Anda di halaman 1dari 89

YAYASAN MASJIDILLAH INDONESIA

Kitab Hukum Waris


Fiqih Mawaris
Ahmad Sarwat, Lc

Buku Fiqih Mawaris ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas.
Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab yang menjadi
pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah
dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi. Ahmad Sarwat, Lc.

Informasi Tentang Buku


Judul buku

: Kitab Hukum Waris Fiqih Mawaris

Penulis

: Ahmad Sarwat, L.c., M.A.

Penerbit

: Yayasan Masjidillah Indonesia

Cetakan

: Pertama, Januari 2013

Format cetak

: A4, bolak-balik

Tujuan khusus

: Untuk diktat Pengajian Hukum Waris di Masjidillah

Tujuan umum
: Untuk sosialisasi Hukum Waris menurut ajaran Islam kepada
masyarakat umum
Perhatian! Buku yang diterbitkan Yayasan Masjidillah Indonesia ini bukan untuk
diperjualbelikan.
Info tentang Penulis:
Ustadz Ahmad Sarwat, L.c., M.A. adalah seorang dai kelahiran Kairo, september
1969. Beliau menempuh pendidikan S1 di LIPIA Jakarta dan S2 di Institut Ilmu AlQuran Jakarta. Aktifitas beliau diantaranya adalah mengajar di Sekolah Tinggi
Administrasi Negara (STAN), Ketua Umum Yayasan Darul Ulum Al-Islamiyah
Jakarta, Direktur Rumah Fiqih Indonesia.
Alamat

: Jl. Karet Pedurenan no. 53 Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan 12940

HP

: 0856-9446-1792

Email

: ustsarwat@yahoo.com

Website

: http://www.ustsarwat.com/

Info tentang Penerbit:


Yayasan Masjidillah Indonesia, Karang Menjangan 110, Surabaya, 60286
Kontak

: Sdr. Nur Q, 0857-33-484-101

Email

: masjidillah@gmail.com

Website

: http://sites.google.com/site/masjidillah

Blog

: masjidillah.wordpress.com

Istilah
Agar tidak terjadi selip paham dalam membicarakan hal-hal yang terkait dengan
istilah warisan yang ditranslate ke dalam bahasa Indonesia, mari kita merujuk kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Misalnya kata mewarisi dan mewariskan, orang sering keliru membedakan
keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah memperoleh warisan. Misalnya
kalimat berikut : Amir mewarisi sebidang tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir
memperoleh tanah yang ditinggalkan oleh pak Ali.
Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta warisan atau
meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain. Misalnya kalimat berikut : Pak Ali
mewariskan sebidang tanah kepada anaknya. Maksudnya, pak Ali memberikan harta
warisan kepada anaknya.
Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang memberi harta
warisan. Contoh dalam kalimat, pak Ali adalah pewaris dari anak-anaknya. Maksudnya,
pak Ali memberi harta warisan kepada anak-anaknya.
Lawan kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak menerima warisan
(harta pusaka). Contoh dalam kalimat, Amir adalah ahli waris dari ayahnya.
Maksudnya, Amir menerima harta warisan dari ayahnya.
mewarisi v 1 memperoleh warisan dr: krn anak satu-satunya,
dialah yg akan ~ seluruh harta kekayaan orang tuanya; 2 ki
memperoleh sesuatu yg ditinggalkan oleh orang tuanya dsb: ia
tidak saja memperoleh harta kekayaan, tetapi ia juga ~ utangutang yg ditinggalkan almarhum;
mewariskan v 1 memberikan harta warisan kpd; meninggalkan
sesuatu kpd: gurunya ~ ilmu silat kepadanya; 2 menjadikan orang lain menjadi waris;
warisan n sesuatu yg diwariskan, spt harta, nama baik; harta.
ahli waris orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka).

ii

Daftar Isi

INFORMASI TENTANG BUKU

ISTILAH

II

DAFTAR ISI

III

PENGANTAR

IX

BAB 1 URGENSI DAN PENSYARIATAN

1.1

MENGAPA KITA BELAJAR HUKUM WARIS

1.1.1 ILMU WARIS AKAN DICABUT

1.1.2 PERINTAH KHUSUS DARI NABI SAW

1.1.3 SEJAJAR DENGAN BELAJAR AL-QURAN

1.1.4 MENGHINDARI PERPECAHAN KELUARGA

1.1.5 ANCAMAN AKHIRAT

1.2

PENSYARIATAN

1.2.1 DALIL QURAN

1.2.2 DALIL SUNNAH

1.2.3 DALIL IJMA'

BAB 2 PENGERTIAN WARIS

2.1

DEFINISI

2.1.1 BAHASA

2.1.2 PENGERTIAN SYARIAH

2.2

WARIS, HIBAH DAN WASIAT

10

2.2.1 WAKTU

10

2.2.2 PENERIMA

10

2.2.3 NILAI

11

2.2.4 HUKUM

11

2.3

11

ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU WARIS

2.3.1 TARIKAH

11

2.3.2 FARDH

12

2.3.3 ASHHABUL FURUDH

12

2.3.4 ASHABAH

12

2.3.5 SAHM

13

iii

2.3.6 NASAB

13

2.3.7 AL-FAR'U

13

2.3.8 AL-ASHL

13

BAB 3 ALOKASI HARTA

15

3.1

15

MENETAPKAN KEPEMILIKAN HARTA

3.1.1 USAHA BERSAMA SUAMI ISTRI

15

3.1.2 SUAMI MEMBERI HADIAH KEPADA ISTRI

16

3.1.3 PINJAM ATAU BELI

16

3.2

PENGURUSAN JENAZAH

17

3.3

HUTANG

17

3.3.1 AL-HANAFIYAH

18

3.3.2 JUMHUR ULAMA

18

3.3.3 ASY-SYAFI'IYAH

18

3.3.4 AL-MALIKIYAH

19

3.3.5 AL-HANABILAH

19

3.4

19

WASHIYAT

BAB 4 RUKUN, SYARAT DAN SEBAB WARISAN

21

4.1

RUKUN WARIS

21

4.1.1 AL-MUWARITS

21

4.1.2 AL-WARITS

21

4.1.3 HARTA WARISAN

21

4.2

22

SYARAT WARIS

4.2.1 MENINGGALNYA MUWARRITS

22

4.2.2 BAGI WARIS SEBELUM MENINGGAL

22

4.2.3 HIDUPNYA AHLI WARIS

23

4.2.4 AHLI WARIS DIKETAHUI

24

4.3

24

SEBAB-SEBAB ADANYA HAK WARIS

4.3.1 KERABAT HAKIKI

24

4.3.2 PERNIKAHAN

25

4.3.3 AL-WALA

25

BAB 5 GUGURNYA WARISAN

27

5.1

27

HAL-HAL YANG MENGGUGURKAN WARISAN

5.1.1 PEMBUNUHAN

27

5.1.2 PERBEDAAN AGAMA

28

5.1.3 BUDAK

29

iv

5.2

PERBEDAAN MAHRUM DAN MAHJUB

29

BAB 6 PENGHALANG WARISAN (AL-HUJUB)

31

6.1

DEFINISI

31

6.2

MACAM-MACAM AL-HUJUB

31

6.3

AHLI WARIS YANG TIDAK TERKENA HUJUB HIRMAN

32

6.4

AHLI WARIS YANG DAPAT TERKENA HUJUB HIRMAN

33

BAB 7 ASHABUL FURUDH & ASHABAH

35

7.1

ASHHABUL FURUDH

35

7.2

ASHABAH

35

7.2.1 DALIL HAK WARIS PARA 'ASHABAH

36

7.2.2 MACAM-MACAM 'ASHABAH

37

7.2.3 'ASHABAH BIN NAFS

38

7.2.4 HUKUM 'ASHABAH BIN NAFS

38

BAB 8 PARA AHLI WARIS

41

8.1

ANAK LAKI-LAKI ()

43

8.1.1 BAGIAN

43

8.1.2 MENGHIJAB

45

8.1.3 DIHIJAB OLEH

45

8.2

ANAK PEREMPUAN ()

46

8.2.1 BAGIAN

46

8.2.2 MENGHIJAB

47

8.2.3 DIHIJAB OLEH

47

ISTRI ()

48

8.3

8.3.1 BAGIAN

48

8.3.2 MENGHIJAB

49

8.3.3 DIHIJAB OLEH

49

8.4

SUAMI

49

8.4.1 BAGIAN

49

8.4.2 MENGHIJAB

50

8.4.3 DIHIJAB OLEH

50

8.5

50

AYAH

8.5.1 BAGIAN

50

8.5.2 MENGHIJAB

52

8.5.3 DIHIJAB OLEH

52

8.6

53

IBU

8.6.1 BAGIAN

53

8.6.2 MENGHIJAB

54

8.6.3 DIHIJAB OLEH

54

8.7

KAKEK ()

55

8.7.1 BAGIAN

55

8.7.2 MENGHIJAB

56

8.7.3 DIHIJAB OLEH

57

8.8

NENEK ()

57

8.8.1 BAGIAN

57

8.8.2 MENGHIJAB

57

8.8.3 DIHIJAB OLEH

57

8.9

SAUDARA SEAYAH-IBU ()

