Anda di halaman 1dari 28

4

AL-‘ITRAH DALAM TINJAUAN SUNNI DAN


SYI’AH
(Studi Perbandingan)

Bisri Tujang79

ABSTRAK
Persoalan 'Itrah adalah bagian besar dari polemik-polemik
besar yang sering kali dijadikan bahan pembicaraan antara dua
Agama, agama Sunni dan agama Syi'ah. Pembicaraan yang panjang
tersebut berjalan seiring berputarnya waktu. Namun tentu
manusianyapun datang bergantian berjalan bersamanya waktu. Oleh
karenanya persoalan 'itrah senantiasa hangat setiap saat dan susah
untuk sampai pada ujung permasalahan.

79
Penulis adalah staff pengajar Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah (STDI)
Imam Syafi’i Jember, Jawa Timur.

Volume 1, No. 2, Juni 2014 73


Pada makalah ini penulis akan mencoba menyelesaikan duduk
pesoalan dengan menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘itrahti’, apa
landasan hukumnya? konteks denotative kalimat tersebut seperti apa?
Siapakah mereka? Dan mengapa harus itrahti? Apa keistimewaan
mereka?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan segenap
kegelisahan yang perlu diselesaikan pada kesempatan kali ini.

'Itrah, Ahli Bait, Hadis, Sunni, Syi'ah.

A. Pendahuluan
Perbedaan antara sunni dan syi’ah adalah persoalan yang
sering digulirkan di berbagai saluran, baik media, meja ilmiyah
maupun di masing-masing kalangan pengikut kedua Agama ini.
Dalam banyak persoalan yang digulirkan pada salauran-saluran
tersebut sering sekali tidak dapat diharmoniskan, walaupun terdapat
upaya-upaya dari sebagian oknum untuk mensinkronkannya, apakah
persoalan teologi maupun masalah hokum.
Untuk persoalan hokum, bagi Sunni nikah mut’ah adalah
perbuatan yang diharamkan bahkan dikatakan sebagai modus
prostitusi yang dilegalkan. Namun bagi Syi’ah mut’ah adalah bagian
dari agama bahkan bisa sampai pada tingkat teologi. Pada persoalan
teologi misalnya kredibilitas Sahabat, bagi Sunni mereka adalah
manusia biasa bisa salah dan benar, yang briman dan menjalankan
ajaran-ajaran Nabi dan jumlah mereka banyak. Namun bagi Syi’ah

74 Volume 1, No. 2, Juni 2014


sahabat tidak lagi memiliki kredibilitas apalagi Abu Bakr, Umar,
Mu’awiyah dan Abu Hurairah. Tidak ada satu pun sahabat yang lepas
dari cacian Syi’ah kecuali sedikit dari mereka, yaitu Ali bin Abi
Thalib, Salman al-Farisi, Abu Dzar, Al-Miqdad dan beberapa orang
lagi yang bisa dihitung dengan jari.80
Persoalan lain yang juga tidak kalah lepas dari perseteruan
antara dua kubu ini adalah persoalan al-‘itrah yang senantiasa dikaji
dalam dua versi, versi sunni dan versi syi'ah. Pada persoalan ini
tersimpan beberapa persoalan yang juga sangatlah penting untuk
dinalar kembali, namun pada kesempatan yang baik ini penulis hanya
akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘itrahti’, apa landasan
hukumnya? konteks denotative kalimat tersebut seperti apa? Siapakah
mereka? Dan mengapa harus itrahti? Apa keistimewaan mereka?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan segenap kegelisahan yang
perlu diselesaikan pada kesempatan kali ini.
Namun mengapa harus persoalan ini yang perlu dijelaskan, apa
yang memotifasi penulis untuk mengangkat persoalan ini? Mengapa
harus riwayat dari kitab Sunan Tirmidzi dan al-Kafi?
Hal yang mendasari kami mengangkat persoalan tersebut
adalah:

80
Al-Kulaini menyebutkan dalam bukunya Furu'ul Kaafi yang
diriwayatkan dari Ja'far 'alaihissalam: "Semua orang murtad (keluar dari Islam)
sepeninggal Rasulullah, kecuali tiga orang", kemudian saya bertanya
kepadanya: "Siapakah ketiga sahabat ini? Ia menjawab: "Al-Miqdad bin Al-
Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al-Farisi"(al-Kulaini, furu’ al-Kafi, 115)

Volume 1, No. 2, Juni 2014 75


a. Sebagaimana yang penulis sampaikan sebelumnya bahwa
persoalan ini juga termasuk sebuah polemic besar dan
mendasar dikalangan kedua kubu, sebab berkait erat dengan
persoalan akidah.
b. Ketimpangan pemahaman yang menimpa sebagian kalangan
sehingga menyeret mereka pada keyakinan yang salah.
c. Upaya meluruskan ketimpangan tersebut.
d. Persoalan ini menarik, artinya jika penulis mampu
menjelaskan dengan baik untuk mengungkap kebenarannya
maka ini adalah ibadah yang mulia.
mengapa harus dari kedua kitab itu, karena sunan Tirmidzi
adalah salah satu kitab yang enam yang memiliki derajat
kesahihannya lebih rendah dari shahih Bukhari/Muslim, Abu Daud
dan Nasai dalam versi Sunni. Sementara al-Kafi adalah kitab tershahih
dalam Syi’ah. Maka penulis ingin membandingkan kedua kitab ini
dari segi ketersambungan sanadnya hingga sampai kepada Nabi.
Maka kajian kali ini penulis akan berupaya membandingkan
persoalan ini dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi berikut ini:

A. Landasan Hukum
Kalangan Sunni memahami persoalan 'itrah berlandaskan pada
hadis yang salah satunya diriwayatkan oleh imam Tirmidzi bahwa
Nabi bersabda:

76 Volume 1, No. 2, Juni 2014


‫يا أيها الناس إين قد تركت فيكم ما إن أخذمت به لن تضلوا كتاب اهلل وعرتيت أهل‬

‫بييت‬
Sedangkan dalam versi syi’ah mereka bersandar pada riwayat
al-Kulaini di dalam kitab al-Kafi sebagai berikut:

