Oleh
FAKULTAS TARBIYAH
2020
A. Pendahuluan
Salah satu karya tulis Ulama Banjar di bidang fikih yang masih dapat dijumpai saat
ini adalah Kitab Parukunan Jamaluddin yang ditulis oleh seorang mufti Banjar yang
bernama al-‘Alim al-Alamah Jamaluddin bin al-Fadhil al-Syaikh Muhammad Arsyad.
Fikih dalam arti sempit adalah hukum-hukum syara’ praktis, sehingga fikih bisa
dikatakan merupakan implementasi yang tepat bagi syariah Islam dan juga bagi manhaj
Al_Qur’an dalam kehidupan ini. Tipikal fikih seperti inilah yang dijumpai di dalam Kitab
Parukunan Jamaluddin yang memuat hukum-hukum syara’ praktis dan mudah dipahami
dengan baik oleh masyarakat awam Banjar karena ditulis dalam bahasa Banjar. Ketika
membaca kitab ini, sering dijumpai istilah-istilah lokal yang tidak dijumpai dalam
pembahasan kitab fikih pada umumnya terutama yang ditulis dalam bahasa Arab, atau yang
mengacu pada kitab-kitab fikih klasik karya ulama-ulama mujtahid seperti kitab al-
Muwattha karya Imam Malik, dan al-Um karya Imam al-Syafi’i. Bahkan di dalam kitab
fikih kontemporer pun tidak dijumpai istilah-istilah Banjar di dalam kitab Parukunan
Jamaluddin.
B. Pembahasan
2. Kecenderungan Mazhab
1
Desi Arfianty, Mufti Jamaluddin Al Banjari, Ahli Hukum Pemegang Surat Wasiat Sultan Adam,
https://www.kanalkalimantan.com/mufti-jamaluddin-al-banjari-ahli-hukum-pemegang-surat-wasiat-sultan-adam/,
Diakses pada 5 Maret 2021 pada pukul 10.26.
2
Imam Alfiannor, Kitab parukunan Jamaluddin Karya Jamaluddin Bin Muhammad Arsyad Albanjari (Pasal Qadha
Hajah Dan Istinja), UIN Antasari Banjarmasin, Banjarmasin, 2020, Cet 1, hal 3-4.
Untuk kecenderungan Mazhab bisa dilihat dari buku beliau, beliau condrong ke mazhab
Imam Syafi’I dan kita lihat sebagaimana Ayah Beliau Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
juga termasuk ulama yang bermazhabkan Imam Syafi’i. Sedikit kita ceritakan siapa Imam
Syafi’I itu. Imam Syafi’I adalah termasuk Imam fikih diantara 4 orang imam lainnya, tapi
kita khusus membahas Imam syafi’i saja. Sedikit biografi beliau, nama beliau Abu Abdillah
Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i al-Syaib bin Ubaid bin al-Yazid
bin Hasyim bin alMuthallib bin Abdu al-Manaf al-Muthallibi (anak paman Rasulullah) ,
adalah nama asli dari Imam Syafi’i. Dalam pandangan para ahli sejarah tepatnya pada tahun
150 H (767 M), beliauasal Quraysi itutelah dilahirkan. Menyangkut tentang tahun
kelahirannya, di mata para ahli sejarah tidak ditemui adanya perselisihan pendapat, namun
ketika mempersoalkan tempat di mana ia dilahirkan, di sana mulai tampak ada perbedaan-
perbedaan, meskipun tidak mendasar. Sebagian ada yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i
lahir di Ghazah, yaitu bagian selatan Palestina. Sebagian yang lain mengatakan ia lahir di
Asqalan (Libanon) (Ibn Manzhur, 1410 : hal 210).
