Anda di halaman 1dari 4

Andi Zulfikar

10070320023
Pemikiran Islam C

Ushul Fiqih Ibadah

Hukum asal ibadah adalah terlarang. Hal ini sesuai dengan perkataan berikut :

‫فال يشرع منها إال ما شرعه هللا و رسوله‬, ‫األصل في العبادة الحظر‬

“Hukum asal dalam ibadah adalah terlarang, maka suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali
ibadah yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya”[1. Al Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, 72].

Menurut Syaikh Muhammad Husain Al Jizani “ hukum mustas-hab (hukum asal) yang
ada pada aktifitas taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah adalah terlarang dan haram,
tertolak dan batil, kecuali ibadah yang datang dalilnya dari syariat dan diizinkan oleh syariat
maka ia tidak terlarang”. Selain itu juga beliau berpendapat “mendekatkan diri kepada Allah
tidak mungkin kecuali dengan apa yang Allah syariatkan. Ini adalah konsekuensi tauhid dan
iman kepada Allah. Yaitu tauhid ittiba’, yang merupakan salah syarat dari amalan agar bisa
disebut amalan shalih. Karena amalan itu tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat: ikhlas
dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan syariat). Maka kaidah ini terkait dengan syarat ke dua yaitu
mutaba’ah. Barang siapa yang mengklaim suatu aktifitas itu adalah ibadah, maka ia dituntut
untuk mendatangkan dalil yang bisa mengesahkan ibadah tersebut, yang berupa nash dari Al
Qur’an dan As Sunnah”[

Dalil Ushul Fiqih Ibadah


1. Dalil-dalil yang menetapkan bahwa menetapkan hukum dan syariat adalah hak Allah
semata. Maka tidak boleh menetapkan suatu ibadah dengan selain dari dalil-dali syar’i.
Syaikh Muhammad bin Nashir As Sa’di mengatakan: “Mengenai kaidah ini Allah
Ta’ala berfirman:
َ ‫ِين َما لَم يَأذَن بِ ِه‬
ُ‫ّللا‬ ُ ‫أَم لَ ُهم‬
ِ ‫ش َركَا ُء ش ََرعُوا لَ ُهم مِ نَ الد‬

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan


untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21)
Dan juga dalil-dalil lain yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah semata
tanpa mempersekutukannya. Dan para ulama bersepakat bahwa yang disebut ibadah
adalah apa yang diwajibkan atau dianjurkan”

2. Dalil-dalil yang memerintahkan untuk mengikuti wahyu, mengamalkan nash dan


berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah. Diantaranya firman Allah Ta’ala:

‫ات َ ِبعُوا َما أُن ِز َل ِإلَي ُكم مِ ن َر ِب ُكم َو َال تَت َ ِبعُوا مِ ن دُونِ ِه أَو ِل َيا َء‬

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya” (QS. Al A’raf: 3).

3. Dalil-dalil yang melarang berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu.. Karena menganggap
suatu amalan sebagai ibadah tanpa ada keterangan dari syariat seolah-olah mengatakan
bahwa Allah menyukai dan memerintahkan amalan tersebut padahal klaim ini tidak
didasari ilmu (dalil). Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫ّللا ال َكذ‬
‫ِب‬ َ َ‫ِب إِ َن الَذِينَ يَفت َُرون‬
ِ َ ‫علَى‬ ِ َ ‫علَى‬
َ ‫ّللا ال َكذ‬ َ ‫ف أَل ِسنَت ُ ُك ُم ال َكذ‬
َ ‫ِب َهذَا َح َالل َو َهذَا َح َرام ِلت َفت َُروا‬ ِ ‫َو َال تَقُولُوا ِل َما ت‬
ُ ‫َص‬
َ‫َال يُف ِل ُحون‬

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung” (QS. An Nahl: 111)

4. Dalil-dalil yang melarang membuat-buat perkara baru dalam agama. Diantaranya


firman Allah Ta’ala:
ِ ‫ضيتُ لَ ُك ُم‬
‫اْلس َال َم ِدينًا‬ َ ُ‫اليَو َم أَك َملتُ لَ ُكم دِينَ ُكم َوأَت َممت‬
ِ ‫علَي ُكم نِع َمتِي َو َر‬

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al
Maidah: 3).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


َ ‫ث فِى أَم ِرنَا َهذَا َما لَي‬
‫س مِ نهُ فَ ُه َو َرد‬ َ َ‫َمن أَحد‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang
tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim
no. 1718).

Penerapan Kaidah Ushul Fiqih Ibadah


1. 1. Nama dan sifat Allah tauqifiyah
Artinya tidak boleh menyematkan nama dan sifat kepada Allah kecuali nama
dan sifat yang terdapat dalilnya. Al Qarafi mengatakan: “Hukum asal menyematkan
suatu nama bagi Allah adalah terlarang kecuali yang terdapat dalil tentang nama
tersebut. Karena untuk berbicara dengan para raja di dunia saja butuh untuk mengetahui
sebutan apa yang diizinkan oleh mereka untuk memanggil diri mereka, akan dipakai
panggilan tersebut ketika sudah diketahui bahwa panggilan tersebut diizinkan. Maka
sikap tersebut lebih layak diterapkan kepada Allah ta’ala. Karena ini adalah kaidah
adab, dan adab kepada Allah itu lebih istimewa” [6. Al Furuq 3/788, dinukil dari
Dirasah wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, 65].

2. Lafadz-lafadz dzikir itu tauqifiyah


Artinya tidak boleh mengamalkan lafadz-lafadz dzikir yang mu’ayan (bukan dzikir
mutlaq) kecuali lafadz-lafadz dzikir yang terdapat dalilnya. Semisal bacaan dzikir-
dzikir dalam shalat, lafadz adzan, lafadz iqamah, doa hendak makan, doa hendak masuk
masjid, doa berbuka puasa, doa bersin, dan sebagainya. Ibnu Hajar mengatakan:
“Lafadz-lafadz dzikir itu tauqifiyah. Ia memiliki kekhususan-kekhususan dan rahasia-
rahasia yang tidak bisa di-qiyas-kan. Maka wajib untuk tetap mengamalkan lafadz-
lafadz dzikir yang warid (ada dalilnya)” [7. Fathul Baari 11/112, dinukil dari Dirasah
wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, 67].

3. Larangan ghuluw (melebihi batas) dalam beragama


Diantara konsekuensi dari kaidah ini adalah dilarangnya ghuluw (berlebihan) dalam
beragama dan perintah untuk tawasuth (pertengahan). Sikap pertengahan adalah yang
sesuai dengan dalil, dan ghuluw adalah yang melebihi apa yang ditunjukkan oleh dalil.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Sikap pertengahan dalam
beragama adalah sikap tidak ghuluw (ekstrem) dalam beragama, yaitu melewati batasan
yang ditetapkan Allah Azza Wa Jalla, namun juga tidak kurang dari batasan yang
ditetapkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bersikap pertengahan dalam beragama yaitu
dengan meneladai jalan hidup Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sedangkan
sikapghuluw, adalah melebihi dari apa yang beliau ajarkan. Dan taqshiir adalah yang
melakukan kurang dari apa yang beliau ajarkan. Contohnya, seseorang mengatakan:
‘Saya ingin shalat malam dan tidak tidur setiap hari, karena shalat adalah ibadah yang
paling utama maka saya ingin sepanjang malam saya dalam keadaan shalat‘. Maka kita
katakan bahwa sikap ini adalah sikap ghuluw dalam beragama dan tidak benar”

4. Tidak membuat-buat tata cara dan metode pelaksanaan suatu ibadah


Diantara penerapan dari kaidah ini adalah dilarangnya membuat-buat tata cara dan
metode baru dalam ibadah dan wajib mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam). Syaikh Sami Asy Shuqair hafizhahullah menjelaskan:
“mengikuti tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam ibadah adalah dengan
menyesuaikan sifat-sifat ibadah tersebut sebagaimana yang diizinkan oleh syariat.
Suatu ibadah tidak teranggap kecuali jika diizinkan oleh syariat dalam enam sifat: (1)
sebab pelaksanaannya (2) jenisnya (3) kadar bilangannya (4) tata caranya (5) waktunya
(6) tempatnya”[9. Syarah Manzhumah Ushul Fiqh wa Qawa’iduh, 47].
Contohnya:

• Mengumandangkan adzan ketika hendak shalat sunnah dhuha. Ini tidak


diperbolehkan karena tidak mengikuti tuntunan syariat dalam hal sebab
pelaksanaannya dan juga waktunya.
• Mengerjakan shalat shubuh sebanyak 3 rakaat. Ini tidak diperbolehkan karena
tidak mengikuti tuntunan syariat dalam hal kadar bilangan raka’at.
• Berqurban di hari Idul Adha dengan ayam. Ini tidak diperbolehkan karena tidak
mengikuti tuntunan syariat dalam hal jenis.
• Berwudhu dengan dimulai dari muka dahulu. Ini tidak diperbolehkan karena
tidak mengikuti tuntunan syariat dalam hal tata cara.

Anda mungkin juga menyukai