Anda di halaman 1dari 20

AL-‘ALAQAH BAINA AL-SAUT WA AL-MADLUL

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Semantik Al-Qur’an

Oleh:
Miska Salsabillah (21211710)
Muthi’ah Nur Hanifah (21211712)
Nike Novia Rahmayanti (21211732)
Nur Afifah Rahman (21211736)

Dosen Pengampu :
Mohammad Husen, M.Ag.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1445 H/2024 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt., rabb semesta alam
yang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah, serta karunia-Nya yang tak
terkira kepada kita. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada sang mufassir pertama islam yakni baginda Nabi Muhammad Saw.,
para keluarga, sahabat, keturunannya dan juga para pengikutnya sampai akhir
zaman.

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis mengucapkan rasa syukur kepada-


Nya, sebab atas karunia-Nya, makalah yang berjudul “AL-‘ALAQAH BAINA
AL-SAUT WA AL-MADLUL ” ini dapat terselesaikan. Tak lupa, penulis
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Semantik
Al-Qur’an , yakni Mohammad Husen, M.Ag. yang telah memberikan tugas
ini, sehingga daripada itu penulis dapat memperluas wawasan dan
pengetahuan mengenai materi yang akan penulis kaji pada makalah ini.

Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dan bekerjasama demi terselesaikannya makalah ini. Semoga segala jasa dan
kebaikannya diberi ganjaran oleh Allah Swt. Adapun penulis menyadari
bahwa makalah yang telah penulis susun ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun selalu penulis
nantikan agar menjadi perbaikan penulis selanjutnya. Semoga dengan adanya
makalah ini, baik para pembaca maupun penulis pribadi, dapat mengambil
manfaat atas apa yang disampaikan dalam makalah ini.

Tanggerang Selatan, 27 februari 2024

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Bealakang Masalah .................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3

A. Definisi Al-Saut, Al-Madhul, dan ‘Alaqah ......................................... 3


B. Istilah-Istilah ‘Alaqah ......................................................................... 7
C. Macam-Macam ‘Alaqah ..................................................................... 9
D. Hubungan Lafadz Dan Makna .......................................................... 13

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 15

A. Kesimpulan ....................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bahasa sangat bergantung kepada pikiran manusia karena
bahasa merupakan media dalam mewujudkan pikiran manusia.
Manusia adalah makhluk yang berkembang dan dinamis. Pikirannya
selalu aktif dan berubah. Maka dapat dikatakan bahwa bahasa juga
selalu berubah dan berkembang seiring dengan perubahan dan
perkembangan pikiran manusia.
Bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi sosial
memiliki peranan yang sangat besar. Hampir tidak ada kegiatan
manusia yang berlangsung tanpa adanya kehadiran bahasa. Bahasa itu
sendiri tidak akan pernah terlepas dari maknanya pada setiap perkataan
yang diucapkan. Dalam bidang linguistik salah satu ilmu yang
mempelajari tentang makna adalah semantik. Sebagai objek dari kajian
linguistik semantik, makna berada diseluruh atau disemua tataran yang
bangun membangun, makna berada di tataran fonologi, morfologi dan
sintaksis.
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan makna itu
sendiri, penggunaan makna dalam ruang lingkup semantik dan
bagaimana hubungan antar makna terjadi, maka hal ini membutuhkan
pembahasan dan penjelasan secara lebih mendalam. Makalah ini akan
membahas mengenai hubungan suara dan makna dalam ranah
Semantik Bahasa Arab Untuk dapat memahami apa yang dimaksud
dengan makna itu sendiri, penggunaan makna dalam ruang lingkup
semantik dan bagaimana hubungan antar makna terjadi, maka hal ini

1
membutuhkan pembahasan dan penjelasan secara lebih mendalam.
Makalah ini akan membahas mengenai hubungan suara dan makna
dalam ranah Semantik Bahasa Arab

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Al-Saut, Al-Madlul, dan Al-‘alaqah.?
2. Apa saja istilah-istilah ‘Alaqah?
3. Apa saja macam-macam ‘Alaqah?
4. Apakah hubungan antara lafadz dan makna?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi Al-Saut, Al-Madlul, dan Al-‘alaqah.
2. Untuk mengetahui istilah-istilah ‘Alaqah
3. Untuk mengetahui macam-macam ‘Alaqah
4. Untuk mengetahui hubungan antar lafadz dan makna

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Al-Saut, Al-Madlul, dan 'Alaqah


Bahasa adalah sistem komunikasi manusia yang dinyatakan
melalui susunan suara atau ungkapan tulis yang terstruktur untuk
membentuk satuan yang lebih besar. Bahasa memiliki dua elemen
yaitu rangkaian bunyi (al-saut) dan kedua, makna (al-madlul). Dua
elemen ini merupakan objek kajian penting dalam kajian bahasa.1

Al-Saut berarti "bunyi". Istilah lain dari Al-saut ialah lafadz.


Adapun definisi lafadz sebagai berikut:

َ ْ ْ َ ُ ْ َّ َ ُ ُ ْ َّ
‫وف ال ِهجا ِنَّي ِة‬ ُ ُ ‫الص ْو ُت ال ُم ْح َتمل َعلى َب ْعض الح‬
‫ر‬ ‫اللفظ هو‬
ِ ِ ِ

"Lafadz ialah ucapan (suara) yang tersusun dari sebagian huruf-huruf


hijaiyah"
Lafadz ditinjau dari sisi kebahasaan dapat didefinisikan sebagai
apa saja yang dilafalkan dari kalimat, dan sesuatu yang terlontar dari
mulut atau lisan, dan bunyi yang mengandung sebagian huruf hijaiyah.
Sedangkan menurut istilah para linguis mendefinisikan lafadz sebagai
sesuatu yang terlahir dari lisan manusia berupa ucapan yang
mengandung bunyi dan kebermaknaan.2

Sementara Al-Madlul berarti "makna". Pengertian dari kata makna


semantik sering disebut dengan tanda (dalalah). Kutipan H.R.

1
Moh Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik Dan Kontemporer (Jakarta: Kencana,
2016), 40.
2
Khatibul Umam, Pedoman Dasar Ilmu Nahwu (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996),
1.

3
Taufiqurrachma, M.A menyatakan dari pendapat Ali Al-Khulli
mendefinisikan makna ialah:

َ ُْ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َّ ُ ُ َ ْ َ َ ُ َ َ َّ
َ
َ ْ ْ
‫ ما يفهمه الشخص ِمن الك ِلم ِة أ ِو ال ِعبارةِ أ ِو الجمل ِة‬:‫ال َمعني أ ِو الدلالة‬
ْ َ

"Makna ialah sesuatu yang dipahami seseorang, baik berasal dari


kata, ungkapan, maupun kalimat."
َ
Secara etimogi kata ma'na berasal dari ‫ عنى‬yang salah satunya

maknanya ialah melahirkan. Karena itu makna diartikan sebagai


perkata yang dilahirkan dari tuturan/bunyi. Perkara tersebut ada
dibenak manusia sebelum diungkapkan dalam sarana bahasa. Sarana
ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan makna tersebut di dalam
benak. Perkara yang terdapat di dalam benak akan disimpulkan sebagai
hasil pengalaman yang diolah akal secara cepat.3

Makna juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang terkandung


dalam ucapan, isyarat, dan tanda. Makna dalam konteks pemakaiannya
sering disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, pikiran,
konsep, pesan, pernyataan maksud, informasi, dan isi. Makna adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari
apa saja yang kita tuturkan.4

Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda


mengemukakan bahwa istilah makna merupakan istilah yang
membingungkan, menurutnya makna selalu menyatu pada tuturan kata

3
Taufiqurrahman, “Leksikologi Bahasa Arab,” Jakarta, Rineka Cipta, 2014, 24–25.
4
Eva Ardinal, “Konsep Hubungan Lafaz Dan Makna (Sebuah Kajian Epistimologi)”
12, no. 1 (2016): 2.

4
maupun kalimat. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure dalam Abdul
Chaer mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau
konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Menurut Ferdinand de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda
bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian "yang
mengartikan" yang wujudnya berupa runtutan bunyi, dan komponen
signifie "yang diartikan" yang wujudnya beluga pengertian atau
konsep.

Dengan demikian, berdasarkan teori yang dikembangkan dari


pandangan Ferdinand tersebut dapat dipahami bahwa makna adalah
"pengertian" atau "Konsep" yang dimiliki atau terdapat pada sebuah
tanda linguistik. Kata tanda linguistik itu disamakan identitasnya
dengan kata atau leksem, maka makna adalah pengertian atau konsep
yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem. Selain itu ada banyak pakar
yang menyatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah
kata apabila kata itu sudah ada dalam konteks kalimat. Selanjutnya
makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada dalam
konteks wacananya atau konteks situasinya, seperti contoh berikut:
Sudah hampir pukul dua belas! Apabila kalimat tersebut diucapkan
oleh seorang ibu terhadap teman anaknya yang masih bermain di
dalam rumahnya. Maka makna kalimat tersebut adalah "sindiran
secara halus". Lain halnya bila kalimat tersebut diucapkan oleh
seorang guru agama ditujukan pada para santri di siang hari maka
makna kalimat tersebut adalah "pemberitahuan bahwa akan masuk
waktu shalat zuhur". Satu hal yang harus diingat mengenai makna ini,

5
karena bahasa bersifat arbitrer maka hubungan antara kata dan
maknanya juga bersifat arbitrer.5

Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi 4:

1. Maksud pembicara;
2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau
perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara
bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, dan
4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa.

Bloomfied dalam Abdul Wahab mengemukakan bahwa makna


adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-
batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin mengemukakan bahwa makna
merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang
disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling
dimengerti.

Perhatian terhadap dalalah lafadz dari segi kajian untuk


menelusuri makna pada dunia Barat telah dimulai semenjak akhir-
akhir abad 19 M, mulai berkembang secara bertahap pada awal abad
10 M hingga sekarang. Pada era Filosof Yunani sebenarnya telah ada
pemikiran pemikiran mengenai dalalah, namun pemikiran tersebut
adalah dalam konteks filsafat bukan bahasa. Seperti Aristoteles yang
membedakan antara bunyi dan makna. Makna menurut Aristoteles

5
Eva Ardinal, “Konsep Hubungan Lafaz Dan Makna (Sebuah Kajian Epistimologi)”
12, no. 1 (2016): 3.

6
harus sesuai dengan gambaran dan terletak pada pikiran sementara
bunyi hanyalah lambang.6

Sedangkan definisi dari ‘Alaqah (‫ )عالقة‬adalah:

َْ ُْ َْ َ ُ ْ َ ُْ َْ َ ْ َْ ََْ ُ َ َ َ ُْ َ َ ْ
ِ‫ول ِإليه‬‫ق‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫ه‬‫ن‬‫ع‬ ‫ول‬‫ق‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫ن‬‫ع‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫ن‬ ‫ي‬‫ب‬ ‫ة‬‫ب‬‫اس‬ ‫ن‬‫م‬ ‫ال‬ ‫ي‬َ ‫ال َعلاق ُة ِه‬
ِ ِ
"Persesuaian antara makna yang dipindahkan dan makna yang
dipindahi."
Disebut 'alaqah karena dengan hal itu makna yang kedua dapat
berkait dan bersambung dengan makna yang pertama. Dengan demikian
hati langsung berpindah dari makna yang pertama menuju makna yang
kedua. Dengan diisyaratkannya melihat persesuaian, maka dikecualikan
ucapan yang keliru atau Ghalath. Seperti ucapan, "ambillah buku ini",
dengan mengisyaratkan kepada seekor kuda misalnya. Sebab dalam
contoh ini tidak ada persesuaian yang bisa dilihat.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa 'alaqah adakalanya


penyerupaan dan adakalanya bukan penyerupaan. 'alaqah merupakan
penyerupaan terdapat dalam isti'arah sedangkan 'alaqah yang bukan
penyerupaan terdapat dalam majaz mursal dan majaz 'aqliy.7

B. Istilah-Istilah ‘Alaqah
sebagaimana telah disinggung di atas terdiri dari dua unsur
penting yaitu lafal dan makna. Lafal adalah wadah dari makna, karena
itulah, lafal yang baik adalah lafal yang digunakan untuk makna yang

6
Eva Ardinal, “Konsep Hubungan Lafaz Dan Makna (Sebuah Kajian Epistimologi)”
12, no. 1 (2016): 4.
7
Muhammad Syamsudin Noor, “Majaz Mursal Dalam Surah Al-Baqarah” 6, no. 1
(2019): 24.

7
sesuai dan tepat. Bahasa Arab sebagai suatu bahasa juga terdiri dari
lafal dan makna, dan orang arab sangatlah teliti dalam memilih lafal
untuk suatu makna. Hal ini mengarahkan kepada pemahaman bahwa
hubungan antara lafal dan makna memberikan solusi untuk
mendapatkan pemahaman atas sesuatu. Dengan demikian lafaz dan
makna itu mempunyai ikatan yang kuat, makna tidak terwujud tanpa
adanya lafaz, sesuatu bentuk dalam pikiran (idea) tidak terbentuk
kecuali ketika dilafazkan dengan lafal-lafal tertentu. Berdasarkan ini
para pemikir Yunani menamakan hubungan ini dengan "al-shilah al-
Tabi'iyyah atau al-shilah al-zatiyah' (naturalism-subyektivisme).8
Diantara para pemikir atau filosof Yunani yang berpendapat
dengan pendapat ini adalah Plato, Socrates dan Aristoteles. Plato
cenderung pada hubungan yang disebut dengan al-'alaqah al-
thabi'iyyah al-zatiyyah. Socrates menyimpulkan bahwa antara lafaz
dan makna mempunyai ikatan yang alamiah-subektiv, yaitu adanya
hubungan yang kuat antara lafaz dan makna. Makna tidak akan ada
tanpa ada lafaz, karena makna hanya akan terbentuk ketika dilafazkan
dengan lafaz-lafaz tertentu. beraliran Mu'tazilah. Dia berpendapat
bahwa hubungan antara lafal dan makna merupakan sesuatu yang
natural dan bukan merupakan sesuatu yang ditetapkan. Namun
sebagian besar linguis Arab tidak sepenuhnya berpegang pada
pendapat yang diadopsi oleh al-Shaimariy dari linguis Yunani.
Pembicaraan tentang hubungan antara lafal dan makna banyak dikaji
dalam tulisan dan karya mereka. Mereka mencoba mengaitkan antara

8
Heriyanto, “Hubungan Lafadz Dan Makna,” t.t.,
https://id.scribd.com/document/256976215/Hubungan-Lafadz-Dan-Makna.

8
lafaz dan maknanya dengan hubungan yang kuat, namun tidak sampai
pada tataran al-shilah al-thabi'iyyah atau al-dzatiyah.9

C. Macam-Macam ‘Alaqah

Para ulama bahasa mempunyau berbagai macam pendapat


mengenai lafadz dan makna seperti yang disikapi oleh al-Suyuthi,
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Muhammad Qadur, yang membagi
pendapat para linguis menjadi empat macam:

1. Makna dari lafaz melihat kepada zatnya, atau di antara keduanya


memiliki hubungan yang alamiah. Pendapat ini didukung oleh
‘Ubbad ibn al-Shaimariy.
2. Segala sesuatu yang menyangkut dengan makna kata telah
ditentukan oleh Allah. Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar
muslim.
3. Makna segala sesuatu tergantung kepada manusia itu sendiri.
Pendapat ini dipegang oleh kelompok Mu’tazilin.
4. Pendapat terakhir menyatakan bahwa lafaz sebagian ditentukan
Allah dan sebagian lagi ditentukan atas prakarsa manusia

Menurut Ahmad Mukhtar Umar, seorang leksikografer,


menyebutkan bahwa lafaz-lafaz dalam bahasa Arab jika ditinjau dari
sisi semantiknya, dibagi menjadi tiga:10

1. Al-mutabayin, yaitu satu kata hanya mengandung satu makna


2. Al-musytarak al-lafzhi, yaitu satu kata mengandung banyak makna

9
Heriyanto.
10
Moh. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer (Jakarta: Penerbit
Kencana, 2016), hal. 21.

9
3. Al-mutaradif, yaitu kata yang banyak akan tetapi mengandung
makna yang sama

Berikut penjelasan selengkapnya:

1. Sinonim/Taraduf
Sinonim berasal dari bahasa Yunani Kuno syn (dengan) dan
onoma (nama), dalam bahasa Arab biasa disebut taraduf yang
berarti dua kata atau lebih yang memiliki makna yang kurang lebih
sama.11 Misalnya kata kursi yang bersinonim dengan kata bangku.
Menurut KBBI, kata kursi merupakan tempat duduk yang berkaki
dan bersandaran sedangkan kata bangku merupakan papan panjang
yang berkaki untuk duduk. Kata benda yang sama fungsinya, akan
tetapi berbeda bentuknya. Adapun menurut Fromkin dan Rodman
sinonim merupakan kata-kata yang memiliki kemiripan makna
tetapi bunyi pelafalannya berbeda.
Dalam bahasa Arab terdapat banyak sinonim. Diantara faktor
yang menyebabkan hal tersebut adalah pertama, karena bangsa
Arab memiliki banyak suku yang menyebabkan terciptanya
beragam dialek dan kosakata. Kedua, karena berkembangnya
bahasa seiring dengan berkembangnya zaman.
Contohnya yaitu kata ‫( خلق‬menciptakan) yang bersinonim

dengan kata ‫( صنع‬membuat), kata ‫( زوجة‬istri) yang bersinonim

dengan kata ‫ثوية‬ (bini), dan kata ‫( كاتب‬pencatat) yang bersinonim

dengan kata ‫( سكريتير‬sekretaris).

11
Baiq Raudatussolihah, “Analisis Linguistik Dalam Al-Qur’an (Studi Semantik
Terhadap QS Al-Alaq)” (Makassar, Universitas Islam Negeri Alauddin, t.t.).

10
Ada dua pendapat para ulama klasik dan kontemporer
tentang ada atau tidaknya sinonim dalam bahasa Arab. Ulama pro
sinoninm dari kalangan klasik seperti Imam Sibawaih, Ibnu Jinni,
Fakhrurazy, dan Ibnu Faris. Dari ulama kontemporer mayoritas
berpendapat bahwa sangat mungkin adanya sinonim dalam bahasa-
bahasa, termasuk Arab, diantaranya Lyons, Ullman, dan Verhaar.
Sementara ulama kontra sinonim banyak dari kalangan klasik
seperti Imam Tsa’lab, Ibnu Faris, dan Abu Hilal Al-Askariy.
Mereka berpendapat bahwa satu benda hanya untuk satu makna
saja.12
2. Antonim/Tadhad
Antonim atau al-tadhadh adalah dua kata yang atau lebih
yang maknanya diaggap berlawanan. Disebut ‘dianggap’ karena
sifat berlawanan dari dua kata yang berantonim ini sangat relatif.
Berdasarkan sifatnya, antonim dibagi menjadi empat, yaitu:13
a. Antonim Mutlak. Pertentangan makna secara mutlak. Sebagai

contoh kata ‫واملوت‬ ‫ احلياة‬Antara ‫ احلياة واملوت‬terdapat batas yang


mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati,
sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi
b. Antonim bertingkat. Makna kata-kata yang berantonim ini
memiliki tingkatan. Artinya makna dari kata-kata yang saling
berlawanan masih relatif. contoh nya kata Mudah lawan dari
susah; antar mudah dan sulit itu masih terdapat sedang.
c. Antonim berlawanan Makna kata yang berantonim hubungan
(relasional) atau lawan ini bersifat saling melengkapi. Artinya,

12
Moh. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, hal 22-31.
13
Baiq Raudatussolihah, “Analisis Linguistik Dalam Al-Qur’an (Studi Semantik
Terhadap QS Al-Alaq).”

11
kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang
menjadi antonimnya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi

ini tidak ada. Umpamanya kata ‫ابع‬ (menjual)berantonim

dengan kata ‫اشرتي‬ (membeli). Kata ‫ابع‬ dan ‫ اشرتي‬walaupun


maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku
serempak pada waktu yang sama.
d. Antonim Kutub atau Antonim Arah. Makna kata-kata yang

termasuk antonim arah ini tidak bersifat mutlak. Misalnya ‫ميني‬

(kanan) dan ‫( مشال‬kiri), ‫( فوق‬bawah) dan ‫( حتت‬atas).

Ada dua pendapat para ulama mengenai antonim. Ulama


kontra antonim seperti Ibnu Dusturiyah, Ibnu Assayyidah, dan
Baqlab yang mengatakan bahwa dengan adanya antonim, maka
pembicaraan sangat mustahil terjadi. Sedangkan ulama pro
antonim diantaranya Ibnu al-Anbariy, al-Ashmu’i, Ibnu Faris , dan
lain-lain. Mereka berpendapat bahwasannya tidak ada yang salah
dengan adanya antonim dalam bahasa, karena dapat saling
melengkapi makna.14

3. Polisemi/Musytarak Al-Lafzhi
Polisemi adalah suatu kata yang memiliki makna yang
beragam. Polisemi berbeda dengan homonim yang dalam bahasa
arab, homonim hanya merupakan kumpulan kata-kata yang
berbeda makna akan tetapi memiliki kesamaan pada barisnya saja.

14
Moh. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, hal 32-34.

12
Menurut Emil Badi’ Ya’qub, ada beberapa sebab terjadinya
polisemi deiantaranya:15
a. Perbedaan dialek orang Arab dahulu
b. Perkembangan pengucapan bunyi yang sering menyimpang
dari kata aslinya. Bisa berupa penambahan atau pengurangan
yang lama-kelamaan menjadi suatu kata baru.
c. Pergesaran beberapa kata dari makna denotasi menjadi makna
konotasi.

Beberapa contoh polisemi dalam bahasa Arab yaitu:

a. ‫ لسان‬artinya lidah, bahasa, fasih, risalah

b. ‫ ضرب‬artinya memukul, menembak, mengepung,

c. ‫ رئيس‬artinya kepala, mandor, pemimpin,


D. Hubungan Lafadz dan Makna
Lafadz adalah apa yang diucapkan, baik dalam bentuk tulisan
maupun ucapan. Sedangkan makna disebut sebagai kandungan lafadz
dan tujuan yang hendak dicapai melalui pengucapan atau
penulisannya. Sedangkan makna adalah sesuatu yang terlintas dalam
benak yang terucapkan dalam lafadz. Sementara lafadz menjadi satu
terkecil dalam struktur bahasa yang memiliki makna. Karena itulah
relasi antara keduanya memiliki kaitan yang saling berhubungan.
Tidak ada lafadz yang tidak mengandung makna dan tidak ada pula
makna yang tidak terwadahi dalam rumah makna, lafadz. Kata menjadi
wadah yang pasti memiliki makna, sehingga makna yang dimunculkan
pastinya akan selalu berkesesuaian dengan lafadznya.

15
Moh. Matsna, hal 34-38.

13
Diskursus bahasa Arab persoalan antara lafadz dengan makna
yang dimilikinya tidak selesai hanya kedua persoalan tersebut,
melainkan memiliki karakteristik yang berbeda. Relasi antara lafadz
dengan makna oleh beberapa linguis Arab dapat disimpulkan pada
beberapa hal:

1. Dalam bahasa Arab ada lafadz yang bervariasi serta memiliki ‫نمل‬

"sapi betina" ‫ بقرة‬makna yang bervariasi pula. Seperti kata "semut"

dan lain sebagainya


2. Ragam makna namun dengan lafadz yang satu, ini dapat dilihat

dalam kata ‫ عين‬kata ini mampu memiliki makna yang banyak,

meskipun yang ditandainya hanya satu. Ia dapat diamkan dengan


"mata", "satu jenis benda", "mata air", "tertentu" dan lain
sebagainya. Kajian tentang makna seperti ini dikenal dengan
musytarak atau biasa disebut homonim.
3. Bermacam-macam lafadz namun maknanya satu, ia menjadi
kebalikan dari homonim, dalam studi fiqh lughah jenis ini dikenal
mutaradifaat, sinonim.
4. Adh-dhad, yakni lafadz yang terdiri dari dua makna yang saling
bertolak belakang.16

16
Ahmad Haromaini, “Lafadz Musytarak Dinamisasi Dalam “Rumah Makna,”
Indonesian Journal of Arabic Studies 1, no. 1 (n.d.): 27–28.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahasa adalah sistem komunikasi manusia yang dinyatakan
melalui susunan suara atau ungkapan tulis yang terstruktur untuk
membentuk satuan yang lebih besar. Bahasa memiliki dua elemen
yaitu rangkaian bunyi (al-saut) dan kedua, makna (al-madlul).
Al-Saut berarti “bunyi”. Istilah lain dari Al-saut ialah lafadz.
Lafadz ditinjau dari sisi kebahasaan dapat didefinisikan sebagai apa
saja yang dilafalkan dari kalimat, dan sesuatu yang terlontar dari mulut
atau lisan, dan bunyi yang mengandung sebagian huruf hijaiyah. Al-
Madlul berarti “makna”. Makna juga dapat didefinisikan sebagai
sesuatu yang terkandung dalam ucapan, isyarat, dan tanda. Sedangkan
‘Alaqah ialah “Persesuaian antara makna yang dipindahkan dan makna
yang dipindahi.”
Plato dan Socrates menyimpulkan bahwa antara lafadz dan
makna terdapat hubungan yang sangat erat sebagaimana hubungan Api
dengan Membakar. Mereka menamakannya hubungan ini dengan “Al-
Shilah al-Tabi’iyyah atau al-Shilah al-Zatiyah” (naturalilsm-
subyektivisme). Sedangkan macam-macam makna ada lima yaitu :
sinonimi/al-tarāduf, antonimi/al-tadhādd, homonimi/isytarᾱk al lafdzi,
hiponimi, dan polisemi/musytaroku al lafdzi.
Adapun relasi antara lafadz dan makna sangat berkaitan erat.
Relasi antara keduanya memiliki kaitan yang saling berhubungan.
Tidak ada lafadz yang tidak mengandung makna dan tidak ada pula
makna 16 yang tidak terwadahi dalam rumah makna, lafadz. Kata

15
menjadi wadah yang pasti memiliki makna, sehingga makna yang
dimunculkan pastinya akan selalu berkesesuaian dengan lafadznya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Haromaini. “Lafadz Musytarak Dinamisasi Dalam “Rumah Makna".”


Indonesian Journal of Arabic Studies 1, no. 1 (t.t.): 27–28.
Baiq Raudatussolihah. “Analisis Linguistik Dalam Al-Qur’an (Studi Semantik
Terhadap QS Al-Alaq).” Universitas Islam Negeri Alauddin, t.t.
Eva Ardinal. “Konsep Hubungan Lafaz Dan Makna (Sebuah Kajian
Epistimologi)” 12, no. 1 (2016).
Heriyanto. “Hubungan Lafadz Dan Makna,” t.t.
https://id.scribd.com/document/256976215/Hubungan-Lafadz-Dan-
Makna.
Khatibul Umam. Pedoman Dasar Ilmu Nahwu. Jakarta: Darul Ulum Press,
1996.
Moh Matsna. Kajian Semantik Arab Klasik Dan Kontemporer. Jakarta:
Kencana, 2016.
Moh. Matsna. Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer. Jakarta:
Penerbit Kencana, 2016.
Muhammad Syamsudin Noor. ““Majaz Mursal dalam Surah Al-Baqarah"” 6,
no. 1 (2019).
Taufiqurrahman. “Leksikologi Bahasa Arab.” Jakarta, Rineka Cipta, 2014.

17

Anda mungkin juga menyukai