58

8.9.1 BAGIAN

58

8.9.2 MENGHIJAB

59

8.9.3 DIHIJAB OLEH

59

8.10 SAUDARI SEAYAH-IBU

59

8.10.1 BAGIAN

60

8.11 SAUDARA SEAYAH ()

61

8.11.1 BAGIAN

61

8.11.2 MENGHIJAB

61

8.11.3 DIHIJAB OLEH

62

8.12 SAUDARI SEAYAH ()

62

8.12.1 BAGIAN

62

8.13 KEPONAKAN : ANAK SAUDARA SEAYAH-IBU

63

8.14 KEPONAKAN : ANAK SAUDARA SEAYAH

63

8.15 PAMAN : SAUDARA AYAH SEAYAH-IBU

63

8.16 PAMAN : SAUDARA AYAH SEAYAH

63

8.17 SEPUPU : ANAK LAKI PAMAN SEAYAH-IBU

63

8.18 SEPUPU : ANAK LAKI PAMAN SEAYAH

64

8.19 CUCU LAKI-LAKI ()

64

8.19.1 BAGIAN

64

8.19.2 MENGHIJAB

65

8.19.3 DIHIJAB OLEH

65

8.20 CUCU PEREMPUAN

65

8.21 NENEK DARI IBU

66

8.22 SAUDARA/I SEIBU

66

BAB 9 CARA MEMBAGI WARISAN

67

9.1

67

LANGKAH PERTAMA

9.1.1 HUTANG

vi

67

9.1.2 WASIAT

67

9.1.3 BIAYA PENGURUSAN JENAZAH

67

9.2

68

LANGKAH KEDUA

9.2.1 MEMILAH

68

9.2.2 MENGHILANGKAN AHLI WARIS YANG TERHIJAB

68

9.3

70

LANGKAH KETIGA

CATATAN

77

vii

Pengantar
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Shalawat serta salam tercurah
kepada baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut dan
orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil.
Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,
dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan
dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus
diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia
sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas
saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits
Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam
hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum
secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan
merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di
samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu
maupun kelompok masyarakat.
Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang
sedemikian luas. Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan
jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah
kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di
muka bumi.
Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat menikmati warisan itu, salah
satunya karena kendala bahasa. Padahal tak satu pun ayat Al-Quran yang turun dari
langit kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil pun huruf keluar dari lidah nabi kita SAW,
kecuali dalam bahasa Arab. Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa
ix

Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk mendekatkan umat ini dengan warisan
agamanya. Tentu saja buku ini juga diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks
berbahasa Arab, agar masih tersisa mana yang merupakan nash asli dari agama ini.
Buku ini merupakan buku kedelapan dari rangkaian silsilah pembahasan fiqih.
Selain buku ini juga ada buku lain terkait dengan masalah fiqih seperti fiqih thaharah,
shalat, puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah, nikah, waris, hudud dan bab
lainnya. Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj yang kami gunakan
adalah manhaj muqaranah dan wasathiyah. Kami tidak memberikan satu pendapat
saja, tapi berupaya memberikan beberapa pendapat bila memang ada khilaf di antara
para ulama tentang hukum-hukum tertentu, dengan usaha untuk menampilkan juga
hujjah masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami serahkan kepada para pembaca.
Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat karena bukan sekedar
dimengerti isinya, tetapi yang lebih penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya
ikhlas karena Allah SWT.
Al-Faqir ilallah,
Ahmad Sarwat, L.c., M.A.

Bab 1 Urgensi dan Pensyariatan

Bab 1
Urgensi dan Pensyariatan

1.1 Mengapa Kita Belajar Hukum Waris


Untuk apa kita mempelajari hukum waris? Bukankah sudah ada kiyai dan para
ulama yang bisa menangani urusan waris? Bukankah biasanya membagi waris menjadi
tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama (KUA)?
Barangkali pertanyaan seperti itu muncul di benak kita ketika pertama kali melihat
buku ini.
Pertanyaan seperti itu mungkin ada benarnya. Sebab biasanya urusan pembagian
waris memang menjadi urusan para kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak
KUA. Jadi buat apa kita yang tidak punya urusan ini pakai sok belajar ilmu waris?
Pada bab pertama ini kita akan mempelajari kenapa kita yang awam ini perlu dan
harus belajar ilmu waris. Ada beberapa sebab dan alasan yang melatarbelakangi hal itu.
Antara lain:
1.1.1 Ilmu Waris Akan Dicabut
Sebagaimana kita sadari meski bangsa Indonesia ini mayoritas muslim, namun kita
tahu bahwa agama kita diperangi lewat berbagai macam bentuk penggerogotan dari
dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan berbagai produk hukum yang
bukan hukum Islam, seperti hukum barat dan hukum adat, lewat berbagai kurikulum
pendidikan yang kita dapat dari sistem pendidikan nasional, atau dari adat istiadat
turun temurun.
Maka lahirlah dari bangsa ini berlapis generasi muslim yang rajin shalat 5 waktu,
fasih membaca Al-Quran, aktif mengaji kesana-kemari, gemar menghidupkan
amaliyah sunnah, tetapi sama sekali tidak paham alias merasa asing dengan hukum
waris Islam.
Keterasingan mereka atas hukum waris Islam ini merupakan kehancuran umat
Islam yang sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu.
1

Bab 1 Urgensi dan Pensyariatan


Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan perintah untuk mempelajari ilmu
waris, sebab ilmu waris itu setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah
SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang pertama kali akan diangkat
dari muka bumi.




Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu
Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan
dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR.
Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

1.1.2 Perintah Khusus Dari Nabi SAW



Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah
Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan
ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang
berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa
menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)1

1.1.3 Sejajar Dengan Belajar Al-Quran


Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin
Al-Khattab radhiyallahuanhu juga secara khusus memerintahkan umat Islam
mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari ilmu
waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.

. :
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, "Pelajarilah ilmu
faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran". 2

Al-Mustadrak ala Ash-Shahihaini lil-Hakim, jilid 18 halaman 328

-Sumber rujukan belum dicantumkan-

Bab 1 Urgensi dan Pensyariatan


Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris ini sangat penting bagi
umat Islam. Karena disejajarkan dengan belajar Al-Quran.
1.1.4 Menghindari Perpecahan Keluarga
Seringkali di antara penyebab perpecahan keluarga adalah masalah harta waris. Dari
banyak kasus yang terjadi, umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota
keluarga atas aturan dan ketentuan dalam hukum waris Islam.
Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris oleh generasi Islam ternyata punya dampak yang
sangat besar. Salah satunya adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika
orang tua wafat, anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris itu saling berebut harta
disebabkan karena parameter yang mereka gunakan saling berbeda.
Sebagian anak ada yang ingin menerapkan hukum waris versi adat. Yang lainnya
mau versi barat. Sebagiannya mau pakai hukum Islam.
Seandainya orang tua mereka telah mengajari dan mendidik mereka sejak kecil
dengan ilmu waris Islam, niscaya perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab
selayaknya anak-anak muslim yang tumbuh dengan pendidikan Islam, mereka pun
dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris
sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Dari berbagai kasus perpecahan keluarga tentang masalah waris, umumnya yang
menjadi penyebab utama adalah awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum
waris Islam.
Jalan keluar untuk menghindari perpecahan keluarga yang barangkali bukan terjadi
hari ini adalah mempersiapkan anak-anak kita, terutama generasi muda, dengan bekal
ilmu hukum waris. Sehingga sejak awal merea sudah punya pedoman buat bekal ketika
dewasa nanti.
1.1.5 Ancaman Akhirat
Selain dua alasan di atas, memang Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk
membagi warisan sesuai dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara
sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, maka Dia akan
memasukkannya ke dalam api neraka.
Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi
selamanya di dalam neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang
menghinakan.
Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
3

Bab 1 Urgensi dan Pensyariatan



Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuanketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)

Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian
dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar.
Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka. Tidak seperti pelaku
dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan
Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan
akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan
yang menghinakan.
Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan buat mereka yang tidak
menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini
menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai
ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik.

1.2 Pensyariatan
Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam syariah Islam ditetapkan
berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.
1.2.1 Dalil Quran
Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang
pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat,
yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal ayat terakhir, yaitu
ayat 75.
a. Ayat waris untuk anak



Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka

Bab 1 Urgensi dan Pensyariatan


dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)

b. Ayat waris untuk orang tua







Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)

c. Ayat waris buat suami dan istri


.



Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istriistrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa' : 12)

d. Ayat waris Kalalah


Kalalah adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan.
5

Bab 1 Urgensi dan Pensyariatan




Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun (QS. An-Nisa' : 12)

e. Ayat waris Kalalah


Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
saudara perempuan.


Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)


Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)

1.2.2 Dalil Sunnah


Ada begitu banyak dalil sunnah nabi yang menunjukkan pensyariatan hukum waris
buat umat Islam. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini :

.
Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Bab 1 Urgensi dan Pensyariatan


Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir
tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-Nasai)3


Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu
Daud dan Ibnu Majah)



Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
menetapkan buat dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud
dan Ibnu Majah)




Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan
bagi anak tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak
laki seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat
saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)4

1.2.3 Dalil Ijma'


Para shahabat, tabiin dan para ulama yang mewarisi nabi telah berijma' tentang
pensyariatan hukum waris ini.

