Anda di halaman 1dari 9

Syekh Umar Abdul Jabbar merupakan murid dari Imam Nawawi Al Bantany

Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1320 H merupakan tahun kelahiran ‘Umar ‘Abdul Jabbar di
Makkah Al-Mukarramah. Tahun ini disepakati oleh sejarawan kecuali Ustadz Khairuddin Az-Zirikli
dalam Al-A’lam (V/49) yang menyebutkan tahun 1318 H. Sejak masih belia dia terlihat sangat rajin
menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan di Masjidil Haram. Dari satu majelis ke majelis lain
dia belajar pengetahuan Islam dari masing-masing pengisi kajian tersebut yang salah satunya ialah
Syaikh Abu ‘Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Jawi Al-Bantani Asy-Syafi’i, salah seorang
ulama besar Masjidil Haram asal Tanara Banten. Kepada gurunya tersebut, ‘Umar sangat hormat dan
menaruh bakti yang sangat layak diberikan oleh murid kepada gurunya. Sehingga sering kali setiap
kali menyinggung nama Syaikh Nawawi, beliau imbuhkan kata-kata syaikhuna. Di antara pelajaran-
pelajaran yang ‘Umar terima di kajian-kajian Masjidil Haram tersebut ialah tafsir, hadits, dan fiqih.
Nampaknya di masa-masa itulah yang dijadikannya sebagai bekal kelak di kemudian hari ketika
pemain peran penting dalam meletakkan pondasi-pondasi kurikulum madrasah-madrasah Islam di
Yaman, Indonesia, dan tentunya Saudi Arabiya. Pada tahun 1342 H ‘Umar terlihat berkemas-kemas
untuk meninggalkan Makkah, tanah kelahirannya, menuju Shan’a. Di negerinya yang barunya itu ia
telah berperan penting dalam meletakkan pondasi pokok pembelajaran di madrasah-madrasah
nizham yang ada di sana. Termasuk yang beliau lakukan dalam madrasah-madrasah itu ialah
pelajaran fisika dan geografi. Usaha-usaha cemerlang yang dilancarkan oleh Ustadz ‘Umar itu
kemudian terdengar ke seantero negeri Yaman, termasuk pihak pemerintah Mukalla, salah satu kota
Yaman yang terkenal. Dari sanalah kemudian raja Mukalla menulis sepucuk surat untuk ‘Umar yang
intinya adalah agar beliau berkenan pindah ke Mukalla untuk melakukan apa yang beliau lakukan di
Shan’a. Permintaan tersebut kemudian disambut baik oleh ‘Umar. Ia pun bergegas ke Mukalla
setelah sebelumnya melewati negeri ‘Aden. Selama 3 tahun keberadaannya di Mukalla, ‘Umar telah
banyak memberikan warna perubahan pada pendidikan negeri tersebut. Selain merakit corak
pendidikan dan pondasi manhaj pembelajaran, ia juga telah berhasil merintis sejumlah madrasah di
berbagai wilayah, sesuatu yang menyebabkan pergerakan pendidikan di sana semakin hidup dan
mengalami perubahan positif yang sangat pesat. Pihak pemerintah pun semakin tertarik dengan
kerja keras ‘Umar ‘Abdul Jabbar dan menginginkannya agar tetap di negerinya agar semakin makmur
dengan pendidikan Islam.

ketika ‘Umar dalam puncak-puncak kejayaan dalam membenahi pendidikan yang ada di Mukalla,
tiba-tiba datang sepucuk surat dari negeri nun jauh Indonesia untuk Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar.
Pengirim surat tersebut menjelaskan bahwa di Indosesia tengah menghadapi gerakan kristenisasi
yang cukup hebat sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi kaum muslimin yang lemah iman dan
buruk pengetahuannya terhadap agama Islam itu sendiri. Tentu saja gerakan kristenisasi di Indonesia
mengalami kemajuan ditandai dengan datangnya penjajah-penjajah Belanda. Walaupun secara
lahiriah mereka hanya menginginkan rempah-rempah dan emas, namun di balik itu semua ada misi
dan proyek yang lebih besar, yaitu mengkristenkan Nusantara yang sebelumnya dipenuhi oleh kaum
muslimin dari Sabang hingga Merauke. Bukankah banyak sekali daerah-daerah di Indonesia yang
namanya justru serapan dari Bahasa Arab? Ada Danau Toba terambil dari kata Thayibah, ada Maluku
yang terambil dari kata Muluk, ada pula Irian Jaya yang terambil dari kata ‘Uryan. Namun
kenyataannya sekarang daerah-daerah tersebut dan lainnya lebih didominasi oleh kaum-kaum salib
yang sesat itu. ‘Umar ‘Abdul Jabbar adalah salah satu sosok yang tepat yang memenuhi kriteria
tersebut.

Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, ‘Umar pun menyambut baik permintaan dan undangan saudara-
saudaranya di tanah Melayu itu. Selain untuk misi mulia di atas, juga sebagai bentuk baktinya kepada
sang guru yang telah mengajari dan mendidiknya di serambi Masjidil Haram di kala mudanya.
Keinginannya untuk turut berperan di tanah Melayu itu pun ia sampaikan dengan sangat hati-hati
kepada raja Mukalla. Ia faham betul betapa tuan raja tidak segan-segan akan menghalang-
halanginya karena sayangnya kepadanya yang begitu tinggi. Bagaimana tidak, pendidikan negerinya
sudah mulai membaik dan maju pesat berkat usahanya setelah pertolongan dan karunia Allah Ta’ala.
Rasanya sangat berat untuk melepasnya begitu saja. Dan benarlah dugaannya tersebut. Sang raja
tidak begitu saja mengizinkannya meninggalkan negerinya. Namun apa boleh buat, raja Mukalla
tidak bisa memaksakan kehendaknya. Raja yang bijaksana tidak hanya akan memikirkan
kemakmuran negerinya sendiri dengan egonya, namun juga harus menaruh empati kepada saudara-
saudara lainnya yang tinggal di seberang nun jauh di mata. Karena itu digelarlah acara perpisahan
dengan dihadiri oleh petinggi-petinggi negara dan masyarakat Mukalla. Bahkan raja sendiri bertindak
sebagai pelepas tokoh ulamanya tersebut. Ketika ‘Umar ‘Abdul Jabbar di atas kapal menuju
kepulauan Nusantara melalui ‘Aden, pikirannya sudah dipenuhinya dengan peta-peta rencananya
yang akan segera ia wujudkan setibanya di tanah Melayu itu. Misi utamanya ialah membentengi
umat Islam dari para misionaris dan pemikiran-pemikaran menyusup lainnya dalam umat Islam,
semacam syirik, bid’ah, khurafat, dan kawan-kawannya yang memang menjamur di negeri ini. cita-
cita itu akan terwujud dengan sukses dengan menggalakkan pendidikan, disemarakkan kajian-kajian
Islam, khutbah-khutbah yang berbobot. Oleh karena berdakwah memerlukan ilmu yang cukup dan
cakrawala pengetahuan yang baik. Bahkan demi mencerdaskan umat Islam di Indonesia dan
meningkatkan mutu keilmuan kaum pelajar, ia sampai membawa seluruh perbendaharaan
perpustakaan pribadinya ke Indonesia yang dikemudian hari ia wakafkan seluruhnya untuk kaum
muslimin di negeri Melayu itu. Dari sini terlihat jelas betapa perjuangan Syaikh ‘Umar bukan sesuatu
yang ringan, namun penuh keikhlasan dan rahmat kasih sayang sepenuhnya. Pada tahun 1346 H
adalah tahun di mana ‘Umar sampai di tanah Nusantara. Tak ayal, acara penyambutan digelar
sedemikian rupa. Nampak di sana khalayak ramai menyambutnya, terutama orang-orang ‘Arab, baik
yang terlahir di Timur Tengah ataupun yang sudah bercampur dengan darah Melayu, berbondong-
bondong menyambut kedatangannya. Tak tertinggal, umat Islam lokal turut serta dalam
penyambutan itu. Tidak peduli apakah rakyat biasa, ulama, ataupun orang-orang berkedudukan
penting lainnya.

