Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Bid'ah dan Hukumnya Menurut Golongan

Wahabi dan Ahli Sunnah wal Jama'ah


bapakeqya.blogspot.co.id /2015/12/pengertian-bidah-dan-hukumnya-menurut.html

Ahli Bid'ah..kafirr nte!!

Pengertian Bid'ah dan Hukumnya Menurut Golongan Wahabi dan Ahli Sunnah wal Jama'ah -

Bid'ah merupakan kalimat yang biasa di gunakan kelompok Muslim tertentu untuk men-justice kelompok
Muslim lainnya sebagai kelompok sesat dan melenceng dari ajaran yang benar sesuai sariat yang di bawa
oleh Nabi saw.

Segala perbuatan yang tidak di contohklan oleh Nabi saw tergolong perbuatan sesat dan haram di
lakukan, karena hal itu termasuk bid'ah dan segala yang bid'ah itu sesat dan segala kesesatan itu tempat
yang pantas hanyalah di neraka.

Jadi, tukang bid'ah dan pelaku perbuatan bid'ah adalah manusia ahli neraka! Seperti itulah sebagian
Muslim menuduh muslim lainnya yang tidak sepaham, sehingga akhirnya kalimat bid'ah menjadi
pembahasan yang serius oleh sebagian besar umat Islam.

Lalu, apa sih yang di maksud dengan bid'ah? Benarkah segala perbuatan yang tidak di contohkan oleh
Nabi saw di kategorikan sebagai bid'ah? Benarkah semua bid'ah itu sesat dan neraka sebagai
balasannya? Untuk menjawab itu semua, mari kita kaji keterangan-keterangan di bawah ini.

super hero pun ahli bid'ah

Pengertian Bid'ah

Secara Etimologi

Para ulama Kufah, yaitu golongan ahli bahas yang paling fasih dalam memahami bahas Al-Qur'an sepakat
bahwa kata Bid'ah merupakan kalimat Muttasharif yang merupakan pecahan (musytaq)dari isim masdar.

Kata ini berasal dari al-Fi'il al-Madhi (ba-da-'a) yang masuk bab tiga dalam al-Tashrif al-fi'li, di mana 'ain
Fi'il pada al-Fi'il al-Madhi dan 'ain fi'il pada al-FI'il al-mudhori' sama-sama di baca fathah.

Secara Etimologi, Bid'ah bermakna yang pertama atau yang mengawali.

Makna ini di landasi oleh kalimat yang terdapat pada al-Qur'an surat al-Ahqof ayat 9 sebagai berikut :

"Katakanlah (Muhammad), Aku bukanlah Rosul yang pertama diantara Rosul-Rosul dan aku tidak
mengetahui apa yang aku perbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu aku tidak lain hanyalah
mengikuti apa yang di wahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang
menjelaskan "
Dengan demikian, secara bahasa, "segala sesuatu yang menunjukan arti yang pertama atau yang
mengawali di sebut bid'ah".

Jangan berda'wah di sosmed..bid'ah!!

Secara Terminologi
Pengertian bid'ah secara istilah sangatlah beragam. Pengertian ini berdasarkan pendapat para ulama ahli
bahasa dan ahli tafsir yang mu'tabaroh serta telah di akui kesahihan ilmunya oleh jumhur ulama sedunia.
Di bawah in akan di jelaskan tentang itu.

Syeikh al-Imam al-Hafidz Muhyidin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawai atau yang lebih di kenal
dengan sebutan Imam Nawawi. Beliau lahir pada Bulan Muharram tahun 631 Hijriyah atau 1234
Masehi di kota Nawa, dan wafat tanggal 24 Rajab 676 H/1277 H di kota Nawa. Dalam Kitab
Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat , juz 3, halaman 22, beliau menyatakan bahwa : "Yang di sebut
bid'ah adalah

melakukan atau melaksanakan sesuatu yang belum pernah di lakukan di zaman Rosululloh saw"

Syeikh al-Imam al-hafidz 'Izzuddin ibn Abdussalam, lahir tahun 577 H/1181 M dan wafat pada tahun
660 H/1262 M dalam kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz 2, halaman 172, menyatakan
: "Bid'ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah di kenal (terjadi) pada masa Rosululloh
saw".

