Anda di halaman 1dari 85

KONSEP HIJAB ‘ALA SUNNAH MENURUT SYAIKH

AL-ALBĀNĪ
(Studi Pemikiran Ḥadīṡ Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī Dalam Buku
Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fī Al-Kitab Wa As-Sunnah)

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Ḥadīṡ
Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Di susun oleh:

TITIN SUGIARTI
NIM: 171370002

ILMU ḤADĪṠ
FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN 2021/1443 H
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis berjudul Konsep
Hijab Ala Sunnah Menurut Syaikh Al-Albani (Studi Pemikiran Ḥadīṡ Syaikh
Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī Dalam Buku Hijab Al-Mar’ah Al-
Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah), sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) dan diajukan pada jurusan Ilmu Ḥadīṡ,
Fakultas Ushuluddin, Universits Islam Negeri (UIN) “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten, ini sepenuhnya asli merupakan hasil karya ilmiah pribadi.
Adapun tulisan maupun pendapat orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
telah saya sebutkan kutipannya secara jelas sesuai dengan etika keilmuan yang
berlaku di bidang penulisan karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari terbukti bahwa sebagian atau seluruh isi skripsi ini
merupakan hasil pembuatan plagiatisme atau mencontek karya tulis orang lain
saya bersedia untuk menerima sanksi berupa pencabutan gelar kesarjanaan yang
saya terima atau sanksi akademik lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Serang, 2021

Titin Sugiarti
NIM: 171370002
ABSTRAK

Nama: Titin Sugiarti, NIM: 171370002, Judul Skripsi Konsep Hijab Ala
Sunnah Menurut Syaikh Al-Albani (Studi Pemikiran Ḥadīṡ Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani Dalam Buku Hijab Al-Mar’ah Al-
Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah). Jurusan Ilmu Hadis, Fakultas
Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Tahun 1443
H/2021 M.
Berdasarkan latar belakang di atas,
rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1) Bagaimana konsep hijab
menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani? 2) Bagaimana metode
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam memahami hijab? 3) Bagaimana
kualitas Hadits-hadits yang digunakan syaikh al-Albani ?
Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui konsep hijab
menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. 2) Mengetahui metode
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. 3) Untuk mengetahui kualitas hadis
yang digunakan Syaikh al-Albani.
Penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan
menggunakan metode kepustakaan (library research) data penelitian dikatagorikan
menjadi sumber primer buku Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-
Sunnah, sumber sekunder berupa buku-buku dan jurnal dan lain sebagainya.
Hasil penelitian ini yaitu mengenai Hijab. Adapun Hijab yang dimaksud
dalam skripsi ini adalah berfokus kepada penutup kepala yang sesuai dengan
syari’at Islam. Menurut Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī, penggunaan
hijab bagi wanita muslimah adalah seuatu kewajiban yang mutlaq dan telah
disepakati oleh jumhur ulama. Namun demikian, terdapat perselisihan mengenai
batas aurat wanita dan tata cara penggunaannya. Syaikh al-Albani sendiri
memberikan pandangannya tentang praktik penggunaan hijab tersebut, beliau
mensyaratkan setidaknya 8 (delapan) point yang harus dilakukan wanita
muslimah ketika hendak menggunakan hijab, yaitu; Menutup seluruh badan,
selain yang kecualikanBukan berfungsi sebagai perhiasan 2) Kainnya harus tebal,
dan tidak tipis 3) Harus longgar, tidak ketat, sehingga tidak dapat menggambarkan
tubunya 5) Tidak diberi wewangian 6) Tidak menyerupai pakaian laki-laki 7)
Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir 8) Bukan pakaian untuk mencari
popularitas. Sedangkan dari hasil penelitian terhadap seluruh Ḥadīṡ-ḥadīṡ yang
digunakan sebagai hujjah oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam
kitabnya (Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fī Al-Kitab Wa As-Sunnah)
menunjukkan bahwa kualitas ḥadīṡ yang terdapat dalam kitab tersebut terdapat 8
(delapan) ḥadīṡ yang termasuk dalam kategori shahih (kuat), dan 3 (tiga) ḥadīṡ
yang lainnya termasuk kategori hasan (bagus).

Kata Kunci : Hijab, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah Fi al-Kitab Wa As-Sunnah, Al-Albani.

ABSTRACT

Name: Titin Sugiarti, NIM: 171370002, thesis title: Concept of Hijab Ala
Sunnah According to Syaikh Al-Albani (Study of hadīṡ Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani Thought in the Book of Hijab Al-Mar'ah Al-
Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah). Department of Hadith Science, Faculty
of Ushuluddin and Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Year 1443
H/2021 M.
Based on the above background, the formulation of the problem in this
thesis are: 1) What is the concept of hijab according to Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani? 2) What is the method of Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani in understanding hijab? 3) What is the quality of the hadiths used by
Syaikh al-Albani?
In this study, the author uses a qualitative method using library research.
The research data is categorized as a primary source for the book Hijab Al-Mar'ah
Al-Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah, secondary sources in the form of books
and journals and so on.
Keyword : Hijab, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah Fi al-Kitab Wa As-Sunnah, Al-Albani.

FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

Nomor : Nota Dinas Kepada Yth.


Lamp : Dekan Fakultas Ushuluddin
Hal :Pengajuan Munaqasah dan Adab
a.n. Titin Sugiarti UIN SMH Banten
NIM : 171370002 Di –
Serang , 2021

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Di permaklumkan dengan hormat, bahwa setelah membaca dan mengadakan
perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi Saudara Titin
Sugiarti, NIM: 171370002, Judul Skripsi Konsep Hijab Ala Sunnah Menurut
Syaikh Al-Albani (Studi Pemikiran Ḥadīṡ Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani Dalam Buku Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-
Sunnah), diajukan sebagai salah satu syarat untuk melengkapi ujian munaqasah
pada Fakultas Ushuluddin dan Adab Jurusan Ilmu Ḥadīṡ Universitas Islam Negeri
Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Maka kami ajukan skripsi ini dengan
harapan dapat segera di munaqasahkan.
Demikian, atas perhatian Bapak kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Mohamad Hudaeri, M.Ag. Dr. Safiin Mansur, M.Ag


NIP. 197109031999031007 NIP. 196401081998031001
Konsep Hijab Ala Sunnah Menurut Syaikh Al-Albānī
(Studi Pemikiran Ḥadīṡ Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī Dalam Buku
Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah)

Oleh :

TITIN SUGIARTI
NIM : 171370002

Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Mohamad Hudaeri, M.Ag. Dr. Safiin Mansur, M.Ag


NIP. 197109031999031007 NIP. 196401081998031001

Mengetahui :

Dekan Ketua Jurusan


Fakultas Ushuluddin dan Adab Ilmu Ḥadīṡ

Dr. Mohamad Hudaeri, M.Ag. Muhammad Alif, S.Ag., M.Si


NIP. 197109031999031007 NIP. 199106062019031008
PENGESAHAN

Skripsi a.n Titin Sugiarti, NIM: 171370002, judul skripsi: “Konsep Hijab Ala
Sunnah Menurut Syaikh Al-Albānī (Studi Pemikiran Ḥadīṡ Syaikh Muḥammad
Nāṣr al-Dīn al-Albānī Dalam Buku Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fi Al-Kitab
Wa As-Sunnah)”. Telah di ajukan dalam sidang munaqasah Universitas Islam
Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten pada tanggal……2021. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada Fakultas Ushuluddin dan Adab Jurusan Ilmu Ḥadīṡ
Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

Serang, 2021

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

NIP. NIP.

Anggota :
Penguji I Penguji II

NIP. NIP.

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Mohamad Hudaeri, M.Ag. Dr. Safiin Mansur, M.Ag


NIP. 197109031999031007 NIP.196401081998031001
PERSEMBAHAN

Alhamdulillah bersyukur skripsi ini telah selesai dan berjalan dengan lancar,
terima kasih kepada Allah SWT, dan orang tua tercinta, serta keluarga besar yang
telah mendukung, mendoakan, serta kasih sayang yang selama ini diberikan untuk
kesuksesan penulis. Kakak-kakak dan adik yang tercinta yang selalu memberikan
semangat.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

MOTTO
      
         
      

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak


perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(QS. Al-Ahzab [33] : 59)

RIWAYAT HIDUP
Nama Titin Sugiarti dilahirkan di Kab. Tangerang, 20 Mei 1999, di Kp.
Tawang dari kedua pasangan, ayah Sugianto dan ibu Yati, dalam keluarga penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Pendidikan penulis adalah TK Al-Hidayah Tawang 1 lulus pada tahun
2005, SDN Salembaran 1 lulus pada tahun 2011, SMP IT Al-Gina lulus pada
tahun 2014, SMAN 5 Kab. Tangerang lulus pada tahun 2017, kemudian
melanjutkan kependidikan yang lebih tinggi pada tahun 2017 di Universitas Islam
Negeri (UIN) “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, pada Fakultas Ushuluddin
dan Adab jurusan Ilmu Ḥadīṡ.
Selama kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten, penulis aktif dibeberapa organisasi diantaranya: HMJ
(Himpunan Mahasiswa Jurusan) Ilmu Ḥadīṡ sebagai anggota Sie Pemberdayaan
Perempuan 2018-2019, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) sebagai
pengurus Rayon Ushuluddin pada tahun 2018-2019.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji dan syukur kepada Allah SWT
atas segala rahmat dan karunia-Nya, yang telah memberikan kesempatan untuk
mencari ilmu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini guna
memenuhi persyaratan untuk dapat memperoleh gelas sarjana strata satu pada
jurusan Ilmu Ḥadīṡ, Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten, sholawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, Ṣaḥābat, tabi’in dan para pengikut
ajaran Islam sampai akhir zaman.
Dengan pertolongan Allah SWT dan usaha yang bersungguh-sungguh penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsep Hijab Ala Sunnah
Menurut Syaikh al-Albānī (Studi Pemikiran Ḥadīṡ Syaikh Muḥammad
Nāṣr al-Dīn al-Albānī Dalam Buku Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fi Al-
Kitab Wa As-Sunnah)”.
Atas bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan untuk memberikan
segala yang dibutuhkan dalam penulisan penelitian ini, saya sebagai penulis
mengucapkan terima kasih banyak.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini tidak terlepas dari
kekurangan, kelemahan dan tidak jauh dari kata kesempurnaan. Namun
demikian penulis berharap semoga dengan adanya sekripsi ini mudah-
mudahan dapat membawa manfaat dan menambah khazanah keislaman.
Skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak,
melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak. Prof. Dr. H. Wawan Wahyudin, M.Pd selaku Rektor UIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten.
2. Bapak Dr. Mohamad Hudaeri, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Adab Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
3. Bapak Dr. Shalahuddin Al-Ayubi M.A. selaku wakil Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang telah
memberikan persetujuan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
4. Bapak Muhamad Alif, S.Ag., M.Si. sebagai ketua jurusan dan Bapak
Salim Rosyadi, M.A. sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Ḥadīṡ Fakultas
Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, yang telah
memberikan arahan, mendidik dan memberi motivasi kepada penulis.
5. Bapak Dr. Mohamad Hudaeri, M.Ag. sebagai Pembimbing I dan Dr. Safiin
Mansur, M.Ag. Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan,
nasehat, motivasi dan saran-saran kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang tidak
bisa disebutkan satu persatu, terutama yang telah mengajar dan mendidik
penulis selama kuliah di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten,
Pengurus Perpustakaan umum, Iran Corner, serta staf akademik dan
karyawan yang telah memberikan bekal berharga selama penulis kuliah.
7. Keluarga serta ayahanda dan Ibunda, Bapak Sugianto dan Bapak. Ma’an,
Ibu Yati dan Ibu Rohayati, yang telah memberi motivasi, semangat serta
Doa. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir membuat skripsi.
8. Keluarga, Kakak-kakak dan Adik tercinta M. Khoiruddin, Maryati,
Darmawati, Darmaji, Lilih Nursholihah, Fitri, yang telah memberikan
dukungan dan doa yang tiada hentinya kepada penulis.
9. Keluarga, Sahabat terutama Pajriyah Tul Amanah, Rosdianah, Syifa
Alawiyah, Mariyah Ulfah, Cici Pujiyanti, Sihab Ajuhri, serta teman-teman
satu perjuangan (Ilmu Ḥadīṡ 2017) yang telah memberikan semangat serta
motivasi kepada penulis.

