Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339585225

KITAB PARUKUNAN JAMALUDDIN KARYA JAMALUDDIN BIN MUHAMMAD


ARSYAD AL BANJARI (PASAL QADHA HAJAH DAN ISTINJA)

Article · February 2020

CITATIONS READS

0 5,755

1 author:

Imam Alfiannor
UIN Antasari Banjarmasin
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Imam Alfiannor on 29 February 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


1

KITAB PARUKUNAN JAMALUDDIN


KARYA JAMALUDDIN BIN MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
(PASAL QADHA HAJAH DAN ISTINJA)
Oleh: Imam Alfiannor

A. Pendahuluan

Salah satu karya tulis Ulama Banjar di bidang fikih yang masih dapat
dijumpai saat ini adalah Kitab Parukunan Jamaluddin yang ditulis oleh seorang
mufti Banjar yang bernama al-‘Alim al-Alamah Jamaluddin bin al-Fadhil al-Syaikh
Muhammad Arsyad.
Fikih dalam arti sempit adalah hukum-hukum syara’ praktis, sehingga fikih
bisa dikatakan merupakan implementasi yang tepat bagi syariah Islam dan juga bagi
manhaj Al_Qur’an dalam kehidupan ini. Tipikal fikih seperti inilah yang dijumpai
di dalam Kitab Parukunan Jamaluddin yang memuat hukum-hukum syara’ praktis
dan mudah dipahami dengan baik oleh masyarakat awam Banjar karena ditulis
dalam bahasa Banjar. Ketika membaca kitab ini, sering dijumpai istilah-istilah lokal
yang tidak dijumpai dalam pembahasan kitab fikih pada umumnya terutama yang
ditulis dalam bahasa Arab, atau yang mengacu pada kitab-kitab fikih klasik karya
ulama-ulama mujtahid seperti kitab al-Muwattha karya Imam Malik, dan al-Um
karya Imam al-Syafi’i. Bahkan di dalam kitab fikih kontemporer pun tidak dijumpai
istilah-istilah Banjar di dalam kitab Parukunan Jamaluddin.
Makalah ini disusun untuk mengungkapkan sebagian isi dari kitab fikih
Parukunan Jamaluddin, dan hubungannya secara kontekstual dengan kearifan lokal
yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat Banjar di masa kitab itu ditulis dan
di masa kekinian.

B. Fokus Permasalahan

Makalah ini disusun sebagai upaya penulis untuk mengungkapkan satu


pasal dari fikih kitab Parukunan Jamaluddin tentang Qadha Hajah dan Istinja’.
Pemilihan pasal ini dengan asumsi bahwa kitab Parukunan Jamaluddin merupakan
kitab fikih lokal yang berlaku di dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat
2

Banjar di masanya. Adapun fokus permasalahan tulisan ini dapat dirumuskan


sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi Jamaluddin bin Muhammad Arsyad?
2. Apa tujuan penulisan kitab Parukunan Jamaluddin?
3. Bagaimana sistematika isi kitab Parukunan Jamaluddin?
4. Apa transkrip naskah kitab Parukunan Jamaluddin tentang Qadha Hajah dan
Istinja?
5. Bagaimana kedudukan hukum Qadha Hajah dan Istinja?
6. Bagaimana bentuk kearifan lokal dalam hukum Qadha Hajah dan Istinja?

C. Pembahasan

1. Biografi Jamaluddin bin Muhammad Arsyad

Penulis belum menemukan buku biografi Syekh Jamaluddin. Satu-satunya


referensi yang penulis temukan dan diyakini keakuratannya adalah yang bersumber

dari situs www.melayu.com.1 Karena situs mengkhususkan diri untuk

mendokumentasi profil ulama-ulama melayu, di antaranya Mufti Jamaluddin.


