NIM : 11950111732
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini
mengatakan, “Maka hukum asalnya adalah dilarang bagi setiap orang untuk menetapkan
suatu amalan (ibadah) yang tidak ada tuntunannya dari Allâh Azza wa Jalla dan tidak
pula dari rasul-Nya.”
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
: Barang siapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami
maka ia tertolak.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali ketika menjelaskan ayat ini mengatakan, “Teks hadits ini
menjelaskan bahwa setiap amalan yang tidak ada tuntunannya di dalam syariat, maka
amalan itu tertolak. Dan secara tersirat menjelaskan bahwa setiap amalan yang dilandasi
tuntunan dalam syariat, maka amalan itu tidaklah ditolak.”
Referensi : https://almanhaj.or.id/4312-kaidah-ke-49-hukum-asal-suatu-ibadah-tidaklah-
ada-kecuali-jika-ada-dalilnya.html
3. Kaedah "asal hukum dalam muamalah2 adalah dibolehkan kecuali ada dalil yg
melarang". Jelaskan maksud kaedah ini beserta dalil2 dan contoh anda masing2.
Sertakan referensi anda.
Jawaban : Ulama fikih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah
diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita
tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/tidak
ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya
adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan
nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak
terdapat syariat dari-Nya. Pokok dari kegiatan muamalah hukumnya mubah (boleh).
Kegiatan transaksi apapun hukumnya halal, selama tidak ada nash yang
mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah, yang pokoknya hukumnya haram, tidak
boleh menjalankan suatu ibadah yang tidak ada tuntunan syari’ahnya.
Referensi : Muhammad Maksum, S. H., & Ali, M. H. Dasar-Dasar Fikih Muamalah.
Dalil Kaidah ini adalah : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)
Dalil As-sunah : “Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang
haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya,
maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya:hadits
gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No.
6124. Syaikh Al Albani mengatakan:hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At
Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalamShahih
Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1 )
Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka
dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik,
pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang
mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk
dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang
dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.