Seketika ia menginjakkan kakinya di tanah Melayu, ia melihat bahwa saudara-saudara di negeri ini
sangat membutuhkan dan berhajat kepada mushaf Al-Quran, Juz ‘Amma, dan buku-buku bacaan
Bahasa ‘Arab untuk menunjang pembelajaran Bahasa Al-Quran tersebut. Meskipun ia sendiri telah
membawa ribuan eksemplar mushaf Al-Quran, akan tetapi itu semua belum lagi menutupi
kebutuhan Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengirim surat kepada handai taulannya yang
tengah berada di Mesir ketika itu disertai kiriman uang yang cukup besar nominalnya agar kiranya
dapat dibelikan ribuan eksemplar mushaf Al-Quran, Juz ‘Amma, dan buku-buku bacaan Bahasa Arab.
Kawannya tersebut yang juga seorang ulama besar berdarah Minangkabau, yaitu Syaikh ‘Abdul
Hamid bin Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif Al-Khatib Al-Makki, tidak saja menunaikan amanah
sahabat karibnya itu namun juga menambah delapan ribuan lebih eksemplar mushaf Al-Quran untuk
dibagikan secara cuma-cuma kepada kaum muslimin di negeri ayahnya tercinta. pendistribusian
mushaf Al-Quran, Juz ‘Amma, dan buku bacaan Bahasa Arab yang jumlah ribuan itu, Syaikh ‘Umar
bertindak langsung sebagai pelaksananya. Dia sengaja tidak menunjuk orang lain untuk melakukan
itu walaupun harus turun ke kampung-kampung yang mungkin jaraknya berjauhan dan ke pelosok
daerah yang tentu membutuhkan energi yang ekstra. Kecintaannya melihat dan bersua dengan
kaum muslimin menuntutnya melakukan itu semua. Ini juga sebenarnya sebagai strategi berdakwah
agar semakin diterima dan disambut dengan hangat, yaitu dengan cara memberi sehingga orang lain
merasa berhutang budi lalu kemudian menyampaikan pesan-pesan dakwah yang diinginkan. Cara
dakwah model ini pun pernah dipraktikkan oleh baginda Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.

Demi meningkatkan mutu pendidikan anak-anak kaum muslimin di tanah Nusantara, ‘Umar ‘Abdul
Jabbar telah berhasil mendirkan ratusan madrasah yang menitikberatkan unggulannya pada dua
pokok, yaitu tahfizh Al-Quran dan pengajaran Bahasa ‘Arab sebagai bahasa syariat Islam. Tidak
hanya itu, pengalamannya yang ia peroleh sewaktu mengabdikan diri di beberapa negeri Yaman,
membuatnya semakin pandai mengatur strategi pendidikan formal.

Salah satunya dalam masalah buku-buku wajib siswa atau kurikulum pendidikan. Dalam hal ini ia
melihat bahwa selama ini madrasah-madrasah Islam di kepulauan Nusantara masih menggunakan
kitab-kitab pelajaran yang sulit dimengerti oleh peserta didik dalam jangka waktu pendek. Walaupun
memang tetap bisa dimengerti dan dituntaskan, namun memerlukan masa yang cukup lama. Hal ini
tidak lain karena memang buku-buku tersebut ditulis ratusan tahun silam. Sehingga sering kasus
tidak sesuai dengan kondisi masa kekinian. Oleh karena itu, Syaikh ‘Umar mencurahkan seluruh
pikiran, waktu, dan tenaganya untuk mewujudkan kitab-kitab pelajaran yang sesuai dengan masa
dan cocok untuk pelajar-pelajar non ‘Arab. Dari sinilah kemudian terlahir dari tangannya kitab
Khulashah Nurul Yaqin dan Ad-Durus Al-Fiqhiyyah ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i .

Secara ringkas kitab Khulashah Nurul Yaqin merupakan teks pelajaran yang terdiri dari 3 juz. Asal
mulanya dari kitab Nur Al-Yaqin fi Sirah Sayyid Al-Mursalin karya Syaikh Muhammad Al-Khudhari
Bek, seorang ulama Mesir. Kitab itu kemudian dipangkas dan diringkas menjadi 2 juz tipis beserta
ringkasan tiap-tiap topik pelajaran beserta latihan soal untuk mudzakarah para siswa. Sedangkan juz
ketiga dari Khulashah itu sebetulnya ringkasan dari kitab lain karya Syaikh Muhammad Al-Khudhari
Bek, yaitu Itmam Al-Wafa’ fi Sirah Al-Khulafa’ yang berisi tentang biografi perjuangan 4 Khulafa’
Rasyidin, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan ‘Ali. Namun entah kenapa judulnya tetap Khulashah Nurul
Yaqin, padahal lebih tepat apabila diberi judul Khulashah Itmamul Wafa’.