Nailul Authar jilid 6 halaman 55

Nailul Authar jilid 6 halaman 58

Bab 2 Pengertian Waris

Bab 2
Pengertian Waris

2.1 Definisi
2.1.1 Bahasa
Al-miirats ( )dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (
) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah
'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada
kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw. Di antaranya Allah
berfirman:


"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)


"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58)

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:

'Ulama adalah ahli waris para nabi'.

2.1.2 Pengertian syariah


Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah:
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik legal secara syar'i.
9

Bab 2 Pengertian Waris

2.2 Waris, Hibah dan Wasiat


Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam beberapa halnya,
yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya memiliki kemiripan sehingga kita seringkali
kesulitan saat membedakannya.
Tetapi akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.
WARIS

HIBAH

WASIAT

WAKTU

Setelah wafat

Sebelum wafat

Setelah wafat

PENERIMA

Ahli waris

Ahli waris &


bukan ahli waris

Bukan ahli waris

NILAI

Sesuai faraidh

Bebas

Maksimal 1/3

HUKUM

Wajib

Sunnah

Sunnah

2.2.1 Waktu
Dari segi waktu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak
ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits)
meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta
itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta
itu.
Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya
masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak
menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh
pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi
saat dia meninggal dunia.
2.2.2 Penerima
Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar
ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima
washiyat harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris
sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima
lewat jalur washiat.
10

Bab 2 Pengertian Waris


Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan
ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.
2.2.3 Nilai
Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu
sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh.
Ada ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6,
1/8 hingga 2/3. Ada juga para ahli waris dengan status menerima ashabah, yaitu
menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah diambil oleh para ashabul furudh.
Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah sekaligus.
Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari
nilai total harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari
almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk
membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan
hal yang diharamkan.
Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus
dibatalkan.
2.2.4 Hukum
Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal muwarrits, karena
merupakan salah satu kewajiban atas harta. Sedangkan memberikan washiyat
hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya sunnah.

2.3 Istilah-istilah dalam ilmu waris


Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas, dimana istilah itu seringkali
tidak sama dengan istilah yang umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang
akan seringkali muncul dalam mata kuliah ini.
2.3.1 Tarikah
Tarikah, ( )kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan.
Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu
berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang
11

Bab 2 Pengertian Waris


piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya
pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
2.3.2 Fardh
Fardh ( )adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris yang telah
ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma' ulama. Fardh itu
adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Harta yang dibagi
waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai bilangan fardh.
Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8
bagian dari harta suaminya, apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4
bagian bila suaminya tidak punya keturunan.
2.3.3 Ashhabul Furudh
Ashabul furudh ( ) sesuai dengan namanya, berarti adalah orangorangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli
waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul
furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung
keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah
dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya
punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak punya
anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta
yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri.
Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri
tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.
Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian
pecahan tertentu dari harta muwarristnya.
2.3.4 Ashabah
Istilah ashabaha ( )berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang
diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu
hanyalah sisa dari apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi
ashhabul-furudh.

12

Bab 2 Pengertian Waris


Besarnya bisa nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta
yang diambil oleh ahli waris ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka
bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya
menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya
yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8
dari harta suaminya. Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau
sisa dari apa yang sudah diambil ibunya, yaitu 1 1/8 = 7/8.
2.3.5 Sahm
Sahm ( )adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan kepada setiap
ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga jumlah kepala mereka.
Misalnya,
2.3.6 Nasab
Nasab ( )adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya
seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan ke atas ini disebut
abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti dengan
anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut
bunuwwah.
2.3.7 Al-Far'u
Istilah ( )bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah anak laki-laki
atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi hartanya. Termasuk juga anak
dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists
maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak
tersebut ke bawahnya.
2.3.8 Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl ( )adalah ayah kandung dan ibu kandung,
juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah kandung (kakek). Dan kakek
atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.

13

Bab 3 Alokasi Harta

Bab 3
Alokasi Harta

Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta, tidak
semua harta peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada sejumlah pos
pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Tentu saja bila pos-pos
pengeluaran itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum
waris.

3.1 Menetapkan Kepemilikan Harta


Meski pun bagian ini nyaris tidak kita temukan di kitab-kitab fiqih klasik, namun
pada kenyataannya, terutama di negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari semua
urusan pembagian warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah memilah dan
memilih mana yang merupakan harta almarhum dan mana yang harta milik orang lain,
tetapi tercampur di dalam harta almarhum.
Mengapa demikian?
Karena ketentuan dalam hukum waris Islam, harta yang dibagi waris itu harus harta
yang 100% dimiliki oleh almarhum yang meninggal dunia. Padahal kenyataan yang
sering terjadi harta yang ada itu masih menjadi milik bersama, baik antara suami istri
atau pun dengan pihak lain.
Ada beberapa contoh kasus yang sering terjadi dimana di dalam harta seseorang
masih tercampur hak milik orang lain, diantaranya:
3.1.1 Usaha Bersama Suami Istri
Sepasang suami istri sejak menikah telah membangun usaha bersama, katakanlah
membuka toko. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan
usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa dikatakan harta yang mereka miliki itu
menjadi harta berdua. Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul
persoalan, lantran kedua suami istri.
15

Bab 3 Alokasi Harta


Tapi akan muncul masalah saat istri meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin lagi.
Tentu di dalam harta berupa usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami
tentu tidak bisa menguasai begitu saja peninggalan itu.
Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan
bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri
mereka.
Dalam hal ini, harus dirunut ke belakang tentang status kepemilikan usaha keluarga
itu. Berapakah besar yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri,
seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.
Kalau istri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham istri
harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus
ditetapkan secara jelas juga.
Maka hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik istri saja yang dibagi waris,
sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.
3.1.2 Suami Memberi Hadiah Kepada Istri
Sebuah keluarga pecah gara-gara istri almarhum dan anak-anaknya diteror oleh
adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya, menurut adik-adik almarhum, mereka berhak
mendapat harta warisan berupa kolam pemancingan dari peninggalan harta kakak
mereka, lantaran sang kakak tidak punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum
tidak punya anak laki-laki, sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah
adik-adik almarhum.
Tapi menurut istri almarhum yang kini sudah menjanda, kolam pancing ikan yang
diributkan itu pada dasarnya bukan asset harta milik suaminya yang sudah almarhum.
Karena semasa hidupnya, almarhum telah menghadiahkan kolam pancing itu kepada
dirinya sebagai hadiah ulang tahun.
Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang atas nama istri. Maka harta itu tidak
bisa dibagi waris, karena statusnya bukan milik almarhum.
Maka seberapa benar pernyataan dari masing-masing pihak, harus ditelusuri
terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan saksi-saksi atau pun dengan surat-surat
bukti kepemilikan. Barulah setelah semua jelas, bagi waris bisa dilakukan.
3.1.3 Pinjam atau Beli
Ini kisah nyata. Seorang adik pinjam uang kepada kakaknya untuk naik haji. Dan
sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.
16

Bab 3 Alokasi Harta


Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, uang pinjaman ini tidak
dikembalikan. Otomatis sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.
Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud
membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status sawah, karena para ahli waris
meributkan statusnya. Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik
orang tua mereka, karena orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa
hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang.
Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi
hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan.
Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembalikan hutang orangtua mereka,
tetapi nilainya hanya Rp. 30.000 saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu
saja. Karuan saja keluarga sang kakak meradang, karena apa artinya uang segitu di
zaman sekarang ini. Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi haji ke
tanah suci. Mereka meminta setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH
sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut
penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum.

3.2 Pengurusan Jenazah


Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan
harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan
pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak
wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain
kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat
peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan
tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

3.3 Hutang
Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih
dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada
ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
17

Bab 3 Alokasi Harta


"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."

Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia.
Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar
zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di
kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan.
3.3.1 Al-Hanafiyah
Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah
diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi
ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris
dibagikan kepada para ahli warisnya.
Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah,
sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal,
menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan,
dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan
tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah
meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak
menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan
Allah SWT. Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat
kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib
bagi ahli waris untuk menunaikannya.
3.3.2 Jumhur Ulama
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang
pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada
sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak
memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang
menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
3.3.3 Asy-syafi'iyah
Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum
memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba.

18

Bab 3 Alokasi Harta


3.3.4 Al-Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib
ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang
piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini
lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba
daripada utang kepada Allah.
3.3.5 Al-Hanabilah
Ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan
utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh
harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.

3.4 Washiyat
Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga
dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan
bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan
seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian
harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil
untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan
semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab
pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat
menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda:
"... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para
ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada:

ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu,
ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta
waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
19

Bab 3 Alokasi Harta


Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang
piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu
diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya
penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga
dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga
kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan
utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam
susunan ayat tersebut.

20

Bab 4 Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan

Bab 4
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan

4.1 Rukun Waris


Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris.
Bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits, al-waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya:
4.1.1 Al-Muwarits
Al-Muwarrits ( ) sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang
memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang
meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara.
Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.
4.1.2 Al-Warits
Al-Warits ( )sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang
berhak untuk menerima harta peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab)
atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
4.1.3 Harta Warisan
Harta warits ( )adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik
berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu
saja tidak boleh diwariskan.
Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu
harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana
yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang
milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan.

