Anda di halaman 1dari 6

Arbitrase (Tahkim) antara Muawiyah dan

Ali bin Abu Thalib


Sekitar 6 bulan paska Perang Shiffin (yang berlangsung sekitar bulan Muharram-Safar tahun 37
H, bertepatan Mei – Juli  657M), delegasi Ali bin Abu Thalib dan delegasi Muawiyah bin Abu
Sofyan akhirnya sepakat bertemu di Kota Dumatul-Jandal, yang secara geografis terletak antara
Madinah dan Damaskus (dan kini masuk wilayah Arab Saudi).

Menurut beberapa sumber, pertemuan ini digagas Amr bin Ash dari kubu Muawiyah, setelah
pasukan Muawiyah terpojok dalam pertempuran Shiffin, yang berlangsung di wilayah Raqqa
(kini masuk wilayah Suriah).

Delegasi Ali bin Abu Thalib berjumlah 400 orang dipimpin Abu Musa Al-Asy’ari, dan sebagian
di antaranya para sahabat Nabi.

Delegasi Muawiyah juga berjumlah 400 orang dipimpin Amru bin Ash, sebagian di antaranya
juga dari para sahabat Nabi.

Sebelum puncak pertemuan itu, terjadi dialog antara Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin Ash.

Abu Musa Al-Asy’ari sempat menawarkan untuk mengangkat Abdullah bin Umar. Tapi Amru
bin Ash menjawab dengan pertanyaan: “Kenapa bukan anak saya saja, yang Anda
mengenalnya?”

Abu Musa Al-Asy’ari: “Dia (putra Amru bin Ash) adalah orang jujur, tapi Anda sudah
mencocokinya dan merusaknya dengan fitnah”.

Amru bin Ash: “kekhalifaan ini hanya untuk lelaki yang memiliki geraham untuk makan (kuat),
dan dia (Abdullah bin Umar) memiliki cacat”.

Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Wahai Amru bin Ash, bangsa Arab mengandalkan Anda setelah
terjadi pertempuran dengan pedang, dan janganlah Anda mendorong umat untuk kembali ke
fitnah/pertempuran”.

Amru bin Ash: “Lantas bagaimana pendapat Anda, wahai Abu Musa Al-Asy’ari?”

Abu Musa Al-Asy’ari menjawab, “Saya berpendapat bahwa kita berdua (lebih dulu harus)
mencopot dua khalifah itu (Ali Abu Thalib dan Muawiyah) dari jabatan khalifah, kemudian kita
serahkan kepada umat untuk memilih khalifah yang mereka yang inginkan”.

Amru bin Ash mengatakan: “Saya setuju dengan pandangan/usulah Anda”.

Lalu keduanya berjalan ke tengah para hadirin, yang sedang menunggu hasil perundingan
(Tahkim). Dan Amru bin Ash sudah sejak awal meminta dan mendorong Abu Musa Al-Asy’ari
untuk berbicara lebih dulu di depan hadirin, dengan alasan lebih dulu masuk Islam dan faktor
usia yang lebih tua, dan berkata “Wahai Abu Musa, silahkan memberitahu kepada hadirin
tentang kesepakatan kita”.

Lalu Abu Musa mengumumkan, “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdoa
semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”.
Saat itu, Ibnu Abbas dari kubu Ali bin Abu Thalib, mencoba menasehati Abu Musa Al-Asy’ari
dengan mengatakan, “Amru bin Ash telah menipumu, jangan mau bicara duluan di depan
hadirin. Biarkan Amru bin Ash yang bicara duluan!” Namun Abu Musa Al-Asy’ari menolak
permintaan Ibnu Abbas.

Lalu di depan hadirin dari dua kubu yang berjumlah sekitar 800 orang, Abu Musa Al-Asy’ari
mengumumkan, “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai
kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dulu akan
mencopot Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, menyerahkan
kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya nyatakan telah
mencopot Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah”.

Dan seperti yang diduga Ibnu Abbas, begitu tiba giliran Amru Ash berbicara, di depan semua
hadirin, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot
Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa
Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah adalah
khalifah, pemimpin umat. Muawiyah adalah pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih
berhak menggantikannya”.

Mendengar pernyataan Amru bin Ash tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa Al-
Asy’ari, yang menjawab “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, Amru bin
Ash telah menipuku", dan kemudian mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai Amru bin Ash,
celaka kamu, kamu telah menipu dan berbuat jahat”.

Dua orang dari kubu Ali bin Thalib, yaitu Syarih dan Ibnu Umar sempat memukul Amru bin Ash
dengan pedang, tapi kemudian dilerai oleh para hadirin.

Dan bisa dibayangkan bagaimana kacaunya dan gaduhnya pertemuan Tahkim tersebut. Seluruh
jajaran kubu Ali bin Abu Thalib tentu akan kecewa. Sebaliknya, kubu Muawiyah akan senang
bersuka ria.

Setelah kejadian aneh dan kacau itu, Abu Musa Al-Asy’ari meninggalkan kota Dumatul-Jandal
menuju Makkah. Sementara Amru bin Ash dan anggota delegasinya meninggalkan Dumatul-
Jandal untuk menemui dan memberitahu Muawiyah tentang hasil pertemuan Tahkim dan
sekaligus mengucapkan selamat kepada Muawiyah sebagai khalifah. Dan inilah awal kekuasaan
Dinasti Umawiyah di Damaskus.