Serang, ……2021

Penulis,

Titin Sugiarti
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.........................................................................0


ABSTRAK........................................................................................................................1
ABSTRACT......................................................................................................................2
PENGESAHAN................................................................................................................5
PERSEMBAHAN.............................................................................................................6
RIWAYAT HIDUP..........................................................................................................8
KATA PENGANTAR......................................................................................................9
DAFTAR ISI...................................................................................................................11
BAB I..................................................................................................................................i
PENDAHULUAN..............................................................................................................i
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................................i
B. Rumusan Masalah..................................................................................................v
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................................................v
D. Tinjauan Pustaka...................................................................................................vi
E. Kerangka Teori.....................................................................................................vii
F. Metode Penelitian.................................................................................................vii
G. Sistematika Penulisan............................................................................................ix
BAB II...............................................................................................................................x
GAMBARAN UMUM TENTANG HIJAB....................................................................x
A. Pengertian Hijab dan Sejarah Hijab........................................................................x
1. Pengertian Hijab.................................................................................................x
2. Sejarah Hijab....................................................................................................xii
B. Istilah Pakaian Penutup Aurat..............................................................................xiv
1. Hijab................................................................................................................xiv
2. Khimar (kerudung)...........................................................................................xv
3. Jilbab................................................................................................................xvi
C. Hijab Dalam Syariat Islam (syar’i).....................................................................xvii
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan..............................xvii
2. Tidak berlebihan.............................................................................................xvii
3. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-laki.............................................................xviii
4. Pakaian Tidak Menampakkan Aurat..............................................................xviii
BAB III............................................................................................................................xx
SEKILAS BIOGRAFI SYAIKH MUḤAMMAD NĀṢR AL-DĪN AL-ALBĀNĪ DAN
METODE HIJAB...........................................................................................................xx
A. Riwayat Hidup Syaikh Muḥammad Nāṣr Al-Dīn Al-Albānī................................xxi
1. Karya-Karya Syaikh Muhammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī................................xxiii
2. Guru-guru Syaikh Muhammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī....................................xxiv
3. Murid-murid Syaikh Muhammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī.................................xxv
4. Pandangan Ulama terhadap Syaikh Muhammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī.........xxvi
B. Metode Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam menilai Hadits, dan
Metode Mengenai Hijab...........................................................................................xxviii
1. Metode Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Menentukan Derajat
Hadis....................................................................................................................xxviii
2. Metode Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengenai Hijab.............xxxi
BAB IV.........................................................................................................................xxxii
ANALISIS OTENTISITAS ḤADĪṠ-ḤADĪṠ HIJAB MENURUT SYAIKH
MUḤAMMAD NĀṢR AL-DĪN AL-ALBĀNĪ...........................................................xxxii
A. Ḥadīṡ-ḥadīṡ Tentang Hijab Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī.............xxxii
1. Kewajiban Menutup Aurat, Kecuali Wajah Dan Telapak Tangan.................xxxii
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan.............................................................xxxiv
3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis................................................................xxxvi
4. Longgar, Tidak Ketat, Serta Tidak Menggambarkan Sesuatu Dari Tubuhnya
xxxviii
5. Tidak Diberi Parfum Atau Minyak Wangi.........................................................xl
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki.............................................................xliv
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir.........................................xlviii
8. Bukan Libas Syuhrah (hijab untuk mencari popularitas).....................................l
B. Analisis Tentang Ḥadīṡ Hijab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.............li
1. Kewajiban Menutup Aurat, Kecuali Wajah Dan Telapak Tangan......................li
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan...................................................................li
3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis.....................................................................lii
4. Longgar, Tidak Ketat, Serta Tidak Menggambarkan Sesuatu Dari Tubuhnya. .liii
5. Tidak Diberi Parfum Atau Minyak Wangi........................................................liv
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki...............................................................lv
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir.............................................lvi
8. Bukan Libas Syuhrah (untuk mencari popularitas)..........................................lvii
BAB V............................................................................................................................lviii
PENUTUP.....................................................................................................................lviii
A. Kesimpulan.........................................................................................................lviii
B. Saran.....................................................................................................................lix
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................lxi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

1. Konsonan
Fomen konsonan Bahasa Arab yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan huruf dan sebagian di lambangkan dengan tanda sekaligus. Di bawah
ini daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huru lain:

Huruf
Nama Huruf Latin Keterangan
Arab

‫ا‬ alif - Tidakdilambangkan

‫ب‬ Ba B/b -

‫ت‬ ta’ T/t -

‫ث‬ tsa’ Ṡ/ṡ s (dengan satu titik di atas)

‫ج‬ Jim J/j -

‫ح‬ ha’ Ḥ/ḥ h (dengan satu titik di bawah)

‫خ‬ kha’ Kh / kh -

‫د‬ Dal D/d -

‫ذ‬ zal Ż/ż z (dengansatutitik di atas)

‫ر‬ ra’ R/r -

‫ز‬ Zai Z/z -

‫س‬ Sin S/s -

‫ش‬ Syin Sy / sy -
‫ص‬ ṣad Ṣ/ṣ s (dengan satu titik di bawah)

‫ض‬ ḍad Ḍ/ḍ d (dengan satu titik di bawah)

‫ط‬ ta’ Ṭ/ṭ t (dengan satu titik di bawah)

‫ظ‬ ẓa’ Ẓ/ẓ z (dengan satu titik di bawah)

‫ع‬ ʿain ʿ Koma terbalik di atas

‫غ‬ Gain Gh /gh -

‫ف‬ fa’ F/f -

‫ق‬ Qaf Q/q -

‫ك‬ Kaf K/k -

‫ل‬ Lam L/l -

‫م‬ Mim M/m -

‫ن‬ Nun N/n -

‫و‬ Wwu W/w -

‫ه‬ ha’ H/h -

‫ء‬ Hamzah ’ Apostrof

‫ي‬ ya’ Y/y -

2. Vocal

Vocal bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia terdiri dari vocal tunggal
atau monoftrom dan vocal rangkap atau diftong.

1) Vocal tunggal
Vocal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

_َ_ Fathah A A

_ِ_ Kasrah I I

_ُ_ Dammah U U

Contoh:

Kataba : َ ‫َك‬
‫تب‬ Su’ila : ‫ُئ‬
ِ ‫س‬

Yażhabu : ُ‫يَّذهَب‬

2) Vocal rangkap

Tanda dan huruf Nama Gabungan huruf Nama

‫ي‬
َ Fathah dan ya Ai a dan i

‫َو‬ Fathah dan wau Au A dan u

Vocal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan


huruf, yaitu:

Contoh :
Kaifa : َ‫َكيف‬
Walau : ‫َولَو‬
Syai’un : ‫َشي ٌئ‬
3) Maddah
Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf
translitersainya berupa huruf dan tanda, yaitu :
Harakat dan Nama Huruf dan tanda Nama

Huruf
‫ا‬ Fathah dan alif Ā/ā A dan garis diatas

‫ِمى‬ Kasrah dan ya Ī/ī I dan garis di atas

‫ُمو‬ Dammah wau Ū/ū U dan garis di atas

3. Ta marbutoh (‫)ة‬

Transliterasi untuk ta marbutah ada dua:

1) Ta marbutoh hidup ta marbutoh yang hidup atau mendapat harakat


fathah, kasrah dan dammah transliterasinya adalah /t/.
Contoh :

Minal jinnati wannās : ‫من الجنة والناس‬

ta marbutoh mati ta marbutoh yang mati atau mendapat harakat sukun


transliterasinya adalah /h/.

Contoh:

Khair al-bariyyah : ‫خيرالبرية‬

2) jika pada suatu kata yang akhir katanya ta marbutah diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu
terpisah maka ta marbutah itu ditransliterasikan ha (h) contoh:
as-Sunnah an-Nabawiyah : ‫ويت‬zz‫نّت النّب‬z‫ الس‬tetapi bilsa di satukan, maka
ditulis : as-sunnatun nabawiyah

4. Syaddah (tasydid)

Syaddah atu tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dalam
sebuah tanda, ()ّ tanda sayddah atau tanda taysdid, dalam transliterasi ini
dilambangkan dengan huruf yaitu huruf yang sama dengan huruf yang
diberi tanda syaddah itu.
Contoh :

As-sunnah an-nabaiyah : ‫السنة النبوية‬

5. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (‫)ال‬,
yaitu: al. Namun dalam transliterasinya kata sandang itu dibedakan
antara kata sandang yang diikuti oleh hruuf syamsiyah dan kata sandang
yang diikuti oleh huruf qomariah.

1). Kata sandang yang diikuti oleh hruuf syamsiyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai


dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan hruuf yang sama dengan
huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.

Contoh :

As-sunnah an-nabawiyah : ‫السنة النبوية‬

2). Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariah

Kata sandang yag diikuti oleh huruf qomariah ditransliterasikan sesuai


dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya
Contoh :

Khair al-bariyah : ‫خيرالبرية‬

Baik diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qomariah kata sandang
ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda
sambung/hubung.

6. Hamzah

Dinyatakan di depan Daftar Transliterasi Arab Latin bahwa hamzah di


transliterasikan dengan apostrof. Namun hanya terletak di tengah dan di
akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata, dia tidak di lambangkan
karena dalam tulisan Arab berupa alif.

7. Penulisan kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fiil, isim maupun huruf, di tulis terpisah.
Bagi kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab yang sudah
lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang
dihilangkan maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut bisa
dilakukan dengan dua cara. Bisa dipisah perkata dan bisa pula
dirangkaikan.

8. Huruf kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital
seperti apa yang berlaku dalam EYD, diantaranya huruf kapital digunakan
untuk menuliskan huruf awal, nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama
diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
tetap huruf awal, nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu
didahului kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf
awal nama diri tersebut bukan huruf awal kata sandang.

Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam
tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu
disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang
dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan.
Daftar Singkatan Penting

ed = Editor

H =Tahun Hijriah

M =Tahun Masehi

H.R. = Ḥadīṡ Riwayat

K.H. = Kiyai Haji

No = Nomor

P = Page (halaman)

pp = Multi page (lebih dari satu halaman)

Q.S. = Al-Qur’an Surat

r.a = Raḍiyallāhu ‘anhu

SAW = Ṣallāllāhu ‘alaihi wasallam

SWT = Ṣubhānahu wata’ala


terj. = Terjemah
tp. = Tanpa Penerbit
tk = Tanpa Tempat
tt = Tanpa Tahun
L = Lahir
W = Wafat
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memakai hijab merupakan kewajiban bagi seorang muslimah. Hijab


merupakan simbol komunikasi dan sebagai identitas bagi wanita, sehingga wanita
mudah dikenal melalui pesan penampilan atau hijab yang dikenakan. Dalam
konteks ini simbolisasi hijab bukan sebatas simbol belaka tetapi hijab memiliki
sejumlah makna. Kata hijab sering dikaitkan dengan jilbab dan kerudung yang
sering digunakan wanita muslimah. Dalam kamus bahasa Arab jilbab sendiri
diartikan sebagai baju kurung panjang sejenis jubbah. Sedangkan
Khimar/khumrun berarti tutup, tudung, tutup kepala wanita. Namun masyarakat
biasa menggunakan kata hijab untuk menunjukkan pakaian muslimah.1
Agama Islam telah mengatur berbagai macam hal dalam kehidupan manusia
yang dianggap sebagai petunjuk jalan kehidupan. Termasuk juga dalam mengatur
umatnya tentang menutup aurat bagi wanita muslimah, yaitu dengan cara
memakai hijab sesuai syariat, seperti memakai hijab menutupi dada dengan
pakaian yang longgar tidak menampakkan atau menonjolkan bagian tubuh dan
memakai yang tebal atau tidak menerawang. Sebagaimana yang telah diterangkan
dalam Al-Qur’an surat An-Nuur ayat 31:

        


           
        
         
          
          
         
.2          
Artinya:

1
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Prografi, 1997), p. 237.
2
Al-Qur’an kemenag, https://quran.kamenag.go.id/sura/(diakses pada tanggal 24 Maret
2021).
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampakkan diri mereka.
Dan hendaklah mereka mentupkan kain kerudung kedada mereka, dan janganlah
menapakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur
[24] : 31)

Ayat tersebut telah ditegaskan kewajiban untuk menutup seluruh perhiasan,


tidak memperlihatkan sedikitpun diantaranya, kepada laki-laki ajnabi, kecuali
perhiasan yang tampak tanpa kesengajaan dari mereka (kaum wanita), maka
mereka tidak dihukum karena ketidak sengajaan itu jika mereka bersegera
mentupnya. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya, “Maksudnya,
janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada
laki-laki ajnabi, kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.”
Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi telah membawa perubahan
dalam berbagi aspek kehidupan salah satunya yaitu perubahan gaya hidup,
termasuk di dalamnya menggunakan pakaian yang menutup aurat seorang
muslimah. Perubahan gaya hidup yang terjadi tersebut tampaknya mempunyai
pengaruh besar dikalangan kaum wanita muslimah. Munculnya berbagai macam
model dalam menggunakan hijab dikalangan muslimah seperti pakaian ketat,
menggantungkan ujung hijab ke pundak, menggunakan hijab nampak rambut,
pakaian berkaos atau menggunakan pakaian yang tipis, sehingga walaupun wanita
tersebut memakai hijab tapi lekuk tubuhnya terlihat dengan jelas dll.
Al-Albani adalah salah satu ulama kontemporer yang produktif dalam
meneliti hadis, sehingga menghasilkan banyak karya-karya dalam bidangnya.
Disamping itu beliau juga merupakan ulama yang sezaman dengannya maupun
setelahnya hingga saat ini. Beliau lebih dikenal dengan sebutan al-Albani, karena
lahir di Albania tepatnya di Ashqudarrah ibu kota Republik Albania (Eropa) pada
tahun 1333 H/ 1914 M. Ayahnya bernama Nuh Najati al-Hanafi merupakan ulama
besar dalam madzhab Hanafi, seorang lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu
syari’at di ibu kota negara dinasti ‘Utsmaniyah (kini Istambul). 3 Syaikh al-Albani
wafat bertepatan pada waktu ashar hari Sabtu, 23 Jumadil Akhir 1420 H, dan
jenazahnya dimakamkan dipekuburan yang sederhana di pinggiran jalan
sebagaimana yang syaikh al-Albani inginkan.
Melihat kaum wanita di era modern ini, banyak sekali yang kurang
memahami makna hijab yang sesungguhnya, sehingga ada yang mengenakan
hijab, namun barpakaian ketat. Bahkan sering terjadi bahwa dalam hal menutup
aurat di zaman ini yang kurang memperhatikan dari segi syariat Islam, banyak
dari kalangan kaum wanita yang memakai hijab namun seakan mereka seperti
telanjang, karena kerudung hanya sebatas kerudung dipakai hanya untuk
mempercantik diri bukan untuk menutup aurat.
Terdapat banyak kitab-kitab yang membahas mengenai aturan menggunakan
hijab bagi kaum muslimah. Diantaranya adalah kitab Hijab Al-Mar’ah Al-
Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah yang disusun oleh ulama ahli hadis
kontemporer yaitu syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Bagi al-Albani
pemahaman seputar hijab muslimah merupakan hal yang sangat penting karena
telah banyak wanita yang notabene muslimah terperdaya dengan peradaban
Eropa. Para muslimah ini akhirnya bersolek dengan cara jahiliyah. 4 Fenomena ini
mendorong Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani untuk melanjutkan kajian
yang serius tentang pakaian muslimah yang sesuai dengan syariat. Syarat-syarat
tersebut beliau buat agar kaum muslimah mempunyai pegangan yang jelas tentang
pakaian.
Al-Albani mengembalikan masalah hijab ini dengan merujuk kepada al-
Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para salaf al-Shalih. Ia melakukan
kajian masalah hijab karena merasa perihatin terhadap kondisi umat Islam saat ini,
khususnya para kaum wanita muslimah yang perlahan meninggalkan syariat.

