net/publication/339585225
CITATIONS READS
0 5,755
1 author:
Imam Alfiannor
UIN Antasari Banjarmasin
1 PUBLICATION 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Imam Alfiannor on 29 February 2020.
A. Pendahuluan
Salah satu karya tulis Ulama Banjar di bidang fikih yang masih dapat
dijumpai saat ini adalah Kitab Parukunan Jamaluddin yang ditulis oleh seorang
mufti Banjar yang bernama al-‘Alim al-Alamah Jamaluddin bin al-Fadhil al-Syaikh
Muhammad Arsyad.
Fikih dalam arti sempit adalah hukum-hukum syara’ praktis, sehingga fikih
bisa dikatakan merupakan implementasi yang tepat bagi syariah Islam dan juga bagi
manhaj Al_Qur’an dalam kehidupan ini. Tipikal fikih seperti inilah yang dijumpai
di dalam Kitab Parukunan Jamaluddin yang memuat hukum-hukum syara’ praktis
dan mudah dipahami dengan baik oleh masyarakat awam Banjar karena ditulis
dalam bahasa Banjar. Ketika membaca kitab ini, sering dijumpai istilah-istilah lokal
yang tidak dijumpai dalam pembahasan kitab fikih pada umumnya terutama yang
ditulis dalam bahasa Arab, atau yang mengacu pada kitab-kitab fikih klasik karya
ulama-ulama mujtahid seperti kitab al-Muwattha karya Imam Malik, dan al-Um
karya Imam al-Syafi’i. Bahkan di dalam kitab fikih kontemporer pun tidak dijumpai
istilah-istilah Banjar di dalam kitab Parukunan Jamaluddin.
Makalah ini disusun untuk mengungkapkan sebagian isi dari kitab fikih
Parukunan Jamaluddin, dan hubungannya secara kontekstual dengan kearifan lokal
yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat Banjar di masa kitab itu ditulis dan
di masa kekinian.
B. Fokus Permasalahan
C. Pembahasan
1
‘Mufti Jamaluddin Al-Banjari | Melayu Online’ <http://melayuonline.com/
eng/personage/dig/327/mufti-jamaluddin-al-banjari> [accessed 25 February 2018].
2
Dalam versi yang lain disebutkan bahwa Syekh Jamaluddin dilahirkan pada tahun 1817.
Namun bila penulis mengacu pada tahun ini, maka Syekh Jamaluddin baru berusia 8 tahun di awal
pemerintahan Sultan Adam dan berusia 18 tahun ketika lahirnya UU Sultan Adam. Penulis memilih
versi kelahiran Syekh Jamaluddin pada tahun 1780, dan berusia 45 tahun pada awal pemerintahan
Sultan Adam atau berusia 55 tahun ketika lahirnya UU Sultan adam. Usia 45 tahun atau 55 tahun
merupakan usia puncak kematangan pribadi seseorang, sehingga lebih bisa diterima versi tahun
1780 daripada versi tahun 1817.
3
mati. Sebagai penengah, Mufti Jamaluddin al-Banjari memegang surat wasiat itu
dan mencari jalan keluar yang damai antar keduanya.
Pada abad ke-18, Mufti Jamaluddin al-Banjari berperan besar dalam
mengembangkan sufisme di Marabahan, yang kini termasuk daerah di Kalimantan
Selatan. Aliran sufisme ini secara khusus mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah
dengan suluk-nya dan tarekat Syadziliyah. Sebagai puncaknya, aliran sufisme ini
dikembangkan oleh puteranya, Abdusshamad, yang merupakan hasil perkawinan
Mufti Jamaluddin al-Banjari dengan penduduk lokal bernama Samayah binti
Sumandi. Abdusshamad kelak menjadi wali besar di tanah Dayak, sehingga
bergelar Datu Abdusshamad Bakumpai.
Belum ditemukan data tentang kapan Mufti Jamaluddin al-Banjari wafat.
Data yang ada hanya menyebutkan bahwa ia wafat di Sungai Jingah (Kubah),
3
Dalam sumber lain disebutkan bahwa Surgi Mufti Jamaluddin wafat pada tanggal 8
Muharram 1348 Hijriyah, pukul 15.00 WITA menjelang Sholat Ashar di Sungai Jingah.
5
4LihatZafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary Ulama Besar Juru Da'wah
2ed. (Banjarmasin: Penerbit Karya, 1979), h. 15-16.; Muhammad Shagir Abdullah, Syeikh Muhd
Arsyad al-Banjari: Matahari Islam (Mempawah: Pondok al-Fathanah, 1982), h. 62-63.
5Martin Van Bruinessen menjelaskan dalam hal ini bukan tokoh perempuan seperti A'isya
dan Fathimah, yang merupakan tokoh kunci dalam isnad hadits Sunni dan Syi`ah, atau Rabi`ah Al-
`Adawiyah, Sufi yang pertama. Mereka memang diakui, dan itu membuktikan bahwa bias anti-
perempuan itu tidak menyeluruh dalam Islam pada masa awalnya seperti halnya belakangan pada
abad pertengahan.