Adapun Ad-Durus Al-Fiqhiyyah, sebagaimana jelas melalui judulnya, merupakan kitab fiqih madzhab
Imam Asy-Syafi’i. Buku ini terdiri dari 4 juz dengan penyusunan yang berbeda. Juz satu dan dua
disusun dengan memanfaatkan metode soal-jawab dengan diawali pembahasan ringkas terkait
ushuluddin. Sementara juz tiga dan empat sudah tidak lagi menggunakan metode soal-jawan dan
pembahasannya sudah sedikit agak luas walaupun masing-masing juz itu kisaran masalah yang
ditampilkan hanya ushuluddin, thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji.

Di samping dua kitab di atas, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar juga menulis kitab-kitab lainnya yang
mayoritasnya diperuntukkan siswa-siswa madrasah formal dan juga mencetak serta mengedit kitab-
kitab ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti:

Manhaj Ash-Shihhah, At-Ta’bir Asy-Syafahi, Tarikh ‘Imarah Al-Masjidil Haram karya Al-Marhum
Husain bin ‘Abdullah Basalamah (tahqiq), Madarij Al-Hisab Al-Madrasi, Al-Hisab Al-Hadits, Sirah An-
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Al-Muthala’ah Al-Haditsah (ditulis bersama Syaikh Muhammad
Ahmad Syatha dan Syaikh Ahmad Al-‘Arabi), Taqrib Al-Fiqh Asy-Syafi’i, dan Durus Min Madhi At-Ta’il
wa Hadhiruh bi Al-Masjid Al-Haram, sedangkan cetakan berikutnya berubah nama menjadi Siyar wa
Tarajim Ba’dh ‘Ulamaina bi Al-Masjid Al-Haram.

Adapun kitab-kitab yang beliau biayai percetakannya ialah seperti Muqarrar At-Tauhid yang berisi
dua kitab kecil karya Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (mungkin Al-Ushul Ats-Tsalatsah
dan lainnya) dan ‘Umdah Al-A’lam karya Al-Hafizh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi, Hayat Sayyid Al-‘Arab
karya Syaikh Husain bin ‘Abdullah Basalamah dengan tahqiq Syaikh Zakariya bin ‘Abdullah Bela, Al-
Amtsilah Al-Mukhtalifah fi At-Tashrif.
Tidak tahu pasti mana di antara buku-buku ini yang diterapkan penggunaannya di Indonesia, namun
yang jelas usaha beliau dalam membenahi kurikulum pendidikan tidak berhenti sampai di Indonesia.
Bahkan sekembalinya ke tanah airnya, beliau terus memantapkan karirnya sebagai bapak
pendidikan.

Menyadari aktifitas dakwah membutuhkan dana dan biaya, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar berfikir keras
bagaimana caranya mengumpulkan dana untuk kepentingan dakwah dengan tanpa meminta-minta
atau tanpa membebani orang lain? Setelah ia berfikir keras hingga sampailah pada keputusan untuk
berdagang. Berdagang merupakan aktifitas mencari rizki yang cukup besar keuntungannya. Bahkan
sebagian orang mendasarkan pada sebuah atsar akan hal tersebut. Dari hasil keuntungan berdagang
itu, beliau menggunakannya untuk kepentingan dakwah. Tentu saja dalam membangun madrasah-
madrasah tahfizh Al-Quran dan bahasa Arab serta mencetak karangan-karangannya sendiri
memerlukan kucuran dana. Keberkahan harta itulah di antara sebab berkembangnya dakwah yang ia
emban dan telah melahirkan generasi-generasi terbaik yang akan segera memainkan peranan
penting dalam menyebarkan Islam di seluruh pelosok Tanah Air dan sebagai pejuang kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena memang kemerdekaan negara kesatuan ini tidak bisa
dilepaskan dari perjuangan para ulama dan santri. Bahkan hingga kaum muslimin jelata pun turut
berpadu dalam mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Berangkat dari kesadaran bahwa selama
pendudukan penjajah kafir tersebut masih bercokol di Indonesia, sudah barang tentu aktifitas ibadah
umat Islam tidak bisa berlangsung lancar dan sempurna. Mereka tidak akan tinggal diam dan akan
perupaya membuat pemuda-pemuda Islam lebih menyukai klub-klub malam atau acara-acara
tandingan lainnya asalkan tidak ke masjid.

Kesuksesan dakwah Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar ini membuat umat Islam di Indonesia merasa perlu
membalas jasanya. Oleh karena itu mereka mencoba menawarkan jabatan penting yang terpandang
kepada beliau. Akan tetapi tawaran tersebut tidak disambut oleh Syaikh ‘Umar. Ia beralasan bahwa
dakwah yang beliau lakukan dan usaha-usaha pembenahan kualitas pemahaman umat Islam di
Indonesia yang beliau galakkan bukan untuk mencari jabatan. Semua itu murni demi kemaslahatan
kaum muslimin dan untuk menunaikan kewajiban selaku orang Islam dalam menjalankan amar
makruf nahi mungkar. Apalagi kedudukan yang Allah sediakan kelak di akhirat jauh lebih besar dari
sekedar jabatan di dunia yang sering kali membuat manusia lalai dan terpedaya.

Pada tahun 1356 H bisa dikatakan sebagai tahun sedih bagi umat Islam di Indonesia. Pasalnya orang
paling berjasa dalam memajukan pendidikan dan kualitas pemahaman pemuda Tanah Air itu akan
segera meninggalkan negeri terbesar umat Islam tersebut. Ya, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar akan
segera kembali ke negeri asalnya, Kerajaan Saudi Arabia. Pun demikian, saudara-saudaranya di
kepuluan Nusantara tidak mungkin menghalang-halanginya walauapun mereka masih tetap
membutuhkan bantuannya. Namun keberadaannya di sini selama 10 tahun dimulai dari tahun 1345
H kiranya bukan waktu yang singkat menurut perhitungan biasa, namun apabila dikaitkan dengan
waktu berdakwah masih belum dikatakan lama. Walaupun demikian, buah dakwah yang beliau
lakukan selama rentang waktu itu sudah sangat luar biasa. Dari tangannya muncul da’i-da’i, ulama-
ulama, dan para cendekiawan yang akan segera meneruskan estafet gurunya. Apalagi beliau telah
mewakafkan perpustakaan pribadinya yang berisi kitab-kitab besar untuk kaum muslimin, pelajar,
dan ulama di Indonesia. bukan hanya itu saja, beliau juga meninggalkan karya-karyanya untuk tetap
dipakai dan dimanfaatkan sebagai buku wajib santri dan pelajar di madrasah-madrasah Islam.
Karena itu tidak heran apabila Khulashah Nurul Yaqin dan Ad-Durus Al-Fiqhiyyah hingga detik ini
masih diajarkan di madrasah-madrasah Islam di Tanah Melayu dengan berbagai latar belakang, tidak
peduli madrasah yang berlatar belakang tradisional ataupun yang menganut faham pembaharuan.
Selain itu, beliau juga menulis Al-Mahfuzhat, Al-Muntakhabat fi Al-Mahfuzhat, Al-Hisab Al-Hadits,
Muqarrar Al-Imla, Madarij Al-Hisab Al-Madrasi, Madarij Ta’lim Al-Lughah Al-‘Arabiyyah bi At-
Tamarin wa Ash-Shuwar, dan lain-lain

jilid I isinya berkisar asal usul Nabi Muhammad, siapa ayah dan ibunya kemudian riwayat hidup awal
Muhammad sebelum menjadi Nabi, misalnya meninggalnya orang tua Nabi pengasuhan dan
pendidikannya serta meninggal neneknya. Pengalaman pengembalaan kambing dan hijrah pertama
dan kedua ke Syam. Peristiwa perkawinannya dengan Khadijah, pengalaman dari mendamaikan
orang Quraisy ketika ingin mengangkat batu hajarul aswad di Ka’bah. Demikianlah jilid I ini
menjelaskan berbagai peristiwa sebelum diangkat menjadi Rasul.

jilid II ini menjelaskan kehidupan Rasul. Dimulai dari turunnya wahyu, hal orang-orang Arab sebelum
Islam, dakwah secara sembunyi-sembunyi, orang-orang yang pertama yang beriman dan dakwah
secara terang-terangan, dan sampai beliau diangkat menjadi Rasul dan peristiwa turunnya wahyu.
Selanjutnya juga dijelaskan peristiwa masuknya Islam beberapa sahabat seperti Abu bakar as-
Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, hamzah. Dalam kitab ini juga
dijelaskan peristiwa meninggalnya isteri-isteri Nabi Muhammad seperti Khadijah dan saudah. Selain
itu dijelaskan juga mengenai hijrah ke Thaif, peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Islamnya kaum Anshar, bai’at
aqabah kedua. Dalam kitab ini juga dijelaskan mengenai peristiwa hijrah ke madinah, kesepakatan
kaum Quraisy untuk membunuh rasul. Peristiwa Jum’at pertama dan Khutbah pertama dari rasul dan
asal Qunud kaum Muslimin diMadinah

jilid ke III dijelaskan mengenai khalifah-khalifah setelah Rasul, mulai dari khalifah Abu Bakar sampai
Ali bahkan juga diceritakan sedikit peristiwa penyerahan tongkat khalifah dari Saidina Hasan kepada
Mu’awwiyah untuk menghindari peristiwa pergantian dari satu khalifah ke khalifah yang lain yaiti
mulai Abu Bakar sampai Ali dan sejumlah peristiwa peperangan semasa khalifah-khalifah tersebut.
Dengan demikian pembaca kitab ini akan terhafal jumlah peperangan ketika itu dan juga tokoh-
tokoh umat baik sebagai panglima peperangan maupun tokoh-tokoh pimpinan politik
judul asli kitab ini adalah Safinatun Naja fima Yajib ‘Alal ‘Abdi li Maulah (‫سفينة النجا فيما يجب على العبد‬
‫)لمواله‬. ditulis oleh Asy-Syaikh Al-Faqih Salim bin ‘Abdullah bin Sa’d bin ‘Abdullah bin Sumair Al-
Hadhrami Al-Batawi Asy-Syafi’i –rahimahullah– (wafat 1271 H). Beliau adalah seorang ulama
kenamaan asal Hadhramaut, Yaman yang tidak hanya pandai ilmu syariat, namun beliau juga mahir
dalam masalah persenjataan. Oleh karena kemahirannya itu, beliau pernah ditunjuk sebagai delegasi
pembeli senjata oleh pemerintah Yaman. kitab yang kita bicarakan ini bahasannya adalah mengenai
aqidah dan fiqih. Di permulaan kitab, Syaikh Salim menyinggung masalah rukun Islam yang lima,
rukun iman yang enam, dan makna “laa ilaaha illallah”. Beliau berkata:“Pasal: Dan makna laa ilaaha
illallah adalah tidak ada tuhan yang haq di alam ini kecuali Allah.”Selanjutnya beliau membicarakan
fiqih berdasarkan madzhab Syafi’i. Namun tidak semua bab-bab fiqih dibicarakan dalam kitab ini.
Adapun yang dibicarakan adalah meliputi:Kitab thaharah, yang meliputi 18 pasal.Kitab shalat, yang
terdiri dari 27 pasal.Kitab jana-iz, yang terdiri dari 7 pasal.Kitab zakat, yang terdiri dari 1 pasal.

Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Jawi Al-Bantani Al-Makki Asy-Syafi’i –rahimahullah–
menambahkan satu pembahasan lagi yang di kemudian hari terus dicantumkan bersama kitab
aslinya. Satu bahasan itu adalah kitab puasa yang terdiri dari 8 pasal. Alasan beliau menambahkan
kitab puasa ini karena banyaknya person yang terbebani ibadah ini, lain halnya dengan kitab haji
yang lebih sedikit ahli taklifnya dan karena penjelasannya memerlukan pembahasan yang lebih
panjang. Karenanya beliau menulis kitab tersendiri dalam masalah haji ini, yaitu Fathul Mujib syarh
Mukhtashar Al-Khathib fil Manasik yang baru-baru ini diterbitkan Dar Ibn Hazm Beirut. perhatian
para ulama terhadap kitab ini, maka sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan banyak di antara
mereka yang mengajarkan kitab ini pada santri-santrinya dan kaum muslimin pada umumnya.
Bahkan kitab ini hampir dipakai sebagai kitab muqarrar di setiap pesantren –terutama pesantren
tradisional- di Indonesia dan lainnya. Juga di Yaman, Afrika, dan lainnya sangat akrab

Kitab Safinah ini sudah mendapatkan syarah dan komentar dari para ulama Islam di pelbagai penjuru
dunia. Di antaranya adalah:

• Inarah Ad-Duja fi Syarh Tanwir Al-Huja Nazhm Safinah An-Naja, karya Syaikh Muhammad Husain
Al-Maliki Al-Makki. Kitab ini adalah syarah besar untuk kitab Safinah. Nazhamnya sendiri dinazham
oleh Syaikh Ahmad bin Shiddiqi Al-Lasemi (Kiai Lasem). Kitab ini sudah dicetak oleh Al-Haramain
Indonesia.

