi: Temuan penelitian ini dapat

menjadi basis untuk perdebatan dan diskusi yang lebih luas di antara

cendekiawan, ulama, dan pengambil keputusan dalam komunitas

Muslim. Ini dapat membantu memahami perbedaan pendapat yang

mungkin ada dalam mazhab dan tradisi hukum Islam.


6. Penelitian Lanjutan: Penelitian ini juga dapat menjadi titik awal untuk

penelitian lanjutan dalam bidang hukum Islam dan pemahaman tentang

sumber hukum Syafi'iyyah. Penelitian lebih lanjut dapat

mengeksplorasi bagaimana pandangan ini berubah atau diterapkan

dalam konteks berbagai situasi sosial dan hukum yang berbeda.

G. Tinjauan Pustaka

1. Sumber Hukum Syafi’iyah

Imam Syafi’i dalam bukunya al Risalah menjelaskan bahwa dalam

mengambil dan menetapkan suatu hukum ia memakai empat dasar,

yaitu Alquran, Sunnah, Ijma dan Istidlal. Dasar pertama dan utama

dalam menetapkan hukum adalah Alquran. Imam Syafi’i terlebih

dahulu melihat makna lafzi Alquran. Kalau suatu masalah tidak

menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi. Kalau

dalam Alquran tidak ditemukan hukumnya, ia beralih ke Sunnah Nabi.

Dalam hal sunnah, ia juga memakai hadis ahad di samping yang

mutawatir, selama hadis ahad itu mencukupi syarat-syaratnya. Jika di

dalam Sunnah pun belum dijumpai nashnya, ia mengambil ijma

sahabat. Setelah mencari dalam ijma’ sahabat dan tidak juga

ditemukan ketentuan hukumnya barulah ia melakukan qiyas. Apabila

ia tidak menjumpai dalil dari ijma dan qiyas, ia memilih jalan istidlal,

yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum agama

islam.7
7
Aris,PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I TENTANG KEDUDUKAN MASLAHAH MURSALAH
SEBAGAI SUMBER HUKUM, Jurnal Hukum Diktum, Volume 11, Nomor 1, Januari 2013, hlm
93 - 99
Fiqh Imam Syafi’i berpusat pada empat sumber, yaitu al-Qur’an,

Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Legalitas Sunnah didasarkan kepada al-

Qur’an dan dalil-dalil yang diambil dari maknanyayang tersurat dan

tersirat. Dalam kitab-kitab beliau terdapat penegakan hukum sebagai

sumber hukum yang merupakan obsesi agenda pemikirannya, bahkan

yang paling asasi. Oleh karena itu, beliau mendapat gelar nashir as-

Sunnah (pembela tradisi). Di samping al-Qur’an dan as-Sunnah yang

menjadi satu struktur organik semantik, Imam Syafi’I membangun

Ijma’ atas dasar struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri’ yang

memperoleh signifikasinya dari pengertian teks yang tersusun dari al-

Qur’an dan as-Sunnah. Begitu juga dalam qiyas, dalam sumber hukum

tersebut diambil dari teks yang tersusun dari ketiga dasar sebelumnya.8

2. Hukum Qodho dalam Islam

Kata qadha Di dalam Al-qur’an sendiri banyak ditemukan

terdapat kata ini dengan makna yang berbeda-beda, tergantung

konteksnya. Selain berartikan menggati, diantara makna lainnya yaitu

penciptaan, tindakan, perintah, penunaian, perintah, penunaian,

penyampaian, menjanjikan, penyempurnaan dan seterusnya (Sarwat,

2019). Namun secara garis besar qadha shalat merupakan perbuatan

ibadah tanpa menemukan satu rakaat setelah waktu ada’, sehingga

sudah berlalu untuk melakukannya bagi orang yang ketinggalan

waktu.Jika dikaitkan dengan pengertian ibada shalat. Maka qadha

8
Fahrur Rozi, PEMIKIRAN MAZHAB FIQH IMAM SYAFI’I, Jurnal Kajian Hukum Islam,
Volume 5 nomor 2, Desember 2021 | 92
shalat adalah mengerjakan shalat diluar waktu yang telah ditentukan