،‫ وميوت ميتيت ويدخل جنة عدن اليت غرسها اهلل ريب بيده‬،‫من أراد أن حيىي حيايت‬
،‫ وليسلم لالوصياء من بعده‬،‫ وليعاد عدوه‬،‫فليتول علي بن أيب طالب وليتول وليه‬
،‫ إىل اهلل أشكو أمر اميت‬،‫ أعطاهم اهلل فهمي وعلمي‬،‫فإهنم عرتيت من حلمي ودمي‬
.‫ وأمي اهلل ليقتلن ابين ال أناهلم اهلل شفاعيت‬،‫ القاطعني فيهم صليت‬،‫املنكرين لفضلهم‬
“ barang siapa yang hendak hidup seperti hidupku, mati seperti matiku
dan masuk surga 'and yang tanamannya ditanam dengan tangan
Tuhanku, hendaklah ia berwala(berimam/menolong/mencintai)
kepada 'Ali bin Abi Thalib, berwala kepada orang yang berwala
kepada Ali, memusuhi orang dimusuhi olehnya, dan berserah diri
kepada para pemegang wasiat setelahnya karena mereka adalah 'itrah-
ku, berasal dari darah dagingku. Allah telah memberi kepahaman dan
keilmuanku kepada mereka, hanya kepada Allah-lah saya
mengadukan urusan umatku, yang mengingkari keutamaan mereka,
yang memutuskan hubungan rahimku dengan mereka. Demi Allah
mereka akan membunuh anakku, semoga Allah tidak memberi
syafaatku pada mereka”81.

81
Muhammad bin Yakub al-Kulaini, al-Kafi(t. k: t. p, t.t) 1/309

Volume 1, No. 2, Juni 2014 77


B. Kritik Sanad Hadis al-‘Itrah
Untuk mengetahui validitas landasan hukum kedua kalangan
ini maka penulis akan mengawali menyorot sanad hadis versi Sunni
dari riwayat imam Tirmidzi di atas , beliau berkata:

‫“ حدثنا نصر بن عبد الرمحن الكويف حدثنا زيد بن احلسن هو األمناطي عن جعفر بن‬
‫ رأيت رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم يف‬: ‫حممد عن أبيه عن جابر بن عبد اهلل قال‬
‫حجته يوم عرفة وهو على ناقته القصواء خيطب فسمعته يقول يا أيها الناس إين قد‬
.“ ‫تركت فيكم ما إن أخذمت به لن تضلوا كتاب اهلل وعرتيت أهل بييت‬
“ dari Nashr bin ‘Abd al-Rahman al-Kufi(ia berkata), Zaid bin al-
Hasan yaitu al-Anmathi menceritakan kepada kami(beliau berkata)
dari Ja’far bin Muhammad(beliau berkata) dari bapaknya(beliau
berkata) dari Jabir bin ‘Abdullah beliau berkata: saya melihat
Rasulullah berhaji ketika hari ‘arafah sedang berkhutbah dan berada
di atas tunggangan untanya al-qashwa, saya mendengarnya beliau
bersabda: “ wahai manusia sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian
sesuatu, jika kalian mengambil/berpijak padanya kalian tidak akan
pernah tersesat, (yaitu) Kitabullah dan ‘Itrati, ahli baitku”.82
Menyorot para perawi hadits:

82
Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi(Beirut: Dar ‘Ihya al-Turats al-‘Arabi, t.t) cet
Ahmad Syakir, 5/662

78 Volume 1, No. 2, Juni 2014


Nashr bin Abdurrahman(w 248 H): sebagaimana dikatakan imam
Nasai, Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Maslamah ia
tsiqah(lihat Ibnu Hajar Tahdzib al-Tahdzib dan Taqrib al-
Tahdzib).
Zaid bin al-Hasan al-Anmathi(w.. ): sebagaimana dikatakan Ibnu
Hajar ia dha’if dan sebagaimana dikatakan Abu Hatim al-
Razi ia Munkar al-Hadits.
Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Hesen(w 148 H):
sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar ia Shaduq, imam
Syafi’i dan Yahya bin Ma’in mengatakan ia tsiqah.
Muhammad bin ‘Ali bin al-Husen(w 11..H): sebagaimana dikatakan
Ibnu Hajar Tsiqah.
Jabir bin ‘Abdullah: Sahabat Nabi yang tidak pernah lalai dari
berperang bersama Nabi.
Pengamatan kembali pada sanad hadits di atas ternyata ada
seorang informan yang dikategorikan lemah, yaitu kelemahan Zaid
bin al-Hasan al-Anmathi. Oleh karenanya sanad hadis yang
disebutkan lemah tidak dapat dijadikan sebagai landasan hokum.
Sebab di antara tipe hadits yang lemah/tertolak adalah hadis yang pada
sanadnya terdapat seorang atau lebih dari satu informan yang lemah.
Namun tidak berarti pesan moral yang disampaikan oleh Nabi
pada hadits di atas tidak boleh diamalkan. Sebab bisa jadi hadits yang
senada dengannya memiliki sanad yang dapat diandalkan terkait
masalah ini. Dan setelah penulis menelaah kembali hadits yang senada

Volume 1, No. 2, Juni 2014 79


ternyata terdapat dalam riwayat Tirmidzi yang disebut hadits sebab
turunnya ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pensucian keluarga
Nabi atau hadits al-kisa’yaitu:

‫ نزلت هذه اآلية على‬: ‫عن عمر بن أيب سلمة ربيب النيب صلى اهلل عيله وسلم قال‬
‫النيب صلى اهلل عليه و سلم { إمنا يريد اهلل ليذهب عنكم الرجس أهل البيت‬
‫ويطهركم تطهريا } يف بيت أم سلمة فدعا النيب صلى اهلل عليه و سلم فاطمة و‬
‫حسنا و حسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء مث قال اللهم هؤالء‬
‫أهل بييت فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهريا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نيب اهلل ؟‬
."‫قال أنت على مكانك وأنت إيل خري‬
“ Dari ‘Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi, beliau berkata: turun
ayat “ Alla hanyalah ingin menghilangkan dosa dari kalian ahli bait
dan benar-benar mensucikan kalian darinya” kepada Nabi di rumah
Ummu Salamah, lantas Nabi memanggil Fatimah, Hasan dan Husen
kemudian membukus mereka dengan selimut(kisa’) sementara Ali
berada di belakang Nabi dan kemudian Ali juga dibungkus oleh Nabi
sembari bersabda: “ya Allah mereka adalah ahli baitku, maka
bersihkan mereka dari dosa dan secikanlah mereka darinya”. Ummu
Salamah bertanya, apakah saya juga termasuk? Nabi bersabda:”
engkau di atas tempatmu dan engkau di atas kebaikan”.
dan masih dari imam Tirmidzi beliau juga menyebutkan bahwa:

80 Volume 1, No. 2, Juni 2014


‫عن زيد بن أرقم رضي اهلل عنهما قاال ‪ :‬قال رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم إين‬
‫تارك فيكم ما إن متسكتم به لن تضلوا بعدي أحدمها أعظم من اآلخر كتاب اهلل‬
‫حبل ممدود من السماء إىل األرض وعرتيت أهل بييت ولن يتفرقا حىت يردا علي احلوض‬
‫فانظروا كيف ختلفوين فيهما‬
‫‪“………dari sahabat Hubaib bin Abi Tsabit dan Zaid bin Arqam‬‬
‫‪mereka berkata: Rasulullah bersabda, sesungguhnya aku tinggalkan‬‬
‫‪pada kalian sesuatu, tidak tersesat setelahku jika kalian berpegang‬‬
‫‪padanya, yang pertama lebih agung dari yang kedua. Yaitu Kitabullah,‬‬
‫‪tali penyambung dari langit ke bumi dan ‘itrati ahli baitku. Keduanya‬‬
‫‪tidak akan terpisah hingga datang hari kiamat, maka lihatlah‬‬
‫‪bagaimana/apa yang kalian lakukan pada keduanya.‬‬

‫‪Adapun riwayat versi Syi’ah dalam Al-Kafi-al-Kulaini, beliau berkata:‬‬

‫“ عدة من أصحابنا‪ ،‬عن أمحد بن حممد بن عيسى‪ ،‬عن احلسني بن سعيد‪ ،‬عن‬
‫فضالة بن أيوب‪ :‬عن أيب املغرا‪ ،‬عن حممد بن سامل‪ ،‬عن أبان بن تغلب قال‪ :‬مسعت‬
‫أبا عبداهلل عليه السالم يقول‪ :‬قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وآله‪ :‬من أراد أن حيىي‬
‫حيايت‪ ،‬وميوت ميتيت ويدخل جنة عدن اليت غرسها اهلل ريب بيده‪ ،‬فليتول علي بن أيب‬
‫طالب وليتول وليه‪ ،‬وليعاد عدوه‪ ،‬وليسلم لالوصياء من بعده‪ ،‬فإهنم عرتيت من حلمي‬
‫ودمي‪ ،‬أعطاهم اهلل فهمي وعلمي‪ ،‬إىل اهلل أشكو [أمر] اميت‪ ،‬املنكرين لفضلهم‪،‬‬
‫القاطعني فيهم صليت‪ ،‬وأمي اهلل ليقتلن ابين ال أناهلم اهلل شفاعيت‪”.‬‬

‫‪Volume 1, No. 2, Juni 2014‬‬ ‫‪81‬‬


“ dari sejumlah sahabat-sahabat kami(mereka berkata) dari Ahmad bin
Muhammad bin ‘Isa(beliau berkata) dari al-Husen bin Sa’id(beliau
berkata) dari Fadhalah bin Ayyub(beliau berkata) dari Abu al-
Migra(beliau berkata) dari Muhammad bin Salim dari Aban bin
Taglib beliau berkata: saya mendengar Abu Abdillah-‘alaihi al-Salam-
berkata: Rasulullah SAW bersabda: “ barang siapa yang hidup seperti
hidupku, mati seperti matiku dan masuk surge ‘and yang Allah tanami
dengan tangan-Nya, maka hendaklah ia berwali kepada Ali bin Abi
Thalib dan berwali dengan pembantu penerusnya, memusuhi
musuhnya, berserah diri kepada ahli wasiat setelahnya. Karena mereka
adalah ‘Itrati dari darah dagingku, yang Allah karuniai kepahaman
dan keilmuanku. Hanya kepada Allah aku mengadu urusan umatku,
yang mengingkari keutamaan mereka, yang memutuskan tali rahimku
dengan mereka. Demi Allah mereka pembunuh anakku, tidak akan
menerima syafa’atku.”83
Agar terlihat lebih obyektif menyoroti sanad riwayat di atas
kami menngunakan argument ulama Syi’ah dalam literature mereka.
Oleh karenanya kami katakan:
‫ عدة من أصحابنا‬: mereka adalah Muhammad bin Yahya, Ali bin Musa al-
Kamandani, Daud bin Kaurah, Ahmad bin Idris dan ‘Ali
bin Ibrahim. 84 Mereka adalah para guru al-Kulaini yang
dianggap tsiqah oleh ulama Syi’ah.

83
Muhammad bin Yakub al-Kulaini, al-Kafi(t. k: t. p, t.t) 1/309
84
‘Ali al-Khaqani, Rijal al-Khaqani(Teheran: Maktab al-‘I’lam al-Islami, 1404)
1/44

82 Volume 1, No. 2, Juni 2014


Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa: sebagaimana komentar al-Tusi
dan syekh al-Sajjan ia tsiqah.85
Al-Husen bin Sai’id: sebagaimana komentar al-Tusi ia adalah budak
‘Ali bin al-Husen tsiqah.86
87
Fadhalah bin Ayub: sebagaimana komentar Ibnu Daud, al-
88
Khaqan dan al-Tusi ia tsiqah.
Abu al-Migra: nama beliau Humed bin al-Mutsanna, sebagaimana
yang dikomentari Ibnu Daud, al-Tusi dan al-Najasyi ia
tsiqah.
Muhammad bin Salim: bin Abi Salamah al-Kindi al-Sujustani,
sebagaimana komentar ‘Ali al-Najasyi ia
Muhmal(ditingalkan riwayatnya) sementara ia dipuji oleh
al-Kisyi.89
Aban bin Taglib(w 141 H): bin Rabah, sebagaimana komentar Ibnu
Daud ia tsiqah dan menurut Tusi ia faqih.
Abu ‘Abdillah(80-148 H): Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-
Husen bin Ali bin Abi Thalib, salah seorang imam dua

85
Syekh al-Tusi, Rijal al-Tusi(t.k: t.p, t.t) 1/164
86
Ibid 1/168
87
Ibnu Daud, Rijal Ibnu Daud(Najef: Mansyurat al-Matba’ah al-Haidariyah,
1392 H) 146
88
‘Ali Al-Khaqani, Rijal al-Khaqan…1/131
89
Ibnu Daud,……167

Volume 1, No. 2, Juni 2014 83


belas yang ke enam dalam versi Syi’ah 90 dan seorang
perawi hadits yang shaduq faqih dalam versi Sunni.91
Pengamatan kembali pada sanad riwayat di atas ternyata ada
seorang informan yang statusnya dipermasalahkan, yaitu Muhammad
bin Salim, yaitu ditinggalkan riwayatnya dan tidak bisa dijadikan
dalil. Oleh karena tidak jelasnya sanad riwayat ini dapat dipastikan
tidak dapat dijadikan sebagai landasan hokum. Sebab di antara tipe
hadits yang lemah/tertolak adalah hadis yang pada sanadnya terdapat
seorang atau lebih dari satu informan yang tidak jelas atau
bermasalah 92 . Selain itu sanadnya terputus tidak bersambung, yaitu
antara Ja’far dan Nabi, walaupun dikalangan Syi’ah riwayat seperti ini
bisa dijadikan dalil.
Untuk data sementara sanad riwayat di atas lemah, namun
bagi Syi’ah riwayat ini shahih. Sebab bagi mereka kitab al-Kafi adalah
kitab paling shahih. Selain itu menurut mereka riwayat ini dikuatkan
dengan riwayat-riwayat yang lain-walaupun bagi Sunni hadis versi
Syi'ah lemah-. Misalnya hadits al-Kisa’ dan hadits sebab turunnya
ayat pensucian keluarga Nabi. Sebagaimana yang kami jelaskan
sebelumnya. Dengan demikian kedua keterangan di atas baik hadits

90
Ja’far al-Shadiq dalam Wikipedia, http://ar.wikipedia.org/wiki/ja’far_al-
sadiq. Di akses tagl 29 oktber 2013.
91
Ibnu Hajar, Taqrib al-Tahdzib(Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1995) no 952 hlm 163.
92
Lihat pengertian hadits dhaif: Dirosat fi al-Kafi Li al-Kulaini wa al-Shahih li
al-Bukhari,..6/7

84 Volume 1, No. 2, Juni 2014


versi sunni dan syi’ah selayaknya dinalar kembali matannya untuk
mendapatkan kesimpulan yang adil dan masuk akal.

C. Pengertian ‘Ithrah
Para Ahli linguistic dari kalangan Sunni telah menjelaskan
kata al-‘itrah. Menurut mereka kata ini berarti al-nasl (keturunan),
‘aqaribi al-Rajul dan rahthuhu (keluarga dan kelompok/kerabat
seseorang) 93, Bani ‘Ammihi(anak-anak pamannya) 94 dan juga berarti
kaumnya95. Pengertian ini dikemukakan oleh imam Al-Munawi, imam
Muhammad bin Abi Bakr al-Razi dan Tim penyusun kamus al-
Mu’jam al-Wasith. Sementara dikalangan Ahli linguistik Syi’ah dan
bersama sebagian ahli linguistic Sunni sepekat dengan pengertian di
atas, selain itu ahli linguistic Syi’ah juga mendefenisikan ‘Itrah
dengan banyak versi, terkadang ia berarti al-dzukuur min al-
aulad(anak-anak laki), terkadang berarti auliya’uhu al-muttaqun(para
walinya yang bertakwa) dan terkadang berarti rahtuhu(kelompok atau
kaumnya).96
Beberapa pengertian yang di kemukakan oleh kedua versi di
atas memberi kesimpulan bagi penulis bahwa kata ‘itrah berarti

93 Muhammad bin Abu Bakr al-Razi, Mukhtar al-Shihah(Beirut: Maktabah


Lubnan Nasyrun, 1995) 467. Tim Penyusun, al-Mu’jam al-Wasith(Majma’ al-Lughah
al-‘Arabiyah: Daar al-Da’wah, tt) 2/582. Muhammad ‘Abd al-Raur al-Munawi, al-
Ta’ariif(Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’ashir, 1410) 502.
94 Abu Abd Al-Rahman al-Farahidi, Kitab al-‘Ain(t.t: Dar dan Maktabah al-
Hilal, t.t)2/66. Ibnu al-Manzur, Lisan al-‘Arab(Beirut: Daar Shadir, t.t) cet I,
95 Ibnu al-Manzur, Lisan al-‘Arab(Beirut: Daar Shadir, t.t) cet I, 4/536
96 Al-Thuraihi, Majma’ al-Bahrain(t.k: t.p, t.t) 3/302

Volume 1, No. 2, Juni 2014 85


keturunan, kerabat dan bahkan kaum seseorang. Jika demikian definisi
ini dapat ditarik ke definisi secara terminology.
Secara terminology ‘itrah didefinisikan oleh ulama Sunni
sebagai keluarga Rasulullah SAW, sebagaimana yang didefinisikan
Oleh Nabi sendiri dalam hadits versi Sunni. Namun pada
perkembanganya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syekh Abd
al-Muhsin al-Badr 97 ‘itrah adalah keluarga Rasulullah yang tidak
dihalalkan menerima zakat. Yaitu, Istri-istri Nabi, keturunan dan
setiap muslim/muslimah yang bernasab ‘Abd al-Mutthalib, mereka
adalah Bani Hasyim bin ‘Abd Manaf. 98 Penjelasan serupa ternyata
telah dijelaskan jauh sebelumnya oleh para ulama, seperti Imam Ibnu
Hazm, Ibnu Qudamah dan Ibnu Hajar dalam goresan emas mereka.
Bahkan ulama besar sebelum mereka juga telah menjelaskannya,
seperti ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Ikrimah, ‘Atha, al-Kalbi, Muqatil dan
Sa’id bin Jubair yang menyatakan konteks keluarga Nabi dalam ayat
pensucian adalah Istri-istrinya.99
Adapun dalam versi Syi’ah mereka mengatakan:
ِ ‫ و‬،‫ رسول اهلل صلى اهلل عليه وآله وسلم‬:‫فاملراد من أهل البيت هم‬
،‫االمام علي‬
‫ ويلحق هبم‬،‫ وسيدا شباب أهل اجلنة احلسن واحلسني عليهم السالم‬،‫وفاطمة الزهراء‬

97
Dosen di Islamic Unifersity of Madinah, Konsentrasi Hadits dan Fiqh serta
salah satu dari Dewan pengajar di Masjid Nabawi Madinah saat ini.
98
Abd Al-Muhsin al-‘Abbad al-Badr, Fadhl Ahlu al-Bait wa ‘Uluw
Makanatihim ‘Ainda Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah(Riyadh: Dar Ibnu al-Atsir, 2001)
hlm 6.
99
Lihat: Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi((Beirut:
Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t) 9/48

86 Volume 1, No. 2, Juni 2014


ِ ‫ وهم االَئمة التسعة املعصومون من ولد‬،‫الذرية الطاهرة‬
،‫االمام احلسني عليهم السالم‬
‫أخصهم به من حيث‬
ّ ‫وهؤالء هم أقرب الناس إىل النيب صلى اهلل عليه وآله وسلم و‬
.‫ وأعلمهم بسنته وهنجه‬،‫ وأعرفهم بدينه‬،‫العلم‬
“ yang dimaksud dengan ahli bait adalah Rasulullah, imam Ali,
Fatimah, dua pemimpin pemudah penduduk Surga Hasan dan Husen.
kemudian ditambah dengan keturunan suci, yaitu para imam yang
Sembilan, yang ma’sum(bersih dari dosa) dari keturunan imam Husen,
mereka semua adalah manusia terdekat kepada Nabi, yang paling
mengetahui tentang Nabi, yang paling mengilmui agama, sunnah dan
manhaj Nabi.100
Berdasarkan penjelasan di atas, istilah ‘itrah atau ahli bait
mengalami perbedaan pandangan yang sangat jauh. Bagi Sunni ahli
bait Nabi mencakup anak-anak, istri-istri dan setiap yang
berketurunan ‘Abd al-Mutthalib. Sementara Syi’ah hanya
mengkhususkan pada tiga belas orang saja, yaitu Ali, Fatimah, Hasan,
Husen dan Imam yang Sembilan.
Sebab central yang memisahkan mereka dari obyek yang dikaji
adalah konsep atau perspektif yang berbeda, jika konsep telah berbeda
maka sulit bagi kita untuk menjinakkan kedua pandangan yang
berbeda dari satu obyek yang sama. Namun apakah sudah seperti ini?

100 Tim Penyusun Markas al-Risalah, Mawaddah Ahl al-Bait Wa Fadhailihim


fi al-Kitab wa al-Sunnah(t.k: t.p, t.t) hlm 6

Volume 1, No. 2, Juni 2014 87


Mungkinkan salah satu kubu tersebut mengalah? Ataukah harus
menalar kembali secara obyektif dan masuk akal?

D. Menalar Ulang Konteks Ahli Bait Nabi


Sekali lagi hadits yang digunakan oleh Syi’ah untuk
melegalkan ahli bait Nabi hanya terbatas pada Ali, Fatimah, Hasan,
Husen dan Imam yang Sembilan adalah berputar pada hadits yang
kami sebutkan di atas, hadis 'itrah versi syi'ah yang terlihat sangat
101
berlebihan, hadits al-Kisa’ atau hadits sebab turunnya ayat
pencusian keluarga Nabi serta ayat pensucian(ayat al-tathiir) itu
sendiri, yaitu firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 33:
ِ ‫الرجس أَهل الْب ي‬
"‫ت َويُطَ ِّهَرُك ْم تَطْ ِه ًريا‬ ِ ِ ‫"إِممنَا ي ِر م‬
ْ َ َ ْ َ ْ ِّ ‫ب َعْن ُك ُم‬
َ ‫يد اللهُ ليُ ْذه‬
ُ ُ
“ sungguh Allah hanyalah ingin menghilangkan dosa dari kalian, ahli
bait dan benar-benar mensucikan kalian darinya”

101
Riwayat Tirmidzi, sebagaimana yang kami sebutkan pada catatan kaki
sebelumnya:….
‫ نزلت هذه اآلية على النبي صلى هللا‬: ‫عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى هللا عيله وسلم قال‬
‫عليه و سلم { إنما يريد هللا ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا النبي‬
‫صلى هللا عليه و سلم فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم قال اللهم هؤالء‬
‫أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي هللا ؟ قال أنت على مكانك وأنت‬
( ‫إلي خير‬
“ Dari ‘Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi, beliau berkata: turun ayat “
Alla hanyalah ingin menghilangkan dosa dari kalian ahli bait dan benar-benar
mensucikan kalian darinya” kepada Nabi di rumah Ummu Salamah, lantas Nabi
memanggil Fatimah, Hasan dan Husen kemudian membukus mereka dengan
selimut(kisa’) sementara Ali berada di belakang Nabi dan kemudian Ali juga
dibungkus oleh Nabi sembari bersabda: “ya Allah mereka adalah ahli baitku, maka
bersihkan mereka dari dosa dan secikanlah mereka darinya”. Ummu Salamah
bertanya, apakah saya juga termasuk? Nabi bersabda:” engkau di atas tempatmu dan
engkau di atas kebaikan”.

88 Volume 1, No. 2, Juni 2014


Dalil-dalil di atas digunakan oleh Syi’ah untuk memetakkan
ahli bait sebagaimana yang dijelaskan. Terlepas dari ketimpangan dan
penyelewengan matan hadis 'itrah versi Syi'ah di atas jika dilihat
kembali konteks baik hadis al-kisa’, sebab turunnya ayat di atas dan
ayatnya itu sendiri justru tujuannya untuk menjelaskan keutamaan
istri-istri Nabi saja-walaupun sebenarnya yang lain pun termasuk-.
Mengapa demikian, karena konteks sebelum dan sesudah ayat di atas
melegitimasi bahwa istri-istri Nabi masuk kedalam ahli bait Nabi.
Alangkah lebih baik jika ayat tersebut penulis sebutkan, Allah
berfirman:

‫ض ْع َن بِالْ َق ْوِل فَيَطْ َم َع الم ِذي ِيف‬ ‫ِّس ِاء إِ ِن اتم َقْي ُ م‬
َ ْ‫ُت فَال َخت‬
ِ ٍ ‫ُت َكأ‬
َ ‫َحد م َن الن‬
ِ
ِّ ِ‫"يَا ن َساءَ الن‬
َ ‫ميب لَ ْس ُ م‬
َ ‫اهلِيم ِة‬
‫األوىل‬ ِ ‫اجل‬ ِ
َْ ‫) َوقَ ْر َن ِيف بُيُوت ُك من َوال تَبَ مر ْج َن تَبَ ُّر َج‬32( ‫ض َوقُ ْل َن قَ ْوال َم ْع ُروفًا‬
ِ
ٌ ‫قَ ْلبِه َمَر‬
ِ ِ ‫َطعن اللمه ورسولَه إِممنَا ي ِر م‬ ‫َوأَقِ ْم َن ال م‬
‫س أ َْه َل‬َ ‫الر ْج‬
ِّ ‫ب َعْن ُك ُم‬ َ ‫يد اللهُ ليُ ْذه‬ ُ ُ ُ ُ َ َ َ َ ْ ِ ‫ني المزَكا َة َوأ‬ ِ
َ ‫صال َة وآت‬
‫ْم ِة إِ من‬ ِْ ‫ات اللم ِه و‬ ِ ‫) واذْ ُكر َن ما ي ْت لَى ِيف ب يوتِ ُك من ِمن آي‬33( ‫ت ويطَ ِّهرُكم تَطْ ِهريا‬ ِ
َ ‫احلك‬ َ َ ْ ُُ ُ َ ْ َ ً ْ َ ُ َ ‫الْبَ ْي‬
.)34( ‫اللمهَ َكا َن لَ ِطي ًفا َخبِ ًريا‬
“ Wahai istri-istri Nabi kalian tidaklah seperti wanita-wanita yang
lain, jika kalian bertakwa, janganlah kalian merendahkan/
melembutkan kata-kata sehingga akan mendatangkan perasaan buruk
seorang lelaki, dan katakanlah kata-kata yang baik(32). Dan tetaplah
berdiam dirumah-rumah kalian, janganlah ber-tabarruj(berhias)
seperti cara berhiasnya orang-orang jahiliyah dahulu, tegakkanlah
shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya, sungguh

Volume 1, No. 2, Juni 2014 89


Allah hanyalah ingin menghilangkan dosa dari kalian, ahli bait dan
benar-benar mensucikan kalian darinya(33). Dan ingatlah apa yang
dibacakan dari ayat-ayat Allah dan al-hikmah(sunah versi Syafi’i) di
rumah-rumah kalian, sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi
Khabir(34).
Jadi jelas dan terang bagaikan matahari disiang bolong terkait
konteks ayat yang lengkap ini. Namun mungkian sebagian kita akan
kembali bertanya, bukankah potongan ayat ke-33 di atas memiliki
sebab nuzul? Dengan kata lain bukankah hadits al-kisa’ itu adalah
pegkhususan ayat ke-33 tersebut?
Penulis mengakui bahwa hadis al-kisa’ riwayat Ummu
Salamah adalah penyebab turunnya ayat tersebut, dengan kata lain
sebagai pengkhususan ayat tersebut. Namun memahaminya tidak
serta-merta menjastifikasi bahwa keluarga Nabi hanya terbatas pada
Ali, Fatimah, Hasan dan Husen. karena sabab nuzul ayat ke-33 itu
berkemungkinan memiliki dua makna, pertama jawaban Nabi kepada
Ummu Salamah; engkau berada dalam kebaikan karena engkau sudah
termasuk dari ahli baitku. Kedua bisa jadi jawaban Nabi kepadanya;
walaupun engkau bukan ahli baitku engkau dalam kebaikan.
Dalam kaidah ushul fikh disebutkan bahwa jika ada dua atau
lebih kemungkinan dari teks mujmal maka bathalat al-istidlal(semua
kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak bisa dijadikan dalil). Maka
jalan terbaik untuk memahami sebab turunnya ayat dan ayat itu sendiri

90 Volume 1, No. 2, Juni 2014


adalah kembali pada konteks ayat secara keseluruhan, yaitu bahwa
istri-istri Nabi dan anak-anaknya juga termasuk ahli baitnya.
Hal lain yang menguatkan pandangan penulis ini adalah sudah
menjadi hal yang merasuk dalam kebiasaan kita semua bahwa ketika
kita berkata atau mendengar kata ahli bait alias keluarga seseorang
maka konotasinya adalah istri dan anak-anaknya. Misalnya ada orang
lain yang bertanya kepada kita, bagaimana keadaan keluargamu?.
Disamping itu mengapa Syi’ah hanya mengkususkan pada Ali,
Fatimah, Hasan, Husen dan Sembilan imam sebagai ahli bait Nabi?
Bukankan keturunan Nabi selain mereka banyak? Dimana posisi
keturunan Hasan bin Ali? Apakah mereka bukan termasuk keluarga
Nabi? Mengapa Sembilan imam itu hanya berasal dari keturunan
Husen bin Ali? Mungkinkah orang-orang selain mereka yang merasa
nasab mereka bersambung kepada Nabi pasrah menerima
penghususan ini? Saya kira mereka tidak terima dan akan marah
besar.
Lebih masuk akal mana, pengertian yang diusung oleh Sunni
atau Syi’ah? Lebih konverhensif mana jika dibandingkan dengan
devinisi yang diusung oleh Syi’ah. Bukankah lebih baik jika Istri-istri
Nabi, anak-anak Nabi dan setiap muslim yang bernasab langsung ke
‘Abd al-Muthalib juga dimasukkan?!.

E. Mengapa Harus Itrahti/ahli baiti, Apa Keistimewaan Mereka?

Volume 1, No. 2, Juni 2014 91


Bagi Syi’ah penghususan Nabi menyebut Nama Ali bin Abi
Thalib, Fatimah binti Muhammad, Hasan dan Husen dalam hadis
‘itrah merupakan kehormatan, kemuliaan dan kesucian yang tiada
tara. Mereka dan ditambah imam-imam yang diyakini Syia’ah adalah
ma’sum alias bersih dari dosa. Sebabnya karena dosa mereka telah
dibersihkan selamanya hingga hari kiamat. Mereka semua tidak
mungkin berbuat dosa102.
Segala kemuliaan dan kesucian yang dialamatkan olah Syi’ah
kepada mereka tersebut tidaklah terbatas sampai disitu, tidak terbatas
ketika mereka masih hidup saja, setelah para imam ini meninggalpun
kehormatan dan kesucian ini masih tetap diagungkan bahkan dianggap
bagian dari idiologi agama Syi’ah.
Hal itu dapat dilacak pada peristiwa tahunan di balik Tanah
Karbala, bagi orang Syi'ah karbala lebih utama daripada Ka'bah
karena padanya sahabat Husein terbunuh, disebutkan dalam kitab
Biharul Anwar dari Abu Abdillah, ia berkata: "Sesungguhnya Allah
menurunkan wahyu-Nya kepada Ka'bah dengan mengatakan, "Jika
bukan karena tanah Karbala Aku tidak mengutamakanmu, dan jika
bukan karena imam yang bersemayam di tanah Karbala, Aku tidak
menciptakanmu, dan Aku tidak menciptakan masjid yang engkau
banggakan, diamlah kamu jangan bertingkah, jadilah kamu tumpukan
dosa, hina dina, yang dihinakan dan jangan sombong kepada tanah

