Anda di halaman 1dari 13

Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tasawuf

Diajukan untuk memenuhi mata tugas kuliah Pengantar Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Yuminah. MA. SI

Disusun oleh kelompok 1


 Muhammad Fakhri Adhari 11230340000056
 Thirazatul Humaira 11230340000064
 Arifa Nuril 11230340000068

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan kemudahan kepada
penulis dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan tepat waktu.
Dengan pertolongan-Nya, tentunya penulis tidak dapat menyelesaikan makalah
ini. Shalawat serta salam semoga tetap kita haturkan kepada Nabi Muhammmad
SAW agar mendapat syafaat di yaumil akhir nanti.
Makalah ini di susunan untuk memenuhi tugas mata kuliah
PENGANTAR ILMU TASAWUF yang membahas tentang “TASAWUF”
dengan Dosen Pengampu : Dr. Hj. Yuminah. MA. SI. Sesuai dengan judul
makalah ini akan membahas tentang Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tasawuf
Penulis berharap makalah yang telah di susun ini dapat membantu
pembaca untuk memahami dan menjadi sarana pembelajaran untuk menambah
pengetauan para pembaca. Penulis juga terbuka saran , dan kritik serta
masukannya dari semua pihak agar makalah ini bisa menjadi sempurna ke
depannya.

Ciputat, 18 September 2023

Penulis
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG ....................................................................................................1
2. PERUMUSAN MASALAH ...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
1. SEJARAH TASAWUF PADA ZAMAN RASULULLAH SAW ..................................2
2. IMAM JA’FAR SODIQ GURU PARA GURU SUFI....................................................3
3. PARA TOKOH PERINTIS TASAWUF ........................................................................5

BAB III : PENUTUP ............................................................................................................6


DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................7

III
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Tasawuf merupakan suatu ilmu yang tidak bisa dipisahkan dari kepribadian umat
Islam itu sendiri. Hal tersebut disebabkan orang yang berkecimpung dalam dunia tasawuf
merupakan orang yang beriman kepada Allah. Tasawuf senantiasa memiliki tujuan yakni
bersifat rohani, mencintai Allah SWT, dan menjaga hubungan dengan-Nya. Oleh karena
itu bukan merupakan sesuatu yang mudah bagi pribadi yang bukan mukmin untuk
mencapai ranah tersebut.2 Fakta dalam sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi
Muhammad Saw sebelum beliau diangkat oleh Allah menjadi seorang Rasul, beliau telah
berulang kali melakukan tahannuts3 atau biasa dikenal dengan istilah khalwat bertempat di
Gua Hira. Tahannuts yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bertujuan untuk mencari
ketenangan jiwa dan kebersihan hati untuk mendapatkan petunjuk (hidayah) oleh Allah
serta untuk mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segalanya dengan sebaik-
baiknya.

B. PERUMUSAN MASALAH
1. Pada zaman siapakah Tasawuf muncul ?
2. Ada berapa fase yang terjadi pada perkembangan tasawuf ?
3. Siapakah saja tokoh yang menghidupkan perkembangan ilmu tasawuf?
1

BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Tasawuf Pada Zaman Rosulullah SAW


Meskipun nama ‘tasawuf’ belum banyak dikenal pada masa awal kemunculan agama
Islam, akan tetapi ajaran-ajaran tasawuf banyak yang diambil dari kitab suci Al-Qur’an dan
hadits. Karena itulah tidak heran jika perilaku-perilaku dari kaum sufi sebagian mengikuti
perilaku-perilaku Rasulullah dan sahabatnya.

Kaum sufi terkenal dengan kezuhudannya. Kezuhudan tersebut bukan tanpa dasar
apapun. Melainkan lebih kepada bentuk pengalaman yang menyeluruh terhadap ajaran agama
Islam. Bahkan perilaku-perilaku zuhud tersebut yang telah dilakukan oleh kaum sufi
sebenarnya merupakan ajaran yang telah dipraktekkan Rasulullah di hadapan para sahabat-
sahabatnya.

Disebutkan bahwa perjalanan tasawuf dapat digambarkan melalui proses produksi


anggur murni berikut ini. Ia disemaikan pada Nabi Adam a.s., dirawat dan dipelihara pada
zaman Nabi Nuh a.s., mulai bersemi pada zaman Nabi Ibrahim a.s., tumbuh dan berkembang
pesat pada masa Musa a.s., mencapai kematangan pada zaman Nabi Isa a.s., dan
menghasilkan anggur murni pada zaman Nabi Muhammad saw.

Pada awal munculnya agama Islam di Jazirah Arab, agama Islam yang didakwahkan
Nabi Muhammad saw., tampak begitu sederhana. Formulasi ajarannya begitu mudah
dipahami, karena Rasulullah sendiri ialah panutan utama atau dikenal dengan
sebutan Uswatun Hasanah, Central Figure bagi semua umat muslim yang ajarannya dan
contoh teladannya dapat diberikan secara langsung tanpa adanya perantara.
Kezuhudan Nabi Muhammad saw. dapat dilihat dari sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa
ketika itu sahabat Umar bin al-Khathab masuk kerumah Rasulullah, sementara Rasulullah
tampaknya baru bangun tidur dengan bekas tikar kasar pada bahunya. Melihat hal ini sahabat
Umar menangis.

Ketika ditanya oleh Rasulullah apa yang tengah membuatnya menangis, sahabat
Umar menjawab:

“Saya teringat Kaisar Romawi dengan segala kemewahan kerajaannya, Hurmuz dengan
kebesaran kerajaannya, serta raja Habasyah dan kebesaran kekuasaannya, sementara engkau
yang padahal utusan Allah hanya tidur di atas tikar yang terbuat dari daun kurma yang
kasar!”.

Kemudian Rasulullah menjawab:

“Tidakkah engkau ridho bahwa mereka memiliki dunia, sementara kita memiliki akhirat?”
(HR. Ibn al-Mundzir dari sahabat Ikrimah).
Kezuhudan tidak hanya dilakukan ataupun dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw.
Akan tetapi juga dilakukan oleh para nabi terdahulu sebelum Rasulullah. Hal ini dikarenakan
hampir keseluruhan dari para Nabi Allah ialah orang-orang fakir yang tidak menyentuh
kesenangan duniawi. Mereka para Nabi Allah meski dikaruniai keluasan rizki dan kekuasaan,
tetapi kesehariannya mereka tetap pada mempraktekkan kehidupan zuhud.

Pada kehidupan Nabi Muhammad saw., juga terdapat petunjuk yang menggambarkan
bahwasannya dirinya ialah seorang sufi. Nabi Muhammad saw. telah melakukan pengasingan
diri di Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup keduniawian
ketika para orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan
yang didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.

Selama di Gua Hira, Rasulullah hanyalah bertafakkur dan hidup sebagai seorang
Zahid. Beliau hidup dengan sangat sederhana, bahkan memakai pakaian tambalan, tidak
makan dan tidak minum kecuali yang halal.

Di setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah swt., sehingga membuat Siti
Aisyah bertanya: “Mengapa engkau berbuat begini ya Rasulullah? Padahal Allah swt
senantiasa mengampuni dosamu?” Rasulullah menjawab: “Apakah engkau tidak
menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur?”.

Dengan demikian, sikap zuhud Nabi Muhammad saw., sebagai pola hidup paling
ideal dan patut ditiru dalam segenap aspek kehidupan kita. Dimana dalam kehidupan beliau
dapat mempengaruhi kehidupan para sahabat-sahabatnya serta para pengikutnya. Pola hidup
Rasulullah merupakan khazanah dan ibrah bagi kehidupan kaum sufi.

2. Imam Ja’far Sodiq Guru para Guru sufi


Imam Ja’far ash-Shadiq menjadi masyayikh (guru sufi, red) Naqsyabandiyah
setelah Imam Al-Qasim bin Muhammad, juga masyayikh Qadiriyah-Naqsyabandiyah dan
tarekat Syathariyah setelah Imam Muhammad al-Baqir. Setelah Imam Ja’far as-Shadiq
diturunkan kepada Abu Yazid al-Busthami, lalu kepada Muhamamd al-Maghribi, merupakan
silsilah Syathariyah; dan setelah Imam Ja’far ash-Shadiq diturunkan kepada Imam Musa al-
Kazhim menjadi silsilah Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Baik tarekat Syathariyah ataupun
Qadiriyah-Naqsyabandiyah adalah cabang tarekat Imam Ali dari jalan Imam Husein bin Ali.
Abul Hasan Ali al-Hujwiri, pengarang Kasyful Mahjub dan salah satu guru tarekat
Junaidiyah dari jalan Abul Fadhal Muhammad bin Hasan al-Kuttali, menyebut Imam Ja’far
ash-Shadiq sebagai “terkenal di antara syekh sufi, karena kedalaman ajarannya dan
pengetahuannya akan kebenaran spiritual, dan beliau telah menuliskan buku terkenal yang
menjelaskan sufisme.
Menurut al-Hujwiri, terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Imam Ja’far ash-
Shadiq berkata: “Siapa pun yang mengetahui Allah, maka dia berpaling dari semua yang
selainnya.” Orang arif berpaling dari yang lain (kecuali Allah) dan terputus dari semua urusan
duniawi, karena pengetahuannya (ma’rifat) adalah sesuatu yang nakirah, karena nakirah
bagian dari pengetahuannya, dan pengetahuan menjadi bagian dari nakirah-nya. Dengan
demikian orang arif terpisah dari manusia dan pikiran tentangnya, dan dia menyatu dengan
ilahi. Yang lain tidak memiliki tempat di hatinya, sedikitpun tidak boleh mengalahkan
perhatiannya, dan eksistensinya tidak memiliki arti apa-apa baginya, dan bahwa dia harus
menghilangkan ingatan pikiran darinya.” Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal menyebut nama
lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Thalib.
Dengan mengutip Abu Bakar al-Jabir dan al-Lalika’i menyebut beliau dilahirkan
tahun 80 H (697 M). Beliau memiliki hubungan dengan keluarga Imam Ali dari jalur ayah,
dan dari jalur ibu memiliki hubungan dengan keluarga Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq.
Ibunya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq.
Nama Ummu Farwah itu adalah Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Oleh
karena itu, al-Munawi dalam al-Kawakibu ad-Durriyah fi Tarajim Sadatish Shufiyah dan al-
Mizzi dalam Tahdzibul Kamal mengutip pernyataan Imam Ja’far ash-Shadiq berhubungan
dengan keluarga Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq: “Abu Bakar telah melahirkan saya dua
kali.”
Dari sini dapat dipahami bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq adalah cucunya Al-Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar, dari jalur ibunya. Sanad Keilmuan Imam Ja’far mengambil
ilmu dari banyak para tabi’in, di antaranya sebagaimana disebut al-Mizzi adalah kakeknya
sendiri (dari pihak ibu) yaitu Al-Qasim bin Muhammad, ayahnya sendiri yang bernama
Muhammad al-Baqir, Muhammad bin Munkadar, Ubaidillah bin Abi Rafi’ (Katibnya Imam
Ali), Muslim bin Abi Maryam, dan Naïf Maula Ibnu Umar. Menurut sumber lain, disebutkan
bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq sempat bertemu dengan beberapa sahabat yang berumur
panjang, seperti Anas bin Malik dan Sahl bin Said. Orang-orang dan tokoh yang mengambil
ilmu dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dan karenanya menjadi muridnya, banyak sekali, dan di
antaranya: Aban bin Taghlab, Isma`il bin Ja’far, Hatim bin Isma`il, Al-Hasan bin Iyasy, Al-
Hasan bin Shalih, Abu Bakar bin Iyasy, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin `Uyainah, Said bin
Sufyan al-Aslami, Sulaiman bin Bilal, Syu’bah bin Hajjaj, Malik bin Anas, Muhammad bin
Ishaq bin Yasar, Musa bin Ja’far al-Kazim, Abu Hanifa an-Nu’man, Wuhaib bin Khalid, dan
lain-lain.
Integeritas Imam Ja’far ash-Shadiq, diakui banyak pakar jarah-ta’dil, sufi, dan
para faqih. Musab bin Abdullah bin Zubair dari ad-Darwadi mengatakan: “Malik tidak
meriwayatkan dari Imam Ja’far sampai munculnya Bani Abas.” Imam Syafi`i menyebut
Ja’far ash-Shadiq sebagai tsiqatun. Yahya bin Ma`in menggelarinya tsiqatun. Riwayat-