3
Umar Abu Bakar, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Kenangan, terj. Abu
Ihsan Al-Atsary (Solo: at-Tibyan, 2000), p. 17-18.
4
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-albani, Hijab Wanita Muslimah Menurut Qur’an dan
Sunnah, (Solo: At-Tibyan, 2016).
Dengan demikian dari uraian di atas terlihat bahwa pembahasan tentang
konsep implementasi hijab dari pandangan al-Albani sebagai peneliti hadis yang
kontroversial adalah sangat menarik dan layak untuk diteliti. Penelitian ini di
tuangkan dalam sebuah judul “Konsep Hijab Ala Sunnah Menurut Syaikh Al-
Albani”. Penulis merasa hal tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi, agar penerapan
atau penggunaan pakaian tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep hijab menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albani?
2. Bagaimana metode Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam
memahami hijab?
3. Bagaimana kualitas Hadits-hadits yang digunakan syaikh al-Albani ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, tujuan yang ingin penulis capai adalah
terjawabnya rumusan masalah di atas.
a. Mengetahui konsep hijab menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani.
b. Mengetahui metode Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
mengenai hijab.
c. Mengetahui kualitas hadis yang digunakan Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani tentang hijab pada wanita muslimah menurut
Qur’an dan Sunnah.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diambil dari penulis skripsi ini di antaranya:
a. Secara praktis
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep hijab ‘ala sunnah
menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani agar senantiasa
menjadi acuan dan motivasi kaum muslimah.
b. Secara Teoritis
Penelitan ini diharapkan menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi para
pengkaji ilmu-ilmu ke Islaman khususnya mengkaji pemikiran para tokoh.
Dan juga dapat menambah wawasan kepustakaan bagi Fakultas
Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
c. Secara Akademis
Penelitan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dalam
sebagai syarat menyelesaikan Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri
Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

3. Tinjauan Pustaka
Karya tulis terdahulu yang pernah membahas tema hijab dalam kitab Hijab
Al-Mar’ah Al-Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah, seperti skripsi ini sangat
banyak, yang dapat penulis sampaikan di antaranya:
1. Skripsi disusun oleh Nur Laili Muthoharoh yang berjudul “Metode
Pemaknaan Hadis Tentang Cadar Perspektif Muhammad Al-Ghazali”.
Program studi Ilmu Hadis fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan
Ampel Surabaya, 2019.5 Dalam skripsi ini permasalahan yang dibahas
yaitu tentang pemaknaan hadis tentang cadar. Bedanya dengan skripsi
penulis yaitu penulis lebih fokus terhadap penggunaan cadar.
2. Sefti Efriana, penelitian ini berupa Tesis yang berjudul “Hijab sebagai
Fenomena dan Budaya”. Program studi Sejarah kebudayaan Islam
fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang, 2016.6
Dalam tesis ini penulis memfokuskan jibab sebagai fenomena agama dan
budaya.
5
Nur Laili Muthoharoh “Metode Pemaknaan Hadis Tentang Cadar Perspektif Muhammad
Al-Ghazali” dalam Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2019.
6
Sefti Efriana “Hijab sebagai Fenomena dan Budaya” dalam Tesis Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas UIN Raden Fatah Palembang, 2016.
3. Skripsi disusu oleh Nurul Inayah Hasyim yang berjudul “Hijab Menurut
Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Wahdah Islamiyah”. Program
studi Peradilan Agama fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin
Makassar, 2017.7 Dalam skripsi ini membahas perbedaan dan persamaan
masing-masing ormas mengenai hijab.
Dalam beberapa penelitian di atas, terdapat persamaan dan perbedaan
dengan penelitian yang akan di kaji oleh penulis. Persamaannya ialah para
peneliti di atas juga membahas tentang hijab, dan perbedaannya yaitu peneliti
lebih fokus terhadap konsep implementasi hijab menurut syaikh al-albani
studi pemikiran hadis syaikh muhammad nashiruddin al-albani dalam
bukunya hijab al-mar’ah al-musimah fi al-kitab wa as-sunnah.

4. Kerangka Teori
Untuk menjawab permasalahan yang ada, maka diperlukan landasan teori
yang dianggap relevan. Adapun teori yang relevan untuk digunakan sebagai alat
ukur untuk mencari jawaban dari permasalahan tersebut.
Secara etimologis, konsep berasal dari kata conceptum yang berarti sesuatu
yang dipahami. Menurut Kamus Besar Indonesia, konsep adalah ide atau
pengertian yang diabstrakkan dari pristiwa konkret.8 Ia juga berarti sebuah
gambaran mental dari obyek, proses, pendapat atau apapun yang digunakan oleh
akal untuk memahami hal-hal lain. Dengan adanya konsep, seorang peneliti
diharapkan dapat menggunakan suatu istilah untuk beberapa kejadian yang saling
berkaitan. Karena konsep juga perfungsi untuk mewakili realitas yang kompleks.
Hijab berasal dari kata ‫اب‬zzz‫ حج‬bentuk kata kerja hajaba yang artinya
“penghalang atau penutupi”.9 Dalam busana, hijab berarti cara berpakaian
muslimah yang sesuai dengan syariat Islam, tidak menampakkan aurat dan lekuk

7
Nurul Inayah Hasyim “Hijab Menurut Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Wahdah
Islamiyah” dalam Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas UIN Alauddin Makassar,
2017.
8
Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
“Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), p. 520.
9
Fadwa El Guibdi, “Hijab Dunia Islam Modern”, Jilid II, (Bandung: Mizan, 2001), p.154.
tubuh. Kata hijab lebih sering merujuk kepada kerudung atau jilbab yang sering
digunakan oleh wanita muslimah.
Dalam bidang Fiqih, salah satu pengertian hijab adalah segala sesuatu yang
menghalangi atau menutupi aurat perempuan dari pandangan mata, sehingga
perempuan yang berhijab di sebut mahjuba. Hijab juga merupakan penghalang
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, untuk menutupi aurat
ataupun untuk menjaga kehormatan mereka dari nafsu syahwat dan untuk
melindungi kaum laki-laki dan perempuan dari segala fitnah.
Syaikh al-Albani ialah salah satu ulama kontemporer yang produktif dalam
meneliti hadis, sehingga menghasilkan banyak karya-karya dalam bidangnya.
Sebagai seorang muslim, al-Albani mengabadikan sebagain besar hidupnya untuk
meneliti secara mendalami hadis Nabi Saw. Syaikh al-Albani telah meneliti
sejumlah kitab hadis, termasuk Shahih al-Bukhari, shahih Muslim, sunan at-
Tirmidzi, Abu Daud, al-Nasa’i dan Ibnu Majah. Ia menulis 117 buku, diantaranya
kitab Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah, yang saat ini
dijadikan sebagai kajian utama dalam peneliti ini.

5. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Library research adalah mangadakan penelitian di perpustakaan dangan
cara mengumpulkan buku-buku literature yang di perlukan dan
mempelajarinya.10 Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan
informasi dengan jalan bantuan berupa buku-buku, majalah, naskah, pendapat
ulama dan lain-nya yang berhubungan dengan penelitian ini.
Dalam hal ini penulis mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan
masalah yang di teliti yaitu dengan berupa buku-buku tentang Syaikh Al-
Albani, khususnya pandangan-pandangan beliau terhadap hijab.
2. Sumber Penelitian

10
M. Ahmadi Anwar, Prinsip-prinsip Metodelogi Research, (Yogyakarta: Sumbangsih,
1995), p, 2.
Adapun pengambilan data atau informasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
a) Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan judul yang
peneliti bahas.11 Adapun yang penulis jadikan sumber primer dalam
penelitian ini adalah kitab Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fi Al-
Kitab Wa As-Sunnah Karya Syaikh Muhammad Nāṣr al-Dīn al-
Albānī.
b) Data sekunder adalah data yang tidak didapat langsung dari
sumbernya, bentuk data sekunder merupakan data-data yang menjadi
penunjang bagi data primer. Data-data ini memiliki relevasi dengan
pembahasan yang diteliti oleh penulis. Yaitu meliputi kitab-kitab
maupun buku-buku atau referensi lain yang berkaitan dengan
masalah Hijab wanita muslimah maupun yang berkaitan dengan
tokoh yang dikaji dalam penelitian ini.

6. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan kedalam
lima bab, masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai
topik-topik tertentu, yaitu sebagai berikut:
Bab Pertama: Adalah pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua: Berisikan gambaran umum tentang hijab yang berkaitan
dengan judul yaitu berupa pengertian dan sejarah hijab, istilah pakaian
penutup aurat, hijab dalam syari’at islam.
Bab ketiga: Berisikan tentang biografi yang didalamnya meliputi
karya-karya, guru-guru, murid-murid, dan pandangan ulama terhadap al-
albani. Kemudian dilanjutkan dengan metode syaikh al-albani dalam
menentukan derajat hadits, dan mengenai hijab.

11
Winarno Surahkmad, Pengantar Penelitian Ilmu Dasar Metode dan Tematik, (Bandung:
Tarsito, 1990), p, 78.
Bab keempat: Membahas analisis otentisitas hadis-hadis tentang
hijab menurut syaikh al-albani
Bab kelima: Berisikan kesimpulan, saran, dan penutup.

BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG HIJAB

A. Pengertian Hijab dan Sejarah Hijab

1. Pengertian Hijab
Hijab berasal dari kata ‫ حج اب‬bentuk kata kerja hajaba yang artinya

“penghalang atau penutupi”. Pada zaman Nabi, seseorang perempuan tidak


diperbolehkan bertemu dengan laki-laki tanpa hijab, kecuali bertemu dengan
suami mereka, ayah mereka, putra-putra mereka, perempuan-perempuan Islam,
anak laki-laki yang belum mengerti tentang aurat perempuan.12

Menurut Asma Nadia, hijab diartikan sebagai penutup yang bentuknya seperti
kain penutup, tirai pembatas, dinding dll. Jika dilihat dari tren pada akhir-akhir ini
hijab sering dimaknai dengan jilbab. 13 Adapun menurut Murtadha Mutahhari,

12
Deni Sutan Bahtiar, Berjilbab dan Tren Bukan Aurat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2009),
p. 19.
13
Asma Nadia, La Tahzan For Hijabers, (Depok: Asma Nadia Publishing House,1990), p.
13.
hijab diartikan sebagai penutup, maksudnya ialah perempuan harus menutup aurat
dalam pergaulannya dengan laki-laki, dan tidak boleh memperlihatkan tubuhnya. 14
Dalam busana hijab berarti cara berpakaian muslimah yang sesuai dengan syariat
Islam, tidak menampakkan aurat dan lekuk tubuh. Kata hijab lebih sering merujuk
kepada kerudung atau jilbab yang sering digunakan oleh wanita muslimah.

Sedangkan dalam bidang Fiqih, salah satu pengetian hijab adalah segala
sesuatu yang menghalangi atau menutupi aurat perempuan dari pandangan mata,
sehingga perempuan yang berhijab di sebut mahjuba. Dalam hal tersebut
berkaitan dengan al-Qur’an surat an-Nur ayat 31 dan surat al-Ahzab ayat 59 yang
berisikan tentang keharusan mukminat untuk menutup auratnya dari laki-laki yang
bukan muhrimnya. Syaikh al-Albani kemudian memandang bahwa jilbab
merupakan bagian dari hijab.

Sebagaimana yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf [7]: 26 :


       
          
15
.  

“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian


untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa,
itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah,
mudah-mudahan merekaingat.”

Ayat diatas telah menunjukkan aturan yang jelas tentang berpakaian bagi
kaum muslim. Namun dalam agama Islam lebih mengkhususkan perempuan
dalam aturan berpakaian untuk menutupi auratnya dan menunjukkan bahwa dia
merupakan simbol khas untuk wanita muslimah sehingga dalam kehidupan sehari-
hari aurat perempuan harus tertutup untuk mentaati perintah Agama yang telah
diturunkan oleh Allah SWT.
Wanita Muslimah yang menyadari petunjuk agamanya selalu memperhatikan
kesederhanaan dalam segala hal, khususnya dalam berpakaian dan

14
Murtadha Mutahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, (Bandung: Mizan, 1990),p. 13.
15
Al-Qur’an kemenag, https://quran.kamenag.go.id/sura/(diakses pada tanggal 15 Januari
2021).
berpenampilan.16 Bahkan perkara menutup aurat merupakan sesuatu yang penting
dan tidak dapat dihindari. Aurat sendiri diartikan sebagai bagian badan yang tidak
boleh kelihatan (hukum Islam).17 Seorang muslimah diwajibkan untuk
menggunakan hijab, karena merupakan fitrah seorang wanita yang dilahirkan
sebagai makhluk lemah lembut sehingga membutuhkan hijab sebagai pelindung. 18
Pelindung yang dimaksud yaitu untuk menjaganya dari pandangan buruk laki-laki
dan dari fitnah yang akan ditimbulkan.