Nama lengkap Mufti Jamaluddin al-Banjari adalah Jamaluddin bin Syeikh

Muhammad Arsyad al-Banjari. Ia lahir pada tahun 17802 di Banjar (kini

Banjarmasin), Kalimantan Selatan, Indonesia. Ayahnya bernama Syeikh


Muhammad Arsyad al-Banjari, merupakan tokoh ulama terkenal asal Kalimantan
Selatan. Jamaluddin al-Banjari memperoleh pendidikan agama dari ayahnya
sendiri. Ibunya bernama Go Hwat Nio atau dikenal dengan sebutan Tuan Guat, yang

1
‘Mufti Jamaluddin Al-Banjari | Melayu Online’ <http://melayuonline.com/
eng/personage/dig/327/mufti-jamaluddin-al-banjari> [accessed 25 February 2018].
2
Dalam versi yang lain disebutkan bahwa Syekh Jamaluddin dilahirkan pada tahun 1817.
Namun bila penulis mengacu pada tahun ini, maka Syekh Jamaluddin baru berusia 8 tahun di awal
pemerintahan Sultan Adam dan berusia 18 tahun ketika lahirnya UU Sultan Adam. Penulis memilih
versi kelahiran Syekh Jamaluddin pada tahun 1780, dan berusia 45 tahun pada awal pemerintahan
Sultan Adam atau berusia 55 tahun ketika lahirnya UU Sultan adam. Usia 45 tahun atau 55 tahun
merupakan usia puncak kematangan pribadi seseorang, sehingga lebih bisa diterima versi tahun
1780 daripada versi tahun 1817.
3

merupakan keturunan China namun kemudian memeluk Islam melalui bimbingan


dari Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Jamaluddin al-Banjari mempunyai lima orang saudara, dua di antaranya
laki-laki (al-‘Alim al-‘Allamah Khalifah Hasanuddin dan al-‘Alim al-‘Allamah
Khalifah Zainuddin), dan tiga lainnya perempuan (Aisyah, Raihanah, dan Hafsah).
Keluarga dekat Jamaluddin al-Banjari banyak yang menjadi mufti. Tercatat
ada sekitar sepuluh orang yang menjadi mufti, yaitu 1) Jamaluddin al-Banjari
(dirinya sendiri); 2) Ahmad bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari; 3)
Muhammad As’ad bin Utsman; 4) Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad
As’ad; 5) Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari; 6) Muhammad
Khalid bin ‘Allamah Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari; 7)
Muhammad Nur bin al-‘Alim al-‘Allamah Qadi Haji Mahmud; 8) Muhammad
Husein bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari; 9) Jamaluddin bin Haji Abdul
Hamid; 10) Syeikh Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad ‘Afif bin ‘Alimul
‘Allamah Qadi Abu Na’im bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Jamaluddin al-Banjari sendiri pernah menjadi mufti di Martapura, sebuah
wilayah di Kesultanan Banjar. Ia memiliki pengaruh yang sangat besar pada masa
pemerintahan Sultan Adam (1825 M - 1857 M). Mufti Jamaluddin al-Banjari
berkontribusi sangat penting dalam perumusan Undang-Undang Sultan Adam
(1251 H /1835 M). Ia kemudian dikenal sebagai ahli undang-undang Kesultanan
Banjar. Pendapat dan pandangannya banyak mempengaruhi dalam setiap proses
perumusan undang-undang kesultanan. Pada pasal 31, misalnya, namanya
disebutkan dalam teks undang-undang. Padahal, sangat jarang terjadi ada suatu
fatwa dari seorang mufti yang dimasukkan ke dalam sebuah pasal dalam undang-
undang kesultanan.
Mufti Jamaluddin al-Banjari pernah mendamaikan perselisihan antara
keluarga Diraja Banjar dan pemegang Surat Wasiat Sultan Adam. Pada bulan
Desember 1855, Sultan Adam pernah menulis surat wasiat yang isinya bahwa
pengganti Sultan Adam adalah Pangeran Hidayatullah. Dalam surat tersebut juga
dinyatakan bahwa bila anaknya Pangeran Prabu Anom dan cucunya Pangeran
Tamjidillah menghalangi surat wasiat tersebut, maka diancam dengan hukuman
4

mati. Sebagai penengah, Mufti Jamaluddin al-Banjari memegang surat wasiat itu
dan mencari jalan keluar yang damai antar keduanya.
Pada abad ke-18, Mufti Jamaluddin al-Banjari berperan besar dalam
mengembangkan sufisme di Marabahan, yang kini termasuk daerah di Kalimantan
Selatan. Aliran sufisme ini secara khusus mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah
dengan suluk-nya dan tarekat Syadziliyah. Sebagai puncaknya, aliran sufisme ini
dikembangkan oleh puteranya, Abdusshamad, yang merupakan hasil perkawinan
Mufti Jamaluddin al-Banjari dengan penduduk lokal bernama Samayah binti
Sumandi. Abdusshamad kelak menjadi wali besar di tanah Dayak, sehingga
bergelar Datu Abdusshamad Bakumpai.
Belum ditemukan data tentang kapan Mufti Jamaluddin al-Banjari wafat.
Data yang ada hanya menyebutkan bahwa ia wafat di Sungai Jingah (Kubah),

