DI DALAM AL-QUR’AN
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang selalu
memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
kelompok mata kuliah Hermeneutik. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan pada baginda Nabi Muhammad SAW pembawa umat minazhulumati
ilannur.
Sebagaimana dalam peribahasa bahwa “tak ada gading yang tak retak” ,
dalam penyusunan makalah ini pun kami menyadari bahwa banyak sekali
kekurangannya, maka dari itu kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
penyusunan di masa yang akan datang sangat kami harapkan.
i
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ........................................................................................ 14
B. Saran .................................................................................................. 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
iii
semakin progressif. Hal yang kemudian menjadi sangat menarik dalam
pendekatan hermeneutic ini adalah ketika teks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu
yang sacral dan semua ayat bisa dipahami. berangkat dari latar belakang di atas,
maka dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang Penerapan dan cara
kerja hermeneutika dalam Alqu’ran.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
i
v
v
BAB II
PEMBAHASAN
1
Dalam ruang lingkup kesusasteraan, kebutuhan tentang hermeneutik
sangatlah ditekankan. Tanpa interpretasi atau penafsiran, pembaca tiak akan
mengerti atau menangkap jiwa zaman dimana kesusasteraan itu dibuat. Siapa yang
tidak tahu karya Shakespeare? yang selalu ditafsirkan berbeda diantara
zamannya.
Dalam bidang Filsafat, terpenting lagi. Hermeneutik amat berperan.
Bukankah pada kenyataannya, keseluruhan Filsafat adalah interpretasi,
pembahasan seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia
merupakan kerja interpretasi. Jelaslah bahwa kembalinya minat hermeneutik
terletak di dalam Filsafat. Namun dalam Filsafat tidak ada aturan baku untuk
melakukan interpretasi, seperti yang terjadi dalam lingkup kesusasteraan.
Bagaimana interpretasi yang dimainkan oleh Aritoteles terhadap gurunya
Plato? Aristoteles yang menyatakan “Amicus Plato Sed Magis Amica Vertas”
(Plato adalah seorang sahabat, tetapi sahabat yang lebih akrab lagi adalah
kebenaran). Artinya menurut Aristoteles di sini belum mengajarkan kebenaran
sebagaimana yang diinginkan oleh Aristoteles.
Mungkin saja, Aristoteles “sedikit” kurang tahu jasa dan budi Plato,
seperti yang pernah dikemukakan oleh Alfred North Whithead (1965: 53)
“seluruh filsafat barat tidak lain adalah catatan kaki filsafat Plato”
Cara pandang berbeda terhadap Plato melalui hermeneutika, makna dapat
saja berbeda berdasarkan siapa yang menafsirkannnya, keadaan khusus yang
berkaitan dengan waktu, tempat, ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah
peristiwa bahasa.1
Dengan demikian, penggunaan hermeneutik jelas merupakan penggunaan
filsafat sebagai metode interpretasi atau penafsiran itu sendiri. Dari uraian di atas,
dapatlah disimpulkan antara hermeneutik dan filsafat tidak dapat dipisahkan.
Melalui bahasa kita berkomunikasi, namun melalui bahasa pula kita bisa
salah paham dan salah tafsir. Arti dan makna dapat kita peroleh tergantung dari
banyak faktor, antara lain siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan
dengan waktu atau latar belakang, tempat ataupun situasi yang mewarnai suatu
1
E.sumaryono, “hermeneutik: sebuah metode filsafat”, (Yogyakarta: Kanisisus, 1999) hlm.28-29
2
arti peristiwa bahasa. Contoh arti “kekeluargaan”bagi masyarakat pedesaan akan
berbeda dengan masyarakat kota yang mengartikan.2
Pada intinya hermeneutika memiliki berbagai macam metodologi dalam
perjalanannya sebagai disiplin ilmu penafsiran, meski demikian dalam tulisan ini
penulis hanya akan fokus membahas dua macam cara kerja hermeneutis
sebagaimana yang diungkapkan oleh Mudja Raharjo yaitu hermeneutika
intensional ala Hirsch dan hermeneutikan efektual ala Gadamer.
Hermeneutika Intensional merupakan turunan dari hermeneutika romantis
Schleirmacher dan Wilhelm Dilthey yang berpandangan bahwa mode kerangka
kerja hermeneutika jenis ini ialah menemukan makna asli yang dikehendaki
pengarang. Sementara dalam pandangan hermeneutika efektual menurut Gadamer
bahwa sebuah teks tidak sementinya dicari makna yang diletakkan oleh pengarang
di dalamnya, sebab itu sama dengan memenjarakan makna teks, sejatinya bahwa
teks harus tetap terbuka bagi adanya penafsiran baru sesuai dengan kreativitas
sang penafsir teks itu sendiri.Asusmi Gadamer ini diperkuat oleh Paul Ricoeur
bahwa pembaca pada intinya tidak terlibat dalam tindakan penulis dalam
tulisannya dan penulis pun tidak terlibat dalam pembacaan para pembaca.Dengan
demikian, teks pada intinya telah mengganti hubungan dialog langsung antara
penggagas (pengarang) dengan penafsir (pembaca teks), kenyataan ini pula yang
memungkinkan bagi lahirnya interpretasi teks yang berbeda antara pengarang
(sumber teks) dengan penafsir (pembaca teks).
