A. Pendahuluan
Hadis sebagai sumber agama yang kedua setelah Alquran tidak hanya ramai
dikaji di negara-negara Islam di Timur Tengah. Di Indonesia, kajian terhadap hadis
juga cukup berkembang. Pada awal kemunculannya, kajian hadis di Indonesia
memiliki pola pengajaran yang cukup klasik. Pengkajian dengan model
pengajianpengajian seperti di pesantren marak di masyarakat. Biasanya seorang
ulama membacakan beberapa matan hadis dan terjemahnya dari sebuah sumber kitab
hadis yang umumnya berbahasa Arab. Setelah itu, ulama tersebut menguraikan
maksud dan penjelasan hadis tersebut serta aplikasinya di masyarakat. Pengkajian
hadis dengan pola ini berjalan cukup lama.
Seiring dengan perkembangan zaman, masalah yang terjadi di masyarakat
semakin berkembang. Para ulama pembaharu memandang bahwa pengkajian
terhadap sumber agama mesti diperbaharui pula. Masyarakat tidak hanya mesti
mengetahui matan hadis, namun juga mesti mempelajari dasar-dasar ilmu hadis.
Ilmu dasar tersebut diharapkan menjadi pijakan masyarakat dalam menentukan
pendapat mana yang mesti dipilih. Selain itu, masyarakat jug mesti diberikan
hadishadis yang berasal dari sumber-sumber yang valid sehingga mereka tidak keliru
dalam mengambil dalil. Dalam konteks Indonesia ada seorang tokoh yang
memberikan kontribusi besar dalam pembaharuan pengkajian hadis yakni Tengku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana kontribusi Hasbi dalam bidang kajian
hadis di Indonesia, penulis menelaah beberapa karya beliau di bidang hadis.
Karyakarya tersebut menjadi kontribusi fisik beliau terhadap kajian hadis. Karena itu,
pada makalah ini akan diuraikan beberapa hal. Pertama, biografi dan karir intelektual
Hasbi sebagai gambaran perjalanan kehidupan beliau. Kedua, latar belakang serta
deskripsi beberapa karyanya di bidang hadis. Ketiga, kontribusi beliau terhadap
kajian hadis Indonesia.
2
1
B. Biografi dan Karir Intelektual
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada
10 Maret 1904 di tengah-tengah keluarga ulama-pejabat. Ibunya, Tengku Amrah,
adalah putri Tengku Abdul, pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi.
Sementara ayahnya, Tengku Muhammad Husein bin Muhammad Su’ud, menduduki
jabatan Qadhi Chik setelah mertuanya wafat, adalah anggota rumpun Tengku Chik di
Simeuluk Samalanga.1 Jika ditelusuri nasab leluhurnya dalam dirinya ada campuran
darah Aceh-Arab. Bahkan, secara silsilah, nasabnya bersambung dengan Abu Bakar
Ash-Shiddiq pada tngkatan ke-37. Karena itu, di belakang namanya ditambahkan
dengan Ash-Shiddieqy lantaran menisbahkan pada nama Abu Bakar Ash-Shiddiq.2
Hasbi tumbuh dan berkembang di lingkungan pejabat negeri (ulama, pendidik,
dan pejuang). Meskipun dilahirkan ketika ayahnya menduduki posisi Qadhi Chik,
namun masa kecilnya juga menanggung penderitaan seperti juga derita yang dialami
masyarakat kala itu. Selain faktor pendidikan, bawaan dari leluhur dan orang
tuanyalah yang ikut membentuk pribadi Hasbi menajdi seorang yang keras hati,
disiplin, pekerja keras, dan cenderung membebaskan diri dari kungkungan tradisi
serta tidak mau terikat pada suatu pendapat lingkungannya. Penderitaannya semakin
bertambah kala di usia 6 tahun, yakni pada 1910, ibunya meninggal dunia. Setelah
itu, ia diasuh oleh Tengku Syamsiah yang akrab dipanggil Tengku Syam, saudara
lelaki ibunya yang tidak dikaruniai anak hingga beliau wafat tahun 1912.3
Sepeninggal Tengku Syam, Hasbi tidak kembali ke rumah ayahnya yang telah
kawin lagi. Ia berjumpa dengan ayahnya hanya pada waktu belajar atau
mendengarkan fatwanya dalam menyelesaikan perkara. Ia memilih tinggal di rumah
kakaknya, Tengku Maneh, bahkan sering tidur di meunasah (langgar), sampai
kemudian ia pergi meudagang (nyantri) dari satu dayah (semacam pondok pesantren)
ke dayah lainnya.4 Setelah menuntut ilmu di berbagai dayah, tahun 1920 Hasbi
memperoleh syahadah dari Tengku Chik Hasan Kreungkale sebagai pernyataan
bahwa ilmunya telah cukup dan membuka dayah sendiri. Meskipun telah mendapat
izin, namun Hasbi belum merasa puas menuntut ilmu.5
Sepulang dari Kreungkale, Hasbi berjumpa dengan Syaikh Muhammad ibn
Salim al-Kalali yang dengannya Hasbi sering mendiskusikan konsep dan tujuan
pembaruan pemikiran Islam. Atas usul Syaikh al-Kalali, pada tahun 1926 Hasbi
belajar di perguruan al-Irsyad6, Surabaya, pada jenjang takhashush selama 1,5 tahun.