Banjar (kini Banjarmasin), Kalimantan Selatan, Indonesia.3

Karya Mufti Jamaluddin Al-Banjari yang sangat berpengaruh dalam


literatur Melayu adalah “Parukunan Jamaluddin”. Dalam berbagai versi, karya ini
ditulis degan nama: “Parukunan”, “Parukunan Besar”, dan “Parukunan Melayu”.
Karya ini diterbitkan oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekkah, pada tahun
1315H/1897 M. Dalam berbagai versi, ada yang menyebutkan bahwa karya ini
sesungguhnya milik saudara perempuannya yang bernama Syarifah binti Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari. Martin van Bruinessen berpendapat di antara kitab
kuning yang banyak dibaca di Indonesia terdapat satu yang dikarang oleh seorang
ulama Melayu yang perempuan. Namun tidak banyak pembaca menyadari hal ini,
sebab kitab tersebut belakangan diatasnamakan seorang laki-laki, yakni pamannya
sendiri! Kitab ini dikenal dengan judul Parukunan Jamaluddin. Kitabnya sederhana
saja - Parukunan berarti uraian dasar mengenai rukun Islam dan rukun iman - tetapi
merupakan salah satu yang paling populer di antara kitab-kitab sejenis, dan sering
dicetak kembali. Tertulis di halaman pertama bahwa kitab ini adalah "karangan bagi
al-`alim al-`allamah mufti Jamaluddin ibn al-marhum al-`alim al-fadhil al-syaikh

3
Dalam sumber lain disebutkan bahwa Surgi Mufti Jamaluddin wafat pada tanggal 8
Muharram 1348 Hijriyah, pukul 15.00 WITA menjelang Sholat Ashar di Sungai Jingah.
5

Muhammad Arsyad al-Banjari". Jamaluddin, putra Arsyad al-Banjari yang terkenal


itu, memang seorang laki-laki yang berpengaruh, ulama yang paling terkemuka di
Kalimantan Selatan pada zamannya. Tetapi tradisi setempat mengingatkan bukan
ia yang mengarang kitab Parukunan tersebut, melainkan seorang keponakan
perempuannya, yaitu Fatimah (yang lahir dari perkawinan putri Syekh Arsyad,
Syarifah, dengan Abdulwahhab Bugis).4 Kurang jelas mengapa Jamaluddin
mengatasnamakan karangan ini. Dalam dunia kitab kuning memang tak ada
copyright (hak cipta), dan menyalin tulisan orang lain tanpa kreditasi sudah menjadi
kebiasaan. Namun dalam hal ini kita merasa bahwa identitas pengarang yang
sebenarnya dengan sengaja disembunyikan - sesuai dengan anggapan yang sudah
mapan bahwa mengarang kitab merupakan pekerjaan laki-laki. Kalau kita menggali
dalam sejarah, tidak mustahil kita akan menemukan perempuan lain yang
menguasai ilmu-ilmu agama dan telah menulis kitab. Dan tak usah heran kalau
sumbangan mereka ternyata diingkari dan diboikot.5
Dari segi isi, kitab Parukunan Jamaluddin tak jauh berbeda dari kitab sejenis
lainnya. Fatimah pastilah bukan seorang feminis yang dengan sengaja menulis fiqh
alternatif. Kitabnya sangat sederhana dan hanya menguraikan beberapa ajaran
pokok berhubungan dengan shalat, puasa dan cara mengurus mayat saja. Namun
pengarang tidak meletakkan perempuan pada posisi lebih rendah atau kurang suci
daripada laki-laki. Ia menghindari dari perkara yang sangat membedakan antara
kedua jenis kelamin (seperti aqiqah, warisan atau kesaksian). Ketika ia
membicarakan haid dan mandi sesudah haid, tidak ada kesan seolah-olah
perempuan dalam haid adalah kotor. Ia tidak memakai istilah seperti "bersuci"
(yang secara tersirat menyatakan perempuan dalam haid tidak "suci"); secara lebih

4LihatZafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary Ulama Besar Juru Da'wah

2ed. (Banjarmasin: Penerbit Karya, 1979), h. 15-16.; Muhammad Shagir Abdullah, Syeikh Muhd
Arsyad al-Banjari: Matahari Islam (Mempawah: Pondok al-Fathanah, 1982), h. 62-63.
5Martin Van Bruinessen menjelaskan dalam hal ini bukan tokoh perempuan seperti A'isya

dan Fathimah, yang merupakan tokoh kunci dalam isnad hadits Sunni dan Syi`ah, atau Rabi`ah Al-
`Adawiyah, Sufi yang pertama. Mereka memang diakui, dan itu membuktikan bahwa bias anti-
perempuan itu tidak menyeluruh dalam Islam pada masa awalnya seperti halnya belakangan pada
abad pertengahan.
6

netral ia menulis bahwa ada lima perkara yang mewajibkan mandi: mati (kecuali
mati syahid), haidh, nifas, wiladah (keguguran), dan janabah (persetubuhan). Tidak
ada uraian panjang tentang hal-hal yang dilarang bagi perempuan pada masa haid.
Muhammad Shaghir Abdullah berbeda pandangan dengan Martin van
Bruinessen bahwa karya tersebut memang benar-benar milik Mufti Jamaluddin Al-
Banjari. Dalam tulisannya, Muhammad Shaghir Abdullah juga mengakui bahwa

siapa pemilik sesungguhnya karya tersebut memang masih dalam perdebatan.6

Sebenarnya ada banyak karya Mufti Jamaluddin al-Banjari yang lain, namun
kurang begitu terkenal. Salah satu yang berhasil diidentifikasi adalah karyanya yang
berjudul Bulugh al-Maram fi Takhalluf al-Muafiq fi alQiyam (1247 H/1831 M).

2. Tujuan Penulisan Kitab Parukunan Jamaluddin

Di dalam pengantar kitab ini, disebutkan bahwa tujuan mempelajari kitab


Parukunan ini adalah kewajiban atau fardhu bagi laki-laki maupun perempuan yang
telah akil baligh mengetahui makna dua kalimat syahadat, segala rukun Islam dan
rukun iman, bersungguh-sungguh mengerjakannya dengan segala keyakinan
mengenal Allah swt dan mengenal segala rasul-rasulNya agar menjadi muslim yang
sebenar-benarnya sebagai umat Nabi Muhammad saw sehingga masuk surga dan
terlepas dari kekalnya siksa api neraka.
Sedangkan tujuan penulisan kitab itu sendiri tidak diketahui secara persis
dan tidak dijumpai di dalam kitab tersebut, namun bila melihat status sosial Syekh
Jamaludin sebagai mufti Banjar, maka kitab fikih praktis merupakan tuntunan yang
efektif bagi masyarakat Banjar dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam.
Bahkan boleh jadi, kitab ini menjadi standar penyelesaian perkara-perkara hukum
yang diajukan oleh masyakat muslim kepada pengadilan saat itu.

3. Sistematika Isi Kitab

6
Abdullah, Syeikh Muhd Arsyad al-Banjari: Matahari Islam
7

Kitab Parukunan Jamaluddin disusun atas 3 bagian utama, yaitu pertama,


membahas tentang keimanan; kedua, fikih ibadah; dan ketiga, fikih muamalah.
Pembahasan tentang keimanan dikupas di dalam 2 sub bahasan, fikih ibadah dalam
22 pasal, dan fikih muamalah di dalam satu bahasan tersendiri yang disebut dengan
kitab “Aturan Kita Kepada Sekalian yang Ampun Hak.” Secara rinci dari

sistematika isi kitab Parukunan Jamaluddin dapat dijabarkan sebagai berikut:7

1) Khutbah al-Kitab (Kata Pengantar);


