Anda di halaman 1dari 21

HERMENEUTIK

PENERAPAN DAN CARA KERJA HERMENEUTIK

DI DALAM AL-QUR’AN

Dosen Pengampu :

Pathur Rahman, M.Ag

Disusun Oleh :

Kelompok 2

1. Fatimah Naurah Syahira (1720304027)


2. Meisi Sisclarita (1730304087)
3. Miranda Rahmania (1730304090)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang selalu
memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
kelompok mata kuliah Hermeneutik. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan pada baginda Nabi Muhammad SAW pembawa umat minazhulumati
ilannur.

Sebagaimana dalam peribahasa bahwa “tak ada gading yang tak retak” ,
dalam penyusunan makalah ini pun kami menyadari bahwa banyak sekali
kekurangannya, maka dari itu kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
penyusunan di masa yang akan datang sangat kami harapkan.

Kami pun menghaturkan terima kasih kepada Pathur Rahman selaku


Dosen Pengampu mata kuliah Hermeneutik yang tak pernah lelah dan bosan
memberikan bimbingannya dan arahannya yang selalu membangunkan semangat
kepada para mahasiswanya.

Dengan adanya pembuatan makalah ini, diharapkan dapat membantu


mahasiswa/i dalam menguasai materi pelajaran.Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan senantiasa membawa kemudahan kita dalam belajar untuk meraih
prestasi yang kita inginkan.

Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Palembang, Februari 2020

i
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..................................................................... iii


B. Rumusan Masalah ............................................................................. iv
C. Tujuan Penulisan................................................................................ iv

BAB II PEMBAHASAN

A. Penerapan dan Cara Kerja Hermeneutika........................................... 1


B. Penerapan dan Cara Kerja Hermeneutika Al-Qur’an ........................ 4
C. Sejarah Masuknya Hermeneutika dalam Ruang Lingkup Tafsir
Al-Qur’an ......................................................................................... 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 14
B. Saran .................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’anul karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya


selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada
Rasulullah, Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang
gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Rasulullah SAW menyampaikan Al-Qur’an itu kepada sahabatnya sehingga
mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apaila mereka
mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya
pada Rasulullah.

Akhir-akhir ini, dikalangan kaum muslimin tertama kaum modernis telah


banyak memanfaatkan hermeneutika sebagai salah satu instrument untuk
menggali isi dan kandungan al-Qur’an. Penggunaan ilmu tersebut dalam
penafsiran al-Qur’an ada yang menempatkannya sebagai komplemen dan ada pula
yang menempatkannya sebagai sublemen.

Munculnya berbagai pendekatan baru dalam Al-Qur’an, jelas


membuktikan adanya dinamika pada diri umat Islam dalam upaya memahami
universalitas kitab sucinya. Hermeneutika misalnya, merupakan salah satu
pendekatan eksegesis (penafsiran) dalam diskursus ulum al-Qur’an yang banyak
mendapat sorotan para pemerhati al-Qur’an.

Sejak hermeneutika menjadi bagian dari upaya pemahaman atas al-Qur’an,


pemikiran-pemikiran yang muncul terkait dengan pemikiran kitab suci itupun

iii
semakin progressif. Hal yang kemudian menjadi sangat menarik dalam
pendekatan hermeneutic ini adalah ketika teks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu
yang sacral dan semua ayat bisa dipahami. berangkat dari latar belakang di atas,
maka dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang Penerapan dan cara
kerja hermeneutika dalam Alqu’ran.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Penerapan dan Cara Kerja Hermeneutik?

2. Bagaimana Penerapan dan Cara Kerja Hermeneutik Al-Qur’an?

3. Bagaimana Sejarah Masuknya Hermeneutika Dalam Ruang Lingkup Tafsir


Al-Qur’an?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Memahami Penerapan dan Cara Kerja Hermeneutik.

2. Untuk Memahami Bagaimana Penerapan dan Cara Kerja Hermeneutik Al-


Qur’an.