Perguruan ini adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh Hasbi. Ia tidak
pernah belajar ke luar negeri. Ia mengembangkan dan memperkaya dirinya dengan
ilmu melalui belajar sendiri, membaca buku-buku berbahasa Arab, Latin, hingga
Belanda. Berkat minat belajar dan membacanya yang besar, Hasbi telah melahirkan
lebih dari seratus judul buku dan ratusan artikel. 7 Ia juga memperoleh dua gelar
Doktor Honoris Causa, satu dari Univesitas Islam Bandung/UNISBA (1975) dan
satu dari UIN Sunan Kalijaga (1975) dan menduduki berbagai jabatan akademik di
beberapa perguruan tinggi.8
Hasbi menikah pada usia 19 tahun dengan Siti Khadidjah. Pernikahannya tidak
berlangsung lama karena istrinya wafat ketika melahirkan anaknya yang pertama.
Kemudian Hasbi menikah dengan Tengku Nyak Asiyah binti Tengku Haji Hanum,
saudara sepupunya. Dari perkawinan yang berlangsung hingga akhir hayatnya ini
lahir empat anak, dua perempuan dan dua laki-laki.9 Beliau wafat di Rumah Sakit
Islam Jakarta sebelum menunaikan ibadah haji, pada hari Selasa, 9 Desember 1975.10
Beliau memiliki puluhan karya tulis baik berupa buku maupun tulisannya yang
tersebar dalam bentuk artikel dan di jurnal. Karya beliau berupa buku berjumlah 72
judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fikih (36 judul).
5 Ibid., hlm. 14.
6 Syaikh al-Kalali adalah salah seorang kelompok kaum Pembaru pemikiran Islam di Indonesia
yang saat itu bermukim di Lhokseumawe. Pertemuan Hasbi dengannya memberikan pengaruh cukup
besar pada pemikiran pembaharuannya di masa-masa berikutnya. Melalui Syaikh al-Kalali ia
mendapat kesempatan membaca kitab-kitab yang ditulis pelopor kaum pembaru pemikiran Islam dan
majalah dari luar yang menyuarakan suara pembaruan. Atas usulnya pula Hasbi belajar di perguruan
al-Irsyad yang diasuh oleh Pergerakan al-Irsyad wal Ishlah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad
asSurkati.
7 Ibid., hlm. 15-16.
8 Karir akademik Hasbi dimulai dari staf pengajar sekolah persiapan PTAIN dengan mengampu
mata kuliah hadis hingga menjadi direkturnya. Tahun 1960, ia dipromosikan sebagai guru besar
dengan pidato pengukuhan berjudul Syariat Islam Menjawab Tantangan Jaman. Tahun 1962-1966, ia
menjabat sebagai Dekan Fakultas Syariah di UIN Sunan Kalijaga sekaligus sebagai Pembantu Rektor
III. Selain itu, Hasbi juga menduduki jabatan structural di berbagai PT Swasta seperti Rektor
Universitas Al-Irsyad, Surakarta, Rektor Universitas Cokroaminoto, pengajar di UII Yogyakarta, dan
pengajar sekaligus Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung (UNISULA), Semarang.