2) Syahdan bahwa kasih akan malaikat itu daripada syarat iman;
3) Syahdan bahwa kasih akan sekalian nabi itu daripada iman;
4) Pasal pada menyatakan hukum air;
5) Syahdan dimaafkan daripada najis itu bangkai binatang yang tiada mengalir
darahnya;
6) Pasal pada menyatakan najis dan menghilangkan dia;
7) Pasal pada menyatakan hukum qadha’ul hajah dan istinja’;
8) Pasal pada menyatakan barang yang wajib mandi dan fardu mandi dan sunnah
mandi, dan makruhnya dan barang yang haram pada orang yang hadats kecil;
9) Syahdan adalah sunnah mandi itu amat baik;
10) Pasal pada menyatakan segala syarat mengambil air sembahyang dan
sunnahnya dan makruhnya;
11) Pasal pada menyatakan syarat sembahyang dan bang dan qamat dan syarat
keduanya;
12) Pasal pada menyatakan kaifiat sembahyang dan rukunnya dan segala
sunnahnya;
13) Pasal pada menyatakan yang membatalkan sembahyang dan yang makruhnya;
14) Pasal pada menyatakan sembahyang sunnah;
15) Pasal pada menyatakan syarat hukum puasa;
16) Pasal pada menyatakan syarat wajib puasa sebab ramadhan;
17) Pasal pada menyatakan barang yang mengharuskan berbuka puasa;
18) Pasal pada menyatakan segala sunnah puasa;
19) Pasal pada menyatakan jima’di dalam bulan Ramadhan dan yang wajib atas
orang yang mengerjakannya;
20) Pasal yang menyatakan puasa sunnah;
21) Pasal yang menyatakan kelebihan malam nisfu sya’ban;
22) Pasal yang menyatakan memandikan mayit dan yang berhubungan dengannya.
23) Pasal yang menyatakan kafan;
24) Pasal yang menyatakan segala rukun sembahyang mayit dan yang berhubungan
dengannya;
25) Pasal yang menyatakan wajib kita I’tiqadkan Allah ta’ala menyiksakan orang
yang durhaka dalam kubur;

7
Jamaluddin ibn Muhammad Arsyad, Perukunan Jamaluddin (Jeddah: al-Haramain, t.th.),
h. 40.
8

26) Kitab pada menyatakan aturan kita kepada sekalian yang ampun hak;
27) Pasal yang menyatakan segala sembahyang qashr serta jamak;
28) Pasal pada menyatakan syarat qashar.

4. Transkrip Naskah Kitab Parukunan Jamaluddin Pada Pasal Qadha Hajah


dan Istinja’

Pada bagian ini, penulis menampilkan transkrip Naskah kitab Parukunan


Jamaluddin, khususnya pasal Qadha Hajah dan Istinja ke dalam bahasa Indonesia.
Penulis tetap mempertahankan bunyi dari tulisan naskah dimaksud dalam dialek
Melayu, dan hanya memberikan penyesuaian terbatas pada huruf vokal tertentu.

Adapun transkrip dimaksud dijabarkan sebagai berikut:8

Pasal: ini satu pasal pada menyatakan hukum qadha hajah dan istinja.
Ketahui olehmu hai thalib bahwasanya adalah bagi qadha hajah itu tiga
hukum. Pertama, sunnat; kedua, makruh; ketiga, haram. Maka qadha hajah
yang sunnat itu yaitu menutup kepala tatkala qadha hajah besar atau kecil,
menghadirkan air atau batu akan istinja, mendahulukan kaki kiri tatkala
masuk ke jamban, mendahulukan kaki kanan tatkala keluar daripadanya.
Jika qadha hajah di padang sekalipun, bertungging serta mendudukan kaki
kiri, menjauhi dari segala manusia kira-kira tidak keciuman baunya, dan
sunnah membaca”Bismillah Allahumma Innii A’udzu bika minal khubutsi
wal khaba’its, dan sunnah membaca “Gufraanaka alhamdulillah alladzii
Adzhaba ‘annii al-‘Adzaa wa ‘Aafaanii” tatkala keluar daripadanya.
Qadha hajah yang makruh itu seperti qadha hajah besar atau kecil pada air
yang tenang dan pada air yang sedikit yang mengalir pada liang tanah, pada
tempat mereka itu bercerita, melainkan pada tempat mereka itu berbuat
maksiat maka harus qadha hajah di sana. Dan lagi makruh qadha hajah di
bawah pohon kayu yang berbuah yang dimakan buahnya.
Qadha hajah yang haram itu qadha hajah besar atau kecil dengan disengaja
membawa suatu yang ada tersurat didalamnya nama Allah, nama
Nabiyallah, dan nama malaikat; dan qadha hajah menghadap kiblat atau
membelakanginya dengan qubul atau dubur jika tidak berdinding yang
kebilangan antara qadha hajah dan qiblat; Qadha hajah di atas kubur, dan di
dalam mesjid. Dan sunnah qadha hajah itu menghadap angin, jangan pada
suatu yang tikar (yang jadi dinding) supaya tidak kembali najisnya kepada
suatu daripada badan atau kainnya; Jangan ia berkata-kata; dan lagi
seyogyanya jangan diangkatkan kain sehabis-habis melainkan sedikit-
sedikit jua diangkat sampai duduknya kepada tempat qadha hajah maka

8
Ibid., h, 7-8.
9

selesailah ia daripada mengangkatnya. Dan menggugurkan kain tatkala


hendak berdiri hendaklah sedikit jua hingga sampai kepada berdiri betul
maka selasailah ia daripada menggugurkannya.
Bermula Istinja itu wajib atas tiap-tiap yang qadha hajah menghilangkan
najis dengan air mutlak atau dengan batu yang suci atau barang suatu pada
makna batu daripada tiap-tiap benda yang beku lagi suci lagi tiada
dihormati. Dan sunnah istinja itu dengan tangan kiri, dan makruh dengan
tangan kanan. Jika ada istinja itu dengan air maka sunnah menghimpunkan
segala anak jari tangan lalu ditandahkan kepada dirinya, dan lagi sunnah
mendahulukan membasuh qubul dari pada dubur mengusapkan tangan pada
tanah atau barang sebagian, setelah itu maka dibasuhnya akan dia dan
memercikan air kepada sirwal (celana) atau kain. (Syahdan) memadailah
pada istinja itu pada dzon (sangkaan) akan sucinya dan jika diperoleh yakin
sebaik-baiknya, dan tiada sunnah mencium tangannya tetapi jika diciumnya
jua maka berbau tangannya maka dihukumkan tangan jua yang kena najis
tiada yang lain dan tiada berhad (berbatas) bagi air itu akan istinja hingga
suci memadailah ia. Dan sunnah kemudian daripada istinja membaca
“Allahumma thahhir qalbiy minannifaaq wa hashshin farji minal fawaahisy”
artinya Dia tuhanku sucikan kiranya hatiku daripada nifaq dan peliharakan
olehMu kiranya farjiku dari segala yang keji seperti zina.

5. Kedudukan Hukum Qadha Hajah dan Istinja’

Di dalam transkrip tersebut, penulis kitab mengemukakan tiga hukum yang


dapat berlaku dalam praktik Qadha’ul Hajah (Membuang Air Besar/Kecil) dan
Istinja’ (Cara membersihkan qubul dan dubur setelah membuang air besar/kecil).
Disebutkan bahwa hukumnya ada tiga yaitu sunnah, makruh, dan haram. Bila
merujuk kepada kitab-kitab fikih pada umumnya tema Qadha’ul Hajah dan Istinja’
dibahas pada bab Thaharah. Seperti yang dijumpai di dalam kitab al-Fiqh al-
Islamiy wa Adillatuh, pembahasan istinja lebih awal dipaparkan daripada qadha’ul
hajah. Di dalam kitab fikih ini, tema Istinja’ berisikan penjelasan-penjelasan teknis
tentang bahan-bahan atau alat-alat bersuci dan teknis cara menyucikan kemaluan
dengan bahan-bahan dimaksud. Sedangkan qadha hajah dijabarkan di dalam

lingkup adab membuang air.9

Dijumpai banyak persamaan dalam rincian dari adab membuang air


sebagaimana yang dijabarkan di dalam kitab Parukunan tersebut, dengan uraian

9
LihatWahbah al Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, vol. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), h. 192-202.
10

yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih pada umumnya. Walaupun di dalam


penjabarannya dijumpai kata “jamban” yang merupakan nama tempat membuang

air besar ataupun kecil yang banyak terdapat di bantaran sungai. 10 Disamping itu,

penggunaan volume air tanpa batas untuk istinja tidak menjadi bagian dari adab
membuang air. Menurut penulis, penggunaan air dengan volume besar
dimungkinkan di daerah yang banyak sumber airnya seperti sungai. Karena itu, hal
yang wajar bila Syekh Jamaluddin menyampaikan fikih istinja’ ini kepada
masyarakat Banjar yang memang banyak bermukim di sepanjang sungai Martapura
dan Barito.
Di dalam pembahasan Istinja’ yang terdapat dalam kitab Parukunan
Jamaluddin tidak mengungkapkan istilah istibra’ dan istijmar, walaupun demikian,
pengertian istijmar dijumpai di dalam uraian tentang cara beristinja’. Misalnya,
pengertian untuk Istijmar disebutkan bahwa membersihkan najis dengan

menggunakan batu dan yang semacamnya.11 Sedangkan pengertian Istibra

disebutkan bahwa untuk menyakinkan kemaluan bersih dari najis maka dibolehkan

melakukan pemeriksaan dengan mencium baunya.12 Pengertian ini sesuai dengan

pengertian dari Istibra, yaitu membersihkan dari sesuatu yang keluar baik dari
kemaluan depan ataupun belakang. Sehingga, ia yakin bahwa sisa-sisa yang keluar
itu sudah hilang. Ia dapat diartikan juga sebagai membersihkan tempat keluar najis

dari sisa-sisa percikan air.13

Disamping istilah-istilah tersebut, pada bagian adab membuang air di dalam


kitab Parukunan juga dijumpai istilah “bertungging serta mendudukan kaki kiri”.

10
et.al Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia-Banjar Dialek Kuala (Banjarbaru: Balai
Bahasa Banjarmasin, 2016).
11
Bermula Istinja itu wajib atas tiap-tiap yang qadha hajah menghilangkan najis dengan air
mutlak atau dengan batu yang suci atau barang suatu pada makna batu daripada tiap-tiap benda yang
beku lagi suci lagi tiada dihormati. Arsyad, Perukunan Jamaluddin, h. 8.
12
Ibid.
13
Ibid; Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, h. 193.
11

Kalimat ini bermakna hendaklah dia bertumpu di atas kakinya yang kiri ketika
duduk, karena cara ini memudahkan keluarnya najis. Juga terdapat sebuah hadis
riwayat ath-Thabrani dari Suraqah bin Malik yang menyebutkan “Kami disuruh
oleh Rasulullah saw bertumpu di atas kaki kiri dan menegakkan kaki yang

kanan”.14

6. Kearifan Lokal Dalam Hukum Qadha Hajah dan Istinja’

Kitab Parukunan Jamaluddin merupakan salah satu karya tulis di bidang


fikih yang ditulis oleh Syekh Jamaluddin bin Muhammad Arsyad, dan ditetapkan
sebagai Surgi Mufti oleh pemerintah Hindia Belanda. Tema-tema yang menjadi
pembahasan di dalam kitab ini berhubungan erat dengan keseharian hidup
masyarakat Banjar saat itu yang mayoritas berdiam di sepanjang badan sungai
Martapura dan Barito. Misalnya pembahasan Qadha Hajah yang menyebutkan
jamban sebagai tempat membuang air besar/kecil. Padahal jamban yang dimaksud
pada jaman itu dibangun di bantaran sungai sehingga kotoran manusia pun jatuh ke
sungai. Namun demikian, keadaan sungai di masa itu mampu menentralisir setiap
kotoran yang larut di dalamnya sehingga tidak menimbulkan pencemaran yang
dapat berakibat bagi kesehatan makhluk hidup. Berbeda dengan kondisi saat ini,
dimana sungai dinilai tidak mampu lagi menetralisir kotoran yang masuk ke
dalamnya sebagai akibat pendangkalan air sungai, sampah-sampah dan limbah

pertambangan.15

Penggunaan air tanpa batas untuk kepentingan istinja tidak terlepas dari
kehidupan masyarakat Banjar yang akrab dengan melimpahnya sumber air,

14
Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh.
15
Prof. Malkianus Paul Lambut, seorang ahli Toksologi (sungai) di dalam Kongres Sungai
III di Banjarmasin, Oktober 2017 menegaskan bahwa kondisi sungai saat ini sudah kehilangan
fungsi idealnya sebagai sumber air tawar terbesar dan sebagai sumber air minum. Hal ini sangat
membahayakan kehidupan masyarakat Banjar karena air sungai yang digunakan dalam
kesehariannya sudah tercemar dan tidak layak untuk diminum.
12