Syeikh al-Imam Badruddin Mahmud Ibn Ahmad al-Aini,


beliau di lahirkan pada tahun 762 H/1361 M dan wafat
pada tahun 855 H / 1451 M. Dalam Kitabnya yang berjudul
Umdah al-Qariy, juz 11, halaman 126 di sebutkan bahwa :
"Bid'ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang
belum pernah ada di zaman Rosululloh saw".
Bid'ah Hasanah
Syeikh al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaniy. Nama
lengkap beliau adalah Ahmad Ibn Ali Ibn Muhammad Abdul Fadhil al-Kinani al-Mishri al-Syafi'i.
Beliau di lahirkan di Mesir pada tahun 773 H dan wafat pada tahun 827 H. Dalam Kitab Fath al-Bari
Syarh Shahih al-Bukhari, juz 4, halaman 253, beliau menyatakan bahwa : "Yang di sebut bid'ah
adalah sesuatu yang di kerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya"

Syeikh al-Imam Muhammad Ibn Isma'il al-Sha'ani, dalam kitab Subul al-Salam Syarh Bulugh al-
Maram, juz 2, halaman 48, menyatakan bahw : "Bid'ah menurut bahasa adalah sesuatu yang di
kerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya".

Kesipulan dari pernyataan-pernyataan dari para ulama di atas mengenai bid'ah adalah segala perbuatan
yang di lakukan tanpa ada contoh sebelumnya dari Rosululloh saw.

Di karenakan orientasi bid'ah terkait dengan masalah ibadah (ubudiyah), maka definisi dari bid'ah yang
lebih luas berdasarkan fatwa ulama di atas adalah : "segala perbuatan yang bersifat ibadahyang tidak di
lakukan atau tidak di contohkan sebelumnya oleh Rosululloh saw pada masa beliau masih hidup, tetapi
kemudian di lakukan dan di laksanakan oleh umatnya sesuadah beliau wafat".

Hukum Bid'ah

Dalam menyikapi masalah bid'ah, terdapat dua pandangan yang berbeda dan sangat kontradiktif. Ada
yang menyikapi dengan mengatakan bahwa hukum bid'ah adalah mutlak haram. Ada juga yang
mengatakan bahwa hukum bid'ah ada yang halal dan ada juga yang haram.

Hukum Bid'ah

Golongan yang menyatakan bahwa bid'ah adalah mutlak haram adalah golongan Wahabi. Sedangkan
golongan yang menyatakan bahwa bid'ah itu ada yang halal dan ada juga yang haram adalah Golongan
Ahli Sunnah Wal Jama'ah.

Bid'ah menurut Golongan Wahabi

Sebagaimana yang telah di kemukakan sebelumnya bahwa menurut golongan Wahabi, bid'ah merupakan
perbuatan yang mutlak haram dan perbuatan seperti itu tidak boleh di lakukan oleh siapapun, bagi
pelakunya di jamin masuk neraka. Hal ini di sampaikan oleh tokoh-tokoh besar Wahabi terkemuka. Di
antaranya adalah Syeikh Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz, Syeikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin dan
Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

Mereka mengatakan bahwa setiap bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat pasti masuk neraka. Hal ini
berdasarkan pemahaman mereka terhadap hadits Rosululloh saw yang berbunyi :

"Setiap bid'ah itu sesat"..

Hadits ini di riwayatkan oleh al-Imam Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 3, halaman 310, No : 14373. Dalam
Shahih Muslim, juz 2, halaman 592, No : 1578. Dalam kitab Sunan Ibn Majah, Juz 1, Halaman 17, No : 45.

Menurut Golongan Wahabi, semua perbuatan yang tergolong bid'ah adalah sesat dan haram untuk di
lakukan. Golongan Wahabi tidak sependapat dengan sebagian besar ulama yang menyatakan bahwa
bid'ah itu bisa terbagi atas beberapa bagian yaitu : bid'ah yang baik (mahmudah atau hasanah) dan bid'ah
yang tercela ( bid'ah mazhmumah ).

Pernyataan Golongan Wahabi ini di perkuat dengan pernyatan Syeikh Muhammad al-Utsaimin yang
merupakan salah satu tokoh terkemuka kaum Wahabi dalam kitabnya al-Ibda' fi kamal al-Sar'i wa Khathar
al-Ibtida', halaman 13, yang menyatakan :

Menurutnya, Hadits "semua bid'ah adalah sesat" bersifat general, umum, menyeluruh, tidak boleh ada
pengecualian, di perkuat dengan kata yang menunjukan arti semua dan umum yaitu kata "kullun" yang
mengandung arti "seluruh atau semua". Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita di benarkan untuk
membagi bid'ah menjadi tiga macam bagian atau lima macam bagian? selamanya hal ini tidakk bisa di
benarkan.

Namun, ternyata syeikh al-Utsaimin tidak konsisten dengan dengan pendapatnya sendiri, di mana dia
menyatakan dengan tegas bahwa semua bid'ah adalah sesat dan bid'ah tidakk boleh di bagi-bagi,
ternyata pendapatnya ini di bantah sendiri, seperti penjelasan yamg di tulis dalamm kitabnya yang
berjudul Syarh al-Aqidah al-Wasthiyah pada halaman 639-640 yang termaktub sebagai berikut :

"Hukum asal perkara baru dalam urusan dunia adalah halal. Jadi, Bid'ah dalam urusan dunia itu halal,
kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya. Tapi hukum asal perkara baru dalam urusan agama
adalah di larang. Jadi, berbuat bid'ah dalam urusan agama adalah haram dan bid'ah, kecuali ada dalil dari
al-Kitab atau al-Sunnah yang menunjukan kebolehannya".

Penjelasan al-Imam al-Utsaimin tersebut merupakan fakta yang bisa di bantah lagi bahwa ulama besar
Kaum Wahabi yang sangat di kagumi oleh pengikutnya itu ternyata ulama yang lemah dalam berpendapat
dan tidak konsisten bahkan lupa dengan apa yang ia katakan sendiri.

Pada pernyataan yang pertama, al-Utsaimin mengatakan dengan tegas bahwa setiap bid'ah adalah sesat,
membagi bid'ah menjadi tiga atau pun lima bagiann itu tidak di benarkan, siapapun pelakunya akan
masuk neraka. Namun pada pernyataan kedua al-Utsaimin justru membagi bid'ah menjadi dua, bid'ah
urusan dunia dan bid'ah urusan agama, ada bid'ah yang halal adapula bid'ah yang haram.

Al-Imam Taqiyuddin Ahmad Ibn al-Hakim Ibn Taimiyah al-Harrari atau yang lebih terkenal dengan sebutan
Ibnu Taimiyah, ikut memberi legitimasi tentang bid'ah. Ia adalah figur yang yang ajarannya menjadi
ideologi pertama bagi kaum Wahabi. Ia di anggap bersih dari bid'ah. Tak heran, jika tokoh ini begitu di
kagumi oleh para pengikutnya.

Ibn Taimiyah

Ia lahir tahun 661 H / 1263 M dan wafat pada tahun 728 H / 1327 M. Oleh karena kealimannya, ia di sebut
"Syeikh al-Islam" dan "Mufti al-Umat". Dalam kitabnya, al-Iqtidha al-Shirat al-Mustaqim, dengan jelas ia
menunjukan sikap kontra terhadap bid'ah dan mencela ulama yang membagi bid'ah menjadi bid'ah
hasanah dan bid'ah sayyi'ah.

Namun ternyata Syeikh Imam Ibn Taimiyah sendiri melakukan perbuatan bid'ah. Sebagaimana di
sampaikan oleh murid terdekatnya yaitu Umar bin Ali al-Bazzar dalam sebuah kutipan kitabnya yang
berjudul Manaqib Ibn Taimiyah halaman 38-39 sebagai berikut :

"Apabila Ibn Taimiyah selesai melakukan Shalat Subuh, maka ia berdzikir kepada Allah swt bersama
jama'ah dengan do'a yang datang dari Nabi saw yaitu Allohumma antassalam...lalu ia menghadap ke
jama'ah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi saw, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-
masing 33 kali dan di akhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus.

Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdo'a kepada Allah swt untuk dirinya dan
untuk jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibnu Taimiyah ini telah maklum, beliau sangat sulit di ajak
bicara setelah shalat subuh kecuali terpaksa. Beliau akan terus berdzikir sendiri namun terkadang dapat
di dengar oleh orang lain yang berada di sampingnya.
Di tengah-tengah dzikir itu, ia sering kali menatap pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaan yang ia
lakukan hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu
bersamanya siang dan malam.

Ia sering mendekatkanku kepadanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku sering
mendengar apa yang ia baca dan apa yang di jadikan sebagai dzikirnya. Aku melihatnya selalu membaca
surat al-Fatihah, mengulang ualngnya dan menghabiskan waktunya dengan membacanya, yakni
mengulang-ulang surat al-Fatihah sejak selesai shalat subuh sampai matahari naik.

Dalam hal ini aku merenung, mengapa beliau hanya rutin membaca surat alfatihah, tidak yang lainnya?

Akhirnya aku tahu, wallahu a'alamu, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam
hadits-hadits Rosululloh saw dan apa yang di sebutkan oleh para ulama. Yaitu apakah pada saat itu di
sunatkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Rosululloh saw dari pada membaca al-Qur'an, atau
sebaliknya?

Beliau berpendapat, dengan membaca al-fatihah berulang ualng berarti ia menggabungkan dua pendapat
dan mendapat dua keutamaan. Ini bukti kekuatan dan kecerdasan hati beliau yang Jitu".

Perbuatan yang di lakukan oleh Ibn Taimiyah seperti yang di ceritakan oleh muridnya itu adalah bid'ah.
Karena berdikir sesudah shalat subuh secara bersama-sama atau berjama'ah dengan di pimpin oleh
seorang pemimpin seperti yang di lakukan oleh Ibn Taimiyah tidak pernah di lakukan oleh Nabi saw. Tidak
ada Hadits yang menunjukan bahwa Rosulullah saw pernah melakukannya. Begitu juga bacaan Khusus
berupa surat Al-Fatihah yang ia baca berulang-ulang setiap hari setelah shalat subuh sampai matahari
naik juga tidak di temukan dalilnya.

Padahal untuk menetapkan sesuatuu yang


bersifat ibadah dengan waktu dan bacaan
tertentu membutuhkan dalail yang konkrit.
Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh Ibn
Taimiyah di atas jelas mengada-ada (bid'ah )
dalam urusan agama berdasarkan ijtihadnya
sendiri.

Dzikir secara berjamaah yang ada selama ini


adalah bid'ah hasanah yang di prakarsai oleh Majlis Ta'lim Ibn Taimiyah

Ibnu Taimiyah. Andai saja kelompok Wahabi


mengerti hal ini, Alangkah baiknya mereka secara sadar segera menyadari kekeliruan persepsinya selama
ini.

Kaum Wahabi tetap kukuh dengan keyakinannya bahwa segala perbuatan yang tidak di lakukan oleh
Rosululloh saw di hukumi bid'ah, serta hal itu di larang di lakukan oleh generasi sesudahnya.

Pemahaman seperti itu jelas bertentangan dengan apa yang di contohkan oleh Nabi saw. Beliau tidak
pernah melarang apalagi menyatakan haram (bid'ah) terhadap segala perbuatan baik.

Ada kisah menarik dalam sebuah hadits yang di riwayatkan sekaligus di alami sendiri oleh sahabat
Rasulullah saw yang bernama Rifa'ah bin Rafi dalam hadits yang di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari
sebagai berikut :
Rifa'ah bin Rafi Berkata :

"suatu saat aku shalat bersama Nabi saw, ketika beliau bangun dari ruku' beliau berkata "sami' Allahu
liman hamidah",

lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata, "Robbana walakal hamdu hamdan katsiron thoyyiban
mubaarokan fiih",

Setelah selesai shalat beliau bertanya,"Siapakah yang membaca kalimat tadi?",

Laki-laki itu menjawab,"aku',


Beliau bersabda,"Aku telah melihat lebih dari 30 malaikat berebut menulis pahala kalimat tersebut".

Hadits ini di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam:

Dalam kitab Shahih Imam al-Bukhari No. 799.


Dalam Kitab Sunan al-Nasaa'i, No. 1016.

Dalak Kitab Sunan Abu Dawud. No. 770.

Dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal, juz 4, halaman 340, No.19018.

Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, No. 614.

Dalam keterangan hadits di atas, Rasullullah saw sama sekali tidak melarang apa yang di lakukan oleh
sahabat Rifa'ah bin Rafi. Padahal Rasulullah saw tidak pernah melakukan hal tersebut dan tidak pernah
memerintahkann untuk melakukannya.

Apa yang di lakukan sahabat Rifa'ah bin Rafi adalah bid'ah yang di lakukan di depan Nabi saw. Tapi Nabi
sw tidak melarangnya malah memberikan pujian dan kabar baik akan besarnya pahala yang di peroleh
karena perbuatannya tersebut.

Dengan demikian, apa yang menjadi keyakinan golongan Wahabi mengenai bid'ah sebagaimana yang di
sampaikan oleh al-Utsaimin bertentangan dengan ajaran Nabi saw secara tidak langsung. Al-Utsaimin
telah menuduh para sahabat Nabbi saw yang melakukan bid'ah adalah sesat dan masuk neraka.

Dan anehnya, jika bid'ah itu di lakukan golongan lain, dengan serta merta golongan Wahabi akan
menyatakan dengan tegas bahwa perbuatan itu sesat, haram dan masuk neraka, akan tetapi apabila
bid'ah tersebut di lakukan oleh golongannya maka mereka akan diam seribu bahasa bahkan memujinya.
Banyak perbuatan yang mereka nyatakan sebagi bid'ah dan haram justru di lakukan oleh ulama-ulama
terkemuka dari golongan mereka.

Jumhur Ulama sepakat bahwa ajaran yang melahirkan banyak kontrofersi, justru menunjukan ketidak
benaran dan kebathilan ajaran tersebut. Sedangkan ajaran yang benar hanya datang dari sisi Allah Swt.
Ajaran yang tidak barasal dari sisi-Nya hanya berdasarkan pendapat akal manusia yang mencoba-coba
mencari kebenaran, akan bersifat lemah dan tidak memiliki sandaran. Akibatnya akan kontradiktif dengan
pendapatnya sendiri.

Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 82 :

"...seandainya al-Qur'an itu bukan datang dari sisi Allah, maka tentulah mereka mendapati banyak
pertentangan di dalamnya".

Pertentangan yang ada pada suatu ajaran menunjukan bahwa ajaran itu bukan datang dari sisi Allah.
Sehingga, ajaran yang bukan datang dari sisi Allah swt merupakan ajaran yang salah, sesat dan pasti
bathil. Tegasnya, Orang yang memiliki ajaran bathil pasti kontradiktif dengan ajarannya sendiri.

Bid'ah Menurut Golongan Ahli Sunnah Wal Jama'ah

Sebagaimana tertulis pada sub bab sebelumnya, selain Wahabi, Hukum bid'ah terbagi-bagi, ada yang
halal adapula yang haram. Pendapat ini mengacu pada pendapat kebanyakan ulama Ahli Sunnah Wal
Jama'ah.

Dalam memastikuan hukum bid'ah ini, sebaiknya kita merujuk kepada hadits Nabi saw yang pernah beliau
sampaikan pada waktu kutbah Jum'at saat beliau melaksanakamn haji Wada'. Rosululloh saw bersabda :

Dari Jabir bin Abdullah ra berkata," sesungguhnya Rasulullah saw bersabda,"Sesungguhnya sebaik-
baiknya perkataan yang benar adalah kitabullah, dan seutama-utamanya petunjuk adalah petunjuk
Muhammad dan sejelek-jeleknya perkara adalah yang memperbaharuinya dan setiap yang baru adalagh
bid'ah, dan setiap yang bid'ah adalah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka." (HR. Ahmad )

Hadits ini di riwayatkan oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam :

Musna Ahmad bin Hanbal, juz 3, halaman 310, No. 14373.

Shahih Muslim, Juz 2, Halaman 592, No. 867

Sunnah al-Nasaa'i, juz 3, halaman 188, No. 1578.

Sunan Ibnu Majah, juz 1, halaman 17, No. 45

Untuk mengetahui makna bid'ah pada hadits tersebut di butuhkan kehati-hatian, ketelitian dan kejelian
agar mengetahui maksudnya dengan benar. Kata bid'ah di sini mengandung makna al-Muhdatsaatuha,
artinya membuatnya menjadi baru. Dalam arti memperbaharui kitabullah dan hadits Nabi saw, sehingga
menjadi sebuah ajaran baru yang bertentangan dan tidak termasuk dalam ajaran Nabi saw.

Tidak semua bid'ah itu sesat, tapii bid'ah yang bersifat al-Muhdatsat saja. Sebagaimana hadits Nabi saw
yang di riwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Sayyidatina Aisyah ra memberikan kejelasan tentang hal
itu dengan sabdanya :

"Barang siapa yang merubah permasalahan agamaKu sehingga menjadi ajaran yang tidak terdapat dalam
ajaranku maka ajaran itu tertolak"

Hadits ini di riwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam :

Kitab Shahih al-Bukhari, juz 9, halaman 202, No. 2499

Kitab Shahih Muslim, juz 9, halaman 118, No. 3242

Kitab Sunan Abu Dawud, juz 12, halaman 210, No. 3990

Kitab Sunan Ibnu Majah, juz 1, halaman 17, No. 14

Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 6, Halaman 260, No. 26372, dan Imam Ahmad bin hanbal
menilai hadits ini shahih.

Isi hadits tersebut sangat transparan, yaitu hanya bid'h dalam permasalahan agama (al-amr al-Diniyyah)
saja yang di larang. Mengada-ada perkara baru dalam soal dunia di perbolehkan, karena hukumm asal
perkara dunia adalah boleh (mubah). Dengan kata lain, bid'ah dalam urusan dunia di perbolehkan.

Bid'ah dalam urusan agama ada dua bagian, yaitu bid'ah muhdatsat dan bid'ah ghairu muhdatsat.

Bid'ah Muhdatsat

Bid'ah muhdatsat adalah bid'ah yang sifatnya mengubah ajaran yang sudah di tetapkan Nabi saw baik
bersumber dari al-Qur'an ataupun al-Hadits. Segala jenis bid'ah ini adalah hukumnya haram secara
mutlak. Inilah yang di sebut bid'ah Dhalalh. Inilah yang di maksud hadits "setiap bid'ah itu sesat", yakni
bid'ah yang membuat ajaran baru sehingga bertentangan dengan ketetapan syariat yang sudah ada.

Dalam al-Qur'an surat al-Syura ayat : 21

"...mereka mensyariatkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak di izinkan (tidak di syariatkan) Allah?...
(QS. Al-Syura : 21)

Bid'ah Ghairu Muhdatsat

Bid'ah Ghairu Muhdatsat adalah bid'ah yang bersifat tidak merubah ajaran Nabi saw. Bid'ah ini di sebut
juga bid'ah hasanah, dan hukumnya di perbolehkan.

Terkait dengan pembagian Bid'ah, Syeukh al-Imam Izzuddin bin Abdissalam mengemukakan pendapatnya
yang cukup signifikan dalam kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz 2, halaman 133, sebagai
berikut :

"Bida'ah terbagi menjadi 5 bagian, ada bid'ah yang wajib, ada bid'ah yang haram, ada bid'ah yang
sunnah, ada bid'ah yang makruh dan adapula bid'ah yang mubah".

Hukum dasar bid'ah yang tidak merubah ajaran Nabi saw adalah mubah. Karena hukum boleh itu
merupakan hukum dasar, maka bila bid'ah itu berhubungan dengan perkara wajib, tentu saja bid'ahnya
menjadi wajib.

Contoh :
Memahami al-Qur'an dan Hadits
adalah wajib bagi umat Islam.
Karena keduanya adalah sumber
hukum dan petunjuk kebenaran.
Sedangkan kita tahu bahwa bahas
al-Qur'an adalah bahasa Arab,
maka untuk memahami al-Qur'an
kita harus bisa bahasa Arab.
Bahasa Arab tidak bisa lepas dari
ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf
sebagai ilmu tata bahasa Arab.
Tidak mungkin

mempelajari bahasa tanpa


mempelajari tata bahasanya.

Mempelajari ilmu Nahwu dan ilmu


Sharaf untuk mengerti isi dan
kandungan al-Qur'an dan al-Hadits Pembagian Bid'ah menurut al-Imam al-Syafi'i

merupakan sebuah keharusan.


Dengan demikian, sangatlah
rasional jika mempelajari keduanya
juga wajib. Padahal, ilmu Nahwu
dan ilmu Sharaf tidak ada pada
jaman Nabi saw. Berarti kedua ilmu
itu adalah bid'ah. Namun karena
mempelajari keduanya adalah
sebuah keharusan maka hukum
bid'ahnya pun jadi wajib.

Seandainya mengikuti kelompok


Wahabi yang menyatakan semua
jenis bid'ah adlah sesat dan haram
hukumnya serta pelakunya masuk
neraka, maka sudah bisa di tebak,
apalah jadinya umat Islam di luar
bangsa Arab seperti kita yang ada
Pembagian Bid'ah meurut Ibnu Taimiyah
di Indonesia ini.

Hanya karena alasan bid'ah, ilmu Nahwu dan ilmu Sharaf di larang dan di haramkan untuk di pelajari.
Konsekwensi logisnya adalah al-Qur'an dan al-Hadits tidak mungkin bisa dipelajari.

Baca Juga :

Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam


Sumber Tulisan :
Berbagai buku....

Sumber Gambar :
Google...

Please FOLLOW and JOIN to get update!

Cool Social Media Sharing Touch Me Widget by Blogger Widgets

Anda mungkin juga menyukai