102
Lihat: Al-Kulaini, al-Kafi, 1/297

92 Volume 1, No. 2, Juni 2014


Karbala. Jika tidak, Aku akan menghempaskan kau ke neraka
Jahannam103.
Maka wajar jika orang-orang Syi’ah Rafidhah ini menjadikan
ziarah ke kuburan Husain di Karbala lebih mulia dari pada rukun
Islam yang ke lima yaitu ibadah haji ke baitullah!! Sebagaimana Al-
Majlisi dalam bukunya Bihaarul Anwaar menyebutkan riwayat dari
Busyair Ad-Dahhaan, dia bertanya kepada Abu Abdillah: "Kadang
aku tidak sempat menunaikan ibadah haji, maka bisa aku menziarahi
kuburan Husain? Dia menjawab: "Bagus wahai Busyair, apabila ada
seorang mukmin mendatangi kuburan Husain dengan menyadari akan
haknya pada hari selain hari raya, maka akan dituliskan baginya dua
puluh haji, dua puluh umrah yang mabrur dan diterima, serta dua
puluh peperangan bersama Nabi atau bersama pemimpin yang adil.
Dan barangsiapa yang mendatangi kuburan Husain pada hari Arafah
dengan menyadari akan haknya, maka akan dituliskan baginya seribu
haji dan seribu umrah yang mabrur dan diterima, serta seribu
peperangan bersama Rasul atau pemimpin yang adil"104.
Dalam buku ini juga dikatakan bahwa penziarah kuburan
Husain di Karbala adalah orang-orang yang suci, sedang jama'ah haji
yang berada di Arafah adalah anak zina, wal 'iyaadzu billah!!!
Sebagaimana dalam riwayat mereka dari Ali bin Asbath dari Abu
Abdillah, dia mengatakan: "Sesungguhnya perhatian pertama Allah

103
Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihar al-Anwaar(Beirut: Mu’assaah al-Wafa,
t.t) 98/107
104
Al-Majlisi, Bihar al-Anwaar, 98/85

Volume 1, No. 2, Juni 2014 93


Ta'ala adalah pada para peziarah kuburan Husain pada siang hari
Arafah". Ali bin Asbath bertanya: "Sebelum Allah melihat kepada
orang-orang yang wukuf di Arafah?" Dia menjawab: "Iya". Aku
bertanya: "Bagaimana bisa seperti itu?". Jawabnya: "Karena di antara
mereka ada anak-anak zina sedang pada peziarah kuburan Husain
tidak ada sedikitpun anak-anak zina105.
Masih tersimpan sekelumit kesucian dan kemuliaan yang
dialamatkan oleh Syi’ah kepada Ahli bait Nabi yang lain, namun
penulis mencukupkan dengan fakta-fakta di atas untuk mewakili
pengkultusan Syi’ah terhadap Ahli bait Nabi terkhusus mereka yang
kami sebutkan.
Adapun bagi Sunni, Ahli Bait adalah manusia biasa,
sebagaimana yang lain, tidak ada perbedaan, sebagian mereka ada
yang ahli fikih, sedangkan yang lain adalah ulama dan khalifah, kami
tidak menisbatkan kepada mereka sesuatu apapun berupa
pengkultusan yang tidak pernah mereka dakwakan bagi diri mereka,
karena mereka sendiri mencegah hal itu dan berlepas diri darinya.
Adapun pesan moral yang Nabi sampaikan pada hadis ‘itrah di
atas adalah hanya untuk berpegang teguh dengan al-Qur’an dan ‘itrah
beliau. Pertanyaan yang kemudian timbul Adakah hubungan antara al-
Qur’an dan ‘Itrah? Jawabannya tentu ada, yaitu karena Ahli bait Nabi
yang sesungguhnya senantiasa berpegang pada al-Qur’an. Dan
Apakah keterangan tersebut memiliki hubungan dengan hadits yang

105
Ibid.

94 Volume 1, No. 2, Juni 2014


padanya Nabi berpesan agar manusia berpegang teguh dengan al-
Qur’an dan Sunnahnya?. Hadis tersebut adalah riwayat Daruqutni dan
al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:

‫اب اللم ِه َو ُسن ِمىت َولَ ْن يَتَ َفمرقَا َح مىت يَِرَدا َعلَ مى‬ ِ ِ ِ ْ َ‫ت فِي ُكم َشْيئ‬
َ َ‫ني لَ ْن تَضلُّوا بَ ْع َد ُمهَا كت‬ ْ ُ ‫( َخلم ْف‬
)‫ض‬
َ ‫احلَ ْو‬
ْ
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, dimana kalian tidak akan
pernah tersesat, kitab Allah dan sunnah-ku, keduannya tidak akan
bisa berpisah hingga keduanya menemuiku di telaga(artinya tidak
akan terpisahkan sampai kiamat tiba)”.106
Secara tekstual kedua hadits ini memiliki tujuan dan fokus
yang berbeda. Namun menurut hakikatnya konteks kedua hadits ini
saling berhubungan, sebab jika kita mencintai dan mengikuti Ahli bait
Nabi yang konsisten di atas sunah maka kita tidak akan tersesat.
Dengan kata lain sunah yang dijalankan oleh ahli bait Nabi jika diikuti
oleh umat ini dengan penuh cinta maka mereka tidak akan tersesat.
Imam al-Qari’ menjelaskan: maksud dari berpegang teguh
pada al-Qur’an dan ‘itrati adalah mencintai, menjaga kehormatan
mereka dan menjalankan apa yang mereka riwayatkan serta
bersandarkan pada perkataan mereka, dan hal ini tidak berarti menolak
riwayat selain mereka. Sebab menurutnya Nabi telah bersabda: “
sahabat-sahabatku bagaikan bintang-bintang, pada siapapun kalian

106
Al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966) 4/245
no 149 dan Abu Bakr Ahmad al-Bazzar, al-Bahru al-Zakhar(Madinah: Maktabah al-
‘Ulum wa al-Hikam, 1988-2009) 15/385 no 8993.