3. Untuk Memahami Bagaimana Sejarah Masuknya Hermeneutika Dalam


Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an.

i
v
v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penerapan dan Cara Kerja Hermeneutik

Disiplin ilmu pertama, banyak menggunakan hemeneutik adalah ilmu


tafsir kitab suci. Semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-qur’an,
kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad supaya dapat dimengerti
memerlukan interpretasi atau hermeneutik.
Teks sejarah yang dituliskan dalam bahasa yang rumit. Beberapa Abad
tidak dipedulikan oleh pembacanya. Tidak dapat dipahami dalam kurun waktu
seorang tanpa penafsiran yang benar. Istilah-istlah yang dipakai mungkin ada
kesamaannya, tetap arti atau makna istilah itu bisa berbeda. Perang pada zaman
dahulu dengan perang zaman sekarang pada hakikatnya adalah sama saja. Perang
Troya maupun taktik Hanibal hanya dapat diapresiasikan dalam kurun waktu
mereka sendiri. Seperti orang-orang nomad berperang karena mereka
memperebutkan sumber air.jadi, interpretasi yang benar atas teks sejarah
memerlukan hermeneutik.
Demikian halnya dnegan interpretasi terhadap Hukum (baca: perundang-
undangan), selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi
yakni yang tersurat dan yang tersirat, atau bunyi hukum dan semangat hukum.
Dalam menerjemahkan pasal-pasal, adalah bahasa menjadi instrumen penting
untuk mengetahui makna dibalik teks pasasl-pasal itu. Subtilitas intelligendi
(ketepatan pemahaman) dan subtilitas explincandi (ketepatan penjabarannya) 
adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutik sangat dibutuhkan dalam
memahami dokumen hukum. Tanpa interpretasi hermeneutik atau penafsiran,
pembaca mungkin tidak akan menangkap jiwa zaman di mana bahasa hukum
tersebut dibuat.

1
Dalam ruang lingkup kesusasteraan, kebutuhan tentang hermeneutik
sangatlah ditekankan. Tanpa interpretasi atau penafsiran, pembaca tiak akan
mengerti atau menangkap jiwa zaman dimana kesusasteraan itu dibuat. Siapa yang
tidak tahu karya Shakespeare?  yang selalu ditafsirkan berbeda diantara
zamannya.
Dalam bidang Filsafat, terpenting lagi. Hermeneutik amat berperan.
Bukankah pada kenyataannya, keseluruhan Filsafat adalah interpretasi,
pembahasan seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia
merupakan kerja interpretasi. Jelaslah bahwa kembalinya minat hermeneutik
terletak di dalam Filsafat. Namun dalam Filsafat tidak ada aturan baku untuk
melakukan interpretasi, seperti yang terjadi dalam lingkup kesusasteraan.
 Bagaimana interpretasi yang dimainkan oleh Aritoteles terhadap gurunya
Plato? Aristoteles yang menyatakan “Amicus Plato Sed Magis Amica Vertas”
(Plato adalah seorang sahabat, tetapi sahabat yang lebih akrab lagi adalah
kebenaran). Artinya menurut Aristoteles di sini belum mengajarkan kebenaran
sebagaimana yang diinginkan  oleh Aristoteles.
Mungkin saja, Aristoteles “sedikit” kurang  tahu jasa dan budi Plato,
seperti yang pernah dikemukakan oleh Alfred North Whithead (1965: 53)
“seluruh filsafat barat tidak lain adalah catatan kaki filsafat Plato”
Cara pandang berbeda terhadap Plato melalui hermeneutika, makna dapat
saja berbeda berdasarkan siapa yang menafsirkannnya, keadaan khusus yang
berkaitan dengan waktu, tempat, ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah
peristiwa bahasa.1
Dengan demikian, penggunaan hermeneutik jelas merupakan penggunaan
filsafat sebagai metode interpretasi atau penafsiran itu sendiri. Dari uraian di atas,
dapatlah disimpulkan antara hermeneutik dan filsafat tidak dapat dipisahkan.
Melalui bahasa kita berkomunikasi, namun melalui bahasa pula kita bisa
salah paham dan salah tafsir. Arti dan makna dapat kita peroleh tergantung dari
banyak faktor, antara lain siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan
dengan waktu atau latar belakang, tempat ataupun situasi yang mewarnai suatu

1
E.sumaryono, “hermeneutik: sebuah metode filsafat”, (Yogyakarta: Kanisisus, 1999) hlm.28-29

2
arti peristiwa bahasa. Contoh arti “kekeluargaan”bagi masyarakat pedesaan akan
berbeda dengan masyarakat kota yang mengartikan.2
Pada intinya hermeneutika memiliki berbagai macam metodologi dalam
perjalanannya sebagai disiplin ilmu penafsiran, meski demikian dalam tulisan ini
penulis hanya akan fokus membahas dua macam cara kerja hermeneutis
sebagaimana yang diungkapkan oleh Mudja Raharjo yaitu hermeneutika
intensional ala Hirsch dan hermeneutikan efektual ala Gadamer.
Hermeneutika Intensional merupakan turunan dari hermeneutika romantis
Schleirmacher dan Wilhelm Dilthey yang berpandangan bahwa mode kerangka
kerja hermeneutika jenis ini ialah menemukan makna asli yang dikehendaki
pengarang. Sementara dalam pandangan hermeneutika efektual menurut Gadamer
bahwa sebuah teks tidak sementinya dicari makna yang diletakkan oleh pengarang
di dalamnya, sebab itu sama dengan memenjarakan makna teks, sejatinya bahwa
teks harus tetap terbuka bagi adanya penafsiran baru sesuai dengan kreativitas
sang penafsir teks itu sendiri.Asusmi Gadamer ini diperkuat oleh Paul Ricoeur
bahwa pembaca pada intinya tidak terlibat dalam tindakan penulis dalam
tulisannya dan penulis pun tidak terlibat dalam pembacaan para pembaca.Dengan
demikian, teks pada intinya telah mengganti hubungan dialog langsung antara
penggagas (pengarang) dengan penafsir (pembaca teks), kenyataan ini pula yang
memungkinkan bagi lahirnya interpretasi teks yang berbeda antara pengarang
(sumber teks) dengan penafsir (pembaca teks).  
Pandangan Gadamer tentang teks juga diperkuat oleh Von Homboldt
bahwa teks (bahasa) adalah sarana terbatas dengan keguanaan tak terbatas. Maka
dari itu teks (bahasa) harus dipahami sebagai wujud yang mampu berkembang
biak secara tak terbatas dengan menggunakan elemen-elemen yang terbatas (fakta
yang teramati). Seirama dengan pandangan paradigma kritis bahwa manusia
dalam memahami teks harus menyelam ke dalam teks agar ia mampu menyingkap
makna yang terkandung dibaliknya. Pernyataan ini mempertegas asumsi
sebelumnya bahwa dalam pandangan hermeneutika efektual, bahasa (teks) tidak
2
Rocy Marbun, “hermeneutik sebuah metode filsafat: E. Sumaryo”,
https://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2016/05/02/hermeneutik-sebuah-metode-filsafat-
e-sumaryono/

3
boleh dibingkai hanya pada pengertian sebagaimana yang dimaksudkan
pengarang, melainkan ia harus terbuka untuk menerima arus interpretasi dari
setiap pembaca dan penerima teks itu sendiri.
Dari kedua tawaran metodis hermeneutika tersebut penulis dapat
menangkap pesan bahwa :
1.  Pandangan Hermeneutika intensional lebih menekankan pemaknaan hanya
pada maksud yang dikehendaki oleh pengarang (sumber teks itu sendiri), hal
ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya anomali makna antara
kedaunya (pengarang dan penafsir).
2.   Pandangan Hermeneutika efektual lebih menekankan pada kebebasan penafsir
dalam mengelaboris makna teks yang diterima sehingga memungkinkan
lahirnya pemaknaan baru yang bisa jadi berbeda dengan kehendak sang
pegnarang (sumber teks itu sendiri).3

B. Penerapan dan Cara Kerja Hermeneutik Al-Qur’an


Dalam perkembangannya, hermeneutika telah menjadi bagian dari kajian
filsafat. Dalam kesarjanaan muslim, aliran-aliran hermeneutik juga telah
terpetakan. Dalam hal ini Sahiron Syamsuddin memetakan aliran hermeneutika al-
Quran menjadi tiga kelompok :
1.      Pandangan quasi-obyektivis tradisional
Suatu pandangan bahwa al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan serta
diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia juga telah dipahami, ditafsirkan dan
diaplikasikan pada situasi dimana al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW dan disampaikan kepada para sahabatnya. Seluruh yang tertera secara literal
dalam al-Qur’an harus diaplikasikan juga di masa kini dan bahkan pada masa
yang akan datang.
2.      Pandangan quasi-obyektivis modernis

3
Maksur Makassaru, cara kerja hermeneutka,
http://harmonikosmos.blogspot.com/2016/03/cara-kerja-hermeneutika.html, diakses pada tanggal
19/02/2020 pukul 02:36 WIB

4
Aliran ini juga menganggap penting terhadap makna asal, namun makna
asal tersebut hanya sebagai pijakan awal untuk melakukan pembacaan terhadap
al-Qur’an di masa kini.
3.      Pandangan subyektivis
Aliran yang meyakini langkah penafsiran sepenuhnya merupakan
subyektivitas penafsir. Karena itu, setiap generasi berhak menafsirkan al-Qur’an
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Jika tafsir al-Qur’an diperkaya dengan pendekatan hermeneutika,
semiotika, dan bahkan hipersemiotika, maka akan menghasilkan suatu medan
makna yang lebih kaya dan mampu menjelaskan relasi wahyu dengan realitas-
realitas sosial. Teks atau nash tidak selalu dipahami sebagaimana adanya, tetapi ia
telah diperkaya dengan konteks-konteks, jiwa, pandangan dunia, dan relasi antar
hubungan dengan yang lainnya. Ayat-ayat perang, ayat jihad, dan ayat-ayat lain
yang ‘bernada keras’, misalnya, tidak otomatis bermakna harfiah sebagaimana
bunyi teks itu. Konstruksi maknanya beralih ke arah yang lebih universal, yakni
perang melawan ketidakadilan, jihad melawan kemiskinan, dan perjuangan
membela kesejahteraan lingkungan. Makna-makna ini muncul dari perluasan
makna hasil dari pemahaman hermeneutika dan semiotika.4
Al-Quran yang diturunkan 14 abad yang lalu dengan kondisi sosial yang
sangat berbeda dengan situasi masa kini selalu ditafsirkan secara beragam. Hal ini
disebabkan oleh jarak yang sangat jauh antara kita, termasuk para ahli tafsir itu
sendiri dengan Allah (sebagai Author) dan penafsir utamanya (Nabi Muhammad).
Akibatnya, umat masa kini akan menghadapi kesulitan untuk bertanya secara
langsung tentang maksud yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran. Umat
manusia tidak dapat mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu sesuai dengan
maksud atau yang diinginkan Allah. Dengan demikian, siapa pun yang memahami
kondisi ini, tidak dapat mengklaim bahwa dirinya mengetahui secara pasti maksud
dan tujuan Allah menurunkan ayat tertentu dalam Alquran. Hal yang mungkin
dapat dilakukan adalah pembenaran terhadap ijtihad tertentu atau hasil ijtihad

4
Moh. Ali, Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Urgensinya dalam Pendidikan Isla
m, (Palu: Jurnal STAIN Datokarama, 2008), hlm. 302-303.

5
orang lain sambil memberi ruang “salah” kepada apa yang dianggapnya “benar”,
atau sebaliknya menyatakan “salah” terhadap hasil ijtihad tertentu dengan tetap
memberi ruang “benar” terhadap pendapat atau hasil ijtihad yang dianggap
“salah”.5
Sebagai contoh adalah penafsiran Double Movement dari Fazlurrahman.
Penafsiran Double Movement adalah penafsiran dua arah, yaitu merumuskan visi
Qur’an yang utuh dan kemudian menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi
sekarang.6 Gerakan Pertama, yaitu situasi sekarang ke masa Al-Qur’an
diturunkan, terdiri dari dua langkah yaitu memahami makna al-Qur’an sebagai
suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran yangkhusus yang
menerapkan respon terhadap situasi-situasi khusus dan menggeneralisasikan
jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan
yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-
teks spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan ratio legis yang sering
dinyatakan. Gerakan kedua, merupakan proses yang berangkat dari pandangan
umum ke pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang
yakni yang umum harus diwujudkan dalam konteks sosio historis konkret
sekarang.
 Fazlurrahman sendiri agaknya telah berusaha merealisasikan konsepnya
ini dengan menulis sebuah buku tafsir tematik yang diberinya judul Major
Themes of The Qur’an.
Contoh sederhana dari teori gerak ganda Fazlur Rahman ialah dalam hal
poligami. Dalam hal poligami ini Fazlur Rahman telah memberikan penjelasan
tentang poligami yang oleh para fuqaha dianggap sebagai asas perkawinan yang
sah menurut Islam dalam Alquran surah An-Nisa ayat 3;