terutama sungai sebagai sumber air tawar terbesar di daerah Banjar. Itu sebabnya,
Syekh Jamaluddin menyampaikan fikihnya tentang penggunaan air tanpa batas
untuk istinja. Padahal bila dibandingkan dengan kondisi sungai saat ini, tentu air
sungai dengan kadar pencemaran yang tinggi tidak layak lagi dijadikan alat bersuci.
Kitab Parukunan Jamaluddin masih dicetak ulang dan bisa didapati pada
saat ini, bahkan sebagian masyarakat Banjar ada yang memilikinya. Pada satu sisi,
kitab ini menjadi tuntunan praktis dalam menjalankan ajaran Islam bagi
pemeluknya, namun di sisi lain, beberapa hal pemikiran fikih di dalam kitab ini
harus diubah, seperti perlunya dicantumkan ketentuan bangunan jamban yang tidak
mencemari air sungai.
Karya ulama zaman dulu mestilah dipahami secara kontekstual, dengan
memperhatikan latar belakang sejarah, sosial dan politik. Kitab kuning dengan
segala muatannya bukanlah kebenaran mutlak, melainkan juga mencerminkan
budaya, kebutuhan dan pendapat umum pada tempat dan zaman dikarangnya. isi
kitab kuning merupakan perpaduan antara ajaran pokok Islam (Qur'an dan hadits)
dengan budaya lokal. Budaya merupakan sesuatu yang selalu berubah, sehingga
kalau isi kitab kuning terasa kurang cocok dengan kita, mungkin hanya disebabkan
budaya kita sudah lain daripada budaya pengarang.16

D. Kesimpulan
1. Kitab Parukunan Jamaluddin ditulis oleh seorang ulama wanita yang
bernama ‘alimul Fadhilah Fatimah bin Abdul Wahab Bugis. Kitab ini sering
juga disebut Parukunan Jamaluddin. Hal ini disebabkan karena alimul
Fadhilah Fatimah menyandarkan tulisannya itu kepada pamannya Mufti H.
Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kitab ini berisi
tentang cara ibadah, rukun sembahyang, puasa, dan lain-lain.
2. Tujuan penulisan atau penyusunan kitab ini adalah memberikan satu
tuntunan praktis bagi masyarakat Banjar di masanya dalam mempelajari dan
mengamalkan ajaran Islam.

16
‘KITAB KUNING DAN PEREMPUAN’ <http://www.let.uu.nl/ ~martin.vanbruinessen/
personal/ publications/ kitab_kuning_ dan_perempuan.htm> [accessed 25 February 2018].
13

3. Dari segi muatan ajaran Islam yang terkandung di dalamnya sesuai dengan
ajaran fikih klasik, meskipun dialihbahasakan ke dalam bahasa Melayu,
namun tidak mengubah pengertian dari pemahaman ulama-ulama Salaf di
dalam karya fikih-fikihnya.
4. Alihbahasa yang dilakukan oleh Syekh Jamaluddin di dalam kitab
Parukunan merupakan konsekuensi dari karakter fikih itu sendiri yang
disusun oleh ulama sesuai dengan latar belakang sejarah, sosial dan politik
di masanya. Karena itu, perubahan isi kitab Parukunan harus dilakukan bila
dijumpai perubahan perilaku kehidupan masyarakat.
14

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Shagir. Syeikh Muhd Arsyad al-Banjari: Matahari Islam


Mempawah: Pondok al-Fathanah, 1982.
Arsyad, Jamaluddin ibn Muhammad. Perukunan Jamaluddin. Jeddah: al-
Haramain, t.th.
Dendy Sugono, et.al. Kamus Bahasa Indonesia-Banjar Dialek Kuala. Banjarbaru:
Balai Bahasa Banjarmasin, 2016.
Zamzam, Zafry. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary Ulama Besar Juru Da'wah
2ed. Banjarmasin: Penerbit Karya, 1979.
Zuhaili, Wahbah al. al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh. Vol. 1. Damaskus: Dar al-
Fikr, 1985.

‘KITAB KUNING DAN PEREMPUAN’ <http://www.let.uu.nl/


~martin.vanbruinessen/personal/publications/kitab_kuning_dan_perempua
n.htm> [accessed 25 February 2018]

‘Mufti Jamaluddin Al-Banjari | Melayu Online’ <http://melayuonline.com/


eng/personage/dig/327/mufti-jamaluddin-al-banjari> [accessed 25
February 2018]

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai