Anda di halaman 1dari 80

Imam Nawawi menjelaskan/mensyarah bahwa kalimat “kull”yang ada pada redaksi

hadits tidaklah menjadikan seluruh bid`ah sesat, akan tetapi maknanya kebanyakan
bid`ah adalah sesat. Imam Nawawi juga memaparkan perkataan ulama yang
membagi bid`ah sama dengan hukum taklify yang 5; wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram.
Imam Nawawi mengomentari hadits ini:
“Sabda Nabi Saw “dan setiap bid`ah adalah sesat” ini, merupakan bentuk umum
yang dikhususkan. Dan yang dimaksudkan di dalam hadits adalah mayoritas
(kebanyakan) dari bid`ah. Menurut para ahli bahasa: bid`ah dimaksudkan untuk
setiap amalan yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Para ulama
mengatakan: bid`ah itu terbagi kepada 5 macam;
1. Wajib,
2. Sunnah,
3. Haram,
4. Makruh dan
5. Mubah.
Diantara contoh bid`ah yang wajib: Upaya pengonsepan dalil logika, yang
dilakukan oleh para ulama ahli kalam, untuk membantah para atheis, ahli bid`ah,
dan orang-orang yang setipe dengan mereka.
Diantara contoh bid`ah yang sunnah: Menulis kitab-kitab ilmiah, membangun
madrasah-madrasah, membuat majlis zikir, dan hal-hal seperti itu.
Diantara contoh bid`ah yang mubah: Berkreasi dalam mengolah warna makanan
dan yang sejenis itu.
Sementara bid`ah yang haram dan yang makruh sudah jelas.
Apabila dipahami apa yang aku disebutkan, maka akan diketahui bahwa hadits ini
adalah hadits umum yang dikhususkan. Beghitu juga dengan hadits-hadits yang
semisal dengan yang diriwayatkan ini. Hadits-hadits seperti ini dikuatkan oleh
perkataan Sayyidina Umar: “ni`mat al bid`ah”, sebaik-baiknya bid`ah adalah ini.
Dan tidak ada halangan bentuk hadits umum yang bisa dikhususkan karena Sabda
Rasul saw: ‫ ”ك بدعة ضللا‬setiap bid`ah adalah sesat” yang dikuatkan dengan kalimat
‫“ ك‬kull” (seluruh). Akan tetapi (kull ini) dimasuki oleh takhshish. Seperti firman
Allah:”Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka
jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal
mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.(QS: Al
Ahqaaf: 25)””… selesai ucapan imam Nawawi.
ntara contoh bid`ah yang sunnah: Menulis kitab-kitab ilmiah, membangun
madrasah-madrasah, membuat majlis zikir, dan hal-hal seperti itu.
Diantara contoh bid`ah yang mubah: Berkreasi dalam mengolah warna makanan
dan yang sejenis itu.
Sementara bid`ah yang haram dan yang makruh sudah jelas.
Apabila dipahami apa yang aku disebutkan, maka akan diketahui bahwa hadits ini
adalah hadits umum yang dikhususkan. Beghitu juga dengan hadits-hadits yang
semisal dengan yang diriwayatkan ini. Hadits-hadits seperti ini dikuatkan oleh
perkataan Sayyidina Umar: “ni`mat al bid`ah”, sebaik-baiknya bid`ah adalah ini.
Dan tidak ada halangan bentuk hadits umum yang bisa dikhususkan karena Sabda
Rasul saw: ‫ ”ك بدعة ضللا‬setiap bid`ah adalah sesat” yang dikuatkan dengan kalimat
‫“ ك‬kull” (seluruh). Akan tetapi (kull ini) dimasuki oleh takhshish. Seperti firman
Allah:”Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka
jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal
mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.(QS: Al
Ahqaaf: 25)””… selesai ucapan imam Nawawi.
Pada hadits `Irbadh bin Saariyah, sabda Rasul saw:
“Dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang baru, karena setiap bid`ah
adalah sesat.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tumudzi dan Ibnu majah,
disahihkan oleh Turmudzi, Ibnu Hibban dan Hakim.
Al Hafiz Ibnu Rajab di dalam syarah (penjelasan)nya, mengomentari:
“Dan yang dimaksud dengan bid`ah adalah: semua hal baru yang dilakukan tanpa
ada dasar dari syariat yang menunjukkan boleh melakukannya. Dan apapun yang
ada asal dari syariat yang menunjukkannya, maka bukanlah bid`ah secara syariat,
meskipun bid`ah secara bahasa.” … selesai ucapan Al hafiz Ibnu Rajab.
Pada hadits sahih Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, beliau berkata:
Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapaan adalah kitab Allah dan sebaik-baiknya
petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. dan seburuk-buruk perkara dalah semua
yang baru.
Al Hafidz Ibnu Hajar (Asqalani) mengomentari:
” ‫( الدثتا‬almuhdasaat) bentuk plural dari kalimat ‫( الدثة‬almuhdatsah), dan yang
dimaksudkan dengannya adalah: apa-apa yang baru dan tidak memiliki dasar di
dalam syariat.
Di dalam terma syariat kemudian dikenal dengan nama bid`ah. Dan ada pun semua
yang memiliki dasar dari syariat yang menunjukkanya, maka bukanlah bid`ah.
Maka bid`ah dalam terma agama adalah mazmumah (tercela), beda halnya dengan
bid`ah menurut konsep bahasa. Maka, semua yang terjadi tanpa ada misal
sebelumnya dinamakan bid`ah, baik itu mahmudah (terpuji) atapun
mazmumah (tercela).
Al Hafiz `Abdullah Shiddiq Ghumary mengomentari:
Apa-apa yang baru dan ada dasarnya dari syariat yang menunjukkanya, maka itu
dinamakan dengan bid`ah hasanah (terpuji), beghitu juga yang dinamakan oleh
Nabi Saw. Dan kebalikannya dinamakan dengan bid`ah, sebagaimana juga
dinamakan dengan bid`ah sayyi-ah (tercela).
Diriwayatkan oleh Abu Na`im dari Ibrahiim Bin Junaid, dia berkata:
saya mendengar Syafi`i berkata: Bid`ah itu ada dua, bid`ah mahmudah (terpuji)
dan bid`ah mazmumah (tercela). Apapun yang berkesesuaian dengan sunnah, maka
ia itu adalah terpuji, dan apa-apa yang bertentangan dengan sunnah, maka ia adalah
tercela.
Diriwayatkan oleh imam Baihaqi di dalam Manaqib Imam Syafi`i, diriwayatkan
darinya.
Ia ( Imam Syafi`i) berkata: hal-hal yang baru itu ada dua kategori: Apapun hal-hal
baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar atau ijma`, maka ini adalah
bid`ah yang sesat (dholal). Dan hal-hal baru yang masuk dalam kategori kebaikan,
maka tidak ada khilaf pada masalah tersebut seorangpun dalam masalah ini. Maka
ini perkara baru yang tidak tercela dan Sayyidina Umar benar-benar telah berkata
ketika mengomentari masalah Qiyaam Ramadhan ” sebaik-baiknya bid`ah adalah
ini” maksudnya adalah, ini perkara baru yang belum pernah terjadi. Seandaipun
terjadi, maka ia tidak bertentangan terhadap apa yang telah pernah terjadi.”
Berkata al Hafidz Ibnu Hajar (Asqalani) di dalam kitab Fath Al Bari,
Adapun Sabda Rasul di dalam hadits Irbadh “maka sesungguhnya setiap bid`ah
adalah sesat”, setelah sabdanya: dan hendaklah kalian untuk menjauhi hal-hal yang
baru”, maka ini menunjukkan bahwa segala yang baru dinamakan bid`ah. dan
sabdanya, “setiap bid`ah adalah sesat”, merupakan kaidah syar`iyah yang bersifat
kulliyah (menyeluruh) secara tersurat (manthuq) dan secara eksplisit (mafhumnya).
Adapun secara tersurat, seperti pernyataan:
Hukum masalah ini adalah bid`ah (premis minor)
Setiap bid`ah adalah sesat (premis mayor)
Maka masalah tersebut bukanlah dari syar`i, karena syariat seluruhnya adalah
petunjuk (huda).
Apabila ditetapkan bahwa hukum yang disebutkan adalah bid`ah, maka sah kedua
muqaddimah (premis). Dan kedua premis menghasilkan Natijah (result) yang
diinginkan. Sedangkan yang dimaksud dengan sabda beliau: “Setiap bid`ah”, adalah
apa-apa yang baru dan tidak ada dalil baginya dari syariat, baik secara khusus
maupun secara umum”… selesai ucapan Al Hafidz Ibnu Hajar.
Berkata Imam Nawawi di dalam kitab Tahzib Al Asmaa` Wa Al Lughat:
Bid`ah di dalam syariat adalah mengadakan sesuatu yang tidak ada di masa Rasul
saw. dan bid`ah terbagi kepada dua; hasanah (baik) dan qabihah (tercela).
Dari komentar para Huffaz diatas dipahami rambu-rambu dalam menilai sebuah
perbuatan adalah bid`ah atau tidak. Bid`ah ternyata tidak dipahami dengan sempit,
akan tetapi beghitu lapang!
Pembagian bid`ah kepada hukum taklify yang lima.
Di awal sudah kita paparkan tentang pemahaman ulama terhadap hadits yang
menjelaskan bid`ah dan ulama memahaminya begitu lapang. Jikalau kita telusuri
lebih jauh, ternyata pembagian bid`ah tidak hanya kepada dua, seperti yang
dipaparkan oleh Tuan Syaikh, seorang imam yang disepakati keimaman, keagungan,
kepakaran dan kedalaman ilmunya di pelbagai disiplin ilmu.
Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdul Salam ra pada akhir kitab Al Qawaa-Id:
Bid`ah itu terbagi kepada; wajib, haram, sunnah dan mubah. Beliau kemudian
menjelaskan: dan cara untuk mengetahui bid`ah itu ditinjau dari kaidah-kaidah
syariah, apabila masuk ke dalam kaidah-kaidah wajib, maka ia menjadi bid`ah yang
wajib. Apabila masuk kedalam kaidah-kaidah sunnah, maka ia menjadi bid`ah yang
sunnah. Apabila masuk kedalam kaidah-kaidah makruh, maka ia menjadi bid`ah
yang makruh. Dan apabila masuk kedalam kaidah mubah, maka ia menjadi bid`ah
yang mubah.
Bid`ah yang wajib, diantara contohnya;
Pertama: Sibuk dengan ilmu nahwu yang dengannya dipahami kalamullah (Al
Quran) dan hadits Rasul saw., maka itu adalah bid`ah yang wajib. Karena menjaga
syariat adalah wajib dan tidak akan tercapai penjagaannya, kecuali dengan
menyibukkan diri mengkaji ilmu nahwu. Dan apa saja yang tidak akan terlaksana
hal-hal wajib, kecuali dengannya, maka ia akan menjadi wajib juga.
Kedua: menghafal gharib (makna yang sulit dipahami) dari al Qur`an dan sunnah.
Ketiga: memKitabkan secara sitematis ilmu ushuluddin dan ushul fiqh.
Keempat: membicarakan masalah jarh dan ta`dil dan membedakan antara hadits
yang sahih dan yang cacat.
Sesungguh sudah ditunjukkan oleh Kaidah syariah bahwa menjaga syariah adalah
fardhu kifayah pada hal-hal yang di luar dari kapasitas fardhu `ain (yang diwajibkan
kepada setiap individu). Maka, tidak akan tercapai (penjagaan syariah itu), kecuali
dengan melakukan hal-hal yang telah kami sebutkan.
Bid`ah yang diharamkan, diantara contohnya:
Pelbagai bid`ah yang dilakukan oleh mazhab Al Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan
Mujassimah. Sedangkan membantah mereka adalah bid`ah yang wajib.
Bid`ah yang sunnah, diantara contohnya:
Mendirikan ribath (majlis zikir), madrasah-madrasah, dan setiap kebaikan yang
tidak ada di masa awal islam, seperti; pelaksanaan tarawih, pembahasan masalah-
masalah secara detail ilmu tasawwuf dan ilmu jadal. Diantaranya juga adalah
mengumpulkan orang banyak untuk menunjukkan dalil-dalil dari syariat -apabila
dimaksudkan hal tersebut murni karena Allah Swt-.
Bid`ah yang makruh, diantara contohnya:
menghiasi masjid dan mendekorasi mushaf, dll.
Bid`ah yang mubah, diantara contohnya:
Bersalaman setiap selesai shalat subuh dan ashar, berkreasi dalam membuat citarasa
makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan memakai thayalishah (peci) serta
melebarkan lengan baju.
Memang terjadi perbedaan pendapat pada sebagian itu, sehingganya oleh ulama
dimasukkan kedalam kategori bid`ah yang makruh. Sementara sebagian lain
menjadikannya sebagai sunnah yang telah dikerjakan di masa rasul Saw dan setelah
beliau, seperti; berta`awudz di dalam shalat dan basmalah….selesai ucapan Imam
Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdul Salam.
Penamaan bid`ah hasanah dengan maslahah.
Diketahui dari pemaparan sebelumnya, bahwa ulama telah sepakat atas pembagain
bid`ah kepada bid`ah mahmudah (terpuji) dan bid`ah mazmumah (tercela).
Sedangkan Sayyidina Umar Ra. merupakan orang pertama yang mengucapkannya.
Mereka juga sepakat bahwa sabda Nabi Saw. “setiap bid`ah adalah sesat”, bersifat
umum yang dikhususkan.
Tidak ada yang berbeda dari kesepakatan ulama ini, kecuali Imam Syathibiy,
pengarang kitab al I`tisham. Beliau mengingkari pembagian seperti ini dan
menganggap bahwa “setiap bid`ah adalah mazmumah”. Akan tetapi ia mengakui
bahwasanya diantara bid`ah ada yang dituntut untuk melaksanakannya dalam
bentuk wajib atau sunnah. Beliau kemudian menjadikannya ke dalam kategori
maslahah mursalah. Maka perbedaan yang terjadi hanya secara lafzhiy (bahasa) yang
dilihat dari sisi pembagian, yaitu bid`ah yang dituntut melaksanakannya tidak
dinamakan dengan bid`ah hasanah, akan tetapi dinamakan dengan maslahah.
Bid`ah tidak dilihat dari bahasanya akan tetapi dari unsur pelanggarannya terhadap
syariat.
Imam Syafi`i mengatakan:
Seluruh yang ada sandarannya secara syar`i, maka bukanlah bid`ah, meskipun tidak
dilakukan oleh ulama salaf, karena mereka meninggalkan beramal boleh jadi karena
`uzur yang ada pada mereka pada saat itu. Atau juga karena ada hal-hal yang dirasa
lebih afdhal daripada melakukannya. Atau boleh jadi belum sampai ilmu kepada
mereka… selesai ucapan Imam Syafi`i.
Kata Imam Ibn Al Lubb ketika membantah orang-orang yang menyatakan bahwa
makruh berdo`a setelah shalat Ashar:
Paling banter yang diajukan oleh orang-orang yang menyatakan makruh berdo`a
setelah shalat adalah “komitmen mereka dengan do`a seperti ini bukanlah
merupakan perbuatan ulama salaf”. Dengan asumsi bahwa sahnya qaul ini, maka
meninggalkan sesuatu, tidaklah menyebabkan hukum pada masalah yang
ditinggalkan, kecuali menunjukkan bolehnya meninggalkan dan tidak ada halangan
dalam melaksanakannya. Adapun pengharaman, atau terjadinya makruh pada apa
yang ditinggalkan, maka tidaklah demikian. Terlebih lagi terhadap masalah-masalah
yang ada dasarnya secara global dari syar`i, seperti: berdo`a.
Berkata Ibnu Al `Araby:
Bukanlah bid`ah dan sesuatu yang baru menjadi tercela, karena adalanya kalimat
“muhdatsah (baru)”, kalimat “bid`ah” dan makna dari dua kalimat tersebut.
Adapun yang dicela dari bid`ah, adalah apa saja yang bertentangan dengan sunnah.
Sedangkan yang dicela dari muhdatsah (perkara-perkara yang baru) adalah semua
yang menyebabkan kepada dhalalah (kesesatan).
[14:27, 1/13/2019] surosodrs412: Mereka mengatakan bahwa perbuatan yang baik
atau kebaikan adalah apa yang tercantum dalam Al Qur’an dan As Sunnah serta
dilakukan oleh para Sahabat.
Kemudian mereka mengutip perkataan Imam Syafi’i bahwa perbuatan yang terpuji
adalah perbuatan yang sesuai dengan sunnah Rasulullah.
Berikut perkataan Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah selengkapnya
‫ ﻓﺘﺘﻤﺎَ ﺘﻭﺍﺘﻓﻖَﺍ ﺴﻟﺴﺴﻨﻨﺘة ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ ﺘﻣﺪﺤﺔﻤﺪﻮ ﺔﺩ ﻭﺘﺘﻣﺎَ ﺘﺧﺎَﻟ ﺘ ﺘﻒ ﺍ ﺴﻟﺴﺴﻨﻨﺘة ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮ ﺔﻡ‬,‫ ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘﻣﺪﺤﺔﻤﺪﻮ ﺘﺩ ﺔﺓ ﻭﺘﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮﺘﻣﺔة‬: ‫ﻥ‬
‫ﺍﺘﻟﺪﺑﺒﺪدعﺘﺔة ﺑبﺪدﺘﻋﺘﺘﺎَ ﺑ‬
Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai
dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka
itu adalah tercela.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/113)
Semakna dengannya, apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-
Syafi’i (1/469) bahwa beliau berkata:
‫ ﻭﺘﺘﻣﺎَ ﺃﺔﺪﺣﺑدﺙﺘ ﺑﻣﺘﻦ‬,‫ﺙ ﺔ ﺘﻳﺎَﺑﻟ ﺔﻒ ﺑﻛﺘﺘﺎَﺑﺑ ﺘﺃ ﺪﻭ ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة ﺘﺃ ﺪﻭ ﺃﺘﺛﺘﺑﺮﺍ ﺘﺃ ﺪﻭﺇﺑﺘﺪﺟﺎَعﺑﺎَ ﻓﺘﺘﻬﺑﺬﺑﻩ ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺍﻟﻨﻀﺘلﻝﺑ‬
‫ ﺘﻣﺎَ ﺃﺔﺪﺣﺑد ﺘ‬: ‫ﻥ‬ ‫ﺍﺘﻟﺪﺔﻤﺪﺤﺘدﺘثﺕﺔ ﺘ ﺪ‬
‫ﺿﺘﺑ ﺑ‬
‫ﺍﻟﺪﺘﺨ ﺪ ﺑﻴ ﺘﻻ ﺔ ﺘﻳﺎَﺑﻟ ﺔﻒﺘﺷﻴﺪﺌﺑﺎَ ﺑﻣﺪﻦ ﺫﺘ ﺑ ﺘﻟ ﻓﺘﺘﻬﺑﺬﺑﻩ ﺔﻣﺪﺤﺘدثﺘﺔة ﻏﺘ ﺪ ﺔﻴ ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮﺘﻣﺔة‬
“Perkara yang baru ada dua bentuk: (Pertama) Apa yang diada-adakan dan
menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. Dan
(yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi
sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela”.
Kemudian mereka menyampaikan pemahaman ulama panutan mereka terhadap
perkataan Imam Syafi’i tersebut
** awal kutipan **
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullah- dalam ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 121
mengomentari kedua perkataan Asy-Syafi’i di atas, “Andaikan ucapan di atas shahih
(benar) datangnya dari Imam Asy-Syafi’i, maka maksud dari perkataan beliau
-rahimahullah- [“bid’ah yang terpuji”] adalah bid’ah secara bahasa bukan menurut
syar’i. Karena beliau memberikan definisi bid’ah yang terpuji dengan perkataan
beliau [“semua yang sesuai dengan sunnah”] dan [“apa yang diada-adakan berupa
kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut”] sedangkan semua
bid’ah dalam syari’at adalah menyelisihi sunnah. Ini disebutkan oleh Ibnu Rajab
dalam Jami’ul Ulum wal Hikam (hal. 233).
Ini lebih diperkuat dengan contoh yang dibawakan oleh Imam Asy-Syafi’i –
rahimahullah- untuk bid’ah yang terpuji – yang beliau maksudkan-, yakni seperti
penulisan hadits dan shalat Tarwih.
Sedang kedua hal ini boleh digunakan padanya kata ‘bid’ah’, tapi bid’ah menurut
bahasa karena belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi kalau dikatakan
“bid’ah” menurut syari’at, maka ini tidak benar karena kedua amalan ini memiliki
asal dalam syari’at.
Tidak mungkin beliau menginginkan dengan perkataan beliau ini akan bolehnya
atau adanya bid’ah hasanah, karena beliau sendiri yang telah berkata, [“Barangsiapa
yang menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”].
Andaikan pemahaman terhadap perkataan Beliau tersebut tidak bisa diterima, maka
perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ini tidak boleh diterima karena
menyelisihi hadits-hadits yang telah berlalu penyebutannya da…
[14:30, 1/13/2019] surosodrs412: Lafadz kullu selalu menjadi perbincangan menarik
di kalangan umat Islam Indonesia bak seorang selebriti, itu lantaran penafsiran
lafadz kullu dalam sebuah hadits Nabi menjadi titik krusial dalam menilai sebagian
amalan-amalan umat Islam Indonesia, apakah amalan-amalan tersebut masuk
kategori sesat atau tidak.
Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda dalam muqodimah khutbahnya:

