Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH MADZHAB HAMBALI

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah:

Pengantar Fiqih Islam

Dosen Pengampu : Dr. Imron Zabidi, Lc. M.A

Oleh:
Syarif Hidayatulah
• Pendiri Mazhab Hambali
Pendiri mazhab Hambali adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal asy-Syaibani atau yang lebih dikenal dengan Imam Ahmad, dilahirkan di ibu kota
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi
pusat peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk
belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi
orang besar, lalu tinggal di lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam
Ahmad memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi
seorang yang besar pula.

Imam Ahmad berhasil menghafalkan Alquran secara sempurna saat berumur 10 tahun dan
di usia 16 tahun, dia mulai mengkaji hadits-hadits Nabi Muhammad‫ﷺ‬. Banyak yang
mengatakan bahwa dia hafal ribuan hingga jutaan hadits Nabi‫ ﷺ‬di luar kepala. Imam Ahmad
berasal dari keluarga yang kurang mampu dan ayahnya wafat saat Ahmad masih belia. Di usia
remajanya, Imam Ahmad bekerja sebagai tukang pos untuk membantu perekonomian keluarga.
Hal itu ia lakukan sambil membagi waktunya mempelajari ilmu dari tokoh-tokoh ulama hadits
di Baghdad. Imam Ahmad belajar kepada sejumlah ulama, diantaranya adalah imam Syafi’i,
Bishar bin Al-Mufaddal, Jarir bin Abdul Hamid dan Yahya bin Said.

Imam Ahmad bin Hambal sangat berhati-hati dalam segala hal. Dalam soal makanan saja,
dia tidak akan pernah mau ditawari makan di rumah seorang penjabat pemerintahan. Imam
Ahmad bin Hanbal pernah dipenjara oleh khalifah Mu’tashim Billah, karena ia menolak
mengikuti paham yang dianut sang khalifah. Dia dipenjara di Baghdad selama 30 bulan dengan
tangan dan kaki dirantai dan dibelenggu. Khalifah mu’tashim Billah kemudian
membebaskannya pada tanggal 25 Ramadhan tahun 221 Hijriyah. Khalifah takut dengan
kezalimannya sendiri terhadap Imam Ahmad. Imam Ahmad pun memaafkan segala perlakuan
buruk khalifah dan semua orang.

Imam Ahmad wafat di Baghdad pada tahun 241 H/855 M. Banan bin Ahmad al-Qashbani
yang menghadiri pemakaman Imam Ahmad bercerita, “Jumlah laki-laki yang mengantarkan
jenazah Imam Ahmad berjumlah 800.000 orang dan 60.000 orang wanita .”

Warisan Imam Ahmad yang tidak hanya terbatas pada permasalahn fikih yang ia hasilkan,
atau hanya sejumlah hadits yang telah ia susun, namun beliau juga memiliki peran penting
dalam melestarikan kesucian keyakinan Islam dalam menghadapi penganiayaan politik yang
sangat intens. Kiranya inilah yang membedakan Imam Ahmad dari ketiga imam lainnya.
• Tokoh-Tokoh
Di antara para ulama dalam mazhab Al-Hambali adalah murid-murid beliau sendiri,
dan juga para ulama yang mengikuti manhaj mazhab Al-Hanabilah di kemudian hari.

1. Shalih bin Ahmad bin Hanbal (w. 266 H) Beliau adalah putera tertua Al-Imam Ahmad
sendiri. Belajar langsung Ilmu Fiqih dan hadits langsung kepada ayahnya.

2. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal Beliau adalah adik dari Shalih, dan sama-sama langsung
mendapatkan pelajaran ilmu agama dari sang Ayah. Namun beliau lebih cenerung kepada ilmu
hadits, sedangkan sang kakak lebih cenderung kepada Ilmu Fiqih.

3. Al-Atsram (w. 273 H) Nama lengkapnya adalah Al-Atsram Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad bin Hani Al-Khurasani AlBaghdadi. Beliau banyak sekali meriwayatkan hadits
dan masalah-masalah fiqhiyah dari Al-Imam Ahmad. Salah satu karya tulis beliau adalah As-
Sunan fil Fiqhi, sebuah kitab fiqih mazhab Al-Hanabilah.

4. Abdul Malik bin Al-Humaid bin Mahran Al- 12 Maimuni (w. 274 H) Beliau belajar kepada
Al-Imam Ahmad cukup lama, hingga 20 tahun. Dan memiliki posisi yang sangat tinggi dalam
mazhab ini. Wafat tahun 274 hijriyah.

5. Abu Bakar Al-Marwadzi (w. 274 H) Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad Al-
Hajjaj Abu Bakar Al-Marwadzi. Wafat tahun 274 hijriyah. Beliau adalah murid paling dekat
dan spesial. Menjadi pakar di bidang fiqih dan hadits serta punya banyak karya tulis. Di
lingkungan mazhab Al-Hanabilah, kalau disebut Abu Bakar maka maksudnya tidak lain adalah
beliau, yaitu Abu Bakar Al-Marwadzi.

6. Harb bin Ismail Al-Handhzali Al-Karmani (w. 280 H) Beliau banyak sekali mengambil Ilmu
Fiqih dari Al-Imam Ahmad. Dan punya hubungan yang sangat dekat. Beliau menuliskan
banyak pelajaran dari Imam Ahmad.

7. Ibrahim bin Ishak Al-Harbi (w. 285 H) Sebenarnya Beliau lebih mendalami ilmu hadits
ketimbang Ilmu Fiqih. Dan beliau seorang ahli bahasa juga.

8. Al-Qadhi Abu Ya'la (w. 451 H) Nama beliau adalah Muhammad bin Husein bin Muhamad
bin Khalaf Ibn Al-Farra'. Lebih dikenal sebagai Al-Qadhi Abu Ya'la, karena profesi beliau
sebagai qadhi (hakim). Salah satu karya beliau adalah kitab Al-Uddah 13 yang merupakan
kitab ushul fiqih dalam mazhab AlHanabilah.

9. Ibnu Qudamah (w. 620 H) Beliau hidup jauh sesudah zaman para pendahulunya, dan tidak
pernah langsung bertemu dengan Al-Imam Ahmad. Hanya saja Ibu Qudamah termasuk orang
yang berjasa besar dalam mazhab Al-Hanabilah, karena beliau menulis kitab yang merupakan
syarat dari kitab riwayat tentang Imam Ahmad bin Hanbal. Kitab itu berjudul Al-Mughni
Syarah dari kitab Mukhtashar Al-Khiraqi. Di dalamnya beliau menjelaskan lebih 300 poin-
poin penting terkait fatwa dalam mazhab Al-Hanabilah.

10. Ibnu Taimiyah (w. 751 H) Nama beliau adalah Abul Abbas Ahmad Taqiyyuddin Ibnu
Taimiyah Al Harani), lahir tahun 661 hijriyah di Haran Turki dan wafat tahun 751 hijriyah.
Dalam ruang lingkup mazhab Al-Hanabilah, beliau sering disebut dengan Asy Syaikh atau
guru. Jika sebelum masa Ibnu Taimiyah maka yang dimaksud Asy Syaikh adalah Ibnu
Qudamah Al Maqdisi (w. 620 H). Jika disebutkan Asy-Syaikhani maka yang dimaksud adalah
Ibnu Qudamah dan Majduddin Abu Barakat.

• Kitab-Kitab Madzhab Hambali


Imam Hambali dikenal dengan karya tulis kitabnya yang bertajuk al-Musnad al-Kabir, yang
ditulis pada sekitar tahun 227 H atau 841 Masehi. Karya terbesar Imam Hambali ini termasuk
dalam salah satu kitab hadist Nabi yang terkenal dan kedudukannya menempati posisi yang
diutamakan serta dijadikan induk rujukan bagi kitab-kitab lain. Disebutkan bahwa ada kurang
lebih 40.000 hadist yang ditulis sesuai urutan nama para sahabat Nabi Muhammad. Kitab
Musnad terdiri dari 18 bagian. Bagian awal mengisahkan tentang sepuluh sahabat yang
dijanjikan masuk surga dan ditutup dengan sahabat Nabi yang perempuan.

Adapun beberapa karya tulis lain yang dihasilkan Imam Hambali adalah sebagai berikut:

1. Kitab at-Tafsir
2. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
3. Kitab at-Tarikh
4. Kitab Hadits Syu'bah
5. Kitab al-Muqaddam wa al-mu'akkhar fi al-Qur'an
6. Kitab Jawabah al-Qur'an
7. Kitab al-Manasik al-Kabir
8. Kitab al-Manasik as-Saghir
9. Kitab Ushul as-Sunnah
10. Kitab al-'Ilal
11. Kitab al-Manasik
12. Kitab az-Zuhd
13. Kitab al-Iman
14. Kitab al-Masa'il
15. Kitab al-Asyribah
16. Kitab al-Fadha'il
17. Kitab Tha'ah ar-Rasul
18. Kitab al-Fara'idh
19. Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah

• Metodologi Madzhab Hambali

Imam Ahmad ibn Hanbal menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena
itu di dalam pemikiran ia banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i. Thaha Jabir Fayadh al-Uwani
mengatakan bahwa cara ijtihad Imam Ahmad ibn Hanbal sangat dekat dengan cara ijtihad
Imam Syafi’i .
Ibn Qoyyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal
dibangun atas 5 dasar:

1. Nash dari al-Qur’an dan sunnah (Hadits yang shahih)

Al-Qur’an yaitu perkataan Allah Swt yang diturukan oleh ruhul amin kedalam hati
Rasulullah dengan lafdz bahasa Arab, agar supaya menjadi hujjah bagi Rasulullah bahwa
dia adalah utusan Allah Swt.

Al-Hadist yaitu segala ucapan, perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi Saw. Jika
menemukan suatu persoalan yang menghendaki pemecahan hukum,maka pertama-tama ia
harus mencari jawaban persoalan tersebut kepada nash,maka wajib menetapkan hukum
berdasarkan nash tersebut. Untuk memperkuat pandangan tersebut Ibnu Qayyim
mengemukakan bukti dalam al-Qur’an surat al-Ahzab:36
sebagai berikut:

‫ﺳ ۡﻮﻟَٗﮫ ﻓَﻘَۡﺪ‬
ُ ‫}َ َوَر‬‫ﺺ ﱣ‬ ِ ‫ﺳ ۡﻮﻟُ ٗۤﮫ ا َ ۡﻣًﺮا ا َۡن ﯾﱠُﻜ ۡﻮَن ﻟَُﮭُﻢ اۡﻟِﺨﯿََﺮة ُ ِﻣۡﻦ ا َ ۡﻣِﺮِھۡﻢؕ َوَﻣۡﻦ ﯾﱠۡﻌ‬
ُ ‫}ُ َوَر‬ َ َ‫َوَﻣﺎ َﻛﺎَن ِﻟُﻤۡﺆِﻣٍﻦ ﱠوَﻻ ُﻣۡﺆِﻣﻨٍَﺔ ِاذَا ﻗ‬
‫ﻀﻰ ﱣ‬
٣٦ ‫ﺿٰﻠًﻼ ﱡﻣِﺒۡﯿﻨًﺎ‬ َ ‫ﱠ‬
‫ﻞ‬ ‫ﺿ‬
َ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.”

Sebabnya al-Qur’an dijadikan dasar pertama dan harus didahulukan dari pada sunnah
adalah:

a. Al-Qur’an adalah qath’i, sedangkan sunnah adalah zhanni. Kita hanya meyakini
bahwa sunnah nabi itu wajib diikuti. Tapi kita tidak dapat meyakini bahwa tiap-
tiap yang dikatakan sunnah nabi benar sunnah.

b. Sunnah, fungsinya menjelaskan al-Qur’an atau menambah hukumnya jika dia.


bersifat penjelasan, maka tentulah dia berada dibawah al-Qur’an. Jika
mendatangkan hukum baru bias diterima, jika hukum baru itu tidak ada dalam al-
Qur’an.

c. Hadits sendiri menempatkan diri pada martabat kedua, seperti yang didapat
disimpulkan dari hadits Muadz.

2. Fatwa para sahabat Nabi saw

Sahabat adalah orang yang hidup pada masa Rasulullah Saw dan mengimani serta
mengikuti ajaran Rasulullah Saw. Adapun landasan atau dasar hukum dari ijma’ atau fatwa
sahabat adalah hadist Rasulullah Saw:
‫ﺚ ُﻣﻌَﺎذًا ِإﻟَﻰ‬ َ َ‫}ِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻟَﱠﻤﺎ أ ََرادَ أ َْن ﯾَْﺒﻌ‬ ‫ﺳﻮَل ﱠ‬ ُ ‫ﻋﻦ اﻧﺲ ﻣﻦ اھﻞ ﺣﻤﺺ ﻣﻦ اﺻﺤﺎب ﻣﻌﺎذ ﺑﻦ ﺟﺒﻸ َﱠن َر‬
‫ﺴﻨﱠِﺔ‬
ُ ‫}ِ" ﻗَﺎَل ﻓَِﺒ‬ ‫ب ﱠ‬ َ
ِ ‫ ﻗَﺎَل " ﻓَﺈِْن ﻟْﻢ ﺗ َِﺠْﺪ ِﻓﻲ ِﻛﺘ َﺎ‬. ِ}
‫ب ﱠ‬ِ ‫ﻀﻲ ِﺑِﻜﺘ َﺎ‬ ِ ‫ ﻗَﺎَل أ َْﻗ‬. " ‫ﻀﺎٌء‬
َ َ‫ض ﻟََﻚ ﻗ‬
َ ‫ﻋَﺮ‬ َ ‫ﻀﻲ ِإذَا‬ ِ ‫ﻒ ﺗ َْﻘ‬َ ‫اْﻟﯿََﻤِﻦ ﻗَﺎَل " َﻛْﯿ‬
‫}ِ " ﻗَﺎَل‬ ‫ب ﱠ‬ ِ ‫}ِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ َوﻻَ ِﻓﻲ ِﻛﺘ َﺎ‬ ‫ﺳﻮِل ﱠ‬ ُ ‫}ِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗَﺎَل " ﻓَﺈِْن ﻟَْﻢ ﺗ َِﺠْﺪ ِﻓﻲ‬
ُ ‫ﺳﻨﱠِﺔ َر‬ ‫ﺳﻮِل ﱠ‬ ُ ‫َر‬
ِ} ‫ﺳﻮِل ﱠ‬ ُ ‫ﺳﻮَل َر‬ ‫ﱠ‬ ‫ﱠ‬ ْ َ
ُ ‫ﺻْﺪَرهُ َوﻗﺎَل " اﻟَﺤْﻤﺪُ ِ ﱠ½ِ اﻟِﺬي َوﻓَﻖ َر‬ َ ‫}ِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬ ‫ﺳﻮُل ﱠ‬ُ ‫ب َر‬ َ ‫ﻀَﺮ‬ ُ َ ْ
َ َ‫ ﻓ‬.‫أ َْﺟﺘ َِﮭﺪُ َرأِﯾﻲ َوﻻ آﻟﻮ‬
‫ﺳﻮَل ﱠ‬
" ِ} ُ ‫ﺿﻲ َر‬ ِ ‫ِﻟَﻤﺎ ﯾُْﺮ‬

“Dari Anas, dari sekelompok penduduk Homs dari sahabat Mu’az bin Jabal, bahwasanya
Rasulullah Saw mengutus Mu’az ke Yaman, beliau berkata: "Bagaimana kamu memutuskan
perkara jika diajukan perkara kepadamu dalam urusan hukum? Muaz menjawab, saya akan
putuskan dengan kitab Allah," jawab Muadz dengan lugas. Nabi SAW bertanya kembali,
“Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? “Saya akan putuskan dengan
sunnah Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan
berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka Rasulullah
SAW menepuk dadanya seraya bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan
utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah.”

(HR Abu Daud).

Apabila beliau tidak mendapat suatu nash yang jelas, baik dari al- Qur’an dan Sunnah,
maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari pada sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan
dikalangan ulama. Adapun sahabat-sahabat yang terkenal sebagai mufti atau mujtahid
adalah:

a. Zaid ibn Tsabit

b. Abdullah ibn Abbas

c. Abdullah ibn Mas’ud

Jika fatwa tersebut disetujui semua sahabat, maka tersebut fatwa sahabat mujtami’in.

3.Fatwa para sahabat yang masih dalam perselisihan

Apabila terjadi pertentangan pendapat antara para sahabat, ia memilih pendapat yang
berdalil al-Qur’an dan hadist. Apabila pendapat mereka tidak bisa dikompromikan, ia tetap
mengemukakan pendapat mereka masing-masing tetapi ia tidak mengambil pendapat
mereka sebagai sumber hukum.
Mayoritas ulama mengakui fatwa sahabat sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Demikian pula menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa yang bersumber dari golongan
salaf, dan fatwa-fatwa para sahabat. Fatwa mereka lebih utama dari pada fatwa ulama
kontemporer. Karena fatwa para sahabat lebih dekat pada kebenaran. Masa hidup mereka
lebih dekat dengan masa hidup Rasul.

4.Hadits mursal dan hadits dha’if

Hadist mursal adalah hadist yang gugur perawi dan sanadnya setelah tabi’in. Hadist dha’if
adalah hadist mardud, hadist yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam
menetapkan sesuatu hukum. Kata al-Dha’if, secara bahasa adalah lawan dari al- Qawiy
(berarti kuat).