• Kasyifah As-Saja syarh Safinah An-Naja, karya Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Jawi Al-
Makki. Kitab ini merupakan kitab muqarrar di Afrika. Cetakan kitab ini amat banyak, di antaranya
yang terbaru adalah cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah Beirut, Dar Ibn Hazm Beirut, Al-Haramain Indonesia,
dan lain-lain.

• Nail Ar-Raja bi Syarh Safinah An-Naja, karya Syaikh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri Al-Hadhrami.
Pertamakali dicetak di Mesir dan telah habis semua, dan baru-baru ini dicetak Darul Minhaj KSA.

Setelah beliau selesai menyarah kitab Zakat, beliau berkata, “Ini lah akhir syarah kami, selesailah
kitab Safinah An-Naja’ karya Al-‘Allamah Asy-Syaikh Salim Abu ‘Abdullah bin Sa’d bin Sumair Al-
Hadhrami. Semoga Allah memberikan manfaat bagi kita dengannya. Amiin.
“Dan Asy-Syaikh Al-Fadhil Muhammad Nawawi Al-Jawi telah melampirinya dengan beberapa pasal
tentang puasa karena banyak dibutuhkan dan banyak yang terbebani, maka kami menyukai untuk
mensyarahnya agar faidahnya menjadi sempurna.” (Nail Ar-Raja hlm. 265), • Ad-Durrah As-Saminah
Hasyiyah ‘ala As-Safinah, karya Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Hadhrami.

• Wasilah Ar-Raja Syarh Safinah An-Naja, karya Syaikh Hasan bin ‘Umar Asy-Syairazi.

• Ghayah Al-Muna Syarh Safinah An-Naja, karya Syaikh Muhammad bin ‘Ali Ba ‘Athiyyah Al-
Hadhrami Ar-Ru’ani. Kitab ini merupakan syarah yang cukup luas untuk kitan Safinah dalam
seperempat ibadah beserta syarah kitab puasa yang dilampirkan oleh Al-‘Allamah Muhammad
Nawawi Al-Jawi –rahimahullah- dalam kitanya, Kasyifah As-Saja, dan kitab haji yang ditambahkan
oleh pensyarah –hafizhahullah-. Maka jadilah syarah ini mencakup seperempat ibadah. Syarah ini
mempenyai keistimewaan dengan jelas ungkapanya, mudah uslubnya, kemusykilannya dipecahkan,
dan penghimpunan ihtirazat dan kaidah-kaidah yang sangat diperlukan penuntut ilmu. Selain itu
penulis juga memperhatikan penyebutan dalil dan alasan (ta’lil) yang dikandung kitab matan,
penjelasan khilaf di antara Syaikhain, Ibnu Hajar dan Ar-Ramli, taqri’ masalah-masalah,
mengeluarkan kesimpulan, memperjelas permasalahan kontemporer yang dikandung kitab dari bab-
bab fiqih, dan menjelaskan judul-judul kitab yang belum dicakup kitab matan agar faidahnya menjadi
sempurna.

Kitab ini terdiri dari 720 halaman dalam bentuk jiid sedang. Kitab ini juga telah memperoleh taqrizh
(pujian) dari kalangan ulama yang mulia. Untuk mendapatkan kitab tersebut bisa diunduh
di:http://mabaatiyah.com/UploadFiles/safina_cs3.pdf.

Yang perlu diperhatikan dan diwaspadai dalam kitab ini ialah bahwa penulis kitab ini, Syaikh Ba
‘Athiyyah, ketika membahas permasalahan ‘aqidah tidak mengacu pada ‘aqidah Ahlussunnah wal
Jama’ah, namun beliau mengacu pada ‘aqidah Asy’ariyyah.

Nazham-nazham kitab Safinah:

• Tanwir Al-Hija Nazhm Safinah An-Naja, karya Syaikh Ahmad bin Shiddiqi Al-Fasuruwani Al-Lasimi.

• Al-Lu’lu’ah As-Saminah Nazh As-Safinah, karya Syaikh Muhammad bin ‘Ali Ba Hana Al-Kindi.

• Ash-Shubha As-Saminah Nazhm As-Safinah, karya Syaikh Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad.

• Dan lain-lain.

Hukum membaca kitab Safinah An-Naja dan Safinah Ash-Shalah

• Pertanyaan:

Apakah hukum membaca kitab Safinah An-Naja fi Ushul Ad-Din wa Al-Fiqh karya Syaikh Salim bin
Sumair Al-Hadhrami? Dan hadits palsu apa yang termuat dalam Safinah ini? Dan apa hukum
membaca kitab Safinah Ash-Shalat karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Umar bin Yahya Al-Hadhrami? Dan
hadits-hadits palsu apa yang tercentum dalam kitab ini?

• Jawab:

Pertama, sejatinya kitab matan Safinah An-Naja fi Ushul Ad-Din wa Al-Fiqh karya Syaikh Salim bin
Sumair Al-Hadhrami –rahimahullah– merupakan kitab yang ringkas ala madzhab Imam Asy-Syafi’i –
rahimahullah-. Penulis telah meringkas sebagian permasalahan aqidah dan ibadah, dan beliau tidak
menyebutkan hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, baik yang shahih maupun yang dha’if. Akan
tetapi penulis melakukan sebagaimana kebiasaan para penulis dalam meringkas dan menghilangkan
nash dan dalil.

Maka ia merupakan kitab ringkas yang secara umum tidak masalah. Penulis telah mengarangnya
berdasarkan madzhab Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah-. Dan nyaris tidak ada yang perlu dikeritik
kecuali sebagian pendapat-pendapat fiqih yang lemah tertolak atau tidak kuat. Dan hal semacam ini
tidak membuat kitab dicela karena ia sebagaimana kebiasaan matan-matan dan kerangan-karangan
dalam bidang fiqih yang perhatian menyebutkan pendapat madzhab dalam suatu masalah, dan tidak
perhatian menyebutkan pendapat pilihannya meskipun ia (penulis) mempunyai pendapat pilihan
khusus, dan juga tidak mengoreksi permasalahan.

Maka penuntut ilmu mendapatkan manfaatnya sebatas itu, bahwa ia merupakan kitab bermadzhab,
di dalamnya ia belajar permasalahan-permasalahan fiqih berdasarkan madzhab salah seorang imam
yang diakui dan dipanuti. Selanjutnya jika ia menjumpai sunnah yang menyelisihi apa yang
ditetapkan madzhab, maka ia tidak dihalalkan meninggalkan sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam– karena pendapat manusia mana pun.

Kedua, kitab Safinah Ash-Shalah karya ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Hadhrami –rahimahullah– juga
semisalnya. Beliau mengawalinya dengan sebagian pokok-pokok agama kemudian sejumlah hukum-
hukum peribadatan secara ringkas. Di dalamnya tidak terdapat hadits nabawi sebagaimana yang
telah lalu berupa kebiasaan pekerjaan dalam ringkasan dengan membuang dalil dan mencukupkan
dengan yang didalili (permasalahan) dalam bentuk yang ringkas agar mudah dihafalkan.

Pendapat tentangnya sebagaimana pendapat tentang kitab terdahulu.

Ketiga, di dalam kedua kitab ini tidak ada permasalahan-permasalahan ‘aqidah yang dapat membuat
kita bisa mengetahui ‘aqidah kedua penulis. Adapun Safinah An-Naja, maka yang semua yang
dibicarakannya dalam permasalahan ‘aqidah sebagai berikut:

“Rukun-rukun Islam ada lima: bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menunaikan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan,
haji ke rumah Allah bagi siapa yang mempu menempuh jalannya.

“Rukun-rukun iman ada enam: Anda beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
utusan-Nya, hari akhir, dan qadar yang baik maupun yang buruk dari Allah Ta’ala.

“Dan makna laa ilaaha illallah adalah tidak ada tuhan yang haq di alam ini selain Allah.”
Dan kitab terakhir menyebutkan dua syahadat dan maknanya, dan bahwa Allah bersifat dengan
setiap kesempurnaan, suci dari setiap kekurangan, dan apa yang terbetik dalam benak. Dzat, sifat,
dan perbuatan-Nya tidak ada yang menyerupai seorang pun.

Dan semua orang Sunni maupun Asy’ari berpendapat semacam ini, meskipun apa yang mereka
muthlakkan berupa penafian setiap apa yang terbetik dalam benak tentang Allah Jalla Jalaluh tidak
benar dan tidak teliti sebagaimana yang telah lalu penjelasannya dalam jawaban soal no. 196227.

Maka secara umum membaca dan mempelajari kedua kitab ini tidak mengapa, khususnya bagi siapa
yang mempelajari ilmu berdasarkan madzhab Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah-. Untuk tambahan
faidah lihat kembali jawaban soal no. 130210. Allahua’lam

Anda mungkin juga menyukai