riwayat yang disandarkan dari perkataan Imam Ja’far, dan dikutip al-Mizzi menyebutkan,
beliau mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dan berlepas diri dari orang yang tidak
mengakuinya. Selain memiliki murid-murid di bidang hadits dan fiqih, Imam Ja’far
memiliki murid-murid tarekat, yang terkenal dan bertahan periwayatan sanadnya hingga
sekarang ada dua: Imam Musa al-Kazhim dan Abu Yazid al-Busthami, yang telah disebutkan
di atas. Dari Abu Yazid menjadi Naqsyabandiyah dan Syathariyah; dan dari Imam Musa al-
Kazim menjadi Qadiriyah-Naqsyabandiyah.
Keramat dan Petuah Di antara beberapa karamat Imam Ja’far ash-Shadiq, cukup
banyak dan disebutkan dalam banyak kitab thabaqat sufi, dan di antaranya disebutkan al-
Munawi dalam Al-Kawakibud Durriyah dan Abdul Wahab asy-Sya’rani dalam Ath-
Thabaqatul Kubra. Abdul Wahab asy-Sya’rani menyebutkan: “Setiap kali dia membutuhkan
sesuatu dia mengatakan: “Duhai Tuhan, Duhai Tuhan, aku membutuhkan sesuatu.” Sebelum
doanya selesai ditengadahkan, sesuatu yang diminta Ja’far itu sudah ada di sampingnya.”
Al-Munawi memperkuat cerita keramat Imam Ja’far ash-Shadiq, berdasarkan kesaksian dari
Al-Laits bin Sa`ad yang bercerita: “Pada tahun 113 H., aku berhaji ke Makkah. Pada suatu
hari setelah sholat ashar, aku naik ke puncak Jabal Abu Qubais. Tiba-tiba aku melihat
seseorang (Ja’far Shadiq) yang duduk bersimpuh sambil berdoa: “Ya Rabb ya Rabb sampai
(hampir) terputus napasnya.” Kemudian berkata: “Ya Hayyu Ya Hayyu, sampai (hampir)
terputus napasnya.” Kemudian dia berkata “Ilahi aku ingin buah anggur segar, maka berilah
aku makan yang engkau ciptakan.” Al-Laits kemudian berkata: “Tatkala perkataannya telah
selesai, aku melihat wadah yang penuh anggur…” (KDTSS, I: 179) Sedangkan beberapa
perkataan Imam Ja’far ash-Shadiq dijadikan pegangan banyak ulama sufi, para pejalan di
jalan Allah, dan para faqih, di antaranya disebutkan al-Munawi dan Abdul Wahab asy-
Syarani: “Tidak akan sempurna ma’rifat yang diketahui kecuali dengan tiga perkara: engkau
mengecilkan dalam pandanganmu (amalamu jangan dilihat terus menerus sebagai hal besar),
engkau menyembunyikannya (dirimu dipendam dengan berbagai amal, wirid, dan tafakur),
dan engkau menyegerakannya (selalu ingat untuk melakukan kebaikan)” “Tidak ada
musibah yang paling besar/paling agung daripada kebodohan.” “Barang siapa yang
bersahabat dengan sahabat pelaku kekejian/keburukan, dia tidak akan selamat, Barang siapa
yang masuk ke tempat keburukan, dia akan dituduh, Barang siapa yang tidak memiliki lisan
(untuk terus berbicara), dia akan banyak melakukan penyesalan.” “Saat dunia menghampiri
seseorang, maka dunia akan memberinya kebaikan-kebaikan orang lain. Apabila dunia
berpaling darinya dunia akan memotong/mencabut kebaikan-kebaikan dirinya.” “Barang
siapa yang lambat rezekinya perbanyaklah istighfar.” “Allah pernah berwahyu kepada
dunia, agar melayani orang-orang yang melayani Allah, dan mempersulit orang-orang yang
menjadi pelayan dunia.” “Jika kamu melakukan dosa, maka perbanyaklah istighfar, karena
kesalahan-kesalahan itu akan dikalungkan di leher seseorang sebelum diciptakan. Serusak-
rusaknya suatu kerusakan adalah melanggengkan perbuatan dosa.”
Imam Ja’far ash-Shadiq wafat di Madinah pada tahun 148 H., dengan
meninggalkan banyak murid yang tersebar di banyak wilayah, baik dalam periwayatan hadits,
fiqh dan tarekat. Dalam hal tarekat, Imam Ja’far ash-Shadiq selain dihubungkan dengan
silsilah tarekat di atas (Naqsyabandiyah dan Syathariyah), yang dikenal memberikan tarekat
kepada Abu Yazid al-Busthami; juga dikenal memberikan tarekat Imam Ali kepada anaknya,
Musa al-Kazhim dan diturunkan kepada Ali ar-Ridha, dan diturunkan kepada Maruf al-
Karkhi dan seterusnya, sebagaimana tradisi ini dipercayai dalam silsilah Qadiriyah-
Naqsyabandiyah. Imam Ja’far ash-Shadiq wafat tahun 148 H. (765 M.) Anak-anak beliau
menurut kitab Syamsuzh Zhahirah ada 13 laki-laki dan 7 perempuan, dan di antara mereka,
yang memiliki sambungan keturunan hingga saat ini, yaitu: Muhammad al-Al-Akbar diberi
laqab ad-Dibajah (hidup pada masa Khalifah al-Ma’mun), Ishaq diberi laqab al-Mu’tamin,
Musa al-Kazhim, dan Ali al-Uraidhi (yang terkecil umurnya dari anak-anaknya). Tarekatnya
diteruskan oleh Abu Yazid dan ImamMusaal-Kazhim.