Pandangan Gadamer tentang teks juga diperkuat oleh Von Homboldt
bahwa teks (bahasa) adalah sarana terbatas dengan keguanaan tak terbatas. Maka
dari itu teks (bahasa) harus dipahami sebagai wujud yang mampu berkembang
biak secara tak terbatas dengan menggunakan elemen-elemen yang terbatas (fakta
yang teramati). Seirama dengan pandangan paradigma kritis bahwa manusia
dalam memahami teks harus menyelam ke dalam teks agar ia mampu menyingkap
makna yang terkandung dibaliknya. Pernyataan ini mempertegas asumsi
sebelumnya bahwa dalam pandangan hermeneutika efektual, bahasa (teks) tidak
2
Rocy Marbun, “hermeneutik sebuah metode filsafat: E. Sumaryo”,
https://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2016/05/02/hermeneutik-sebuah-metode-filsafat-
e-sumaryono/
3
boleh dibingkai hanya pada pengertian sebagaimana yang dimaksudkan
pengarang, melainkan ia harus terbuka untuk menerima arus interpretasi dari
setiap pembaca dan penerima teks itu sendiri.
Dari kedua tawaran metodis hermeneutika tersebut penulis dapat
menangkap pesan bahwa :
1. Pandangan Hermeneutika intensional lebih menekankan pemaknaan hanya
pada maksud yang dikehendaki oleh pengarang (sumber teks itu sendiri), hal
ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya anomali makna antara
kedaunya (pengarang dan penafsir).
2. Pandangan Hermeneutika efektual lebih menekankan pada kebebasan penafsir
dalam mengelaboris makna teks yang diterima sehingga memungkinkan
lahirnya pemaknaan baru yang bisa jadi berbeda dengan kehendak sang
pegnarang (sumber teks itu sendiri).3
3
Maksur Makassaru, cara kerja hermeneutka,
http://harmonikosmos.blogspot.com/2016/03/cara-kerja-hermeneutika.html, diakses pada tanggal
19/02/2020 pukul 02:36 WIB
4
Aliran ini juga menganggap penting terhadap makna asal, namun makna
asal tersebut hanya sebagai pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap
al-Qur’an di masa kini.
3. Pandangan subyektivis
Aliran yang meyakini langkah penafsiran sepenuhnya merupakan
subyektivitas penafsir. Karena itu, setiap generasi berhak menafsirkan al-Qur’an
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Jika tafsir al-Qur’an diperkaya dengan pendekatan hermeneutika,
semiotika, dan bahkan hipersemiotika, maka akan menghasilkan suatu medan
makna yang lebih kaya dan mampu menjelaskan relasi wahyu dengan realitas-
realitas sosial. Teks atau nash tidak selalu dipahami sebagaimana adanya, tetapi ia
telah diperkaya dengan konteks-konteks, jiwa, pandangan dunia, dan relasi antar
hubungan dengan yang lainnya. Ayat-ayat perang, ayat jihad, dan ayat-ayat lain
yang ‘bernada keras’, misalnya, tidak otomatis bermakna harfiah sebagaimana
bunyi teks itu. Konstruksi maknanya beralih ke arah yang lebih universal, yakni
perang melawan ketidakadilan, jihad melawan kemiskinan, dan perjuangan
membela kesejahteraan lingkungan. Makna-makna ini muncul dari perluasan
makna hasil dari pemahaman hermeneutika dan semiotika.4
Al-Quran yang diturunkan 14 abad yang lalu dengan kondisi sosial yang
sangat berbeda dengan situasi masa kini selalu ditafsirkan secara beragam. Hal ini
disebabkan oleh jarak yang sangat jauh antara kita, termasuk para ahli tafsir itu
sendiri dengan Allah (sebagai Author) dan penafsir utamanya (Nabi Muhammad).