2. Sejarah Hijab
Hijab merupakan peradaban yang sudah dikenal beratus-ratus tahun sebelum
datengnya Islam. Pada umumnya hijab bagi wanita telah diakui keberadaanya
dalam wilayah Mosopotamia/mediterania.19 Sebelum masa Islam, hijab
merupakan bagian dari adat yang kadang-kadang dikerjakan dan juga sarana
perzinaan jumlahnya sangat banyak, pada masa jahiliah tidak bisa diharamkan
sekaligus karena terasa berat bagi jiwa-jiwa yang masih baru meninggalkan
kejahiliahannya dan kesesatan. Contohnya, thawaf disekitar kabah dengan
telanjang, syiar yang mengandung kata-kata mesum dan rayuan gombalan
anggapan remeh terhadap perzinaan yang dilakukan oleh perempuan budak, dan
tindakan mempekerjakan para budak perempuan itu. Penetapan hukum pada suatu
tujuan yakni zina, baru kemudian pengharaman sarana-sarananya yang sangat
banyak, agar jiwa menjadi tertarik dan tergerak untuk menghindarinya.

Setelah Allah mengharamkan zina, menetapkan hukum yang tegas dalam hal
ini, dan Allah telah meluruskan fitrah yang menyimpang pada masa jahiliah
dahulu, terjadilah adaptasi dan Allah pun mengharamkan sarana perzinaan sesuai
dengan kadar kekuatan, kecepatan, dan kedekatan sarana tersebut kepada zina. Di
antara cara Allah mengharamkan sarana zina yaitu dengan mensyariatkan hijab,
16
Muhammad Ali al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah , (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2006), p. 365.
17
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), p. 77.
18
Dikutip dari Nur Laili Muthoharoh, “Motode Pemaknaan Hadis Tentang Cadar
Perspektif Muhamad Al-Ghazali” Dalam Skripsi. Juni 2019.
19
Nurul Inayah Hasyim “Hijab Menurut Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Wahdah
Islamiyah” dalam Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas UIN Alauddin Makassar,
2017.
jilbab, dan kerudung bagi wanita. Hal ini disyariatkan pada tahun ke-5 kenabian
atau sekitar itu.20

Ketidaktahuan tentang sejarah turunnya wahyu merupakan pintu bagi para


pengikut hawa nafsu. Mereka masuk kepintu ini untuk mengambil apa yang
mereka mau. Bahkan hadis-hadis dan kisah-kisah bahwa manusia meminum
khamr sebelum hal itu diharamkan pun sangatlan banyak jumlahnya. Dalam
Islam, syariat hijab dan menutup aurat dengan pakaian tidak diwajibkan sekaligus,
namun diwajibkan secara bertahap.

Pada budaya Arab pra-Islam, hijab bukan hal baru lagi bagi mereka. Anak
perempuan yang sudah mulai menginjak usia dewasa, biasanya mengenakan
jilbab sebagai tanda bahwa mereka meminta untuk segera dinikahkan. Disamping
itu bagi mereka hijab merupakan ciri khas yang membedakan antara wanita
merdeka dan para budak atau hamba sahaya. Dalam syair-syair, mereka banyak
dijumpai istilah-istilah khusus kesemuaannya yang mengandung arti relatif sama
dengan hijab. Diantara istilah-istilah yang mereka gunakan ialah niqab, khimar,
qina’, khaba, dan khadar.21 Bangsa Arab pra-Islam mewajibkan perempuan
berhijab, mereka menganggapnya sebagai tradisi yang harus dilakukan, dan ketika
Islam datang, ia mengesahkan tradisi tersebut.

Dalam budaya Yunani, sudah menjadi tradisi bagi wanita-wanitanya untuk


menutup wajahnya dengan selendangnya, atau dengan menggunakan hijab khusus
yang terbuat dari bahan tertentu, tipis dan bentuknya sangat baik. Peradaban
Yunani tersebut kemudian ditiru oleh bangsa-bangsa sekitarnya. Namun, akhirnya
peradaban tersebut mengalami kemunduran karena kaum wanitanya dibiarkan
bebas dan boleh melakuksan apapun, termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh
kaum laki-laki. Sementara itu dalam masyarakat Romawi, seperti diungkapkan
Farid Wajdi, kaum wanita sangat memperhatikan hijab mereka dan tidak keluar

20
Abdulaziz bin Marzuq Ath-Tharifi, “Al-Hijab fisy-Syar’i wal Fitrah”, terj. Hijab, Busana
Muslimah Sesuai Syariat dan Fitrah, (Solo: Al Qowam, 2015), cet. I, p. 33-34.
21
Abd Rasul Abd Hasan al-Ghaffur, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, p. 39.
rumah kecuali dengan wajah tertutup. Bahkan, mereka masih berselendang
panjang yang menjulur menutupi kepala sampai ujung kaki.22

Peradaban-peradaban Islam yang mewajibkan pengenaan hijab bagi kaum


wanita tidak bermaksud untuk menjatuhkan kemanusiaannya dan merendahkan
martabatnya. Akan tetapi berhijab semata untuk menghormati dan memulihkan
agar norma-norma sosial dan agama mereka tidak runtuh. Gereja-gereja zaman
dulu dan biarawati-biarawatinya bercadar, berkerudung, serta mengenakan kebaya
panjang menutup seluruh tubuhnya sehingga jauh dari kekejihan dan kejahatan.23

Berhijab merupakan suatu keindahan, akan tetapi keindahan itu akan hilang
dengan sendirinya, apabila seseorang tidak memperhatikan aurat-nya. Karena
pada dasarnya hakikat hijab adalah untuk menutupi aurat perempuan, bukan hanya
penutup kepala belakang.24 Hijab ialah pakaian yang lapang dan luas yang dapat
menutup aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan yang populer
di kalangan masyarakat Indonesia adalah kerudung yang umumnya dipakai oleh
wanita muslimah Indonesia.

B. Istilah Pakaian Penutup Aurat


Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, makna menutup aurat disebutkan dengan
istilah yang beragam, sehingga terkadang orang sulit memahaminya. Tidak
menutup kemungkinan sebagaian fukaha menggunakan istilah yang sama dengan
makna yang berbeda dari makna yang dimaksud dalam wahyu. Penggunaan istilah
sangatlah luas dalam berbagai bidang keilmuan. Namun kita harus bisa
membedakan makna penggunaan istilah tersebut, dalam bahasa syara’ dan dalam
bahasa para fukaha, biasanya makna istilah tersebut secara bahasa mencakup
keduanya agar tidak terjadi kerancuan makna dan kesalapahaman dalam
mengartikan istilah wahyu dan istilah fukaha. Adapun istilah-istilah semacam ini
sangatlah banyak, contoh:

22
Sefti Efriana, “Jilbab Sebagai Fenomena Agama dan Budaya” dalam Tesis Program
Studi Sejarah Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, 2016.
23
Abd Rasul Abd Hasan al-Ghaffur, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, p. 38.
24
Deni Sultan Bachtiar, “Berhijab dan Trend Menutup Aurat”, p. 3
1. Hijab
Kata hijab dalam al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki arti pembatas yang
menutupi antara dua hal, seperti tembok, kain, atau kayu. Dalam al-Qur’an
dan As-sunnah kata hijab tidak selalu bermakna pakaian. Contohnya: Dalam
al-Qur’an surat {Maryam [19]: 17}

...‫ت ِم ْن ُد ْوهِنِ ْم ِح َجابًا‬


ْ ‫فَاخَّتَ َذ‬
“Lalu dia memasang hijab (tabir) yang melindunginya dari pandangan
mereka”
Potongan ayat diatas menjelaskan, bahwa makna hijab tidak selalu
pakaian bagi golongan tertentu. Tetapi maknanya ialah pembatas antara dua
hal atau dua belah pihak.
Kata hijab pun terkadang juga bermakna sesuatu yang menutupi salah
satu bagian tubuh, namun jumlahnya dalam hadits hanya sedikit. Makna hijab
dalam kisah Isa bin Maryam inilah yang sering digunakan oleh para fukaha
dan penulis pada zaman ini. Mereka mengartikan kata hijab dengan “segala
jenis pakaian yang menutupi badan”. Yang dimaksud badan disini yaitu
badan wanita. Sebagaian mereka juga lebih mempersempit bahwa maksud
hijab adalah pakaian yang menutupi kepala dan wajah. Penyempitan makna
ini sama sekali tidak berlawanan dengan bahasa Arab, namun makna ini tidak
dikenal dalam bahsa al-Qur’an dan As-Sunnah, serta istilah para sahabat.

2. Khimar (kerudung)
Kata khimar dalam firman Allah disebutkan dalam surat (An-Nur [24]: 31)
yang berbunyi:

َّ ِ‫ُجيُوهِب‬
...‫ن‬ ‫ض ِربْ َن خِب ُ ُم ِر ِه َّن َعلَ ٰى‬
ْ َ‫ َولْي‬...
“Hendaklah mereka menutupkan kain khimar (kerudung) ke juyub mereka”

Kata khimar merupakan masdar dari kata khammara-yukhammiru-


takhmiran yang artinya ghaththa (menutupi, menutupkan). Oleh karena itu
minuman memabukkan dinamakan khamr, karena apabila diminum dapat
menutupi akal sehat. Khimar adalah pakaian yang dikenakan wanita dikepala
hingga menutupi bagian di bawahnya, khimar juga disebut nashif. Khimar
digunakan untuk menutupi dan menyelubungi 3 anggota badan yaitu:
Pertama, Kepala. Kedua, Dada. Ketiga, Wajah.25

Segala sesuatu yang menutupi tiga bagian tersebut, atau salah satu dari
ketiganya termasuk khimar. Akan tetapi pada dasarnya khimar yang dipakai
wanita adalah memiliki bagian yang mengelilingi dan bagian tengah, yang
bermula dari kepala dan meliputinya, kemudian turun lagi hingga menutupi
wajah, pundak, dan dada.

3. Jilbab
Adapun kata jilbab juga disebutkan dalam firman Allah, dalam surat (Al-
Ahzab [33]: 59)

       


   …

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu,


dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke
seluruh tubuh mereka.”

Jilbab adalah kain yang lebih longgar dari pada khimar, digunakan
untuk menutupi badan bagian atas dan tengah. Tetapi jilbab lebih pendek
daripada selendang, Jilbab dibiarkan menjulur sehingga menutupi wajah dan
dada. Diriwayatkan oleh ‘Aisyah, ia berkata:

‫ص الِ ٍح‬ ٍ
َ ‫يم بْ ُن َس ْعد َع ْن‬
ِ ِ ِ َّ ِ ِِ
ُ ‫ َح َّد َثنَا َعْب ُد الْ َعزيز بْ ُن َعْبد الله َح َّد َثنَا إ ْبَراه‬: ٤١٤١ ‫صحيح البخاري‬
‫اص َوعَُبْي ُد‬ ِ َّ‫يد بْن الْمس ي‬
ٍ َّ‫ب َو َع ْل َق َم ةُ بْ ُن َوق‬ ِ ِ ُّ ‫اب قَ َال ح َّدثَيِن ع روةُ بن‬ ٍ ‫َعن ابْ ِن ِش ه‬
َ ُ ُ ُ ‫الز َبرْي َو َس ع‬ ُْ َُْ َ َ ْ
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ
َ ِّ ‫اللَّه بْ ُن َعْب د اللَّه بْ ِن عُْتبَ ةَ بْ ِن َم ْس عُود َع ْن َعائ َش ةَ َرض َي اللَّهُ َعْن َه ا َز ْو ِج النَّيِب‬
26
. ‫ت َو ْج ِهي جِبِ ْلبَايِب‬
ُ ‫َو َسلَّ َم قَ َال فَ َخ َّم ْر‬

25
Abdulaziz bin Marzuq Ath-Tharifi, “Al-Hijab fisy-Syar’i wal Fitrah”, p. 44-47.
26
Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mugīrah al-Ju‘fiy al-Bukhāriy,
Al-Jāmi‘ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam wa
Sunanih wa Ayyāmih, ed. Muḥammad Zuhair ibn Nāṣir al-Nāṣir, (Beirut: Dār Ṭauq al-Najāt, 1422
H.), cet ke-1, Juz 5, p. 116.
Shahih Bukhari 4141: Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz
bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari
Shalih dari Ibnu Syihab ia berkata: telah menceritakan kepadaku 'Urwah
bin Az Zubair dan Sa'id bin Al Musayyab dan 'Alqamah bin Waqash Al
Laitsi dan 'Ubaidullah bin Abdullah bin 'Uqbah bin Mas'ud dari 'Aisyah
radliyallahu 'anha istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Aku
langsung menutup wajahku dengan jilbabku”.
Menurut Nu’aim Al-Ashbahani berkata, “Jilbab lebih longgar
dibandingkan khimar dan lebih pendek dibandingkan selendang (rida’). Jilbab
digunakan untuk menutupi dada dan kepala.”27

Pendapat Nu’aim diatas menjelaskan bahwa, khimar (kerudung) lebih


ketat dibandingkan jilbab. Khimar dipakai oleh wanita untuk menutupi kepala
dan bagian bawah, serta menempel ketat di badan. Sedangkan jilbab yaitu
penutup yang lebih longgar dan tidak ketat pada bagian wajah dan dada,
sehingga tidak terlihat tonjolannya.

