Anda di halaman 1dari 3

KEDUDUKAN HADITS MENGADZANI BAYI SETELAH LAHIR

Hadits mengadzani bayi setelah lahir memiliki 3 jalur periwayatan utama.


Riwayat jalur pertama:
ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ َّذنَ فِي ُأ ُذ ِن ْال َح َس ِن ْب ِن َعلِ ٍّي ِحينَ َولَ َد ْته‬ ُ ‫ال َرَأي‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬ َ َ‫د هَّللا ِ ب ِْن َأبِي َرافِ ٍع ع َْن َأبِي ِه ق‬Bِ ‫ع َْن ُعبَ ْي‬
َّ ‫اط َمةُ بِال‬
‫صاَل ِة‬ ِ َ‫ف‬
Dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya beliau berkata: Saya melihat Rasulullah
shollallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali ketika dilahirkan Fathimah,
dengan (adzan) sholat (H.R Ahmad, atTirmidzi, dan lainnya).
Jalur riwayat ini memiliki perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah. Dia adalah perawi yang
lemah menurut para Ulama. Abu Zur’ah dan Abu Hatim menyatakan dia adalah munkarul
hadits. Sufyan bin Uyainah menyatakan: para syaikh menghindari hadits dari ‘Ashim bin
Ubaidillah. Namun, Syu’bah bin al-Hajjaj meriwayatkan hadits darinya. Syu’bah bin al-
Hajjaj dikenal sebagai seorang yang sangat selektif dalam mengambil periwayatan hadits. Al-
Imam Malik heran dengan sikap Syu’bah bin al-Hajjaj yang mengambil periwayatan dari
‘Ashim bin Ubaidillah padahal dia adalah perawi yang lemah. Ibnu Hibban menyatakan
bahwa ia lemah karena lemahnya hafalannya sehingga banyak salah. Ibnu ‘Adi menyatakan
bahwa ia meski lemah, namun haditsnya ditulis (untuk dicari jalur penguat lainnya, pent).
Al-‘Ijliy menyatakan bahwa ia tidak mengapa. Dimaklumi bahwa al-‘Ijliy termasuk Ulama
yang bermudah-mudahan dalam penilaian terhadap perawi.
Riwayat jalur kedua:
ُ‫ض َّره‬ُ َ‫ َم ْن ُولِ َد لَهُ َولَ ٌد فََأ َّذنَ فِي ُأ ُذنِ ِه ْاليُ ْمنَى َوَأقَا َم فِي ُأ ُذنِ ِه ْاليُ ْس َرى لَ ْم ت‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ َ‫ ق‬: ‫ع َْن ُح َسي ٍْن قَا َل‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬
ِ َ‫ُأ ُّم الصِّ ْبي‬
‫ان‬
Dari Husain beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa
yang dilahirkan untuknya seorang anak, kemudian dia mengadzani di telinga kanan dan
iqomat di telinga kiri, maka tidak akan memudhorotkannya Ummus Shibyaan (Jin yang
mengikutinya atau hembusan angin)(H.R Abu Ya’la)
Di dalam sanad riwayat ini terdapat perawi yang bernama Marwan bin Salim al-Ghiffary
yang dinyatakan matruk (ditinggalkan) oleh al-Haytsamiy dalam Majmauz Zawaaid. Ibnu
Abi Hatim pernah bertanya kepada ayahnya, Abu Hatim tentang Marwan bin Salim al-
Ghiffariy ini. Abu Hatim menyatakan: munkarul hadits jiddan, dhaiful hadits. Maka Ibnu Abi
Hatim bertanya: Apakah haditsnya ditinggalkan? Abu Hatim menyatakan : Tidak. Tapi
haditsnya ditulis (sebagai pertimbangan jika ada jalur penguat lain, pent)(al-Jarh wat Ta’diil
(8/275)).
Riwayat jalur ketiga:
‫ َأ َّذنَ فِي ُأ ُذ ِن ْال َح َس ِن ْب ِن َعلِ ٍّي يَوْ َم ُولِ َد فََأ َّذنَ فِي ُأ ُذنِ ِه ْاليُ ْمنَى َوَأقَا َم فِي ُأ ُذنِ ِه‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َّ ِ‫ َأ َّن النَّب‬: ‫س‬
َ ‫ي‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
‫ْاليُس َْرى‬
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali
pada hari kelahirannya. Beliau adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri (H.R al-
Baihaqiy dalam Syuabul Iman dan beliau menyatakan bahwa sanad hadits ini lemah)