Sementara Ibnu Abbas dan Syarih menemui Ali bin Abu Thalib untuk memberitahu hasil
pertemuan Tahkim. Dan sejak itu, setiap menunaikan shalat subuh, Ali bin Abu Thalib
melakukan qunut dengan doa yang berbunyi: “Ya Allah, jatuhkan laknat-Mu kepada Muawiyah,
Amru bin Ash, Habib, Abdurrahman bin Mukhlad, Ad-Dhahhak bin Qayyis, Al-Walid, dan Abu
Al-A’war”.

Setelah mendengar kabar tentang doa qunut Ali bin Abu Thalib, akhirnya Muawiyah juga
melakukan qunut dengan doa yang berbunyi “Ya Allah, jatuhkan laknat-Mu kepada Ali bin Abu
Thalib, Ibnu Abbas, Hasan, Husain, dan Asytar”.
Catatan:

Pertama, peristiwa Tahkim di kota Dumatul-Jandal antara Amru bin Ash dari kubu Muawiyah
dengan Abu Musa Al-Asy’ari dari kubu Ali bin Abu Thalib, adalah sebuah peristiwa politik. Dan
Amru bin Ash telah memanfaatkan momentum Tahkim untuk merebut kekuasaan (kekhalifaan)
dari Ali bin Abu Thalib, dengan cara dan gaya seorang politisi yang genuine.

Kedua, pernyataan Amru bin Ash yang berbunyi – sekali lagi – “Kalian telah mendengarkan
sendiri, Abu Musa Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut
mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini
juga, saya nyatakan bahwa Muawiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Muawiyah adalah
pelanjut kekuasaan Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya” adalah pernyataaan,
yang dalam kajian-kajian sejarah Islam, sebagai awal dari ungkapan yang melekat pada diri
Muawiyah, yaitu “sya’ratu Muawiyah” (???????? ??????????) yang secara bahasa bermakna
“rambut halus Muawiayah”, dan secara terminologi bermakna kelicikan dan tipu daya
Muawiyah.

Ketiga, peristiwa Tahkim juga mengubur ambisi Ali bin Abu Thalib dan keturunannya dari Bani
Hasyim untuk berkuasa, yang berlangsung selama berabad-abad. Dan peristiwa ini juga semakin
mengkristalkan bibit-bibit sebuah gerakan dan aliran keagamaan yang kemudian kita kenal
dengan nama Syiah. Karena itu, sulit menemukan pujian dalam buku-buku karya ulama Syiah
ketika membahas tentang Muawiyah dan para pendukungnya. Apalagi setelah Yazid bin
Muawiyah (putra Muawiyah) berkuasa setelah ayahnya, dan melancarkan operasi pembunuhan
terhadap para pendukung Ali bin Abu Thalib.

Keempat, ketika muncul gagasan Tahkim (arbitrase atau perundingan damai) dari kubu
Muawiyah: yang ditandai dengan menancapkan Quran di ujung tombak, sebenarnya telah
muncul kelompok dari kubu Ali bin Abu Thalib yang menolaknya sejak awal. Dan begitu
Tahkim berakhir dengan tragis bagi kubu Ali bin Abu Thalib, kelompok penolak Tahkim ini
kemudian memisahkan diri Ali bin Abu Thalib, dan mereka inilah yang dalam sejarah Islam
dikenal sebagai kelompok Khawarij (secara bahasa bermakna keluar atau menyempal dari Ali
bin Abu Thalib).

Kelima, bagi sebagian besar kalangan Sunni, peristiwa Tahkim memang akhirnya menjadi
sebuah dilema etis, sebelum menjadi dilema hukum fikhi. Sebab agak sulit menciptakan
“kombinasi yang ideal” antara tipu-tipu dan kelicikan Amru bin Ash yang merupakan sahabat
Nabi, dengan hadits Nabi yang menegaskan “Jangan mencaci maki sahabat-sahabatku!”.

Keenam, peristiwa Tahkim – mau tidak mau – akhirnya menjadi peristiwa yang amat
kontroversial, bukan hanya antara kubu Syiah dan Sunni, tapi juga di kalangan Sunni sendiri.
Dan jarang sekali buku yang mengulasnya secara detail. Buku “Sejarah Ibnu Khaldun”
merupakan salah satu sumber Sunni, yang cukup detail mengulas proses terjadinya Tahkim. Dan
ini sejalan dengan posisi Ibnu Khaldun sebagai peletak dasar-dasar ilmu sosiologi Islam.

Ketujuh, sekali lagi, saya ingin menegaskan catatan pertama di atas bahwa Tahkim dengan
segala kontroversi dan konsekuensinya adalah sebuah peristiwa politik secara par excellence.
Karena itu, ketika peristiwa Tahkim coba dianalisis dengan menggunakan teks-teks hukum
keagamaan, memang akhirnya berujung pada kesan dipaksa-paksakan.

Syarifuddin Abdullah | Senin, 24 April 2017 / 27 Rajab 1438H.

Sumber tulisan: disadur dan disari dari buku “Sejarah Ibnu Khaldun
(????????? ????? ?????????)”, karya Ibnu Khaldun, yang juga penulis buku  “Al-Muqaddimah”
(????????????).

Anda mungkin juga menyukai