Lihat Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, … hlm. 204-205.
9 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, … hlm. 10.
10 Ibid., hlm. 60.
4
Bidangbidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5
judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Berikut ini
beberapa karya beliau dalam bidang Hadis:11
1. Beberapa Rangkuman Hadis, Bandung: al-Ma’arif, 1952.
2. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1954.
3. 2002 Mutiara Hadis, 8 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1954-1980.
4. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, 2 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1958.
5. Problematika Hadits Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1964. (Berasal dari Orasi Ilmiah yang diucapkan pada Dies Ntalis IAIN
Yogyakarta, tanggal 4 Des 1962)
6. Koleksi Hadis-Hadis Hukum, ahkamun nabawiyah, 11 Jilid, Bandung: al-
Ma’arif, 1970-1976.
7. Ridjalul Hadits, Yogyakarta: Matahari masa, 1970.
8. Sejarah Perkembangan Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
C. Latar Belakang Penulisan Karya Bidang Hadis
Secara umum karya beliau dalam bidang hadis dapat kita petakan pada dua
kategori yakni bidang ulumul hadis dan bidang kajian hadis. Bidang ulumul hadis
yakni karya beliau yang memuat tentang ilmu-ilmu dasat terkait hadis, misalnya
buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis dan Pokok-Pokok Ilmu Dirayah. Sementara,
bidang kajian hadis yang himpunan hadis-hadis yang beliau rujuk dari kitab-kitab
terkenal kemudian diberikan penjelasan maupun dengan mengutip pendapat para
ulama. Misalnya buku 2002 Mutiara Hadis dan Koleksi Hadis Hukum.. Berikut ini
beberapa alasan yang melatarbelakangi disusunnya karya hadis oleh Hasbi12:
1. Bidang Ulumul Hadis a. Pentingnya kajian tentang pengantar ilmu hadis
Menurut beliau, kajian tentang pengantar dan ilmu-ilmu dasar terkait hadis
merupakan kajian yang penting sebelum mengkaji hadis secara mendalam (baik
kajian tentang makna kata, susunan kalimat, petunjuk, dan hikmah hadis).
Pengantar itu meliputi sejarah pertumbuhan dan perkembangan serta ilmu-ilmu
dasar yang menjadi pedoman dalam menghadapi hadis.
Khusus kajian terhadap ilmu dirayah hadits, beliau menyebut bahwa
kedudukan ilmu ini bagi ilmu riwayah hadis seperti kedudukan ilmu ushul fiqh
terhadap ilmu fiqh atau ilmu bahasa Arab terhadap ilmu balaghah. Karena itu
11 Ibid., hlm. 266-268.
12 Berbagai latar belakang ini merupakan hasil kajian penulis setelah membaca pengantar di
setiap karya hadis beliau serta situasi dan kondisi di masa hidup beliau.
5
ilmu dirayah hadits disebut juga ilmu ushul al-hadits. Bagaimana mungkin kita
dapat mengkaji secara rinci jika hal-hal yang ushul (pokok/dasar) belum
dikuasai. Baginya, ilmu dirayah hadits sebagai mizan (neraca) yang harus
dipergunakan untuk menghadapi ilmu hadis riwayah termasuk menjadi bahan
untuk memahami matan dan syarah hadis.13
b. Memasyarakatkan kajian ulumul hadis
Pada masa itu, kajian tentang ulumul hadis memang sedang masa
pertumbuhan, setelah sekian lama tidak menjadi perhatian. Saat itu,
kecenderungan pola pengkajian hadis adalah pengkajian terhadap matan hadis,
pengertian dan penjelasan yang langsung bisa diaplikasikan oleh masyarakat.
Kajian terhadap ulumul hadis dianggap tidak terlalu penting dan tidak aplikatif.