6
netral ia menulis bahwa ada lima perkara yang mewajibkan mandi: mati (kecuali
mati syahid), haidh, nifas, wiladah (keguguran), dan janabah (persetubuhan). Tidak
ada uraian panjang tentang hal-hal yang dilarang bagi perempuan pada masa haid.
Muhammad Shaghir Abdullah berbeda pandangan dengan Martin van
Bruinessen bahwa karya tersebut memang benar-benar milik Mufti Jamaluddin Al-
Banjari. Dalam tulisannya, Muhammad Shaghir Abdullah juga mengakui bahwa
Sebenarnya ada banyak karya Mufti Jamaluddin al-Banjari yang lain, namun
kurang begitu terkenal. Salah satu yang berhasil diidentifikasi adalah karyanya yang
berjudul Bulugh al-Maram fi Takhalluf al-Muafiq fi alQiyam (1247 H/1831 M).
6
Abdullah, Syeikh Muhd Arsyad al-Banjari: Matahari Islam
7
7
Jamaluddin ibn Muhammad Arsyad, Perukunan Jamaluddin (Jeddah: al-Haramain, t.th.),
h. 40.
8
26) Kitab pada menyatakan aturan kita kepada sekalian yang ampun hak;
27) Pasal yang menyatakan segala sembahyang qashr serta jamak;
28) Pasal pada menyatakan syarat qashar.
Pasal: ini satu pasal pada menyatakan hukum qadha hajah dan istinja.
Ketahui olehmu hai thalib bahwasanya adalah bagi qadha hajah itu tiga
hukum. Pertama, sunnat; kedua, makruh; ketiga, haram. Maka qadha hajah
yang sunnat itu yaitu menutup kepala tatkala qadha hajah besar atau kecil,
menghadirkan air atau batu akan istinja, mendahulukan kaki kiri tatkala
masuk ke jamban, mendahulukan kaki kanan tatkala keluar daripadanya.
Jika qadha hajah di padang sekalipun, bertungging serta mendudukan kaki
kiri, menjauhi dari segala manusia kira-kira tidak keciuman baunya, dan
sunnah membaca”Bismillah Allahumma Innii A’udzu bika minal khubutsi
wal khaba’its, dan sunnah membaca “Gufraanaka alhamdulillah alladzii
Adzhaba ‘annii al-‘Adzaa wa ‘Aafaanii” tatkala keluar daripadanya.
Qadha hajah yang makruh itu seperti qadha hajah besar atau kecil pada air
yang tenang dan pada air yang sedikit yang mengalir pada liang tanah, pada
tempat mereka itu bercerita, melainkan pada tempat mereka itu berbuat
maksiat maka harus qadha hajah di sana. Dan lagi makruh qadha hajah di
bawah pohon kayu yang berbuah yang dimakan buahnya.
Qadha hajah yang haram itu qadha hajah besar atau kecil dengan disengaja
membawa suatu yang ada tersurat didalamnya nama Allah, nama
Nabiyallah, dan nama malaikat; dan qadha hajah menghadap kiblat atau
membelakanginya dengan qubul atau dubur jika tidak berdinding yang
kebilangan antara qadha hajah dan qiblat; Qadha hajah di atas kubur, dan di
dalam mesjid. Dan sunnah qadha hajah itu menghadap angin, jangan pada
suatu yang tikar (yang jadi dinding) supaya tidak kembali najisnya kepada
suatu daripada badan atau kainnya; Jangan ia berkata-kata; dan lagi
seyogyanya jangan diangkatkan kain sehabis-habis melainkan sedikit-
sedikit jua diangkat sampai duduknya kepada tempat qadha hajah maka
8
Ibid., h, 7-8.
9
9
LihatWahbah al Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, vol. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), h. 192-202.
10
air besar ataupun kecil yang banyak terdapat di bantaran sungai. 10 Disamping itu,
penggunaan volume air tanpa batas untuk istinja tidak menjadi bagian dari adab
membuang air. Menurut penulis, penggunaan air dengan volume besar
dimungkinkan di daerah yang banyak sumber airnya seperti sungai. Karena itu, hal
yang wajar bila Syekh Jamaluddin menyampaikan fikih istinja’ ini kepada
masyarakat Banjar yang memang banyak bermukim di sepanjang sungai Martapura
dan Barito.
Di dalam pembahasan Istinja’ yang terdapat dalam kitab Parukunan
Jamaluddin tidak mengungkapkan istilah istibra’ dan istijmar, walaupun demikian,
pengertian istijmar dijumpai di dalam uraian tentang cara beristinja’. Misalnya,
pengertian untuk Istijmar disebutkan bahwa membersihkan najis dengan
disebutkan bahwa untuk menyakinkan kemaluan bersih dari najis maka dibolehkan
pengertian dari Istibra, yaitu membersihkan dari sesuatu yang keluar baik dari
kemaluan depan ataupun belakang. Sehingga, ia yakin bahwa sisa-sisa yang keluar
itu sudah hilang. Ia dapat diartikan juga sebagai membersihkan tempat keluar najis
10
et.al Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia-Banjar Dialek Kuala (Banjarbaru: Balai
Bahasa Banjarmasin, 2016).