[1]‫ و"لك"ل بدعة ضللا‬،َ‫ وش اللﻣﻮر مدثتاﺎ‬،‫ وﺧﻴ اﻟﻬدى هدى مد‬،‫ﻓإﺎَن ﺧﻴ الديث ﻛﺘﺎَب ا‬
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya petunjuk
adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan
setiap bid’ah (hal baru) adalah sesat”
Juga dalam riwayat lain:
[2]‫ وك ضللا ف اﻟﻨﺎَر‬،‫ وك مدثة بدعة وك بدعة ضللا‬،َ‫وش اللﻣﻮر مدثتاﺎ‬
“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah (hal baru)
adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka”
Memahami hadits butuh ilmu
Untuk memahami kandungan sebuah hadits, apalagi yang berkaitan dengan hukum,
seseorang tidak bisa seenaknya saja mengartikan maksud hadits dan menarik
kesimpulan hukum tanpa dasar ilmu,
Ibnu Uyainah (w 198 H) berkata :
‫الديث ﻣﻀل إالﻻ للفقﻬﺎَء‬
“hadits itu menyesatkan kecuali bagi fuqoha”
Ibnu hajar al-Haitamiy (w 974 H) menjalaskan, maksud perkataan tesebut adalah,
karena hadits-hadits Nabi itu seperti al-Qur’an, ada lafadz-lafadz yang umum tetapi
maksudnya khusus, atau sebaliknya, ada juga lafadz-lafadz yang sudah di mansukh
dan lain-lain, yang mana semua itu tidak diketahui kecuali oleh para fuqoha, adapun
orang awam yang tidak mengetahui hal-hal ini, akan salah dalam memahami
maksud sebuah hadits, sehingga tersesat[3].
Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya, Nashihatu Ahli al-Hadits
bercerita[4]:
Suatu ketika al-A’masy (w. 148 H) seorang muhadits, duduk bersama Imam Abu
Hanifah (w. 150 H) seorang Imam ahli fiqih. Datanglah seorang laki-laki bertanya
suatu hukum kepada al-A’masy. Al-‘Amasy berkata: “wahai nu’man (Imam Abu
Hanifah), jawablah pertanyaan itu ” Akhirnya Imam Abu Hanifah menjawab
pertanyaan itu dengan baik. Al-A’masy kaget dan bertanya; “dari mana kamu dapat
jawaban itu wahai Abu Hanifah?” Imam Abu Hanifah menjawab; “dari hadits yang
engkau bacakan kepada kami”. Al-A’masy (w. 148 h) menimpali:
‫نعم نﻦ صيﺎَدلا ولأنت لأطﺒﺎَء‬
“Benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya”
Imam Ahmad (w 241 H) berkata :
‫ ﻣﺎَ كن لأصﺎَب الديث يعﺮﻓﻮن ﻣعﺎَن لأﺣﺎَديث رﺳﻮل ا‬:‫ﻻ يﺴﺴﺘغن صﺎَحب الديث ﻣﻦ ﻛﺘب اﻟشﺎَﻓعى وقﺎَل‬
‫ﷺ ﻓبينﺎَ لم‬
“Para ahli hadits tidak bisa terlepas dari kitab-kitab Imam Syafi’i, beliau berkata :
para ahli hadits dahulu tidak paham makna-makna hadits, maka Imam Syafi’i
menjelaskan maksudnya”[5]
Begitulah, para ulama dahulu sangat paham bagaimana menerima, menyampaikan,
memahami dan mengamalkan sebuah hadits. Para periwayat hadits kadang tidak
begitu paham apa maksud dari hadits yang diriwayatkannya, mereka hanya
menyampaikan apa yang didengar sebagaimana adanya, ini karena mereka
mengamalkan hadits Rosulullah ‫ ﷺ‬:
‫ ﻓﺮب ﺣﺎَﻣل ﻓقه إال ﻣﻦ هﻮ‬،‫ ففظه حت يﺒلغه‬،َ‫… نض ا اﻣﺮلأ سعم ﻣنﺎَ ﺣديثﺎ‬
[14:33, 1/13/2019] surosodrs412: Lafadz kullu selalu menjadi perbincangan menarik
di kalangan umat Islam Indonesia bak seorang selebriti, itu lantaran penafsiran
lafadz kullu dalam sebuah hadits Nabi menjadi titik krusial dalam menilai sebagian
amalan-amalan umat Islam Indonesia, apakah amalan-amalan tersebut masuk
kategori sesat atau tidak.
Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda dalam muqodimah khutbahnya:
alhamdulillah
[1]‫ و"لك"ل بدعة ضللا‬،َ‫ وش اللﻣﻮر مدثتاﺎ‬،‫ وﺧﻴ اﻟﻬدى هدى مد‬،‫ﻓإﺎَن ﺧﻴ الديث ﻛﺘﺎَب ا‬

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya petunjuk


adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan
setiap bid’ah (hal baru) adalah sesat”
Juga dalam riwayat lain:

[2]‫ وك ضللا ف اﻟﻨﺎَر‬،‫ وك مدثة بدعة وك بدعة ضللا‬،َ‫وش اللﻣﻮر مدثتاﺎ‬

“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah (hal baru)
adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka”

Memahami hadits butuh ilmu

Untuk memahami kandungan sebuah hadits, apalagi yang berkaitan dengan hukum,
seseorang tidak bisa seenaknya saja mengartikan maksud hadits dan menarik
kesimpulan hukum tanpa dasar ilmu,

Ibnu Uyainah (w 198 H) berkata :

‫الديث ﻣﻀل إالﻻ للفقﻬﺎَء‬

“hadits itu menyesatkan kecuali bagi fuqoha”

Ibnu hajar al-Haitamiy (w 974 H) menjalaskan, maksud perkataan tesebut adalah,


karena hadits-hadits Nabi itu seperti al-Qur’an, ada lafadz-lafadz yang umum tetapi
maksudnya khusus, atau sebaliknya, ada juga lafadz-lafadz yang sudah di mansukh
dan lain-lain, yang mana semua itu tidak diketahui kecuali oleh para fuqoha, adapun
orang awam yang tidak mengetahui hal-hal ini, akan salah dalam memahami
maksud sebuah hadits, sehingga tersesat[3].

Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya, Nashihatu Ahli al-Hadits


bercerita[4]:

Suatu ketika al-A’masy (w. 148 H) seorang muhadits, duduk bersama Imam Abu
Hanifah (w. 150 H) seorang Imam ahli fiqih. Datanglah seorang laki-laki bertanya
suatu hukum kepada al-A’masy. Al-‘Amasy berkata: “wahai nu’man (Imam Abu
Hanifah), jawablah pertanyaan itu ” Akhirnya Imam Abu Hanifah menjawab
pertanyaan itu dengan baik. Al-A’masy kaget dan bertanya; “dari mana kamu dapat
jawaban itu wahai Abu Hanifah?” Imam Abu Hanifah menjawab; “dari hadits yang
engkau bacakan kepada kami”. Al-A’masy (w. 148 h) menimpali:

‫نعم نﻦ صيﺎَدلا ولأنت لأطﺒﺎَء‬

“Benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya”


Imam Ahmad (w 241 H) berkata :

‫ ﻣﺎَ كن لأصﺎَب الديث يعﺮﻓﻮن ﻣعﺎَن لأﺣﺎَديث رﺳﻮل ا‬:‫ﻻ يﺴﺴﺘغن صﺎَحب الديث ﻣﻦ ﻛﺘب اﻟشﺎَﻓعى وقﺎَل‬
‫ﷺ ﻓبينﺎَ لم‬

“Para ahli hadits tidak bisa terlepas dari kitab-kitab Imam Syafi’i, beliau berkata :
para ahli hadits dahulu tidak paham makna-makna hadits, maka Imam Syafi’i
menjelaskan maksudnya”[5]

Begitulah, para ulama dahulu sangat paham bagaimana menerima, menyampaikan,


memahami dan mengamalkan sebuah hadits. Para periwayat hadits kadang tidak
begitu paham apa maksud dari hadits yang diriwayatkannya, mereka hanya
menyampaikan apa yang didengar sebagaimana adanya, ini karena mereka
mengamalkan hadits Rosulullah ‫ ﷺ‬:
‫ ورب ﺣﺎَﻣل ﻓقه ﻟﻴس‬،‫ ﻓﺮب ﺣﺎَﻣل ﻓقه إال ﻣﻦ هﻮ لأﻓقه ﻣنه‬،‫ ففظه حت يﺒلغه‬،َ‫نض ا اﻣﺮلأ سعم ﻣنﺎَ ﺣديثﺎ‬
[6]‫بفقيه‬

“Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits


dariku, lalu dia menghafalnya kemudian dia menyampaikannya (kepada orang lain),
terkadang orang yang membawa ilmu menyampaikannya kepada orang yang lebih
paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu tidak memahaminya”

Untuk memahami maksud dari sebuah hadits atau fiqh al-Hadits, kita harus
bertanya kepada fuqoha (ahli fiqih), sebagaimana sudah disebutkan oleh Ibnu Hajar
al-Haitamiy diatas. Kenapa bertanya kepada fuqoha, karena merekalah yang mampu
meng-istinbath (menarik kesimpulan hukum) dari teks-teks syar’i baik itu al-Qur’an
ataupun haduts Nabi.

Kembai ke lafadz “kullu”, untuk memahami lafadz kullu yang ada dalam hadits
Nabi diatas kita harus merujuk kepada penjelasan para fuqoha, apa yang dikatakan
mereka tentang maksud dari lafadz kullu ini.
Penjelasan ahli ilmu tentang “kullu bid’atin dlolalah”

Imam Nawawi (w 676 H) berkata :

‫وك بدعة ضللا هﺬا عﺎَم مصخﻮص والﺮاد ﻏﺎَﻟب اﻟﺒدع‬

“Setiap bid’ah adalah sesat, lafadz setiap (kullu) disini adalah lafadz umum yang
bermaksud khusus, yaitu maksudya sebagian besar bid’ah”[7]

Ibnu Hajar al-Asqolani (w 852 H) berkata :


‫والﺮاد بقﻮل ك بدعة ضللا ﻣﺎَ لأﺣدث وﻻ دﻟيل ل ﻣﻦ اﻟشع بطﺮيﻖَ ﺧﺎَص وﻻ عﺎَم‬

“yang dimaksud dengan ucapan baginda Nabi ‫“ ;ﷺ‬setiap bid’ah adalah sesat”
adalah sesuatu yang baru yang tidak punya dalil dari syari’at, baik dalil itu secara
umum atau secara khusus”[8]

Ibnu Taimiyah (w 728) berkata :

‫ وه لأن يشع ﻣﺎَ ل يلأذن به ا فﻦ جعل ﺷﻴﺌﺎَ ديﻨﺎَ وقﺮبة بل‬.‫واﻟﺒدع الكﺮوهة ﻣﺎَ ل تكﻦ ﻣﺴﺴﺘﺤﺒة ف اﻟشيعة‬
‫ ك بدعة ضللا ﻓﺎَﻟﺒدعة ضد‬:‫ وهﻮ اليذ ﻋﻨﺎَﻩ اﻟﻨب صل ا عليه وﺳل بقﻮل‬.‫شع ﻣﻦ ا ﻓﻬﻮ ﻣبﺘدع ضﺎَل‬
‫اﻟشعة واﻟشعة ﻣﺎَ لأﻣﺮ ا به ورﺳﻮل لأﻣﺮ إايﺎَب لأو لأﻣﺮ اﺳﺴﺘﺤﺒﺎَب وإان ل يفعل عل ﻋﻬدﻩ كﻻجتع ف اﻟتاوي‬
‫ وﻣﺎَ ل يشعه ا ورﺳﻮل ﻓﻬﻮ‬.‫ وقتل لأهل اﻟﺮدة والﻮارج ونﻮ ذﻟ‬.‫عل إاﻣﺎَم واﺣد وﺟعم اﻟقﺮآأن ف الصخﺤﻒ‬
‫بدعة وضللا‬

“Dan bid’ah yang dibenci adalah apa-apa yang tidak dianjurkan oleh syari’at, yaitu
membuat syariat baru yang tidak diperintahkan Allah. Barangsiapa membuat
sesuatu sebagai agama dan cara mendekatkan diri kepada Allah tanpa syariat dari
Allah, maka dia seorang ahli bid’ah. Itulah bid’ah yang dimaksud dalam ucapan
baginda Nabi ‫“ ;ﷺ‬setiap bid’ah adalah sesat”. Jadi, bid’ah itu adalah lawan dari
syari’at, syari’at itu adalah apa yang diperintah oleh Allah dan Rosul-Nya, baik itu
perintah wajib atau anjuran, walaupun perkara itu belum pernah terjadi di masa
Nabi, seperti tarawih berjama’ah, mengumpulkan al-Qur’an dalam mushaf,
membunuh orang-orang murtad atau khowarij dan sebagainya. Apa yang tidak
disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya maka itu adalah bid’ah dan kesesatan”[9]

Jelas sudah dari kesimpulan penjelasan para ulama diatas, bahwa maksud dari hadits
Nabi “kullu bid’atin dlolalah” adalah sebagian bid’ah; bid’ah yang sesat adalah
bid’ah yang bertentangan dengan syari’at Islam dan tidak mempunyai landasan dalil,
baik dalil itu sifatnya umum atau khusus, adapun bid’ah (hal baru) yang tidak
bertentangan dengan syariat (karena memiliki substansi ajaran Islam) serta memiliki
landasan dalil maka itu bukan bid’ah yang sesat.
Inilah kesimpulan yang dijelaskan oleh Mujtahid mutlak al-Imam Syafi’i --
rodhiyallahu ‘anhu- (w 204 H) yang dinukil oleh Ibnu Hajar al-Asqolani:

‫ فﺎَ واﻓﻖَ اﻟﺴﺴﻨة ﻓﻬﻮ مﻮد وﻣﺎَ ﺧﺎَﻟفﻬﺎَ ﻓﻬﻮ ﻣﺬﻣﻮم‬.‫اﻟﺒدعة بدﻋﺘﺎَن مﻮدة وﻣﺬﻣﻮﻣة‬

“Bid’ah itu ada dua; mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela), apa yang sesuai
dengan sunah adalah bid’ah terpuji sedang yang bertentangan dengan sunah adalah
bid’ah tercela”
Ada juga riwayat dari imam al-Baihaqi (w 458 H):

‫ وﻣﺎَ لأﺣدث ﻣﻦ الﻴ ﻻ‬.‫الدثتا ﺿﺑن ﻣﺎَ لأﺣدث ﻳﺎَﻟﻒ ﻛﺘﺎَﺑ لأو ﺳﺴﻨة لأو لأﺛﺮا لأو إاجمعﺎَ ﻓﻬﺬﻩ بدعة اﻟﻀلل‬
‫ﻳﺎَﻟﻒ ﺷﻴﺌﺎَ ﻣﻦ ذﻟ ﻓﻬﺬﻩ مدثة ﻏﻴ ﻣﺬﻣﻮﻣة‬

“Perkara baru ada dua, yang pertama yang menyelisishi al-Qur’an dan sunah Nabi
atau atsar sahabat atau Ijma’, maka perkara baru ini adalah bid’ah yang sesat. Yang
kedua adalah perkara baru yang tidak menyelisishi hal-hal di atas, maka ini adalah
bid’ah yang tidak tercela”[10]

Mengapa para ulama bisa berkesimpulan seperti ini? Jelas karena mereka mamiliki
ilmu yang luas dan perangkat untuk ber-istinbath. Dengan keluasan ilmu dan
pemahaman yang dalam tentang cara menarik kesimpulan hukum inilah para ulama
mampu melihat dengan jernih maksud dari teks-teks syar’i.

Lalu, Kullu itu maksudnya setiap atau sebagian ?

Mungkin ada yang bertanya, kalau makna dari kullu adalah sebagian, berarti ada
sebagian kesesatan yang tidak di neraka alias di surga ? karena hadits Nabi berbunyi
:”kullu dlolalatin fi an-Nar; setiap kesesatan di neraka”. Pertanyaan tersebut bisa
dijawab baik secara naqli (teks syar’i), aqli (logika) ataupun bahasa.
Secara naqli, dalam memahami suatu teks syar’i baik itu al-Qur’an atau hadits Nabi,
yang pertama dilakukan adalah mencari teks-teks sejenis atau yang berkaitan dengan
teks yang akan dibahas tersebut.

Dalam hadits kullu bid’atin dlolalah, untuk memahami maksudnya adalah dengan
mencari hadits-hadits lain yang serupa atau yang berkaitan, kemudian setelah
terkumpul semua hadits yang sejenis diambil benang merahnya atau bahasa lainnya
dikompromikan, istilah ini dalam ushul fiqih disebut al-jam’u wa at-taufiq.

Salah satu metode mengkompromi dalil-dalil apabila terlihat bertentangan adalah


takhsis al-‘am, yaitu membawa makna hadits yang bersifat ‘am atau umum kepada
hadits yang bersifat khos atau khusus. Tentang mengkhususkan dalil yang bersifat
umum ini, Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata:

‫ف اللدلا اﻟت ﻳص بﺎَ اﻟعﻤﻮم ﻻ نعل اختلﻓﺑﺎَ ف جﻮاز تصخيص اﻟعﻤﻮم‬

“tentang dalil-dalil yang mengkhusukan dalil umum, kami tidak tau ada perselisihan
ulama tentang bolehnya menkhususkan yang umum”[11]

Pertanyaannya adalah; ada tidak hadits lain yang serupa dengan hadits ini? Ternyata
ada, yaitu hadits Nabi yang berbunyi:

[12]‫ ﻣﻦ ﻏﻴ لأن يﻨقص ﻣﻦ لأجﻮره شء‬،‫ ولأجﺮ ﻣﻦ عل بﺎَ بعدﻩ‬،َ‫ ﻓل لأجﺮهﺎ‬،‫ﻣﻦ ﺳﻦ ف اإﻻﺳلم ﺳﺴﻨة حﺴﺴﻨة‬
“Barangsiapa membuat sunah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan
pahala orang yang mengikuti perbuatan itu setelahnya tanpa dikurangi pahala
mereka (yang mengikuti) sedikitpun”

Sanna sendiri berarti melakukan sesuatu yang baru kemudian diikuti oleh orang
lain, dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan:

‫وك ﻣﻦ ابﺘدلأ لأﻣﺮا عل به قﻮم ﻣﻦ بعدﻩ ﻓﻬﻮ اليذ ﺳﺴﻨه‬

“setiap orang yang memulai suatu hal kemudian diikuti oleh orang lain maka dia
sudah membuat sunah”[13]
Tentu penilaian apakah perbuatan yang dia lakukan menjadi sunah yang baik atau
tidak dilihat dengan kacamata syari’at.

Hadits lain yang serupa yaitu sabda Nabi ‫ ﷺ‬:

[14]‫ﻣﻦ لأﺣدث ف لأﻣﺮن هﺬا ﻣﺎَ ﻟﻴس ﻣنه ﻓﻬﻮ رد‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama)
yang tidak berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak”

Hadits di atas mafhumnya adalah, bahwa apabila perkara baru tidak berasal dari
agama maka tertolak, tetapi apabila perkara baru tersebut ada asalnya dari agama
maka tidak tertolak.
Hadits kullu bid’atin dlolalah adalah hadits umum, kenapa? Karena salah satu lafadz
yang menunjukan keumuman adalah “kullu”, sebagaimana disenutkan para ulama
ushul[15]. Sedangkan hadits “man sanna fi al-Islam” juga hadits “man ahdatsa”
bersifat khusus, karena memberi informasi spesifik. Inilah yang dikatakan oleh
Imam Nawawi:

‫هﺬا عﺎَم مصخﻮص والﺮاد ﻏﺎَﻟب اﻟﺒدع‬

“hadits ini hadits umum yang dikhususkan, maksudnya adalah sebagian bid’ah”

Dua hadits yang seolah bertentangan ini dikompromi dengan cara takhsis al-‘am
alias mengkususkan yang umum, hasilnya adalah sebuah kesimpulan, bahwa tidak
setiap hal baru (bid’ah) bersifat sesat, karena Nabi mengatakan ada hal baru yang
bersifat baik.