atau melakukan shalat yang terlewatkan sudah habis waktu shalat

tersebut atau waktunya tinggal sedikit sehingga tidak cukup waktu

untuk menyelesaikan satu rakaat atau lebih.9

3. Pandangan Imam Syafi’i10

Mazhab Syafi’iyah Ulama Syafi’iyah berkata, qadha dilakukan

sesuai dengan tempat dan waktu. Artinya, seorang musafir menqadha

shalat yang empat rakaat dengan dua rakaat, baik shalat yang

ditinggalkan di waktu bepergian atau tidak. Jika ia tidak berpergian,

maka ia mengqadha shalat yang empat rakaat dengan sempurna (empat

rakaat) walaupun shalat yang ditinggalkannya di waktu bepergian

karena sebabnya qashar, maka harus dikembalikan sesuai asalnya. Dan

karena sebabnya qashar adalah berpergian, dan tidaklah tepat

melakukannya di waktu bermukim.Shalat yang ditinggalkan di waktu

berpergian dengan qashar, jika mengqadhanya di perjalanan bukan

waktu bermukim menurut madzhab yang lebih jelas dalam mazhab

Syafi’i karena adanya sebab.

Dalam urusan jahr dan sirr,Mazhab Asy-syafi'iyahberpendapat

bahwa pada prinsipnya bacaan qadha' shalat dikeraskan apabila

dikerjakan pada malam hari, dan dilirihkan bila dilakukan pada siang

hari. Jadi disunnahkan mengeraskan bacaan pada qadha' shalat

Dzhuhur dan Ashar, apabila keduanya diqadha' pada malam hari. Dan

9
Sarwat, A (2011) Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat. Jakarta Selatan : Du Publishing
10
Az-Zuhaili, W. (2018). Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Darul Fikir.
begitu juga sebaliknya, disunnahkan melirihkan bacaan pada qadha

shalat Maghrib, Isya' dan Shubuh, bila ketiganya dilakukan pada siang

hari.11

. Dalam mazhab Syafi’iyah, mengqadha shalat hukumnya wajib

dan harus sesegera mungkin, kecuali ada alasan tertentu atau alasan

syar’i, maka tidak perlu secara cepat menqadhanya, namun jika tanpa

ada alasan yang di perkenankan, maka qadhanya harus dilaksanakan

dengan secepatnya. Kecuali shalat yang ditinggalkan karena uzur

seperti sakit, wajib diqadha walaupun tidak dikerjakan dengan segera.12

Menurut Syafi’iyah meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa

uzur, wajib diqadha dengan segera, tidak boleh ditempokan terkecuali

sedang melakukan kewajiban yang lain, seperti sedang mendengarkan

khutbah Jum’at, mencari nafkah danlain-lain,maka boleh ditempokan

sampai menyelesaikan kewajiban. Adapun shalat yang ditinggalkan

karena uzur seperti sakit, wajib diqadha walaupun tidak dikerjakan

dengan segera.13

H. Penelitian Terdahulu yang Relevan

1. Herianto , Suyud Arif , Mulyadi Kosim, Qadha Shalat Wajib dalam

Perspektif 4 Mazhab, 2022, Shalat adalah momentum hamba untuk

11
Sarwat, A (2011) Seri Fiqih Kehidupan (3) : Shalat. Jakarta Selatan : Du Publishing
12
Herianto , Suyud Arif , Mulyadi Kosim, Qadha Shalat Wajib dalam Perspektif 4 Mazhab, ISSN:
2614-6754 (print) ISSN: 2614-3097(online) Halaman 16135-16143 Volume 6 Nomor 2 Tahun
2022
13
ibid
menyandarkan diri kepada Allah, sehingga pada dasarnya tidak ada yang

mampu memberikan pertolongan kepada hambanya kecuali Allah. Dalam

Islam, shalat merupakan shalat tertinggi amaliah ibadah di antara ibadah

lainnya, karena shalat merupakan praktik pertama yang disembah di

akhirat (Yaumul Hisab). Adapun ketika seseorang meninggalkan shalat

dengan alasan syar'i, hukumnya berbeda, seorang Muslim yang shalatnya

tertinggal di luar waktu wajib menggantinya di luar waktu yang ditentukan

Seperti yang kita ketahui bahwa ada lima kali doa, fajr, dzuhur, ashar,

maghrib dan isya, yang semuanya telah ditetapkan. Umat Islam dituntut

untuk dapat melaksanakan shalat semaksimal mungkin sesuai dengan

waktu yang telah dibatasi. Kemudian 4 Mazhab. Yang pertama, Imam Abu

Hanifah atau An-Nu'man bin Tsabit At-Tamimi Abu Hanifah Al-Kufi,

pendiri mazhab Hanafi. Kedua, Imam Malik atau Malik bin Anas bin

Malik bin Abi 'Amir Abu Abdillah Al-Ashbahi Al-Madani. Ketiga, Imam

Syafi'i atau Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin AlAbbas bin Utsman