Hadist ini dipakai apabila tidak ada keterangan atau pendapat yang menolaknya.
Pengertian mengenai hadist dha’if pada masa dahulu tidak sama dengan pengertiannya di
zaman sekarang. Pada masa Imam Ahmad hanya ada dua macam hadist yaitu hadis shahih
dan dha’if. Dimaksud dha’if disini bukan dha’if yang batil dan mungkar, tetapi merupakan
hadist yang tidak berisnad kuat yang tergolong sahih dan hasan. Menurut Imam Ahmad
hadist tidak terbagi atas shahih, hasan dan dha’if tetapi shahih dan dha’if. Pembagian hadist
atas sahih,hasan,dha’if dipopulerkan oleh al-Turmidzi. Hadist-hadist dha’if ada bertingkat-
tingkat, yang dimaksud dha’if disini adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan
hadist semacam ini lebih utama dari pada menggunakan qiyas.

Apabila tidak didapatkan dari al-Qur’an, Hadits, fatwa sahabat yang disepakati atau yang
masih diperselisihkan , maka barulah beliau menetapkannya dengan hadits mursal dan
dha’if yang tidak seberapa dhaifnya (merupakan hadits yang tidak sampai ketingkat shahih
dan termasuk hadits hasan).

5. Qiyas

Dalam fiqih, makna Qiyas adalah mempersamakan masalah yang belum ada nash dan dalil
hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada hukumnya dan tercatat jelas dalilnya,
dengan melihat persamaan sifat keduanya yang menjadi penentu hukum.

Apabila beliau tidak mendapatkan dalil dari al-Qur’an dan hadits, fatwa sahabat yang
disepakati atau yang masih di perselisihkan, hadist mursal dan hadist dha’if. Dalam
keadaan demikian barulah ia menggunakan qiyas, yakni apabila terpaksa.
Pada firman Allah dijelaskan bahwa Allah mengqiyaskan hidup sesudah mati kepada
terjaga (bangun) setelah tidur dan membuat beberapa perumpamaan, serta menerapkannya
beraneka ragam. Semua itu adalah qiyas jali, dimana Allah ingin mewujudkan bahwa
hukum sesuatu dapat diterapkan kepada kasus lain yang serupa.

• Penyebaran Demografis

Mazhab Hambali pertama kali berkembang di Bagdad, Irak yang mana di sanalah tempat
asal Imam Hambali. Pada awal abad ke-8 atau ke-9 mazhab Hambali mulai menyebar ke
kawasan Nejd, lalu kemudian ke Mesir. Menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy yang
mengutip dari para ulama-ulama sejarah Tasjrie’, mazhab Hambali kurang banyak pengikutnya
dan kurang luas persebarannya.
Kurang luasnya penyebaran mazhab Hambali dikarenakan Imam Hambali begitu tegas
bepegang teguh pada riwayat, dan tidak mau berfatwa jika tidak berlandaskan pada nash Al-
Qur'an dan hadis marfuk. Selain itu, Imam Hambali juga sangat sedikit melakukan ijtihad, ia
juga menggunakan kias hanya ketika terpaksa saja.
Menurut ,Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy pendirian Imam Hambali tegas itulah yang
sebenarnya membuat ia berbeda dengan imam-imam mazhab yang lain. Walaupun imam-imam
yang lain menggunakan kias juga disebabkan karena tidak menemukannya dalam nash Al-
Qur'an dan Hadist. Pendirian Imam Hambali ini pula yang membuat ia menjadi imam mazhab
yang paling banyak mengumpulkan hadis diantara imam mazhab yang lain. Beberapa ulama
mazhab lain pun, juga terkadang melihat mazhab Hambali untuk menemukan beberapa hadist
yang sesuai untuk perkara-perkara tertentu.
Mazhab Hambali kemudian menemukan momentumnya untuk tumbuh dan berkembang
ketika Arab Saudi berdiri. Kerajaan Arab Saudi yang didirikan oleh Abdul Aziz Bin Saud
berdiri di Kawasan Hijaz dan Nejd bermazhab Hambali. Karena pengaruh pemerintahan Arab
Saudi yang menggunakan mazhab Hambali, maka mazhab ini kemudian mulai mendapatkan
kedudukan yang istimewa di masyarakat, khususnya di Arab Saudi.

Anda mungkin juga menyukai