Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Yuminah. MA. SI
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG ....................................................................................................1
2. PERUMUSAN MASALAH ...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
1. SEJARAH TASAWUF PADA ZAMAN RASULULLAH SAW ..................................2
2. IMAM JA’FAR SODIQ GURU PARA GURU SUFI....................................................3
3. PARA TOKOH PERINTIS TASAWUF ........................................................................5
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tasawuf merupakan suatu ilmu yang tidak bisa dipisahkan dari kepribadian umat
Islam itu sendiri. Hal tersebut disebabkan orang yang berkecimpung dalam dunia tasawuf
merupakan orang yang beriman kepada Allah. Tasawuf senantiasa memiliki tujuan yakni
bersifat rohani, mencintai Allah SWT, dan menjaga hubungan dengan-Nya. Oleh karena
itu bukan merupakan sesuatu yang mudah bagi pribadi yang bukan mukmin untuk
mencapai ranah tersebut.2 Fakta dalam sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi
Muhammad Saw sebelum beliau diangkat oleh Allah menjadi seorang Rasul, beliau telah
berulang kali melakukan tahannuts3 atau biasa dikenal dengan istilah khalwat bertempat di
Gua Hira. Tahannuts yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bertujuan untuk mencari
ketenangan jiwa dan kebersihan hati untuk mendapatkan petunjuk (hidayah) oleh Allah
serta untuk mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segalanya dengan sebaik-
baiknya.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Pada zaman siapakah Tasawuf muncul ?
2. Ada berapa fase yang terjadi pada perkembangan tasawuf ?
3. Siapakah saja tokoh yang menghidupkan perkembangan ilmu tasawuf?
1
BAB II
PEMBAHASAN
Kaum sufi terkenal dengan kezuhudannya. Kezuhudan tersebut bukan tanpa dasar
apapun. Melainkan lebih kepada bentuk pengalaman yang menyeluruh terhadap ajaran agama
Islam. Bahkan perilaku-perilaku zuhud tersebut yang telah dilakukan oleh kaum sufi
sebenarnya merupakan ajaran yang telah dipraktekkan Rasulullah di hadapan para sahabat-
sahabatnya.
Pada awal munculnya agama Islam di Jazirah Arab, agama Islam yang didakwahkan
Nabi Muhammad saw., tampak begitu sederhana. Formulasi ajarannya begitu mudah
dipahami, karena Rasulullah sendiri ialah panutan utama atau dikenal dengan
sebutan Uswatun Hasanah, Central Figure bagi semua umat muslim yang ajarannya dan
contoh teladannya dapat diberikan secara langsung tanpa adanya perantara.
Kezuhudan Nabi Muhammad saw. dapat dilihat dari sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa
ketika itu sahabat Umar bin al-Khathab masuk kerumah Rasulullah, sementara Rasulullah
tampaknya baru bangun tidur dengan bekas tikar kasar pada bahunya. Melihat hal ini sahabat
Umar menangis.
Ketika ditanya oleh Rasulullah apa yang tengah membuatnya menangis, sahabat
Umar menjawab:
“Saya teringat Kaisar Romawi dengan segala kemewahan kerajaannya, Hurmuz dengan
kebesaran kerajaannya, serta raja Habasyah dan kebesaran kekuasaannya, sementara engkau
yang padahal utusan Allah hanya tidur di atas tikar yang terbuat dari daun kurma yang
kasar!”.
“Tidakkah engkau ridho bahwa mereka memiliki dunia, sementara kita memiliki akhirat?”
(HR. Ibn al-Mundzir dari sahabat Ikrimah).
Kezuhudan tidak hanya dilakukan ataupun dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw.
Akan tetapi juga dilakukan oleh para nabi terdahulu sebelum Rasulullah. Hal ini dikarenakan
hampir keseluruhan dari para Nabi Allah ialah orang-orang fakir yang tidak menyentuh
kesenangan duniawi. Mereka para Nabi Allah meski dikaruniai keluasan rizki dan kekuasaan,
tetapi kesehariannya mereka tetap pada mempraktekkan kehidupan zuhud.
Pada kehidupan Nabi Muhammad saw., juga terdapat petunjuk yang menggambarkan
bahwasannya dirinya ialah seorang sufi. Nabi Muhammad saw. telah melakukan pengasingan
diri di Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup keduniawian
ketika para orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan
yang didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.
Selama di Gua Hira, Rasulullah hanyalah bertafakkur dan hidup sebagai seorang
Zahid. Beliau hidup dengan sangat sederhana, bahkan memakai pakaian tambalan, tidak
makan dan tidak minum kecuali yang halal.
Di setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah swt., sehingga membuat Siti
Aisyah bertanya: “Mengapa engkau berbuat begini ya Rasulullah? Padahal Allah swt
senantiasa mengampuni dosamu?” Rasulullah menjawab: “Apakah engkau tidak
menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur?”.
Dengan demikian, sikap zuhud Nabi Muhammad saw., sebagai pola hidup paling
ideal dan patut ditiru dalam segenap aspek kehidupan kita. Dimana dalam kehidupan beliau
dapat mempengaruhi kehidupan para sahabat-sahabatnya serta para pengikutnya. Pola hidup
Rasulullah merupakan khazanah dan ibrah bagi kehidupan kaum sufi.
