Anda di halaman 1dari 12

PERSATUAN DALAM ISLAM

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari
URGENSI PERSATUAN ISLAM
Persatuan Islam termasuk dari maqoshid syar'iyyah (tujuan syariat) yang paling
penting yang terkandung dalam agama ini. Al Qur`an dan Rasulullah senantiasa
menyerukannya. Persatuan dalam masalah aqidah, ibadah, dan akhlak, semuanya
diperhatikan dan diserukan oleh Islam. Diharapkan akan terbentuk persatuan di atas
petunjuk dan kebenaran. Bukan persatuan semu, yang tidak ada kenyataan, karena
tidak ada faidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala satu, Nabi kita satu, kiblat dan aqidah kita juga satu, ini
semua termasuk dari salah satu sisi persatuan dalam berakidah. Begitu juga
persatuan dalam masalah ibadah. Kita dapat melihat, bagaimana kaum Muslimin
berkumpul setiap harinya sebanyak lima kali di masjid-masjid mereka; ini adalan
salah satu fonemena dari persatuan. Juga bagaimana mereka berkumpul dengan
jumlah yang lebih besar pada setiap hari Jum'at, berpuasa secara serempak di
seluruh penjuru dunia dalam waktu yang sama, atau mereka saling memanggil ke
suatu tempat bagi orang yang mampu untuk melaksanakan kewajiban haji, dengan
menggabungkan usaha harta dan badan di satu tempat dan waktu yang sama; ini
semua adalah bagian dari fonemena persatuan Islam di dalam mewujudkan hakekat
akidah yang terbangun atas dasar tauhid. Karena sesungguhnya persatuan kalimat
tidaklah akan menjadi benar, melainkan dengan kalimat tauhid, dengan fenomena
persatuan akidah dan ibadah seperti yang telah ditunjukkan di atas.
Sebenarnya telah ada fonemena persatuan di dalam perilaku kaum Muslimin, antara
satu dengan yang lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :


























"Perumpamaan kaum Muslimin dalam saling mengasihi, saling menyayangi, dan
saling menolong di antara mereka seperti perumpamaan satu tubuh. Tatkala salah
satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan
merasakan pula dengan demam dan tidak bisa tidur" [1].












"Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti satu bangunan, sebagiannya
menguatkan yang lainnya."[2]













"Salah seorang dari kalian tidak beriman (dengan sempurna, Red) sampai ia
mencintai (kebaikan) untuk saudaranya dengan apa yang dia dicintai dirinya" [3].









"Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya".













"Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, dia tidak membiarkannya
(di dalam kesusahan), tidak merendahkannya, dan tidak menyerahkannya (kepada
musuh)".
Semua ini adalah pemandangan yang mengkuatkan dan menyatukan hati,
menghantarkan kepada anggota tubuh lainnya. Bahkan apabila kita memperhatikan
firman Allah :
"Demi masa. Sesungguhnya semua manusia benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan nasihatmenasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi
kesabaran". [al Ashr : 1-3].
Jika kita memperhatikan firman Allah di atas (yang artinya) dan mereka saling
memberikan nasihat , ini juga termasuk fonemena persatuan. Karena saling
menasihati tidak akan terjadi pada satu orang saja, akan tetapi terjadi pada suatu
kelompok antara satu dengan yang lain, saling mengingatkan, menasehati dan
saling meluruskan.
Allah berfirman:

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai". [Ali Imran: 103]
Ini juga fonemena persatuan. Berpegang teguhlah dengan tali persatuan, kesatuan
dan kebersamaan.
CARA DAN LANDASAN MEWUJUDKAN PERSATUAN
Tetapi bagaimanakah cara mewujudkan persatuan dan atas dasar apa? Apakah
kebersamaan dan berkelompok berdasarkan (persamaan) ras, negara, daerah,
warna (kulit) atau bahasa? Ataukah berkumpul atas dasar agama?.
Pertama kali yang difirmankan Allah dalam ayat di atas:





