Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rangga Prawira Delianto

NIM : 11950111732

1. Apa hukum bitcoins menurut fatwa ulama ?


Jawaban : Para Pakar dan Sebagian Ulama berpandangan bahwa Cryptocurrency
termasuk kategori haram. Menurut pandangan Mufti Besar Mesir Shaykh Shawki Allam
pada 2018 telah menyatakan bahwa Cryptocurrency yang salah satu jenisnya Bitcoin
adalah haram. Syaikh mengutip alasan-alasan utama ini dalam pernyataannya antara lain,
salah satu jenis Cryptocurrency yaitu Bitcoin mudah digunakan untuk kegiatan illegal,
Bitcoin tidak berwujud dan memungkinkan untuk pencucian uang dan penipuan. Pada
Otoritas keagamaan pemerintah Turki juga menyatakan bahwa bitcoin dilarang, karena
terbuka untuk spekulasi (gharâr dan maysîr) berlebihan. Bitcoin adalah salah satu jenis
Cryptocurrency yang sangat berisiko dan sarat dengan ketidakjelasan dan spekulasi
karena tidak memiliki underlying asset, nilai tukar yang sangat fluktuatif, harga tidak bisa
diprediksi, kenaikan harga yang sangat tidak wajar dan berpotensi merugikan masyarakat.
Dalam fikih, kondisi ini adalah Dharar (negatif dan merugikan) dan Gharar yang dilarang
berdasarkan hadist Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Rasullah melarang jual beli
gharar”. (HR Muslim dari Abu Hurairah/ Umdatul Qari’, 11/264).
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) resmi mengharamkan
penggunaan kripto sebagai mata uang. Hal ini diresmikan dalam forum Ijtima Ulama. Hal
ini dikarenakan kripto mengandung Gharar, Dharar, juga bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 tahun 2015.
Selain mengharamkan, Cryptocurrency juga tidak sah sebagai komoditas atau aset digital
yang diperjualbelikan karena mengandung Gharar, Dharar, Qimar, dan tidak memenuhi
syarat Sil’ah secara syar’i. Meski demikian, hasil fatwa DSN-MUI tidak semata-mata
mengharamkan cryptocurrency secara menyeluruh, kategori haram yang dikeluarkan oleh
fatwa MUI terbatas pada penggunaannya sebagai mata uang karena didalamnya
mengandung unsur gharar, dharar dan maysir juga hal ini bertentangan dengan Peraturan
Bank Indonesia nomor 17 Tahun 2015, selain itu perolehan keuntungan yang diperoleh
dari mata uang kripto juga hukumnya haram mengingat metode penjualan kripto
dianggap memiliki unsur qimar alias judi, hal ini didasarkan pada nilai jual yang
diperoleh oleh pengguna disaat nilai kripto sedang naik, maka ini diperhitungkan bahwa
terdapat pihak yang menang yang mengambil keuntungan dari pengguna yang kalah.
Selanjutnya, Fatwa MUI juga menekankan bahwa memperjual belikan mata uang kripto
adalah tidak sah berdasarkan beberapa syarat yang sudah disebutkan ,karena jual beli
asset mata uang kripto dianggap tidak memenuhi unrus sil’ah secara star’I yaitu
terdapatnya wujud fisik, memiliki nilai, memiliki jumlah yang pasti, hak milik yang jelas
serta dapat diserahkan kepada pembeli.
Referensi : Jannah, A. W. (2022). Perkembangan Hukum Positif Dan Hukum Islam Di
Indonesia Terhadap Eksistensi Cyrptocurrency. Jatiswara, 37(1), 127-140.
2. Kaedah " asal hukum ibadah adalah dilarang, kecuali ada dalil yg
memerintahkan". Apa yg dimaksud oleh kaedah ini, jelaskan beserta dalil dan
contoh2nya. Sertakan referensi anda masing2.
Jawaban : Kaidah ini menjelaskan tentang hukum asal penetapan syarat sah suatu ibadah.
Di mana, keberadaan sesuatu bisa ditetapkan menjadi syarat sah suatu ibadah jika
didasari dalil yang menjelaskannya. Maka sebagaimana hukum asal suatu ibadah itu
adalah terlarang, maka demikian pula syarat-syarat ibadah dan tata caranya, hukum
asalnya juga terlarang, dan tidak boleh ditetapkan kecuali jika ada dalil shahih dan sharih
(tegas) yang menunjukkannya.

Dalil Kaidah Ini


Kaidah ini masuk dalam keumuman larangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya
dari mengada-adakan perkara baru dalam agama. Juga masuk dalam keumuman kaidah
bahwa hukum asal suatu ibadah adalah dilarang kecuali jika ada dalil yang
menunjukkannya. Di antara dalil yang menjelaskannya adalah firman Allâh Azza wa
Jalla : “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ? [as-Syûrâ/42:21]”

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini
mengatakan, “Maka hukum asalnya adalah dilarang bagi setiap orang untuk menetapkan
suatu amalan (ibadah) yang tidak ada tuntunannya dari Allâh Azza wa Jalla dan tidak
pula dari rasul-Nya.”

