Anda di halaman 1dari 3

Sekitar Q. S.

Al-Fatihah
Oleh Dr. Hamidi Ilhami, M.Ag.

a. Tempat dan Waktu Turun Q. S. Al-Fatihah


Menurut Ibnu Abbas, Qatadah dan Abu al-Aliyah Q.S. al-Fatihah termasuk kelompok
Surah-surah Makiyyah (diturunkan sebelum hijrah ke Madinah). Sedangkan Abu Hurairah,
Mujahid, Ata bin Yasar dan al-Zuhri mengatakan bahwa Q.S. al-Fatihah termasuk kelompok
Surah-surah Madaniyah (diturunkan sesudah hijrah ke Madinah). Pendapat lain mengatakan Q.S.
al-Fatihah diturunkan 2 kali, 1 kali di Mekkah dan 1 kali lagi di Madinah. Menurut pendapat
yang paling sahih, Q.S. al-Fatihah diturunkan di Mekkah karena Q.S. al-Fatihah itu wajib dibaca
di dalam Shalat, sedangkan Shalat di fardhukan sebelum hijrah ke Madinah. Jadi jelaslah bahwa
Q.S. al-Fatihah diturunkan di Mekkah. Perbedaan pendapat hanya menyangkut soal basmalah
(bismillahirrahmanirrahim), apakah ia termasuk Q.S. al-Fatihah atau tidak? (Muhammad Nasib
Rifa'i, 1999: 50)
b. Masalah Basmalah dalam Q. S. Al-Fatihah
Para ulama sepakat bahwa Q.S. al-Fatihah terdiri dari 7 ayat. Mereka hanya berbeda
pendapat tentang kedudukan basmalah dalam Q.S. al-Fatihah. Imam Syafi'i dan pengikut beliau
berpendapat bahwa basmalah merupakan bagian dari Q.S. al-Fatihah sebagai ayat pertama.
Alhamdulillahirabbil 'alamin sebagai ayat kedua, al-rahmanir rahim sebagai ayat ketiga, maliki
yaumid din sebagai ayat keempat, iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in sebagai ayat kelima,
ihdinas shiratal mustaqim sebagai ayat keenam, shiratallazina an'amta alaihim gairil magdhubi
alaihim walad dhallin sebagai ayat ketujuh. Sementara itu Imam Malik dan sebagian ulama
Madinah, dan juga al-Auza'i serta Abu 'Amr berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari
Q.S. al-Fatihah. Bagi yang berpegang pada pendapat ini, mereka menyebutkan bahwa iyyaka
na'budu merupakan ayat keempat dan wa iyyaka nasta'in merupakan ayat kelima, ihdinas
shiratal mustaqim merupakan ayat keenam, dan shiratallazina an'amta alaihim gairil magdhubi
alaihim walad dhallin sebagai ayat ketujuh. Ada juga yang berpendapat bahwa iyyaka na'budu
wa iyyaka nasta'in sebagai ayat keempat, ihdinas shiratal mustaqim sebagai ayat kelima,
shiratallazina an'amta alaihim sebagai ayat keenam, dan gairil magdhubi alaihim walad dhallin
sebagai ayat ketujuh. (Mahmud Yunus dan Funuh Dali, 1971: 13-15)
Dalam hal ini, penulis berpegang pada pendapat yang pertama, yaitu menjadikan
basmallah bagian dari Q.S. al-Fatihah sebagai ayat pertama.
c. Nama-nama Lain dari Q. S. Al-Fatihah
Q.S. al-Fatihah mempunyai banyak nama. Nama-nama tersebut ada yang berdasarkan
Hadis dan ada yang hanya berdasarkan ketetapan para Shahabat dan Tabi’in. Nama-nama
tersebut memberikan isyarat tentang fungsi dan tujuan serta makna dari Q.S. al-Fatihah itu
sendiri. Diantara nama-nama Q.S. al-Fatihah yang patut diketahui adalah:
1. Al-Fatihah (pembuka). Dinamakan al-Fatihah sebagai isyarat bahwa Surah ini merupakan
pembuka/awal dari Alqur’an atau sebagai pintu masuk ke dalam Alqu’an, karena letaknya di
permulaan Alqur’an. Dan ini juga mengajarkan kepada manusia agar memulai
aktifitas/kegiatan dengan membaca Surah ini.
2. Ummul Kitab (induk kitab). Dinamakan Ummul Kitab sebagai isyarat bahwa Surah ini
mengandung semua persoalan yang ada dalam Alqur’an, seperti masalah ketuhanan, alam,
Akhirat, ibadah, sejarah/kisah dan lain-lain.
