1. Bentuk tafsir
Penafsiran pada abad ini belum memiliki bentuk tertentu yang mengacu pada al-matsur atau
ar-rayu karena masih bersifat umum. Ini disebabkan kondisi umat Islam pada waktu itu belum
membentuk suatu komunitas muslim yang sesungguhnya. Pada dasarnya mereka masih
berkelompok-kelompok muslim yang baru memeluk Islam. Pada periode ini dikatakan pula sebagai
periode islamisasi bangsa Indonesia yang mulanya menganut animisme. Hal ini terbukti pada
kegiatan yang dilakukan oleh walisongo di Jawa yang mengajarkan bagaimana meminta hujan
tanpa mengorbankan anak gadis dengan ajaran Islam.
Dengan kondisi-kondisi seperti inilah dirasakan tidak mungkin memberikan penafsiran Al-Quran
dengan bentuk tertentu seperti rayu dan matsur, karena pada umumnya mereka masih muallaf.
Oleh karena itu, jika diamati secara saksama bentuk tafsir Al-Quran pada masa ini lebih tepat
disebut bibit tafsir yang akan tumbuh dan berkembang pada masa selanjutnya. Dengan demikian,
tidak dapat dikatakan mengacu kepada salah satu dari dua bentuk tafsir yang ada. Akan tetapi,
para ahli tetap memberi istilah terhadap tafsir yang dikerjakan oleh para ulama periode ini yaitu
tafsir dengan bentuk embriotik integral. Artinya, tafsir Al-Quran diberikan secara integral
bersamaan dengan bidang lain seperti fiqh, teologi, tasawuf. Semua itu disajikan secara praktis
yakni dalam bentuk pengamalan sehari-hari, tidak dalam kajian teoritis konseptual.
1. Metode tafsir
Al-Quran ditafsirkan oleh ulama pada periode ini dengan memakai metode ijmali. Meskipun
belum sepenuhnya mengikuti metode tersebut, sebab proses penafsiran dilakukan dengan sangat
sederhana. Tafsir tersebut bersamaan dengan penjelasan tentang berbagai subjek bahasan seperti
halnya ayat-ayat mengenai teologi yang ditafsirkan ketika mengajarkan akidah, ayat-ayat yang
berbicara tentang shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya ditafsirkan pada saat mengajarkan
subjek tersebut. Begitu juga dengan ayat-ayat yang menyangkut hal muamalah[5].
Dari penjelasan di atas, jelas terlihat bahwa tafsir pada masa ini bersifat praktis dan
kondisional, di mana penafsirannya diberikan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini sangat membantu
mereka yang masih buta huruf sehingga hanya mengandalkan kekuatan daya ingatan dalam
proses internalisasi ajaran dan nilai.
Ulama pada periode ini telah berhasil menerapkan metode tafsir yang sangat tepat, karena
sesuai dengan kondisi umat saat itu. Ini berarti para ulama sangat memahami kebutuhan mereka
sekaligus menunjukkan bahwa beliau menguasai metodologi tafsir. Di samping itu, apa yang
dilakukannya sejalan dengan hadith Nabi Muhammad yang menganjurkan berbicara kepada umat
manusia sesuai dengan tingkat kemampuan mereka.
1. Corak tafsir
Tafsir yang terdapat pada masa ini meski belum tertulis dan belum mengacu pada bentuk yang
baku, tetapi dari segi coraknya dapat dikatakan bersifat umum. Artinya, penafsiran yang diberikan
tidak diominasi oleh suatu warna atau pemikiran tertentu, tetapi menerangkan ayat-ayat yang
dibutuhkan secara umum.
Cara ini menjadikan penafsiran Al-Quran umum dan proporsional. Hal ini sejalan dengan tujuan
untuk menyampaikan Al-Quran secara khusus. Tetapi yang menjadi tujuan utama mereka ialah
menyampaikan ajaran Islam secara utuh dalam satu paket, baik tafsir, fiqh maupun tasawuf.
2. Abad pertengahan (XVI-XVIII M)
Penafsiran Al-Quran pada periode ini tidaklah sama dengan tafsir pada periode klasik.
Pengkajian Al-Quran pada masa ini mulai diperkenalkan dengan kitab-kitab tafsir yang langsung
dibawa dari Arab kemudian dibacakan kepada murid-murid dan selanjutnya diterjemahkan.
Penafsiran dengan metode ini dilakukan selama 3 abad (XVI-XVII M). Tafsir ini sesuai
dengan corak tafsir yang ada dalam kitab yang dibacakan tersebut. Sehingga para guru tidak
melakukan pengembangan pemahaman terhadap suatu ayat melainkan sebatas yang mereka
pahami dari penafsiran yang telah diberikan dalam kitab tersebut.
Tafsir pada masa ini lebih berkembang dan lebih ilmiah karena tidak didasarkan pada
kekuatan ingatan semata. Di sini dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-Quran di Indonesia baru
dimulai secara faktual pada periode pertengahan ini.
1. Bentuk tafsir
Tafsir yang disampaikan pada periode ini berbentuk rayu, sementara bentuk matsur tidak
begtu dipakai bahkan tidak masuk ke Indonesia pada masa itu. Bentuk tafsir di sini adalah
berdasarkan kitab tafsir yang menjadi rujukan mereka dalam mengkaji Al-Quran. Jadi, karena kitab
tafsir yang digunakan adalah kitab-kitab tafsir yang berbentuk rayu seperti kitab jalalain, maka
bentuk tafsir pada masa ini mengikuti kitab tafsir yang mereka baca.
1. Metode tafsir
Untuk metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak beranjak dari metode yang
digunakan pada periode sebelumnya, yaitu metode ijmali, hanya saja teknik penyampaiannya saja
yang meningkat. Bila pada periode klasik memakai metode lisan, maka pada masa ini teknik
penyampaiannya telah menggunakan buku.