bin Syafi'. Dan Keempat, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin

Muhammad bin Hanbal Asy-Shaibani pemimpin mazhab Hanbali.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi pustaka. Melalui

literatur yang tersedia mulai dari buku hingga jurnal. Hasilnya adalah

dalam mazhab Hanafiyah bahwa doa-doa yang ditinggalkan wajib segera

dipatuhi. Menurut mazhab Malikiyah, haram untuk melakukan shalat sunat

bagi orang-orang yang masih memiliki shalat wajib yang belum qadha,

kecuali shalat Tahajjud dan shalat Witir. Syafi'iyah mazhab, shalat harus
secepatnya, kecuali ada alsan atau alsan syar'i tertentu, maka tidak perlu

cepat melaksanakannya. Terakhir, mazhab Hanabilah juga berpendapat

bahwa adalah sah untuk melakukan sholat sunnah sebelum melakukan

qadha shalat wajib terhadap shalat yang ditinggalkan. Prosedur doa Qadha,

Mazhab Al-Hanafiyah setuju bahwa jahr dan sirr dalam hal shalat qadha

mengikuti waktu asalnya. Jika shalat yang ditinggalkannya adalah

pembacaan sirriyah seperti shalat zhuhur dan ashar, maka pengajiannya

tidak mengeras, padahal keduanya diqadha' pada malam hari. Dan

sebaliknya, dilarang melafalkan pembacaan bacaan pada doa qadha

Maghrib, Isya' dan Shubuh, meskipun ketiganya dilakukan pada siang hari.

Dan kebersamaan adalah Sunnah. Mazhab Hanabilah sama dengan

mazhab Syafi'iyah, yaitu qadha dilakukan sesuai dengan tempat dan

waktu. Hanbali mengatakan bahwa pembacaan dalam doa qadha harus

dengan suara yang benar-benar rendah, apakah doa itu adalah doa sirr atau

doa jahr, baik dalam qadha-nya di malam hari atau di siang hari, unless he

becomes the Imam and the prayer is Jahr and in qadhanya at night, kecuali

dia menjadi Imam dan shalatnya adalah Jahr dan di qadhanya pada malam

hari.

2. Khalid Saifullah, Mengqadha Shalat Dalam Perspektif Fiqh Islam,

2020, Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah dua kalimat

syahadat. Shalat memiliki kedudukan yang sangat penting bagi Islam,

sehingga Rasu>lulla>h s}allalla>hu ‘alaihi wa sallammengibaratkannya

laksana tiang bagi sebuah bangunan, sehingga sebuah bangunan tidak akan
bisa berdiri dengan kokoh tanpa adanya tiang yang menyangga. Demikian

juga keIslaman seseorang tidak akan bisa kokoh tanpa menegakkan

shalat. Namun terkadang -disengaja maupun tidak-seorang muslim

meninggalkan shalat sampai keluar dari waktunya. Mengingat begitu

pentingnya shalat, apakah shalat yang ditinggalkan sampai keluar dari

waktunya bisa diqadha? Di dalam tulisan ini penulis menyajikan

pembahasan tentang tiga hal yang berkaitan dengan

mengqadhashalat: dalil-dalil tentang disyariatkannya mengqadhashalat,

hukum mengqadhashalat dan macam-macam shalat yang bisa diqadha,

serta syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam mengqadhashala

I. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian kualitatif,

dengan jenis penelitian kajian pustaka (library research), yaitu suatu jenis

penelitian yang digunakan dalam pengumpulan informasi dan data secara

mendalam melalui berbagai literatur, buku, catatan, majalah, referensi

lainnya, serta hasil penelitian relevan yang telah di teliti pada sebelumnya,

untuk mendapatkan jawaban dan landasan teori mengenai masalah yang

akan diteliti Dalam penelitian jenis studi pustaka (library research) ini,

sumber data terdiri atas data primer dan data sekunder. Sumber data

primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian sebagai

sumber informasi yang dicari.

Anda mungkin juga menyukai