21

Bab 4 Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan

4.2 Syarat Waris


Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan.
Bilamana salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi
pewarisan. Syarat pewarisan ada tiga:
4.2.1 Meninggalnya Muwarrits
Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal
secara hakiki dan meninggal secara hukum.
a. Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang
sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
b. Meninggal secara hukum
Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah
meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana
alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan
kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.
4.2.2 Bagi Waris Sebelum Meninggal
Ada fenomena lucu yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu membagi-bagi harta
waris sebelum muwarritsnya meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang
membagi-bagi.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan,
manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia.
Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri
kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu almuwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin
seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah
(pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya.
Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja
dengan nilai berapa saja.
22

Bab 4 Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan


Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan.
Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia
sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya
sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak
berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada
anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu
begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi
pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada
pihak lain. Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama
hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya
kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima washiat
berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada
washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah
masih hidup dan namanya hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya
warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai
dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai
pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan untuk para ahli
warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal
dunia.
4.2.3 Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal
dunia. Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah
masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.
Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan
mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu
tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah
mereka meninggal lebih dulu dari kakek.
Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan.

23

Bab 4 Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan


Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek berwashiyat semenjak masih
hidup agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan warisan
melainkan dengan cara washiat.
Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk
mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.
Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan
sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada
saat membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi
meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat
saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama
meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para
fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
4.2.4 Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing,
misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan
pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,
dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah
yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang
pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara
seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada
yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah,
ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak
terhalang.

4.3 Sebab-sebab Adanya Hak Waris


Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
4.3.1 Kerabat hakiki
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan
seterusnya.
24

Bab 4 Rukun, Syarat, dan Sebab Warisan


Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak
atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.
Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang
semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan
seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan
sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya.
4.3.2 Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan
perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar
keduanya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami
atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya
pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu
tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila
mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan
wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang
batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya
pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling
mewarisi antara suami dan istri.
4.3.3 Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala anni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang
dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat
kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati
diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya
hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris
yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem
perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi
terjadi.
25

Bab 5 Gugurnya Warisan

Bab 5
Gugurnya Warisan

Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak mendapat warisan, ada juga
hal-hal yang membuat seseorang yang seharusnya mendapat warisan, namun karena
satu dan lain hal, haknya menjadi gugur. Sehingga orang tersebut tidak jadi menerima
warisan.

5.1 Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan


Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada tiga:
5.1.1 Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh
ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak
tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "

Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di
kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah:

Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka


dia tidak mendapatkan bagiannya.

Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan.

Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak


waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang
direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
27

Bab 5 Gugurnya Warisan

Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya
tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu
dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian
para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai
penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan
pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak
tergolong sebagai penggugur hak waris.

5.1.2 Perbedaan Agama


Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa
pun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari
ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam.
Dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak
beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim.
Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir
mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu


Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal
r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak
boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Al-islam ya'lu
walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak
mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang
murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam
kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat
orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah
seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang
muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut
28

Bab 5 Gugurnya Warisan


mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara
otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah
saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta
kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan:
"Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang
muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib,
Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
Nampaknya pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding
yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan
kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola
secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
5.1.3 Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi
sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung
menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar
(budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak
yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan
yang disepakati kedua belah pihak).
Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak
untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.

5.2 Perbedaan Mahrum dan Mahjub


Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub,
yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid.
Karena itu, ada baiknya juga dijelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat
menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan
fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris
seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau
lebih kuat kedudukannya.
Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah
dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak
29

Bab 5 Gugurnya Warisan


mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat
kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah.
Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan
adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini
disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari
keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung,
dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya
sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris
dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada,
menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang
mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri
seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan
sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada,
yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung.
Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter-mahjub oleh
adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.

30

Bab 6 Penghalang Warisan

Bab 6
Penghalang Warisan (Al-Hujub)

6.1 Definisi
Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT
berfirman:


Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari
(melihat) Tuhan mereka" (QS. Al-Muthaffifin : 15)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang,
tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau
penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu
tanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim
maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang
terhalang mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan
hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja
disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

6.2 Macam-macam al-Hujub


Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asysyakhshi (karena orang lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari
mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh
pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.
31

Bab 6 Penghalang Warisan


Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang
dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asysyakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuQShan. Hujub hirman yaitu
penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang.
Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya
hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena
adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu,
dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris
seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan
terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam
disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak).
Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya
mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi
seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub
disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini
merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuQShan.

6.3 Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman


Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri
dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut
adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Anak kandung laki-laki


Anak kandung perempuan
Ayah
Ibu
Suami
Istri

Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka
mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka dengan
almarhum yang wafat.
32

Bab 6 Penghalang Warisan

6.4 Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman


Ada 16 orang yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari
laki-laki dan lima dari wanita. Mereka ini mungkin mendapat warisan tapi mungkin
juga terhalang sehingga tidak mendapatkan warisan.

33

Bab 7 Ashabul Furudh & Ashabah

Bab 7
Ashabul Furudh & Ashabah

7.1 Ashhabul Furudh


Ashabul furudh adalah para ahli waris yang nilai haknya telah ditetapkan secara
langsung dan mendapatkan harta waris terlebih dahulu, sebelum para ashabah.
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu :
setengah (1/2)
seperempat (1/4)
seperdelapan (1/8)
dua per tiga (2/3)
sepertiga (1/3)
seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk
ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.

7.2 Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.
Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan
melindungi.
Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi
kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali
digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:


"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan
(yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'"
(QS. Yusuf: 14)

35

Bab 7 Ashabul Furudh & Ashabah


Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan
mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah: ahli waris yang
tidak disebutkan banyaknya bagiannya dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara
kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah).
Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang
menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga
menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan
mengambil bagian masing-masing.
7.2.1 Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati
di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :



Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masingmasing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi
bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik
kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak,
maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan
berapa bagian ayah.
Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya
(2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai
'ashabah.

36

Bab 7 Ashabul Furudh & Ashabah


Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah:


Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An-Nisa': 176).

Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan
justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta
peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh
harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:

.
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris
kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki
yang paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan
Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas
menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan
kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada
jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan
kata "dzakar".
7.2.2 Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah
sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan
budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas
budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
37

Bab 7 Ashabul Furudh & Ashabah


Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur
unsur wanita),
'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang
lain)
'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersamasama dengan yang lain).

Catatan
Dalam dunia faraid, apabila
lafazh 'ashabah disebutkan
tanpa diikuti kata lainnya
(tanpa dibarengi bil ghair
atau ma'al ghair), maka yang
dimaksud adalah 'ashabah
bin nafs.

7.2.3 'Ashabah bin nafs


'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri
kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
1.
2.
3.

4.

Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu,
cicit, dan seterusnya.
Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari
pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas
pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,
namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak
termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun
yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah
anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat
daripada arah saudara.
7.2.4 Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat
kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian)
menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh
warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul
furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul
furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya,
38

Bab 7 Ashabul Furudh & Ashabah


maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan
meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian
setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh
telah menghabiskannya.

39

Bab 8 Para Ahli Waris

Bab 8
Para Ahli Waris

Salah satu kendala terbesar dalam mengerti dan menghafal siapa saja ahli waris
adalah tidak adanya diagram atau struktur keluarga (family chart).
Apalagi ditambah dengan penyebutan yang relatif antara satu ahli waris dengan
yang lainnya. Seorang ahli waris bisa saja dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya.
Tapi dalam waktu yang sama, dia adalah 'anak' dari seseorang. Bahkan dia juga seorang
'kakek', atau 'paman', 'saudara', 'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan begitulah
seterusnya.
Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam memahami duduk masalah. Maka
dengan bantuan diagram struktur keluarga ini, kita akan dimudahkan.
Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia sering tidak
baku. Katakanlah sebagai contoh, akh li ab wa li um () , sering kita terjemahkan
menjadi saudara kandung. Sebagian orang memahami istilah saudara kandung adalah
saudara yang sama-sama satu kandungan ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda.
Dan itu adalah saudara seibu () .
Untuk itu diagram ini selain berbahasa Indonesia, juga dilengkapi juga dengan
istilah dalam bahasa Arab aslinya.
Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor ahli waris, yang sepenuhnya merupakan
ijtihad penulis sendiri. Sekedar untuk memastikan identitas seorang ahli waris, agar
tidak tertukar-tukar penyebutannya dengan ahli waris yang lain. Kira-kira seperti id
number kalau dalam sistem database.
Selain itu, diagram ini juga dilengkapi dengan daftar orang-orang yang terhijab oleh
seorang ahli waris. Sehingga dengan mudah kita bisa memastikan siapa saja dari
mereka yang terhijab, cukup dengan sekali melihat bagan.
Terakhir, diagram ini juga dilengkapi dengan bagian-bagian yang mungkin akan
bisa diterima oleh seorang ahli waris.

41

Bab 8 Para Ahli Waris

42

Bab 8 Para Ahli Waris

8.1 Anak Laki-laki ()


Kita urutkan pada nomor satu dalam daftar struktur
keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat kedudukan anak
laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris yang
lain. Untuk seterusnya agar memudahkan, kita tinggal
menggunakan nomor urut satu sebagai id buat anak lakilaki.
8.1.1 Bagian
Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali bagian anak perempuan.

