Anda di halaman 1dari 4

Oleh Afa Silmi Hakim :

Pembahasan ini termasuk pembahasan yang rumit, dan panjang, sekaligus sensitif bagi beberapa harakah islam. Dan permasalahan ini sering menjadi polemik di antara kaum muslimin, Maka dari sini dengan keterbatasan ilmu yang saya punya, saya mencoba menyampaikan apa yang saya pahami benar tentu dengan dalil dan pemahaman para ulama atas permasalahan ini, agar permasalahan ini tidak menjadi polemik yang berkepanjangan dan saya mencoba menyampaikannya secara ringkas. Sebelum kita bahas apa itu Bidah sebaiknya kita tengok teori ushul fiqh dalam memaknai sebuah lafadz, karena hal ini ada kaitannya. Memaknai lafadz itu bisa dibagi menjadi dua yaitu makna hakiki ataupun makna majas jika ada qarinah tertentu sehingga dapat dialihkan dari makna hakikinya. Makna hakiki pun dibagi menjadi tiga, yaitu al-Haqiqah alLughawiyah (makna bahasa), al-Haqiqah al-Lughawiyah al-Urfiyah (Makna Tradisi), alHaqiqah al-Lughawiyah asy-Syariyah (makna syari). Terkadang hadits-hadits nabi yang membawa lafadz bidah datang dengan makna syari terkadang datang dengan makna bahasa begitulah penjelasan oleh guru kami Ust. Yuana Ryan, MA. Oleh karena itu sangat penting untuk kita memahami bidah dengan beberapa pengertian tersebut. Dan dari memahami makna tersebut maka kita akan menempatkan permasalahan bidah itu sebagaimana mestinya? Definisi Bidah menurut bahasa sebagai berikut: Bidah berasal dari kata badaa- yabdau-badan wa bidat[an] yang artinya adalah mencipta sesuatu yang belum pernah ada, memulai, dan mendirikan. Badaa asy-syaya,artinya, Dia menciptakan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada. (Kamus al-Munawir, hlm. 65) Menurut Imam as-Syathibi Bidah berasal dari kata badaa menunjukkan arti al-ikhtiraa' 'ala ghairi mitsaal saabiq (menciptakan sesuatu yang sama sekali baru, dan sebelumnya tidak pernah ada). Al-Quran telah menunjukkan makna semacam ini; "Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) dia Hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia." [TQS Al Baqarah (2) : 117]. Maksud ayat ini adalah; Allah menciptakan langit dan bumi sama sekali baru, yang sebelumnya tidak pernah ada. Jika di katakan Ibtada'a fulaan bid'ah ya'niy ibtada`a thariqah lam yasbiqhu ilaihaa saabiq; si fulan menciptakan bid'ah, artinya adalah ia

mengawali suatu jalan (metode) yang belum pernah diadakan oleh orang sebelumnya. (AlAllamah Abu Ishaq as-Syathibi, al-Itisham, I/3) Jadi Bidah menurut bahasa adalah segala sesuatu yang baru yang tidak memiliki contoh sebelumnya atau belum pernah dilakukan sebelumnya atau belum pernah ada sebelumnya terlepas itu baik atau tidak.

Sedangkan bidah dalam makna syari adalah sebagai berikut: Imam asy-Syafii menyatakan al-Muhdatsah (sesuatu yang diada-adakan) adalah apa-apa yang menyalahi al-Kitab, as-Sunah, atau Ijma Sahabat merupakan bidah yang sesat (dhallah) (Muhammad al-Khathb asy-Syarbini, Mughni al-Muhtj, 4/436) Imam as-Syathibi berkata bahwa bidah dalam makna syari adalah tata cara dalam agama (ibadah) yang sengaja dibuat dan menyerupai syariat dengan tujuan mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku yang bersandar padanya, seperti yang dijalankan pada tata cara syariat. ( Al-Allamah Abu Ishaq as-Syathibi, al-Itisham, I/5) Ibnu Hajar al-Haytsami menyatakan bidah adalah apa saja yang diada-adakan, yang menyalahi ketentuan syara dan dalil-dalilnya, baik yang khusus maupun umum. (At-Tabyn bi Syarh al-Arban hlm. 221) Ibnu Hajar al-Ashqalani dan Ibnu Rajab al-Hanbali menyatakan bidah adalah apa saja yang diada-adakan, yang tidak mempunyai dasar syari yang ditunjukkan dalam syara, sedangkan yang mempunyai dasar syari maka ia tidak termasuk bidah.( Fath al-Bri, 13/253; Jmi alUlm wa al-Hukm, 1/266) Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa bidah dalam makna syari adalah suatu perbuatan baru dalam tata cara ibadah yang tidak memiliki dasar syari dan bertentangan dengan nash-nash yang syari baik dari dalil-dalil umum maupun khusus. Kemudian apa buktinya bahwa hadits-hadits nabi itu datang dengan makna syari dan makna bahasa, berikut penjelasannya Terkadang hadits-hadits nabi yang membawa lafadz bidah datang dengan makna syari terkadang datang dengan makna bahasa, sebagai contoh: ) ( Sesungguhnya Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahualaihi wassallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang di ada-adakan (bidah) dan setiap Bidah adalah sesat. (dari Sahabat Jabir bin Abdullah r.a. HR. Muslim : 1435) Hadits diatas semakna dengan hadits dibawah ini:

" : " Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak". (Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak)(Bukhari: 2697, Muslim: 1718) Kata Raddun menurut ahli bahasa adalah tertolak atau tidak sah. Kalimat bukan dari kami maksudnya bukan dari hukum kami (yaitu tidak ada dasar di Al-Quran dan AsSunnah). ( Syarah Arbain Nawawi, Ibnu Daqiqil 'Ied) Hadits diatas menjelaskan bahwa setiap amal tanpa ada dasar syariat maka dia tertolak atau tidak sah sedangkan amal yang ada dasar syariatnya maka ia dapat diterima dan bukan termasuk bidah . Maka Hadits diatas adalah contoh bidah dalam makna syari, sedangkan contoh berikutnya ini adalah bidah dengan makna bahasa: . , , - , : Saya memberi wasiat kepadamu agar tetap bertaqwa kepada Alloh yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tetap mendengar dan ta'at walaupun yang memerintahmu seorang hamba sahaya (budak). Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian masih hidup niscaya bakal menyaksikan banyak perselisihan. karena itu berpegang teguhlah kepada sunnahku(jalanku) dan sunnah (jalan) Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu hal-hal baru karena sesungguhnya semua bid'ah itu sesat." (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi,imam Tirmidzi mengatakan hadits ini Hasan Shahih) Menilik siyaq al-kalam (alur pembicaraan) hadits ini, bidah yang dimaksud adalah bidah dalam masalah kepemimpinan dalam artian menggunakan makna bahasa, bukan bidah dalam masalah ibadah (makna syari yang saya sampaikan di atas). Karena disini lafadz sunnah menggunakan makna bahasa yaitu jalan, karena sunnah dalam makna syari yang disepakati oleh para ulama ahli hadits dan ulama ushul adalah segala hal menyangkut hal ihwal tentang diri Rasul SAW saja bukan manusia yang lain ataupun Khulafaur Rasyidin. Maka jelas hadits ini tidak berbicara tentang ibadah, tetapi hanya berbicara tentang kepemimpinan saja. Maka karena itu setiap perbuatan yang menyalahi syara adalah bidah. Hanya saja, memang tidak semua perbuatan yang tidak ada dalam syariat atau tidak ada pada masa Nabi SAW dikategorikan bidah. Terdapat banyak perbuatan yang sebenarnya didasarkan pada dalildalil yang bersifat umum. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai bidah.

Contoh, mempelajari Ilmu Nahwu, kimia, komputer, dan sebagainya. Semua itu termasuk dalam cakupan dalil-dalil umum tentang menuntut ilmu. Memang, semua itu tidak dijelaskan oleh syara (secara eksplisit); juga belum ada pada masa Rasul. Namun, semuanya termasuk ke dalam cakupan dalil-dalil yang bersifat umum. Ibnu Hajar al-Ashqalani menyatakan, Sesuatu yang diada-adakan, yang mempunyai asal (pokok) dalam syara yang menunjukkannya tidaklah termasuk bidah. Walhasil, bidah adalah perbuatan yang menyalahi syara. Dan Ini tidak berlaku untuk semua jenis perbuatan, tapi hanya berlaku pada perbuatan yang telah ditentukan tatacara (kayfiyah) pelaksanaannya oleh syara. Seorang Muslim wajib untuk melaksanakan suatu perbuatan sesuai dengan tatacara yang telah ditentukan oleh syara itu. Jika ia menyalahi ketentuan itu maka ia telah melakukan bidah. Seperti sholat 2 bahasa, Sholat cukup dalam hati saja, Puasa Ngebleng alias puasa gak berbuka ketika maghrib ini jelas adalah bidah. Karena semua hal yang saya sebut di atas sudah ditentukan kayfiyahnya (tata cara) oleh syara dan kita tidak boleh merubah hal tersebut. Jika diteliti dan dianalisis akan jelas bahwa syara memang tidak membatasi tatacara (kayfiyah) pelaksanaan perbuatan kecuali dalam masalah ibadah (selain hukum jihad). Selain masalah ibadah, syara tidak membatasi tatacara, melainkan hanya menentukan tatacara pengelolaan/tindakan (tasharruft)-nya. Menyalahi tasharruf yang telah ditentukan oleh syariat tidak disebut sebagai bidah, tetapi bisa haram atau makruh, sesuai dengan penunjukan dalil larangannya. Penggunaan bunga Bank misalnya, bukanlah bidah, hanya saja ia haram. Memerangi orang kafir yang belum pernah tersentuh dakwah tanpa didakwahi terlebih dulu tidak disebut sebagai perbuatan bidah, tetapi tidak boleh. Sementara itu, dalam jihad, sekalipun hal itu adalah perbuatan ibadah, syariat tidak menentukan tatacaranya, melainkan hanya menentukan perkara-perkara yang berkaitan dengannya. Karena itu, dalam jihad tidak dikatakan adanya bidah dan bukan bidah. Maka yang disebut dengan perbuatan bidah adalah melaksanakan suatu perbuatan yang merupakan bagian dari Ibadah, dan tatacaranya menyalahi tatacara yang telah ditetapkan syara. Wallahualam bi showab...

Anda mungkin juga menyukai