Buku Fiqih Mawaris ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas.
Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab yang menjadi
pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah
dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi. Ahmad Sarwat, Lc.
Penulis
Penerbit
Cetakan
Format cetak
: A4, bolak-balik
Tujuan khusus
Tujuan umum
: Untuk sosialisasi Hukum Waris menurut ajaran Islam kepada
masyarakat umum
Perhatian! Buku yang diterbitkan Yayasan Masjidillah Indonesia ini bukan untuk
diperjualbelikan.
Info tentang Penulis:
Ustadz Ahmad Sarwat, L.c., M.A. adalah seorang dai kelahiran Kairo, september
1969. Beliau menempuh pendidikan S1 di LIPIA Jakarta dan S2 di Institut Ilmu AlQuran Jakarta. Aktifitas beliau diantaranya adalah mengajar di Sekolah Tinggi
Administrasi Negara (STAN), Ketua Umum Yayasan Darul Ulum Al-Islamiyah
Jakarta, Direktur Rumah Fiqih Indonesia.
Alamat
HP
: 0856-9446-1792
: ustsarwat@yahoo.com
Website
: http://www.ustsarwat.com/
: masjidillah@gmail.com
Website
: http://sites.google.com/site/masjidillah
Blog
: masjidillah.wordpress.com
Istilah
Agar tidak terjadi selip paham dalam membicarakan hal-hal yang terkait dengan
istilah warisan yang ditranslate ke dalam bahasa Indonesia, mari kita merujuk kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Misalnya kata mewarisi dan mewariskan, orang sering keliru membedakan
keduanya. Menurut KBBI, kata 'mewarisi' adalah memperoleh warisan. Misalnya
kalimat berikut : Amir mewarisi sebidang tanah milik ayahnya, pak Ali. Artinya, Amir
memperoleh tanah yang ditinggalkan oleh pak Ali.
Sedangkan kata 'mewariskan' artinya adalah memberikan harta warisan atau
meninggalkan sesuatu harta kepada orang lain. Misalnya kalimat berikut : Pak Ali
mewariskan sebidang tanah kepada anaknya. Maksudnya, pak Ali memberikan harta
warisan kepada anaknya.
Kata 'pewaris' adalah orang yang mewariskan, yaitu orang yang memberi harta
warisan. Contoh dalam kalimat, pak Ali adalah pewaris dari anak-anaknya. Maksudnya,
pak Ali memberi harta warisan kepada anak-anaknya.
Lawan kata pewaris adalah 'ahli waris', yaitu orang yang berhak menerima warisan
(harta pusaka). Contoh dalam kalimat, Amir adalah ahli waris dari ayahnya.
Maksudnya, Amir menerima harta warisan dari ayahnya.
mewarisi v 1 memperoleh warisan dr: krn anak satu-satunya,
dialah yg akan ~ seluruh harta kekayaan orang tuanya; 2 ki
memperoleh sesuatu yg ditinggalkan oleh orang tuanya dsb: ia
tidak saja memperoleh harta kekayaan, tetapi ia juga ~ utangutang yg ditinggalkan almarhum;
mewariskan v 1 memberikan harta warisan kpd; meninggalkan
sesuatu kpd: gurunya ~ ilmu silat kepadanya; 2 menjadikan orang lain menjadi waris;
warisan n sesuatu yg diwariskan, spt harta, nama baik; harta.
ahli waris orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka).