Pencipta Teori Ma’rifat Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin
Muhammad al-Anshari (772 -860 M) yang dijuluki Sahib al-Hut (pemilik ikan). Ia
dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma‖rifat. Ma‖rifat dalam
terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah ―ilm, yakni sesuatu
yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma‖rifat
dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa
ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana diketahui bahwa
kalangan sufi membedakan jalan sufistik ke dalam tiga macam: (1) makhafah (jalan
kecemasan dan penyucian diri; tokohnya adalah Hasan al-Basri); (2) mahabbah
(jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri, dengan tokohnya Rabi‖ah al-
Adawiyah); (3) ma‖rifah (jalan pengetahuan). Menurutnya, ma‖rifah adalah fadl
(anugerah) semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan
pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Allahnya, maka semakin pula ia
dekat, khusyu‖ dan mencintaiNya. Ia termasuk meyakini bahwa ma‖rifat sebenarnya
adalah puncak dari etika baik vertical maupun horizontal. Jadi, ma‖rifat terkait erat
dengan syari‖at, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat
membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh
Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesama, seorang ―arif akan senantiasa
mengedepankan sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan
keadilan.
C. Al-Junaid Al-Baghdadi;
1.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 11.
1.
W. Montgomery Watt, The Majesty that was Islam, trans. Hartono
Hadikusumo, Kejayaan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 165- 166; M.
Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme
Tasawuf al-Ghazâlî, (Yogyakarta: LEMBKOTA kerjasama dengan Pustaka Pelajar,
2002), hal. 120. 5
2.
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazâlî, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), hal. 24.
3.
Menurut al-Syahrastânî, tidak setiap kumpulan pendapat yang berbeda dari yang lain,
disebut aliran. Ada empat ukuran (qawa―id) sebagai dasar untuk keberadaan sebuah
aliran, yaitu: (a) kekhususan pendapat tentang sifat-sifat Tuhan dan al-tauhîd; (b)
tentang al-qadr dan al-―adl; (c) tentang al-wa‖d dan al-wa‖îd; (d) tentang as-sam‖, al-
―aql, al-risâlah, dan al-amânah. Berdasarkan ukuran ini, al-Syahrastânî kemudian
menyatakan bahwa paham-paham di dalam Islam, ketika itu, terdiri atas empat aliran
besar, yaitu al-qadariyyah, al- shifatiyyah, al-khawârij, dan al-syî‖ah. Perpaduan dan
percabangan dari empat aliran besar ini menjadikan aliran-aliran dalam Islam
membengkak jumlahnya menjadi tujuh puluh tiga golongan. Lihat, al-Syahrastânî,
al-Milâl wa al- Nihâl, Juz I, (Beirût: Dâr al-Kutub al-―Ilmiyah, tt.), hal. 5-7
BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Berasal dari gerakan
zuhud yang personal, selanjutnya berkembang menjadi gerakan tasawuf massif yang
melahirkan kelompok dan ordo-ordo tertentu . Berawal abad kedua hijriyah sikap asketism
yang tumbuh adalah apresiasi terhadap perilaku kehidupan Nabi Muhammad yang penuh
sahaja. Beliau sebagai model ‘abid sejati menginspirasi para sahabat yang hidup pada
masanya untuk melakukan praktik-praktik ibadah sebagai proses pendakian jiwa menuju
Allah. Dalam perkembangannya, pada abad ketiga terjadi penyimpangan berat yang
dilakukan oleh sufisme Syi’i adalam aspek tauhid atau teologi, yang dinetralkan oleh teologi
Ahlusunnah wal jama’ah. Usaha rekonsiliasi yang dirintis oleh al-Muhasibi dilanjutkan oleh
al-Kharraj dan al-Junaid dengan tawaran konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara
sufisme dengan kelompok ortodoks (kaum salafiyah). Tujuan gerakan ini adalah untuk
menjembatani antara kesadaran mistik dengan syari’at Islam.
Gerakan sufisme ortodoks mencapai puncaknya pada abad lima hijriah dengan tokoh
sentralnyal Imam Al-Ghazali. Sentuhan filsafat juga mewarnai corak tasawuf. Pada abad ke
enam sampai ke delapan Hijriyah, lewat konsepsi Ibn Arabi, corak ma’rifat yang
dikembangkan adalah hubungan antara fenomena alam yang pluralistic dengan Tuhan
sebagai prinsip keesaan yang melandasinya, yang popular dengan doktrin wahdah al-wujud.
Ketegangan antara kaum sufi salafi dan para filosof sufi semakin memperluas jurang pemisah
keduanya, sehingga pada abad ke delapan Hijriyah Ibn Taymiyyah muncul dengan gagasan
neo-sufi sebagai respon terhadap beberapa persoalan social masyarakat yang terabaikan pada
masa itu. Gagasan ini berkembang hingga sekarang, untuk membebaskan manusia muslim
dengan pemahaman dan pengamalan ajaran agama secara integral.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al- Mazhab Ahl alTasawwuf, Dar al-Kutb
al-Ilmiyyah, Beirut Libanon, 1993.
A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan, Jakarta: Mizan,
1991.
Carl W. Ernst, Shambhala Guide to Sufim, terj: Arif Anwar, Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1997.
Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, London: I.B. Tauris & Co Ltd , 1989
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Isa Abduh Ahmad Isma’il Yahya, Dr, HakIkat al-Insan, Dar al-Ma’arif, tp, tt Rivay Siregar, Tasawuf
dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.