Berpegang teguh dengan Tali Allah!
Yaitu dengan agama Allah, Kitab Allah, syariat Allah, dan Sunnah NabiNya. Allah
tidak menyerahkan perkara (persatuan ini) pada akal, sehingga bisa memilih apa
yang dikehendaki. Akan tetapi Allah menegaskan berpegang teguhlah kalian semua
dengan tali Allah.
Sesungguhnya firman Allah berpegang teguhlah telah mengandung makna,
berkumpul dan bersatu, akan tetapi Allah menekankannya lagi sebagai tambahan
penjelasan berpegang teguhlah kamu semua dengan tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai- berai".
Terdapat tiga penekanan dalam satu nash [4], semuanya mempunyai makna
persatuan dan kesatuan. Dan persatuan ini tidak akan terwujud, kecuali atas dasar
tauhid diikat dengan tali Allah. Maka berpegang teguhlah kalian semua dengan tali
Allah dan jangan bercerai berai.

Persatuan yang ada hendaknya atas dasar agama, akidah dan mengikuti Sunnah
Rasulullah. Makna ini telah dijelaskan dalam banyak nash. Di antaranya firman Allah
dalam kitabNya :
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertakwa" [al Anam :153]
Allah telah menjadikan jalanNya dibangun di atas Sunnah, yang mana ia adalah
jalan Islam atau ditafsirkan dengan al Qur`an dengan segala kandungan hukumhukumnya, yang di dalamnya terdapat argumen dan penjelasan. Allah berfirman
(artinya): Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)!
Tatkala Rasulullah bersama para sahabatnya, ia menggaris di atas tanah garis yang
lurus dan menggariskan garis-garis lain di kanan dan kirinya. Kemudian beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjuk garis lurus tersebut seraya berkata: Ini
adalah jalan Allah. Dan beliau menunjuk garis-garis yang bercabang di kanan dan di
kirinya dengan mengatakan: Ini adalah jalan-jalan sesat, di setiap ujung jalan-jalan
ini terdapat setan yang menyeru kepadanya. Kemudian beliau membaca ayat ini
(QS al Anam : 153). [5]
Oleh karena itu, setiap hawa-nafsu, pendapat, bid'ah dan perkara baru (dalam
agama), pemikiran yang menyeleweng dan jauh dari al Kitab dan as Sunnah, jauh
dari dalil dan hujjah, sebagaimana firman Allah Taala:
"Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenarannmu jika kamu orang-orang yang
benar". [an Naml : 64].
Itu semua memisahkan dan menjauhkan dari kebenaran yang ada, serta mengikuti
hawa nafsu belaka.
Seorang hamba diperintahkan untuk mengikuti perintah Allah dan RasulNya, agar ia
menjadi seorang hamba yang mengikuti jalan Allah yang lurus. Bagaimana dia tidak
mengamalkan perintah ini? Dan bagaimana mungkin ia tidak ingin melakukan dan
berusaha untuk mengikutinya? Sementara ia telah berdoa siang dan malam kepada
Rabb-nya dalam setiap shalatnya, minimal 17 kali dengan mengatakan :

"Tunjukilah kami jalan yang lurus". [Al Fatihah:6]


Bagaimana mungkin ia meminta hidayah untuk ditunjukkan jalan yang lurus?
Padahal ia sendiri menyelisihi dan mengikuti hawa nafsunya, mengikuti perkaraperkara baru (dalam agama), mengikuti fikiran dan akal yang dangkal dan kurang
sehat.
Allah telah menjadikan hidayah kepada jalan lurus ini terikat dengan dua perkara:
Pertama dan yang paling penting adalah, taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Sebagaimana firman Allah, di dalam kitab yang menerangkan syarat
hidayah ini:





"Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk". [an Nuur :
54].
Dan ketaatan ini tidak akan bisa dilakukan dengan sempurna oleh seseorang, kecuali
bila ia beriman sebagaimana para sahabat beriman, bermanhaj dan berpaham
seperti manhaj dan pemahaman para sahabat, sebagaimana firman Allah:
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan dia
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami akan memasukkannya ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali". [anNisa':115]
Bahkan Allah Azza wa Jalla mengaitkan syarat hidayah dengan keimanan
sebagaimana keimanan para sahabat. Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk". [al Baqarah : 137].
Maksudnya, apabila mereka beriman -yakni orang-orang setelah kalian- seperti iman
kalian terhadapnya, yakni seperti para sahabat Rasul, maka mereka akan
mendapatkan hidayah. Ini adalah syarat dan pondasi pokok. Apabila hilang syarat
ini, maka janji dan hasil yang dikatakan serta permintaaan kita terhadap hidayah
tidak ada faidahnya dan sia-sia belaka.
Dengan ini semuanya, hendaknya kita mengoreksi diri dengan segala apa yang kita
lakukan, kita pikirkan dan kita bicarakan. Sehingga kita akan tetap terus berada di
atas jalan Allah yang lurus untuk terus melakukan ketaatan kepadaNya, mengikuti
kebenaran, untuk menuju kebenaran, yaitu Sunnah Nabi kita.
Terdapat dalam Sunnah Rasulullah yang menyebutkan secara jelas tentang
gambaran dan ibrah perpecahan yang ada, ia Shallallahu 'alaihi wa sllam bersabda :











,
) (







"Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, kaum Nashara terpecah menjadi 72
golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka
kecuali satu. Para sahabat bertanya,Siapakah mereka, wahai Rasulullah? Beliau
menjawab,Satu golongan itu adalah jamaah. (Dalam riwayat lain): Mereka itu
adalah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang pernah aku tempuh.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :










"Al jamaah adalah rahmat dan perpecahan adalah azab"
Ini semua menunjukkan penekanan terhadap makna persatuan umat. Dan
persatuan ini tidak akan terbangun kecuali di atas kebenaran yang berdasarkan

Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, di atas manhaj para sahabat Rasul yang masih
belum terlumuri dengan perkara- perkara bid'ah dan kesesatan. Para sahabat adalah
manusia paling baik hatinya dibandingkan manusia lain, paling dalam ilmu, paling
besar kecintaan dan ittiba` kepada Rasulullah. Karena kecintaan yang murni adalah
kecintaan yang terbangun di atas ittiba`, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang". [Ali Imran : 31].
Jadi, asas cinta kepada Rasulullah adalah ittiba (mengikuti) rasul dalam segala
ajarannya.
Adapun kecintaan yang dibarengi dengan penyelewengan, rasa cinta dan melakukan
bid'ah, maka hal ini tidaklah akan bertemu. Sebagaimana perkataan syair:
Kamu bermaksiat kepada Rasul, dan kamu mengaku mencintai beliau
Demi Allah, ini adalah permisalan yang sangat jelek.
Persatuan dalam Islam terbangun atas tauhid, ittiba` Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan manhaj Salaf dari para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin yang
merupakan manusia terbaik, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam :










"Sebaik-baik manusia adalah manusia pada zamanku, kemudian yang berikutnya
dan berikutnya".
Dan ada tambahan di selain Shahihain :






"Kemudian datang suatu kaum yang tidak ada kebaikan di dalamnya".
Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kaum ini telah menyelisihi manhaj generasi
terbaik yang telah mengikuti dan berjalan di atas petunjuk Rasul. Maka dicabutlah
kebaikan dari mereka sesuai dengan penyelewengan mereka dari para salaf.
Persatuan dalam Islam adalah hal utama yang diminta dari umat, dan wajib bagi
kita terus bersemangat untuk merealisasikannya, menjalankan dan menyerukan
persatuan tersebut.
Di dalam al Qur`an banyak contoh yang menerangkan kepada kita hakikat
persatuan, antara ada dan tiada.
Contoh yang menjelaskan, bagaimana persatuan dalam berakidah dan manhaj yang
benar telah menjadikan satu orang bisa dianggap satu jamaah. Dan contoh yang
menjelaskan, bagaimana kelemahan dan kegagalan bisa menjadikan suatu jamaah
dianggap seperti satu orang, bahkan individu-individu yang saling bertikai antara
satu dengan yang lainnya, Allah Azza wa Jalla menceritakan tentang bapaknya para
nabi, yaitu Nabi Ibrahim Alaihissalam :
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi

patuh kepada Allah dan hanif". [an Nahl : 120].


Padahal beliau Alaihissallam hanya seorang diri. Akan tetapi, seakan ia bagaikan
satu umat, umat yang menjadi panutan atau umat bagi dirinya sendiri. Sebaliknya,
Allah menyebutkan mencotohkan lawan dari sebelumnya, gambaran dari sifat
teman-teman kera, babi yang telah membunuh para nabi, menyelewengkan aqidah
yang benar dan merubah agama mereka. Dalam firmanNya, Allah mengkabarkan :








"Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah". [al Hasyr : 14].
Kemudian contoh ketiga adalah gambaran untuk para sahabat nabi, yang mana
persatuan mereka adalah anugerah dari Rabb mereka, karena mereka sebaik-baik
orang yang telah melanjutkan tongkat estafet kebenaran setelah para nabi, semoga
Allah meridhai mereka semua. Allah berfirman :
"Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan
hati mereka". [al Anfal : 63].
Sungguh, hati dan badan-badan mereka saling bersatu. Dalam firman Allah "kalau
seandainya kalian menginfakkan seluruh isi dunia", hal ini termasuk mengaitkan
sesuatu dengan hal yang mustahil bagi seorang manusia untuk melakukannya,
karena tidak mungkin ada seseorang yang bisa menginfakkan semua itu, baik emas,
uang dan barang berharga lainnya.
Kalaupun kamu bisa menginfakkan itu semua, maka kamu tidak akan dapat
menyatukan hati mereka, hati-hati mereka akan tetap bercerai-berai.
Bangsa Arab sebelum Islam termasuk dari umat yang tidak punya persatuan,
bahkan tidak dikenal kecuali dengan peperangan di antara mereka dan saling
membanggakan diri satu sama lain di dalam perkara atau sebab yang banyak.
Peperangan-peperangan ini merupakan bukti kuat, bahwa bangsa Arab sebelum
Islam tidaklah berarti. Kemudian datang Islam, turun kepada mereka al Qur`an dan
petunjuk yang benar, serta diutusnya Rasul Allah yang haq, merupakan nikmat dari
Allah dan Ia pun menyatukan hati-hati mereka.
Bagian awal dari ayat, Allah Azza wa Jalla menyebutkan kamu tidak akan dapat
menyatukan hati-hati mereka, lalu di bagian akhir disebutkan akan tetapi Allah
menyatukan mereka". Allah telah menganugerahkan kepadamu, sesuatu yang lebih
besar dari yang engkau inginkan. Engkau ingin menyatukan hati-hati mereka, akan
tetapi Allah menganugerahkan penyatuan hati dan badan. Tidak hanya hati mereka,
bahkan Allah telah menyatukan di antara mereka (hati dan badan mereka),
sehingga itu merupakan anugerah umatnya dari Allah, dengan bergabungnya antara
persatuan dengan tauhid. Allah berfirman :







"Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)". [an
Nahl : 53].
Dan firmanNya :









"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya".
[Ibrahim : 34].
Pembicaraan masalah persatuan dan kesatuan umat sangatlah luas, dalil-dalil yang
berkenaan dengan itu juga sangat banyak, akan tetapi karena perbedaan kaumlah
yang telah melupakan satu dengan yang lainnya.
Karena itu aku tutup pembicaraan ini dengan mengingatkan hadits Tamim ad Daariy,
ia berkata: bersabda Rasulullah :























"Din (agama) ini adalah nasihat" (tiga kali). Para sahabat bertanya : Nasihat bagi
siapa, wahai Rasulullah?. Nabi menjawab,"Nasihat terhadap Allah (maksudnya
dengan mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan niat dalam beribadah, Red), nasihat
terhadap kitabNya (maksudnya, dengan mengimaninya dan mengamalkan isinya,
Red), nasihat terhadap para pemimpin kaum Muslimin (maksudnya, dengan
mentaati mereka dan tidak memberontak) dan nasihat bagi kaum Muslimin secara
umum".
Juga, tauhid mengantarkan kepada tauhid (persatuan), persatuan akidah menyeru
kepada persatuan kata. Sehingga mereka saling bersatu sebagaimana yang
diperintahkan Allah k . Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan
takwa, dan jangan saling membantu dalam hal dosa dan permusuhan.
Di suatu hadits Abdullah bin Jarir berkata : Rasullah bersabda,"Baaya`na Rasulullah
ala sami wa toat wannush likulli muslim". ia menambahkan,"Rasulullah
membebankan kepada kita dengan apa yang kita mampu".
Semuai ini bertujuan untuk mengagungkan persatuan dalam jiwa-jiwa. Dan
hendaknya diketahui, bahwa hak saudaramu padamu, sama seperti hakmu pada
mereka. Dan sesungguhnya tidaklah sempurna iman seseorang, sampai ia mencintai
bagi saudaranya dengan apa yang ia cintai untuk dirinya.
Renungkanlah, betapa indahnya tatanan masyarakat ini, yang saling mencintai satu
sama lain, saling menolong, mengingatkan, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah
yang mungkar, dengan penuh kecintaan, kasih-sayang, rahmat dan kelembutan.
Membayangkan bagaimana bersatunya masyarakat dengan menampakkan
persatuan kata yang hanya dilandasi atas persatuan tauhid.
Saya berdoa kepada Allah agar menyatukan kaum Muslimin di atas Kitab dan
Sunnah RasulNya, menjauhkan dari segala fitnah yang ada, baik yang nampak atau
yang tidak, menghilangkan setiap bentuk kesyirikan, bidah dan perbedaan.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orangorang yang sabar". [al Anfal : 46].
Firman Allah :
"Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu

orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa


golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka". [Ar Ruum : 31-32]
Allah telah menjadikan sikap perpecahan sebagai ciri dari orang musyrik; bertauhid
dan bersatu sebagai ciri dari kaum Mukminin. Semoga Allah menjadikan kita semua
dari orang-orang yang selalu berpegang teguh di atas kebenaran, mewafatkan kita
di atasnya dan Sunnah RasulNya dengan tidak melakukan bid'ah, penyelewengan,
kerusakan dan kehinaan. Maha suci Allah yang kuasa untuk melakukan ini semua.
Wasallahu 'alan nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wasahbihi ajma'in.
Wa akhiru dakwana alhamdulillhi rabbil 'alamin.
[Diangkat dari ceramah Syaikh Ali Hasan hafizhahullah- di Masjid al Muhajirin
Malang, Kamis, 16 Februari 2006M]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya.
[2]. HR Bukhari dan Muslim.
[3]. HR Bukhari dan Muslim.
[4]. Yaitu : 1) Firman Allah berpegang teguhlah, perintah ini sudah mencakup
semua umat Islam. 2) FirmanNya kamu semua. 3) FirmanNya : janganlah kamu
bercerai-berai. (Red).
[5]. HR Ibnu Majah.

PERSATUAN UMMAT ISLAM


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan kaum Muslimin dan melarang
mereka berpecah belah, sebagaimana firman Allah :


Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai... [Ali Imran: 103]
Allah Azza wa Jalla berfirman:

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali Imran: 105]

Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah


yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada golongan mereka. [Ar-Ruum: 31-32]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
.
Berjamaah adalah rahmat sedangkan berpecah-belah adalah adzab. [1]
Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan yang dilandasi dengan Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Bukan persatuan
yang semu dan sesat. Ahlus Sunnah tidak menyeru kepada perkaraperkara yang dapat memecah belah persatuan kaum Muslimin. Persatuan
yang dikehendaki ialah persatuan menurut pemahaman ulama Salaf dan
orang-orang yang mengikuti manhaj (pedoman) mereka. Bukan menurut
pemahaman pengikut hawa nafsu dan hizbiyyah.[2]
Ahlus Sunnah Mengajak Kaum Muslimin Kepada Persatuan Di Atas Sunnah.
Jika kaum Muslimin bersatu di atas Sunnah, mereka akan mendapatkan
rahmat Allah Azza wa Jalla, kebaikan dan kekuatan. Dan jika mereka
berselisih, yang terjadi adalah kelemahan, kekalahan dan kehancuran.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
[Al-Anfaal: 46]
Namun wajib diketahui bahwa persatuan itu dibangun di atas ittiba
(ketaatan) kepada As-Sunnah bukan di atas bidah. Kebanyakan firqahfirqah yang mencela adanya perpecahan dan mengajak kepada
persatuan, yang mereka maksud dengan perpecahan adalah golongan
yang menyelesihi mereka meskipun golongan itu berada di atas
kebenaran. Sedangkan yang mereka maksud dengan persatuan adalah
kembali kepada prinsip dan manhaj mereka. Padahal prinsip dan manhaj
mereka telah menyimpang dari jalan ash-Shirath al-Mustaqiim (jalan yang
lurus). Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan hendaklah dikembalikan
kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
pemahaman Salafush Shalih.[3]
Ahlus Sunnah menyuruh kepada persatuan ummat Islam atas dasar
Sunnah dan melarang berpecah-belah serta bergolong-golongan. Ahlus
Sunnah juga menyuruh ummat Islam untuk berada dalam satu barisan di

atas Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghadapi


musuh-musuh mereka. Adapun kelompok-kelompok bawah tanah,
jamaah-jamaah sempalan dan baiat-baiat yang dikenal sebagai baiat
dakwah merupakan penyebab timbulnya perpecahaan dan fitnah
(pertikaian). Baiat hanya boleh diberikan kepada orang yang ditunjuk
oleh ahlul halli wal aqdi (semacam lembaga yudikatif) atau kepada
seorang Muslim yang berkuasa dengan kekuatannya, meskipun ia seorang
yang zhalim.
Ahlus Sunnah berpendapat tentang hadits:
... .
...Barangsiapa mati sementara ia belum berbaiat, maka kematiannya
terhitung kematian secara Jahiliyyah. [4]
Sanksi yang tersebut dalam hadits di atas ditujukan kepada orang yang
tidak membaiat penguasa yang telah ditunjuk dan disepakati oleh ahlul
halli wal aqdi. [5] Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal ketika menjawab pertanyaan Ishaq bin Ibrahim bin Hani tentang
hadits di atas. Beliau (Imam Ahmad) menjawab: Yang dimaksud dengan
Imam adalah yang kaum Muslimin seluruhnya berkumpul untuk
membaiatnya, itu adalah Imam dan demikianlah makna hadits ini. Tidak
sebagaimana yang diklaim oleh setiap jamaah atau kelompok. [6]
Al-Katsiri dalam kitabnya, Fa-idhul Baari berkata: Ketahuilah bahwa
hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dianggap baiat yang sah
adalah yang dibaiat oleh seluruh kaum Muslimin. Kalau seandainya ada
dua orang atau tiga orang yang membaiat, maka hal itu tidak dikatakan
Imam sampai dibaiat oleh kaum Muslimin atau ahlul halli wal aqdi.[7]
Jadi ancaman tentang orang yang meninggalkan baiat diancam dengan
mati Jahiliyyah itu berlaku bagi orang yang tidak berbaiat kepada Imam
yang berkumpul padanya seluruh kaum Muslimin atau yang diwakilkan
oleh ahlul halli wal aqdi. Adapun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
(jamaah-jamaah) adalah baiat yang bidah yang harus ditinggalkan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhu, yaitu ketika tidak adanya jamaah
dan imam, maka ia harus meninggalkan semua jamaah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
:

...

.
... Hendaklah engkau berpegang teguh (bersatu) kepada jamaah dan
imam kaum Muslimin. Kemudian Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya:
Bagaimana kalau mereka sudah tidak mempunyai jamaah dan imam
lagi? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: Jauhilah semua