Ada dua peristiwa penting yang perlu dicatat dalam sejarah seputar kelahiran Imam
Syafi’i. Pertama; tahun kelahiran Imam Syafi’i adalah tahun dimana dua ulama besar dunia
telah pulang ke rahmatullah. Seorang di Bagdad (Irak), yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man
bin Tsabit sebagai pembangun madzhab Imam Hanafi. Seorang lainnya di Makkah, yaitu
Imam Ibnu Jurej al-Makky, mufti Hijaz ketika itu. Perkataan serupa juga muncul dari Imam
al-Nawawi dalam kitabnya “Tahdzibu al-Asma’ wa al-Lughat”, diperkuat lagi oleh Yaqut
dalam kitabnya “Mu’jam al-Udaba”. Kedua; sewaktu masih berada dalam kandungan,
ibunya pernah bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya, seraya naik
membumbung tinggi, hingga bintang itu pecah bercerai dan berserak menerangi daerah-
daerah sekelilingnya. Dua peristiwa penting di atas telah memunculkan ragam prediksi dari
sejumlah futurulog, yang mayoritas berkesimpulan bahwa al-Syafi’i adalah sosok dimana
kelak ia akan menjadi imam besar. Hanya saja berbagai prediksi yang muncul di satu sisi
secara rasional kurang memperoleh dukungan baik materiil maupun moril. Hal demikian
bisa kita lihat dalam suatu kondisi, dimana dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama,
ayahnya telah meninggal. Selalnjutnya ia dibawa ibunya untuk pergi ke Makkah dan ketika
itu ia baru berusia 2 tahun, belum lagi ditambah kondisi ekonomi ibunya yang sangat
memprihatinkan(Ibn Manzhur, 1410 : hal 210).3
4. Karya
Karya Mufti Jamaluddin Al-Banjari yang sangat berpengaruh dalam literatur Melayu
adalah “Parukunan Jamaluddin”. Dalam berbagai versi, karya ini ditulis degan nama:
4
Jamaluddin ibn Muhammad Arsyad, Perukunan , Baharu Kelantan, Syarikah Ja’far Rawas, 1962, hal 7-8.
5
Imam Alfiannor, Kitab parukunan Jamaluddin Karya Jamaluddin Bin Muhammad Arsyad Albanjari (Pasal Qadha
Hajah Dan Istinja), UIN Antasari Banjarmasin, Banjarmasin, 2020, Cet 1, hal 6.
Sukarni, “Kitab Fikih Ulama Banjar Kesinambungan Dan Perubahan Kajian Konsep
“Parukunan”, “Parukunan Besar”, dan “Parukunan Melayu”. Karya ini diterbitkan oleh
Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekkah, pada tahun 1315H/1897 M.6
Metode yang dipakai dalam menetapkan hukum-hukum fikih dalam kitab ini adalah
deduktif, dan sebagian besar hukum fikih yang ditetapkan tidak mencantumkan dalil
normatifnya.7
Kitab Parukunan Jamaluddin disusun atas 3 bagian utama, yaitu pertama, membahas
tentang keimanan; kedua, fikih ibadah; dan ketiga, fikih muamalah. Pembahasan tentang
keimanan dikupas di dalam 2 sub bahasan, fikih ibadah dalam 22 pasal, dan fikih muamalah
di dalam satu bahasan tersendiri yang disebut dengan kitab “Aturan Kita Kepada Sekalian
yang Ampun Hak.” Secara rinci dari sistematika isi kitab Parukunan Jamaluddin dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1) Khutbah al-Kitab (Kata Pengantar);
2) Syahdan bahwa kasih akan malaikat itu daripada syarat iman;
3) Syahdan bahwa kasih akan sekalian nabi itu daripada iman;
4) Pasal pada menyatakan hukum air;
5) Syahdan dimaafkan daripada najis itu bangkai binatang yang tiada mengalir darahnya;
6) Pasal pada menyatakan najis dan menghilangkan dia;
7) Pasal pada menyatakan hukum qadha’ul hajah dan istinja’;
8) Pasal pada menyatakan barang yang wajib mandi dan fardu mandi dan sunnah mandi, dan
makruhnya dan barang yang haram pada orang yang hadats kecil;
9) Syahdan adalah sunnah mandi itu amat baik;
10) Pasal pada menyatakan segala syarat mengambil air sembahyang dan sunnahnya dan
makruhnya;
11) Pasal pada menyatakan syarat sembahyang dan bang dan qamat dan syarat keduanya;
12) Pasal pada menyatakan kaifiat sembahyang dan rukunnya dan segala sunnahnya;
13) Pasal pada menyatakan yang membatalkan sembahyang dan yang makruhnya;
14) Pasal pada menyatakan sembahyang sunnah;
15) Pasal pada menyatakan syarat hukum puasa;
16) Pasal pada menyatakan syarat wajib puasa sebab ramadhan;
17) Pasal pada menyatakan barang yang mengharuskan berbuka puasa;
18) Pasal pada menyatakan segala sunnah puasa;
19) Pasal pada menyatakan jima’di dalam bulan Ramadhan dan yang wajib atas orang yang
mengerjakannya;
20) Pasal yang menyatakan puasa sunnah;
21) Pasal yang menyatakan kelebihan malam nisfu sya’ban;
22) Pasal yang menyatakan memandikan mayit dan yang berhubungan dengannya.
23) Pasal yang menyatakan kafan;
6
Imam Alfiannor, Kitab parukunan Jamaluddin Karya Jamaluddin Bin Muhammad Arsyad Albanjari (Pasal Qadha
Hajah Dan Istinja), UIN Antasari Banjarmasin, Banjarmasin, 2020, Cet 1, hal 4.
7
Sukarni, “Kitab Fikih Ulama Banjar Kesinambungan Dan Perubahan Kajian Konsep Fikih Lingkungan”, Jurnal
Studi Keislaman, Vol. 15, No. 2, 2015.
24) Pasal yang menyatakan segala rukun sembahyang mayit dan yang berhubungan
dengannya;
25) Pasal yang menyatakan wajib kita I’tiqadkan Allah ta’ala menyiksakan orang yang
durhaka dalam kubur;
26) Kitab pada menyatakan aturan kita kepada sekalian yang ampun hak;
27) Pasal yang menyatakan segala sembahyang qashr serta jamak;
28) Pasal pada menyatakan syarat qashar.8
C. Tanya Jawab
Saudara Fahmi memberiikan pertanyaan masalah kenapa pada jaman Mufti Jamaluddin
para pasukan penjajah alias Belanda tidak membunuh beliau?
Jawaban saya adalah karena pasukan Belanda juga menyadari apabila ulama ini di bunuh
maka akan menimbulkan efek negative dari dua belah pihak karena masyarakat Banjar pada
saat itu bahkan sampai sekarang mereka sangat fanatik terhadap ulama mereka, lebih lagi
apabila ualama tersebut seorang Waliyullah.
D. Tambahan
Pertama, Kitab Parukunan ini pada prinsipnya semacam ringkasan (khulasah) dari kitab
Sabil al-Muhtadin yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan dicetak untuk
pertama kalinya di Mekkah pada tahun 1300 H. Karenanya jika dibandingkan, isi dan
pembahasan yang diuraikan di dalamnya memiliki kemiripan dengan Kitab Sabil
alMuhtadin. Hal ini bisa dimaklumi, karena baik Kitab Parukunan Jamaluddin maupun
Kitab Sabil al-Muhtadin bermuara pada satu sumber yang sama, yakni Al-Banjari.
Kedua, karena semacam ringkasan dari Kitab Sabil al-Muhtadin, maka wajar dikatakan
jika pembahasan yang dihimpun di dalam Kitab Parukunan ini berdasarkan pada materi
pengajian atau pelajaran agama yang disampaikan atau didiktekan oleh Al-Banjari kepada
murid-muridnya, yang salah seorang di antara para muridnya tersebut adalah Fatimah. Hal
ini juga bisa dibaca dari gaya penulisan kitab yang bersifat penuturan dan ditujukan kepada
pendengar atau lawan bicara, seperti tergambar pada kata: “ketahuilah olehmu hai
thaalib”(pelajar, penuntut ilmu), “maka hendaklah kita”, dan sebagainya.