Jadi, mengartikan lafadz kullu itu bukan masalah “semua” atau “sebagian”, tetapi
ada tidak dalil takhsis (yang mengkhususkannya)? Apabila ada, maka maknanya
sebagian, apabila tidak ada maka maknanya setiap atau semua, seperti “kullu
dlolalatin fi an-nar”( setiap kesesatan akan masuk neraka), lafadz kullu disini tidak
ada dalil lain untuk men-takhsisnya (mengkhsusukan maksudnya) sehingga
maknanya “semua” atau “setiap”.

Secara aqli atau logika, apabila mengartikan kullu dalam hadits Nabi itu dengan
“setiap” atau “semua” maka akan berakibat fatal, karena semua hal baru, baik
bersifat keduniaan atau bersifat keagamaan, akan mendapat sifat bid’ah, dan segala
sesuatu yang bid’ah akan masuk neraka. Kenapa ? karena redaksi hadits Nabi jelas
mengatakan “setiap hal baru adalah bid’ah” tanpa membedakan antara masalah
duniawi atau masalah agama;

‫وك مدثة بدعة وك بدعة ضللا‬

“Setiap hal baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”

Jadi, kalau mau konsisten mengartikan kullu bermakna semua dan tidak mau
menerima dalil takhsis, maka mobil, HP, laptop dan semua hal baru yang belum ada
di zaman Nabi adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah di Neraka. Tentunya syari’at
Islam tidak bermaksud seperti itu.

Secara bahasa, kullu juga bisa bermakna semua juga bisa bermakna sebagian, imam
al-Fairuz Abadi (w 817 M) seorang Imam ahli lughoh dalam mu’jamnya berkata:

‫ وقد جﺎَء‬،‫ وكﻬﻦ ﻣنطلﻖَ وﻣنطلقة‬،‫ وكة اﻣﺮلأة‬،‫ ك رجل‬:‫ لأو يقﺎَل‬،‫ للكذﺮ واللنث‬،‫ اس ليعم اللجزاء‬:‫ ﺑﻟﻀم‬،‫اﻟك‬
[16]‫بعن بعض‬

“Kullu dengan kaf dhomah, adalah nama bagi semua bagian, baik bagi kata
maskulin atau feminim. Ada pula yang mengatakan bagi maskulin kullu bagi
feminim kullatu. (dikatakan) Kulluhunna muntholiq atau muntholiqoh. Dan kullu
juga bisa bermakna sebagian”

Begitu juga Murtadho az-Zabidi (w 1205 H) mengatakan dalam kitabnya:


[17]‫ وقد جﺎَء اﺳﺴﺘعمل بعن بعض‬،‫ اإﻻﺣﺎَطة ﺑليعم‬،‫ ﻣﻮضعم ك‬:‫قﺎَل ابﻦ اللثﻴ‬

“Berkata Ibnu al-Atsir (w 606 H)[18] : topik dari lafadz kullu adalah makna yang
mencangkup kesuluruhan, dan lafadz kullu juga digunakan untuk makna sebagian”

Para ulama, baik ulama fiqih, ulama ushul maupun ulama lughoh (bahasa) bisa
memahami bahwa kullu bisa bermakna sebagian karena mempunyai bukti dari al-
Qur’an, mereka sangat memahami keluasan bahasa dan keindahan sastra dalam al-
Qur’an.

Diantara hujah dalam al-Qur’an bahwa lafadz kullu bisa bermakna sebagian adalah
ayat-ayat berikut:

[19] َ‫ك ﺘﺳﺑفيﻨﺘﺔة غﺘﺪصخﺑﺒﺎ‬ ‫ﺘوﺘكﺘن ﺘوﺘراﺘء ﺔ ﺪه ﺘﻣ ﺑ ﺔ‬


‫ل ي ﺘأأﺔﺧﺔﺬ ﺔ ﻨ‬

“Dan di hadapan mereka ada raja yang akan merampas “setiap perahu””
Lafadz kullu dalam ayat di atas bermakna sebagian, yaitu raja hanya akan
mengambil setiap perahu yang bagus saja, tidak semua perahu, karena perahu yang
ditumpangi oleh Nabi Musa tidak diambil oleh raja karena sudah dirusak oleh Nabi
Khidir, dan memang seperti itu fakta yang terjadi dalam kisah Nabi Musa dan Nabi
Khidir”
[20] ‫شﺔء ﺑبأأﺪﻣﺑﺮ ﺘر ﺑ لبﺘﺎَ ﻓﺘأأﺪصﺘﺒﺔﺤﻮا ﺘﻻ يﺔﺘﺮى اﻨﻻ ﺘﻣﺘﺴﺎَﺑﻛ ﺔنﺔﺪم ﺘﻛﺘﺬ ﺑ ﺘﻟ ﺘ ﺪنﺑزيذ اﻟﺪﺘقﺪﻮﺘم اﻟﺪﺔﻤ ﺪجﺑﺮﺑﻣ ﺘي‬
‫ﺪ‬ ‫تﺔﺘدﺑلﻣﺔﺮ ﺔ ﻨ‬
‫ك ﺘ‬
‫إ‬

“(angin) yang menghancurkan “segala sesuatu” dengan perintah Tuhannya,


sehingga mereka (kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya
(bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
kaum yang berdosa”

Allah katakan bahwa angin yang dikirim kepada kaum ‘Ad menghancurkan segala
sesuatu, padahal kenyataannya bekas-bekas bangunan mereka masih ada, tanah,
pepohonan dan gunung-gunung masih ada dan tidak hancur, jelas sudah bahwa
maksud kullu dalam ayat di atas adalah sebagian, bukan semua.

[21] ‫شﺔء ﺘوﻟ ﺘﺘﻬﺎَ ﺘﻋﺪﺮ ﺔش ﺘﻋﺑظ ﺔي‬ ‫ا ﺑ لن ﺘوﺘجﺪدﺔتا اﺪﻣﺘﺮ أأﺑة تﺘﺪﻤﺑلﺔكﺔﻬﺪم ﺘو أأو ﺑتﻴﺘ ﺪت ﺑﻣﺪﻦ ﺔ ﺑ ل‬
‫ك ﺘﺪ‬ ‫إ‬

“Sungguh kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia
dianugrahi “segala sesuatu” serta memiliki singgasana yang besar”

Dalam ayat di atas Allah menghikayatkan ucapan burung Hudhud yang


mengatakan bahwa ratu Bilqis dianugrahi segala sesuatu, padahal kenyataanya tidak
seperti itu, karena ratu Bilqis tidak dianugrahi kerajaan Nabi Sulaiman. Jelas bahwa
lafadz kullu dalam ayat bukan bermakna “semua” tetapi sebagian.
Masih banyak lagi ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menjadi hujjah bahwa lafadz
kullu tidak selamanya bermakna “setiap” atau “semua” atau “segala”, lafadz kullu
bisa bermakna “sebagian” tergantung konteks dan ada tidaknya dalil yang
mentakhsis maknanya.

Terakhir, penulis ingin menyampaikan, agar cara beragama kita benar, cara
memahami dalil-dalil juga benar, maka kembalilah kepada manhaj para ulama,
itulah jalan yang lebih selamat.
[1] HR. Muslim

[2] HR. an-Nasa’i

[3] Fatawa alhaditsiyah, hal. 283

[4] Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H), Nashihatu Ahli al-Hadits,
(Maktabah al-Manar, 1408), hal. 44

[5] Tahdzib al-Asma wa al-Lughot (1/61)

[6] HR. Abu Daud

[7] Al-Minhaj syarh shohih Muslim bin al-Hajaj (6/154)

[8] Fathu al-Bari syarh shohih al-Bukhori (13/254)

[9] Majmu’ al-Fatawa (23/133)

[10] Fathu al-Bari syarh shohih al-Bukhori (13/253)


[11] Roudloh an-Nadhir wa junnat al-Munadhir (2/59)

[12] HR. Muslim

[13] Al-Mu’jam al-Wasith (1/455)

[14] Muttafaq ‘alaihi

[15] Roudloh an-Nadhir wa junnat al-Munadhir (2/13)

[16] Mu’jam al-Muhith (1/1053)

[17] Taj al-Arus (30/339)

[18] Ulama lughoh

[19] QS. Al-Kahfi ayat 79

[20] QS. Al-Ahqof ayat 25

[21] QS. An-Naml ayat 23


Hadis Muslim, bab khutbah Rasulullah pada hari Jum'at.
Bunyi hadis
‫ كن رﺳﻮل ا صل ا عليه وﺳل إاذا خطب إاحﺮتا ﻋيﻨﺎَﻩ وعل صﻮته و اﺷﺴﺘلد غﻀﺒه‬،‫ﻋﻦ جﺎَبﺮ بﻦ ﻋﺒد ا‬
‫ و يقﻮل بعثت لأن و اﻟﺴﺎَعة كﻬﺎَتي و يقﺮن بي إاصﺒعيه اﻟﺴﺴﺒﺎَبة و اﻟﻮﺳطى‬،‫لكلنه ﻣنﺬر جﻴش يقﻮل صلﺒﺤك ﻣلﺴﺎَك‬
‫ك بدعة ضللا لث‬ ‫ش اللﻣﻮر مدثتاﺎَ و ل‬ ‫ ﻓإﺎَلن ﺧﻴ الديث ﻛﺘﺎَب ا و ﺧﻴ اﻟﻬدى هدى مد و ل‬،‫يقﻮل لألﻣﺎَ بعد‬
‫ك ﻣؤﻣﻦ ﻣﻦ نفﺴه ﻣﻦ تﺮك ﻣﺎَﻻ ﻓ للهل و ﻣﻦ تﺮك ديﻨﺎَ لأو ضيﺎَعﺎَ ﻓإﺎَ لل و ع لل‬
‫يقﻮل لأن لأول ب ل‬
Dari Jabir Bin Abd Allah, Rasulullah saw apabila berkhutbah Jum'at, menyalalah
kedua bola matanya, melantangkan suaranya dan tinggi lah wibawa nya seolah
beliau adalah seorang panglima perang yang sedang menyemangati pasukannya.
Beliau berkata ‫"ل‬sesungguhnya jarak antara masa diutusnya aku dan hari kiamat itu
seperti ini‫ "ل‬beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau.
Beliau berkata lagi, ‫"ل‬sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah dan sebaik-
baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah sesuatu
yang dibuat-buat, setiap bidah (yang dibuat-buat) itu sesat‫"ل‬. Kemudian beliau
melanjutkan ‫"ل‬sesungguhnya aku ini lebih berhak bagi seorang mukmin
dibandingkan dirinya sendiri, siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu
untuk keluarganya, tetapi barangsiapa yang meninggalkan hutang dan kesempitan
maka akulah yang menanggungnya.
‫ك بدعة ضللا‬
Hadits ini kalo ditelan bulat2 n sampe mnimbulkan TAQLID yang membabi BUTA
bisa berdampak GAMPANG MENGATAKAN SESAT TERHADAP AMALIYAH
ORANG LAIN. Ada baiknya kita telusuri dari :
Pembagian bid’ah itu sendiri yg bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi
wasallam, yaitu:

‫شﺔء ﺘوﺘﻣﺪﻦ ﺘﺳﻨﻦ‬ ‫حﺴﺴﻨﺘﺑة ﻓﺘ ﺘ ﺔل أأﺪجﺔﺮﺘهﺎَ ﺘو أأﺪجﺔﺮ ﺘﻣﺪﻦ ﺘ ﺑعﺘل ﺑبﺘﺎَ ب ﺘﺪعﺘدﺔﻩ ﺑﻣﺪﻦ ﻏﺘ ﺪ ﺑﻴ أأﺪن ي ﺘﺪﻨﺔقﺘص ﺑﻣﺪﻦ أأﺔجﻮﺑر ﺑ ﺪه ﺘ ﺪ‬‫ﺘﻣﺪﻦ ﺘﺳﻨﻦ ﺑف اﺪﻻﺪﺳﺘلﺑم ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة ﺘ ﺘ‬
‫إ‬
‫ﺑف اﺪﻻﺪﺳﺘلﺑم ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة ﺘﺳ ﺑﻴ لﺌﺘﺑة ﺘكﺘن عﺘلﺘﺪيﺑه ﺑوﺪزﺔرﺘهﺎَ ﺘوﺑوﺪزﺔر ﺘﻣﺪﻦ ﺘ ﺑعﺘل ﺑبﺘﺎَ ﺑﻣﺪﻦ ب ﺘﺪعﺑدﺑﻩ ﺑﻣﺪﻦ ﻏﺘ ﺪ ﺑﻴ أأﺪن ي ﺘﺪﻨﺔقﺘص ﺑﻣﺪﻦ أأﺪوﺘزاﺑر ﺑ ﺪه ﺘ ﺪ‬
‫شﺔء‬
‫إ‬
“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya
pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari
pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka
baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun
dari dosanya”.

Hadits ini mentakhsis hadits Nabi yang berbunyi:

‫ك مدثة بدعة و ك بدعة ضللا‬

“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat
bathil dan bid’ah-bid’ah yang bersifat tercela.

Dengan demikian, bid’ah dibagi kepada lima bagian, yaitu:

1. Bid’ah wajib,
2. Bid’ah sunnah,
3. Bid’ah haram,
4. Bid’ah makruh, dan
5. Bid’ah mubah.

Begitupula Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan: “Menanggapi ucapan ini


(ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna
hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi : “seburuk-buruk
permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul
umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah),

yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah
Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya
dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini
merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir
Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

Para Al Imam Al Hafizh telah menjelaskan memang ada hadits yang mentakhsis
hadits “kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah sesat).
Pengertian takhsis adalah “suatu nash atau kalimat (lafadh) yang membatasi
pengertian umum dari satu nash atau kalimat (lafadh)

Imam Suyuthi berkata: “mengenai hadits “bid’ah dhalalah” ini bermakna “Aammun
makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah :
“… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf [46]:25) dan kenyataannya
tidak segalanya hancur, atau firman Allah “sesungguhnya akan Aku penuhi neraka
jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama” (QS As Sajdah [32]:13) dan
pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, (ayat itu bukan bermakna
keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) (Syarh Assuyuthiy
Juz 3 hal 189).

Imam Nawawi juga berkata

‫ك ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘضﺘل ﺘ ﺔلا ﺘهﺘﺬاعﺘﺎَ مم ﺘﻣ ﺪخﺔصخﺪﻮﺔص ﺘواﻟﺪﺔﻤﺘﺮاﺔد ﻏﺘﺎَﺑﻟﺔب اﻟﺪﺑﺒﺘدعﺑ‬


‫ قﺘﺪﻮ ﺔ ﺔل ﺘو ﺔ ﺴ‬.

“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dholalah” ini adalah ‘Amm
Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud
adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim,
6/154).

Selanjutnya beliau berkata :


Selanjutnya beliau berkata :

‫ض ﺔت اﻟﺪﺘﻤﺪﺴأأ ﺘ ﺘلا ﺑبأأﺑدل ﻨ ﺑتﺘﺎَ اﻟﺪﺘﻤ ﺪبﺔﺴﺪﻮﺘطﺑة ﺑف ﺘ ﺪتاﺑﺬيﺪﺑب ا ﺪ أل ﺪ ﺘسﺎَﺑء ﺘواﺴللغﺘﺎَﺑتا ﻓﺘﺎَﺘذا ﺔﻋﺑﺮ ﺘف ﺘﻣﺎَ ﺘذﺘﻛﺪﺮتﺔﺔه عﺔ ﺑ ﺘل أأﻨن اﻟﺪﺘﺤﺑديﺪﺘث ﺑﻣﺘﻦ اﻟﺪﺘعﺎَﺑم‬
‫ﺘوقﺘﺪد أأﺪو ﺘ ﺪ‬
‫إ‬
‫ا ﺘﻋﺪﻨﺔه ﺑف اﻟ ﻨ ﺘتاﺑويﺪ ﺑح‬
‫ض ﺔ‬ ‫ ﺘوي ﺔ ﺘؤ ﺑي لﺔد ﺘﻣﺎَ قﺔلﺪﻨﺘﺎَﺔﻩ قﺘﺪﻮﺔل ﺔ ﺘعﺘﺮ ﺪبﺑﻦ اﻟﺪ ﺘخﻨطﺎَﺑب ﺘر ﺑ ﺘ‬,‫اﻟﺪﺘﻤ ﺪخﺔصخﺪﻮﺑص ﺘوﺘﻛﺘﺬا ﺘﻣﺎَ أ ﺪأﺷﺴ ﺘبﺘﺔه ﺑﻣﺘﻦ ا ﺪ ألﺘﺣﺎَﺑديﺪﺑث اﻟﺪﺘﻮاﺑرﺘدﺑة‬
َ‫ﺑنﺪعﺘﻤ ﺑت اﻟﺪﺑﺒﺪدعﺘﺔة ﺘوﺘﻻ ي ﺘﺪﻤﻨﺘﺔعم ﺑﻣﺪﻦ ﺘﻛﺪﻮﺑن اﻟﺪﺘﺤﺑديﺪﺑث عﺘﺎَ مﻣﺎَ ﺘﻣ ﺪخﺔصخﺪﻮﺑصﺎ‬

Dan sungguh telah aku jelaskan masalah ini (Bid’ah) berikut dalil-dalinya yang luas
dalam kitabTahdzibul Asma Wal Lughot, ketika telah diketahui apa yang telah
kusampaikan, maka sesungguhnyahadits ini adalah hadits “al ‘Am al makhsush“
(umum yang dibatasi), begitu juga dengan hadits-hadits lain yang serupa. Dan apa
yang dikatakan Umar bin khotthob –rodhiyallohu ‘anhu-, dalam masalah tarowih,
yakni Ni’matil Bid’ah, menguatkan pernyataanku dan sama sekali tidak mencegah
dari keberadaan hadits (Kullu Bid’atin) sebagai hadits ‘Am Makhsush (dalil umum
yang dibatasi). (Syarah Nawawi ala Muslim, vol.6, hlm. 155)

Jumhur ulama sebagaimana Imam Suyuthi dan imam Nawawi radhiyallahu ‘anhum
sepakat menyatakan hadits “Kullu Bid’ah dholalah” merupakan hadits yang bersifat
‘Am Makhshush artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi keumumannya
dibatasi oleh beberapa pengecualian.

Oleh karenanya para ahli tata bahasa Arab telah sepakat terjemahan kata “ KULLU
” yang tepat adalah “setiap” bukan “semua” karena kata “semua” tidak dapat
menerima pengecualian sedangkan kata “setiap” dapat menerima pengeculian. Jadi
kata “kullu” artinya “setiap” dapat bermakna setiap dalam arti sebagian atau setiap
dalam arti SEMUA.
Arab telah sepakat terjemahan kata “ KULLU ” yang tepat adalah “setiap” bukan
“semua” karena kata “semua” tidak dapat menerima pengecualian sedangkan kata
“setiap” dapat menerima pengeculian. Jadi kata “kullu” artinya “setiap” dapat
bermakna setiap dalam arti sebagian atau setiap dalam arti semua.

Jumhur ahli ushul fiqih menetapkan bahwa dalalah ‘amm yang mencakup seluruh
satuan-satuannya adalah zhanniyah (dugaan atau tidak pasti atau tidak menunjukan
qath’i atau tidak menunjukkan arti lugas). Sebab kebanyakan nash-nash yang datang
dengan shigat umum itu dimaksudkan hanya sebagian satuannya saja.

Apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sebagian dari satuan ‘amm itu
dikeluarkannya, maka dalalah sisa dari satuan yang telah dikeluarkan adalah
zhanniyah juga.
Sedangkan menurut kebanyakan ulama Hanafiyah, dalalah ‘amm bersifat qath’iyyah,
selama tidak ada dalil yang mengeluarkan satuannya.

