Anda di halaman 1dari 10

Ilmu Ushul

Hukum Asal Ibadah, Haram


Sampai Ada Dalil
 Muhammad Abduh Tuasikal, MSc   • January 29, 2013  6  57,925

 6 minutes read

Sebagian kalangan mengemukakan alasan ketika suatu ibadah yang tidak


ada dalilnya disanggah dengan celotehan, “Kan asalnya boleh kita beribadah,
kenapa dilarang?” Sebenarnya orang yang mengemukakan semacam ini
tidak paham akan kaedah yang digariskan oleh para ulama bahwa hukum
asal suatu amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil. Berbeda
dengan perkara duniawi (seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu
boleh sampai ada dalil yang mengharamkan. Jadi, kedua kaedah ini tidak
boleh dicampuradukkan. Sehingga bagi yang membuat suatu amalan tanpa
tuntunan, bisa kita tanyakan, “Mana dalil yang memerintahkan?”

Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,

‫اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻌﺒﺎدات اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ‬

“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”

Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri –semoga Allah menjaga dan
memberkahi umur beliau- berkata, “(Dengan kaedah di atas) tidak boleh
seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada
dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan.
Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan
maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka
itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang
tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan
pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan
diharamkan.” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal.
90).

Dalil Kaedah

Dalil yang menerangkan kaedah di atas adalah dalil-dalil yang menerangkan


tercelanya perbuatan bid’ah. Bid’ah adalah amalan yang tidak dituntunkan
dalam Islam, yang tidak ada pendukung dalil. Dan bid’ah yang tercela adalah
dalam perkara agama, bukan dalam urusan dunia.

Di antara dalil kaedah adalah firman Allah Ta’ala,

ُ ‫ﻳﻦ َﻣﺎ ﻟَ ْﻢ ﻳَ ﺎ َذ ْن ِﺑ ِﻪ ا‬ َ ُ َ ‫ا ْم ﻟَ ُﻬ ْﻢ ُﺷ َﺮﻛ‬


ِ ‫ﺎء َﺷ َﺮﻋُ ﻮا ﻟ ُﻬ ْﻢ ِﻣ َﻦ اﻟﺪ‬

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang


mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-
Syuraa: 21).

Juga didukung dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َﻣ ْﻦ ا ْﺣﺪَ َث ِﻓﻰ ا ْﻣ ِﺮ َﻧﺎ ﻫ ََﺬا َﻣﺎ ﻟَ ْﻴ َﺲ ِﻣﻨ ُْﻪ َﻓ ُﻬ َﻮ َرد‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak
ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim
no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,

‫ﻼ ﻟَ ْﻴ َﺲ ﻋَ ﻠَ ْﻴ ِﻪ ا ْﻣ ُﺮ َﻧﺎ َﻓ ُﻬ َﻮ َرد‬
ً ‫َﻣ ْﻦ ﻋَ ِﻤ َﻞ ﻋَ َﻤ‬

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Begitu pula dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ﻼﻟَ ٌﺔ‬
َ ‫ﻮر َﻓﺎن ﻛُﻞ ُﻣ ْﺤﺪَ َﺛ ٍﺔ ِﺑﺪْ ﻋَ ٌﺔ َوﻛُﻞ ِﺑﺪْ ﻋَ ٍﺔ َﺿ‬ ِ ‫َواﻳﺎﻛُ ْﻢ َو ُﻣ ْﺤﺪَ َﺛ‬
ِ ‫ﺎت اﻻ ُﻣ‬

“Hati-hatilah dengan perkara baru dalam agama. Karena setiap perkara baru
(dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud
no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no. 46. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa kita baru bisa melaksanakan


suatu ibadah jika ada dalilnya, serta tidak boleh kita merekayasa suatu
ibadah tanpa ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.

Perkataan Ulama

Ulama Syafi’i berkata mengenai kaedah yang kita kaji saat ini,

‫َا ْﻻ ْﺻ َﻞ ِﻓﻲ َا ْﻟ ِﻌ َﺒﺎدَ ِة َاﻟﺘ َﻮﻗﻒ‬

“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil).”


Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu
Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu
Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan
tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil
yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,

‫ان اﻟﺘ ْﻘ ِﺮﻳﺮ ِﻓﻲ ْاﻟ ِﻌ َﺒﺎدَ ة اﻧ َﻤﺎ ﻳُ ْﺆ َﺧﺬ ﻋَ ْﻦ َﺗ ْﻮ ِﻗﻴﻒ‬

“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,

ِ َ‫ﺐ ﻋَ ﻠَﻰ ْاﻟ ِﻌ َﺒﺎد‬


ُ ‫ َو َﻣﺎ َﺧ ُﺬﻫَﺎ اﻟﺘ ْﻮ ِﻗ‬، ُ‫ات اﻟﺘﻌَ ﺒﺪ‬
‫ﻴﻒ‬ َ ‫ِﻻن ْاﻟ َﻐﺎ ِﻟ‬

“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya


adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini disebutkan oleh beliau dalam kitab
Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd
Ibnu Ruslan disebutkan,

‫اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻌﺒﺎدات اﻟﺘﻮﻗﻴﻒ‬

“Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil).”

Ibnu Muflih berkata dalam Al Adabu Asy Syar’iyah,

‫ﻮن َﻣ ْﺸ ُﺮوﻋَ ًﺔ َﻓﺎن‬


َ ُ‫ﻮز ا ْن ﻳُ ﺘ َﺨ َﺬ َﺷ ْﻲ ٌء َﺳ َﺒ ًﺒﺎ إﻻ ا ْن َﺗﻜ‬ َ ‫ان ْاﻻﻋْ َﻤ‬
ُ ‫ﺎل اﻟﺪﻳ ِﻨﻴ َﺔ َﻻ ﻳَ ُﺠ‬
ِ ‫ات َﻣ ْﺒﻨَﺎﻫَﺎ ﻋَ ﻠَﻰ اﻟﺘ ْﻮ ِﻗ‬
‫ﻴﻒ‬ ِ َ‫ْاﻟ ِﻌ َﺒﺎد‬

“Sesungguhnya amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh dijadikan sebagai


sebab kecuali jika telah disyari’atkan karena standar ibadah boleh dilakukan
sampai ada dalil.”

Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di
dalamnya- berkata,

ِ َ‫إن ْاﻻ ْﺻ َﻞ ِﻓﻲ ْاﻟ ِﻌ َﺒﺎد‬


ُ ‫ات اﻟﺘ ْﻮ ِﻗ‬
‫ﻴﻒ‬

“Hukum asal ibadah adalah tauqif (menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil
dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17)

Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah untuk membedakan ibadah dan