‫ا ِء َم ْثنَى‬S‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َس‬S َ Sَ‫ا ط‬SS‫ا ْن ِكحُوا َم‬SSَ‫ا َمى ف‬SSَ‫طُوا فِي ْاليَت‬S‫َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَال تُ ْق ِس‬
‫ك أَ ْدنَى أَال تَعُولُوا‬ َ ِ‫ت أَ ْي َمانُ ُك ْم َذل‬
ْ ‫اح َدةً أَوْ َما َملَ َك‬
ِ ‫الث َو ُربَا َع فَإ ِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَال تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬
َ ُ‫َوث‬
۳﴿﴾
5
Moh Ali,… hlm.304

Taufik Adnan Amal. Metode dan Alternatif Neomodernisme Fazurrahman. (Bandung:


6

Mizan, 1990) hal 98

6
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”. (Q.S. An-Nisa:3)
Ayat yang berkaitan dengan poligami adalah QS. Al-Nisâ [4] : 3 dengan
konteks ayat yang berkaitan dengan permasalahan gadis-gadis yatim yang telah
berusia dewasa. QS. Al-Nisâ [4] : 2, di mana wali mereka tidak berkenan
menyerahkan harta kekayaan anak yatim yang dikuasainya. QS. Al-Nisâ [4] : 3
memang menganjurkan poligami dengan disertai syarat bahwa para suami mampu
berbuat adil, dengan diiringi penekanan "jika engkau kuatir tidak mampu berbuat
adil, cukuplah hanya dengan seorang istri".
Selanjutnya sebagaimana pada ayat kedua, yang memerintahkan berbuat
adil pada anak anak yatim. QS. Al-Nisâ [4] : 129 juga menegaskan "Kamu sekali-
kali tidak akan mampu berbuat adil kepada isteri-isterimu walaupun
sesungguhnya kamu sangat menghendaki untuk berbuat demikian-(jika engkau
tidak mampu berbuat adil sepenuhnya)–maka setidak-tidaknya janganlah kamu
cenderung sepenuhnya kepada salah satunya sehingga yang lain terkatung-
katung". Rahman mencoba mendekati nas ini dengan menggali nilai yang
terkandung di dalam teks formalnya bedasarkan sosio-historis dan kulturalnya.
Rahman tidak sependapat bahwa frasa "berlaku adil" dalam ayat 3 surat Al-Nisâ
hanya terbatas pada perlakuan lahiriah. Jika frase tersebut hanya bermakna
demikian, niscaya tidak mungkin ada penegasan pada peringatan ayat 129 surat
Al-Nisâ. Frase tersebut hanya tepat jika ditafsirkan dalam aspek psikis,cinta kasih.
Ia beralasan dengan ayat-ayat yang mengatur poligami sudah menjadi semacam
endemic dalam struktur sosial Arab pada masa itu, maka Alquran secara bijaksana
menerima status quo tersebut dengan disertai langkahlangkah perbaikan melalui
sejumlah rancangan hukum. Tetapi bersamaan dengan itu Alquran juga
mengemukakan rancangan moral di mana masyarakat secara gradual dianjurkan
menuju ke arah tersebut, yaitu "monogamy".

7
Dengan memandang izin poligami bersifat temporer dan memandang
bahwa maksud yang hendak dituju oleh Alquran yang sebenarnya adalah
menegakkan "monogami", akan menyelamatkan ayat 3 dan ayat 129 surat Al-Nisâ
dari pengertian yang kontradiktif. Masalah poligami berkaitan erat dengan
konteks keadilan sosial terhadap wanita.7
Namun perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam
penafsiran yang bercorak hermeneutik, termasuk penafsiran al-Qur’an yaitu:
1. Para penafsir adalah manusia
2. Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi
3. Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri

C. Sejarah Masuknya Hermeneutika dalam Ruang Lingkup Tafsir


Al-Qur’an
Hermeneutika masuk kedalam wilayah Tafsir, telah menjadi perdebatan
yang panjang bahkan hingga saat ini. tak hanya Hermeneutika yang mulanya lebih
di kenal sebagai ilmu interpretasi umat Kristen, usaha menyintesiskan keilmuan
Islam dengan ilmu-ilmu “sekuler” telah terjadi bahkan sejak abad ke-3 H/ke-9 M,
ketika kaum Mu’tazilah berusaha menyintesiskan teologi Islam dengan filsafat
Yunani yang pada saat itu tengah menjadi topik pembahasan dalam kajiankajian
keagamaan, sosial dan sains. Dalam bidang ilmu tafsir, propaganda memasukkan
hermeneutika juga tak luput dari pembicaraan di antara kalangan para sarjana-
sarjana muslim. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Sofyan A.P. Kau dalam
jurnalnya yang berjudul “Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan
Tafsir”.8

Dalam jurnalnya tersebut beliau mengasumsikan bahwa sebenarnya di


kalangan para mufassir pun hermeneutika sebenarnya telah digunakan sebagai
metode dalam menafsirkan teks AlQur’an maupun Hadits, meskipun dengan

7
Faiz, Fajhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi.
(Yogyakarta: Qalam, 2002) hal. 45

8
Wahidatul Wafa, Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir, Jurnal al-Tsaqafa
Volume 14, No. 01, Januari 2017

8
istilah yang berbeda. Hal ini membuat sebuah kesimpulan akhir bahwa tafsir dan
hermeneutika pada prinsipnya adalah sama. Keduanya merupakan ilmu yang
digunakan dalam upaya memahami meskipun pada kenyataannya tidak seperti
hermeneutika, ilmu tafsir tampaknya belum akan membuka diri pada teksteks
umum. Sementara hermeneutika telah membuka dirinya untuk bisa digunakan
dalam memahami berbagai jenis teks tak terbatas pada teks keagamaan saja.

Dalam perkembangannya, hermeneutika lahir ketika ilmu pengetahuan


kembali menghiasi sejarah peradaban Barat. Secara definitif, para ahli sepakat
bahwa ilmu ini digunakan untuk memahami ungkapan-ungkapan –yang karena
berbagai macam faktor- sulit dipahami. Pada awal abad ke-16, hermeneutika
digunakan untuk membantu para teolog Kristen memahami teks-teks yang sulit
dari Bibel dan juga untuk menentukan satu pemahaman yang benar dari sekian
banyaknya penafsiran yang mungkin dilakukan.

Selanjutnya hermeneutika berkembang tak hanya terbatas untuk


menginterpretasi bibel saja, namun dibuka secara luas untuk memahami teks-teks
umum, hingga seperti yang kita kenal saat ini. Membuka dirinya hermeneutika ini
ternyata menarik minat para ilmuwan dan cendekiawan muslim dengan mencoba
mengintegrasikan seni memahami ini ke dalam seni pemahaman yang telah lebih
dulu dikenal dan digunakan oleh para ulama tafsir dalam menginterpretasi teks
Al-Qur’an dan Hadits.

Berbagai upaya dilakukan, di antaranya dengan mencari-cari bagian dari


hermeneutika yang bisa diterapkan dalam ilmu tafsir. Di antara yang sering
dibicarakan adalah pemikiran hermeneutika dari Hans Georg Gadamer yang
terkenal dengan teori “pra-pemahamannya”. Tulisan ini akan membahas
bagaimana integrasi hermeneutika terutama dalam pandangan Hans Georg
Gadamer terhadap tafsir itu sendiri. 9

Sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian kitab suci,


keberadaan hermeneutika pun tidak bisa dielakkan dari dunia kitab suci Al-
Wahidatul Wafa, Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir, Jurnal al-Tsaqafa
9

Volume 14, No. 01, Januari 2017

9
Qur’an. Menjamurnya berbagai literatur ilmu tafsir kontemporer yang
menawarkan hermeneutika sebagai variabel metode pemahaman Al-Qur’an
menunjukkan betapa daya Tarik hermeneutika memang luar biasa. Hasan Hanafi
dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa
hermeneutik itu tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga
berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan
sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan,
dari logos sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan sampai
kepada manusia.10

Hermeneutik masuk ke dalam ranah Islam yaitu untuk memahami kitab


suci agama Islam yakni Al-Qur’an, dalam memahaminya metode baru ini tidak
diterima langsung dengan begitu saja, apalagi oleh umat Islam tradisonal, karena
hermeneutika setidaknya membawa tiga implikasi yang bertentangan dengan
pendiri ilmuwan muslim konvensional, tiga macam implikasi tersebut adalah:

1. Hermeneutika membawa implikasi bahwasannya tanpa konteks, teks itu tidak


berharga dan bermakna, sementara ide tradisional menyatakan bahwa makna
yang sebenarnya tidak mungkin bisa dicapai karena makna yang sebenarnya
adalah apa itu yang dimaksud oleh Allah SWT.

2. Hermeneutika memberi penekanan kepada manusia sebagai perantara yang


menghasilkan makna, sementara ide tradisional menyatakan bahwa Allah
SWT yang sebenarnya menganugerahkan pemahaman yang benar terhadap
seseorang.

3. Sangat berbeda dengan tradisi hermeneutika, ilmuwan muslim tradisional


telah membuat perbedaan yang tidak menjembatani antara teks Al-Qur’an
dan penerimanya, teks Al-Qur’an dianggap sangat sacral sehingga makna
yang sebenarnya tidak mungkin dicapai.

10
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: tema-tema kontroversial, (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2005). Hlm 11

10
Tetapi, dalam kadar tertentu, para mufasir Al-Qur’an sebenarnya
menggunakan prinsip-prinsip hermeneutika. Mereka berusaha menangkap maksud
Tuhan dibalik teks-teks Al-Qur’an. Mereka juga terkadang berimajinasi tentang
makna-makna ketika semua usaha untuk memahami mengalami kebuntuan.
Memang para mufasir menyediakan bahan-bahan hadis, sunnah, pendapat para
sahabat, tabiin, dan wawasan lain yang diperlukan. Namun, pada akhirnya mereka
memutuskan pilihan-pilihan yang tersedia itu berdasarkan pola pikir yang telah
ditetapkan.11
Sebenarnya term khusus yang digunakan untuk menunjuk kegiatan
interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah tafsir. Kata yang dalam asalnya
dalam bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam
pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang.
Sementara itu, istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam,
khususnya tafsir Al-Qur’an klasik, tidak ditemukan. Istilah hermeneutika ini-
kalau melihat sejarah perkembangan hermeneutika modern- mulai popular
beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi
informasi dan juga the rise of education yang melahirkan banyak intelektual
muslim kontemporer. Meski demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya
Qur’an: Pluralism dan Liberation, praktik hermeneutik sebenarnya telah
dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al-Qur’an.
Bukti dari hal itu adalah:

1.  Problematika hermeneutik itu senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak
ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai
asbabun nuzul dan nasakh mansukh.

2.   Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap Al-Qur’an (tafsir)


dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya
literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.

3.   Tafsir traditional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya


tafsir syi’ah, tafsir Mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain
11
M. Rizka Chamami, Studi Islam Kontemporer, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm.155.

11
sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran tentang kelompok-
kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu,
maupun horizon-horison tertentu dari tafsir.

Ketiga hal ini jelas menunjukkan adanya kesadaran akan historisitas pemahaman
yang berimplikasi kepada pluralitas penafsiran. Oleh karena itu, meskipun tidak
disebut secara definitif, dapat dikatakan corak hermeneutik yang berasumsi dasar
pluralitas pemahaman ini sebenarnya telah memiliki bibit-bibitnya dalam ulumul
Qur’an klasik.

Operasional hermeneutika modern dalam penafsiran Al-Qur’an bisa


dikatakan dirintis oleh para pembaharu muslim; seperti di India dikenal Ahmad
Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan
demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis,
seperti mengenai mukjizat dan hal-hal ghaib.

Dalam dekade 1960-1970-an, muncul tokoh-tokoh yang mulai serius


memikirkan persoalan metodologi tafsir ini. Hasan Hanafi mempublikasikan tiga
karyanya yang bercorak hermeneutik; yang pertama berkaitan dengan upaya
rekonstruksi ilmu ushul fiqih, yang kedua berkaitan dengan hermeneutika
fenomenologis dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan keberagamaan, dan
yang ketiga, berhubungan dengan kajian kritis terhadap hermeneutika eksistensial
dalam kerangka penafsiran perjanjian baru. Muhammed Arkoun dari Aljazair
menelorkan idenya mengenai car abaca semiotic terhadap Al-Qur’an, dan Fazlur
Rahman merumuskan metode hermeneutika yang sistematik terhadap Al-Qur’an
dan dikenal sebagai double movement.

Dewasa ini, telah banyak pemerhati Al-Qur’an yang melakukan kritik


historis dan linguistic yang menjadi ciri khas hermeneutika. Tulisan-tulisan yang
menyangkut bidang ini banyak bermunculan, baik dari kalangan outsider maupun
dari kalangan umat Islam sendiri. Diantara tulisan-tulisan tersebut diantaranya
adalah Qur’anic Hermeneutic:  The Views Of al-Tabari and Ibn Katsir karya
Jane Mc Auliffe yang menekankan pada metode tafsirnya dan sedikit pada horizon

12
sosialnya, lalu tulisan Azim Nandji yang membahas tentang teori ta’wil dalam
tradisi keilmuan Isma’ili yang banyak membantu dalam kritik sastra, juga Nasr
Hamid Abu Zayd yang dengan intensif menggeluti kaian hermeneutik dlam tafsir
klasik12

BAB III

PENUTUP
12
Mansur, “makalah hermeneutik dalam tafsir”
http://menzour.blogspot.com/2018/05/makalah-hermeneutika-dalam-tafsir-al.html, diakses pada
tanggal 19/02/2020 pukul 04.16 WIB

13
A. Kesimpulan

Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan


bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu
dapat di fahami dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang.
Objek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam
teks dengan variabelnya. Tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika
internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke
luar dan memungkinkan makna itu muncul

Pandangan hermeneutika dalam tafsir al-Qur’an setiap tokoh berbeda-


beda. Dalam menafsirkan teks, teori double movement Fazlur Rahman
merupakan teori yang terdiri dari dea gerakan yaitu yang khusus dan umum.
Artinya, sebelum seseorang mufassir mengambil kesimpulan hukum, ia harus
mengetahui terlebih dahulu arti yang di kehendaki secara tekstual dalam suatu
ayat dengan meneliti alasan-alasan hukumnya baik yang di sebutkan secara
eksplisit maupun emplisit.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka


penulis sangat mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk lebih baiknya
di masa yang akan datang Penulis juga menyarankan kepada pembaca, agar
membaca buku-buku yang berkaitan dengan Hermeneutika Al-Qur’an. Hanya
kepada Allah kita memohon pertolongan dan perlindungan, semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.

14
DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan. 1990. Metode dan Alternatif Neomodernisme


Fazurrahman. Bandung: Mizan.

Ali, Moh. 2008. Hermeneutika dalam Kajian Al-Qur’an dan Urgensinya dalam P
endidikan Islam. Palu: Jurnal STAIN Datokarama.

Chamami, M. Rizka. 2002. Studi Islam Kontemporer. Semarang: Pustaka Rizki


Putra.

Faiz, Fahruddin . 2005. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial.


Yogyakarta: Elsaq Press.

Faiz, Fajhruddin. 2002. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan


Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam.

Makassaru, Maksur. Cara Kerja Hermeneutka, diakses dari


http://harmonikosmos.blogspot.com/2016/03/cara-kerja-hermeneutika.html.

Mansur, Makalah Hermeneutik dalam Tafsir. diakses dari,


http://menzour.blogspot.com/2018/05/makalah-hermeneutika-dalam-tafsir-
al.html.

Marbun, Rocy “hermeneutik sebuah metode filsafat: E. Sumaryo”,


https://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2016/05/02/hermeneutik-
sebuah-metode-filsafat-e-sumaryono/

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:


Kanisisus.

Wafa, Wahidatul. 2017. Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir.


Jurnal al-Tsaqafa Volume 14.

15

Anda mungkin juga menyukai