Jadi para ulama telah sepakat bahwa ada dalil atau hadits yang mentakhsis atau yang
mengecualikan hadits “kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat) yakni
sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya
tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu
sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang
yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun.” (HR Muslim 4830)

Kata sunnah dalam sunnah hasanah dan sunnah sayyiah bukan berarti sunnah
Rasulullah karena tidak ada sunnah Rasulullah yang sayyiah (jelek).

Kata sunnah dalam sunnah hasanah dan sunnah sayyiah artinya contoh atau suri
tauladan atau perkara kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Contoh kebiasaan tersebut bisa baik (hasanah) dan bisa buruk (sayyiah)

Sunnah hasanah adalah contoh kebiasaan yang baik yakni kebiasaan yang tidak
menyalahi laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan As Sunnah

Sebaliknya sunnah sayyiah adalah contoh kebiasaan yang buruk yakni kebiasaan
yang menyalahi laranganNya atau kebiasaan yang bertentangan dengan Al Qur’an
dan As Sunnah
Asbabul wurud dari hadits tersebut adalah adanya seorang Sahabat yang
memelopori atau mencontohkan atau meneladankan bersedekah sesuatu yang
dibungkus dengan daun.

Jarir (Jarir bin ‘Abdul Hamid) berkata; ‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari
kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun
dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah
beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk
diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan
pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Jadi diperbolehkan mencontohkan atau meneladankan atau perkara baru (bid’ah)


dalam kebaikan atau kebiasaan yang baik yakni kebiasaan yang tidak menyalahi
laranganNya atau kebiasaan yang tidak menyalahi syara’ atau kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam mensabdakannya sebagai sunnah hasanah.

Sebaliknya terlarang mencontohkan atau meneladankan atau perkara baru (bid’ah)


dalam keburukan atau kebiasaan yang buruk yakni kebiasaan yang menyalahi
laranganNya atau kebiasaan yang menyalahi syara’ atau kebiasaan yang
bertentangan dengan Al Qur’an dan AS Sunnah dan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam mensabdakannya sebagai sunnah sayyiah

Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang
membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian atau
tidak dengan pokok-pokok syar’i“

Jadi perbedaan antara sunnah hasanah (bid’ah hasanah) dengan sunnah sayyiah
(bid’ah sayyiah) adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok
syar’i yakni Al Qur’an dan As Sunnah
Setiap kebiasaan yang baik atau setiap kebaikan yang dilakukan atas kesadaran
sendiri bukan karena diwajibkanNya adalah ibadah ghairu mahdhah.

Ada hadits yang berbunyi.

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i
Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada
kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari
Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang
kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami
shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka
beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada
kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir
adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah
sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, bahkan pada kemaluan seorang
dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah
seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan
pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu
yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian
meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala.(HR
Muslim)
Ibadah ghairu mahdhah

1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah
dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.

2. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat


atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut
logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
3. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan

4. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara


baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan.

Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal
ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan
atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal
atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.

Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat

Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan

Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling
bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah
kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan
kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)

Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu
masyarakat.

Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf

Firman Allah ta’ala yang artinya

‫ﺔﺧﺑﺬ اﻟﺪﺘعﺪفﺘﻮ ﺘو أأﺔﻣﺪﺮ ﺑﺑﻟﺪﺔعﺪﺮ ﺑف ﺘو أأﺪﻋﺑﺮ ﺪض ﺘﻋﺑﻦ اﻟﺪ ﺘجﺎَﺑهﺑل ﺘي‬


Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi),
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya,
oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi
kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai
perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih
( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak
bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun
laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah.

Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

‫ ﺘواﺪن ﺘكن ﺘ ﺪت ﺑﻣﻨﻤﺎَ تﺘﺪﻨﺘدﺑرﺔج ﺘ ﺪت ﺘت ﺔ ﺪﻣﺴﺴﺘﺘﺪقﺘب ﺔح‬،‫حﺴﺴﻨﺘﺔة‬ ‫ﺘواﻟﺘﻨﺪﺤﺑقﺪيﺔﻖَ أأ ﻨنﺘﺎَ اﺪن ﺘكن ﺘ ﺪت ﺑﻣﻨﻤﺎَ تﺘﺪﻨﺘدﺑرﺔج ﺘ ﺪت ﺘت ﺔ ﺪﻣﺴﺴﺘﺘﺪﺤﺘﺴﺔﻦ ﺑ ﺪف اﻟ ﻨ ﺪ‬
‫شعﺑ ﻓﺘﺑﻬيﺘي ﺘ ﺘ‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫شعﺑ ﻓﺘﺑﻬيﺘي ﺔ ﺪﻣﺴﺴﺘﺘﺪقﺘبﺘﺤﺔة‬‫ ﺑ ﺪف اﻟ ﻨ ﺪ‬.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama
adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik
dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk
dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Begitupula Al-Baihaqi dalam manaqib Asy-Syafi’i (1/469) bahwa beliau berkata:
‫ ﻭﺘﺘﻣﺎَ ﺃﺔﺪﺣﺑدﺙﺘ ﺑﻣﺘﻦ‬,‫ﺙ ﺔ ﺘﻳﺎَﺑﻟ ﺔﻒ ﺑﻛﺘﺘﺎَﺑﺑ ﺘﺃ ﺪﻭ ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة ﺘﺃ ﺪﻭ ﺃﺘﺛﺘﺑﺮﺍ ﺘﺃ ﺪﻭﺇﺑﺘﺪﺟﺎَعﺑﺎَ ﻓﺘﺘﻬﺑﺬﺑﻩ ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺍﻟﻨﻀﺘلﻝﺑ‬
‫ ﺘﻣﺎَ ﺃﺔﺪﺣﺑد ﺘ‬: ‫ﻥ‬ ‫ﺍﺘﻟﺪﺔﻤﺪﺤﺘدﺘثﺕﺔ ﺘ ﺪ‬
‫ﺿﺘﺑ ﺑ‬
‫ﺍﻟﺪﺘﺨ ﺪ ﺑﻴ ﺘﻻ ﺔ ﺘﻳﺎَﺑﻟ ﺔﻒﺘﺷﻴﺪﺌﺑﺎَ ﺑﻣﺪﻦ ﺫﺘ ﺑ ﺘﻟ ﻓﺘﺘﻬﺑﺬﺑﻩ ﺔﻣﺪﺤﺘدثﺘﺔة ﻏﺘ ﺪ ﺔﻴ ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮﺘﻣﺔة‬

“Perkara yang baru ada dua bentuk: (pertama) apa yang diada-adakan dan
menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. dan
(yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi
sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela”.

Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata

‫ ﻓﺘﺘﻤﺎَ ﺘﻭﺍﺘﻓﻖَﺍ ﺴﻟﺴﺴﻨﻨﺘة ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ ﺘﻣﺪﺤﺔﻤﺪﻮ ﺔﺩ ﻭﺘﺘﻣﺎَ ﺘﺧﺎَﻟ ﺘ ﺘﻒ ﺍ ﺴﻟﺴﺴﻨﻨﺘة ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮ ﺔﻡ‬,‫ ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘﻣﺪﺤﺔﻤﺪﻮ ﺘﺩ ﺔﺓ ﻭﺘﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮﺘﻣﺔة‬: ‫ﻥ‬
‫ﺍﺘﻟﺪﺑﺒﺪدعﺘﺔة ﺑبﺪدﺘﻋﺘﺘﺎَ ﺑ‬

“Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai
dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka
itu adalah tercela.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/113)

Hal yang dimaksud “semua yang sesuai dengan sunnah” bukan berarti sesuai
dengan sunnah Rasulullah karena jika sesuai dengan sunnah Rasulullah maka tidak
dikatakan bid’ah atau muhdats atau perkara baru atau contoh.

Hal yang dimaksud “semua yang sesuai dengan sunnah” artinya “tidak menyelisihi
sunnah Rasulullah” atau tidak bertentangan dengan syara’ atau tidak bertentangan
dengan Al Qur’an dan As Sunnah

Jadi menurut Imam Syafi’i, contoh atau perkara baru (bid’ah atau muhdats) atau
perkara yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang tidak menyalahi atau yang
tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji atau bid’ah mahmudah atau bid’ah
hasanah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i pada kesempatan yang lain
seperti
‫ ﺘوﻣﺘﺎَ أأﺪﺣﺘدﺘث ﺑﻣﺘﻦ‬، ‫ﻣﺘﺎَ أأﺪﺣﺘدﺘث ﺘوﺧﺘﺎَﻟ ﺘ ﺘﻒ ﺑﻛﺘﺘﺎَﺑﺑ أأﺪو ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة أأﺪو اﺘﺪﺟﺎَعﺑﺎَ أأﺪو أأﺛﺘﺑﺮا ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ اﻟﺑﺒﺪدعﺘﺔة اﻟﻀﺘﺎَ ﺘ ﺔلا‬- ‫ا ﺘﻋﺪﻨﺔه‬ ‫قﺘﺎَﺘل اﻟلشﺘﺎَﺑﻓﺑعي ﺘر ﺑ ﺘ‬
‫ض ﺔ‬
‫إ‬
( ‫ج‬- ‫اﻟطﺎَﻟﺒي‬1 ‫ ص‬313 ‫)ﺣﺎَﺷﺴية إاعﺎَنة‬- ‫ال ﺘ ﺪ ﺑﻴ ﺘوﻟ ﺘﺪم ﺔﻳﺘﺎَﺑﻟ ﺔﻒ ﺘﺷﺪﻴﺌﺑﺎَ ﺑﻣﺪﻦ ﺘذ ﺑ ﺘﻟ ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ اﻟﺑﺒﺪدعﺘﺔة ال ﺘﺪﺤﺔﻤﺪﻮﺘدﺔة‬

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat
di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-
Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang
sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak
terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan
pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah
hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)

Hal ini diamini oleh mam Al Imam Hafidz Ibnu Hajar Al Haitsami (w. 974 H) :

َ‫ﺘوﺑﻣﺪنﺘﺎَﺘﻣﺎ‬,‫شﺑﻋمي‬ ‫ﺘﻣﺎَﺘواﻓﺘﺘﻖَ ﺘﺷﺴﺪيألﺑ ﺑﻣﻨﻤﺎَﺘﻣﻨﺮ ﺘوﻟ ﺘﺪم ي ﺘلﺪﺘزﺪم ﺑﻣﺪﻦ ﺑﻓﺪع ﺑ ﺑل ﺘﻣﺪﺤﺔﺬﺪوﺔر ﺘ ﺪ‬:‫ه‬ ‫ أأﻨن اﻟﺪﺑﺒﺘدﺘع اﻟﺪ ﺘ ﺘ‬:‫ﺘواﻟﺪﺘﺤﺎَﺑصﺔل‬
‫ﺘو ﺑ ﺘ‬,َ‫ﺤﺴﺴﻨﺘﺘة ﺔﻣتﻨﺘفﺔﻖَ عﺘﺘل ن ﺘﺪدﺑبﺘﺎ‬
‫ﺘﻛﺘﺘﺪصخﺑﻨﺪيﺑﻒ اﻟﺪﺔعلﺔﺪﻮﺑم ﺘو ﺘ ﺪنﺑﻮﺘهﺎَﺑﻣﻨﻤﺎَﺘﻣﻨﺮ‬,‫ﺔهﺘﻮﻓﺘﺪﺮ ﺔض ﺑﻛﺘفﺎَي ﺘﺔة‬.

Kesimpulan : Sesungguhnya bid’ah-bid’ah hasanah adalah sesuatu yang telah


disepakati atas ke-sunnahannya, dia adalah perkara yang sesuai dengan sesuatu dari
apa yang telah lewat (al qur’an, as sunnah, ijma’, atau atsar) dan untuk
mengerjakannya tidak berkaitan dengan apa yang dicegah oleh syara’.Sebagian ada
yang fardu kifayah, seperti mengarang ilmu dan semisalnya. (Fathul Mubin Syarah
Arba’in, hal 223-224)

Selanjutnya beliau berkata :

‫ﺘﻣﺎَ ﺘﺧﺎَﻟ ﺘ ﺘﻒ ﺘﺷﺴﺪيألﺑ ﺑﻣﺪﻦ ﺘذ ﺑ ﺘﻟ ﺘ ﺑ‬:‫ه‬


, ‫ص ﺪ ﺑيﺎَ أأﺪو اﻟﺪ ﺑ ﺘتاﺑﻣﺎَ– قﺘﺪد تﺘن ﺪ ﺑﺘتيي ﺑاﺘل ﺘﻣﺎَ ي ﺔﺪﻮﺑجﺔب اﻟﺘﻨﺪﺤﺑﺮ ﺪ ﺘي ﺘتﺘرﺑة‬ ‫ﺘ‬ ‫ﺘو أأﻨن اﻟﺪﺑﺒﺘدﺘع اﻟﻨﺴ ﺑﻴ لﺌﺘﺘة – ﺘو ﺑ‬
‫إ‬
‫ ﺘوﺑاﺘل ﺘﻣﺎَ ي ﺔﺘظﺴﻦ ﺘان ﻨﺔه ﺘطﺎَعﺘﺔة ﺘوﺔقﺪﺮب ﺘﺔة‬, ‫ﺘواﻟﺪﺘكﺘﺮاﺘهﺘة أأﺪخﺘﺮى‬

Dan sesungguhnya bid’ah-bid’ah sayyi’ah (buruk) adalah apa-apa yang menyelisihi


sesuatu dari semua (al qur’an, as sunnah, ijma’, atau atsar) baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Bid’ah macam ini kadang berujung pada perkara yang
menyebabkan haram dan atau makruh, kadang pula berujung pada persangkaan
bahwa ia adalah tho’at dan ibadah (mahdho). (Fathul Mubin Syarah Arba’in, hlm.
224)

Oleh karenanya ketika kita menghadapi dalam perkara ibadah ghairu mahdhah
yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak dijumpai pada
masa Rasulullah maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang
dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak
melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh,
haram.
[20:07, 1/13/2019] surosodrs412:
Cara penggalian hukum dari Nash ada dua macam pendekatan, yaitu:

1. pendekatan makna

2. pendekatan lafadz

pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada Nash secara
langsung, seperti menggunakan metode Qiyas, Istihsan, Mustalah, Dzara’i dan lain
sebagainya. Sedangkan pendekatan lafadz dalam penerapannya membutuhkan
beberapa paktor pendukung yang di antaranya adalah:

Penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafaz Nash serta konotasinya


dari segi khusus dan umum.

Mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi atau menggunakan


mafhum yang diambil dari konteks kalimat.

Mengerti batasan-batasan ( qoyyid ) yang membatasi ibarat-ibarat Nash . Dan lain-


lain.
1. b. ‘Am dan Khas serta dalalahnya

Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dua sumber


hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’iy. konteks Al-Qur’an dan Al-
Hadits tersebut bisa berupa lafadz umum atau khusus. Lafadz yang umum atau
al-‘aam, ketetapan hukumnya harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti
bila di sana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang
mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti ( qoth’iy ) atau
dugaan ( dzonny ), terdapat perbedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan
Ulama Jumhur ( Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah ) dan Hanafiyyah.
Pembahasan tentang dalil takhsis

(yang menghususkan) lafadz ‘am insya Allah akan diuraikan dalam bab Takhsis.
[20:08, 1/13/2019] surosodrs412: Nash Al-Qur’an dan Al-Hadits juga ada yang
berupa lafadz khusus ( khosh ), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama
tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang
lain. Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum
secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz itu
berbentuk perintah ( ‘amar ), maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau
berbentuk larangan ( nahi ) maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila
tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau ketidak bolehannya.

1. 1. ‘Am,

a) Definisi al-‘aam [1]

Lafadz al-‘aam ialah yang menunjukkan tercakup dan termasuknya semua satuan-
satuan yang ada dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari
satuan-satuan tersebut. Lafadz ‫( ﻤﻥﺃلﻗ‬barang siapa melemparkan) dalam hadits yang
berbunyi:
‫ ﻤﻥ ﺃلﻗ ﺴﻶﺣه ﻓﻬﻭﺁ ﻤﻥ‬adadalah lafadz umum yang dapat menunjukkan tercakupnya
setiap orang yang melemparkan senjatanya, tanpa membatasi kepada perseorangan
tertentu.

Keumuman termasuk sifat lafadz karena merupakan dalalah lafadz yang di


dalamnya tercakup semua satuannya. Apabila lafadz ini hanya menunjukkan satu
satuan seperti seorang laki-laki, atau dua satuan seperti seperti dua orang laki-laki,
atau kelompok beberapa satuan seperti yang dapat dihitung seperti beberapa laki-
laki, sekelompok kaum, seratus atau seribu, maka semua itu bukan termasuk lafadz
yang umum.

Terdapat perbedaan antara al-‘Aam dan al-Muthlaq, al-‘Aam menunjukkan


tercakupnya semua satuan dari seluruh satuannya, sedangkan al-Muthlaq hanya
menunjukkan satuan atau beberapa satuan yang menonjol, bukan kepada semua
satuannya. Sebagaimana pendapat para ulama ushul : ‫عﻮﻡﺍلعﺎَﻡ شﻤﻮ لل ﻮعﻮﻡﺍلﻤطلﻕ ﺒﺩ‬
‫ “ لل‬keumuman al-‘Aam bersifat menyeluruh dan keumuman al-Muthlaq bersifat
resperentif (mewakili). Jadi, lafadz al-“Am dapat memperoleh satuan-satuan di
dalamnya sekaligus dan al-Muthlaq hanya memperoleh satuannya yang menonjol.
[2]
[20:08, 1/13/2019] surosodrs412: b) Lafadz-lafadz al-‘am

Untuk mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz ‘Aam, diperlukan pehaman


mendalam terhadap gramatika bahasa arab terutama yang membahas morfologi
pararel ( shorf ) dan sintaksis pararel ( nahu ). Dari situ akan diketahui maksud dan
tujuan nash apakah arahannya umum atau khusus. Oleh karena itu, penting untuk
dicatat bahwa mengetahui bahasa arab adalah 50% mengetahui ilmu ushul fiqh.
Patutkah orang yang tidak memahami gramatika bahasa arab menjadi mujtahid?
Hasil analisa dan pengkajian terhadap mufrodat dan ungkapan dalam bahasa arab
menyimpulkan beberapa lafadz yang arti bahasanya menunjukkan keumuman dan
mencakup keseluruhannya. Dari beberapa referensi Kitab ushul fiqh yang ada, tidak
ada perbedaan pendapat mencolok dalam penjelasan lafadz-lafadz al-‘am tersebut. Di
bawah ini secara singkat akan dipaparkan pengklasifikasian lafadz-lafadz ‘am yang
sering dipergunakan:

Lafadz-lafadz yang bermakna jamak, seperti;

‫ ك ﺍﻣﺮﺉ بﺎَ كذﺴب ﺭهي‬: ‫ك‬


‫ل‬

َ‫ ﺧلﻖَ ﻟك ﻣﺎَ ﻓ ﺍﻷﺭﺽ ﺟيعﺎ‬: ‫ﺟيعم‬

‫ ﻭقﺎَتلﻮﺍﺍلشﻛي كﻓة ﻛم يقﺎَتلﻮﻧك كﻓة‬: ‫كلﻓة‬

‫ نﻦ ﻣعﺎَش ﺍﻷنبيﺎَﺀ ﻻ نﻮﺭﺙ‬: ‫ﻣعﺎَش‬


[20:09, 1/13/2019] surosodrs412: Lafadz-lafadz jamak atau mufrad yang
dima’rifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut masing-masing contohnya;

َ‫ﺇﻥ ﺍﻟ يغفﺮﺍل نﻮﺏ ﺟيعﺎ‬


‫ل‬

‫يﻮصك ﺍﻟ ﻓ ﺃﻭﻻﺩ ك‬

‫ﻭﺍﻟﺴﺎَﺭﻕ ﻭﺍﻟﺴﺎَﺭقة ﻓﺎَقطعﻮﺍﺃيد ﻳم‬

‫هﻮ ﺍﻟطﻬﻮﺭ ﻣﺎَﺅﻩ ﺍللل ﻣيﺘﺘه‬

Isim nakirah yang dinafikan (dicegah) atau yang disyaratkan, sperti contoh;
‫ﻻﺇكذﺮﺍﻩ ﻓ ﺍﻟيﻦ‬