Karena itu, dengan dilahirkannya karya ulumul hadis berbahasa Indonesia,
diharapkan kajian ini tidak menjadi asing lagi bagi masyarakat Islam.
c. Agar dapat menjadi bahan kajian di Perguruan Tinggi Islam
Pandangan tentang ulumul hadis yang tidak penting ternyata tidak hanya
terjadi di masyarakat, namun juga menjadi paradigrma di dunia perguruan tinggi
Islam yang saat itu memang sedang tahap merintis. Sebagian dosen berpendapat
bahwa mahasiswa cukup dimodali dengan sejumlah matan disertai terjemah dan
penjelasan singkat hadis. Karena itu, Hasbi merasa perlu untuk menerbitkan
karya di bidang ulumul hadis, bukan hanya ditujukan untuk masyarakat secara
umum, tapi khususnya ditujukan untuk dunia akademis di perguruan tinggi
Islam. Karya di bidang ini pada awalnya merupakan bahan perkuliahan mata
kuliah hadis yang diberikan pada mahasiswa PTAIN Yogyakarta tahun
1952/1953.
2. Bidang Kajian Hadis a. Perlunya himpunan hadis dari kitab mu’tabar
Umat Islam memerlukan suatu karya berupa himpunan hadis yang berasal
dari kitab-kitab yang kualitasnya sudah diakui baik itu kitab hadis maupun kitab
fikih. Pun jika tidak, maka umat harus mengetahui kualitas hadis yang menjadi
rujukan minimal melalui pendapat para ulama terdahulu. Hal ini agar umat tidak
keliru dalam mengambil dalil-dalil dalam menjalankan agamanya.
13 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (1), (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), hlm. 15.
6
yang terjadi di kalangan ulama terkait status shahih pada semua hadis di kitab
Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.15
Karya beliau tidak dapat dikatakan terjemah dari suatu kitab ulumul hadis,
karena beliau tidak hanya mengungkap satu atau dua pendapat ulama, namun
menguraikan berbagai pendapat ulama. Sesekali beliau menunjukkan
kecenderungannya terhadap satu pendapat serta mengemukakan alasannya.
Karya beliau cukup memudahkan para pengkaji hadis, karena pembahasannya
yang rinci. Selain itu, untuk mengetahui berbagai pendapat para tokoh pembaca
bisa mendapatkannya hanya pada sebuah karya Hasbi tersebut.
Sementara itu, sumber rujukan beliau berasal dari dari para tokoh di
bidangnya (hadis, ulumul hadis, fikih). Sumber rujukan berupa kitab juga berasal
dari kitab-kitab terkenal seperti Muqaddimah Ibnu Shalah, Alfiyah karya
AsSuyuthi, Nukhbatul Fikar karya Ibnu Hajar, dan kitab-kita yang pada
umumnya menjadi kitab utama dalam pengkajian ulumul hadis.
b. Konsistensi judul, muqaddimah, dan isi kitab
Kekonsistenan ini dapat kita lihat setelah membandingkan tiga bagian
tersebut yakni judul, muqaddimah, dan isi kitab. Beliau mengemukakan materi
karyanya sebagaimana judul karya tersebut. Misalnya saja pada buku Sejarah &
Pengantar Ilmu Hadis, maka yang beliau uraikan adalah terkait sejarah hadis
dari berbagai sisi. Pun demikian dengan buku Pokok Ilmu Dirayah yang memuat
ilmu-ilmu hadis yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk mengkaji hadis
secara lebih mendalam.
c. Berbahasa Indonesia dan menggunakan footnote
Pada cetakan awal, karya beliau menggunakan bahasa Indonesia tanpa EYD,
karna saat itu memang belum ada EYD. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia
yang agak melayu juga terlihat pada beberapa kalimat. 16 Namun, setelah
15 Terkait keshahihan hadis pada dua kitab tersebut Hasb berkomentar bahwa secara umum
hadis yang diriwayatkan oleh kedua imam tersebut dalam kitab mereka shahih secara sanad.