Volume 1, No. 2, Juni 2014 95


meneladani pasti berada dalam petunjuk”. 107 Begitu juga Ibnu al-
Malik, beliau mengatakan: berpegang teguh pada al-Qur’an adalah
menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang
oleh al-Qur’an, sedangkan berpegang teguh pada al-‘Itrah adalah
mencintai mereka dan meneladani jalan petunjuk mereka.
Ditambahkan oleh al-Said Jamal al-Dien: jika mereka tidak
menyelisihi agama Islam.108
Jika demikian tingginya mengikuti mereka, maka alangkah
tinggi dan agungnya posisi dan keutamaan mereka. Di antara
keutamaan mereka secara umum adalah:
a. Mereka adalah Qudwah alias teladan.
b. Mereka wajib dicintai karena mencintai mereka adalah ibadah.
c. Mereka adalah keluarga khusus dan terdekat kepada Nabi.
d. Mereka bagaikan bintang yang menerangi manusia.
e. Dosa-dosa mereka telah dibersihkan saat hadits itu diucapkan.
Namun hal yang perlu dicatat adalah walaupun ada seseorang
yang bernasab demikian tidak berarti bersih dari dosa atau akan masuk
surga kecuali yang telah disebutkan keutamaannya oleh Nabi dalam
hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi:

‫و من بطأ به عمله مل يسرع به نسبه‬

107
Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi(Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t)
10/196. Hadis ini dilemahkan oleh sebagian ulama hadis.
108
Ibid…

96 Volume 1, No. 2, Juni 2014


“ dan barangsiapa yang amal perbuatannya melambatkannya maka
nasabnya tidak akan mempercepat(proses penghisaban)nya.(HR.Al-
Baihaqi)
B. Penutup
Pembacaan kembali pandangan Sunni dan Syia’h pada hadits
‘itrah memberi kesimpulan bahwa hadis ‘itrah berstatus lemah.
Namun, ia dapat di kuatkan dengan hadits al-kisa’, sebab turunnya
ayat pensucian ahli bait dan ayat ahli bait itu sendiri. Dari sisi bahasa
kata ‘itrah berarti anak, keluarga, kaum dan pengikut.
Sementara secara terminology ‘itrah bermakna anak-anak,
kerabat dan kaum Nabi. Kemudian dari devinisi yang disajikan oleh
para ulama baik dari kalangan Sunni ataupun dari kalangan Syi’ah
terlihat ada perbedaan yang mencolok. Bagi penganut Syi’ah istilah
‘itrah Nabi adalah Ali bin Abi Thalib, anak-anak, dan cucu-cucunya.
Kemudian pada perkembangannya ditambahkan jiga 9(Sembilan)
wali/imam ma’sum(bersih dari dosa)yang mereka yakini.
Namun pandangan seperti ini terlihat mengisolasi keluarga
Nabi-terkhusus istri-istrinya dan setiap muslim/muslimah yang
nasabnya bersambung kepada Nabi- untuk dikategorikan dalam
keluarganya. Maka kesimpulan yang dapat penulis ambil bahwa ‘itrah
adalah anak-anak, istri-istri Nabi dan setiap Muslim yang memiliki
nasab yang bersambung kepada ‘Abd al-Mutthalib. Sebab konteks
pengertian ini lebih masuk akal dan konverhensif.

Volume 1, No. 2, Juni 2014 97


Syi’ah menjadikan Ahli bait khususnya Ali, Fatimah, Hasan
dan Husein serta para imam yang lain bagaikan para Nabi dengan
segala kriteriannya, bahkan bisa lebih dari para Nabi, sebagaimana
pengkultusan mereka pada Husein bin Ali bin Abi Thalib109. Namun
bagi Sunni mereka adalah manusia biasa yang dimuliakan karena
bertalian nasab kepada Nabi, tidak sepenuhnya seperti para Nabi.

109
Lihat halaman 10-11 pada makalah ini.

98 Volume 1, No. 2, Juni 2014


Daftar Pustaka
al-Kulaini, furu’ al-Kafi.
Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi(Beirut: Dar ‘Ihya al-Turats al-‘Arabi, t.t)
cet Ahmad Syakir.
Muhammad bin Yakub al-Kulaini, al-Kafi(t. k: t. p, t.t) .
‘Ali al-Khaqani, Rijal al-Khaqani(Teheran: Maktab al-‘I’lam al-
Islami, 1404).
Syekh al-Tusi, Rijal al-Tusi(t.k: t.p, t.t).
Ibnu Daud, Rijal Ibnu Daud(Najef: Mansyurat al-Matba’ah al-
Haidariyah, 1392 H).
‘Ali Al-Khaqani, Rijal al-Khaqan.
Ja’far al-Shadiq dalam Wikipedia,
http://ar.wikipedia.org/wiki/ja’far_al-sadiq. Di akses tagl 29
oktber 2013.
Ibnu Hajar, Taqrib al-Tahdzib(Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1995)
Dirosat fi al-Kafi Li al-Kulaini wa al-Shahih li al-Bukhari.
Muhammad bin Abu Bakr al-Razi, Mukhtar al-Shihah(Beirut:
Maktabah Lubnan Nasyrun, 1995).
Tim Penyusun, al-Mu’jam al-Wasith(Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah:
Daar al-Da’wah, tt).
Muhammad ‘Abd al-Raur al-Munawi, al-Ta’ariif(Beirut: Daar al-Fikr
al-Mu’ashir, 1410).

Volume 1, No. 2, Juni 2014 99


Abu Abd Al-Rahman al-Farahidi, Kitab al-‘Ain(t.t: Dar dan Maktabah
al-Hilal, t.t).
Ibnu al-Manzur, Lisan al-‘Arab(Beirut: Daar Shadir, t.t) cet I,
Al-Thuraihi, Majma’ al-Bahrain(t.k: t.p, t.t).
Abd Al-Muhsin al-‘Abbad al-Badr, Fadhl Ahlu al-Bait wa ‘Uluw
Makanatihim ‘Ainda Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah(Riyadh:
Dar Ibnu al-Atsir, 2001).
Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi((Beirut:
Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t).
Tim Penyusun Markas al-Risalah, Mawaddah Ahl al-Bait Wa
Fadhailihim fi al-Kitab wa al-Sunnah(t.k: t.p, t.t).
Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi(Beirut: Daar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, t.t).
Abu al-Hasan Ali bin Umar Al-Daruquthni, Sunan al-
Daruquthni(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966).
Abu Bakr Ahmad al-Bazzar, al-Bahru al-Zakhar(Madinah: Maktabah
al-‘Ulum wa al-Hikam, 1988-2009).

100 Volume 1, No. 2, Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai