Anda di halaman 1dari 13

HERMENEUTIKA DAN ULUM AL-TAFSIR

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:

HERMENEUTIKA

Dosen pengampu:

Dr. Chafid Wahyudi, M.Fil.I.

Disusun oleh:

Afkar Nur Madani

NIMKO :

202112134112

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

INSTITUT AL FITHRAH

SURABAYA

2023-2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menafsirkan AI Quran, penafsir harus menguasai beberapa
bidang ilmu agar dapat menafsirkan sesuai kaidah tafsir Islam. Jika penafsir
tidak memiliki keterampilan penerjemahan yang memadai, penafsir tidak
diperbolehkan melakukannya. Metode penafsiran yang digunakan harus sesuai
dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, para Tabi'in, dan
ulama yang mumpuni. Dengan kata lain, mereka adalah orang referensi yang
paling penting. Namun akhir-akhir ini kita umat Islam dikejutkan dengan
berbagai serangan aliran ideologi liberal, baik dari kaum orientalis maupun umat
Islam yang dipengaruhi pemikiran Barat. Hermeneutika muncul dari ilmu
penafsiran. Pengetahuan yang semula diterapkan pada penafsiran Al-kitab kini
harus diterapkan pada penafsiran berbagai kitab suci, khususnya al-Qur'an.
A. Pentingnya mengetahui informasi hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur'an,
apalagi saat ini kita sudah memasuki era digital, perlu sering disebarluaskan agar
tidak hilang seiring berjalannya waktu. Melalui sosialisasi lebih lanjut informasi
hermeneutis dalam penafsiran Al-Qur'an, akan menjadi langkah pengembangan
dan penyebaran informasi terkait sejarah kitab suci Islam, sehingga diharapkan
informasi mengenai pengertian kirat dan kaidah sistem kirat yang benar tidak
hilang pada era tahun dan tampil lebih terkontrol dalam hal informasi. Secara
khusus, pentingnya kontrol, termasuk kontrol atas transmisi informasi
hermeneutik dalam penafsiran Al-Qur'an diungkapkan dalam banyak ayat Al-
Qur'an, dan ini adalah bagian darinya. Strategi Penyebaran Informasi Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Teori-teori Penafsiran (Interpretasi)?
2. Bagaimana Siginfikasi Hermeneutika Dalam Ulumul Al-Tafsir?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori-Teori Penafsiran (Interpretasi)


Definisi Interpretasi
Gracia menyatakan bahwa suatu teks bersifat historis dalam arti ditulis
oleh seorang pengarang tunggal atau muncul pada waktu dan tempat tertentu.
Oleh karena itu, teks selalu menjadi bagian dari masa lalu, dan ketika kita
berinteraksi dengannya, kita bertindak sebagai sejarawan dan mencoba
memulihkan masa lalu.Permasalahannya adalah jarang sekali penafsir
mempunyai akses langsung terhadap makna teks tertentu.
Penerjemah hanya mempunyai akses pada entitas yang digunakan
penulis teks untuk menyampaikan pesan atau makna tertentu. Oleh karena itu,
upaya untuk menemukan kembali makna sejarah merupakan persoalan
mendasar dalam hermeneutika dan dapat menentukan sifat dan fungsi
interpretasi.
Gracia berupaya memberikan solusi terhadap permasalahan hermeneutik
ini. Menurutnya, solusi tersebut terdapat dalam apa yang disebutnya sebagai
“perkembangan penafsiran tekstual”, yang bertujuan untuk menjembatani
kesenjangan antara konteks di mana sebuah teks muncul atau dihasilkan dan
keadaan di sekitarnya. Mencoba memahami makna dan implikasi dokumen
sejarah (pembaca/penafsir dokumen).
Interpretasi, menurut Gracia, melibatkan tiga hal: (1) teks yang
ditafsirkan (interpretandum), (2) penafsir, dan (3) keterangan tambahan
(interpretans). Interpretandum adalah teks historis, sedangkan interpretans
memuat tambahan-tambahan ungkapan yang dibuat oleh penafsir sehingga
interpretandum lebih dapat dipahami. Dengan demikian, penafsiran terdiri dari
keduanya : Interpretantum dan interpretans .
Fungsi Interpretasi
Gracia menegaskan, fungsi interpretasi secara umum adalah menciptakan
pemahaman terhadap teks yang ditafsirkan di benak khalayak modern. Dia
mengklasifikasikannya menjadi tiga jenis fungsi spesifik: fungsi historis, fungsi
semantik, dan fungsi implisit. Pertama, penafsiran membantu memulihkan pikiran