Maksudnya semuanya memuat hadis marfu’ yang tak dapat dikatakan dha’if sanadnya. Namun,
sebagaimana telah ditekankannya adalah bahwa tidak semua hadis yang sanadnya shahih, maka
otomatis shahih juga matannya. Jadi, maksud orang mengatakan shahih al-Bukhari dan Muslim
adalah dalam sanadnya. Dan jika ada yang mengatakan tidak shahih, maka tidak shahih pada
matannya, misal karena berlawanan dengan ayat Alquran atau akal. Hasbi juga tidak memungkiri
bahwa mungkin saja ada beberapa hadis dha’if (seperti yang sudah dikaji para ulama) pada kitab
mereka. Akan tetapi hal itu tidak lantas menrendahkan nilai kitab beliau. Hal ini bisa dimaklumi
karena beliau tidak ma’shum. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok Ilmu Dirayah Hadits (1), … hlm.
129.
16 Contohnya beberapa kalimat berikut ini: tiada menyebut dalam sanad riwayat itu, dalam pada
itu, bukanlah kami kehendaki hadis matruk.
8
beberapa kali revisi, bahasa yang demikian sudah mulai diperbaiki dan
mengikuti EYD sehingga lebih mudah untuk dicerna terutama oleh pengkaji
hadis belakangan.
Beliau juga terkadang menggunakan bahasa Arab terutama pada penjelasan
ta’rif (definisi) dari suatu ilmu.17 Demikian juga pada sebagian pendapat tokoh
yang beliau kutip. Selain menguraikan dengan bahasa Indonesia, beliau juga
mencantumkan redaksi asli (arab) dari pendapat tokoh tersebut. Sesekali juga
ada sisipan istilah arab pada penjelasan beliau. Penyajian dengan sisipan bahasa
Arab ini nampaknya dimaksudkan beliau agar pembaca tidak kehilangan esensi
dari maksud kalimat tersebut sehingga dirasa perlu untuk tetap mencantumkan
redaksi aslinya. Selain itu, karena tujuan utama karya ini adalah para mahasiswa
perguruan tinggi yang secara umum tidak buta bahasa, maka tidak menjadi
masalah ketika ada beberapa sisipan bahasa Arab.
Sementara untuk teknis pengutipan sumber pada karyanya, Hasbi sesekali
menggunakan footnote sebagai panduan sumber rujukan. Footnote juga beliau
gunakan untuk memberikan rekomendasi beberapa kitab lain yang dapat menjadi
tambahan sumber bagi pembaca. Meski demikian, beliau memang lebih banyak
mencantumkan nama tokoh dan kitab rujukan pada bagian isi, yakni ketika
menjelaskan masalah terkait. Hal ini bukanlah suatu kekurangan, karna di masa itu,
tradisi pengutipan secara ilmiah memang belum digalakkan. Menghasilkan sebuah
karya dengan segala keterbatasan yang ada di masa itu adalah suatu prestasi yang
tidak bisa dibandingkan dengan berbagai kemudahan yang kita dapati sekarang ini.
2. Bidang Kajian Hadis
a. Sumber rujukan yakni kitab mu’tabar
Dalam mengambil sumber rujukan pada karya berupa kumpulan hadis, Hasbi
cukup berhati-hati. Pada buku 2002 Mutiara Hadis, Hasbi hanya memilah hadis
yang berasal dari Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Secara umum, kualitas
kedua kitab shahih ini telah diakui oleh mayoritas ulama. Sementara pada buku
Koleksi Hadis Hukum pedomannya yakni kitab hadis hukum terkenal seperti
Muntaqal Akhbar (Imam majduddin al-Harrany), Bulughul Maram (Ibnu Hajar
18 Sumber rujukan hadis ini beliau kemukakan pada pembukaan karyanya. Lihat Hasbi
AshShiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, … hlm. 6.
10
mutawatir namun pelaksanaannya yang tetap ada sejak masa Nabi hingga saat
ini. Meskipun demikian, Hasbi tetap sepakat bahwa baik hadis maupun sunnah
dapat menjadi sumber hukum maupun wajib diamalkan jika telah memenuhi
kriteria hadis shahih atau minimal hasan.