Jalur periwayatan ini memiliki perawi yang bernama Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy.
Ibnu Hibban menyatakannya sebagai pemalsu hadits. Demikian juga Abu Dawud
mengkategorikannya sebagai pendusta. Sedangkan Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa
dulunya Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy adalah dikenal baik dan haditsnya baik.
Tidaklah didapati ada cela darinya kecuali karena ia bersahabat dengan Sulaiman asy-
Syaadzakuuniy (Tahdziibut Tahdziib karya al-Hafidz Ibn Hajar (9/476)). Sedangkan
Sulaiman asy-Syaadzakuuniy dikenal sebagai pendusta.
Ketiga jalur periwayatan di atas masing-masingnya lemah. Namun yang menjadi perbedaan
pendapat para Ulama adalah : bisakah ketiga jalur itu saling menguatkan sehingga paling
tidak sampai derajat hasan? Syaikh al-Albaniy awalnya menghasankan hadits itu dalam
Sunan atTirmidzi, namun setelah beliau mengkaji ulang beliau menilai bahwa riwayat Abu
Rofi’ (jalur riwayat pertama) tidak bisa dikuatkan dengan jalur lain karena perawi-perawi
yang pendusta. Beliau kemudian melemahkannya dalam Silsilah ad-Dhaifah. Syaikh Abdul
Muhsin al-Abbad sepertinya cenderung pada pendapat Syaikh al-Albany yang terakhir ini
dalam syarh Sunan Abi Dawud.
Sedangkan sebagian Ulama’ menyatakan bahwa adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir
bisa diamalkan. Jalur – jalur periwayatan yang ada bisa menguatkan.
Ulama yang berpendapat demikian di antaranya: atTirmidzi, al-Hakim, anNawawiy, Ibnu
Qudamah, Ibnul Qoyyim, al-Mubarokfuriy penulis Tuhfatul Ahwadzi, asy-Syaukaaniy dalam
Tuhfatudz Dzaakiriin, Syaikh Muhammad bin Ibrohim (mufti Saudi terdahulu), Syaikh
Abdullah bin Abdil Aziz bin ‘Aqiil, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh
Abdul Aziz arRaajihiy.
Sepertinya pendapat para Ulama ini adalah pendapat yang rajih, karena memang jalur-jalur
periwayatan tersebut bisa menguatkan. Jalur riwayat pertama lemah, karena adanya perawi
yg lemah hafalannya. Namun diharapkan bisa dikuatkan dgn jalur riwayat kedua. Perawi
Marwan bin Saalim al-Ghiffariy masuk kategori perawi yg bisa ditulis haditsnya sambil
dicari jalur penguat lain, menurut Abu Hatim. Sedangkan jalur periwayatan yg ketiga jika
kita membaca penjelasan al-Hafidz Ibn Hajar dlm Tahdziibut Tahdziib, maka bisa jadi kita
akan berkesimpulan bahwa al-Kudaimiy bukanlah pendusta secara mutlak.
Belum lagi jika kita melihat adanya riwayat perbuatan seorang Tabi’i yg mulya yaitu Umar
bin Abdil Aziz dalam riwayat Abdurrozzaq.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam salah satu fatwanya berpendapat bahwa
adzan di telinga bayi adalah sunnah, sedangkan iqomat tidak. Beliau menyatakan:
‫األذان عند والدة المولود سنة وأما اإلقامة فحديثها ضعيف فليست بسنة ولكن هذا األذان يكون أول ما يسمع المولود وأما‬
‫إذا فات وقت الوالدة فهي سنة فات محلها فال تقضى‬
Adzan ketika kelahiran anak adalah sunnah sedangkan iqomat haditsnya lemah, bukan
sunnah. Akan tetapi adzan ini adalah pertama kali yang didengar oleh anak yang dilahirkan.
Adapun jika terlewat waktu kelahirannya, sunnah tersebut tidaklah diqodho’ (diganti di
waktu lain) (Fataawa Nuurun Alad Darb (228/9)).
Wallaahu A’lam.
(Sumber: http://salafy.or.id/blog/2015/01/21/kedudukan-hadits-mengadzani-bayi-setelah-
lahir/ || Penulis: Al Ustadz Abu Utsman Kharisman)

Anda mungkin juga menyukai