3. Para Tokoh Perintis Tasawuf


A. Dzu Al-Nun Al-Misri;

Pencipta Teori Ma’rifat Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin
Muhammad al-Anshari (772 -860 M) yang dijuluki Sahib al-Hut (pemilik ikan). Ia
dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma‖rifat. Ma‖rifat dalam
terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah ―ilm, yakni sesuatu
yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma‖rifat
dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa
ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana diketahui bahwa
kalangan sufi membedakan jalan sufistik ke dalam tiga macam: (1) makhafah (jalan
kecemasan dan penyucian diri; tokohnya adalah Hasan al-Basri); (2) mahabbah
(jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri, dengan tokohnya Rabi‖ah al-
Adawiyah); (3) ma‖rifah (jalan pengetahuan). Menurutnya, ma‖rifah adalah fadl
(anugerah) semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan
pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Allahnya, maka semakin pula ia
dekat, khusyu‖ dan mencintaiNya. Ia termasuk meyakini bahwa ma‖rifat sebenarnya
adalah puncak dari etika baik vertical maupun horizontal. Jadi, ma‖rifat terkait erat
dengan syari‖at, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat
membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh
Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesama, seorang ―arif akan senantiasa
mengedepankan sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan
keadilan.

B. Abu Yazid Al-Busthami;

Teori Al-Ittihad Al-Busthami adalah orang pertama yang memakai istilah


fana‖ sebagai kosa kata sufistik. Dia mengadopsi teori monisme dari gnostisisme
hindu-budha. Konsep muraqabah (pendekatan 49 spiritual) yang dipahaminya
disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation) yang pada puncaknya mencapai
ekstase (fana‖) di mana terjadi penyatuan antara ―yang mendekat‖ (muraqib, yakni
sufi) dan ―yang didekati‖ (muraqab, yakni Allah). Pada konteks ini diketahui
bahwa Busthami memilah antara konsep ibadah dan ma‖rifah di mana ahli ibadah
(ritual normatif) dipersepsikan sebagai orang yang jauh untuk dapat meraih ma‖rifah
(tingkat spiritualitas hasil pendakian sufistik). Harun Nasution memandang
bahwa ittihad (yang menjadi teori sentral dari al-Busthami) tampak sebagai suatu
tingkatan dalam tasawuf di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi
satu, sehingga salah satu kepada yang lainnya dapat saling berkata: hai aku (ya ana!).