2. Istilah ulumul hadis
Sebagaimana diungkapkan Hasbi, ia lebih memilih menggunakan istilah Ilmu
Dirayah Hadis untuk mengacu pada ilmu-ilmu yang terkait hadis. Alasannya
bahwa penggunaan istilah Mushthalahul Hadis untuk segalam macam Ilmu
Dirayah adalah merupakan suatu tajawuz22 Karena itu beliau menggunakan
istilah Ilmu Dirayah dengan mengasusmsikan bahwa Ilmu Dirayah sama dengan
Ulumul Hadis atau Ushulul Hadis.23
Pada satu bab tentang Ilmu Musthalahul Hadis dalam buku Pokok Ilmu
Dirayah, Hasbi mencoba konsisten dengan pendapatnya. Pada bab tersebut
Hasbi tidak menguraikan tentang ulumul hadis, akan tetapi terkait beberapa
istilah hadis yang definisinya telah disepakati oleh para ulama hadis. Hal ini
karena definisi ilmu musthalahul hadis menurutnya yakni suatu ilmu yang
dengan ilmu itu dapat diketahui apa yang diistilahkan oleh para ahli hadis dan
mereka mempergunakannya menjadi ‘uruf (dikenal) di antara mereka.24
3. Kualifikasi Hadis dan Kedudukannya
Hadis berdasarkan kuantitas periwayat terbagi tiga dan terbagi dua
(Mutawatir, Masyhur, Ahad & Mutawatir, Ahad).25 Sebagaimana kebanyakan
22 Istilah tajawuz ini tidak diberikan penjelasan maksud oleh Hasbi. Kalau kita merujuk pada
kamus, tajawuz berasal dari kata Jaza yang artinya melalui, melewati, melebihi. Mungkin yang
dimaksud tajawuz dalam kalimat ini yakni penggunaan istilah yang kurang pas atau melampaui
maksud yang dikehendaki. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 223.
23 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, … hlm 27. Pendapat ini
nampaknya berbeda dengan pendapat Fatchur Rahman yang cenderung menyamakan istilah ilmu
musthalah alhadits dengan ulumul hadits atau ilmu dirayah hadits. Hal ini terlihat pada judul
karyanya Ikhtishar Musthalahul Hadits yang membahas tentang ulumul hadits. Demikian pula pada
bab khusus terkait ilmu musthalahul hadits pada bukunya. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtishar
Musthalahul Hadits,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1974), hlm. 72.
24 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, … hlm 34.
25 Pembagian berdasar kuantitas, pada buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Hasbi membagi
3 yakni: Mutawatir, Masyhur dan Ahad. Sementara pada Pokok Ilmu Dirayah ia hanya membagi pada
Mutawatir dan Ahad. Hasbi tidak menyebut alasan pengkategorian yang berbeda dalam kedua
bukunya ini. Biasanya, ulama yang membagi hadis menjadi tiga berarti menjadikan hadis masyhur
sebagai hadis yang berdiri sendiri. Artinya, ia tidak termasuk bagian dari hadis ahad. Pendapat ini
dianut oleh sebagian ulama ushul, seperti Abu Bakar al-Jashshash (305-370H)/ Sedangkan yang
membagi dua kebanyakan diikuti oleh ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis masyhur
bukan merupakan hadis yang dapat berdiri sendiri tetapi hanya bagian dari hadis ahad. Lihat Nor
Ichwan, Studi Ilmu Hadis, … hlm. 99.