3. Ummul Qur’an (induk Alqur’an). Dinamakan Ummul Qur’an karena Surah ini dianggap
sebagai ringkasan dari seluruh isi Alqur’an.
4. Al-Sab’ul Matsany (tujuh yang berulang-ulang). Dinamakan tujuh, karena Surah ini terdiri
dari 7 ayat, dan dikatakan berulang-ulang karena selalu dibaca dalam shalat. Selain itu ada
pula yang mengartikan Matsany dengan “dua bagian”, karena Surah ini --dalam sebuah
Hadis-- terbagi dua, satu untuk Allah, dan satu lagi untuk manusia. Dan ada juga yang
mengartikan Matsany dengan “sanjungan”, karena setiap ayat dalam Surah ini berisi
sanjungan atau pujian terhadap Allah.
5. Al-Wafiyah (mencakup). Dinamakan al-Wafiyah sebagai isyarat bahwa Surah ini mencakup
seluruh isi Alqur’an.
6. Al-Waqiyah (tameng/perisai). Dinamakan al-Waqiyah karena Surah ini dapat menjaga orang-
orang yang membacanya dari berbagai bahaya dan penyakit, sebagaimana Hadis Rasulullah
yang diriwayatkan oleh al-Dailamy, dari Imran bin Hushaim: “siapa yang membaca al-
Fatihah dan ayat Kursi di rumahnya, maka pada hari itu penyakit/gangguan dari manusia atau
jin tidak dapat menimpanya”.
7. Al-Kanzu (perbendaharaan atau tempat yang penuh dengan barang-barang barharga).
Dinamakan al-Kanzu tentu saja karena Surah ini ibarat barang yang sangat mahal harganya.
8. Al-Kafiah (memadai/lengkap). Dinamakan al-Kafiah karena Surah ini mencakup semua ayat
atau Surah yang ada dalam Alqur’an, tetapi semua ayat atau Surah yang ada dalam Alqur’an
tidak mencakup isi Surah ini.
9. Al-Asas (sendi/dasar). Dinamakan al-Asas karena Surah ini dianggap sebagai dasar dari
Alqur’an, dan Basmallah (ayat pertamanya) dianggap sebagai dasar dari Surah ini.
10. Al-Hamdu (pujian). Dinamakan al-Hamdu sebagai isyarat bahwa Surah ini penuh dengan
pujian kepada Allah.
11. Al-Ruqyah (mantera untuk pengobatan). Dinamakan al-Ruqyah karena dengan membaca
Surah ini dapat menyebuhkan berbagai penyakit.
12. Al-Syifa (obat). Dinamakan al-Syifa sebagai isyarat bahwa Surah ini mengandung obat.
13. Al-Do’a (permohonan) Dinamakan al-Do’a sebagai isyarat bahwa setiap membaca Surah ini
berarti berdo’a. (selengkapnya dapat dibaca pada: Bey Arifin, 1976: 15-18)
d. Mengucapkan Amin setelah selesai membaca Q. S. Al-Fatihah
Menurut sebagian besar ahli Tafsir, setiap ayat dalam Q.S. al-Fatihah mengandung do'a.
Dengan membaca basmallah, berarti memohon agar senantiasa diingat dan diperhatikan Allah.
Dengan membaca hamdallah (alhamdu lillahi rabbil 'alamin), berarti memohon kepada Allah
agar nikmat-Nya terus dilimpahkan. Demikian juga dengan mengucapkan al-rahmanir rahim,
berarti memohon kasih sayang dan kemurahan Allah, maliki yaumiddin, berarti mohon
perlindungan di hari pembalasan, iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, berarti memohon kekuatan
untuk melakukan ibadah kepada-Nya. Lebih-lebih ayat keenam dan ketujuh, jelas sekali aspek
do'a di dalamnya. Jadi Q.S. al-Fatihah dari ayat pertama hingga ayat terakhir mengandung do'a.
Oleh karena itulah ketika malaikat Jibril selesai menyampaikan Q.S. al-Fatihah, menyuruh nabi
Muhammad untuk mengucapkan "amin", sebagaimana sabda nabi Muhammad yang
diriwayatkan oleh Abu Maisarah berikut:
: ‫ ﻓﻘــﺎل‬، "‫ "ﻗــﻞ آﻣــﲔ‬: ‫ ﻓﻠﻤــﺎ ﻗــﺎل "وﻻ اﻟﻀــﺎﻟﲔ" ﻗــﺎل ﻟــﻪ‬، ‫إن ﺟﱪﻳــﻞ أﻗ ـﺮأ اﻟﻨــﱯ ﺻــﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ و ﺳــﻠﻢ ﻓﺎﲢ ـﺔ اﻟﻜﺘــﺎب‬
. "‫"آﻣﲔ‬
Artinya: Bahwasanya malaikat Jibril membacakan Q.S. al-Fatihah kepada nabi Muhammad, lalu
ketika sampai pada bacaan walad dhallin, dia berkata kepada nabi: "ucapkanlah amin", lalu nabi
mengucapkan "amin". (M. Ali al-Shabuni, 1994: 48)
Setelah itu, setiap nabi Muhammad selesai membaca Q.S. al-Fatihah selalu membaca
amin, sebagaimana Hadis nabi Muhammad berikut:
"‫ "ﲰﻌﺖ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺮأ )ﻏﲑ اﳌﻐﻀﻮب ﻏﻠﻴﻬﻢ وﻻ اﻟﻀﺎﻟﲔ( ﻓﻘـﺎل آﻣـﲔ‬: ‫ﻋﻦ واﺋﻞ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻗﺎل‬
(‫)رواﻩ أﲪﺪ و أﺑﻮ داود و اﻟﱰﻣﻴﺬي‬
Artinya: Dari Wail bin Hujr berkata: "Saya mendengar Rasulullah SAW membaca ghairil
magdhubi 'alaihim wa lad dhallin, kemudian beliau mengucapkan amin" (HR. Ahmad, Abu
Daud, dan Tarmizi). (M. Abdul Hakim Malik, 1981: 96)
Dari sini lah, muncul 3 pendapat tentang hukum membaca amin ketika selesai membaca
Q.S. al-Fatihah, yaitu:
1. Menurut jumhur ulama, hukumnya adalah sunat;
2. Menurut ahli dhahir, hukumnya adalah wajib bagi orang yang shalat;
3. Menurut al-Syaukani, kalau dalam shalat berjama'ah, disunatkan bagi imam
mengucapkannya, sedang bagi ma'mum adalah wajib. Adapun bagi orang yang shalat
sendirian, hukumnya sunat. (M. Abdul Hakim Malik, 1981: 98)
Adapun arti kata amin adalah "terimalah dan perkenanlah do'a kami". (Wahbah al-
Zuhaily, 1991: 57). Sedangkan cara mengucapkan kata amin yang benar menurut Fakhrurrazi
dalam bukunya, Tafsir al-Kabir, ada 3 pendapat, yaitu:
1. Dengan memanjangkan "a" dan memendekkan "min", sehingga berbunyi: "aaamin".
2. Dengan memendekkan "a" dan memanjangkan "min", sehingga berbunyi: "amiin".
3. Dengan memanjangkan "a" dan "min", sehingga menjadi "aamiin". Cara yang ketiga inilah
yang lebih baik dan lebih fasih, dan cara yang ketiga inilah yang digunakan oleh hampir
sebagian kaum Muslimin di seluruh dunia. (Bey Arifin, 1976: 307)
Selanjutnya ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam mengucapkan amin; Pertama, tidak
dibenarkan men-tasydid-kan "mim", sehingga berbunyi aammiin, karena artinya bukan
"terimalah dan perkenanlah do'a kami", tetapi artinya adalah orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Maidah ayat 2; Kedua, dibolehkan
mengucapkannya dengan suara yang nyaring, ketika membaca Q. S. al-Fatihah dengan suara
yang nyaring pula. Sedangkan apabila membaca Q.S. al-Fatihah dengan suara sirr (seperti
berbisik), maka pengucapan amin pun harus dengan sirr (seperti berbisik) juga. Perhatikanlah
Hadis Rasullullah berikut:
‫ ﺣـﱴ ﻳﺴـﻤﻊ ﻣـﻦ ﻳﻠﻴـﻪ‬، ‫ ﻗـﺎل آﻣـﲔ‬، (‫ﻛﺎن رﺳﻮل ﷲ ﺻـﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴـﻪ و ﺳـﻠﻢ إذا ﺗـﻼ )ﻏـﲑ اﳌﻐﻀـﻮب ﻏﻠـﻴﻬﻢ وﻻ اﻟﻀـﺎﻟﲔ‬
(‫ ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة‬، ‫ )رواﻩ أﺑﻮ داود و اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬. ‫ﻣﻦ اﻟﺼﻒ اﻷول‬
Artinya: Ketika Rasulullah SAW selesai membaca (ghairil magdhubi ‘alaihim wa ladhdhallin),
beliau mengucapkan amin hingga terdengar oleh orang yang berada pada baris pertama.
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Anda mungkin juga menyukai