‫ﻭﻻ تصخلل عل ﺃﺣد ﻣنم ﻣﺎَﺕ ﺃبدﺍ‬

‫‪Isim nakirah yang mutsbat (ditetapkan), tidak mengandung pengertian umum‬‬


‫ﺇﻥ ﺍﻟ يﺄﻣﺮك ﺃﻥ تﺬﺑﻮﺍبقﺮﺓ ‪seperti yang terdapat dalam ayat‬‬ ‫‪ kecuali bila terdapat‬ل‬
‫‪ .‬لم ﻓﻴﺎَ ﻓﺎَكﻬة ﻭلم ﻣﺎَيلدﻋﻮﻥ ‪qorinah (tanda), contohnya‬‬

‫;‪beberapa isim maushul, di antaranya‬‬

‫ﻣﺎَ ‪ :‬ﻭﻣﺎَ ﻣﻦ ﺩﺍلبة ﻓ ﺍﻷﺭﺽ ﺇﻻ عل ﺍﻟ ﺭﺯقﻬﺎَ‬

‫ﻣﻦ ‪ :‬فﻦ كﻥ ﻣنك ﻣﺮيﻀﺎَ‬

‫ﺇﻥ ﺍل يﻦ يﺄكﻮﻥ ﺃﻣﻮﺍﻝ ﺍﻟيﺘﺎَﻣ ﻇلم‬


‫ﺍليﻦ ‪ :‬ل‬

‫ﺍلللﺋ ‪ :‬ﻭﺍﻟلﺋ يﺌﺴﻦ ﻣﻦ ﺍليض ﻣﻦ ﻧﺴﺎَﺋك‬

‫ﺍﻟلﺗ ‪ :‬ﻭﺍﻟلﺗ يﺄتي ﺍﻟفﺎَخشة ﻣﻦ ﻧﺴﺎَﺋك‬

‫ﺃﻭﻻﺕ ‪ :‬ﻭﺃﻭﻻﺕ ﺍﻷحمﻝ ﻷجلﻬلﻦ ﺃﻥ يﻀعﻦ حلﻬﻦ‬

‫لّ‬
‫;‪[20:09, 1/13/2019] surosodrs412: Isim-isim syarat, beberapa di antaranya‬‬

‫ﻣﻦ ‪ :‬ﻣﻦ ﺷﻬد ﻣنك ﺍﻟشﻬﺮ ﻓليصخﻤه‬

‫ﻑ ﺍﻟيك‬
‫ﻣﺎَ ‪ :‬ﻭﻣﺎَ تﻨفقﻮﺍ ﻣﻦ ﺧﻴ يﻮ ل‬
‫ ﺃليم تدﻋﻮ ﻓل ﺍﻷﺳمﺀ ﺍلﺴﺴن‬: ‫ﺃﻱ‬

‫ ﺃيﻨ تكﻮنﻮﺍ يدﺭكك ﺍلﻮﺕ‬: ‫ﺃيﻨ‬

‫ ﺇﻥ ﻛﻨت ﻓ ﺭيب ﻣﺎَ ﻧلزﻟﻨﺎَعل ﻋﺒد ن ﻓﺄتﻮﺍﺑﺴﻮﺭﺓ ﻣﻦ ﻣﺜل‬: ‫ﺇﻥ‬

Isim isim istifham, sebagaimana dalam contoh-contoh berikut:

‫ ﻣﻦ ﻓعل هﺬﺍ بﺄﻟﻬﺘﻨﺎَ ﻳ ﺇبﺮﺍهي‬: ‫ﻣﻦ‬

‫ ﻣﺎَﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻟ بﺬﺍ ﻣﺜل‬: ‫ﻣﺎَﺫ‬

‫ ﻣت نﺼ ﺍﻟ‬: ‫ﻣت‬

‫ ﺃيﻦ ﻣﺎَ ﻛﻨت تدﻋﻮﻥ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﻟ‬: ‫ﺃيﻦ‬

Semua lafadz-lafadz dalam contoh di atas dipergunakan untuk pengertian yang


bersifat umum karena mencakup setiap kesatuan yang ada di dalamnya, jika ada
lafadz ‘am tetapi tidak mengandung sebuah keumuman maka lafadz itu adalah
bentuk aligori (majazi) yang keberadaannya membutuhkan qorinah. Khusus
mengenai permasalahan ini insya Allah akan dibahas secara panjang lebar dalam
makalah selanjutnya tentang Majaz dengan penjelasan jelas yang menjelaskan
sejelas-jelasnya sampai jelas dan tidak membutuhkan kejelasan yang lebih jelas.

c) Al-‘am yang ditakhsis ( dikhususkan)

Takhsis adalah mengeluarkan sebagian satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz


Aam. Mukhassis adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk adanya
pengeluaran tersebut. dengan melihat keterangan di atas dapatlah diambil
kesimpulan bahwa dalil Aam tetap berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada
sesudah dikeluarkan satuan tertentu yang ditunjukkan oleh mukhassis. Kaidah
untuk itu adalah ‫ “ ﺍﻟعﺎَﻡ بعد ﺍﻟﺘخصخيص لﺣة ﻓ ﺍﻟﺒﺎَﻗ‬Lafadz Aam setelah ditakhsiskan
masih menjadi hujjah (pegangan) bagi satuan-satuan yang terkandung di dalamnya”.

Dalam hal mukhassis nash syar’iy maka antara yang ditakhsiskan dan pentakhsisnya
haruslah sederajad seperti Al Qur’an dengan Al Qur’an atau Al Qur’an dengan As
sunnah Mutawattirah. Demikian pula As sunnah shahihah dengan As sunnah
Shahihah. Namun demikian jumhur ulama membolehkan mentakhsis Al Qur’an
dengan As sunnah walaupun ahad, tetapi ulama hanafiah berpendapat hanya As
sunnah Mutawattirah atau yang masyhur saja yang boleh mentakhsis Al Qur’an.

Sebagian ulama seperti Hanafiyyah mensyaratkan adanya mukhassis harus


muqarinan lil’am (bersamaan dengan Aam). jika tidak, maka namanya nasikh bukan
mukhassis, juga harus mustaqil (tersendiri) dari ‘am. Pengkhususan seperti ististna
yang datang setelah lafadz ‘am menurut mereka bukan mukhassis, tetapi dalil
adanya pembatasan keumuman.
[20:11, 1/13/2019] surosodrs412: Pendapat ulama Jumhur berbeda dan tidak
mensyaratkan dua hal di atas. Jadi, mukhassis bisa berupa dalil mustaqil atau ghoir
mustaqil, bersamaan dengan nash ‘am (muqarinan linnasshil ‘am) atau tidak, tetapi
semuanya dengan catatan tidak datang setelah pengamalan keumuman, bila
datangnya setelah pengamalan namanya nasikh.

Berikut ini pembagian dalil mukhassis menurut ulama Jumhur; Dalil-dalil yang
mengkhususkan ada dua macam; Pertama muttashil, yaitu dalil yang keberadaannya
bersamaan dengan ‘am, masih ada kaitan makna juga bagian dari ‘am. Kedua dalil
munfashil, kebalikan dari yang pertama.

Mukhassis munfashil atau mustaqil (sempurna dengan dirinya sendiri), ada empat
macam:
1) Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan bersambung dengan kalimat, seperti
firman Allah:

( ١٨٥ : ‫ﻣﻦ ﺷﻬد ﻣنك ﺍﻟشﻬﺮ ﻓليصخﻤه ) ﺍﻟﺒقﺮﺓ‬

Setiap orang yang berada di bulan Ramadhan wajib berpuasa, tetapi di kecualikan
orang sakit dan musafir, dengan dalil ayat sesudahnya;

‫ﻭﻣﻦ كﻥ ﻣﺮيﻀﺎَ ﺃﻭعل ﺳفﺮ ﻓعلدﺓ ﻣﻦ ﺃ لﻳﻡ ﺃخﺮ‬

2) Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan terpisah dengan kalimat itu.

Contohnya firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman
semua bangkai , ‫ حلﺮﻣت عليك ﺍليﺘة‬. Tetapi dikhususkan bangkai binatang laut, dalil
takhsisnya adalah sabda Nabi ‫هﻮﺍﻟطﻬﻮﺭﻣﺎَﺅﻩ ﺍللل ﻣيﺘﺘه‬
[20:18, 1/13/2019] surosodrs412: Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status
hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah
sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari
Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib,
sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status
hukum dan penetapannya.

Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak
serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan
mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut,
yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya
akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut,
apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh
dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-
jelas sunnah Rasulullah, tidak serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan
situasinya. Oleh karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam
menetapkan hukum :

Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya
sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)” ; Jika masuk pada
kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai
“bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)” ; Jika masuk pada kaidah
penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah
mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan
hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah
mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ; Jika masuk
pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai
“bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.

Sebagaimana Imam an-Nawawi menyebutkan didalam al-Minhaj syarah Shahih


Muslim :
‫قﺎَل اﻟعلمء اﻟﺒدعة خﺴة لأقﺴﺎَم واجبة وﻣندوبة ومﺮﻣة وﻣكﺮوهة وﻣبﺎَﺣة فﻦ اﻟﻮاجبة نظم لأدلا الﺘكﻤي للﺮد عل‬
‫اللﺣدة والﺒﺘدعي وﺷﺴﺒه ذﻟ وﻣﻦ الﻨدوبة تصخﻨيﻒ‬
‫ﻛﺘب اﻟعل وبﻨﺎَء الدارس واﻟﺮبط وﻏﻴ ذﻟ وﻣﻦ الﺒﺎَح اﻟﺘبﺴط ف لأﻟﻮان اللطعﻤة وﻏﻴ ذﻟ والﺮام والكﺮوﻩ‬
‫ﻇﺎَهﺮان وقد لأوضت الﺴلألا بلأدلتﺎَ البﺴﻮطة ف تاﺬيب اللﺳمء واللغﺎَتا‬

“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni
wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah
yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang
mubah)”, diantara bid’abh yang wajib adalah penyusunan dalil oleh ulama
mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah orang-orang atheis, ahli bid’ah dan
seumpamanya; diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang
kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ; diantara
bid’ah yang mubah adalah mengkreasi macam-macam makanan dan yang lainnya,
sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah jelas dan
telah dijelaskan permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul
Asmaa wal Lughaat” [1]

Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang menjelaskan
lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :
‫قﺎَل اﻟشﺴيخ اإﻻﻣﺎَم الﻤعم عل إاﻣﺎَﻣته وجلﻟﺘه وتكنه ف لأنﻮاع اﻟعلﻮم وبﺮاﻋﺘه لأبﻮ مد ﻋﺒد اﻟعزيز بﻦ ﻋﺒد اﻟﺴلم‬
‫ اﻟﺒدعة ﻣنقﺴﻤة إال‬:”‫رحه ا ورض ﻋﻨه ف آأخﺮ ﻛﺘﺎَب “اﻟقﻮاعد‬:
‫ ﻓإﺎَن‬،‫ واﻟطﺮيﻖَ ف ذﻟ لأن تعﺮض اﻟﺒدعة عل قﻮاعد اﻟشيعة‬:‫ قﺎَل‬.‫ وﻣبﺎَﺣة‬،‫ وﻣكﺮوهة‬،‫ وﻣندوبة‬،‫ ومﺮﻣة‬،‫واجبة‬
‫ لأو‬،‫ لأو الكﺮوﻩ فكﺮوهة‬،‫ لأو اﻟﻨدب فﻨدوبة‬،‫ لأو ف قﻮاعد اﻟﺘﺤﺮي فﺤﺮﻣة‬،‫دﺧلت ف قﻮاعد اإﻻيﺎَب ﻓﻬيي واجبة‬
– ‫ اﺷﺴﺘغﺎَل بعل اﻟﻨﺤﻮ اليذ يفﻬم به كم ا تعﺎَل وكم رﺳﻮل ا‬:َ‫ وللﺒدع اﻟﻮاجبة لأﻣﺜل ﻣنﺎ‬،‫الﺒﺎَح فﺒﺎَﺣة‬
‫ وﻻ يﺘلأﺗ حفظﻬﺎَ إاﻻ بﺬﻟ وﻣﺎَ ﻻ يت اﻟﻮاجب‬،‫ وذﻟ واجب؛ للن حفظ اﻟشيعة واجب‬،- ‫ا عﺘلﺘﺪيﺑه ﺘوﺘﺳ ﻨ ﺘل‬ ‫ﺘصﻨل ﺔ‬
‫ اﻟﺮابعم‬،‫ اﻟثﺎَﻟث تدويﻦ لأصﻮل اﻟيﻦ ولأصﻮل اﻟفقه‬،‫ اﻟثﺎَن حفظ غﺮيب اﻟكتﺎَب واﻟﺴﺴﻨة ف اللغة‬،‫ ﻓﻬﻮ واجب‬،‫إاﻻ به‬
‫ وقد دﻟت قﻮاعد اﻟشيعة عل لأن حفظ اﻟشيعة ﻓﺮض‬،‫ وتيي اﻟصخﺤيح ﻣﻦ اﻟﺴقي‬،‫اﻟكم ف الﺮح واﻟﺘعديل‬
‫ وللﺒدع الﺮ‬،‫ﻛفﺎَية ﻓي زاد عل الﺘعي وﻻ يﺘلأﺗ ذﻟ إاﻻ بﺎَ ذكذﺮنﻩ‬
[20:26, 1/13/2019] surosodrs412: Telah dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam
walaupun ada perkara yang telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat
bahwa para imam tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram,
seperti perkataan mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh,
bukan haram)”, juga “bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah yang tidak dianjurkan)”
maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah
munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya.

Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah
hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan
haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan penetapannya.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak
serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan
mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut,
yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya
akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut,
apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh
dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-
jelas sunnah Rasulullah, tidak serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan
situasinya. Oleh karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam
menetapkan hukum :

Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya
sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)” ; Jika masuk pada
kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai
“bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)” ; Jika masuk pada kaidah
penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah
mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan
hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah
mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ; Jika masuk
pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai
“bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.
Sebagaimana Imam an-Nawawi menyebutkan didalam al-Minhaj syarah Shahih
Muslim :
‫قﺎَل اﻟعلمء اﻟﺒدعة خﺴة لأقﺴﺎَم واجبة وﻣندوبة ومﺮﻣة وﻣكﺮوهة وﻣبﺎَﺣة فﻦ اﻟﻮاجبة نظم لأدلا الﺘكﻤي للﺮد عل‬
‫اللﺣدة والﺒﺘدعي وﺷﺴﺒه ذﻟ وﻣﻦ الﻨدوبة تصخﻨيﻒ‬
‫ﻛﺘب اﻟعل وبﻨﺎَء الدارس واﻟﺮبط وﻏﻴ ذﻟ وﻣﻦ الﺒﺎَح اﻟﺘبﺴط ف لأﻟﻮان اللطعﻤة وﻏﻴ ذﻟ والﺮام والكﺮوﻩ‬
‫ﻇﺎَهﺮان وقد لأوضت الﺴلألا بلأدلتﺎَ البﺴﻮطة ف تاﺬيب اللﺳمء واللغﺎَتا‬

“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni
wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah
yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang
mubah)”, diantara bid’abh yang wajib adalah penyusunan dalil oleh ulama
mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah orang-orang atheis, ahli bid’ah dan
seumpamanya; diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang
kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ; diantara
‫‪bid’ah yang mubah adalah mengkreasi macam-macam makanan dan yang lainnya,‬‬
‫‪sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah jelas dan‬‬
‫‪telah dijelaskan permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul‬‬
‫]‪Asmaa wal Lughaat” [1‬‬

‫‪Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang menjelaskan‬‬
‫‪lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :‬‬
‫قﺎَل اﻟشﺴيخ اإﻻﻣﺎَم الﻤعم عل إاﻣﺎَﻣته وجلﻟﺘه وتكنه ف لأنﻮاع اﻟعلﻮم وبﺮاﻋﺘه لأبﻮ مد ﻋﺒد اﻟعزيز بﻦ ﻋﺒد اﻟﺴلم‬
‫‪:‬رحه ا ورض ﻋﻨه ف آأخﺮ ﻛﺘﺎَب “اﻟقﻮاعد”‪ :‬اﻟﺒدعة ﻣنقﺴﻤة إال‬
‫واجبة‪ ،‬ومﺮﻣة‪ ،‬وﻣندوبة‪ ،‬وﻣكﺮوهة‪ ،‬وﻣبﺎَﺣة‪ .‬قﺎَل‪ :‬واﻟطﺮيﻖَ ف ذﻟ لأن تعﺮض اﻟﺒدعة عل قﻮاعد اﻟشيعة‪ ،‬ﻓإﺎَن‬
‫دﺧلت ف قﻮاعد اإﻻيﺎَب ﻓﻬيي واجبة‪ ،‬لأو ف قﻮاعد اﻟﺘﺤﺮي فﺤﺮﻣة‪ ،‬لأو اﻟﻨدب فﻨدوبة‪ ،‬لأو الكﺮوﻩ فكﺮوهة‪ ،‬لأو‬
‫الﺒﺎَح فﺒﺎَﺣة‪ ،‬وللﺒدع اﻟﻮاجبة لأﻣﺜل ﻣنﺎَ‪ :‬اﺷﺴﺘغﺎَل بعل اﻟﻨﺤﻮ اليذ يفﻬم به كم ا تعﺎَل وكم رﺳﻮل ا –‬
‫ا عﺘلﺘﺪيﺑه ﺘوﺘﺳ ﻨ ﺘل ‪ ،-‬وذﻟ واجب؛ للن حفظ اﻟشيعة واجب‪ ،‬وﻻ يﺘلأﺗ حفظﻬﺎَ إاﻻ بﺬﻟ وﻣﺎَ ﻻ يت اﻟﻮاجب‬ ‫ﺘصﻨل ﺔ‬
‫إاﻻ به‪ ،‬ﻓﻬﻮ واجب‪ ،‬اﻟثﺎَن حفظ غﺮيب اﻟكتﺎَب واﻟﺴﺴﻨة ف اللغة‪ ،‬اﻟثﺎَﻟث تدويﻦ لأصﻮل اﻟيﻦ ولأصﻮل اﻟفقه‪ ،‬اﻟﺮابعم‬
‫اﻟكم ف الﺮح واﻟﺘعديل‪ ،‬وتيي اﻟصخﺤيح ﻣﻦ اﻟﺴقي‪ ،‬وقد دﻟت قﻮاعد اﻟشيعة عل لأن حفظ اﻟشيعة ﻓﺮض‬
‫ﻛفﺎَية ﻓي زاد عل الﺘعي وﻻ يﺘلأﺗ ذﻟ إاﻻ بﺎَ ذكذﺮنﻩ‪ ،‬وللﺒدع الﺮﻣة لأﻣﺜل ﻣنﺎَ‪ :‬ﻣﺬاهب اﻟقدرية والبجية والﺮجﺌة‬
‫والﺴﻤة واﻟﺮد عل هؤﻻء ﻣﻦ اﻟﺒدع اﻟﻮاجبة‪ ،‬وللﺒدع الﻨدوبة لأﻣﺜل ﻣنﺎَ إاﺣداث اﻟﺔﺮﺑبط والدارس‪ ،‬وك إاحﺴﺎَن ل‬
‫يعﻬد ف اﻟعﺼ اللول‪ ،‬وﻣنﺎَ اﻟتاوي‪ ،‬واﻟكم ف دقﺎَئﻖَ اﻟﺘصخﻮف‪ ،‬وف الدل‪ ،‬وﻣنﺎَ ﺟعم الﺎَﻓل ﻟلﺳﺴﺘدﻻل إان‬
‫قصخد بﺬﻟ وجه ا تعﺎَل‪ .‬وللﺒدع الكﺮوهة لأﻣﺜل‪ :‬ﻛزخﺮﻓة الﺴﺎَجد‪ ،‬وتزويﻖَ الصخﺎَحﻒ‪ ،‬وللﺒدع الﺒﺎَﺣة لأﻣﺜل‪:‬‬
‫ﻣنﺎَ الصخﺎَفة ﻋقب اﻟصخﺒح واﻟعﺼ‪ ،‬وﻣنﺎَ‪ :‬اﻟﺘﻮﺳعم ف الليﺬ ﻣﻦ الآأك‪ ،‬والشﺎَرب‪ ،‬واللﺑس‪ ،‬والﺴﺎَكذﻦ‪ ،‬وﻟبس‬
‫اﻟطيﺎَﻟﺴة‪ ،‬وتﻮﺳﺴيعم اللﻛمم‪ .‬وقد ﻳﺘلﻒ ف بعض ذﻟ ﻓيجعل بعض اﻟعلمء ﻣﻦ اﻟﺒدع الكﺮوهة‪ ،‬ويعل آأخﺮون ﻣﻦ‬
‫ا عﺘلﺘﺪيﺑه ﺘوﺘﺳ ﻨ ﺘل – فﺎَ بعدﻩ‪ ،‬وذﻟ كﻻﺳﺴﺘعﺎَذة ف اﻟصخلة واﻟبﺴﻤل هﺬا‬
‫اﻟﺴن الفعﻮلا ف ﻋﻬد رﺳﻮل ا – ﺘصﻨل ﺔ‬
‫آأخﺮ‬
‫كﻣه‬

‫‪“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir‬‬
‫‪kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum yang wajib, haram,‬‬
‫‪mandub, makruh dan mubah. Ia berkata : metode yang demikian untuk‬‬
‫‪memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syari’ah, sehingga:‬‬
‫‪1. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,‬‬
2. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah
muharramah,
3. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah
mandubah,
4. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah
makruhah,
5. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah
mubahah.