11
Bermula Istinja itu wajib atas tiap-tiap yang qadha hajah menghilangkan najis dengan air
mutlak atau dengan batu yang suci atau barang suatu pada makna batu daripada tiap-tiap benda yang
beku lagi suci lagi tiada dihormati. Arsyad, Perukunan Jamaluddin, h. 8.
12
Ibid.
13
Ibid; Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, h. 193.
11
Kalimat ini bermakna hendaklah dia bertumpu di atas kakinya yang kiri ketika
duduk, karena cara ini memudahkan keluarnya najis. Juga terdapat sebuah hadis
riwayat ath-Thabrani dari Suraqah bin Malik yang menyebutkan “Kami disuruh
oleh Rasulullah saw bertumpu di atas kaki kiri dan menegakkan kaki yang
kanan”.14
pertambangan.15
Penggunaan air tanpa batas untuk kepentingan istinja tidak terlepas dari
kehidupan masyarakat Banjar yang akrab dengan melimpahnya sumber air,
14
Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh.
15
Prof. Malkianus Paul Lambut, seorang ahli Toksologi (sungai) di dalam Kongres Sungai
III di Banjarmasin, Oktober 2017 menegaskan bahwa kondisi sungai saat ini sudah kehilangan
fungsi idealnya sebagai sumber air tawar terbesar dan sebagai sumber air minum. Hal ini sangat
membahayakan kehidupan masyarakat Banjar karena air sungai yang digunakan dalam
kesehariannya sudah tercemar dan tidak layak untuk diminum.
12
terutama sungai sebagai sumber air tawar terbesar di daerah Banjar. Itu sebabnya,
Syekh Jamaluddin menyampaikan fikihnya tentang penggunaan air tanpa batas
untuk istinja. Padahal bila dibandingkan dengan kondisi sungai saat ini, tentu air
sungai dengan kadar pencemaran yang tinggi tidak layak lagi dijadikan alat bersuci.
Kitab Parukunan Jamaluddin masih dicetak ulang dan bisa didapati pada
saat ini, bahkan sebagian masyarakat Banjar ada yang memilikinya. Pada satu sisi,
kitab ini menjadi tuntunan praktis dalam menjalankan ajaran Islam bagi
pemeluknya, namun di sisi lain, beberapa hal pemikiran fikih di dalam kitab ini
harus diubah, seperti perlunya dicantumkan ketentuan bangunan jamban yang tidak
mencemari air sungai.
Karya ulama zaman dulu mestilah dipahami secara kontekstual, dengan
memperhatikan latar belakang sejarah, sosial dan politik. Kitab kuning dengan
segala muatannya bukanlah kebenaran mutlak, melainkan juga mencerminkan
budaya, kebutuhan dan pendapat umum pada tempat dan zaman dikarangnya. isi
kitab kuning merupakan perpaduan antara ajaran pokok Islam (Qur'an dan hadits)
dengan budaya lokal. Budaya merupakan sesuatu yang selalu berubah, sehingga
kalau isi kitab kuning terasa kurang cocok dengan kita, mungkin hanya disebabkan
budaya kita sudah lain daripada budaya pengarang.16
D. Kesimpulan
1. Kitab Parukunan Jamaluddin ditulis oleh seorang ulama wanita yang
bernama ‘alimul Fadhilah Fatimah bin Abdul Wahab Bugis. Kitab ini sering
juga disebut Parukunan Jamaluddin. Hal ini disebabkan karena alimul
Fadhilah Fatimah menyandarkan tulisannya itu kepada pamannya Mufti H.
Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kitab ini berisi
tentang cara ibadah, rukun sembahyang, puasa, dan lain-lain.
2. Tujuan penulisan atau penyusunan kitab ini adalah memberikan satu
tuntunan praktis bagi masyarakat Banjar di masanya dalam mempelajari dan
mengamalkan ajaran Islam.
16
‘KITAB KUNING DAN PEREMPUAN’ <http://www.let.uu.nl/ ~martin.vanbruinessen/
personal/ publications/ kitab_kuning_ dan_perempuan.htm> [accessed 25 February 2018].
13
3. Dari segi muatan ajaran Islam yang terkandung di dalamnya sesuai dengan
ajaran fikih klasik, meskipun dialihbahasakan ke dalam bahasa Melayu,
namun tidak mengubah pengertian dari pemahaman ulama-ulama Salaf di
dalam karya fikih-fikihnya.
4. Alihbahasa yang dilakukan oleh Syekh Jamaluddin di dalam kitab
Parukunan merupakan konsekuensi dari karakter fikih itu sendiri yang
disusun oleh ulama sesuai dengan latar belakang sejarah, sosial dan politik
di masanya. Karena itu, perubahan isi kitab Parukunan harus dilakukan bila
dijumpai perubahan perilaku kehidupan masyarakat.
14
DAFTAR PUSTAKA