Akibatnya, umat masa kini akan menghadapi kesulitan untuk bertanya secara
langsung tentang maksud yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran. Umat
manusia tidak dapat mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu sesuai dengan
maksud atau yang diinginkan Allah. Dengan demikian, siapa pun yang memahami
kondisi ini, tidak dapat mengklaim bahwa dirinya mengetahui secara pasti maksud
dan tujuan Allah menurunkan ayat tertentu dalam Alquran. Hal yang mungkin
dapat dilakukan adalah pembenaran terhadap ijtihad tertentu atau hasil ijtihad
4
Moh. Ali, Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Urgensinya dalam Pendidikan Isla
m, (Palu: Jurnal STAIN Datokarama, 2008), hlm. 302-303.
5
orang lain sambil memberi ruang “salah” kepada apa yang dianggapnya “benar”,
atau sebaliknya menyatakan “salah” terhadap hasil ijtihad tertentu dengan tetap
memberi ruang “benar” terhadap pendapat atau hasil ijtihad yang dianggap
“salah”.5
Sebagai contoh adalah penafsiran Double Movement dari Fazlurrahman.
Penafsiran Double Movement adalah penafsiran dua arah, yaitu merumuskan visi
Qur’an yang utuh dan kemudian menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi
sekarang.6 Gerakan Pertama, yaitu situasi sekarang ke masa Al-Qur’an
diturunkan, terdiri dari dua langkah yaitu memahami makna al-Qur’an sebagai
suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran yangkhusus yang
menerapkan respon terhadap situasi-situasi khusus dan menggeneralisasikan
jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan
yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-
teks spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan ratio legis yang sering
dinyatakan. Gerakan kedua, merupakan proses yang berangkat dari pandangan
umum ke pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang
yakni yang umum harus diwujudkan dalam konteks sosio historis konkret
sekarang.
Fazlurrahman sendiri agaknya telah berusaha merealisasikan konsepnya
ini dengan menulis sebuah buku tafsir tematik yang diberinya judul Major
Themes of The Qur’an.
Contoh sederhana dari teori gerak ganda Fazlur Rahman ialah dalam hal
poligami. Dalam hal poligami ini Fazlur Rahman telah memberikan penjelasan
tentang poligami yang oleh para fuqaha dianggap sebagai asas perkawinan yang
sah menurut Islam dalam Alquran surah An-Nisa ayat 3;
ا ِء َم ْثنَىSاب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسS َ Sَا طSSا ْن ِكحُوا َمSSَا َمى فSSَطُوا فِي ْاليَتSَوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَال تُ ْق ِس
ك أَ ْدنَى أَال تَعُولُوا َ ِت أَ ْي َمانُ ُك ْم َذل
ْ اح َدةً أَوْ َما َملَ َك
ِ الث َو ُربَا َع فَإ ِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَال تَ ْع ِدلُوا فَ َو
َ َُوث
۳﴿﴾
5
Moh Ali,… hlm.304
6
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”. (Q.S. An-Nisa:3)
Ayat yang berkaitan dengan poligami adalah QS. Al-Nisâ [4] : 3 dengan
konteks ayat yang berkaitan dengan permasalahan gadis-gadis yatim yang telah
berusia dewasa. QS. Al-Nisâ [4] : 2, di mana wali mereka tidak berkenan
menyerahkan harta kekayaan anak yatim yang dikuasainya. QS. Al-Nisâ [4] : 3
memang menganjurkan poligami dengan disertai syarat bahwa para suami mampu
berbuat adil, dengan diiringi penekanan "jika engkau kuatir tidak mampu berbuat
adil, cukuplah hanya dengan seorang istri".
Selanjutnya sebagaimana pada ayat kedua, yang memerintahkan berbuat
adil pada anak anak yatim. QS. Al-Nisâ [4] : 129 juga menegaskan "Kamu sekali-
kali tidak akan mampu berbuat adil kepada isteri-isterimu walaupun
sesungguhnya kamu sangat menghendaki untuk berbuat demikian-(jika engkau
tidak mampu berbuat adil sepenuhnya)–maka setidak-tidaknya janganlah kamu
cenderung sepenuhnya kepada salah satunya sehingga yang lain terkatung-
katung". Rahman mencoba mendekati nas ini dengan menggali nilai yang
terkandung di dalam teks formalnya bedasarkan sosio-historis dan kulturalnya.
Rahman tidak sependapat bahwa frasa "berlaku adil" dalam ayat 3 surat Al-Nisâ
hanya terbatas pada perlakuan lahiriah. Jika frase tersebut hanya bermakna
demikian, niscaya tidak mungkin ada penegasan pada peringatan ayat 129 surat
Al-Nisâ. Frase tersebut hanya tepat jika ditafsirkan dalam aspek psikis,cinta kasih.
Ia beralasan dengan ayat-ayat yang mengatur poligami sudah menjadi semacam
endemic dalam struktur sosial Arab pada masa itu, maka Alquran secara bijaksana
menerima status quo tersebut dengan disertai langkahlangkah perbaikan melalui
sejumlah rancangan hukum. Tetapi bersamaan dengan itu Alquran juga
mengemukakan rancangan moral di mana masyarakat secara gradual dianjurkan
menuju ke arah tersebut, yaitu "monogamy".
7
Dengan memandang izin poligami bersifat temporer dan memandang
bahwa maksud yang hendak dituju oleh Alquran yang sebenarnya adalah
menegakkan "monogami", akan menyelamatkan ayat 3 dan ayat 129 surat Al-Nisâ
dari pengertian yang kontradiktif. Masalah poligami berkaitan erat dengan
konteks keadilan sosial terhadap wanita.7
Namun perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam
penafsiran yang bercorak hermeneutik, termasuk penafsiran al-Qur’an yaitu:
1. Para penafsir adalah manusia
2. Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi
3. Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri
7
Faiz, Fajhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi.
(Yogyakarta: Qalam, 2002) hal. 45
8
Wahidatul Wafa, Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir, Jurnal al-Tsaqafa
Volume 14, No. 01, Januari 2017
8
istilah yang berbeda. Hal ini membuat sebuah kesimpulan akhir bahwa tafsir dan
hermeneutika pada prinsipnya adalah sama. Keduanya merupakan ilmu yang
digunakan dalam upaya memahami meskipun pada kenyataannya tidak seperti
hermeneutika, ilmu tafsir tampaknya belum akan membuka diri pada teksteks
umum. Sementara hermeneutika telah membuka dirinya untuk bisa digunakan
dalam memahami berbagai jenis teks tak terbatas pada teks keagamaan saja.
9
Qur’an. Menjamurnya berbagai literatur ilmu tafsir kontemporer yang
menawarkan hermeneutika sebagai variabel metode pemahaman Al-Qur’an
menunjukkan betapa daya Tarik hermeneutika memang luar biasa. Hasan Hanafi
dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa
hermeneutik itu tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga
berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan
sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan,
dari logos sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan sampai
kepada manusia.10
10
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: tema-tema kontroversial, (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2005). Hlm 11
10
Tetapi, dalam kadar tertentu, para mufasir Al-Qur’an sebenarnya
menggunakan prinsip-prinsip hermeneutika. Mereka berusaha menangkap maksud
Tuhan dibalik teks-teks Al-Qur’an. Mereka juga terkadang berimajinasi tentang
makna-makna ketika semua usaha untuk memahami mengalami kebuntuan.
Memang para mufasir menyediakan bahan-bahan hadis, sunnah, pendapat para
sahabat, tabiin, dan wawasan lain yang diperlukan. Namun, pada akhirnya mereka
memutuskan pilihan-pilihan yang tersedia itu berdasarkan pola pikir yang telah
ditetapkan.11
Sebenarnya term khusus yang digunakan untuk menunjuk kegiatan
interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah tafsir. Kata yang dalam asalnya
dalam bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam
pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang.
Sementara itu, istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam,
khususnya tafsir Al-Qur’an klasik, tidak ditemukan. Istilah hermeneutika ini-
kalau melihat sejarah perkembangan hermeneutika modern- mulai popular
beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi
informasi dan juga the rise of education yang melahirkan banyak intelektual
muslim kontemporer. Meski demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya
Qur’an: Pluralism dan Liberation, praktik hermeneutik sebenarnya telah
dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al-Qur’an.
Bukti dari hal itu adalah:
1. Problematika hermeneutik itu senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak
ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai
asbabun nuzul dan nasakh mansukh.
11
sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran tentang kelompok-
kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu,
maupun horizon-horison tertentu dari tafsir.
Ketiga hal ini jelas menunjukkan adanya kesadaran akan historisitas pemahaman
yang berimplikasi kepada pluralitas penafsiran. Oleh karena itu, meskipun tidak
disebut secara definitif, dapat dikatakan corak hermeneutik yang berasumsi dasar
pluralitas pemahaman ini sebenarnya telah memiliki bibit-bibitnya dalam ulumul
Qur’an klasik.
12
sosialnya, lalu tulisan Azim Nandji yang membahas tentang teori ta’wil dalam
tradisi keilmuan Isma’ili yang banyak membantu dalam kritik sastra, juga Nasr
Hamid Abu Zayd yang dengan intensif menggeluti kaian hermeneutik dlam tafsir
klasik12
BAB III
PENUTUP
12
Mansur, “makalah hermeneutik dalam tafsir”
http://menzour.blogspot.com/2018/05/makalah-hermeneutika-dalam-tafsir-al.html, diakses pada
tanggal 19/02/2020 pukul 04.16 WIB
13
A. Kesimpulan
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Moh. 2008. Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Urgensinya dalam P
endidikan Islam. Palu: Jurnal STAIN Datokarama.
15