2
pembaca modern mengenai pemahaman yang dimiliki oleh penulis teks dan
pembaca sejarah. Inilah yang dimaksud dengan fungsi sejarah. Fungsi penafsiran
yang kedua adalah menggunakan penafsiran modern untuk membantu khalayak
modern memahami “makna” suatu teks, baik makna tersebut sesuai dengan maksud
penulis teks tersebut atau tidak bagi para pembaca sejarah.penonton.tidak punya.
Fungsi ketiga adalah menciptakan pemahaman dalam benak khalayak modern,
sehingga memungkinkan mereka memahami makna teks yang ditafsirkan.
Telah disebutkan di atas bahwa penafsiran harus memuat informasi
tambahan untuk penafsiran. Hal ini mengarah pada apa yang disebut Gracia sebagai
“dilema penafsir”, terutama dalam kaitannya dengan fungsi penafsiran sejarah.
Menambahkan informasi berarti, di satu sisi, mendistorsi teks yang
ditafsirkan, dan di sisi lain, tanpa menambahkan informasi (interpretasi), teks yang
ditafsirkan menjadi kontemporer yang jauh secara budaya dan waktu. Interpretasi
mungkin tidak dapat membuatnya dapat dimengerti oleh audiens. Untuk mengatasi
permasalahan atau dilema tersebut, Gracia mengemukakan apa yang disebutnya
dengan “prinsip pemahaman proporsional”. Prinsip ini menyatakan bahwa
proporsi/jumlah/jumlah pemahaman yang dimiliki khalayak modern harus sama
dengan proporsi/jumlah/jumlah pemahaman yang dimiliki oleh pengarang dan
khalayak sejarah terhadap teks yang ditafsirkan. Jadi tujuan penafsirannya adalah:
to create a text that produces in the audience (the contemporary audience)
acts of understandings that are intentionally the same to those produced by
the historical text in the historical author and the historical audience of the
historical text.
(... untuk menciptakan teks penafsiran yang dapat membentuk di benak audiens
kontemporer pemahaman-pemahaman yang secara intensional sama dengan
pemahaman-pemahaman yang diciptakan oleh teks historis dalam benak pengarang
dan audiens historis dari teks historis tersebut).
Macam-macam Interpretasi
Gracia kemudian membagi interpretasi menjadi dua bagian: (1) interpretasi
tekstual dan (2) interpretasi non tekstual. Apakah suatu penafsiran termasuk dalam
tipe pertama atau kedua tergantung pada tujuan penafsiran tersebut. Penafsiran
tekstual didefinisikan olehnya sebagai berikut: Ini adalah penafsiran suatu teks
dengan menambahkan ke dalam teks yang sedang ditafsirkan semua informasi yang

3
dianggap sangat penting oleh penafsir untuk mencapai hasil tertentu dalam pikiran
khalayak modern.
Hasil penafsiran ini dapat berupa salah satu dari tiga bentuk: (1)
Penciptaan/penemuan pemahaman bagi pengarang suatu dokumen sejarah
(historical author) dan khalayak sejarah, dengan kata lain pemahaman makna
sebagaimana ditafsirkan oleh pengarang suatu dokumen sejarah. hadirin. (2)
menghasilkan suatu pemahaman yang makna suatu teks dapat dipahami oleh
khalayak modern, baik makna yang dipahami tersebut sama persis dengan makna
yang dimiliki oleh pengarang teks tersebut atau khalayak sejarah; (3) menghasilkan
pemahaman yang implikasi makna teksnya dapat dipahami oleh khalayak masa kini;
Dengan pengertian tersebut, penafsiran teks dapat dipahami sebagai upaya
untuk menangkap makna (interpretandum) suatu teks yang ditafsirkan.Secara
umum, berdasarkan realitas praktik penafsiran, penafsiran tekstual bertujuan untuk
menangkap makna asli/historis dari suatu penafsiran sebagaimana yang
dimaksudkan oleh penulis teks asli dan khalayak asli, dan yang baru bertujuan untuk
menciptakan makna. Dengan premis bahwa penafsir berperan dalam menciptakan
makna dari konteks di mana ia muncul.
Hal ini bertujuan untuk menangkap makna bagaimana sebuah teks tertentu
diinterpretasikan atau makna dari sebuah teks tertentu. Di sini penjelasan Gracia
tentang ketiga bentuk tujuan dan hasil penafsiran tidak mengacu pada konsep
kebenaran penafsiran (kebenaran), tetapi merujuk secara eksklusif pada realitas
penafsiran. Bentuk penafsiran yang kedua, yaitu penafsiran non-harfiah,
didefinisikan oleh Gracia sebagai berikut: Penafsiran non-harfiah adalah penafsiran
yang mungkin didasarkan pada penafsiran teks asli tetapi mempunyai tujuan lain di
luar tujuan utamanya. Namun tujuan ini juga mencakup atau merupakan bentuk
pemahaman.
Berdasarkan pengertian di atas, penafsiran nontekstual tidak mengungkap
makna teks asli atau implikasi makna teks asli, sebagaimana halnya penafsiran
tekstual, melainkan mengungkap sesuatu di balik makna teks asli.
Menurut Gracia, penafsiran sejarah merupakan salah satu contoh penafsiran
non tekstual. Penafsiran sejarah tidak hanya berinteraksi dengan makna dan
implikasi teks yang ditafsirkan, atau kata-kata Amin al-Kuri “ma fi n-nashsh” (isi
teks), tetapi juga dengan apa yang melingkupi teks yang diidentifikasi.ma-hawrah-