Seorang anak laki-laki mendapat warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang
sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak
pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Terkadang sisanya besar, terkadang sisanya kecil. Bahkan bisa saja sisanya sama
dengan seluruh harta, misalnya karena almarhum tidak punya ahli waris lain selain
anak laki-laki. Tetapi seorang anak laki-laki tidak mungkin tidak kebagian harta waris.
Akan lebih tergambar kalau kita masukkan ke dalam contoh-contoh yang nyata.
Contoh Pertama
Seseorang meninggal dunia dengan nilai total warisan sebesar 10 milyar, tanpa
memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya hanyalah seorang anak laki-laki
tunggal satu-satunya.
Penyelesaiannya adalah anak laki-laki satu-satunya itu mewarisi seluruh harta
ayahnya, sebesar 10 milyar. Karena anak laki-laki memang mendapat semua sisa harta,
yang dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris dari ashabul furudh yang masih hidup.
Ahli Waris

Bagian

Nilai

Anak laki-laki

1/1

10 milyar

Contoh Kedua
Seorang meninggal dunia dengan harta sebesar 7 milyar, tanpa memiliki istri atau
anak perempuan. Ahli warisnya 7 orang anak laki-laki semua.
Penyelesaian sederhana saja, harta itu dibagi rata kepada lima orang. Jadi masingmasing mendapat 1 milyar.
43

Bab 8 Para Ahli Waris


Ahli Waris

Bagian

Nilai

Anak laki-laki 1

1/7

1 milyar

Anak laki-laki 2

1/7

1 milyar

Anak laki-laki 3

1/7

1 milyar

Anak laki-laki 4

1/7

1 milyar

Anak laki-laki 5

1/7

1 milyar

Anak laki-laki 6

1/7

1 milyar

Anak laki-laki 7

1/7

1 milyar

Contoh Ketiga
Seorang laki-laki wafat dengan harta 8 milyar, meninggalkan ahli waris seorang istri
dan seorang anak laki-laki.
Istri adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan, yaitu 1/8 atau 1 milyar.
Sisanya adalah 7/8 bagian atau 7 milyar, menjadi hak oleh anak laki-laki adalah 7/8.
Hak anak laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh istri
almarhum.
Kalau kita jabarkan dalam bentuk tabel, hasilnya sebagai berikut:
Ahli Waris

Bagian

Nilai

Istri

1/8

1 milyar

Anak laki-laki (ashabah)

7/8

7 milyar

Contoh Keempat
Harta almarhum sebesar 8 milyar, pada saat wafat beliau memiliki seorang istri dan
7 orang anak laki-laki. Bagaimana penyelesaiannya?
Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang anak laki-laki adalah ashabah, mereka berhak
atas sisanya. Dan sisanya yang 7/8 bagian itu dibagi rata kepada 7 orang anak laki-laki.
7/8 dibagi 7 adalah 1/8.

44

Bab 8 Para Ahli Waris


Kita perhatikan bahwa masing-masing ahli waris sama-sama mendapat 1/8 dari 8
milyar, jadi masing-masing mendapat 1 milyar.
Ahli Waris

Bagian

Nilai

1/8

1 milyar

Anak laki-laki 1

1/8

1 milyar

Anak laki-laki 2

1/8

1 milyar

Anak laki-laki 3

1/8

1 milyar

1/8

1 milyar

Anak laki-laki 5

1/8

1 milyar

Anak laki-laki 6

1/8

1 milyar

Anak laki-laki 7

1/8

1 milyar

Istri

Anak laki-laki 4

1/8

7/8

8.1.2 Menghijab
Ahli Waris

id

saudara seayah-ibu

saudari seayah-ibu

10

saudara seayah

11

saudari seayah

12

keponakan : anak saudara seayah-ibu

13

keponakan : anak saudara seayah

14

paman : saudara ayah seayah-ibu

15

paman : saudara ayah seayah

16

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

17

sepupu : anak laki paman seayah

18

cucu : anak laki dari anak laki

19

cucu : anak wanita dari anak laki

20

saudara & saudari seibu

22

8.1.3 Dihijab oleh


Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak laki-laki tidak dihijab oleh
siapa pun. Karena posisinya yang langsung berhubungan dengan muwarrits. * * *
45

Bab 8 Para Ahli Waris

8.2 Anak Perempuan ()


Anak perempuan yang dimaksud adalah anak perempuan dari muwarrits yang telah
meninggal dunia. Kita letakkan pada nomor urut dua, karena posisinya yang sangat
dekat dengan muwarrits, serta bersisian dengan anak lak-laki yang berada pada nomor
urut satu.
8.2.1 Bagian
1/2 = menjadi satu-satunya anak almarhum
2/3 = dua orang atau lebih dan almarhum tak ada anak laki
ashabah = almarhum punya anak lak-laki dengan ketentuan bagiannya 1/2 dari
bagian anak laki-laki

Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam menerima waris dari orang
tuanya.
Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta warisan. Syaratnya, dia
menjadi anak tunggal dari muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun
baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.


Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh
harta warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11)

Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia tidak sendirian. Dia
punya saudara perempuan sehingga minimal mereka berdua. Dan mereka semua akan
mendapat jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama semuanya perempuan
dan tidak ada saudara laki-laki satu pun.


Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per
tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS. An-Nisa': 11)

Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama anak laki-laki akan mendapat
ashabah atau sisa. Harta sisa itu dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya
dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima saudara laki-lakinya.
46

Bab 8 Para Ahli Waris


Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan. (QS. An-Nisa : 11)

8.2.2 Menghijab
Ahli Waris

Id

cucu : anak wanita dari anak laki

20

saudara & saudari seibu

22

Ada 2 orang yang dihijab oleh anak perempuan. Pertama, saudara atau saudari
seibu tidak seayah. Kedua, cucu perempu-an almarhum, dengan syarat jumlah anak
perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan cucu
perempuan sebagai ashabah bersamanya.
8.2.3 Dihijab Oleh
Seorang anak perempuan tidak pernah dihijab oleh siapa pun, karena tidak ada
penghalang antara dirinya dengan muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri.
47

Bab 8 Para Ahli Waris


***

8.3 Istri ()
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia menjadi ahli waris,
berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik suaminya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu
saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak dibagi
waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian suami.
8.3.1 Bagian
Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima bagian, yaitu 1/4 atau 1/8
sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara' waris5, maka hak istri
adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya.



"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan bila kamu tidak
mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)

Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang
mendapatkan warisan, maka bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan
suami.


"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu ..." (QS. An-Nisa': 12)

Diantara fara' waris antara lain : anak laki-laki, anak perempuan, juga anak laki-laki atau anak
perempuan dari anak laki-laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan dari anak
perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan termasuk fara' waris, karena
cucu dari anak perempuan tidak termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.

48

Bab 8 Para Ahli Waris


8.3.2 Menghijab
Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun dari ahli waris suami.
Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang
menjadi kehilangan haknya.
8.3.3 Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun
yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, istri tidak dihijab oleh
siapa pun.
***

8.4 Suami
Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka dia menjadi ahli waris,
berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik istrinya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu
saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak dibagi
waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian istri.
8.4.1 Bagian
Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu 1/2 atau 1/4 sebagaimana
disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara' waris, maka hak suami 1/2
bagian dari harta peninggalan almarhumah istrinya.


"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan
istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12)

Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan
warisan, maka bagian suami adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri.



"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya (QS. An-Nisa': 12)

49

Bab 8 Para Ahli Waris


8.4.2 Menghijab
Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun dari ahli waris istri.
Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang
menjadi kehilangan haknya.
8.4.3 Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka tidak ada seorang pun
yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan demikian, suami tidak dihijab
oleh siapa pun. * * *

8.5 Ayah
Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik anak itu laki-laki atau
perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya
adalah ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau ayah sudah meninggal
dunia terlebih dahulu, tidak menjadi ahli waris.
8.5.1 Bagian
Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki
1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,
almarhum anaknya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu lakilaki dari anak laki-laki.



Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

50

Bab 8 Para Ahli Waris


Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu
terjadi manakala almarhum yaitu anaknya yang meninggal itu punya fara' waris
perempuan6 dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal ini ayah menjadi ahli waris
laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum
dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda :
.

"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang ayah.


Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6
sebagaimana disebut dalam dalil berikut :



Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu tentu masih bersisa.
Siapakah yang berhak atas harta ini?
Jawabnya adalah ayah.
Mengapa?
Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang merupakan ashabah juga. Meski
pun pada dasarnya ada lagi ahli waris lain yang juga berhak menjadi ashabah, namun
ayah telah menghijab mereka dan mengambil hak asabah itu untuk dirinya, dengan
dasar dalil di atas.
Ketiga, ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah, setelah ashabul furudh
mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki atau
pun perempuan.


Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian
ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
6

Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara'
waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

51

Bab 8 Para Ahli Waris


Di ayat ini tidak tertera kalimat yang secara langsung menyebutkan bahwa ayah
mendapat sisanya. Hanya disebutkan bahwa ayah dan ibu itu menerima warisan dari
anak mereka bersama-sama. Dan yang menjadi bagian buat ibu adalah 1/3. Logikanya,
kalau bagian itu ibu sudah disebutkan maka bagian ayah pasti diketahui, yaitu sisanya.
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang ayah.
Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah 1/4 bagian,
karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak ayah
sebagai ashabah bi nafsihi.
8.5.2 Menghijab
Ayah termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris yang lain, selain
anak laki-laki. Ada 12 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan,
karena keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah:

Id

kakek : ayahnya ayah

Nenek : ibunya ayah

saudara seayah-ibu

saudari seayah-ibu

10

saudara seayah

11

saudari seayah

12

keponakan : anak saudara seayah-ibu

13

keponakan : anak saudara seayah

14

paman : saudara ayah seayah-ibu

15

paman : saudara ayah seayah

16

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

17

sepupu : anak laki paman seayah

18

Ahli Waris

8.5.3 Dihijab oleh


Seorang ayah tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang lain. Karena
hubungan ayah dengan anaknya yang menjadi muwarrits adalah hubungan langsung.
***
52

Bab 8 Para Ahli Waris

8.6 Ibu
Ibu adalah orang yang juga dekat dengan anaknya yang meninggal dunia. Bila saat
meninggalnya, ibu masih ada, sudah dipastikan ibu mendapat warisan.
8.6.1 Bagian
Seorang ibu punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
1/6 = almarhum punya fara' waris
1/3 = almarhum tidak punya fara' waris
1/3 dari sisa = bila almarhum punya fara' waris (hanya dalam kasus umariyatain)
Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta almarhum anaknya yang wafat, bila anaknya
itu punya fara' waris.



Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari harta peninggalan almarhum anaknya, bila
anaknya tidak punya fara' waris.


Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian
ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)

Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang sudah diambil oleh para ashabul
furudh, namun haknya yang 1/3 tidak berlaku.
Pembagian ini hanya terjadi bila seseorang wafat dengan meninggalkan hanya 3
orang ahli waris, yaitu suami/istri, ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di zaman khalifah
Umar bin al-Khattab dan dikenal dengan istilah kasus Umariyatain.7

Istilah kasus Umariyatain adalah dua kasus yang ditetapkan oleh Umar bin al-Khattab
radhiyallahuanhu. Kasus pertama melibatkan 3 orang ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus
kedua melibatkan 3 orang juga yaitu istri, ayah dan ibu.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah pada kata : .

53

Bab 8 Para Ahli Waris


8.6.2 Menghijab
Seorang ibu menghijab 2 orang ahli waris lainnya, yaitu nenek dari pihak ibu dan
nenek dari pihak ayah. Atau dengan kata lain, dia menghijab ibunya sendiri (21) dan
ibu dari suaminya (8).
8.6.3 Dihijab oleh
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh anaknya, maka posisinya tidak akan
terhijab oleh siapa pun. Karena mereka punya hubungan langsung tanpa diselingi oleh
orang lain.
***

Menurut Khalifah Umar dan kebanyakan para shahabat nabi serta didukung oleh jumhur ulama,
kata itu punya makna bahwa ayah dan ibu menerima warisan dari sisa warisan yang diambil oleh
suami atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak menerima waris secara fardh (1/3) dari asal harta.
Sebaliknya, menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, ibu mendapat 1/3 dari asal harta sebagaimana
disebutkan dalam ayat ini. Sisanya, menjadi hak ayah. Dalam pandangan Khalifah Umar, kalau
demikian, tidak ada arti kata tersebut.
Maka dalam kasus ini, suami yang ditinggal mati istrinya tanpa fara' waris mendapat 1/2 harta.
Sisanya, yaitu 1/2 menjadi hak ayah dan ibu berdua secara ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat
1/3 dari jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.
Kasus Pertama
Ahli Waris
Istri
Ibu
Ayah

Bagian
1/4

1/4
1/4

3/4

2/4

Kasus Kedua
Ahli Waris
Suami
Ibu
Ayah

54

Bagian
1/2
1/2

3/6
1/6
2/6

Bab 8 Para Ahli Waris

8.7 Kakek ()
Yang dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya ayah. Seorang kakek yang
ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang
yang berhak mendapatkan warisan.
Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu meninggal
dunia. Kalau ayah anak itu masih hidup, maka kakek (ayahnya ayah) terhijab, sehingga
kita tidak bicara tentang warisan buat kakek.
Semua hitungan untuk warisan buat kakek, selalu dalam kondisi bahwa ayah
almarhum sudah meninggal terlebih dahulu.
8.7.1 Bagian
Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki
1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,
almarhum cucunyanya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu
laki-laki dari anak laki-laki.



Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu
terjadi manakala almarhum yaitu cucunya yang meninggal itu punya fara' waris
perempuan8 dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam hal ini kakek sebagai gantinya
ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya
kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda:

Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara'
waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.

55

Bab 8 Para Ahli Waris

.
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang kakek,


yaitu ayahnya ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayahnya ayah
mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut:



Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)

Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah,
setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara'
waris, baik laki-laki atau pun perempuan.


Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian
ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)

Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang kakek
(ayahnya ayah). Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya
adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian
menjadi hak kakek sebagai ganti dari ayah yang sudah meninggal terlebih dahulu.
8.7.2 Menghijab
Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris
yang lain, selain anak laki-laki. Ada 10 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan
harta warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.

56

Bab 8 Para Ahli Waris


Mereka yang terhijab oleh ayah adalah:

Id

saudara seayah-ibu

saudari seayah-ibu

10

saudara seayah

11

saudari seayah

12

keponakan : anak saudara seayah-ibu

13

keponakan : anak saudara seayah

14

paman : saudara ayah seayah-ibu

15

paman : saudara ayah seayah

16

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

17

sepupu : anak laki paman seayah

18

saudara/i yang hanya seibu (rajih)

22

Ahli Waris

8.7.3 Dihijab oleh


Seorang kakek tidak terhijab oleh siapa pun dari para ahli waris yang lain, kecuali
oleh ayah, yang dalam hal ini tidak lain adalah anaknya sendiri.
***

8.8 Nenek ()
Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum.
8.8.1 Bagian
Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian
warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah.
8.8.2 Menghijab
Nenek tidak menghijab siapa pun
8.8.3 Dihijab oleh
Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah.

57

Bab 8 Para Ahli Waris

Id

ayah

ibu

Ahli Waris

***

8.9 Saudara seayah-ibu ()


Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang
penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah bahwa mereka punya ayah
dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan istilah saudara sekandung, karena
konotasinya bisa keliru. Lebih pastinya kita gunakan istilah saudara seayah dan seibu.
8.9.1 Bagian
Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu
sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara
fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang
menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau
kakek. Saat itulah saudara seayah seibu baru mendapat jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki
seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara
mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan yang sama-sama seayah
dan seibu, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita.
Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi
dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4 dan saudarinya mendapat 1/4.

58

Bab 8 Para Ahli Waris


8.9.2 Menghijab
Ahli Waris

Id

saudara seayah

11

saudari seayah

12

keponakan : anak saudara seayah-ibu

13

keponakan : anak saudara seayah

14

paman : saudara ayah seayah-ibu

15

paman : saudara ayah seayah

16

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

17

sepupu : anak laki paman seayah

18

Ahli Waris

Id

Anak laki-laki

Ayah

Ayahnya ayah (kakek)

Cucu laki-laki

19

8.9.3 Dihijab Oleh

***

8.10 Saudari seayah-ibu


Saudari seayah dan seibu juga termasuk yang mendapat warisan, asalkan posisinya
tidak terhijab.

59

Bab 8 Para Ahli Waris

8.10.1 Bagian
1/2 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
tidak punya saudari seayah seibu (10)
2/3 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
punya saudari seayah seibu (10)
Ashabah = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
punya saudara laki-laki seayah seibu (9)

Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga
kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka saudarinya itu mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu.
Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua harta warisan almarhum
saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek.
Yang dia punya seorang saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat
warisan secara ashabah, dengan perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu
mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3 bagian.
60

Bab 8 Para Ahli Waris


***

8.11 Saudara seayah ()


Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang
penting, hubungan saudara ini dengan almarhum bahwa mereka punya ayah yang
sama tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam bahasa lebih sederhana, hubungan antara
almarhum dengan dirinya adalah saudara tiri.
8.11.1 Bagian
Saudara seayah mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa
harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris secara fardh.
Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya.
Artinya, almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek, termasuk
almarhum tidak punya saudara/i yang seayah dan seibu. Saat itulah saudara seayah
baru kebagian jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki
seayah. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara seayah
mendapat sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki seayah itu juga punya saudara perempuan yang juga
seayah, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar dari saudari
perempuannya itu.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita
seayah. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu
dibagi dua dengan saudarinya, saudara laki-laki mendapatkan 2/4 dan saudari
perempuannya mendapat 1/4.
8.11.2 Menghijab

Id

keponakan : anak saudara seayah-ibu

13

keponakan : anak saudara seayah

14

paman : saudara ayah seayah-ibu

15

paman : saudara ayah seayah

16

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

17

sepupu : anak laki paman seayah

18

Ahli Waris

61

Bab 8 Para Ahli Waris


8.11.3 Dihijab Oleh
Ahli Waris

Id

Anak laki-laki

Ayah

Ayahnya ayah (kakek)

Saudara laki-laki seayah seibu

Saudara perempuan seayah seibu *

10

Cucu laki-laki

19

***

8.12 Saudari seayah ()


Yang dimaksud dengan saudari perempuan seayah bahwa dirinya punya ayah yang
sama dengan almarhum, tapi ibu mereka berbeda. Dengan mudah juga bisa kita sebut
saudari perempuan tiri. Saudari tiri juga termasuk yang mendapat warisan, asalkan
posisinya tidak terhijab.
8.12.1 Bagian
1/2 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
tidak punya saudari seayah seibu (10)
2/3 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
punya saudari seayah seibu (10)
Ashabah = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
62

Bab 8 Para Ahli Waris


Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga
kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek,
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka dia mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum saudaranya.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek,
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu.
Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua harta warisan almarhum
saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh : seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek.
Yang dia punya seorang saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat
warisan secara ashabah, dengan perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu
mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3 bagian.

8.13 Keponakan : anak saudara seayah-ibu


[Dalam proses pengerjaan]

8.14 Keponakan : anak saudara seayah


[Dalam proses pengerjaan]

8.15 Paman : saudara ayah seayah-ibu


[Dalam proses pengerjaan]

8.16 Paman : saudara ayah seayah


[Dalam proses pengerjaan]

8.17 Sepupu : anak laki paman seayah-ibu


[Dalam proses pengerjaan]
63

Bab 8 Para Ahli Waris

8.18 Sepupu : anak laki paman seayah


[Dalam proses pengerjaan]

8.19 Cucu Laki-laki ()


Cucu yang dimaksud adalah anak laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari
anak perempuan tidak termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti manakala
almarhum tidak punya anak laki-laki saat meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum
punya anak laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya sebagai paman,
maka cucu tidak mendapatkan hak waris, karena terhijab olehnya.
8.19.1 Bagian
Bagian yang menjadi hak seorang cucu mirip yang diterima seorang anak laki-laki.
Karena kedudukannya memang sebagai pengganti anak laki-laki.
Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masingmasing, dengan ketentuan cucu laki-laki mendapat 2 kali bagian cucu perempuan.
Seorang cucu laki-laki mendapat warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang
sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak
pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Contoh yang sederhana adalah seorang laki-laki wafat meninggalkan ahli waris :
cucu laki-laki dan anak perempuan. Maka hak cucu laki-laki adalah sisa harta yang
telah diambil terlebih dahulu oleh anak perempuan. Anak perempuan tunggal adalah
ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan.
Dalam hal ini anak perempuan mendapat 1/2. Berarti sisanya adalah 1/2 bagian.
Maka bagian yang didapat oleh cucu laki-laki adalah 7/8.
Apabila almarhum juga meninggalkan cucu perempuan, maka dia juga mendapat
sisa sebagaimana halnya cucu laki-laki, yaitu jumlah sisa itu dibagi rata di antara para
cucu, dengan ketentuan bahwa cucu perempuan hanya mendapat setengah dari apa
yang didapat cucu laki-laki. Atau dengan kata lain, yang diterima cucu laki-laki 2 kali
lipat lebih besar dari anak perempuan.

64

Bab 8 Para Ahli Waris


Maka pembagiannya sebagai berikut:
Ahli Waris

Bagian

Anak Perempuan
Cucu Laki-laki
Cucu Perempuan

1/2
Sisa = 1/2

3/6
2/6
1/6

8.19.2 Menghijab
Ahli Waris

id

saudara seayah-ibu

saudari seayah-ibu

10

saudara seayah

11

saudari seayah

12

keponakan : anak saudara seayah-ibu

13

keponakan : anak saudara seayah

14

paman : saudara ayah seayah-ibu

15

paman : saudara ayah seayah

16

sepupu : anak laki paman seayah-ibu

17

sepupu : anak laki paman seayah

18

saudara & saudari seibu

22

8.19.3 Dihijab oleh


Satu-satunya pihak yang dapat menghijab cucu laki-laki adalah anak laki-laki (1).
Dalam kenyataannya, bisa saja cucu laki-laki merupakan anak dari anak laki-laki, tapi
bisa juga bukan anak tetapi keponakan. Tapi intinya, selama almarhum masih punya
anak laki-laki, cucu laki-laki akan terhijab.
***

8.20 Cucu Perempuan


[Dalam proses pengerjaan]

65

Bab 8 Para Ahli Waris

8.21 Nenek Dari Ibu


[Dalam proses pengerjaan]

8.22 Saudara/i Seibu


[Dalam proses pengerjaan]

66

Bab 9 Cara Membagi Warisan

Bab 9
Cara Membagi Warisan

9.1 Langkah Pertama


Langkah paling awal adalah mengeluarkan terlebih dahulu segala hal yang tekait
dari harta almarhum yang meninggal. Diantaranya:
9.1.1 Hutang
Semua hutang almarhum/almarhumah harus dikeluarkan terlebih dahulu dari harta
yang dimilikinya. Kecuali bila orang yang memberi hutang itu menyatakan kerelaannya
atas hutang-hutang itu.
9.1.2 Wasiat
Bila almarhum/almarhumah pernah berwasiat atas harta yang dimilikinya, maka
sebelum warisan dibagikan, wasiat itu harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan
syarat jumlahnya tidak boleh melebihi dari 1/3 dari total hartanya. Bila telah melebihi,
maka hukumnya tidak boleh karena yang 2/3 itu adalah milik ahli waris.
9.1.3 Biaya Pengurusan Jenazah
Semua biaya untuk pengurusan jenazah, bahkan mulai dari biaya rumah sakit bila
ada, hingga biaya memandikan, mengkafani, menguburkan dan lainnya, bisa
diambilkan dari harta almarhum/almarhumah.
Dari langkah ini akan segera bisa didapat nilai nominal harta
almarhum/almarhumah. Tentu harta itu bukan hanya uang, tetapi bisa berbentuk
rumah, tanah, kendaraan atau apapun.
Namun untuk memudahkan penghitungan, biasanya dilakukan penaksiran atas
semua asset beliau dalam besaran nominal. Meski benda-benda itu tidak harus
langsung dijual kepada pihak lain.

67

Bab 9 Cara Membagi Warisan

9.2 Langkah Kedua


Langkah kedua adalah mengumpulkan semua daftar ahli waris dan memilahnya.
Pengumpulan daftar ahli waris ini untuk memisahkan siapa saja yang berhak atas
warisan dan siapa saja yang tidak mendapat hak. Paling tidak ada dua pemilahan.
9.2.1 Memilah
Pada langkah ini tugas kita berikutnya adalah memilah antara ahli waris yang
sesungguhnya dengan yang bukan ahli waris. Boleh jadi dalam persangkaan orang, ada
individu yang dianggap sebagai keluarga dan seolah dia mendapat warisan, tetapi
ternyata secara daftar awal pun sudah bukan termasuk ahli waris.
Misalnya, anak tiri, ayah diri, mantan istri, mantan suami, anak angkat, ayah atau
ibu angkat dan lainnya, mereka semua sesungguhnya tidak pernah terdaftar sebagai
ahli waris.
Anak tiri meski sudah diperlakukan sebagai anak sendiri, tapi secara hukum syariah
tidak pernah mendapatkan harta lewat warisan. Namun bila lewat jalan lain masih
dimungkginkan. Misalnya lewat hibah dari almarhum sebelum wafat, atau lewat wasiat.
Demikian juga istri yang sudah dicerai suami dan telah habis masa iddahnya, bila sang
suami wafat, maka mantan istri itu sudah bukan lagi ahli waris.
Contoh
Seseorang wafat meninggalkan seorang mantan istri yang telah diceraikan sebulan
yang lalu, seorang istri yang masih sah dan seorang istri yang telah diceraikannya
secara 2 tahun lalu. Siapakah diantara mereka yang dapat warisan ?
Jawaban
Yang mendapat warisan adalah istri yang telah diceraikan sebulan yang lalu dan istri
yang masih sah. Sedangkan istri yang telah diceraikan 2 tahun sebelumnya, tidak
mendapat warisan. Karena hubungannya dengan mantan istri itu sudah bukan istri
lagi. Sedangkan yang baru diceraikan 1 bulan yang lalu mendapatkan warisan, lantaran
masa iddahnya belum berakhir. Sebagaimana diketahui bahwa masa iddah seorang
wanita yang diceraikan suaminya adalah 3 kali masa suci dari haidh.
9.2.2 Menghilangkan ahli waris yang terhijab
Meski seseorang termasuk daftar ahli waris, namun belum tentu dalam sebuah
pembagian warisan dia pasti mendapat warisan. Sebab bisa jadi hubungannya dengan

68

Bab 9 Cara Membagi Warisan


almarhum/almarhumah terhijab. Sehingga dia tidak boleh menerima warisan akibat
adanya hijab.
Prinsipnya, bila hubungan seorang ahli waris dengan almarhum masih melewati
ahli waris lainnya, maka bila ahli waris yang yang ada diantara keduanya masih ada,
maka ahli waris yang berada pada lapis keduanya tidak akan mendapat warisan.
Kenyataannya, hanya ada 6 orang yang tidak mungkin terhalangi, bahkan untuk
memudahkan mengingatnya, kita susun saja menjadi anak, orang tua dan pasangan.
Dengan rincian yaitu :

anak baik laki atau perempuan

orang tua yaitu ayah dan ibu

pasangan yaitu suami atau istri


Selain keenam orang di atas, mungkin terhalang dan mungkin tidak.