non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,

‫ َواﻻ‬. ‫ﻴﻒ َﻓ َﻼ ﻳُ ْﺸ َﺮ ُع ِﻣﻨْﻬَ ﺎ إﻻ َﻣﺎ َﺷ َﺮﻋَ ُﻪ ا ُ َﺗﻌَ ﺎﻟَﻰ‬ ُ ‫ات اﻟﺘ ْﻮ ِﻗ‬ ِ َ‫إن ْاﻻ ْﺻ َﻞ ِﻓﻲ ْاﻟ ِﻌ َﺒﺎد‬
{ ُ ‫ﻳﻦ َﻣﺎ ﻟَ ْﻢ ﻳَ ﺎ َذ ْن ِﺑ ِﻪ ا‬ َ
ِ ‫ﺎء َﺷ َﺮﻋُ ﻮا ﻟ ُﻬ ْﻢ ِﻣ َﻦ اﻟﺪ‬ ُ َ ‫ } ا ْم ﻟَ ُﻬ ْﻢ ُﺷ َﺮﻛ‬: ‫دَ َﺧ ْﻠﻨَﺎ ِﻓﻲ َﻣﻌْ ﻨَﻰ َﻗ ْﻮ ِﻟ ِﻪ‬
‫ات ْاﻻ ْﺻ ُﻞ ِﻓﻴﻬَ ﺎ ْاﻟﻌَ ْﻔ ُﻮ َﻓ َﻼ ﻳَ ْﺤ ُﻈ ُﺮ ِﻣﻨْﻬَ ﺎ إﻻ َﻣﺎ َﺣﺮ َﻣ ُﻪ َواﻻ دَ َﺧ ْﻠﻨَﺎ ِﻓﻲ َﻣﻌْ ﻨَﻰ‬ ُ َ‫ َو ْاﻟﻌَ ﺎد‬.
‫اﻣﺎ َو َﺣ َﻼ ًﻻ { َو ِﻟﻬَ َﺬا‬
ً ‫ } ُﻗ ْﻞ ا َراﻳْ ﺘُ ْﻢ َﻣﺎ ا ْﻧ َﺰ َل ا ُ ﻟَﻜُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ِر ْز ٍق َﻓ َﺠﻌَ ْﻠﺘُ ْﻢ ِﻣﻨ ُْﻪ َﺣ َﺮ‬: ‫َﻗ ْﻮ ِﻟ ِﻪ‬
‫ﻳﻦ َﻣﺎ ﻟَ ْﻢ ﻳَ ﺎ َذ ْن ِﺑ ِﻪ ا ُ َو َﺣﺮ ُﻣﻮا َﻣﺎ ﻟَ ْﻢ‬ ِ ‫ﻳﻦ َﺷ َﺮﻋُ ﻮا ِﻣ ْﻦ اﻟﺪ‬ َ ‫َذم ا ُ ْاﻟ ُﻤ ْﺸ ِﺮ ِﻛ‬
َ ‫ﻴﻦ اﻟ ِﺬ‬
‫ﻳُ َﺤﺮ ْﻣ ُﻪ‬

“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah
tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka
termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat
(non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan
untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk
dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku
tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya
haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah
mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan
oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa,
29: 17).

Contoh Penerapan Kaedah

– Beribadah dengan tepuk tangan dan musik dalam rangka taqorrub pada
Allah seperti yang dilakukan kalangan sufi.

– Perayaan tahun baru Islam dan Maulid Nabi.

– Shalat tasbih karena didukung oleh hadits dho’if[1].

Demikian contoh-contoh yang disampaikan oleh guru kami, Syaikh Sa’ad bin
Nashir Asy Syatsri hafizhohullah dalam Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal.
91.

Tambahan Bid’ah dalam Ibadah

Kadang amalan tanpa tuntunan (alias: bid’ah) adalah hanya sekedar


tambahan dari ibadah yang asli. Apakah tambahan ini membatalkan amalan
yang asli?

Di sini ada dua rincian:

1- Jika tambahan tersebut bersambung (muttashilah) dengan ibadah yang


asli, ketika ini, ibadah asli ikut rusak.

Contoh: Jika seseorang melakukan shalat Zhuhur lima raka’at (dengan


sengaja), maka keseluruhan shalatnya batal. Dalam kondisi ini, tambahan
raka’at tadi bersambung dengan raka’at yang asli (yaitu empat raka’at).
2- Jika tambahan tersembut terpisah (munfashilah). Maka ketika itu, ibadah
asli tidak rusak (batal).

Contoh: Jika seseorang berwudhu’ dan mengusap anggota wudhunya


(dengan sengaja) sebanyak empat kali-empat kali. Kali keempat di situ
dihukumi bid’ah namun tidak merusak usapan tiga kali sebelumnya.
Alasannya, karena usapan pertama sampai ketiga dituntunkan sedangkan
keempat itu tambahan (tidak ada asalnya), sehingga dianggap terpisah.

Lihat keterangan akan hal ini dalam Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil


Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 92 oleh guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy
Syatsri hafizhohullah.

Tidak Tepat!

Tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah ibadah, ada yang berujar,
“Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami
sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalil yang melarang untuk
membuat ibadah tanpa tuntunan,

‫ﻼ ﻟَ ْﻴ َﺲ ﻋَ ﻠَ ْﻴ ِﻪ ا ْﻣ ُﺮ َﻧﺎ َﻓ ُﻬ َﻮ َرد‬
ً ‫َﻣ ْﻦ ﻋَ ِﻤ َﻞ ﻋَ َﻤ‬

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).  Hadits ini sudah jelas
menunjukkan bahwa kita harus berhenti sampai ada dalil, baru kita boleh
melaksanakan suatu ibadah. Jika ada yang membuat suatu ibadah tanpa
dalil, maka kita bisa larang dengan hadits ini dan itu sudah cukup tanpa
mesti menunggu dalil khusus. Karena perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu jaami’ul kalim, maksudnya adalah singkat namun syarat makna.
Jadi dengan kalimat pendek saja sudah bisa menolak berbagai amalan
tanpa tuntunan, tanpa mesti dirinci satu per satu.

Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai


hadits di atas, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah
diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di
mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak
berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup
disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah
itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal
pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’, hal. 72)

Sehingga bagi yang melakukan amalan tanpa tuntunan, malah kita tanya,
“Mana dalil yang memerintahkan untuk melakukan ibadah tersebut?” Jangan
dibalik tanya, “Mana dalil yang mengharamkan?” Jika ia bertanya seperti
pertanyaan kedua, ini jelas tidak paham kaedah yang digariskan oleh Al
Qur’an dan As Sunnah, juga tidak paham perkataan ulama.

Kaedah yang kita kaji saat ini menunjukkan bagaimana Islam betul-betul
menjaga syari’at, tidak dirusak oleh kejahilan dan kebid’ahan.

Hanya Allah yang memberikan petunjuk ke jalan penuh hidayah.

Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang


shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya fajar. Orang tersebut
memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut
meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata, “Hai Abu Muhammad
(panggilan Sa’id Ibnul Musayyib-pen)! Apakah Allah akan menyiksa aku
karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan
menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”

@ Mabna 27, KSU, Riyadh-KSA, 15 Rabi’ul Awwal 1434 H (selepas shalat


Fajar)

www.rumaysho.com

[1] Walaupun tentang penshohihan hadits shalat tasbih, para ulama


berselisih pendapat. Pembahasan shalat tasbih telah dibahas
Rumaysho.com di sini: https://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3130-
meninjau-anjuran-shalat-tasbih.html
#bid'ah #haram #ibadah #kaedah

6 Comments
Huda
March 25, 2016 at 08:51

Assalamulalaikum ustadz. Kalau semacam selawat yg tidak syar’i,


berarti yg tertolak/bid’ah hanya tambahannya saja? Seperti selawat
nariyah, tibbil qulub, selawatnya diterima, tp tambahannya tidak?
Begitukah?

Reply

Muhammad Abduh Tuasikal


March 25, 2016 at 10:12

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh

Shalawat yg dicontohkan tsb tidak pernah diajarkan oleh Nabi.

Muhammad Abduh Tuasikal


February 3, 2016 at 17:03

Jazakumullah khoiron atas ingatannya lagi, kami sudah perbaiki 03


Februari 2016. Semoga Allah berkahi saudara.

Reply

Muhammad Abduh Tuasikal


January 9, 2015 at 16:39

Sy cek lg. Jazakumullah khoiron.

Reply
el fath
July 1, 2014 at 13:18

Ustadz, namun yang menjadi persoalan itu pengertian daripada ibadah


itu. Bahkan tidak sedikit orang yang melingkupkan tradisi dalam
masyarakat, namun menjudgenya dg kaidah ibadah tsb… Tolong
pencerahannya ust…!

Reply

Muhammad Abduh Tuasikal


July 1, 2014 at 13:40

Kalau tradisi cuma tradisi tdk ada ritual ibadah sama sekali, itu tdk
masalah.

Anda mungkin juga menyukai