4
n-nashush). Menarik untuk dicermati ungkapan Gracia berikut ini: Tujuan utama
sejarawan adalah menyajikan informasi tentang masa lalu, dan informasi ini tidak
hanya mencakup interpretasi teks asli, tetapi juga konteks yang lebih luas di mana
teks tersebut ditulis. Hal ini juga mencakup rekonstruksi konteks (historis).
ditafsirkan berdiri. diedit, gagasan/pemikiran yang tidak diungkapkan oleh
pengarang teks dalam bentuk tertulis atau lisan, (terungkap), dan hubungan antar
teks yang berbeda, baik yang diedit oleh pengarang teks atau pengarang lain,
(terungkap), ) hubungan sebab-akibat antar teks, dll.
Singkatnya, interpretasi sejarah, serta interpretasi lainnya seperti
interpretasi psikologis, interpretasi filosofis, interpretasi hukum, interpretasi ilmiah,
interpretasi sastra, interpretasi spiritual, dll. Interpretasi non-tekstual bertujuan
untuk menciptakan pemahaman.Hal ini tidak hanya menyangkut teks yang
ditafsirkan, makna dan implikasinya, tetapi juga hubungan teks tersebut dengan hal
lain.
Jika kita perhatikan teori tentang hakekat interpretasi yang dikemukakan
oleh Gracia, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa interpretasi baik yang tekstual
maupun non-tekstual, mengandung informasi-informasi tambahan selain makna
yang dimaksud oleh pengarang teks.
B. Siginfikasi Hermeneutika Dalam Ulumul Al-Tafsir
1. Membangun Ulumul Qur’an/Ilmu Tafsir yang Sophisticated dan
Filosofis
Kita menyadari bahwa saat ini di dunia islam hampir tidak
kita temukan karya-karya tentang Ilmu Tafsir yang filosofis. Di
pihak lain, hal ini, yang biasa diistilahkan dengan philosophical
hermeneutics, yakni cabang dari Hermeneutika Umum (General
Hermeneutics) yang membahas tentang hal-hal yang mendasari
praktik penafsiran (tafsir; exegesis; Auslegung; Hermeneuse) dan
metode penafsiran, telah berkembang dengan sangat pesat, dan telah
menghasilkan banyak karya dalam bidang ini, seperti Truth and
Method (karya Hans Georg Gadamer) dan A Theory of
Interpretation (karya Gracia) yang sedang kita bahas ini. Lebih dari
itu, Dunia Barat telah mencapai apa yang mereka sebut dengan
hermeneutical philosophy (filsafat hermeneutis).