Diantara contohnya masing-masing adalah ;


1. Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya
bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam, itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin
menjaga kecuali dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali
dengannya maka itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan as-Sunnah,
mencatat (memKitabkan) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh
dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah
menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.

2. Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-


Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang
wajib (bid’ah wajibah).

3. Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tempat


rubath dan madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam,
diantaranya adalah (pelaknasaan) shalat tarawih, perkataan pada detik-detik
tashawuf, dan lain sebagainya.

4. Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi


mushhaf dan lain sebagainya.
5. Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan
‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah
berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang
memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama
lainnya memasukkan perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam dan setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan
isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. “ [2]

Kesimpulannya sudah jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram,
melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena
ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan
dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah yang bertentangan dengan syariat
Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah
pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :
‫ قﺎَل اﻟشﺎَﻓعي رض ا‬:‫ قﺎَل‬،‫ ثﻨﺎَ اﻟﺮبيعم بﻦ ﺳلين‬, ‫ ثﻨﺎَ لأبﻮ اﻟعﺒﺎَس مد بﻦ يعقﻮب‬،‫لأﺧبجن لأبﻮ ﺳعيد بﻦ لأب عﺮو‬
.‫ ﻓﻬﺬﻩ ﻟﺒدعة اﻟﻀللا‬, َ‫ ﻣﺎَ لأﺣدث ﻳﺎَﻟﻒ ﻛﺘﺎَﺑ لأو ﺳﺴﻨة لأو لأﺛﺮا لأو إاجمعﺎ‬:‫ لأﺣدهم‬:‫ الدثتا ﻣﻦ اللﻣﻮر ﺿﺑن‬:‫ﻋﻨه‬
‫ ﻓﻬﺬﻩ مدثة ﻏﻴ ﻣﺬﻣﻮﻣة وقد قﺎَل عﺮ رض ا ﻋﻨه‬, ‫ ﻣﺎَ لأﺣدث ﻣﻦ الﻴ ﻻ ﺧلف ﻓيه ﻟﻮاﺣد ﻣﻦ هﺬا‬:‫واﻟثﺎَنية‬
‫ وإان كنت ﻓلﻴس ﻓﻴﺎَ رد لﺎَ ﻣض‬, ‫ »نعﻤت اﻟﺒدعة هﺬﻩ« يعن لأنﺎَ مدثة ل تكﻦ‬:‫ف قيﺎَم ﺷﻬﺮ رﻣﻀﺎَن‬
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan
kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami
ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i pernah berkata : perkara baru
(muhdatsaat) itu terbagi menjadi menjadi dua bagian :
1. Suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka
ini termasuk perkara baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2. Suatu perkara baru yang baik yang didalamnya tidak menyelisihi dari salah satu
tersebut, maka ini perkara baru (muhdats) yang tidak buruk,
dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata tentang shalat pada bulan
Ramadhan (shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”, yakni perkara
muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun keberadaannya tidaklah
bertentangan dengan sebelumnya. [3]
Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak dikitab-
kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah disebutkan. Sehingga menjadi
penting ketika membaca perkataan ulama syafi’iyah juga mengerti pembagian bid’ah
menurut ulama syafi’iyah. Perincian Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam tersebut
kadang berbeda dengan ulama madzhab lainnya, sehingga menyebutnya bukan
sebagai bid’ah melainkan sebagai maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena
memang cara memahaminya pun berbeda walaupun esensinya sebenarnya sama
yaitu sama-sama para ‘ulama menerimanya. Perbedaan seperti inilah yang
sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang selalu menuding-menuding “ini
sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti pemahaman mereka itu.
LANJUT MASALAH BID’AH
Pembahasan bid’ah adalah sebenarnya pembahasan “usang” yang selalu di gembar-
gemborkan oleh beberapa kalangan hingga akhirnya menimbulkan keresahan
diantara kaum Muslimin dengan berbagai tudingan yang sebenarnya bermuara pada
perbedaan pemahaman dalam memahami esensi dari bid’ah. Misalnya seperti
kalangan ulama menolak pembagian bid’ah hasanah, hakikatnya adalah tidak
menerima penyebutan bid’ah terhadap masalah yang masih di naungi oleh
keumuman nas atau masalah yang masih ada asalnya dari al-Qur’an, as—Sunnah,
Ijma’, Qiyas, Mashlahah Mursalah, dan ada fuqaha’ yang menunjuki dalilnya,
sehingga menurut mereka, yang seperti ini kenapa harus disebut bid’ah jika ada
nasnya (walaupun nas-nya umum).

Sedangkan yang membagi bid’ah hasanah, mereka menganggap bahwa perkara


tersebut memang baru (muhdats) yang tidak ada pada masa Rasulullah yang perlu
di di tinjau hukumnya sehingga jika selaras dengan esensi al-Qur’an dan As-Sunnah
atau masih di naungi dengan nas-nas umum maka berarti itu perkara baru yang
baik. Hal ini juga didasarkan pada ungkapan Sayyidina ‘Umar yaitu “ni’amatul
bid’ah” juga hadits “man sanna fil Islam”, yang dari sini kemudian muncul istilah
bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah atau bid’ah hudaa dan lain sebagainya.
Penggunaan istilah bid’ah tidak lain sebagai pembeda antara perkara yang ada pasa
masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan yang tidak. Imam an-Nawawi
rahimahullah didalam al-Majmu’ juga menjelaskan :
(‫صل ا عليه وﺳل ” ك بدعة ضللا ” هﺬا ﻣﻦ اﻟعﺎَم الصخﻮص للن اﻟﺒدعة ك ﻣﺎَ عل عل ﻏﻴ ﻣﺜﺎَل )قﻮل‬
‫ﺳﺴﺒﻖَ قﺎَل اﻟعلمء وه خﺴة لأقﺴﺎَم واجبة وﻣندوبة ومﺮﻣة وﻣكﺮوهة وﻣبﺎَﺣة وقد ذكذﺮتا لأﻣﺜلتﺎَ واضة ف تاﺬيب‬
‫اللﺳمء واللغﺎَتا‬
“Sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa salam “setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, ini
bagian dari ‘amun makhshush, karena sesunggguhnya bid’ah adalah setiap perkara
yang dilakukan atas tidak adanya contoh sebelumnya, ulama juga berkata : bid’ah
terbagi kepada 5 bagian yaitu wajiban, mandzubah, muharramah, makruhah dan
mubahah, dan sungguh telah aku sebutkan contoh-contohnya dan telah aku jelaskan
didalam kitab Tahdizbul Asmaa’ wal Lughaat”. [4]

Disini Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits “kullu bid’atin dlalalah”


sebagai bentuk yang umum yang di takhshish (dikhususkan) oleh hadits-hadits
lainnya. Adapun salah satu hadits yang menjadi takhsish terhadapnya adalah
sebagaimana yang telah beliau sebutkan penjelasannya didalam Syarh Shahih Imam
Muslim :
‫وف هﺬا الديث تصخيص قﻮل صل ا عليه وﺳل ك مدثة بدعة وك بدعة ضللا ولأن الﺮاد به الدثتا‬
‫اﻟﺒﺎَطل واﻟﺒدع الﺬﻣﻮﻣة وقد ﺳﺴﺒﻖَ بيﺎَن هﺬا ف ﻛﺘﺎَب صلة العة وذكذﺮن هﻨﺎَك لأن اﻟﺒدع خﺴة لأقﺴﺎَم واجبة‬
‫وﻣندوبة ومﺮﻣة وﻣكﺮوهة وﻣبﺎَﺣة‬

Dan dalam hadits ini (man sanna fil Islam) [5] merupakan takhsish terhadap sabda
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “setiap perkara baru (muhdats) adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, sesungguhnya yang dimaksud dengannya
adalah perkara-perkara baru yang bathil dan bid’ah madzmumah (buruk), dan telah
berlalu penjelasan masalah ini pada kitab Shalat Jum’at, dan kami telah menuturkan
disana bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian yakni wajibah, mandzubah,
muharramah, makruhah dan mubahah”. [6]

Sehingga dari itu, dapat dipahami bahwa istilah sunnah sayyi’ah pada hadits “man
sanna fil Islam” sebenarnya merupakan bid’ah yang buruk, karena mensunnahkan
atau mencetuskan sesuatu baru yang buruk didalam Islam. Adapun para sahabat
Nabi sendiri, mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu yang baik Islam. Oleh
karena itu, bid’ah yang dimaksudkan pada hadits yang masih umum tersebut adalah
bid’ah madzmumah atau perkara muhdats yang bathil.
Pendefinisian Bid’ah
Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang tidak ada contoh
sebelumnya,
َ‫لأن اﻟﺒدعة ك ﻣﺎَ عل عل ﻏﻴ ﻣﺜﺎَل ﺳﺴﺒﻖ‬

“setiap perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak ada contoh sebelumnya”
[7]
dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau mendefinisikan :
‫ وه‬،- ‫ا عﺘلﺘﺪيﺑه ﺘوﺘﺳ ﻨ ﺘل‬
‫ اﻟﺑﺒدعة بكس اﻟﺒﺎَء ف اﻟشع ه إاﺣداث ﻣﺎَ ل يكﻦ ف ﻋﻬد رﺳﻮل ا – ﺘصﻨل ﺔ‬:‫بدع‬
‫ حﺴﺴﻨة وقبيﺤة‬:‫ﻣنقﺴﻤة إال‬

“Bid’ah didalam syara’ adalah mengada-adakan perkara yang tidak ada pada masa
Rasulullah shalullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi hasanah
dan qabihah”. [8]

Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul


Ahkam mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :
‫ وبدعة‬،‫ بدعة واجبة‬:‫ وه ﻣنقﺴﻤة إال‬.- ‫اﻟﺒدعة ﻓعل ﻣﺎَ ل يعﻬد ف ﻋﺼ رﺳﻮل ا – صل ا عليه وﺳل‬
‫ واﻟطﺮيﻖَ ف ﻣعﺮﻓة ذﻟ لأن تعﺮض اﻟﺒدعة عل قﻮاعد‬،‫ وبدعة ﻣبﺎَﺣة‬،‫ وبدعة ﻣكﺮوهة‬،‫ وبدعة ﻣندوبة‬،‫مﺮﻣة‬
‫اﻟشيعة‬
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah,
bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan metode dalam
mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah berdasarkan
kaidah-kaidah syariah”. [9]
Berdasarkan definisi ini, setiap sesuatu apapun terkait syara’ yang tidak ada pada
masa Rasulullah maka itu dinamakan sebagai bid’ah. Sehingga apa yang dilakukan
hanya atas inisiatif sahabat Nabi pasca wafatnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam,
itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun perlu di ketahui, bahwa perkara baru
ini dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang mana para
sahabat merupakan orang-orang yang mendapatkan petunjuk sehingga perkara baru
yang mereka lakukan walaupun kadang terjadi perselisihan diantara mereka tetap
saja disebut sebagai sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. [10]
Sunnah yang dimaksud adalah sunnah dalam pengertian kebiasaan umum bukan
khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.
Definisi ulama lainnya memang ada kemungkinan berbeda tergantung dari sudut
pandang apa mereka mendefinisikannya, sehingga nantinya cara memahami pun
akan terjadi perbedaan namun pada hakikatnya sebenarnya sama. [11]

[1] Lihat : syarah Shahih Muslim lil-Imam an-Nawawi [6/154-155].


[2] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat lil-Imam an-Nawawi [3/22-23] ; Qawaidul
Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam [2/ 204]
[3] Lihat : al-Madkhal ilaa Sunanil Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [253] ; disebutkan
juga didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/23]
[4] Lihat ; al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [4/519] Imam an-Nawawi
[5] Hadits yang dimaksud adalah (HR. Musim 4/2059).

،‫شﺔء‬ ‫ ﺘوﺘﻻ ي ﺘﺪﻨﺔقﺔص ﺑﻣﺪﻦ أأﺔجﻮﺑر ﺑ ﺪه ﺘ ﺪ‬،َ‫ ﺔﻛﺑﺘﺘب ﺘ ﺔل ﺑﻣﺜﺪﺔل أأﺪجﺑﺮ ﺘﻣﺪﻦ ﺘ ﺑعﺘل ﺑبﺘﺎ‬،‫ ﻓﺘﺔعﺑﻤﺘل ﺑبﺘﺎَ ب ﺘﺪعﺘدﺔﻩ‬،‫حﺴﺴﻨﺘﺑة‬
‫ﺘﻣﺪﻦ ﺘﺳﻨﻦ ﺑف اﺪﻻﺪﺳﺘلﺑم ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة ﺘ ﺘ‬
‫إ‬
َ‫ ﻓﺘﺔعﺑﻤﺘل ﺑبﺘﺎ‬،‫ﺘوﺘﻣﺪﻦ ﺘﺳﻨﻦ ﺑف اﺪﻻﺪﺳﺘلﺑم ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة ﺘﺳ ﺑﻴ لﺌﺘﺑة‬
‫إ‬
‫شﺔء‬ ‫ ﺘوﺘﻻ ي ﺘﺪﻨﺔقﺔص ﺑﻣﺪﻦ أأﺪوﺘزاﺑر ﺑ ﺪه ﺘ ﺪ‬،َ‫ ﺔﻛﺘﺑﺘب عﺘلﺘﺪيﺑه ﺑﻣﺜﺪﺔل ﺑوﺪزﺑر ﺘﻣﺪﻦ ﺘ ﺑعﺘل ﺑبﺘﺎ‬،‫ب ﺘﺪعﺘدﺔﻩ‬

“Barangsiapa mensunnahkan/mencetuskan (sanna) didalam Islam sunnah hasanah


(sunnah yang baik) kemudian orang setelahnya mengamalkannya, niscaya ditulis
baginya seumpama pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sesuatu
pun dari pahala mereka, dan barangsiapa yang mensunnahkan/mencetuskan (sanna)
didalam Islam sunnah sayyi’ah (sunnah yang buruk) kemudian orang setelahnya
mengamalkanya, maka ditulis atasnya seumpama dosa orang yang
mengamalkannya, tanpa mengurangi sesuatu pun dari dosa mereka”.
[6] Lihat : al-Minhaj syarh Shahih Muslim [7/104] Imam Nawawi
[7] Lihat : al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [4/519] Imam an-Nawawi
[8] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/22] Imam an-Nawawi
[9] Lihat : Qawaidul Ahkaam lil-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam [2/204].
[10] Maksud dari bid’ah yang hakikatnya sunnah yaitu ; karena perkara tersebut
tidak dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam, namun hanya
dilakukan pada masa setelah Rasulullah. Contohnya seperti pelaksanaan shalat
tarawih. Shalat Tawarih adalah perbuatan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam, namun Rasulullah meninggalkannya dan para sahabat juga tidak berjama’ah
(shalat tarawih berkumpul) pada pelaksaan shalat tarawih tersebut, bahkan tidak ada
pada masa Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Maka, karena tidak ada masa
Rasulullah, pelaksanaan tarawih dengan cara berjama’ah tersebut dinamakan sebagai
bid’ah yaitu ni’amatul bid’ah (sebaik-baiknya bid’ah). Haqiqatnya adalah sunnah,
berdasarkan sabda Nabi tentang sunnah Khulafaur Rasyidin. Didalam Lisanul ‘Arab
[ [8/6] disebutkan :
‫ ﻣﻦ ﺳﻦ‬: ‫ وقﺎَل ف ضدﻩ‬،َ‫ ﻣﻦ ﺳﻦ ﺳﺴﻨة حﺴﺴﻨة كن ل لأجﺮهﺎَ ولأجﺮ ﻣﻦ عل بﺎ‬: ‫قد جعل ل ف ذﻟ ثﻮاﺑ ﻓقﺎَل‬
‫ وﻣﻦ هﺬا‬:‫ قﺎَل‬،‫ وذﻟ إاذا كن ف ﺧلف ﻣﺎَ لأﻣﺮ ا به ورﺳﻮل‬،َ‫ﺳﺴﻨة ﺳﻴﺌة كن عليه وزرهﺎَ ووزر ﻣﻦ عل بﺎ‬
‫ لﺎَ كنت ﻣﻦ لأﻓعﺎَل الﻴ وداﺧل ف ﺣي الدح ﺳمهﺎَ بدعة‬،‫ نعﻤت اﻟﺒدعة هﺬﻩ‬:‫ رض ا ﻋﻨه‬،‫اﻟﻨﻮع قﻮل عﺮ‬
َ‫ وإانﺎَ صلهﺎَ ﻟيﺎَل ث تﺮكﻬﺎَ ول يﺎَﻓظ علﻴﺎَ وﻻ ﺟعم اﻟﻨﺎَس ﻟﻬﺎ‬،‫ ل يﺴﺴنﺎَ لم‬،‫ صل ا عليه وﺳل‬،‫وﻣدحﺎَ للن اﻟﻨب‬
‫ وه عل‬،‫ ﺟعم اﻟﻨﺎَس علﻴﺎَ وندبم إالﻴﺎَ ﻓبﺬا ﺳمهﺎَ بدعة‬،‫ رض ا ﻋنم‬،‫وﻻ كنت ف زﻣﻦ لأب بكﺮ وإانﺎَ عﺮ‬
‫ عليك ﺑﺴنت وﺳﺴﻨة اللفﺎَء اﻟﺮاﺷديﻦ ﻣﻦ بعديذ‬،‫ صل ا عليه وﺳل‬،‫القيقة ﺳﺴﻨة ﻟقﻮل‬
Dalam hal itu sungguh dijadikan pahala baginya, dikatakan : “barangsiapa yang
mensunnahkan sunnah hasanah maka baginya pahala dan pahala orang yang
mengamalkannya” dan perkataan kebalikannya adalah : “barangsiapa yang
mensunnahkan sunnah sayyi’ah maka baginya dosa dan dosa orang yang
mengamalkannya”, dan itu apabila menyelisihi apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya
perintahkan, juga ia berkata : dan termasuk dari ragam hal ini yaitu ucapan
Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh : “ni’matul bid’ah hadzihi (sebaik-baiknya bid’ah
adalah ini)”, maka ketika suatu perkara termasuk dari perbuatan-perbuatan baik dan
termasuk dalam perkara yang terpuji maka dinamakan bid’ah dan terpujinya karena
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak mensunnah bagi mereka, sebab beliau
hanya shalat tarawih pada malamnya, kemudian meninggalkannya dan tidak
menjaganya (tidak melanggengkannya), tidak pula mengumpulkan manusia, bahkan
tidak ada pada zaman Abu Bakar, namun Sayyidina ‘Umar mengumpulkan manusia
pada shalat tarawih dan mensunnahkan melakukannya maka dari inilah dinamakan
sebagai bid’ah, dan itu pada haqiqatnya adalah sunnah, berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam : “hendaklah mengikuti sunnahku dan sunnah
khulafaur Rasyidiin setelahku”. []

[11] Misalnya : al-‘Imam ‘Ayni al-Hanafi didalam ‘Umdatul Qari syarh Shahih
Bukhari [5/230] menjelaskan :
‫ وشعﺎَ إاﺣداث ﻣﺎَ ل يكﻦ ل لأصل ف ﻋﻬد رﺳﻮل ا صل ا‬،َ‫ ك شء عل عل ﻏﻴ ﻣﺜﺎَل ﺳﺎَبﻖ‬:‫اﻟﺒدعة ﻟغة‬
‫ وه ﻣﺎَ رآأﻩ الؤﻣنﻮن حﺴﺴﻨﺎَ وﻻ يكﻮن‬:‫ وبدعة حﺴﺴﻨة‬،‫ وه اﻟت ذكذﺮن‬،‫ بدعة ضللا‬:‫ وه عل قﺴﻤي‬،‫عليه وﺳل‬
‫مﺎَﻟفﺎَ للكتﺎَب لأو اﻟﺴﺴﻨة لأو اللﺛﺮ لأو اإﻻجمع‬

“Bid’ah dari segi lughah : setiap sesuatu amalan tanpa contoh sebelumnya.
Sedangkan dari segi syara’ : mengada-adakan perkara yang tidak ada asal pada
perkara tersebut di masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi
menjadi 2 bagian yaitu : bid’ah dlalalah, itu yang telah kami sebutkan, dan bid’ah
hasanah, yakni suatu perkara yang orang mukmin memandangnya sebagai kebaikan
(hasanah) dan perkara tersebut tidak menyelisihi al-Qur’an atau As-Sunnah atau
Atsar atau Ijma’.

Berdasarkan definisi ini, setiap perkara yang tidak ada asalnya pada masa Rasulullah
maka itu bid’ah menurut segi syariat, dan berdasarkan segi syariat pula maka bid’ah
terbagi menjadi dua yakni hasanah dan dlalalah. Pada halaman berikutnya [25/ 37],
Imam al-‘Ayni juga menyebutkan :
‫ إاﻇﻬﺎَر شء ل يكﻦ ف ﻋﻬد رﺳﻮل ا‬:‫ وقيل‬،‫ واﻟﺒدع ﺟعم بدعة وه ﻣﺎَ ل يكﻦ ل لأصل ف اﻟكتﺎَب واﻟﺴﺴﻨة‬:‫قﻮل‬
‫ رض ا تعﺎَل ﻋنم‬،‫وﻻ ف زﻣﻦ اﻟصخﺤﺎَبة‬
“Bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak ada asalnya pada perkara tersebut didalam al-
Qur’an dan As-Sunnah, dan dikatakan : menampakkan sesuatu yang tidak ada pada
masa Rasulullah dan tidak pula pada zaman shahabat radliyallahu ta’alaa ‘anhum”.

Berdasarkan definisi yang berbeda ini (qil), yang mana lebih longgar dalam
pendefinisiannya yaitu ; jikalau ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat
maka itu bukan bid’ah, namun apabila tidak ada asalnya pada zaman Nabi dan
zaman sahabat maka itu bid’ah. Jadi, definisi ini menyertakan perbuatan yang ada
masa sahabat sebagai perkara yang bukan bid’ah. Tentu saja hal ini berdasarkan
pengertian sunnah yang umum, bukan yang khusus (Sunnah : Qaul, Fi’il & Taqrir
Nabi saja) yaitu berdasarkan hadits ;

‫ ﻓﺘﺎَﻨن ﺔ ﻨ‬،‫ ﺘوا ﻨﻳ ﺔ ﺪك ﺘوﺔﻣﺪﺤﺘدﺘثﺑتا ا ﺪ ألﺔﻣﻮﺑر‬،‫ ﺘوﺘﻋﺴﻀﻮا عﺘلﺘ ﺪﻴﺘﺎَ ﺑﺑﻟﻨﻨﺘﻮاﺑجﺑﺬ‬،‫ﻓﺘﺘعلﺘﺪي ﺪﺔك ﺑﺑﺔﺴن ﻨﺑت ﺘ ﺔوﺳﺴﻨﻨﺑة اﻟﺪﺔﺨلﺘﺘفﺎَﺑء اﻟﻨﺮاﺑﺷﺑديﺘﻦ اﻟﺪﺘﻤﺪﻬﺑد ﺑي ل ﺘي‬
‫ك ﺔﻣﺪﺤﺘدثﺘﺔة‬
‫ ﺘواﻨن ﺔ ﻨ‬،‫إﺑبﺪدعﺘﺔة‬
‫ك‬ ‫إ‬
‫ﺑبﺪدعﺘﺔة إﺘضﺘل ﺘ ﺔلا‬

“Hendaklah kalian (berpegang) atas sunnahku (Nabi Muhammad) dan sunnah


Khulafa’ Ar-Rasyidin al-Mahdiyyin, gigitlah oleh kalian dengan gigi geraham, dan
jauhilah oleh kalian perkar-perkara baru yang diada-adakan, sebab sungguh setiap
perkara muhdats adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah”
[HR. Musnad Ahmad]..
[20:37, 1/13/2019] surosodrs412: ‫ ﺘواﻟﻨصخﺘلﺔة ﺘواﻟﻨﺴﺘلﺔم‬،‫ اﻟﺪﺘﺤﺪﻤﺔد ﺑﻟ ﺘرﺑلب اﻟﺪﺘعﺎَﻟ ﺘﺑﻤ ﺪ ﺘي‬.‫ا اﻟﻨﺮ ﺪ ﺘحﺑﻦ اﻟﻨﺮﺑح ﺪ ﺑي‬ ‫س ﺑ‬ ‫ﺪﺑ‬
،‫صﺑﺒﺑه اﻟﻨﺮاﺑﺷﺑد ﺪيﺘﻦ‬ ‫ ﺘو ﺘ ﺪ‬،‫ ﺘوعﺘﺘل أ آ ﺑ ﺑل اﻟﻨطﺎَﺑهﺑﺮﺪيﺘﻦ‬،‫ش ﺑف ﺪا ألنﺪ ﺑبيﺘﺎَﺑء ﺘو اﻟﺪﺔﻤﺪﺮﺘﺳﺑل ﺪ ﺘي ﺘﺳﺴﺑليﺑد ﺘن ﺘوﺘﻣﺪﻮﺘﻻ ﺘن ﺔﻣﺘﺤﻨﻤﺔد اﻟﻨصخﺎَﺑد ﺑق ﺪا ألﺑﻣ ﺪ ﺘي‬
‫عﺘﺘل أأ ﺪ ﺘ‬
‫ أأﻨﻣﺎَ ب ﺘﺪعﺔد‬.‫ ﺘواﻟﺘﻨﺎَﺑبﺑع ﺪ ﺘي ﻟ ﺘﺔﻬﺪم ﺑﺑﺪحﺘﺴﺎَﺔن اﺘل ي ﺘﺔﻮﺑم ا ل ﺑﻟ ﺪيﺑﻦ‬:
‫إ‬ ‫إ‬
A. Pengertian Bid’ah

292/ 6 ‫) ﻓتح اﻟﺒﺎَريذ ﻻبﻦ ﺣﺮ‬. َ‫(ﺘﻣﺎَ أأﺪﺣﺑدﺘث عﺘﺘل ﻏﺘ ﺪ ﺑﻴ ﺑﻣﺜ ﺘﺎَﺔل ﺘﺳﺎَﺑبﺔﻖ‬

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:


“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”. (Fath al-Bari 6/292)
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam
Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

‫شﺑء ﺑبﺘغ ﺪ ﺑﻴ ﺘءا ﺘ ﺔلا ﺘوﺘﻻ ﻣأ آﻨدﺔة ﺘوﺘﻻ ﺘزﺘﻣﺎَﺔن‬


‫ا تﺘﺘعﺎَﺘل ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ إا ﺪ ﺘيﺎَﺔد اﻟ ﻨ ﺪ‬ ‫ ﺘواﺘذا ﺪاﺳﺴﺔﺘﺪعﺑﻤﺘل ﺑ ﺪف ﺑ‬.‫ﺘاﻻبﺪﺘداﺔع اﻧ ﺪﺘشﺎَﺔء ﺘصﺪﻨﺘعﺔة ﺑبﺘل اﺪحﺑتﺘﺬاﺔء ﺘواﺪقﺑتﺘداﺔء‬
‫إ‬ ‫إ إ‬
‫ ﺘوي ﺔﺘقﺎَﺔل لﺑلﺪﺔﻤﺪﺒﺘدعﺑ‬،117:‫ )ب ﺘﺑديﺪﺔعم اﻟلﺴﺘﻤﺎَﺘواﺑتا ﺘواللﺪرض( اﻟﺒقﺮة‬:‫ ﺘواﻟﺪﺘﺒﺑديﺪﺔعم ي ﺔقﺘﺎَﺔل لﺑلﺪﺔﻤﺪﺒﺑدعﺑ ﺘ ﺪنﺔﻮ قﺘﺪﻮ ﺑ ﺑل‬.‫ ﺘوﻟ ﺘﻴﺪﺘس ذ ﺑ ﺘﻟ إاﻻﻨ ﺑﻟ‬،‫ﺘوﺘﻻ ﺘﻣ ﺘكﺔن‬
‫ )ﺔقﺪل ﺘﻣﺎَ ﺔﻛﺪﻨ ﺔت‬:‫ ﺘوقﺘﺪﻮ ﺔ ﺔل تﺘﺘعﺎَﺘل‬.‫ ﺑبﺘﻤﺪع ﺘن اﻟﺪﺘفﺎَﺑعﺑل ﺘواﻟﺪﺘﻤﺪفﺔعﺪﻮﺑل‬،َ‫ ﺘوﺘﻛﺬ ﺑ ﺘﻟ اﻟﺪﺑﺒﺪدﺔع ي ﺔقﺘﺎَﺔل ﻟ ﺘﺔﻬﺘﻤﺎَ ﺘ ﺑﺟﺪيﺑعﺎ‬.‫ ﺘ ﺪنﺔﻮ ﺘرﺪﻛﺘﻮﺔة ب ﺘﺑديﺪﺔعم‬-‫–ﺑبﺘفﺪت ﺑح ا ﻨﻟاﺑل‬
‫اهـ‬.‫ ﺔﻣﺪبﺑدعﺑﺎَ ﺑﻓﺪيﺘﻤﺎَ أأﺔقﺪﻮ ﺔ ﺔل‬:‫ ﺘوﺑقﺪيﺘل‬،‫ ﺔﻣﺪبﺘدعﺑﺎَ ﻟ ﺘﺪم ي ﺘﺘﺘﺘقﻨدﺪﻣ ﺑ ﺪن ﺘرﺔﺳﺪﻮﺔل‬:‫ ﺑقﺪيﺘل ﺘﻣﺪعﻨﺘﺎَﺔﻩ‬،9 :‫ﺑبﺪدعﺑﺎَ ﺑﻣﺘﻦ اﻟﺴﺮﺔﺳل( اللحقﺎَف‬

“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh
sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya
adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa
tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’
digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam
firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”.
Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis).
Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.

Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’,
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul
(obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul),
menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan
Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya
penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut
adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali
menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)”
(Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:


‫ﺘاﻟﺪﺔﻤﺪﺤﺘدﺔث ا ﻨ ﺑلﺪيذ ﻟ ﺘﺪم ي ﺘﺔﻨﻨص عﺘلﺘﺪيﺑه اﻟﺪﺔقﺪﺮﺘءاﺔن ﺘوﺘﻻ ﺘجﺎَﺘء ﺑ ﺪف اﻟﺴﺴـُّﻨﻨﺑة‬.

Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam
al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, 1/278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai
berikut:
[20:38, 1/13/2019] surosodrs412: A. Pengertian Bid’ah

292/ 6 ‫) ﻓتح اﻟﺒﺎَريذ ﻻبﻦ ﺣﺮ‬. َ‫(ﺘﻣﺎَ أأﺪﺣﺑدﺘث عﺘﺘل ﻏﺘ ﺪ ﺑﻴ ﺑﻣﺜ ﺘﺎَﺔل ﺘﺳﺎَﺑبﺔﻖ‬

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”. (Fath al-Bari 6/292)
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam
Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

‫شﺑء ﺑبﺘغ ﺪ ﺑﻴ ﺘءا ﺘ ﺔلا ﺘوﺘﻻ ﻣأ آﻨدﺔة ﺘوﺘﻻ ﺘزﺘﻣﺎَﺔن‬


‫ا تﺘﺘعﺎَﺘل ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ إا ﺪ ﺘيﺎَﺔد اﻟ ﻨ ﺪ‬ ‫ ﺘواﺘذا ﺪاﺳﺴﺔﺘﺪعﺑﻤﺘل ﺑ ﺪف ﺑ‬.‫ﺘاﻻبﺪﺘداﺔع اﻧ ﺪﺘشﺎَﺔء ﺘصﺪﻨﺘعﺔة ﺑبﺘل اﺪحﺑتﺘﺬاﺔء ﺘواﺪقﺑتﺘداﺔء‬
‫إ‬ ‫إ إ‬
‫ ﺘوي ﺔﺘقﺎَﺔل لﺑلﺪﺔﻤﺪﺒﺘدعﺑ‬،117:‫ )ب ﺘﺑديﺪﺔعم اﻟلﺴﺘﻤﺎَﺘواﺑتا ﺘواللﺪرض( اﻟﺒقﺮة‬:‫ ﺘواﻟﺪﺘﺒﺑديﺪﺔعم ي ﺔقﺘﺎَﺔل لﺑلﺪﺔﻤﺪﺒﺑدعﺑ ﺘ ﺪنﺔﻮ قﺘﺪﻮ ﺑ ﺑل‬.‫ ﺘوﻟ ﺘﻴﺪﺘس ذ ﺑ ﺘﻟ إاﻻﻨ ﺑﻟ‬،‫ﺘوﺘﻻ ﺘﻣ ﺘكﺔن‬
‫ )قﺔﺪل ﺘﻣﺎَ ﺔﻛﺪﻨ ﺔت‬:‫ ﺘوقﺘﺪﻮ ﺔ ﺔل تﺘﺘعﺎَﺘل‬.‫ ﺑبﺘﻤﺪع ﺘن اﻟﺪﺘفﺎَﺑعﺑل ﺘواﻟﺪﺘﻤﺪفﺔعﺪﻮﺑل‬،َ‫ ﺘوﺘﻛﺬ ﺑ ﺘﻟ اﻟﺪﺑﺒﺪدﺔع ي ﺔقﺘﺎَﺔل ﻟ ﺘﺔﻬﺘﻤﺎَ ﺘ ﺑﺟﺪيﺑعﺎ‬.‫ ﺘ ﺪنﺔﻮ ﺘرﺪﻛﺘﻮﺔة ب ﺘﺑديﺪﺔعم‬-‫–ﺑبﺘفﺪت ﺑح ا ﻨﻟاﺑل‬
‫اهـ‬.‫ ﺔﻣﺪبﺑدعﺑﺎَ ﺑﻓﺪيﺘﻤﺎَ أأﺔقﺪﻮ ﺔ ﺔل‬:‫ ﺘوﺑقﺪيﺘل‬،‫ ﺔﻣﺪبﺘدعﺑﺎَ ﻟ ﺘﺪم ي ﺘﺘﺘﺘقﻨدﺪﻣ ﺑ ﺪن ﺘرﺔﺳﺪﻮﺔل‬:‫ ﺑقﺪيﺘل ﺘﻣﺪعﻨﺘﺎَﺔﻩ‬،9 :‫ﺑبﺪدعﺑﺎَ ﺑﻣﺘﻦ اﻟﺴﺮﺔﺳل( اللحقﺎَف‬
[20:47, 1/13/2019] surosodrs412: “Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru
tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan
pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat,
tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya
berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang
merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl),
artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-
Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana
air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’,
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul
(obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul),
menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan
Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya
penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut
adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali
menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)”
(Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:


‫ﺘاﻟﺪﺔﻤﺪﺤﺘدﺔث ا ﻨ ﺑلﺪيذ ﻟ ﺘﺪم ي ﺘﺔﻨﻨص عﺘلﺘﺪيﺑه اﻟﺪﺔقﺪﺮﺘءاﺔن ﺘوﺘﻻ ﺘجﺎَﺘء ﺑ ﺪف اﻟﺴﺴـُّﻨﻨﺑة‬.

Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam
al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, 1/278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai
berikut:

‫ﻟ ﺘﻴﺪﺘﺴ ﺪت اﻟﺑﺒﺪدعﺘﺔة ﺘواﻟﺪﺔﻤﺪﺤﺘدﺔث ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮﺘﻣ ﺪ ﺑي لﺑلﺘﺪف ﺑ‬


‫ ﺘوي ﺔﺘﺬﺴم‬،‫ ﺘوان ﻨﺘﻤﺎَ ي ﺔﺘﺬﺴم ﺑﻣﺘﻦ اﻟﺑﺒﺪدعﺘﺑة ﺘﻣﺎَ ﺔ ﺘﻳﺎَﺑﻟ ﺔﻒ اﻟﺴﺴـُّﻨﻨﺘة‬،َ‫ظ ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘوﺔﻣﺪﺤﺘدﺔث ﺘوﺘﻻ ﺘﻣﺪعﻨﺘﻴﺘ ﺑﺪﻴﺘﻤﺎ‬
‫ﺑﻣﺘﻦ اﻟﺪﺔﻤﺪﺤﺘدﺘثﺑتا ﺘﻣﺎَ ﺘدعﺘﺎَ اﺘل اﻟﻨﻀﺘل ﺘ ﺑلا‬. ‫إ‬
‫إ‬
Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara
bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan
Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats
yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan.
B. Macam-Macam Bid’ah

Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:


Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-
ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua: Bid’ah
Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu
perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Imam
asy-Syafi’i berkata :

‫اﻟﺪﺔﻤﺪﺤﺘدﺘثﺔتا ﺑﻣﺘﻦ ﺪا ألﺔﻣﺪﻮﺑر ﺘ ﺪ‬


‫ ﻓﺘﻬﺑﺬﺑﻩ ﺑبﺪدعﺘﺔة‬، َ‫ ﺘﻣﺎَ أأﺪﺣﺑدﺘث ﺑﻣﻨﺎَ ﺔ ﺘﻳﺎَﻟـُّﺑ ﺔﻒ ﺑﻛﺘﺘﺎَﺑﺑ أأﺪو ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة أأﺪو أأﺛﺑﺮا أأﺪو اﺘﺪﺟﺎَعﺑﺎ‬: َ‫ أأﺘﺣﺔد ﺔ ﺘهﺎ‬: ‫ﺿﺘﺑﺑن‬
‫إ‬
‫ ﺘوﺘهﺑﺬﺑﻩ ﺔﻣﺪﺤﺘدثﺘﺔة ﻏﺘ ﺪ ﺔﻴ ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮﺘﻣﺔة )رواﻩ الﺎَﻓظ‬، ‫ ﺘﻣﺎَ أأﺪﺣﺑدﺘث ﺑﻣﺘﻦ اﻟﺪﺘﺨ ﺪ ﺑﻴ ﺘﻻ ﺑﺧﺘل ﺘف ﺑﻓﺪيﺑه ﺑﻟﺘﻮاﺑﺣﺔد ﺑﻣﺪﻦ هﺬا‬: ‫ ﺘواﻟث ﻨﺎَﺑنﺘيﺔة‬،‫اﻟﻨﻀﺘلﻟـُّﺘﺑة‬
‫(اﻟﺒﻴق لي ف ﻛﺘﺎَب "ل ﻣنﺎَقب اﻟشﺎَﻓع لي‬

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan
atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara
baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang
baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang
baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang
Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, 1/469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

‫ ﻓﺘﺘﻤﺎَ ﺘواﻓﺘﺘﻖَ اﻟﺴﺴـُّﻨﻨﺘة ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ ﺘﻣﺪﺤﺔﻤﺪﻮﺔد ﺘوﺘﻣﺎَ ﺘﺧﺎَﻟ ﺘﺘفﺘﻬﺎَ ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ‬،‫ ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘﻣﺪﺤﺔﻤﺪﻮﺘدﺔة ﺘوﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮﺘﻣﺔة‬:‫ﺘاﻟﺪﺑﺒﺪدعﺘﺔة ﺑبﺪدﺘﻋﺘﺘﺎَﺑن‬
‫ﺘﻣﺪﺬﺔﻣﺪﻮﺔم‬.

“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang
sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah
adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari
20/330)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama
setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan
para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama
terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab
al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn
al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih
as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-
Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah
Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela). Pembagian
bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata:
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
‫(ﺘﻣﺪﻦ أأﺪﺣﺘدﺘث ﺑ ﺪف أأﺪﻣﺑﺮ ﺘن هﺘﺬا ﺘﻣﺎَ ﻟ ﺘﻴﺪﺘس ﺑﻣﺪنﺔه ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ ﺘر مد )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎَرليذ وﻣﺴل‬

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai
dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari: 2499 [9/201] dan Muslim : 3242
[9/118])
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Ma Laisa
Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak
adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak
bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-
pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah
dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok
agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang
menyalahi akidah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya.

C. Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah


Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-
Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan
bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai
berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
‫ﺘوﺘجﺘعلﺪﻨﺘﺎَ ﺑف قﺔﺔلﻮﺑب ا ﻨ ﺑليﺘﻦ ات ﻨﺘﺒﺔعﻮﺔﻩ ﺘر أأﻓﺘﺑة ﺘوﺘر ﺪ ﺘحﺑة ﺘوﺘرﺪهﺘﺒﺎَﺑنﻨيﺑة ابﺪﺘﺘﺘدﺔﻋﻮﺘهﺎَ ﺘﻣﺎَ ﺘﻛﺘﺘ ﺪبنﺘﺎَﺘهﺎَ عﺘلﺘ ﺑﺪﻴﺪم اﻨﻻ ابﺪﺘﺑغﺘﺎَﺘء ﺑرﺪضﺘﻮاﺑن ا ﻨ ﺑل )الديد‬:
‫إ‬
27(

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa)
rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal
Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji
ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang
mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa
hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum
yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah.
Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka
meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.

Dalam ayat di atas Allah mengatakan “‫”ﺘﻣﺎَ ﺘﻛﺘﺘ ﺪبنﺘﺎَﺘهﺎَ عﺘلﺘ ﺑﺪﻴﺪم‬, artinya: “Kami (Allah) tidak
mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang
membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada
Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru
yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali
tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka
yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan
berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri
dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah
kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh
dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah


Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
‫ ﺘوﺘﻣﺪﻦ‬،‫شﺔء‬ ‫حﺴﺴﻨﺘﺑة ﻓﺘ ﺘ ﺔل أأﺪجﺔﺮﺘهﺎَ ﺘو أأﺪجﺔﺮ ﺘﻣﺪﻦ ﺘ ﺑعﺘل ﺑبﺘﺎَ ب ﺘﺪعﺘدﺔﻩ ﺑﻣﺪﻦ ﻏﺘ ﺪ ﺑﻴ أأﺪن ي ﺘﺪﻨﺔقﺘص ﺑﻣﺪﻦ أأﺔجﺪﻮﺑر ﺑ ﺪه ﺘ ﺪ‬
‫ﺘﻣﺪﻦ ﺘﺳﻨﻦ ﺑ ﺪف اﻻﺪﺳﺘلﺑم ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة ﺘ ﺘ‬
‫إ‬
‫ﺘﺳﻨﻦ ﺑ ﺪف اﻻﺪﺳﺘلﺑم ﺔﺳﺴﻨﻨﺑة ﺘﺳ ﺑﻴ لﺌﺘﺑة ﺘكﺘن عﺘلﺘﺪيﺑه ﺑوﺪزﺔرﺘهﺎَ ﺘوﺑوﺪزﺔر ﺘﻣﺪﻦ ﺘ ﺑعﺘل ﺑبﺘﺎَ ﺑﻣﺪﻦ ب ﺘﺪعﺑدﺑﻩ ﺑﻣﺪﻦ ﻏﺘ ﺪ ﺑﻴ أأﺪن ي ﺘﺪﻨﺔقﺘص ﺑﻣﺪﻦ أأﺪوﺘزاﺑر ﺑ ﺪه ﺘ ﺪ‬
‫شﺔء‬
‫()رواﻩ ﻣﺴل‬ ‫إ‬

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik
maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala
mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya
dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”.
(HR. Muslim: 1691 [5/198])

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau
untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian
menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang
perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada
hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat
Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang
belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak
lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada
atau berpegang teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda:

‫(ﺘﻣﺪﻦ أأﺪﺣﺘدﺘث ﺑ ﺪف أأﺪﻣﺑﺮ ﺘن هﺘﺬا ﺘﻣﺎَ ﻟ ﺘﻴﺪﺘس ﺑﻣﺪنﺔه ﻓﺘﺔﻬﺘﻮ ﺘر مد )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎَرليذ وﻣﺴل‬

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai
dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari: 2499 [9/201] dan Muslim : 3242
[9/118])
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena
seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama
kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam mengatakan, sebagaimana hadits di atas:
Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya,
artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian:
Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-
kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah
yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’,
perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan
diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.

4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari : 1871 [7/135] dalam
kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas
mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat
berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau
memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan:
“‫”ﺑنﺪعﺘم اﻟﺪﺑﺒﺪدعﺘﺔة ﺘهﺑﺬﺑﻩ‬. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan
berjama’ah.
5. Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
2029- 2030[6/121] disebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar ini menambah
kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tambahan Abdullah bin Umar dalam
talbiyah adalah:

‫ ﺘواﻟﻨﺮ ﺪغﺘﺒﺎَﺔء اﻟ ﺘﺪي ﺘك ﺘواﻟﺪﺘعﺘﻤﺔل‬،‫ ﺘواﻟﺪﺘﺨ ﺪ ﺔﻴ ﺑ ﺪف ي ﺘﺘديﺪ ﺘك‬،‫ﻟ ﺘﻨﺒﺪي ﺘك الل لﺔﻬﻨم ﻟ ﺘﻨﺒﺪي ﺘك ﺘوﺘﺳﺪعﺘديﺪ ﺘك‬
‫إ‬
6. Dalam hadits riwayat Abu Dawud : 826 [3/156] disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn
‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat
Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dalam
Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

‫شيﺪ ﺘك ﺘ ﺔل‬
‫ا ﺘوﺪﺣﺘدﺔﻩ ﺘﻻ ﺘ ﺑ‬
‫ أأﺪﺷﺘﻬﺔد أأﺪن ﺘﻻ اﺘل اﻻﻨ ﺔ‬.
‫إ إ‬
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata:
‫ﺑزﺪدﺔتا ﺑﻓﻴﺘﺎَ ﺘوﺪﺣﺘدﺔﻩ ﺘﻻ ﺘ ﺑ‬...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkannya dengan
“‫شي ﺘك ﺘ ﺔل‬
kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.

7. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah melakukannya. Tentang shalat
Dluha ini beliau berkata:

‫(ا ﻨنﺘﺎَ ﺔﻣﺪﺤﺘدثﺘﺔة ﺘوا ﻨنﺘﺎَ ﻟ ﺘﺑﻤﺪﻦ أأﺪحﺘﺴﺑﻦ ﺘﻣﺎَ أأﺪﺣﺘدثﺔﺪﻮا )رواﻩ ﺳعيد بﻦ ﻣنصخﻮر إﺑﺳﺴﻨﺎَد صيح‬
‫إ‬ ‫إ‬
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu
perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad
yang Shahih). Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn
‘Umar mengatakan:

‫(ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘوﺑنﺪعﺘﻤ ﺑت اﻟﺑﺒﺪدعﺘﺔة )رواﻩ ابﻦ لأب ﺷﻴبة‬


“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi
Syaibah: [2/296] dan Ath Thabrani : 13387 dalam al-Mu’jam al-Kabir 11/54)

Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari [4/173]
dengan sanad yang shahih.

8. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari: 757 [3/277] meriwayatkan dari
sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami
shalat berjama’ah di belakang Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Ketika beliau
mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”.
Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

‫ﺘرب ﻨﻨﺘﺎَ ﺘو ﺘ ﺘﻟ اﻟﺪﺘﺤﺪﻤﺔد ﺪﺘحﺑدا ﺘﻛثﺑ ﺪ ﺑﻴا ﺘطﺑليﺑﺒﺎَ ﺔﻣﺘبﺎَﺘرﺑك ﺑﻓﺪيﺑه‬

Setelah selesai shalat, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya: “Siapakah


tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab:
“Saya Wahai Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam...”. Lalu Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam berkata:

‫ﺘر أأيﺪ ﺔت ﺑبﺪﻀﺘعﺑة ﺘوثﺘﺘلﺑث ﺪ ﺘي ﺘﻣلﺘ ﺑك ي ﺘ ﺪبتﺘﺑدﺔرﺪو ﺘنﺘﺎَ أأ ﺔﺴﻳﺪم يﺘﺪكﺔت ﺔبﺘﺎَ أأﻨوﺔل‬

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama
mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang
menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak
ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari 2/ 287).

D. Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah


Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah, di antaranya :

1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali
melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tentang ini Abu Hurairah berkata:

‫(ﻓﺘ ﺘكﺘن ﺔخﺘبﺪيﺔب أأﻨوﺘل ﺘﻣﺪﻦ ﺘﺳﻨﻦ اﻟﻨصخﺘلﺘة ﺑﻋﺪﻨﺘد اﻟﺪقﺘﺪتﺑل )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎَرليذ‬
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”.
(HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah : 133 [8/340] dalam kitab
al-Mushannaf)

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk


menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada
sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh
dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah
ditinggalkan orang. Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn
Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau
menjawab:

‫ﺘصلﻨ ﺔ ﺘهﺎَ ﺔخﺘبﺪيﺔب ﺘوﺔح ﺪجﺔﺮ ﺘو ﺔ ﺘهﺎَ ﻓﺘﺎَﺑضﺘلﺑن‬.

“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan
Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang
mulia”. Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi
Ma’rifah al-Ash-hab 1/ 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin
‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-
Jum'ah).

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur.
Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim
dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli
hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam
beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu,
mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-
hurufnya.

Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan
menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-
haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian
huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin
Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik
dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai
bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah
melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-
haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan,
dalam kitabnya al-Mashahif berkata:

“Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mushhaf adalah Yahya bin
Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan
(hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya. Demikian pula penulisan
nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir
setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf
(pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya,
semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan
para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah
bid’ah yang diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama
kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd
al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti
oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid.
Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh
masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
BACA JUGA
5360. INILAH YANG DIMAKSUD DENGAN ILMU HAAL
5159. MACAM DAN CABANG ILMU MENURUT ISLAM
5528. HUKUM MURTAD DENGAN TUJUAN MAIN-MAIN (ISENG)
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-
Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar
al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W
902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-
Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh
Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh
Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.

6. Membaca shalawat atas Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah adzan


adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab
Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-
Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.

7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama


Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja
dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat
semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam hanya
menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Si Fulan…”.

8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti
tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang
kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah
bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang
menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai
tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi’ah, di antaranya sebagai berikut:

1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya


seperti:

a. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat


yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu
apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut
keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka
meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya
menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah
hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang
mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua
posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at
Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum
Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-
Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim
dari Yahya ibn Ya'mur.

b. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah,


mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang
hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama
sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan
sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan
ke arah ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak
memiliki ikhtiar dan kehendak.
c. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang
melakukan dosa besar.

d. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul


dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang
saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan
para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang
bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali
memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-
Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab
dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.

2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (‫ )ص‬atau (‫)صلعم‬


sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi
“SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits
bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun
demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah
sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan
panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.

E. Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah

1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah


Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits riwayat Abu Dawud dari
sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
‫ك ﺑبﺪدعﺘﺔة‬ ‫ﺘوا ﻨﻳ ﺔ ﺪك ﺘوﺔﻣﺪﺤﺘدﺘثﺑتا ا ألﺔﻣﺪﻮﺑر ﻓﺘﺎَﻨن ﺔ ﻨ‬
‫ك ﺔﻣﺪﺤﺘدثﺘﺔة ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘو ﺔ ﻨ‬
‫إ (ﺘضﺘل ﺘ ﺔلا )رواﻩ لأبﻮ داود‬ ‫إ‬
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an
dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah
sesat .

Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-
ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush;
artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang
dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah
itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).

Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau


berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui
bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga
pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan
ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau
berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di
atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak
mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam
ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:
25 :‫شﺔء )اللحقﺎَف‬ ‫(تﺔﺘدﺑلﻣﺔﺮ ﺔ ﻨ‬
‫ك ﺘﺪ‬

Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah
menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan
artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan,
karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini
menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat
Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam
dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.

2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man


Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam
Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam masih
hidup. Adapun setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal maka hal
tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.

Jawab:

Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

‫ﺘﻻ تﺘثﺪبﺔ ﺔت اﻟﺪ ﺔخﺔصخﺪﻮﺑصﻨيﺔة اﻻﻨ ﺑبﺘدﺑﻟﺪيﺔل‬


‫إ‬
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus
berdasarkan adanya dalil”. Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang
menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam
Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…”
(Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak
mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa
mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…).
Sebaliknya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan secara umum: “Man
Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu
tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja”.

Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak
berlaku lagi setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal?! Berani sekali
kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam?! Apakah
setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits
tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?!
Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan
kepada “hawa nafsu” belaka.

3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat


Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya
adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan
yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui
lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-
masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-
harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan
hadits di atas. Artinya, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam memuji sedekah para
sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam
agama”.

Jawab:

Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

‫ﺘاﻟﺪﺑع ﺪ ﺘبجﺔة ﺑبﺔعﺔﻤﺪﻮﺑم الل ﻨﺪف ﺑ‬


‫ظ ﺘﻻ ﺑ ﺔبﺔصخﺪﻮﺑص اﻟﻨﺴبﺘﺑب‬

“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh
suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”. Dengan demikian meskipun hadits
tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus
dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan
kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan
menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah
hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan
sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri?!

4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits


“Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam
Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish
oleh hadits hadits yang pertama”.

Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu
jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat
“’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man
Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:

‫ ﺘو ﺑ ﺪف هﺘﺬا‬.‫ﻤﺴﺴﺘﺘﺪقﺘبﺘﺤﺎَﺑتا‬ ‫ﺤﺴﺴﻨﺘﺎَﺑتا ﺘواﻟﺘﻨﺪﺤﺑﺬ ﺪيﺑﺮ ﺑﻣﺘﻦ ا ألﺘﺑﺑطﺪيﺑل ﺘواﻟﺪ ﺔ ﺪ‬


‫ﺑﻓﺪيﺑه اﻟﺪﺘﺤﺴث عﺘﺘل ابﺪﺑﺘﺘداﺑء ﺑﺑﻟﺪﺘﺨ ﺪ ﺘﻴاﺑتا ﺘوﺘﺳﺑلﻦ اﻟﺴﺴ ﺘ ﺑن اﻟﺪ ﺘ ﺘ‬
‫ك ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘضﺘل ﺘ ﺔلا"ل ﺘو أأﻨن اﻟﺪﺔﻤﺘﺮاﺘد ﺑبﺑه اﻟﺪﺔﻤﺪﺤﺘدﺘثﺔتا‬
‫ك ﺔﻣﺪﺤﺘدثﺘﺔة ﺑبﺪدعﺘﺔة ﺘو ﺔ ﻨ‬
‫ا ﺘعلﺪيه ﺘوﺘﺳ ل ﺘل "لﻓﺘﺎَﻨن ﺔ ﻨ‬ ‫اﻟﺪﺘﺤﺑديﺪﺑث ﺘ ﺪتﺑصخﺪيﺔص قﺘﺪﻮ ﺑ ﺑل ﺘصلل ﺔ‬
‫اﻟﺪﺘﺒﺎَﺑط ﺘ ﺔل ﺘواﻟﺪﺑﺒﺘدﺔع اﻟﺪﺘﻤﺪﺬﺔﻣﺪﻮﺘﻣﺔة‬. ‫إ‬

“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-
perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara
yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits
Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa
sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan
perkara-perkara baru yang dicela”.

As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:


َ‫شعﺑ ﺘوعﺘﺘدﺑﻣﺘﻬﺎ‬ ‫ ﺘواﻟﺘﻨﺪﻤﺑي ﺪ ﺔي ب ﺘ ﺪ ﺘي اﻟﺪ ﺘ ﺘ‬،َ‫حﺴﺴﻨﺘﺑة"ل أأﺪيذ ﺘطﺑﺮيﺪقﺘﺑة ﺘﻣﺪﺮﺑضﻨيﺑة ي ﺔﺪقتﺘﺘدى ﺑبﺘﺎ‬
‫ﺤﺴﺴﻨﺘﺑة ﺘواﻟﻨﺴـُّﺑليئﺘﺑة ﺑبﺔﻤﺘﻮاﻓﺘقﺘﺑة أأﺔصﺪﻮﺑل اﻟ ﻨ ﺪ‬ ‫قﺘﺪﻮ ﺔ ﺔل ﺔ‬.
‫"لﺳﺴﻨﻨﺑة ﺘ ﺘ‬

“Sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya


adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan
sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai
berikut:

‫ ﺘواﺪن ﺘكن ﺘ ﺪت ﺑﻣﻨﻤﺎَ تﺘﺪﻨﺘدﺑرﺔج ﺘ ﺪت ﺘت ﺔ ﺪﻣﺴﺴﺘﺘﺪقﺘب ﺔح‬،‫حﺴﺴﻨﺘﺔة‬ ‫ﺘواﻟﺘﻨﺪﺤﺑقﺪيﺔﻖَ أأ ﻨنﺘﺎَ اﺪن ﺘكن ﺘ ﺪت ﺑﻣﻨﻤﺎَ تﺘﺪﻨﺘدﺑرﺔج ﺘ ﺪت ﺘت ﺔ ﺪﻣﺴﺴﺘﺘﺪﺤﺘﺴﺔﻦ ﺑ ﺪف اﻟ ﻨ ﺪ‬
‫شعﺑ ﻓﺘﺑﻬيﺘي ﺘ ﺘ‬
‫إ‬ ‫إ‬
‫شعﺑ ﻓﺘﺑﻬيﺘي ﺔ ﺪﻣﺴﺴﺘﺘﺪقﺘبﺘﺤﺔة‬‫ ﺑ ﺪف اﻟ ﻨ ﺪ‬.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama
adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik
dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk
dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang
umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka
mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para
ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang
dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang
sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.

Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara
yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah
urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara,
apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau
orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama
sekali.
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang
diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan
dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan
ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan
mendekati syirik”.

Jawab:

Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat


Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah
diajarkan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam seperti yang dilakukan oleh sahabat
‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana
Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa
Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar
sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah
ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang
membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah
kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda”
dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-
Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang
nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La
Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.

Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan
bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama,
yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan
makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-
Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu
kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai
bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah
hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini
tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang
berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu”
dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya
sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama,
telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya
saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman
orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu
bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu
dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka
mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna
Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish
dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah
adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.

Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam:

‫ا ﺘوﺘرﺔﺳﺪﻮ ﺘ ﺔل ﺘكﺘن عﺘلﺘﺪيﺑه ﺑﻣﺜﺪﺔل أ آﺘثﺑم ﺘﻣﺪﻦ ﺘ ﺑعﺘل ﺑبﺘﺎَ ﺘﻻ ي ﺘﺪﻨﺔقﺔص ﺑﻣﺪﻦ أأﺪوﺘزاﺑر ﺑ ﺪه ﺘ ﺪ‬
‫شﺔء )رواﻩ‬ ‫ﺘﻣﺪﻦ ابﺪﺘﺘﺘدﺘع ﺑبﺪدعﺘﺘة ﺘضﺘل ﺘ ﺔلا ﺘﻻ تﺔﺪﺮ ﺑض ﺘ‬
‫( اﻟتﻣﺬليذ‬

“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah
dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi : 2601 [9/288]) Inilah
pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-
perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-
perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului
kita dalam melakukannya”.

Jawab:

Baik, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melakukannya, apakah beliau


melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang
secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan
Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.

Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah bid’ah yang
diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.

Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap
mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri
yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya,
kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?!
Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah
mengatakan:

‫اﻟ ﻨ ﺪت ﺔك ﺘﻻ ي ﺘﺪقتﺘ ﺑض اﻟﺘﻨﺪﺤﺑﺮ ﺪي‬

“Sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah ShallaLlahu 'Alaihi Wa Sallam tidak
berarti menunjukkan sesuatu itu dilarang”.
Artinya, ketika Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau para sahabatnya tidak
melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu
yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam berasal dari bangsa
manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan
melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja
tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi
Wa Sallam disibukkan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang
kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan
hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para
penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.

Bahkan dengan sengaja Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam kadang


meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh
ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah
hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan
perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara
hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah pendapat orang yang tidak mengerti
ahwal Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak memahami kaedah-kaedah
agama.

F. Kesimpulan

Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa
para sahabat Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, para tabi'in, para ulama Salaf
dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua
bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini
bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian
banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran Kitab
ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.
Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua
bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat
Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia
sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?!
Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran.
Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa
mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah
mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para
Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?!

Anda mungkin juga menyukai