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
: Barang siapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami
maka ia tertolak.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali ketika menjelaskan ayat ini mengatakan, “Teks hadits ini
menjelaskan bahwa setiap amalan yang tidak ada tuntunannya di dalam syariat, maka
amalan itu tertolak. Dan secara tersirat menjelaskan bahwa setiap amalan yang dilandasi
tuntunan dalam syariat, maka amalan itu tidaklah ditolak.”
Referensi : https://almanhaj.or.id/4312-kaidah-ke-49-hukum-asal-suatu-ibadah-tidaklah-
ada-kecuali-jika-ada-dalilnya.html

Contoh penerapan kaidah


Contoh yang menguatkan kaidah ini adalah pendapat Imam Ibnu Katsir yang
menjelaskan tentang menghadiahkan bacaan Quran kepada orang yang telah meninggal.
Imam Ibnu Katsir meyakini bahwa pahala tersebut tidak akan sampai, dan
menjelaskannya sebagai berikut: “Sebab demikian itu bukan amal mereka dan juga
bukan usaha mereka. Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memerintahkan kepada umatnya, tidak menganjurkannya dan tidak membimbing
kepadanya dengan dalil maupun dengan isyarat. Dan tidak terdapat dalil tentang hal itu
dari seorang sahabatpun, semoga Allah meridhai mereka. Jika hal itu baik niscaya
mereka mendahului kita dengan amalan itu. Sesungguhnya masalah ibadah hanya
terbatas pada nash dan tidak berlaku qiyas maupun pendapat”. Itulah beberapa perkara
dan alasan mengapa tidak boleh membuat hal baru di dalam ibadah. Dengan memahami
bahwa hukum asal ibadah adalah haram, kecuali apa yang disyariatkan, maka kita bisa
lebih berhati – hati dan tidak melakukan sesuatu hanya berdasarkan ikut – ikutan saja.
Referensi : https://alhasanah.or.id/artikel/kenapa-hukum-asal-ibadah-terlarang/

3. Kaedah "asal hukum dalam muamalah2 adalah dibolehkan kecuali ada dalil yg
melarang". Jelaskan maksud kaedah ini beserta dalil2 dan contoh anda masing2.
Sertakan referensi anda.
Jawaban : Ulama fikih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah
diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita
tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/tidak
ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya
adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan
nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak
terdapat syariat dari-Nya. Pokok dari kegiatan muamalah hukumnya mubah (boleh).
Kegiatan transaksi apapun hukumnya halal, selama tidak ada nash yang
mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah, yang pokoknya hukumnya haram, tidak
boleh menjalankan suatu ibadah yang tidak ada tuntunan syari’ahnya.
Referensi : Muhammad Maksum, S. H., & Ali, M. H. Dasar-Dasar Fikih Muamalah.

alhikmah.ac.id – Kaidahnya berbunyi:


“Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil
yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.”  (I’lamul Muwaqi’in, 1/344)
Atau yang serupa dengan itu :
“Sesungguhnya hukum asal dari segala  ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil
yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini.” (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir,
1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalil Kaidah ini adalah : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)
Dalil As-sunah : “Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang
haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya,
maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya:hadits
gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No.
6124. Syaikh Al Albani mengatakan:hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At
Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalamShahih
Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1 )
Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka
dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik,
pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang
mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk
dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang
dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.

Contoh penerapan kaidah ini


1) Misalnya, seorang wanita ingin mengendalikan haidnya agar bisa full berpuasa
Ramadhan. Lalu dia minum pil tertentu setelah konsultasi dengan dokter yang
merekomendasikannya. Terbukti memang tidak ada efek samping apa pun bagi
dirinya.  Hal ini, sama sekali tidak ada dalil khusus dan dalil umum yang
melarangnya, dan yang dia lakukan bukanlah menghilangkan haid sama sekali, tetapi
hanya mengaturnya saat itu saja, sehingga dia pun tidak dikatakan telah mengubah
ciptaan Allah Ta’ala. Ditambah lagi, tidak ada dampak buruk apa pun bagi
kesehatannya, sehingga tidak pula dikatakan bahwa dia sedang
menciptakan dharar (kerusakan) bagi dirinya. Namun, jika terbukti berpotensi
membawa dharar bagi dirinya, maka tidak boleh melakukannya, walau tidak ada dalil
khusus dan umum yang melarangnya. Sebab, mencegah mudharat lebih diutamakan
dibanding meraih maslahat.
2) Seseorang memakan hewan yang memang sama sekali tidak ada dalil yang
menyatakannya haram. Dan, tidak ada juga korelasi apa pun yang menyebabkannya
masuk dalam kategori hewan yang diharamkan. Hewan itu pun tidak membahayakan
bagi kesehatan, bukan hewan yang dilarang untuk dibunuh, bukan hewan buas
bercakar dan bertaring, bukan hewan yang mengganggu dan menakutkan manusia.
Maka, hewan tersebut tetap halal dikonsumsi walau hewan tersebut secara
penampilan ‘tidak enak’ dilihat. wallahua’lam.
Referensi : https://alhikmah.ac.id/segala-sesuatu-urusan-dunia-dan-muamalah-
adalah-sah-dan-mubah-selama-tidak-ada-dalil-yang-mengharamkan-dan-
membatalkannya/

Anda mungkin juga menyukai