5
Jarang ditemukakannya karya-karya Ulumul Qur'an yang
filosofis mungkin disebabkan oleh faktor pragmatis, dalam arti
bahwa Ulumul Qur'an hanya dipandang sebagai aspek pedagogis
dalam bidang metode penafsiran Al-Qur'an. Apa yang ada di bidang
ilmu tersebut hanya hal-hal yang applicable dalam praktik
penafsiran. Para ulama Ulumul Qur'an tidak memandang penting
kalau aspek-aspek metodis perlu dibubuhi dengan penjelasan-
penjelasan filosofis. Meskipun demikian, embrio hermeneutika
filosofis telah ada di masa klasik dalam sejarah Islam, seperti dalam
Qanun al-Ta'wil (karya al-Ghazali) dan Fashl al-Maqal (Ibn Rusyd).
Di masa sekarang, beberapa karya Nashr Hamid Abu Zaid, Hasan
Hanafi dan Muhammed Abid al-Jabiri memang to some extent bisa
digolongkan karya- karya Ulumul Qur'an yang bernuansa filosofis.
Model seperti ini masih terus kita butuhkan perkembangannya.
Untuk mengembangkan Ulumul Qur'an menjadi para ulama
saat ini tentunya perlu mempelajari apa-apa yang telah digagas oleh
ulama terdahulu dan ahli-ahli hermeneu dalam tradisi Barat. Mereka
mengambil hal-hal yang dari tradisi Islam, karena, selain telah ada
embrionya yang perlu dikembangkan, hal-hal tersebut memiliki
kesamaan kultur teologis. Adapun 'keharusan' mereka mempelajari
dan mengambil pemkiran-pemikiran Barat dalam bidang ini
(hermeneutika filosofis) didasarkan pada kenyataan bahwa ahli-ahli
hermeneutika Barat saat ini telah mencapai tingkat pemikiran
semacam itu, bahkan, sebagaimana yang telah dikemukakan,
mereka telah sampai ke tingkat filsafat hermeneutis. Semua ini
tampaknya akan memperkuat posisi Ulumul Qur'an di masa yang
akan datang. Dalam hal ini, penulis ingin memberikan beberapa
contoh pengembangan konsep-konsep dalam Ulumul Qur'an berikut
ini.
2. Membuat Definisi Tafsir Lebih sophisticated
Dalam kitab Ulumul, kata tafsir yang secara etimologis
berarti kashf (membuka) dan bayan (menjelaskan), dalam konteks
Al-Quran diartikan sebagai berikut: “Fam kitab Allah al-munazzal”

6
ala nabiyyihi Muhammad wa-bayan ma’ anihi wa-istikraji ahgamihi
wa-higamihi” 197 (Pengertian Kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, penjelasan maknanya dan Dari definisi al-
Zarqassi, kita Dapat dilihat bahwa ada tiga kegiatan penting dalam
penafsiran Al-Qur'an: (1) pemahaman (fam, pemahaman); (2)
penjelasan ( ) dan (3) sarikan (istikhraj, sarikan, sari).
Ketiga komponen tersebut pada dasarnya mencakup hal-hal
yang sangat penting dalam memaknai kegiatan, namun definisi ini
tidak menjelaskan secara halus apa perbedaan fam, bayan, dan
istikrai, dan barangkali al-Zarkasi ingin para pembacanya langsung
berkonsultasi dengan sumber lain. Namun, tanpa penjelasan
langsung berikut definisi ini, pembaca mungkin tidak menyadari
perbedaan besar antara ketiga kata kunci tersebut. Penulis yakin,
gambaran Gracia tentang hakikat pengertian dan penafsiran
(khususnya mengenai pengertian dan fungsi penafsiran) dapat
melengkapi definisi tersebut. Gracia memberikan penjelasan yang
agak panjang tentang fam (pemahaman), kata dalam bahasa Inggris
yang berarti "pemahaman".
Ia mendefinisikan istilah tersebut sebagai berikut: ``Tetapi
pemahaman tidak sama dengan makna. Pemahaman adalah sejenis
tindakan mental di mana seseorang menangkap sesuatu; 198 (tetapi
pemahamannya tidak sama). Hal yang sama juga berlaku pada
“makna” (makna). Pemahaman adalah suatu jenis aktivitas mental di
mana seseorang memahami sesuatu, dan dalam kasus sebuah teks,
itulah makna dari teks tersebut. Dari definisi ini kita dapat melihat
bahwa pemahaman adalah tindakan mental dalam mencoba
menangkap makna suatu teks. Oleh karena itu pemahaman ini
bersifat psikologis dan personal, dalam artian menjadi milik
pembaca teks sebelum diungkapkan secara terbuka, baik lisan
maupun tulisan. Mengenai bayan (penjelasan) yang merupakan salah
satu unsur tafsir yang paling penting, dapat dikatakan merupakan
kelanjutan dari fam dalam arti teks tersebut muncul dalam jiwa atau
hati seseorang setelah memahaminya. Melaksanakan kegiatan lain

7
yang menyampaikan pesan yang terkandung dalam teks kepada
masyarakat, baik secara lisan maupun tertulis, dengan memberikan
informasi dan analisis tertentu. Ini disebut Bayan. Namun sangat
disayangkan Pak Zarkassy tidak menjelaskan lebih detail tentang
kata bayan.
Namun hal itu tidak bisa diharapkan darinya, karena gaya
penulisannya dulu mungkin berbeda dengan sekarang. Mungkin para
ahli Urmul Quran di zaman modern seharusnya melakukan hal ini,
namun kenyataannya tidak demikian. Teori fungsi interpretatif,
khususnya fungsi historis dan semantik yang dikemukakan oleh
Gracia membantu menjelaskan bentuk bhajan. Demikian pula
konsep istiklazi afkamihi wahikamihi (menyatakan hukum dan
hikmah) juga serupa. Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut dengan
teori Gracia tentang fungsi implisit interpretasi. Informasi tersebut
hendaknya dicantumkan dalam penjelasan pengertian tafsir dalam
tradisi Islam, karena akan sangat membantu pembaca dalam
memahami aspek-aspeknya. Namun nyatanya hal tersebut tidak
ditemukan dalam kitab Urmul Quran. Dalam memberikan definisi
terhadap istilah tafsir, perpaduan antara tradisi Islam dan Barat,
khususnya teori gracia, menjadikan definisi tersebut lebih bernuansa
dan tentu saja mendalam.
3. Memperkuat Etika Dalam Penafsiran
Akhir-akhir ini di kalangan umat Islam bermunculan kelompok-
kelompok 'fundamentalis' yang memandang bahwa hanya penafsiran
merekalah yang benar. Pandangan semacamini jelas telah keluar dari
etika penafsiran. Etika yang benar adalah sebaliknya, yakni kita tidak
boleh mengklaim kebenaran pada diri kita, karena dalam penafsiran
terdapat banyak hal yang menghalangi penafsir untuk sampai kepada
kebenaran eksegetik tunggal.
Secara prakstis para ulama terdahulu sebenarnya telah
memberikan pelajaran kepada kita agar kita tidak terjebak dalam truth
claim. Imam Syafi'i, misalnya, pernah mengatakan: "Pendapatku benar,
tapi ada kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain itu salah,

8
tapi mungkin juga benar."Pernyataan ini menunjukkan kepada kita
bahwa beliau tidak memandang pendapat dirinya yang paling benar.
Sikap saling menghormati antarmadzhab fikih, tasawwuf dan filsafat di
kalangan para ulama juga menunjukkan secara jelas bahwa bahwa
mereka berada dalam etika penafsiran yang benar. Etika semacam ini
tentunya harus terus diperkuat dan dikembangkan.
Teori pluralitas penafsiran, keberagaman fungsi penafsiran dan
truth value serta sisi obyektivits dan subyektivitas penafsiran yang
dikemukakan oleh Gracia kiranya dapat memperkuat etika dalam
penafsiran teks Al-Qur'an yang telah dipraktikkan oleh para ulama
tersebut. Mempelajari hermeneutika semacam ini, di samping juga
Ushul Fikih, akan membuka wawasan umat Islam untuk selalu
menempatkan sikap toleran terhadap perbedaan penafsiran.
4. Pengembangan Penafsiran Al-Qur’an
Teori fungsi interpretasi yang ditawarkan oleh Gracia dapat
digunakan oleh kita dalam upaya mengembangkan penafsiran ayat-
ayat Al-Qur'an. Dengan fungsi historis, seorang penafsir akan
melakukan analisa lingusitik dan analisa historisterhadap suatu ayat
tertentu yang sedang ditafsirkan. Analisa linguistik dilakukan
dengan memperhatikan penggunaan kata atau struktur tertentu
dalam suatu ayat pada masa diturunkannya. Adapun analisa historis
dilakukan dengan memperhatikan sabab al-nuzul mikro dan makro.
Selain itu, metode intratekstualitas, yakni relasi antara ayat yang
sedang ditafsirkan dengan ayat-ayat lain. Bila diperlukan, seseorang
juga bisa menggunakan metedo intertekstualitas, yakni hubungan
antara ayat Al-Qur'an dengan teks-teks lain, seperti hadis, syi'ir dan
lain-lain. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan historical
meaning (makna histioris) dan maksud pesan utama suatu ayat.
Setelah seseorang mendapatkan makna historis dan maksud
utama ayat, ia selanjutnya dapat mengembang penafsirannya dengan
melakukan meaning function (fungsi pengembangan makna).
Makna historis tertentu dikembangkan untuk konteks kekinian.
Pengembangan makna ini dilakukan dengan tetap memperhatikan

9
basic meaning (makna dasar) suatu kata atau istilah dan maksud
utama ayat.
Terakhir, seorang penafsir juga bisa memperdalam
penafsirannya dengan mengunakan implicative function (fungsi
implikatif), yakni bentuk penafsiran atas ayat tertentu dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan dan bidang-bidang ilmu lain,
seperti antropologi, sosiologi, psikologi, kedokteran dan lain-lain,
sebatas kemampuan yang dimiliki olehnya.

10
BAB III

PENUTUP

11
DAFTAR PUSTAKA

Gracia, , A Theory of Textuality.

12

Anda mungkin juga menyukai