C. Al-Junaid Al-Baghdadi;

Teori Wihdat Al-Wujud Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-


Nehawandi al-Baghdadi. Ia dikenal sebagai tokoh yang mensistematisasikan
beberapa kecenderungan tasawuf dan mencoba mengislamisasi istilah-istilah
tasawuf dengan istilah-istilah dari al-Qur‖an. Ia digelari sayyid al-taifah dan juga
tawus al-ulama‖ (burung merak para ulama). Dia menjadi figur teladan dalam dunia
ketasawufan. Keseriusannya mengkaji syariah memengaruhi corak pemikiran
tasawufnya. Ia berpendapat bahwa tasawuf secara praktis haruslah berada dalam
bingkai tuntunan syari‖at. Baginya, tasawuf tidaklah diperoleh dari kata-kata atau
perdebatan atas sesuatu hal, melainkan dari praktik hidup lapar, senantiasa bangun
malam, dan memperbanyak amal saleh. Dia mengkritik perilaku sebagian pihak yang
menjadikan wusul (mencapai penyatuan diri dengan Allah) sebagai tindakan dan
apologi untuk melepaskan diri dari tanggung jawab atau kewajiban hukum syariah.

Mazhab tasawufnya dikenal terikat kuat dengan al-Qur‖an dan al-Hadits.


Wacana cinta mistiknya senantiasa menuju kepada ―ketenangan jiwa‖ (sahw)
sebagai kontra wacana dari praktik kesufian yang berciri kemabukan (sukr).
Ia terpengaruh dengan keteladanan dalam menekankan aspek zuhud dan sabar dari
al-Hasan al-Basri, tawakkal dari al-Muhasibi dan mahabbah dari Rabi‖ah al-
Adawiyah. Bagi Junaid, berkhalwat bukanlah sesuatu yang penting. Jauh lebih
penting adalah 51 memberikan nasihat kepada umat. Tasawuf merupakan
penyerahan diri kepada Allah, bukan untuk tujuan lain. Cara yang baik untuk
mendekatkan diri dengan-Nya adalah dengan senantiasa mencintainya. Cinta mistik
adalah kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang
datangnya dari Allah.

D. Al-Hallaj; Teori Al-Hulul Al-Hallāj (858-922 M)

Beliau merupakan seorang proponen paling awal yang disebut-sebut


menerima klaim keselamatan eskatologis di luar Islām. Diantara tebaran
pemikirannya, memang terdapat ide- ide yang dapat dipersepsi sebagai
sumbangsihnya bagi paham pluralisme agama yang sekarang menjadi wacana
keislaman aktual. Semisal yang terekam dalam tafsirnya atas kisah Musa ketika
diajak bicara oleh Allāh , yang tampak di mata telanjangnya sebagai pohon belukar
api (burning bush) yang berbicara. Pelajaran yang bisa diambil adalah, bahwa ketika
seseorang telah sampai pada titik kesadaran diri di mana ia terserap ke dalam hakikat
kebenaran, maka kebenaran itu tampak hadir dalam setiap apa yang dilihatnya secara
lahir.

Paham al-Hallāj didasarkan pada pandangannya tentang Tauhid, di mana


Allah adalah satu, unik, sendiri, dan terbukti satu (one, unique, alone, and attested
one). Maka tauhid dalam keyakinannyapun mempersilakan kehadiran konsep
keAllahan yang beraneka ragam. Baginya, Allah tak dapat disifati dengan apapun.
Penyifatan justru hanya akan membatasiNya. Dari sinilah terpahami mengapa ia
tidak menyoal penyembahan melalui konsep monoteisme dan politeisme, karena
pada dasarnya, kufur dan iman itu hanya berbeda dari segi nama dan logikanya,
yakni antara yang satu dan banyak, bukan dari segi hakikatnya. Menurutnya, jika
ditelusuri, niscaya akan dijumpai bahwa kepercayaan-kepercayaan 53 tersebut
akan mengarah kepada satu Allah. Al-Hallāj mengatakan jika perenungannya
terhadap agama-agama yang berbeda telah menghasilkan simpulan yang
mengantarnya pada pemahaman bahwa ternyata terdapat suatu prinsip unik
yang merajut keseluruhan agama-agama tersebut. Prinsip tersebut akan hadir
dengan sendirinya kepada seseorang sehingga mampu memahaminya. Maka dari itu,
seseorang tak usahlah dipinta agar memeluk suatu kepercayaan, karena hal itu justru
dapat menjauhkannya dari meraih prinsip yang fundamental tersebut.

Pemikiran al-Hallāj ini terkait erat dengan pemikirannya tentang konsep


hulul dan Nur Muhammad. Al-Hallāj memang seorang tokoh yang terkenal dengan
ucapannya, ―Ana al-Haqq‖ (Akulah Allāh ). Dijelaskan oleh Mahmud jika ucapan
hululiyah-nya tersebut tidak tepat jika dimaknai sebagai kesatuan diri hamba dan diri
Allahnya sebagaimana terpahami oleh konsep kesatuan wujudnya (Wahdat al-
Wujud) Ibn ―Arabī. Sedangkan Nūr Muhammad adalah konsep yang
menegaskan emanasi wujud segala sesuatu, termasuk para nabi, dari cahaya
Muhammad (di alam azali); sehingga pada prinsipnya semua agama adalah sama
karena memancar dari jalan petunjuk yang satu. Maka dari itu, al-Hallāj
menyalahkan mereka yang menyalahkan agama orang lain. Hal penting baginya
adalah hakikat, bukan bentuk lahirnya. Selaras dengan pandangan tersebut,
relevan jika dikemukakan juga pemikiran tentang kewalian (wilāyah). Kewalian
adalah intisari (jauhar) kenabian, sehingga seseorang yang telah 54 mencapai
derajat kewalian yang sempurna, maka syari‖at yang dibawa para nabi tidak lagi
mengikat dirinya. Pemikiran ini di kemudian hari dinilai menjadi lahan subur bagi
perkembangan pemikiran tentang kesatuan ibadah (tauhid al-‖ibādah) dan kesatuan
agama-agama (wahdat al-adyān) dalam aliran Ibn ―Arabī.

E. Al-Ghazali; Moderasi Syari’ah-Haqiqoh 1.

Latar Belakang Pemikiran Masa hidup al-Ghazâlî berada pada akhir


periode klasik (650-1250 M.) yang memasuki masa disintegrasi (1000-1250 M.). 1
Di mana masyarakat Islam pada saat itu sedang mengalami masa kemunduran.
Dinasti ―Abbâsiyah sebagai lambang kekuatan sosial politik umat Islam pada
waktu itu telah mengalami keruntuhan kekuasaan karena munculnya beberapa
faktor: Pertama, sistem kontrol yang lemah dari pusat kekuasaan ke daerah-daerah,
karena semakin luasnya daerah kekuasaan dinasti ―Abbâsiyah itu sendiri.
Kedua, adanya ketergantungan terhadap kekuatan tentara bayaran. Dan ketiga,
lemah dan tidak efisiennya pengaturan manajemen keuangan negara pada saat
itu.2
Betapa pun demikian, dinamisasi pemikiran masih tetap tumbuh dan
berkembang pada masa itu. Dinamika pemikiran berkembang dan mengkristal
menjadi bentuk aliran-aliran dengan metode dan sistem pemikirannya masing-
masing dan memperlihatkan tingkat keragaman yang tinggi. Hanya saja setiap aliran
pemikiran saling mengklaim bahwa kebenaran hanya terdapat pada golongannya
sendiri, sehingga kedudukan sebuah aliran pemikiran yang lain dipandang sebagai
aliran yang keliru.3 Hal ini sebagaimana digambarkan oleh al-Syahrastânî (w. 548
H) dalam karyanya, al-Milal wa al-Nihal, yang menguraikan betapa banyaknya
aliran pemikiran dalam Islam yang muncul dan berkembang pada saat itu.4