Pemilihan metode ini dirasakan paling tepat karena mengingat murid-murid yang belajar masih
pemula. Dengan kata lain, mereka belum mengenal tafsir, bahkan ilmu-ilmu Islam lainnya. Oleh
karenanya, mereka belum mendalami tentang Islam apalagi tafsir Al-Quran. Dengan kondisi
seperti ini, yang mereka butuhkan hanyalah gambaran umum yang sederhana dan dapat dijadikan
pegangan amalan harian.
Walaupun metode tafsir yang dipakai pada periode pertengahan ini sama dengan periode
klasik, kecuali cara penyampaiannya saja, akan tetapi hasil pengajaran yang diperoleh jauh lebih
bagus. Di antaranya adalah menumbuhkan kepercayaan diri bagi si murid.
1. Corak tafsir
Tidak hanya metode penafsirannya saja yang sama dengan metode yang ada pada periode
sebelumnya, tetapi corak tafsirnya pun sama dengan yang ada pada masa sebelumnya. Akan
tetapi, penafsiran pada masa ini dilakukan melalui penelhan buku-buku teks yaitu kitab jalalain.
Sehingga corak tafsir yang dikaji pun sama dengan corak yang mendominasi kitab yang mereka
baca sekaligus menjadi pegangan.
Jika diamati dengan cermat serta dibandingkan dengan kitab-kitab lain, maka akan diperoleh
gambaran yang makin jelas bahwa penafsiran yang berkembang pada periode ini bercorak umum,
tidak didominasi oleh suatu pemikiran tertentu[6].
1. Faktor-faktor Yang Mendorong Penulisan Tafsir
Sebuah tulisan tidak terlahir begitu saja tanpa ada dorongan atau faktor yang menyebabkan atau
mempengaruhi penafsir dalam menuangkan tafsirnya dalam bentuk tulisan. Di antara faktor yang
mendorong penulisan tafsir adalah:
1. Permintaan pemerintah sebagaimana yang dilakukan oleh Hamzah al-Fanshuri dan
Syamsuddin al-Samatrani pada saat menduduki jabatan penting dalam Kesultanan Aceh.
Begitu juga yang dilakukan oleh Abd Rauf al-Singkily dengan kitab Tarjuman alMustafid pada masa pemerintahan Sultan Iskandar II.
2. Kebutuhan dakwah adalah salah satu faktor yang dominan seorang ulama menulis kitab
tafsir seperti yang dilakukan oleh syekh-syekh atau ulama yang bergabung dalam
komunitas al-Jawwin (Jawa) seperti Abd Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad alBanjari, Abd Wahhab Bugis, Abd Rahman al-Batawi dan Daud al-Fatani yang bergabung
dalam komunitas Jawa. Bahkan ulama-ulama berikutnya di samping berdakwah juga
bertujuan mengajar.
3. Kebutuhan pembelajaran, karya ulum al-Tafsir dan kajian-kajian tematik di Indonesia
cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran, khususnya bagi para pelajar,
baik ditingkat madrasah maupun pada tingkat perguruan tinggi[7].
Epilog
Pengkajian Al-Quran di Nusantara sudah dimulai sejak datangnya Islam ke Indonesia yang dibawa
oleh sekelompok pedagang, baik itu dari Arab maupun Gujarat India. Pada awalnya penyebaran
Islam berbentuk pendekatan yang didominasi oleh pendekatan sufisme. Cara ini dilakukan
berdasarkan atas pertimbangan agama yang kala itu di anut oleh orang Indonesia yaitu agama
Hindu dan Budha.
Seiring dengan penyebaran Islam yang lambat laun diterima oleh masyarakat setempat, maka
pengkajian terhadap Al-Quran sesuai dengan pemahaman mereka mulai dibutuhkan. Tafsir AlQuran pada masa ini belum memiliki ciri dan bentuk yang spesifik karena penafsirannya hanya
meliputi pemahaman penyebar ajaran Islam semata sehingga Al-Quran hanya ditafsirkan sekitar
ayat-ayat yang bersifat praktis.
Upaya menafsirkan Al-Quran di Nusantara melewati beberapa periode yaitu: Periode pertama
yang disebut dengan periode klasik, periode pertengahan, periode pramodern dan periode modern
hingga sekarang.
Pada masing-masing periode, para penafsir Al-Quran memakai bentuk, metode dan corak tafsir
yang berbeda-beda, meskipun ada beberapa periode yang menggunakan metode dan corak yang
sama tetapi tidak berarti tafsir itu sama. Melainkan terdapat perbedaan pada teknik dan cara
penyampaian maupun hasil pengkajian yang diperoleh lebih baik.
Pada periode awal atau masa klasik, ulama menggunakan bentuk yang dianggap sebagai awal
mula tumbuhnya tafsir untuk masa yang akan dating. Metode yang dipakai bersifat ijmali dan
coraknya belum memiliki warna yang baku tetapi bersifat umum. Sedangkan pada periode
pertengahan, metode yang digunakan hampir sama dengan metode yang dipakai pada periode
sebelumnya. Corak penafsirannya lebih mengikuti corak yang terdapat pada kitab tafsir yang
dijadikan pegangan pada masa itu. Bentuk tafsirnya pun juga mengikuti bentuk tafsir yang ada
pada kitab rujukan yaitu bentuk rayu.
[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), Hal. 212
[2] Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Quran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), Hal. 50-51
[3] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), Hal. 32-33
[4] Islah Gusnian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, (Jakarta: Teraju,
2002), Hal. 64
[5] Islah Gusnian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Hal: 66
[6] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2003), Hal: 54-59
[7] Islah Gusnian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Hal: 170