Ketiga, materi pengajaran yang disampaikan oleh Al-Banjari kemudian dihimpun dan
dijadikan pegangan oleh Fatimah untuk memberikan pengajaran agama kepada kaum
perempuan pada masanya untuk meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Al-Banjari
(kakeknya), sehingga akses dan kesempatan kaum perempuan untuk mempelajari agama
pada masa itu lebih luas tidak kalah dengan kaum laki-laki. Secara khusus, dalam buku
8
Imam Alfiannor, Kitab parukunan Jamaluddin Karya Jamaluddin Bin Muhammad Arsyad Albanjari (Pasal
Qadha Hajah Dan Istinja), UIN Antasari Banjarmasin, Banjarmasin, 2020, Cet 1, hal 8.
Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar), Abu Daudi
menggambarkan aktivitas Fatimah ketika memberikan pengajaran agama kepada kaum
wanita di masanya. “Kalau kaum laki-laki bangga melihat Muhammad As’ad, cucu pertama
Syekh Muhammad Arsyad menjadi ulama, maka kaum wanita bersyukur karena mendapat
guru wanita, cucu kedua Syekh Muhammad Arsyad, yang telah pula mendapat ilmu yang
sama. Fatimah duduk di tengah-tengah murid wanita yang datang dari berbagai kampong
dan kota, menuangkan ilmu kepada kaum wanita, dan menyadarkan serta memantapkan
fungsi wanita dalam beragama”.9
E. Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan dari kisah dan kitab karangan yang beliau karang corak pemikiran
beliau tidak terbatas hanya di fiqh tapi mencakup tauhid, tasawwuf bahkan pengetahuan
beliau yang dijadikan patokan sebuah undang-undang negara.
Untuk kecenderungan Mazhab bisa dilihat dari buku beliau, beliau condrong ke mazhab
Imam Syafi’I dan kita lihat sebagaimana Ayah Beliau Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
juga termasuk ulama yang bermazhabkan Imam Syafi’i.
9
Zulfa Jamalie , Kitab Parukunan : Karya Tulis Keagamaan Ulama Perempuan Banjar. Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI Jakarta Nomor Jurnal: Vol.17 No. 2 Desember 2019.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiannor, Imam. 2020. Kitab parukunan Jamaluddin Karya Jamaluddin Bin Muhammad Arsyad
Albanjari (Pasal Qadha Hajah Dan Istinja). UIN Antasari Banjarmasin. Banjarmasin.
Cet 1.
Arsyad, Jamaluddin ibn Muhammad. Perukunan. 1962. Baharu Kelantan. Syarikah Ja’far Rawas.
1962.
Jamalie, Zulfa. 2019. Kitab Parukunan : Karya Tulis Keagamaan Ulama Perempuan
Banjar. Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI Jakarta Nomor
Jurnal: Vol.17 No. 2
Naim, Abdul Haris. “Moderasi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi’I”. Jurnal Pemikiran
Hukum dan Hukum Islam. Vol. 9 No. 1. 2018.
Sukarni, “Kitab Fikih Ulama Banjar Kesinambungan Dan Perubahan Kajian Konsep Fikih
Lingkungan”, Jurnal Studi Keislaman, Vol. 15, No. 2, 2015
Arfianty, Desi. Mufti Jamaluddin Al Banjari, Ahli Hukum Pemegang Surat Wasiat Sultan Adam.
https://www.kanalkalimantan.com/mufti-jamaluddin-al-banjari-ahli-hukum-pemegang-
surat-wasiat-sultan-adam/. Diakses pada 5 Maret 2021 pada pukul 10.26.