1.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 11.
1.
W. Montgomery Watt, The Majesty that was Islam, trans. Hartono
Hadikusumo, Kejayaan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 165- 166; M.
Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme
Tasawuf al-Ghazâlî, (Yogyakarta: LEMBKOTA kerjasama dengan Pustaka Pelajar,
2002), hal. 120. 5
2.
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazâlî, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), hal. 24.
3.
Menurut al-Syahrastânî, tidak setiap kumpulan pendapat yang berbeda dari yang lain,
disebut aliran. Ada empat ukuran (qawa―id) sebagai dasar untuk keberadaan sebuah
aliran, yaitu: (a) kekhususan pendapat tentang sifat-sifat Tuhan dan al-tauhîd; (b)
tentang al-qadr dan al-―adl; (c) tentang al-wa‖d dan al-wa‖îd; (d) tentang as-sam‖, al-
―aql, al-risâlah, dan al-amânah. Berdasarkan ukuran ini, al-Syahrastânî kemudian
menyatakan bahwa paham-paham di dalam Islam, ketika itu, terdiri atas empat aliran
besar, yaitu al-qadariyyah, al- shifatiyyah, al-khawârij, dan al-syî‖ah. Perpaduan dan
percabangan dari empat aliran besar ini menjadikan aliran-aliran dalam Islam
membengkak jumlahnya menjadi tujuh puluh tiga golongan. Lihat, al-Syahrastânî,
al-Milâl wa al- Nihâl, Juz I, (Beirût: Dâr al-Kutub al-―Ilmiyah, tt.), hal. 5-7

BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Berasal dari gerakan
zuhud yang personal, selanjutnya berkembang menjadi gerakan tasawuf massif yang
melahirkan kelompok dan ordo-ordo tertentu . Berawal abad kedua hijriyah sikap asketism
yang tumbuh adalah apresiasi terhadap perilaku kehidupan Nabi Muhammad yang penuh
sahaja. Beliau sebagai model ‘abid sejati menginspirasi para sahabat yang hidup pada
masanya untuk melakukan praktik-praktik ibadah sebagai proses pendakian jiwa menuju
Allah. Dalam perkembangannya, pada abad ketiga terjadi penyimpangan berat yang
dilakukan oleh sufisme Syi’i adalam aspek tauhid atau teologi, yang dinetralkan oleh teologi
Ahlusunnah wal jama’ah. Usaha rekonsiliasi yang dirintis oleh al-Muhasibi dilanjutkan oleh
al-Kharraj dan al-Junaid dengan tawaran konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara
sufisme dengan kelompok ortodoks (kaum salafiyah). Tujuan gerakan ini adalah untuk
menjembatani antara kesadaran mistik dengan syari’at Islam.
Gerakan sufisme ortodoks mencapai puncaknya pada abad lima hijriah dengan tokoh
sentralnyal Imam Al-Ghazali. Sentuhan filsafat juga mewarnai corak tasawuf. Pada abad ke
enam sampai ke delapan Hijriyah, lewat konsepsi Ibn Arabi, corak ma’rifat yang
dikembangkan adalah hubungan antara fenomena alam yang pluralistic dengan Tuhan
sebagai prinsip keesaan yang melandasinya, yang popular dengan doktrin wahdah al-wujud.
Ketegangan antara kaum sufi salafi dan para filosof sufi semakin memperluas jurang pemisah
keduanya, sehingga pada abad ke delapan Hijriyah Ibn Taymiyyah muncul dengan gagasan
neo-sufi sebagai respon terhadap beberapa persoalan social masyarakat yang terabaikan pada
masa itu. Gagasan ini berkembang hingga sekarang, untuk membebaskan manusia muslim
dengan pemahaman dan pengamalan ajaran agama secara integral.
DAFTAR PUSTAKA

Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al- Mazhab Ahl alTasawwuf, Dar al-Kutb
al-Ilmiyyah, Beirut Libanon, 1993.
A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan, Jakarta: Mizan,
1991.
Carl W. Ernst, Shambhala Guide to Sufim, terj: Arif Anwar, Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1997.
Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, London: I.B. Tauris & Co Ltd , 1989
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Isa Abduh Ahmad Isma’il Yahya, Dr, HakIkat al-Insan, Dar al-Ma’arif, tp, tt Rivay Siregar, Tasawuf
dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Anda mungkin juga menyukai