kelompok tersebut, meskipun harus menggigit akar pohon, hingga engkau


mati dalam keadaan seperti itu. [8]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad (IV/278) dan Ibnu Abi Ashim (no. 93), dari Sahabat anNuman bin Basyir Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 667).
[2]. Lafazh hizb ada beberapa makna ditinjau dari aspek bahasa, al-Fairuz
Abadi dalam Bashaairu Dzawit Tamyiizi (II/457) mengatakan al-hizb adalah
kelom-pok (golongan). Al-Ahzaab adalah kumpulan orang-orang yang
bersekutu me-merangi para Nabi. Sedangkan dalam al-Qur-an terdapat
beberapa sudut pandang:
1. Bermakna beberapa golongan yang berada dalam perbedaan
pandangan, syariat, dan agama. Setiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada mereka. (QS. Ar-Ruum: 32)
2. Bermakna tentara syaithan. (QS. Mujaadilah: 19)
3. Bermakna tentara Allah. (QS. Mujaadilah: 22)
4. Mereka di dunia adalah sebagai pemenang. (QS. Al-Maa-idah: 56)
5. Akibat (balasan) bagi mereka adalah sebagai pemenang yang
beruntung.
Berkata Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfury, Al-Hizb secara bahasa
adalah: Golongan/kumpulan dari manusia, berkumpulnya manusia karena
adanya sifat yang bersekutu atau kemashlahatan yang menyeluruh.
Mereka terikat oleh ikatan aqidah dan iman atau ikatan kekufuran,
kefasikan, kemaksiyatan atau terikat karena (adanya perasaan)
kebangsaan dan setanah air atau (ikatan) nasab/keturunan, pekerjaan,
bahasa, atau apa-apa yang serupa dengan ikatan-ikatan tersebut, kriteria,
kemaslahatannya yang secara adat manusia berkumpul di atasnya dan
bersatu karena sifat-sifat tersebut.
Bukanlah sesuatu yang tersembunyi bagi seseorang yang berakal bahwa
setiap hizb mempunyai prinsip-prinsip, pemikiran, sandaran yang sifatnya
intern dan teori-teori yang menjadi patokan sebagai undang-undang bagi
kelompok hizb. Meskipun sebagian mereka tidak menyebutnya sebagai
undang-undang.
Undang-undang tersebut kedudukannya sebagai asas yang menjadi dasar
berpijaknya sistem pengorganisasian hizb dan hizb sengaja dibangun
berdasarkan undang-undang tersebut.
Barangsiapa yang percaya dan meyakininya dengan sungguh-sungguh
maka pada akhirnya dia akan mengakuinya, mengambilnya sebagai asas
pergerakan dan amal jamai yang tersusun rapi dalam hizb tersebut.
Sehingga ia menjadi anggotanya atau pendukung setianya. Yang tidak
setuju/menolak, maka ia tidak termasuk anggota hizb. Maka, undang-

undang itu asasnya wala (kesetiaan/ loyalitas) dan bara (permusuhan)


persatuan dan perpecahan, kepedulian dan ketidakpedulian.
Atas pertimbangan yang demikian maka sesungguhnya di dunia ini hanya
ada dua hizb, yaitu hizb Allah dan hizb syaithan, yang menang dan yang
kalah, yang Muslim dan yang kafir.
Orang yang memasukkan hizb Allah ke dalam hizb (kelompok,
pergerakan, jamaah-jamaah) yang lain maka dia telah merobek-robek
hizb Allah, memecah belah kalimat Allah.
Seorang muslim harus meninggalkan dan menanggalkan semua bentuk
hizbiyyah yang sempit dan terkutuk yang telah melemahkan hizb Allah,
dan tidak boleh toleran kepada semua kelompok/golongan/jamaah
supaya agama Islam ini seluruhnya milik Allah. (Lihat ad-Dawah ilallaah
bainat Tajammu al-Hizbi wat Taaawun asy-Syari, hal. 53-55 oleh Syaikh
Ali Hasan al-Halabi al-Atsari.)
[3]. Lihat QS. An-Nisaa: 59.
[4]. HR. Muslim (no. 1851) dan al-Baihaqy (VIII/156) dari Sahabat Ibnu
Umar.
[5]. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah no. 984.
[6]. As-Siraajul Wahhaaj fii Bayaanil Minhaaj (no. 181), oleh Abul Hasan
Mushthafa bin Ismail as-Sulaimani al-Mishri, cet. I/Maktabah al-Furqan, th.
1420 H.
[7]. Fa-idhul Baari (IV/59), dikutip dari Nashiihah Dzahabiyyah ilal
Jamaaaatil Islaamiyyah (hal. 10) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, taliq
dan takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. I/Daar ar-Raayah, th. 1410
H.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 7084) dalam Kitaabul Fitan bab Kaifal Amr idzaa
Lam Takun Jamaaah (bab: Bagaimana Urusan Kaum Muslimin Apabila
Tidak Ada Jamaah), Muslim (no. 1847) dalam Kitaabul Imaarah bab
Wujuub Mulaazamah Jamaaatil Muslimiin inda Zhuhuuril Fitan wa fi Kulli
Haal wa Tahriimil Khuruuj alath Thaaati wa Mufaaraqatil Jamaaah (bab:
Keharusan Mengikuti Jamaah Kaum Muslimin Ketika Terjadi Fitnah dalam
Segala Kondisi, dan Diharamkannya Membangkang (Tidak Taat kepada Ulil
Amri) dan Meninggalkan Jamaah).

Anda mungkin juga menyukai