Contoh 1 : Seorang wafat dengan meninggalkan ayah kandung dan paman yang
merupakan saudara ayah. Hubungan almarhum dengan pamannya diselingi dengan
adanya ayah, maka paman tidak mendapat warisan bila ayah masih ada. Namun bila
ayah tidak ada, paman mendapatkan warisan. Posisi paman dalam hal ini sama dengan
posisi kakek, seandainya ayah tidak ada sedangkan kakek masih ada, maka kakek
mendapatkan warisan dari cucunya.
Contoh 2 : Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah dan
keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Contoh 3 : Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung
laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al
Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit,
dan seterusnya).
Contoh 4 : Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok
(ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya)
baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Hasil atas langkah kedua ini adalah daftar orang-orang yang pasti mendapat
warisan, baik sebagai ashabul furudh ataupun sebagai ashahabah.
Contoh
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, paman, kakek, bibi, saudara lakilaki, saudara perempuan dan anak laki-laki. Siapa diantara mereka yang mendapat
warisan dan siapakah yang terhijab?

69

Bab 9 Cara Membagi Warisan


Jawab
Pada awalnya semua memang termasuk ahli waris, namun ada beberapa mereka
yang termahjub karena keberadaan ahli waris lainnya. Yang memahjub anak laki-laki
yang menghijab paman, keponakan, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Kakek
terhijab oleh adanya ayah. Sehingga yang menerima warisan hanyalah anak laki-laki,
ayah, ibu saja.

9.3 Langkah Ketiga


Langkah ketiga adalah menentukan pokok masalah. Persoalan pokok masalah ini
di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk
mengetahui pokok masalah.
Untuk apa kita mengetahui pokok masalah? Apa gunanya? Apa tujuannya?
Sebenarnya urusan ini hanya sekedar untuk menemukan nilai yang didapat oleh
para ahli waris. Hal itu disebabkan Al-Quran dan As-sunnah menyebutkan bilangan
pecahan untuk menetapkan bagian yang didapat oleh para ahli waris. Bilangan
pecahan itu adalah setengah (1/2), sepertiga (1/3), seperempat (1/4), seperenam
(1/6), seperdelapan (1/8) dan duapertiga (2/3).
Seandainya dalil-dalil itu menggunakan besaran prosentase, mungkin kita tidak
perlu bicara tentang ashlul-masalah ini. Misalnya dalam kasus seorang laki-laki wafaat
meninggalkan seorang seorang istri dan ayah. Isstri mendapat bagian 1/8 dan ayah
1/6, maka agak sulit buat kita untuk menghitung langsung 1/8 + 1/6.
Tapi kalau angka 1/8 dan 1/6 itu disebutkan dengan besaran prosentase, maka
lebih mudah untuk menjumlahkannya. 1/8 sebenarnya sama dengan 12,5 % dan 1/6
sama dengan 16,66 %. Jadi jumlah keduanya adalah 12,5% + 16,66 % = 29,16 %.
Sedangkan menjumlahkan 1/8 dengan 1/6, perlu sedikit teknik untuk
mendapatkan hasilnya. Dengan metode hitungan sederana sebenarnya mudah saja
bagi kita untuk menjumlahkan beberapa bilangan pecahan, dimana "penyebutnya "
tidak sama. Dalam bilangan pecahan kita mengenal dua istilah, yaitu pembilang dan
penyebut. Dimana kedua bilangan itu ditulis dengan dipisahkan menggunakan garis
miring. Pembilang adalah angka sebelum garis miring dan penyebut dalam bilangan
setelah garis miring.
Contoh, bilangan setengah itu ditulis [1/2], maka bilangan 1 adalah pembilang dan
bilangan 2 adalah penyebut. Demikian juga dengan [2/3], maka bilangan 2 adalah
pembilang dan bilangan 3 adalah penyebut.
70

Bab 9 Cara Membagi Warisan


Secara sederhana, kita bisa menjumlahkan bilangan pecahan dengan cara
menjumlahkan pembilangnya saja tanpa menjumlahkan penyebutnya, asalkan
penyebutnya sama. Misalnya 1/2 + 1/2 = 2/2. Atau 2/4 + 1/4 + 1/4 = 4/4.
Namun akan sedikit bermasalah ketika kita harus menjumlahkan beberapa bilangan
pecahan yang berbeda penyebutnya. Misalnya, 1/8 + 1/6. Berapakah jumlahnya ?.
Untuk menjumlahkannya, kita terpaksa harus menyamakan dulu penyebutnya.
Caranya dengan mengganti masing-masing penyebut dengan sebuah bilangan terkecil
yang habis dibagi oleh masing-masing penyebut. Kalau kita pilih bilangan 16, memang
16 itu bisa habis dibagi 8, tapi tidak bisa dibagi 6, jadi angka 16 tidak cocok.
Demikian juga bila kita pilih bilangan 12, memang 12 itu bisa habis dibagi 6, tapi
tidak bisa dibagi 8. Pilihannya adalah 24, sebab 24 itu bisa habis dibagi 8 dan 6. Jadi
kita sama dulu penyebut masing-masing menjadi angka 12. Lalu pembilangnya kita
sesuaikan agar nilainya tetap sama.
Caranya dengan mengalikan pembilang dengan hasil bagi penyebut yang telah
disamakan dengan penyebut asalnya. Lalu masing-masing pembilang yang telah
disesuaikan dijumlahkan, sedangkan penyebutnya tidak perlu dijumlahkan.

Maka bilangan 1/8 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24. Lalu kita membagi 24
dengan 8, hasilnya adalah 3. Lalu kita kalikan 3 dengan pembilangnya yaitu 1.
Hasilnya adalah 3. Maka 1/8 sama dengan 3/24.

Bilangan 1/6 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24 juga. Lalu kita membagi 24
dengan 6, hasilnya adalah 4. Lalu kita kalikan 4 dengan pembilangnya yaitu 1.
Hasilnya adalah 4. Maka 1/6 sama dengan 4/24.

Jadi hasil akhir penjumlahan itu adalah 3/24 + 4/24 = 7/24. Kalau kita perhatikan,
sebenarnya 7/24 ini sama besarnya dengan 29,16 %.
Metode Yang Digunakan Dalam Kitab Klasik
Tapi yang berkembang di masa lalu bukan dengan prosentase, juga bukan dengan
penyamaan pembilang dan penyebut, melainkan dengan metode pencarian ashlulmasalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh
angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena
itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan
benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa
ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya
71

Bab 9 Cara Membagi Warisan


hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan
antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok
masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya
dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka
pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka
satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal
ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki
dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit
meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya
sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang
sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan
seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2).
Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga
setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama -misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya
dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga
(3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya
dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian
--yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan
sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni
antara :

angka-angka yang mutamatsilah (sama)

angka-angka yang mutadaakhilah (saling berpadu)

angka-angka yang mutabaayinah (saling berbeda).

Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan
oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita
untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh
yang mempunyai bagian berbeda-beda.
72

Bab 9 Cara Membagi Warisan


Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni
1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila
dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat
(1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh
setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat
dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila
dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan
seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok
masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka
dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh
kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6)
diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang
dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau
semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan
kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, mari kita buat beberapa contoh.
Contoh: Kasus Pertama
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu,
dan paman kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut:

suami mendapat setengah (1/2)

saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)


73

Bab 9 Cara Membagi Warisan

ibu sepertiga (1/3)

sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah
ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak
berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2)
dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.
Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut adalah enam (6).
Lihat diagram:
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2)

3/6

Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)

1/6

Ibu sepertiga (1/3)

2/6

Paman kandung, sebagai 'ashabah

Dalam contoh ini, kebetulan harta habis dibagi untuk semua ashhabul furudh tanpa
sisa, dengan demikian maka paman tidak mendapat apa-apa alias nol, lantaran
statusnya hanya sebagai ahli waris ashabah. Namun dalam seandainya salah satu dari
ashhabul furudh di atas tidak ada, misalnya tidak ada saudara laki-laki yang jatahnya
(1/6), maka sisa itu menjadi milik paman sebagai ashabah.
Contoh : Kasus Kedua
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:

bagian istri seperempat (1/4)

ibu seperenam (1/6)

dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)

dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang
termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka
berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan
hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian
kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:

74

Bab 9 Cara Membagi Warisan


Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4)

3/12

Ibu seperenam (1/6)

2/12

Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)

4/12

Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)

3/12

Dalam contoh kasus kali ini, saudara kandung laki-laki sebagai ashabah beruntung,
karena masih ada sisa dari para ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya
yang masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta atau 1/4 bagian atau 25% dari
seluruh harta yang dibagi waris.
Contoh : Kasus Ketiga
Seseorang kakek wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya
sebagai berikut:

istri mendapat seperdelapan (1/8)

anak perempuan setengah (1/2)

cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai


penyempurna dua per tiga (2/3)

bagian ibu seperenam (1/6)

Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa


harta waris bila ternyata masih tersisa.

Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai
kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka
berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat
(24). Berikut ini tabelnya:
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8)

3/24

Bagian anak perempuan setengah (1/2)

12/24 12

Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)

4/24

Bagian ibu seperenam (1/6)

4/24

Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)

1/24

1
75

Bab 9 Cara Membagi Warisan


Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai
hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24).
Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini
disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih,
karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan
angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.

76

Catatan

Catatan

Anda mungkin juga menyukai