ii
Daftar Isi
ISTILAH
II
DAFTAR ISI
III
PENGANTAR
IX
1.1
1.2
PENSYARIATAN
2.1
DEFINISI
2.1.1 BAHASA
2.2
10
2.2.1 WAKTU
10
2.2.2 PENERIMA
10
2.2.3 NILAI
11
2.2.4 HUKUM
11
2.3
11
2.3.1 TARIKAH
11
2.3.2 FARDH
12
12
2.3.4 ASHABAH
12
2.3.5 SAHM
13
iii
2.3.6 NASAB
13
2.3.7 AL-FAR'U
13
2.3.8 AL-ASHL
13
15
3.1
15
15
16
16
3.2
PENGURUSAN JENAZAH
17
3.3
HUTANG
17
3.3.1 AL-HANAFIYAH
18
18
3.3.3 ASY-SYAFI'IYAH
18
3.3.4 AL-MALIKIYAH
19
3.3.5 AL-HANABILAH
19
3.4
19
WASHIYAT
21
4.1
RUKUN WARIS
21
4.1.1 AL-MUWARITS
21
4.1.2 AL-WARITS
21
21
4.2
22
SYARAT WARIS
22
22
23
24
4.3
24
24
4.3.2 PERNIKAHAN
25
4.3.3 AL-WALA
25
27
5.1
27
5.1.1 PEMBUNUHAN
27
28
5.1.3 BUDAK
29
iv
5.2
29
31
6.1
DEFINISI
31
6.2
MACAM-MACAM AL-HUJUB
31
6.3
32
6.4
33
35
7.1
ASHHABUL FURUDH
35
7.2
ASHABAH
35
36
37
38
38
41
8.1
ANAK LAKI-LAKI ()
43
8.1.1 BAGIAN
43
8.1.2 MENGHIJAB
45
45
8.2
ANAK PEREMPUAN ()
46
8.2.1 BAGIAN
46
8.2.2 MENGHIJAB
47
47
ISTRI ()
48
8.3
8.3.1 BAGIAN
48
8.3.2 MENGHIJAB
49
49
8.4
SUAMI
49
8.4.1 BAGIAN
49
8.4.2 MENGHIJAB
50
50
8.5
50
AYAH
8.5.1 BAGIAN
50
8.5.2 MENGHIJAB
52
52
8.6
53
IBU
8.6.1 BAGIAN
53
8.6.2 MENGHIJAB
54
54
8.7
KAKEK ()
55
8.7.1 BAGIAN
55
8.7.2 MENGHIJAB
56
57
8.8
NENEK ()
57
8.8.1 BAGIAN
57
8.8.2 MENGHIJAB
57
57
8.9
SAUDARA SEAYAH-IBU ()
58
8.9.1 BAGIAN
58
8.9.2 MENGHIJAB
59
59
59
8.10.1 BAGIAN
60
61
8.11.1 BAGIAN
61
8.11.2 MENGHIJAB
61
62
62
8.12.1 BAGIAN
62
63
63
63
63
63
64
64
8.19.1 BAGIAN
64
8.19.2 MENGHIJAB
65
65
65
66
66
67
9.1
67
LANGKAH PERTAMA
9.1.1 HUTANG
vi
67
9.1.2 WASIAT
67
67
9.2
68
LANGKAH KEDUA
9.2.1 MEMILAH
68
68
9.3
70
LANGKAH KETIGA
CATATAN
77
vii
Pengantar
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Shalawat serta salam tercurah
kepada baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut dan
orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil.
Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,
dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan
dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus
diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia
sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas
saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits
Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam
hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum
secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan
merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di
samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu
maupun kelompok masyarakat.
Buku FIQIH MAWARIS ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang
sedemikian luas. Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan
jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah
kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di
muka bumi.
Sayangnya, kebanyakan umat Islam malah tidak dapat menikmati warisan itu, salah
satunya karena kendala bahasa. Padahal tak satu pun ayat Al-Quran yang turun dari
langit kecuali dalam bahasa Arab, tak secuil pun huruf keluar dari lidah nabi kita SAW,
kecuali dalam bahasa Arab. Maka upaya menuliskan kitab fiqih dalam bahasa
ix
Indonesia ini menjadi upaya seadanya untuk mendekatkan umat ini dengan warisan
agamanya. Tentu saja buku ini juga diupayakan agar masih dilengkapi dengan teks
berbahasa Arab, agar masih tersisa mana yang merupakan nash asli dari agama ini.
Buku ini merupakan buku kedelapan dari rangkaian silsilah pembahasan fiqih.
Selain buku ini juga ada buku lain terkait dengan masalah fiqih seperti fiqih thaharah,
shalat, puasa, zakat, haji, ekonomi atau muamalah, nikah, waris, hudud dan bab
lainnya. Sedikit berbeda dengan umumnya kitab fiqih, manhaj yang kami gunakan
adalah manhaj muqaranah dan wasathiyah. Kami tidak memberikan satu pendapat
saja, tapi berupaya memberikan beberapa pendapat bila memang ada khilaf di antara
para ulama tentang hukum-hukum tertentu, dengan usaha untuk menampilkan juga
hujjah masing-masing. Lalu pilihan biasanya kami serahkan kepada para pembaca.
Semoga buku ini bisa memberikan manfaat berlipat karena bukan sekedar
dimengerti isinya, tetapi yang lebih penting dari itu dapat diamalkan sebaik-baiknya
ikhlas karena Allah SWT.
Al-Faqir ilallah,
Ahmad Sarwat, L.c., M.A.
Bab 1
Urgensi dan Pensyariatan
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Abu
Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan
dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku". (HR.
Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah
Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan
ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang
berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa
menjawabnya". (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)1
. :
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, "Pelajarilah ilmu
faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran". 2
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuanketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)
Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian
dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar.
Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka. Tidak seperti pelaku
dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan
Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan
akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan
yang menghinakan.
Sungguh berat ancaman yang Allah SWT telah tetapkan buat mereka yang tidak
menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini
menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai
ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik.
1.2 Pensyariatan
Ketentuan dan kewajiban membagi waris dalam syariah Islam ditetapkan
berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.
1.2.1 Dalil Quran
Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang
pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di surat An-Nisa' saja ada tiga ayat,
yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di dalam surat Al-Anfal ayat terakhir, yaitu
ayat 75.
a. Ayat waris untuk anak
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)
.
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istriistrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa' : 12)
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun (QS. An-Nisa' : 12)
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)
Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal : 75)
.
Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir
tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-Nasai)3
Dari Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu
Daud dan Ibnu Majah)
Dari Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
menetapkan buat dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud
dan Ibnu Majah)
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan
bagi anak tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak
laki seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat
saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)4
Bab 2
Pengertian Waris
2.1 Definisi
2.1.1 Bahasa
Al-miirats ( )dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (
) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah
'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada
kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw. Di antaranya Allah
berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah yang mewarisinya." (al-Qashash: 58)
HIBAH
WASIAT
WAKTU
Setelah wafat
Sebelum wafat
Setelah wafat
PENERIMA
Ahli waris
NILAI
Sesuai faraidh
Bebas
Maksimal 1/3
HUKUM
Wajib
Sunnah
Sunnah
2.2.1 Waktu
Dari segi waktu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak
ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits)
meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta
itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta
itu.
Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya
masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak
menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh
pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi
saat dia meninggal dunia.
2.2.2 Penerima
Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar
ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima
washiyat harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris
sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima
lewat jalur washiat.
10
12
13
Bab 3
Alokasi Harta
Bila ada seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta, tidak
semua harta peninggalannya langsung dibagi sebagai warisan. Ada sejumlah pos
pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Tentu saja bila pos-pos
pengeluaran itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut hukum
waris.
3.3 Hutang
Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih
dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada
ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
17
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia.
Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar
zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di
kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan.
3.3.1 Al-Hanafiyah
Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah
diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi
ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris
dibagikan kepada para ahli warisnya.
Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah,
sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal,
menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan,
dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan
tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah
meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak
menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan
Allah SWT. Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat
kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib
bagi ahli waris untuk menunaikannya.
3.3.2 Jumhur Ulama
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang
pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada
sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak
memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang
menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
3.3.3 Asy-syafi'iyah
Menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum
memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba.
18
3.4 Washiyat
Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga
dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan
bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan
seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian
harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil
untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan
semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab
pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat
menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda:
"... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para
ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada:
ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu,
ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta
waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
19
20
Bab 4
Rukun, Syarat dan Sebab Warisan
21
23
Bab 5
Gugurnya Warisan
Bersama dengan kajian tentang siapa saja yang berhak mendapat warisan, ada juga
hal-hal yang membuat seseorang yang seharusnya mendapat warisan, namun karena
satu dan lain hal, haknya menjadi gugur. Sehingga orang tersebut tidak jadi menerima
warisan.
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di
kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah:
Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya
tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu
dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian
para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai
penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan
pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak
tergolong sebagai penggugur hak waris.
30
Bab 6
Penghalang Warisan (Al-Hujub)
6.1 Definisi
Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT
berfirman:
Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari
(melihat) Tuhan mereka" (QS. Al-Muthaffifin : 15)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang,
tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau
penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu
tanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim
maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang
menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang
terhalang mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan
hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja
disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.
Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka
mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka dengan
almarhum yang wafat.
32
33
Bab 7
Ashabul Furudh & Ashabah
7.2 Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.
Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan
melindungi.
Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi
kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali
digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan
(yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'"
(QS. Yusuf: 14)
35
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masingmasing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi
bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik
kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak,
maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan
berapa bagian ayah.
Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya
(2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai
'ashabah.
36
Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. (QS. An-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan
justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta
peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh
harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
.
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris
kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki
yang paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan
Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas
menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan
kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada
jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan
kata "dzakar".
7.2.2 Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah
sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan
budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas
budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
37
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila
lafazh 'ashabah disebutkan
tanpa diikuti kata lainnya
(tanpa dibarengi bil ghair
atau ma'al ghair), maka yang
dimaksud adalah 'ashabah
bin nafs.
4.
Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu,
cicit, dan seterusnya.
Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari
pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas
pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,
namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak
termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun
yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah
anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat
daripada arah saudara.
7.2.4 Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat
kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian)
menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh
warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul
furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul
furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya,
38
39
Bab 8
Para Ahli Waris
Salah satu kendala terbesar dalam mengerti dan menghafal siapa saja ahli waris
adalah tidak adanya diagram atau struktur keluarga (family chart).
Apalagi ditambah dengan penyebutan yang relatif antara satu ahli waris dengan
yang lainnya. Seorang ahli waris bisa saja dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya.
Tapi dalam waktu yang sama, dia adalah 'anak' dari seseorang. Bahkan dia juga seorang
'kakek', atau 'paman', 'saudara', 'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan begitulah
seterusnya.
Relatifitas ini akan menyulitkan kita dalam memahami duduk masalah. Maka
dengan bantuan diagram struktur keluarga ini, kita akan dimudahkan.
Selain itu istilah-istilah yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia sering tidak
baku. Katakanlah sebagai contoh, akh li ab wa li um () , sering kita terjemahkan
menjadi saudara kandung. Sebagian orang memahami istilah saudara kandung adalah
saudara yang sama-sama satu kandungan ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda.
Dan itu adalah saudara seibu () .
Untuk itu diagram ini selain berbahasa Indonesia, juga dilengkapi juga dengan
istilah dalam bahasa Arab aslinya.
Diagram ini juga dilengkapi dengan nomor ahli waris, yang sepenuhnya merupakan
ijtihad penulis sendiri. Sekedar untuk memastikan identitas seorang ahli waris, agar
tidak tertukar-tukar penyebutannya dengan ahli waris yang lain. Kira-kira seperti id
number kalau dalam sistem database.
Selain itu, diagram ini juga dilengkapi dengan daftar orang-orang yang terhijab oleh
seorang ahli waris. Sehingga dengan mudah kita bisa memastikan siapa saja dari
mereka yang terhijab, cukup dengan sekali melihat bagan.
Terakhir, diagram ini juga dilengkapi dengan bagian-bagian yang mungkin akan
bisa diterima oleh seorang ahli waris.
41
42
Seorang anak laki-laki mendapat warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang
sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak
pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
Terkadang sisanya besar, terkadang sisanya kecil. Bahkan bisa saja sisanya sama
dengan seluruh harta, misalnya karena almarhum tidak punya ahli waris lain selain
anak laki-laki. Tetapi seorang anak laki-laki tidak mungkin tidak kebagian harta waris.
Akan lebih tergambar kalau kita masukkan ke dalam contoh-contoh yang nyata.
Contoh Pertama
Seseorang meninggal dunia dengan nilai total warisan sebesar 10 milyar, tanpa
memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya hanyalah seorang anak laki-laki
tunggal satu-satunya.
Penyelesaiannya adalah anak laki-laki satu-satunya itu mewarisi seluruh harta
ayahnya, sebesar 10 milyar. Karena anak laki-laki memang mendapat semua sisa harta,
yang dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris dari ashabul furudh yang masih hidup.
Ahli Waris
Bagian
Nilai
Anak laki-laki
1/1
10 milyar
Contoh Kedua
Seorang meninggal dunia dengan harta sebesar 7 milyar, tanpa memiliki istri atau
anak perempuan. Ahli warisnya 7 orang anak laki-laki semua.
Penyelesaian sederhana saja, harta itu dibagi rata kepada lima orang. Jadi masingmasing mendapat 1 milyar.
43
Bagian
Nilai
Anak laki-laki 1
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 2
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 3
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 4
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 5
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 6
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 7
1/7
1 milyar
Contoh Ketiga
Seorang laki-laki wafat dengan harta 8 milyar, meninggalkan ahli waris seorang istri
dan seorang anak laki-laki.
Istri adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan, yaitu 1/8 atau 1 milyar.
Sisanya adalah 7/8 bagian atau 7 milyar, menjadi hak oleh anak laki-laki adalah 7/8.
Hak anak laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh istri
almarhum.
Kalau kita jabarkan dalam bentuk tabel, hasilnya sebagai berikut:
Ahli Waris
Bagian
Nilai
Istri
1/8
1 milyar
7/8
7 milyar
Contoh Keempat
Harta almarhum sebesar 8 milyar, pada saat wafat beliau memiliki seorang istri dan
7 orang anak laki-laki. Bagaimana penyelesaiannya?
Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang anak laki-laki adalah ashabah, mereka berhak
atas sisanya. Dan sisanya yang 7/8 bagian itu dibagi rata kepada 7 orang anak laki-laki.
7/8 dibagi 7 adalah 1/8.
44
Bagian
Nilai
1/8
1 milyar
Anak laki-laki 1
1/8
1 milyar
Anak laki-laki 2
1/8
1 milyar
Anak laki-laki 3
1/8
1 milyar
1/8
1 milyar
Anak laki-laki 5
1/8
1 milyar
Anak laki-laki 6
1/8
1 milyar
Anak laki-laki 7
1/8
1 milyar
Istri
Anak laki-laki 4
1/8
7/8
8.1.2 Menghijab
Ahli Waris
id
saudara seayah-ibu
saudari seayah-ibu
10
saudara seayah
11
saudari seayah
12
13
14
15
16
17
18
19
20
22
Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam menerima waris dari orang
tuanya.
Pertama, dia mendapat 1/2 atau separuh dari semua harta warisan. Syaratnya, dia
menjadi anak tunggal dari muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun
baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.
Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh
harta warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11)
Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia tidak sendirian. Dia
punya saudara perempuan sehingga minimal mereka berdua. Dan mereka semua akan
mendapat jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama semuanya perempuan
dan tidak ada saudara laki-laki satu pun.
Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per
tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, kalau dia punya saudara laki-laki, dia bersama anak laki-laki akan mendapat
ashabah atau sisa. Harta sisa itu dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya
dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima saudara laki-lakinya.
46
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan. (QS. An-Nisa : 11)
8.2.2 Menghijab
Ahli Waris
Id
20
22
Ada 2 orang yang dihijab oleh anak perempuan. Pertama, saudara atau saudari
seibu tidak seayah. Kedua, cucu perempu-an almarhum, dengan syarat jumlah anak
perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan cucu
perempuan sebagai ashabah bersamanya.
8.2.3 Dihijab Oleh
Seorang anak perempuan tidak pernah dihijab oleh siapa pun, karena tidak ada
penghalang antara dirinya dengan muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri.
47
8.3 Istri ()
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia menjadi ahli waris,
berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik suaminya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu
saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak dibagi
waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian suami.
8.3.1 Bagian
Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima bagian, yaitu 1/4 atau 1/8
sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara' waris5, maka hak istri
adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya.
"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan bila kamu tidak
mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang
mendapatkan warisan, maka bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan
suami.
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu ..." (QS. An-Nisa': 12)
Diantara fara' waris antara lain : anak laki-laki, anak perempuan, juga anak laki-laki atau anak
perempuan dari anak laki-laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak perempuan dari anak
perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya bukan termasuk fara' waris, karena
cucu dari anak perempuan tidak termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.
48
8.4 Suami
Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka dia menjadi ahli waris,
berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik istrinya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu
saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak dibagi
waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian istri.
8.4.1 Bagian
Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu 1/2 atau 1/4 sebagaimana
disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara' waris, maka hak suami 1/2
bagian dari harta peninggalan almarhumah istrinya.
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan
istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan
warisan, maka bagian suami adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri.
"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya (QS. An-Nisa': 12)
49
8.5 Ayah
Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik anak itu laki-laki atau
perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya
adalah ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau ayah sudah meninggal
dunia terlebih dahulu, tidak menjadi ahli waris.
8.5.1 Bagian
Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki
1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,
almarhum anaknya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu lakilaki dari anak laki-laki.
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
50
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu tentu masih bersisa.
Siapakah yang berhak atas harta ini?
Jawabnya adalah ayah.
Mengapa?
Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang merupakan ashabah juga. Meski
pun pada dasarnya ada lagi ahli waris lain yang juga berhak menjadi ashabah, namun
ayah telah menghijab mereka dan mengambil hak asabah itu untuk dirinya, dengan
dasar dalil di atas.
Ketiga, ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah, setelah ashabul furudh
mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki atau
pun perempuan.
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian
ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
6
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara'
waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
51
Id
saudara seayah-ibu
saudari seayah-ibu
10
saudara seayah
11
saudari seayah
12
13
14
15
16
17
18
Ahli Waris
8.6 Ibu
Ibu adalah orang yang juga dekat dengan anaknya yang meninggal dunia. Bila saat
meninggalnya, ibu masih ada, sudah dipastikan ibu mendapat warisan.
8.6.1 Bagian
Seorang ibu punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
1/6 = almarhum punya fara' waris
1/3 = almarhum tidak punya fara' waris
1/3 dari sisa = bila almarhum punya fara' waris (hanya dalam kasus umariyatain)
Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta almarhum anaknya yang wafat, bila anaknya
itu punya fara' waris.
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari harta peninggalan almarhum anaknya, bila
anaknya tidak punya fara' waris.
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian
ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang sudah diambil oleh para ashabul
furudh, namun haknya yang 1/3 tidak berlaku.
Pembagian ini hanya terjadi bila seseorang wafat dengan meninggalkan hanya 3
orang ahli waris, yaitu suami/istri, ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di zaman khalifah
Umar bin al-Khattab dan dikenal dengan istilah kasus Umariyatain.7
Istilah kasus Umariyatain adalah dua kasus yang ditetapkan oleh Umar bin al-Khattab
radhiyallahuanhu. Kasus pertama melibatkan 3 orang ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus
kedua melibatkan 3 orang juga yaitu istri, ayah dan ibu.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah pada kata : .
53
Menurut Khalifah Umar dan kebanyakan para shahabat nabi serta didukung oleh jumhur ulama,
kata itu punya makna bahwa ayah dan ibu menerima warisan dari sisa warisan yang diambil oleh
suami atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak menerima waris secara fardh (1/3) dari asal harta.
Sebaliknya, menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, ibu mendapat 1/3 dari asal harta sebagaimana
disebutkan dalam ayat ini. Sisanya, menjadi hak ayah. Dalam pandangan Khalifah Umar, kalau
demikian, tidak ada arti kata tersebut.
Maka dalam kasus ini, suami yang ditinggal mati istrinya tanpa fara' waris mendapat 1/2 harta.
Sisanya, yaitu 1/2 menjadi hak ayah dan ibu berdua secara ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat
1/3 dari jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.
Kasus Pertama
Ahli Waris
Istri
Ibu
Ayah
Bagian
1/4
1/4
1/4
3/4
2/4
Kasus Kedua
Ahli Waris
Suami
Ibu
Ayah
54
Bagian
1/2
1/2
3/6
1/6
2/6
8.7 Kakek ()
Yang dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya ayah. Seorang kakek yang
ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang
yang berhak mendapatkan warisan.
Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu meninggal
dunia. Kalau ayah anak itu masih hidup, maka kakek (ayahnya ayah) terhijab, sehingga
kita tidak bicara tentang warisan buat kakek.
Semua hitungan untuk warisan buat kakek, selalu dalam kondisi bahwa ayah
almarhum sudah meninggal terlebih dahulu.
8.7.1 Bagian
Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
1/6 = almarhum punya fara' waris laki-laki
1/6 + sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
Ashabah = almarhum tidak punya fara' waris
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya,
almarhum cucunyanya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu
laki-laki dari anak laki-laki.
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu
terjadi manakala almarhum yaitu cucunya yang meninggal itu punya fara' waris
perempuan8 dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam hal ini kakek sebagai gantinya
ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya
kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara'
waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
55
.
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah mendapat seluruh harta dengan cara ashabah,
setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara'
waris, baik laki-laki atau pun perempuan.
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya mewarisi hartanya dimana bagian
ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang kakek
(ayahnya ayah). Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya
adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian
menjadi hak kakek sebagai ganti dari ayah yang sudah meninggal terlebih dahulu.
8.7.2 Menghijab
Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris
yang lain, selain anak laki-laki. Ada 10 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan
harta warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.
56
Id
saudara seayah-ibu
saudari seayah-ibu
10
saudara seayah
11
saudari seayah
12
13
14
15
16
17
18
22
Ahli Waris
8.8 Nenek ()
Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum.
8.8.1 Bagian
Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian
warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah.
8.8.2 Menghijab
Nenek tidak menghijab siapa pun
8.8.3 Dihijab oleh
Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah.
57
Id
ayah
ibu
Ahli Waris
***
58
Id
saudara seayah
11
saudari seayah
12
13
14
15
16
17
18
Ahli Waris
Id
Anak laki-laki
Ayah
Cucu laki-laki
19
***
59
8.10.1 Bagian
1/2 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
tidak punya saudari seayah seibu (10)
2/3 = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
tidak punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
punya saudari seayah seibu (10)
Ashabah = almarhum
tidak punya fara' waris (1-2-19-20)
tidak punya ashlul waris laki-laki (5-7)
punya saudara laki-laki seayah seibu (9)
Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga
kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka saudarinya itu mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2 orang saudari perempuan seayah seibu.
Maka kedua saudaranya itu total mendapat 2/3 dari semua harta warisan almarhum
saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi 2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek.
Yang dia punya seorang saudara laki-laki seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat
warisan secara ashabah, dengan perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu
mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3 bagian.
60
Id
13
14
15
16
17
18
Ahli Waris
61
Id
Anak laki-laki
Ayah
10
Cucu laki-laki
19
***
64
Bagian
Anak Perempuan
Cucu Laki-laki
Cucu Perempuan
1/2
Sisa = 1/2
3/6
2/6
1/6
8.19.2 Menghijab
Ahli Waris
id
saudara seayah-ibu
saudari seayah-ibu
10
saudara seayah
11
saudari seayah
12
13
14
15
16
17
18
22
65
66
Bab 9
Cara Membagi Warisan
67
68
Contoh 1 : Seorang wafat dengan meninggalkan ayah kandung dan paman yang
merupakan saudara ayah. Hubungan almarhum dengan pamannya diselingi dengan
adanya ayah, maka paman tidak mendapat warisan bila ayah masih ada. Namun bila
ayah tidak ada, paman mendapatkan warisan. Posisi paman dalam hal ini sama dengan
posisi kakek, seandainya ayah tidak ada sedangkan kakek masih ada, maka kakek
mendapatkan warisan dari cucunya.
Contoh 2 : Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah dan
keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Contoh 3 : Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung
laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al
Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit,
dan seterusnya).
Contoh 4 : Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok
(ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya)
baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Hasil atas langkah kedua ini adalah daftar orang-orang yang pasti mendapat
warisan, baik sebagai ashabul furudh ataupun sebagai ashahabah.
Contoh
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, paman, kakek, bibi, saudara lakilaki, saudara perempuan dan anak laki-laki. Siapa diantara mereka yang mendapat
warisan dan siapakah yang terhijab?
69
Maka bilangan 1/8 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24. Lalu kita membagi 24
dengan 8, hasilnya adalah 3. Lalu kita kalikan 3 dengan pembilangnya yaitu 1.
Hasilnya adalah 3. Maka 1/8 sama dengan 3/24.
Bilangan 1/6 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24 juga. Lalu kita membagi 24
dengan 6, hasilnya adalah 4. Lalu kita kalikan 4 dengan pembilangnya yaitu 1.
Hasilnya adalah 4. Maka 1/6 sama dengan 4/24.
Jadi hasil akhir penjumlahan itu adalah 3/24 + 4/24 = 7/24. Kalau kita perhatikan,
sebenarnya 7/24 ini sama besarnya dengan 29,16 %.
Metode Yang Digunakan Dalam Kitab Klasik
Tapi yang berkembang di masa lalu bukan dengan prosentase, juga bukan dengan
penyamaan pembilang dan penyebut, melainkan dengan metode pencarian ashlulmasalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh
angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena
itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan
benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa
ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya
71
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan
oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita
untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh
yang mempunyai bagian berbeda-beda.
72
sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah
ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak
berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2)
dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.
Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut adalah enam (6).
Lihat diagram:
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2)
3/6
1/6
2/6
Dalam contoh ini, kebetulan harta habis dibagi untuk semua ashhabul furudh tanpa
sisa, dengan demikian maka paman tidak mendapat apa-apa alias nol, lantaran
statusnya hanya sebagai ahli waris ashabah. Namun dalam seandainya salah satu dari
ashhabul furudh di atas tidak ada, misalnya tidak ada saudara laki-laki yang jatahnya
(1/6), maka sisa itu menjadi milik paman sebagai ashabah.
Contoh : Kasus Kedua
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang
termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka
berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan
hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian
kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
74
3/12
2/12
4/12
3/12
Dalam contoh kasus kali ini, saudara kandung laki-laki sebagai ashabah beruntung,
karena masih ada sisa dari para ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya
yang masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta atau 1/4 bagian atau 25% dari
seluruh harta yang dibagi waris.
Contoh : Kasus Ketiga
Seseorang kakek wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya
sebagai berikut:
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai
kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka
berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat
(24). Berikut ini tabelnya:
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8)
3/24
12/24 12
4/24
4/24
1/24
1
75
76
Catatan
Catatan