12
ulama, Hasbi berpendapat bahwa hadis mutawatir wajib diterima dengan yakin
dan wajib diamalkan. Hadis mutawatir tidak diperiksa keadaannya dan sanadnya,
yakni tidak diselidiki apakah yang meriwayatkannya seorang muslim, adil, atau
tidak. Meski demikian, menurutnya memang sangat sedikit hadis mutawatir
terutama mutawatir lafdzi. Para ulama juga seringkali berbeda pendapat tentang
hadis mutawatir. Yang mengatakan tak ada yang mutawatir meninjaunya dari
segi lafazh, sedang yang mengatakan ada yang mutawatir meninjaunya dari segi
makna.26 Sementara hadis ahad kedudukannya adalah dzanni. Karena itu, Hasbi
memilih pendapat Asy-Syafii yang berpendirian bahwa hadis ahad tidak dapat
menghapuskan hukum yang telah ditetapkan oleh Alquran. Hadis Ahad juga
tidak bisa dipakai untuk mengkhususnya pengertian umum yang tersebut dalam
Alquran, kecuali kandungan hadis itu telah disepakati oleh para ulama.27
Berdasarkan kualitas hadis ia juga membagi dalam tiga kategori yakni
shahih, hasan, dan dha’if. Baginya, suatu hadis baru dapat dikatakan shahih, jika
tidak terdapat cacat baik pada sanad maupun matan dan tidak pula bertentangan
dengan ayat Alquran. Karena itu, hadis yang hanya shahih pada sanadnya saja
belum termasuk kategori hadis shahih.28 Hadis shahih wajib diamalkan walaupun
tidak ditakhrij oleh al-Bukhari dan Muslim dan walaupun belum pernah
diamalkan oleh seseorang sebelum kita.29
Sementara terkait hadis dha’if, ia mengemukakan bahwa seluruh ulama
sepakat tidak membolehkan digunakan hadis dha’if untuk menetapkan suatu
hukum. Mereka hanya berselisih dalam menggunakan hadis dha’if untuk
menerangkan keutamaan amal (fadhāil al-a’mal). Menurutnya, penggunaan
hadis dhaif sebagai fadhā`il al-a’mal bukan suatu perbuatan sunnat. Kebolehan
menggunakan hadis dha’if itu, yakni untuk menerangkan keutamaan suatu amal
sunnat yang telah ditetapkan kesunatannya oleh suatu hadis shahih atau hasan.30
Artinya, hadis dha’if itu hanya sebagai penambah penjelas akan keutamaan suatu
amal yang hukumnya ditentukan dari hadis lain yang lebih kuat derajatnya.
30 Menjadi pengajar dan menduduki jabatan penting di berbagai perguruan tinggi, mendapatkan
gelar Doktor Honoris Causa di dua perguruan tinggi Islam, dan pernah diundang menyampaikan
makalah dalam Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958)
adalah sebagian kecil peran beliau dalam kajian Islam di Indonesia.
31 Ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun
1960, menghimbau perlunya dibina fikih yang berkepribadian Indonesia. Prof.Dr.Mukti Ali
mengatakan bahwa Hasbi Ash-Shiddieqy menaruh perhatian yang besar dalam aspek perkembangan
hukum Islam. Bahkan, dikatakannya pula bahwa Hasbi lah yang menganjurkan adanya mazhab
Indonesia, di samping Prof. Dr. Hazairin (w. 1975) yang menganjurkan adanya mazhab nasional
hukum Islam di Indonesia. Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, … hlm. 58.
14
G. Penutup
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Hasbi Ash-Shiddieqy
memiliki peran besar dalam kajian hadis di Indonesia. Meskipun beliau mengenyam
pendidikan hanya lewat beberapa pesantren serta perguruan al-Irsyad selama 1,5
tahun, namun peran beliau tak dapat diremehkan. Selain dikenal sebagai penggagas
fikih Indonesia, beliau juga dikenal sebagai seorang tokoh hadis Indonesia. Kiprah
beliau di bidang hadis bermula dari pengampu mata kuliah hadis di PTAIN hingga
akhirnya melahirkan banyak karya di bidang hadis.
Setidaknya ada 8 karya (26 Jilid) dalam bidang hadis yang dihasilkannya semasa
hidup. Kedelapan karya tersebut terbagi pada dua kategori yakni bidang ulumul
hadis serta bidang kajian pemahaman hadis. Kemunculan karya beliau tersebut
dilatarbelakangi oleh beberapa hal seperti mengubah paradigma masyarakat tentang
pentingnya kajian ilmu hadis, hingga perlunya karya hadis yang bersumber dari
sumber-sumber valid. Secara khusus, karya beliau, terutama di bidang kajian ulumul
hadis, ditujukan sebagai bahan kajian bagi dunia akademik, yakni perguruan tinggi
Islam yang baru berdiri pada masa itu. Dalam perkembangannya, karya beliau tidak
hanya bermanfaat di dunia akademik, namun secara umum telah menjadi salah satu
rujukan utama masyarakat muslim Indonesia sejak dulu bahkan hingga saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, Semarang: RaSAIL Media Group, 2007.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
________, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Bandung: al-Ma’arif, 1977.
________, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
________, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997.
Rahman, Fatchur, Ikhtishar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1974.
16