Dalam penelitian ini, penulis lebih menggunakan istilah hijab. Karena


penulis memiliki pandangan bahwa istilah hijab itu lebih tepat untuk
digunakan sebagai segala jenis pakaian yang menutupi badan dan kepala bagi
seorang wanita muslimah, maka tak heran apabila istilah tersebut sangat
familiar digunakan oleh ulama fiqih, kaum muslimin khususnya kaum
muslimah.

C. Hijab Dalam Syariat Islam (syar’i)


Adapun syarat pakaian wanita muslimah menurut Syaikh Shalih bin Fauzan
bin Abdillah al-Fauzan, dalam bukunya yaitu Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu
bil Mu’minat, yang diatur oleh syariat Islam haruslah syar’i, diantaranya:28

1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.


Seluruh tubuh wanita, kecuali wajah dan telapak tangannya adalah aurat,
yang harus ditutup dan tidak boleh diperlihatkan oleh orang-orang yang tidak
berhak untuk melihatnya.

27
Abdulaziz bin Marzuq Ath-Tharifi, “Al-Hijab fisy-Syar’i wal Fitrah”, p. 50.
28
Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan, “Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu bil
Mu’minat”, Terj. Abu Ahmad Abdul Fattah, Rambu-rambu Syariat Praktis Fiqih Wanita, (Solo:
As-Salam Publishing, 2010), p. 41.
2. Tidak berlebihan
Agama Islam memperhatikan keindahan dalam segala hal, termasuk dalam
cara berpakaian. Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa seorang laki-laki
berkata kepada Nabi Saw, “Sesungguhnya seseorang suka pakaian bagus dan
sendalnya bagus.” Maka Nabi bersabda:

‫يم بْ ُن ِدينَ ا ٍر مَجِ ًيع ا َع ْن حَيْىَي بْ ِن‬ ِ ِ ٍ


ُ ‫وح َّدثَنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمَثىَّن َوحُمَ َّم ُد بْ ُن بَشَّار َوإ ْبَراه‬
َ :٩١ ‫صحيح مسلم‬
‫ض ْي ٍل الْ ُف َقْي ِم ِّي َع ْن‬ ِ ٍ ٍ
َ ‫َخَبَرنَا ُش ْعبَةُ َع ْن أَبَا َن بْ ِن َت ْغل‬
َ ُ‫ب َع ْن ف‬ ْ ‫مَحَّاد قَ َال ابْ ُن الْ ُمَثىَّن َح َّدثَيِن حَيْىَي بْ ُن مَحَّاد أ‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم قَ َال اَل يَ ْد ُخ ُل‬ ٍ ِ ِ ِ ‫إِب ر ِاهيم الن‬
َ ِّ ‫َّخع ِّي َع ْن َع ْل َق َم ةَ َع ْن َعْب د اللَّه بْ ِن َم ْس عُود َع ْن النَّيِب‬
َ َ َْ

ُّ ِ‫الر ُج َل حُي‬
ُ‫ب أَ ْن يَ ُك و َن َث ْوبُهُ َح َس نًا َو َن ْعلُه‬ َّ ‫ال ذَ َّر ٍة ِم ْن كِرْبٍ قَ َال َر ُج ٌل إِ َّن‬
ُ ‫اجْلَنَّةَ َم ْن َك ا َن يِف َقْلبِ ِه ِم ْث َق‬
29
ُ ‫ب اجْلَ َم َال الْ ِكْبُر بَطَُر احْلَ ِّق َو َغ ْم‬
ِ ‫ط الن‬
.‫َّاس‬ ُّ ِ‫يل حُي‬ ِ َّ ِ
ٌ ‫َح َسنَةً قَ َال إ َّن اللهَ مَج‬
Shahih Muslim 91: Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-
Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar serta Ibrahim bin Dinar semuanya dari
Yahya bin Hammad, Ibnu al-Mutsanna berkata: telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Hammad telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Aban bin
Taghlib dari Fudlail al-Fuqaimi dari Ibrahim an-Nakha'i dari Alqamah dari
Abdullah bin Mas'ud dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi
dari kesombongan." Seorang laki-laki bertanya, "Sesungguhnya laki-laki
menyukai baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?" Beliau
menjawab: "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.
Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia."

Pada zaman sekarang, banyak model pakaian dijumpai sesuai dengan kultur
daerah masing-masing. Adapun model pakaian tertentu yang dianggap lazim
disebuah daerah akan tetapi di pandang aneh dan tidak pantas. Syariat Islam
menegaskan tentang penggunaan pakaian yang menutup aurat, sehingga tidak
menampakkan kepada orang-orang yang tidak berhak.

29
Muslim ibn al-Ḥajjāj Abū al-Ḥasan al-Qusyairiy al-Naisābūri, Al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-
Mukhtaṣar binaql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ilā Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam, ed. Muḥammad
Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al-‘Arabiy, 1424 H.), cet ke-1, Juz 1, p. 93.
3. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-laki
Dalam berpakaian, Allah melaknat kaum wanita yang menyerupai pakaian
laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai pakaian wanita, maupun dalam hal
lainnya.

4. Pakaian Tidak Menampakkan Aurat


Adapun hijab yang dikenakan oleh wanita bukan hanya harus menutupi
seluruh tubuh saja, melainkan juga tidak boleh menggambarkan lekuk tubuh.
Tidak dibenarkan mengenakan busana tertutup tubuh tetapi masih
menggambarkan lekuk tubuh. Dalam pandangan Islam adalah suatu keharusan
untuk seluruh muslimah yang telah dewasa atau baliq, karena seorang wanita di
ibaratkan bagaikan berlian yang sangat mahal yang harus terus dijaga.

Syaikh Al-Albani pun menegaskan bahwa tujuan dari mengenakan hijab


adalah untuk menghilangkan fitnah. Dan itu tidak mungkin terwujud kecuali
pakaian yang dikenakan oleh wanita itu longgar dan luas. Serta pakaian tidak
terlalu ketat, dan menutupi bagian tubuh yang merangsang nafsu birahi laki-laki.

Dalam ajaran agama Islam, memakai hijab memiliki fungsi bagi wanita
sebagai berikut:

a) Menjaga kesucian mereka.


b) Petunjuk identitas, yang dapat membedakan antara seseorang dengan yang
lain.
c) Perhiasan (sesuatu yang di gunakan untuk memperelok).

Allah mengetahui bahwa manusia pada dasarnya menyukai ke indahan, salah


satunya ialah perhiasan. Karenanya Allah membolehkan manusia untuk berhias
dengan pakaian yang sesuai aturan-nya.

Ibnu Katsir menafsirkan kata ar-Riyasy sebagai suatu kata yang dipakai untuk
menghiasi diri tau berhias. Ibnu Jarir pun mengatakan bahwa ar-Riyasy adalah
peralatan dan semua pakaian yang tampak secara lahiriah.30

30
Anton Ramdan, ”The Miracle of Jilbab: Hikmah Cantik & Sehat secara Ilmiah Dibalik
Syariat Jilbab”, p. 6.
d.) Perlindungan dari cuaca panas maupun dingin.

Sehubungan dengan hal tersebut, hijab digunakan untuk membedakan antara


wanita terhormat dengan wanita lainnya, yang demikian agar mereka lebih mudah
untuk dikenal dan tidak di ganggu oleh para laki-laki. Menurut al-Qurtubi ketika
wanita keluar rumah dengan mengenakan hijab, maka berarti dia sudah
menunjukkan kemuliaan dirinya, sekaligus memberikan pertanda bahwa dirinya
adalah wanita yang terjaga kehormatannya.
BAB III
SEKILAS BIOGRAFI SYAIKH MUḤAMMAD NĀṢR AL-DĪN AL-
ALBĀNĪ

A. Riwayat Hidup Syaikh Muḥammad Nāṣr Al-Dīn Al-Albānī

B. Aktifitas Sosial dan Dakwah Syaikh Muḥammad Nāṣr Al-Dīn Al-Albānī

Nama lengkap beliau adalah Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn
ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam, lebih dikenal dengan sebutan al-Albānī.
Beliau lahir di Albania tepatnya di Asyqudarrah (ibu kota Albania) saat itu pada
tahun 1914 M/1333 H.31 Beliau lahir dari keluarga yang sedarhana jauh dari
kekayaan dunia. Keluarga yang lebih fokus kepada ilmu-ilmu Agama. Beliau juga
dikenal dengan al-Dimasyqiy karena pernah menetap di Damaskus selama kurang
lebih lima tahun. Beliau juga dikenal dengan Al-Urduniy karena Yordania
merupakan tempat tinggal dan tempat wafatnya. Syaikh al-Albānī selalu
menghabiskan waktunya dengan meneliti, menulis dan berdakwah hingga Allah
memanggilnya pada hari sabtu, 23 Jumadil Akhir 1420 H.

Penyelenggaran jenazah dilakukan sesuai dengan yang telah diwasiatkan, dan


jenazah di makamkan di pemakaman yang sedarhana di pinggiran jalan
sebagaimana yang Syaikh al-Albānī inginkan. Sebelum wafat Syaikh al-Albānī
memberikan beberapa wasiat. Pertama, kepada istri-istrinya, anak-anaknya dan
seluruh orang yang mencintainya, jika mendengar kabar tentang wafatnya beliau
hendaknya mendoakannya agar mendapat maghfirah dan rahmat, jangan meratapi
beliau atau menangis hingga bersuara keras. Kedua, menyegerakan penguburan,
dan Syaikh al-Albani meminta agar yang memandikan jenazahnya adalah al-Akh
Izzat Khaiddir Abu ‘Abdillah yaitu tetangga sekaligus temanku yang tulus untuk

31
Herry Mohammad Dkk, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani, 2016), p. 248.
membantu pemandiannya. Ketiga, Syaikh al-Albānī berkata “Pilihlah perkuburan
yang paling dekat, agar jangan sampai jenazahku diangkut dengan kendaraan dan
para pengiring menaiki kendaraan mereka untuk mengiringinya”.32

Ayah beliau bernama Nuh Najati al-Hanafi merupakan salah ulama besar di
Albania bermazhab Hanafi. Beliau menimba ilmu di Istambul Turki. Lingkungan
tempat beliau tinggal ketika masih muda adalah lingkungan yang kental nafas
Agamanya, memelihara ajaran dalam segala aspek kehidupan. Hingga
berkuasalah raja Albania saat itu, yaitu Ahmad Zugu, yang mengadakan
perombakan total sendi-sendi kehidupan masyarakat yang menyebabkan
goncangan hebat bagi masyarakat Albania dan bagi al-Albānī sendiri. Ahmad
Zagho berkuasa dengan mengikuti langkah Thaghut Turki, yakni Kamal Ataturk.
Diantara bukti kesewenang-wenangan Ahmad Zagho adalah ia mengharuskan
wanita-wanita muslimah meninggalkan hijabnya.33

Syaikh al-Albānī yang sekarang dikenal sebagai ulama kritikus hadis abad ini.
Pada dahulunya syaikh al-Albani ialah seorang yang hidup dalam keluarga yang
kondisi ekonominya rendah. Beliau pernah berkerja sebagai tukang kayu yang
biasa merenovasi rumah-rumah lama yang telah rusak dan hancur di sebabkan
oleh hujan dan salju. Kemudian beliau bekerja membantu ayahnya mereparasi jam
sampai mahir betul dan saat itulah al-Albānī mendapatkan waktu yang lebih
banyak untuk belajar. Bagi al-Albani pekerjaan ini merupakan nikmat yang di
karuniai oleh Allah SWT padanya, karena dengan begitu ia mempunyai
kesempatan menghadiri kajian-kajian di mesjid. Pada awalnya syaikh al-Albani
senang membaca buku-buku cerita Arab, seperti Al-Zahir wa’Antarah, cerita-
cerita detektif yang di terjemahkan kedalam bahasa Arab, seperti Archier Lobphin
dan lain-lainnya serta buku-buku sejarah.

Dikota Damaskus mulailah al-Albānī menuntut ilmu bahasa Arab. Beliau dan
saudara-saudaranya yang dimasukkan ke Madrasah Jum’iyyah Al-Is’aaf Al-
32
Umar Abu Bakar, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Kenangan, p. 115-
116.
Mubarok bin Mahfuz Bamuallim, Biografi Syaikh Al-Albani: Mujaddid dan ahli hadis
33

abad ini (Bogor: Pustaka Imam Al-Syafi’iy, 2003), p. 13.


Khairi.34 Madrasah itu terletak di sebelah bangunan tua bersejarah yang masyhur
dengan dengan sebutan istana besar di dusun Al-Bazuuriyah. Beliau menimba
ilmu di situ hingga hampir menyelesaikan pendidikan Ibtidaiyah. Namun pada
saat itu bergejolak juga revolusi Syiria yang dihembuskan oleh orang-orang
Prancis. Madrasah tempat beliau belajar terbakar. Lalu murid-murid dipindahkan
ke madrasah lain dipasar Saarujah.
Kesemangatan beliau dalam mempelajari ilmu-ilmu hadis berawal pada suatu
hari dimana ia mendapatkan majalah al-Anwar yang di dalamnya terdapat tulisan
Sayyid Rasyid Rida ketika membahas kitab Ihya’ Ulumuddin. Al-Albānī tertarik
dengan tulisan tersebut karena bagi beliau baru kali ini mendapatkan tulisan
ilmiah seperti ini. Rasyid Rida juga menyebutkan bahwa Abu Radil Zainuddin al-
Iraqi mempunyai sebuah kitab yang berjudul Al-Mugni’an Hamli al-Asfar fi al-
Asfar fi Tahrij ma fi al-Ihya’ min al-Akbar. Kitab tersebut membahas tentang
Ihya’ Ulumuddin dengan meneliti hadis-hadis serta memisahkan antara yang sahih
dan yang daif. Al-Albani mengikuti seluruh pembahasan tentang kitab al-Ihya’
tersebut sampai akhir, baik dari seluruh edisi majalah al-Manar maupun kitab
aslinya Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali, al-Albani mulai tertarik dengan takhrij
yang dilakukan oleh al-Hafiz al-Iraqi sehingga beliau menyalinnya dalam satu
naskah atau meringkasnya dengan memanfaatkan kitab-kitab ayahnya sebagai
referensi dalam memahami kata-kata asing karena ia adalah seorang ajam (bukan
orang Arab). Hasil salinan dan ringkasan al-Albani tersebut mencapai 4 juz dan
dalam 3 jilid mencapai 2012 halaman dengan dua macam tulisan, yang pertama
tulisan biasa dan yang kedua tulisan yang lebih rapih dan teliti disertai footnote
yang berisi komentar, penafsiran makna hadis, atau melengkapi sesuatu yang di
anggap perlu dari tulisan al-Iraqi. Jika ada kata-kata sulit beliau mengambil atau
merujuk pada kitab Garib al-Hadis karya Ibnu al-Asir, al-Nihayah dan beberapa
kamus.

1. Guru-guru Syaikh Muhammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī

34
Umar Abu Bakar, “Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Din al-Albani dalam kenangan”,
p. 18.
Disisi ahli riwayah sangatlah penting keterangan mengenai guru-guru yang
kepadanya seseorang menimba ilmu, baik dirayah maupun riwayah. Bahkan guru-
guru beliau dikenal dan masyhur keilmuannya,35 adapun nama-nama gurunya
yaitu:

a) Nuh Najati al-Hanafi, beliau wafat pada tahun 1372 H. Dikenal sebagai
ulama besar di Albania.
b) Syaikh Sa’id al-Burhani, (w. 1386/1967 M).
c) Imam Abdul Fattah.
d) Syaikh Muhammad Bahjat al-Baitar, (w. 1396). Beliau dikenal ulama
syam penyeru dan pembela sunnah di zamannya.
e) Syaikh Muhammad Raghib at-Tabbakh.
f) Syaikh Badruddin al-Hasani, (w. 1354 H), beliau adalah ulama kesohor di
Syam, dan beliau juga menjadi guru hampir semua ulama Syam
dimasanya.
g) Ahmad bin Muhammad Sakir, (w. 1377). Beliau dikenal sebagai
pentakhrij Musnad Ahmad, yang secara terang-terangan memuji kaum
“Wahabiyah” dengan perkataannya.36
h) Dan lain sebagainya.

Syaikh al-Albānī memiliki ijazah hadits dari gurunya yaitu Syaikh


Muhammad Raghib at-Tabbakh, yang dari beliau syaikh al-Albānī mempelajari
ilmu hadits dan mendapatkan hak penyampaikan hadits darinya. Syaikh al-Albani
pun menjelaskan tentang ijazahnya kepada kitab Mukhtasar al-‘Uluw, pada
halaman 72, dan Tahdzir as-Sajid, pada halaman 63. Syaikh al-Albānī berlanjut
memiliki ijazah dari Syaikh Muhammad Bahjat al-Baitar, dimana isnad dari
Syaikh terhubung ke Imam Ahmad. Keterangan tersebut terdapat dalam kitab
Hayah al-Albani, pada jilid I halaman 44, yang dikarang oleh Muhammad Asy-

35
Abu Abdillah as-Surianji, Sanad al-Imam Nashiruddin al-Albani Rahimahullahu, p. 9.
36
Abu Abdillah as-Surianji, Sanad al-Imam Nashiruddin al-Albani Rahimahullahu, p. 21.
Syaibani. Ijazah tersebut merupakan bukti bahwa Syaikh al-Albani benar ahli
dalam hadits, dapat dipercaya untuk membawakan hadits secara teliti.37

2. Murid-murid Syaikh Muhammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī

Selain memiliki guru-guru dalam menuntut ilmu, Syaikh al-Albānī pun


mempunyai murid-murid yang menimba ilmu kepada beliau. Dalam kitab Juhud
Syaikh al-Albani fi al-Hadits Riwayah wa Dirayah, yang dikarang oleh
Abdurrahman bin Muhammad Shalih al’Aizari, tercantum 31 murid beliau,
diantaranya yang paling terkenal, ialah:

a) Syaikh Hamdi ibn ‘Abd al-Majid ibn Ismail al-Salafi, beliau lahir pada
tahun 1339 H/1921 M. Seorang ahli hadis dari Iraq (Kurdistan) dan
dikenal sebagai pentakhrij al-Mu’jam Al-Kabir Al-Tabrani dan lain-
lainnya. Beliau bejalar dalam bidang fiqih, tafsir, ilmu hadits, sirah
nabawiyah dan lainnya kepada Syaikh al-Albani.
b) Syaikh Salim Hilali, beliau adalah Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali
dilahirkan pada tahun 11377 H/1957 M.
c) Syaikh Ali Hasan al-Hallabi, beliau lahir pada tahun 1380 H/1960 M di
kota Zarqa, Yordania.
d) Syaikh Musa Nasr, beliau dilairkan diperkemahan Balatut di palestin pada
tahun 1374 H. Kemudian beliau menuntut ilmu di Fakultas al-Qur’an
Universitas Islam Madinah dan menerima gelar sarjana dalam bidang
Qira’at dan Ulumul al-Qur’an pada tahun 1918.
e) Syaikh Usamah al-Qusi al-Hajjaji, beliau lahir pada tahun 1373 H/ 1954 M
di Kairo. Dan murid-murid beliau yang lain tersebar di berbagai penjuru
negeri.

3. Pandangan Ulama terhadap Syaikh Muhammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī

Abdurrahman bin Muhammad Shalilh al-‘Aizari, “Juhud Syaikh al-Albani fi al-Hadits


37

Riwayah wa Dirayah”, (Riyadh: al-Maktabah Rusyd, 1427), p. 43.


Untuk melengkapi kajian pada penelitian ini, alangkah baiknya jika penulis
kutipkan pujian sebagian ulama riwayah kepada syaikh al-Albani, ahli-ahli
riwayat ini adalah para musnid yang tinggi dan banyak memberi ijazah. Berikut
ini pujian para musnidin itu kepada al-Albani ialah:

a) Syaikh Ahmad bin Shodiq al-Ghumari: Beliau berkata dalam hadiah-nya


untuk al-Albani “Hadiah dari penulisnya kepada Hadzrat al-Ustadz al-
Allamah al-Atsari asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani ad-
Dimasyqi”. Ahmad bin Shiddiq 9 Dzumdil Tsaniah 1377”.
b) Syaikh Hammad al-Anshori: Beliau menyebut Syaikh al-Albani
Rahimahullahu, “Syaikhul Hadits Nashiruddin al-Albani”.
c) Syaikh Badiuddin ar-Rasyidi as-Sindi: Beliau menyebut Syaikh al-Albani
Rahumahullahu, ”Fadhilatul Muhadits asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani”.
d) Syaikh Muhammad Shulthon al-Ma’shumi: Beliau menyebut Syaikh al-
Albani Rahumahullahu, ”al’Alim al-Jadid wa al-Fadhil an-Nabil Saudara
karena Allah Syaikh Nashiruddin al-Albani..”.
e) Syaikh Taqiyuddin al-Hilali: Beliau menyebut Syaikh al-Albani
Rahumahullahu, “Saudara karena Allah, pemilik banyak keutamaan, dai
kepada Allah dengan kebenaran, penjaga yang ikhlas sunnah Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam, pemilik tulisan-tulisan bermanfaat dalam ilmu
hadits, al-ustadz asy-syaikh Nashiruddin al-Albani”.
f) Syaikh Abu Hasan Ali an-Nadwi: Beliau menyebut Syaikh al-Albani
rahumahullahu, “Pekerja senior dalam ilmu hadits dan sunnah di negeri
Syam”.
g) Syaikh Hammud at-Tuwaijiri: ”Al-Albani di zaman ini adalah seorang
Imam pembawa bendera sunnah”.
h) Syaikhuna Shubhi bin Jasmin ash-Samara’i: Beliau menyebut Syaikh al-
Albani Rahumahullahu, “Fadhilatu Syaikh al-Mujadid”.
i) Al-Allamah Abi ash-Sha’iqah: Beliau memberi pujian, ”Al-Albani seakan
memiliki ruh al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani”.
j) Syaikhuna Muhammad bin Ismail al-Amrani: Beliau hafidzahullahu
berkata tentang Syaikh al-Albani ” Penutup para hafidz, ahli fiqih besar,
mengikuti asy-Syaukani dalam fiqih, tapi mendahuluinya dalam hadits,
dan aku adalah ”syi’ah” al-Albani”. 38
k) Syaikh Ibn al-‘Uṡaimin, berkata, “Beliau (al-Albānī), adalah seorang alim yang memiliki
ilmu yang sangat luas dalam bidang hadits, baik dari sisi riwayat maupun dirayat”.
l) Syaikh ‘Abd al-‘Azīz ibn Bāz berkata, “Belum pernah saya melihat seorang alim dalam
bidang hadits pada masa sekarang ini yang setara dengan al-‘Allamah Muhammad Nāṣir
al-Dīn al-Albānī.”39

Dalam karya-karya pemikiran syaikh al-Albani banyak yang menuai pro dan
kontra, hal tersebut terlihat dari munculnya beberapa karya, baik yang memuji
usaha dan mengakui kredibilitasnya dalam bidang hadis maupun yang mengkritik
pemikiran-pemikirannya. Tidak sedikit ulama yang memberikan pujian dan
dukungan tehadap hasil jerih payahnya yang sangat bernilai dalam membela
hadis-hadis Nabi Saw, seperti yang di ungkapkan Muhammad al-Amin al-
Syinqiti, Muhibbuddin al-Khatib dan Muhammad bin Ibramin Alisy bahwa al-
Albani adalah pengabdi dan menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Saw.
Bahkan Abdul Aziz bin Biz dan raja Faisal menunjuki al-Albani sebagai mujaddid
abad ini. 40

Adapun ulama yang kontra atas pemikiran-pemikiran syaikh al-Albani


diantaranya, Ismail al-Ansari yang mengkritik fatwa syaikh al-Albani mengenai
sholat tarawih 20 rakaat melalui karyanya Tashih Hadits al-Tarawih Isyrin
Raka’ah wa al-Ra’add ala al-Albani ala Tad’ifih, Abdullah al-Habsyi al-Harari
melalui karyanya Tabyin Dalalah al-Albani, dan al-Ghumari yang menganggap
al-Albani sebagai ahli bid’ah melalui karyanya al-Qaul al-Muqni fi al-Radd ala

38
Abu Abdillah as-Surianji, Sanad al-Imam Nashiruddin al-Albani Rahimahullahu,
(Bandung: Grup Majelis Sama’i, Ijazah dan biografi ulama), cet. II. p. 61-65.
39
Umar Abu Bakar, “Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Din al-Albani dalam kenangan”,
p. 167-168.
40
Umar Abu Bakar, “Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Din al-Albani dalam kenangan”,
p. 163.
al-Albani al-Mubtadi,41 dan Hasan al-Saqqaf yang mengkritisi salah satu karya al-
Albani da’if al-Jami’ melalui karyanya Tanaqudat al-Albani al-Wadihat.

C. Pemikiran dan Karya Syaikh Muḥammad Nāṣr Al-Dīn Al-Albānī

Pemikiran al-Albani adalah pemikiran yang selalu berfokus kepada hadis, tapi
tidak hanya hadis saja, ternyata ia membahas pemikiran-pemikiran yang lain, hal
ini terlihat dalam karya-nya. Adapun karya beliau belumlah banyak, diantaranya
ada yang sudah dicetak, ada pula yang masih berupa manuskrip (belum dicetak
dan diterbitkan), sebagian karyanya ada yang hilang (mafqud), ada beberapa karya
beliau yang terkenal ialah:42

a) Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah (Jilbab wanita muslimah)


b) Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah (Adab-adab perkawinan
menurut sunnah Rasulullah Saw yang suci).
c) Hijab al-Mar’ah wa libasuha fi al-Salah (Hijab seorang wanita dalam
shalat).
d) Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah (Beberapa jawaban
atas pertanyaan Lajnah Masjid al-Jamiah).
e) Silsilah al-Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥah wa Syai’un min Fiqhiha wa Faw’idiha
(Kumpulan hadis-hadis sahih beserta fiqihnya).
f) Silsilah al-Aḥādīṡ al-Ḍa’īfah wa al-Mauḍūah wa Aṡaruhā al-Sayy’ fī
al-’Ummah (Kumpulan hadis-hadis da’if, hadis-hadis palsu serta dampak
negatifnya terhadap umat).
g) Ahkamul al-Janaiz (Hukum-hukum pelaksanaan jenazah).
h) Dan masih banyak lagi.

41
Muhammad Nashiruddin al-Din al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Da’ifah wa al-
Maudu’ah wa Atsaruha al-Sayyi fi al-Ummah, (al-Riyadh: al-Maktabah al-Ma’arif, 1992), p. 9.
42
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh Abad 20, p. 255.
BAB IV
ANALISIS OTENTISITAS ḤADĪṠ-ḤADĪṠ HIJAB MENURUT SYAIKH
MUḤAMMAD NĀṢR AL-DĪN AL-ALBĀNĪ

A. Ḥadīṡ-ḥadīṡ Tentang Hijab Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī

Hijab memiliki beberapa kriteria tertentu, sebagaimana yang dijelaskan oleh


Syaikh Muhammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam bukunya Hijab Al-Mar’ah Al-
Muslimah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah, yaitu:

1. Kewajiban Menutup Aurat, Kecuali Wajah Dan Telapak Tangan

َّ ‫ض ِل‬
‫ عن‬،‫ ح دَّثنا الولي ُد‬:‫ ق اال‬،ُّ‫احلراين‬ ْ ‫بن ال َف‬ ٍ ‫كع‬
ُ ‫ومؤمل‬
َّ ‫اكي‬
ُّ ‫ب األنط‬ ْ ‫بن‬
ُ ‫وب‬
ُ ‫ح دَّثنا يعق‬
ِ
ُ ‫ق ال يعق‬- ،‫ عن خال د‬،َ‫ عن قت َادة‬،‫س عيد ب ِن بَش ٍري‬
َ‫ أن أمساء‬:‫عن عائش ة‬-‫ ابن ُد َريْ ك‬:‫وب‬

ٌ َ‫اب ِرق‬ ِ ِ
،‫اق‬ ٌ َ‫ وعليه ا ثي‬- ‫ ص لَّى اهلل علي ه وس لم‬- ‫بنت أيب ب ْك ِر َد َخلَت على رس ول اهلل‬
َ
ِ َ‫ "ي ا أمساء إن املرأةَ إذا بلَغ‬:‫ وق ال‬،- ‫ ص لَّى اهلل علي ه وس لم‬- ‫ول اهلل‬
‫ت‬ ُ ‫ض عنه ا رس‬
َ ُ َ ‫أعَر‬
ْ ‫ف‬
43
.‫يض مل يضلُ ْح أن يُرى ِمنَها‌إال‌هذا‌وهذا"‌وأشار إىل وجهه وكفَّْي ِه‬ ِ
َ ‫املَح‬

“Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ka’b Al Anthaki dan


Muammal Ibnu Fadhil Al Harrani keduanya berkata: telah menceritakan
kepada kami Al Walid dari Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid
berkata berkata: Ya’qub bin Duraik berkata dari ‘Aisyah radhiallahu’anha,
bahwa Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah Saw dengan
memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah Saw pun berpaling darinya
dan bersabda. “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah
haidh (sudah baligh). Tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”
beliau menunjukkan wajahnya dan kedua telapak tangannya.”

43
Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy‘aṡ ibn Isḥāq ibn Basyīr ibn Syidād ibn ‘Amru al-
Azdiy al-Sijistāniy, Sunan Abī Dāwud, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ, (Beirut: Dār al-Risālah
al-‘Ālamiyah, 2009), cet. ke-1, Juz 6, pp. 198-199, No. 4104.
a. Takhrīj al-Ḥadīṡ
Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ
tentang “Menutup aurat meliputi seluruh badan, kecuali wajah dan
telapak tangan” yang digunakan oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn
al-Albānī dalam kitabnya sebagai syarat menggunakan pakaian syar’i
termasuk hijab. Adapun metode takhrīj yang penulis gunakan yaitu
melalui topik ḥadīṡ, dengan menggunakan kitab Kanz al-‘Ummāl fī
Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl karya ‘Alā al-Dīn al-Hindī. Kemudian

penulis mendapat sebuah informasi ( ‫عائشة‬ ‫)د عن‬,44 maksud dari kode
tersebut berarti ḥadīṡ tentang “Menutup aurat meliputi seluruh badan,
kecuali wajah dan telapak tangan” diriwayatkan oleh Abū Dāwud
dalam kitabnya (Sunan Abī Dāwud),45 dari ‘Aisyah Radhiyallahu
‘anha.
b. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Ṣaḥīḥ al-


Tarġīb wa Tarhīb46 dan Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaġīr47 telah memberikan
vonis terhadap ungkapan di atas sebagai ḥadīṡ yang memiliki kualitas
ḥasan liġairihi.

2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan


‫ ثنا أَبُو حَيْىَي َعْب ُد اللَّ ِه بْ ُن‬،َ‫ مِب َ َّكة‬،‫يم الْ َفاكِ ِه ُّي‬ ِ ِ َ ‫أَخبرنَا أَبو حُم َّم ٍد عب ُد اللَّ ِه بن إِسح‬
َ ‫اق بْ ِن إ ْبَراه‬ َ ْ ُْ َْ َ ُ َ َ ْ
،‫َخَبَريِن أَبُو َه انِ ٍئ‬ َ ‫ ثنا َعْب ُد اللَّ ِه بْ ُن يَِز‬،َ‫أَمْح َ َد بْ ِن َز َك ِريَّا بْ ِن أَيِب َم َسَّرة‬
ُ ‫يد الْ ُم ْق ِر‬
ْ ‫ أ‬،ُ‫ ثنا َحْي َوة‬،‫ئ‬
44
‘Alā al-Dīn Ali ibn Ḥisām al-Dīn ‘Abd Malik ibn Qāḍī Khān al-Hindī, Kanz
al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1981), Juz 7, p. 331,
No. 19115.
45
Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy‘aṡ ibn Isḥāq ibn Basyīr ibn Syidād ibn ‘Amru al-
Azdiy al-Sijistāniy, Sunan Abī Dāwud, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ, (Beirut: Dār al-Risālah
al-‘Ālamiyah, 2009), cet. ke-1, Juz 6, pp. 198-199, No. 4104.
46
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa Tarhīb, (Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 2000), Juz 2, p. 463, No. 2045.
47
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaġīr wa Ziyadah, (tk.: Maktabah al-Islamy, tt), Juz 2, p. 1295, No.
7847.
ِ ِ ٍ ٍ ِ‫َن أَبا َعلِ ٍّي اجْل ْنيِب َّ َعمرو بن مال‬
ُ‫ص لَّى اهلل‬
َ ‫ َع ْن َر ُس ول اللَّه‬،‫ض الَةَ بْ ِن عَُبْي د‬
َ َ‫ َع ْن ف‬،ُ‫ َح َّدثَه‬،‫ك‬ َ َ ْ َْ َ َ َّ ‫أ‬
ِ
َ ‫ص ى إِ َم َام هُ فَ َم‬
‫ات‬ َ ‫اع ةَ َو َع‬ َ ‫ "‌ثَاَل ثَ ةٌ‌اَل ‌تَ ْس أ َْل‬:‫َعلَْي ه َو َس لَّ َم أَنَّهُ قَ َال‬
َ ‫ َر ُج ٌل فَ َار َق اجْلَ َم‬:‫‌عْن ُه ْم‬
ِِ ِ ِ
َ‫اه ا ُم ْؤنَة‬
َ ‫اب َعْن َه ا َز ْو ُج َه ا َوقَ ْد َك َف‬ َ ‫ َوأ ََم ةٌ أ َْو َعْب ٌد آبِ ٌق م ْن َس يِّده فَ َم‬،‫َعاص يًا‬
َ ‫ َو ْام َرأَةٌ َغ‬،‫ات‬
48
.‫ت َب ْع َدهُ فَاَل تَ ْسأ َْل َعْن ُه ْم‬ ُّ
ْ ‫الد ْنيَا َفتََبَّر َج‬

“Abu Muhammad Abdullah bin Ishaq bin Ibrahim Al Fakihi


menggambarkan kepada kami di Mekkah, Abu Yahya Abdullah bin
Ahmad bin Zakaria bin Abu Masarrah menceritakan kepada kami,
Abdullah bin Yazid Al Muqri’ menceritakan kepada kami, Haiwah
menceritakan kepada kami, Abu Hani’ menggambarkan kepada kamu,
Abu Ali Al Janbi Amr bin Malik menceritakan kepadanya dari Fadhalah
bin Ubaid, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabdah,”Ada tiga kelompok orang yang kamu tidak perlu bertanya
tentang mereka (karena mereka termasuk orang-orang yang celaka), yaitu:
(1) Laki-laki yang memisahkan diri dari jama’ah dan mendurhakai
imamnya, lalu dia meninggal dalam keadaan durhaka (memberontak). (2)
Budak perempuan atau budak laki-laki yang menghilang dari tuannya, lalu
dia meninggal. (3) Perempuan yang ditinggal pergi suaminya padahal
suaminya telah memberinya ongkos dunia (nafkah) secara cukup, namun
setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.
a. Takhrīj al-Ḥadīṡ
Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ
tentang “Hijab bukan berfungsi sebagai perhiasan” yang digunakan
oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitabnya sebagai
syarat penggunaan hijab. Adapun metode takhrīj yang penulis gunakan
yaitu melalui lafaẓ pertama matan ḥadīṡ, dengan menggunakan kitab
Jam’u al-Jawāmi’ aw al-Jāmi‘ al-Kabīr karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī.

Kemudian penulis mendapat sebuah informasi sebagai berikut; ( ‫يف‬ ‫خ‬

48
Abū ‘Abdīllāh al-Ḥākim Muḥammad ibn ‘Abdīllāh ibn Muḥammad ibn Ḥamdawiyyah
ibn Nu‘aim al-Ḥakam al-Ḍabī al-Ṭahmānī al-Ṣamad al-Naisābūrī, Al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain,
Ed. Muṣṭafā ‘Abd al-Qādir ‘Aṭā, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), cet. ke-1, Juz 1, p.
206, No. 411.
‫ هب عن فض الة بن عبيد‬،‫ ك‬،‫ طب‬،‫)األَدب‬,49 maksud dari kode tersebut

berarti ḥadīṡ tentang “Hijab bukan berfungsi sebagai perhiasan”


diriwayatkan oleh Al-Bukharī dalam kitabnya (al-’Adab al-Mufrad),50
Abū al-Qāsim al-Ṭabrānī dalam kitabnya (al-Mu’jām al-Kabīr),51 Abū
‘Abdillāh al-Ḥākim dalam kitabnya (Al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain),52
Al-Baihaqī dalam kitabnya (Syu'āb al-Īmān),53 semuanya dari ṣaḥābat
Faḍālah ibn ‘Ubaid.
b. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Silsilah al-


Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥah,54 Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa Tarhīb,55 dan Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘
al-Ṣaġīr.56 telah memberikan vonis terhadap ungkapan di atas sebagai
ḥadīṡ yang memiliki kualitas ṣaḥīḥ.

3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis


ٍ َّ‫ َع ْن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َعي‬،ُ‫ نَ ا أَبُ و َعْب ِد ال رَّمْح َ ِن الْ ُم ْق ِرىء‬،‫ول‬
:‫ قَ َال‬،‫اش‬ ٍ ُّ‫ح َّد َثنَا ه ارو ُن بن مل‬
َ ُْ ُ َ َ
‫ َوأَبَ ا َعْب ِد ال رَّمْح َ ِن‬،َّ ‫الص َديِف‬
َّ ‫يس ى بْ َن ِهاَل ٍل‬ ِ ‫ مَسِ ع‬:‫ول‬
َ ‫تع‬ ٍ َّ‫اش بْ َن َعب‬
ُ ْ ُ ‫ َي ُق‬،‫اس‬ َ َّ‫ت أَيِب َعي‬
ِ
ُ ‫مَس ْع‬
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ َ ‫ مَسِ عت رس‬:‫ول‬ ِ ِ ِ
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ُ ْ ُ ‫ َي ُق‬،‫ مَس ْعنَا َعْب َد اللَّه بْ َن َع ْم ٍرو‬: ‫ قَ ااَل‬،‫احْلُبُل َّي‬

49
‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Jam’u al-Jawāmi’ aw al-Jāmi‘
al-Kabīr, (Kairo: Al-’Azhar al-Syarīf, 2005), Juz 4, p. 510, No. 13157.
50
Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mugīrah al-Ju‘fiy al-
Bukhāriy, al-’Adab al-Mufrad, (Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 1998), cet. ke-1, p. 305, No. 590.
51
Abū al-Qāsim Sulaimān ibn Aḥmad ibn Ayyūb ibn Muṭayir al-Ṭabrānī, Mu’jām al-
Kabīr, (Kairo: Makhtabah Ibn Taimiyyah, tt), Juz 18, p. 306, No. 788.
52
Abū ‘Abdīllāh al-Ḥākim Muḥammad ibn ‘Abdīllāh ibn Muḥammad ibn Ḥamdawiyyah
ibn Nu‘aim al-Ḥakam al-Ḍabī al-Ṭahmānī al-Ṣamad al-Naisābūrī, Al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain,
Ed. Muṣṭafā ‘Abd al-Qādir ‘Aṭā, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), cet. ke-1, Juz 1, p.
206, No. 411.
53
Abū Bakar Aḥmad ibn al-Husaīn ibn ‘Alī ibn ‘Abdullāh ibn Mūsa, Syu'āb al-Īmān,
(Riyādh: Maktabah Al-Rusyd, 2003), Juz 10, p. 220, No. 7410.
54
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Silsilah al-Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥah, (Riyāḍ: Dār al-Ma’ārif, 1995), Juz 2, p. 81, No. 542.
55
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa Tarhīb, (Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 2000), Juz 2, p. 390, No. 1887.
56
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaġīr wa Ziyadah, (tk.: Maktabah al-Islamy, tt), Juz 1, p. 586, No. 3058.
ِ ‫وس ِه َّن َكأَس نِم ِة الْبخ‬
ِ ‫ علَى رء‬،‫اس يات عا ِري ات‬
ِ ِ ِ ‫يِف‬
،‫ت‬ ُْ َ ْ ُ ُ َ ٌ َ َ ٌ َ ‫‌س يَ ُكو ُن‌ ‌آخ ِر‌أ َُّميِت ‌ن َس اءٌ َك‬
َ « :‫ول‬
ُ ‫َي ُق‬

ٌ َ‫وه َّن؛ فَِإن َُّه َّن َم ْلعُون‬


57
.‫ات‬ ُ ُ‫الْ َعن‬
“Telah menceritakan kepada kami Harun bin Malul, diceritakan kepada
kami Abu Abdil Rahman Al Mukhri, dari Abdillah bin Ayyas, telah
berkata: “Pada akhir umatku akan ada wanita-wanita yang berpakaian
namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat
bongkol (punuk) onta. Kutuklah mereka karena sebenernya mereka itu
adalah kaum wanita yang terkutuk.”

Di dalam riwayat lain terdapat tambahan:

‫ قَ َال‬:‫ قَ َال‬،‫ َع ْن أَيِب ُهَر ْي َر َة‬،‫ َع ْن أَبِي ِه‬،‫ َع ْن ُس َهْي ٍل‬،‫ َح َّدثَنَا َج ِري ٌر‬،‫ب‬
ٍ ‫ح َّدثَيِن ُز َهْي ر بْن ح ر‬
َْ ُ ُ َ
‫وج ُد ِم ْن‬ ِ ِ ِ
َ ُ‫ َوإ َّن ِرحيَ َه ا لَي‬،‫ َ‌واَل ‌جَي ْد َن ِرحيَ َه ا‬،َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‌اَل ‌يَ ْد ُخ ْل َن‌اجْلَنَّة‬
ِ ُ ‫رس‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ
.‫ك َذا‬
َ‫و‬ ِ ِ
َ ‫َمس َرية َك َذا‬
58

“Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan


kepada kami Jurair dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka tidak akan
masuk surga dan juga tidak akan memperoleh baunya, padahal baunya
surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak) sekian dan sekian).

a. Takhrīj al-Ḥadīṡ

Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ tentang


“Penggunaan Hijab yang kainnya harus tebal, tidak tipis” yang digunakan
oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitabnya sebagai
syarat menggunakan hijab. Adapun metode takhrīj yang penulis gunakan
yaitu melalui topik ḥadīṡ, dengan menggunakan kitab Kanz al-‘Ummāl fī
Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl karya ‘Alā al-Dīn al-Hindī. Kemudian penulis

57
Abū al-Qāsim Sulaimān ibn Aḥmad ibn Ayyūb ibn Muṭayir al-Ṭabrānī, Al-Mu’jām
al-’Ausaṭ, (Kairo: Dār al-Ḥaramaīn, tt), Juz 9, p. 131, No. 9331.
58
Muslim ibn al-Ḥajjāj Abū al-Ḥasan al-Qusyairiy al-Naisābūri, Al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-
Mukhtaṣar binaql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ilā Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam, ed. Muḥammad
Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al-‘Arabiy, 1424 H.), cet. ke-1, Juz 3, p. 1680, No.
2128.
mendapat sebuah informasi (‫رو‬ ‫ عن ابن عم‬،‫)طب‬,59 maksud dari kode

tersebut berarti ḥadīṡ tentang “Penggunaan Hijab yang kainnya harus tebal,
tidak tipis” diriwayatkan oleh Abū al-Qāsim al-Ṭabrānī dalam kitabnya
(al-Mu’jām al-Kabīr,60 al-Mu’jām al-Ṣaġīr,61 dan al-Mu’jām al-’Ausaṭ62),
semuanya dari ṣaḥābat Ibn ‘Umar.

Selain itu, Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī di dalam kitabnya


menambah satu teks hadis sebagai tambahan redaksi dan penguat dari
ḥadīṡ lainnya. Dengan demikian, penulis mencoba untuk melakukan
penelusuran ḥadīṡ tersebut melalui metode takhrij lafaẓ pertama matan
ḥadīṡ dengan menggunakan kitab Al-Fatḥ al-Kabīr fī Ḍammi al- Ziyādah
Ilā al-Jāmi‘al-Ṣaġīr karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī. Maka penulis mendapat

informasi (‫ُهر ْي رة‬


َ َ ‫)م َعن أيب‬, yang artinya ḥadīṡ tersebut diriwayatkan oleh
63

Imam Muslim dalam kitabnya (Ṣaḥīḥ Muslim),64 dari ṣaḥābat Abu


Hurairah.

b. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Silsilah al-Aḥādīṡ


al-Ṣaḥīḥah65 dan Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa Tarhīb,66 telah memberikan vonis

59
‘Alā al-Dīn Ali ibn Ḥisām al-Dīn ‘Abd Malik ibn Qāḍī Khān al-Hindī, Kanz
al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1981), Juz 5, p. 447,
No. 15183.
60
Abū al-Qāsim Sulaimān ibn Aḥmad ibn Ayyūb ibn Muṭayir al-Ṭabrānī, Mu’jām al-
Kabīr, (Kairo: Makhtabah Ibn Taimiyyah, tt), Juz 13, p. 63, No. 156.
61
Abū al-Qāsim Sulaimān ibn Aḥmad ibn Ayyūb ibn Muṭayir al-Ṭabrānī, al-Mu’jām al-
Ṣaġīr, (Beirut: Al-Makhtab al-Islāmiyyah, 1985), Juz 2, p. 257, No. 1125.
62
Abū al-Qāsim Sulaimān ibn Aḥmad ibn Ayyūb ibn Muṭayir al-Ṭabrānī, al-Mu’jām
al-’Ausaṭ, (Kairo: Dār al-Ḥaramaīn, tt), Juz 9, p. 131, No. 9331.
63
‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Fatḥ al-Kabīr fī Ḍammi al-
Ziyādah Ilā al-Jāmi‘al-Ṣaġīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 2003), Juz 2, p. 183, No. 7272.
64
Muslim ibn al-Ḥajjāj Abū al-Ḥasan al-Qusyairiy al-Naisābūri, Al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-
Mukhtaṣar binaql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ilā Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam, ed. Muḥammad
Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al-‘Arabiy, 1424 H.), cet. ke-1, Juz 3, p. 1680, No.
2128.
65
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Silsilah al-Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥah, (Riyāḍ: Dār al-Ma’ārif, 1995), Juz 6, p. 411, No. 2683.
66
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa Tarhīb, (Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 2000), Juz 2, p. 462, No. 2043.
terhadap ungkapan di atas sebagai ḥadīṡ yang memiliki kualitas ṣaḥīḥ.
Begitu pun redaksi tambahan dari jalur lain (Ṣaḥīḥ Muslim).67

4. Longgar, Tidak Ketat, Serta Tidak Menggambarkan Sesuatu Dari


Tubuhnya
‫ َع ْن‬،‫اهلل بْ ِن حُمَ َّم ِد بْ ِن َع ِقي ٍل‬
ِ ‫ عن عب ِد‬،‫اهلل بن عم ٍرو‬
ِ ٍّ ‫َح َّدثَنَا َز َك ِريَّا بْ ُن َع ِد‬
ْ َ ْ َ ْ َ ُ ْ ‫ َح َّدثَنَا عَُبْي ُد‬،‫ي‬

ً‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‌ ُقْب ِطيَّة‬ ِ ُ ‫ َكس ايِن رس‬:‫ قَ َال‬،‫ عن أَبِي ِه‬،‫حُم َّم ِد ب ِن أُس امةَ ب ِن زي ٍد‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ َ ْ َ َْ ْ َ َ ْ َ
" َ‫س الْ ُقْب ِطيَّة‬ ِ ‫مِم‬
َ َ‫ " َم ا ل‬:‫ فَ َك َس ْوتُ َها ْام َرأَيِت َف َق َال‬،ُّ ‫‌ َكثِي َف ةً‌ َّا‌أ َْه َد َاها‌لَ هُ‌د ْحيَ ةُ‌الْ َك ْليِب‬
ِ َ‫ك مَلْ َت ْلب‬

ِ ِ
َ ‫اف أَ ْن تَص‬
‫ف‬ َ ‫ فَ ِإيِّن أ‬،ً‫ " ُم ْر َه ا َفْلتَ ْج َع ْل حَتَْت َه ا غاَل لَ ة‬:‫ َف َق َال‬. ‫ َك َس ْوتُ َها ْام َرأَيِت‬:‫ت‬
ُ ‫َخ‬ ُ ‫ُق ْل‬
68
.‫ِعظَ َام َها‬

“Telah menceritakan kepada kami Zakariya bin ‘Adi, ia berkata, Telah


menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin ‘Amer dari ‘Abdullah bin
Muhammad bin ‘Uqail dari Muhammad bin Usman bin Zaid dari
ayahnya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan
baju Qibti yang tebal padaku yang pernah dihadiahkan kepada Dihyah
Al-Kalbi, kemudian saya mengenakannya pada istriku. Kemudian Nabi
bersabda kepadaku, “Kenapa kamu tidak memakai baju Qubthiyah?”
saya menjawab: karena saya khawatir baju itu masih bisa
menggambarkan bentuk tulangnya.”
a. Takhrīj al-Ḥadīṡ

Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ


tentang “Hijab harus longgar, tidak ketat, serta tidak menggambarkan
sesuatu dari tubuhnya” yang digunakan oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-
Dīn al-Albānī dalam kitabnya sebagai syarat menggunakan hijab. Adapun
metode takhrīj yang penulis gunakan yaitu melalu topik ḥadīṡ, dengan
menggunakan kitab Kanz al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl karya

67
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaġīr wa Ziyadah, (tk.: Maktabah al-Islamy, tt), Juz 2, p. 708, No. 3799.
68
Abū ‘Abdillāh Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn al-Syaibāniy, Musnad
al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ et. al., (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001),
cet. ke-1, Juz 36, p. 123-124, No. 21788.
‘Alā al-Dīn al-Hindī. Kemudian penulis mendapat sebuah informasi (‫حم‬

‫ُس َامةَ بْ ِن َزيْ ٍد طب‬


َ ‫)عن أ‬,
69
maksud dari kode tersebut berarti ḥadīṡ tentang

“Hijab harus longgar, tidak ketat, serta tidak menggambarkan sesuatu dari
tubuhnya” diriwayatkan oleh Abū al-Qāsim al-Ṭabrānī dalam kitabnya
(al-Mu’jām al-Kabīr),70 Aḥmad ibn Ḥanbal dalam kitabnya (Musnad al-
Imām Aḥmad ibn Ḥanbal),71 dari ṣaḥābat Usamah ibn Zaid.

b. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab al-Ṡamar al-


Mustaṭāb telah memberikan vonis terhadap ungkapan di atas sebagai ḥadīṡ
yang memiliki kualitas ḥasan dari segi sanad-nya.72

5. Tidak Diberi Parfum Atau Minyak Wangi


 Ḥadīṡ Pertama

‫ َع ْن‬،‫ت َو ُه َو ابْ ُن ِع َم َار َة‬ ِ ٍ ِ ِ


ٌ ِ‫ َح َّد َثنَا ثَ اب‬:‫ قَ َال‬،‫ َح َّدثَنَا َخال ٌد‬:‫ قَ َال‬،‫يل بْ ُن َم ْس عُود‬
ُ ‫َخَبَرنَ ا إمْسَع‬
ْ‫أ‬
‫‌ام َرأ ٍَة‬ ِ
ْ ‫ «‌أَمُّيَ ا‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬
ِ ُ ‫ قَ َال رس‬:‫ي قَ َال‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ِّ ‫َش َع ِر‬ ٍ ‫غَُنْي ِم بْ ِن َقْي‬
ْ ‫ َع ْن اأْل‬،‫س‬
73
.ٌ‫ت َعلَى َق ْوٍم لِيَ ِج ُدوا ِم ْن ِر ِحي َها فَ ِه َي َزانِيَة‬
ْ ‫ت‌فَ َمَّر‬
ْ ‫‌اسَت ْعطََر‬
ْ
69
‘Alā al-Dīn Ali ibn Ḥisām al-Dīn ‘Abd Malik ibn Qāḍī Khān al-Hindī, Kanz
al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1981), Juz 15, p. 488,
No. 41933.
70
Abū al-Qāsim Sulaimān ibn Aḥmad ibn Ayyūb ibn Muṭayir al-Ṭabrānī, Mu’jām al-
Kabīr, (Kairo: Makhtabah Ibn Taimiyyah, tt), Juz 12, p. 387, No. 13433.
71
Abū ‘Abdillāh Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn al-Syaibāniy, Musnad
al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ et. al., (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001),
cet. ke-1, Juz 36, p. 123-124, No. 21788.
72
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, al-Ṡamar al-Mustaṭāb, (tk.: Ghars, 1422 H.), Juz 1, p. 318.
73
Abū ‘Abd al-Raḥmān ibn Syu‘aib ibn ‘Aliy al-Khurrāsāniy al-Nassā’iy, Al-Mujtabā
min al-Sunan (al-Sunan al-Ṣugrā li al-Nassā’iy), ed. ‘Abd al-Fattāḥ Abū Gudah, (Ḥalab: Maktab
al-Maṭbū‘āt al-Islāmiyyah,1986), cet. ke-1, Juz 8, p. 153, No. 5126; terdapat juga pada, Abū
‘Abdillāh Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn al-Syaibāniy, Musnad al-Imām Aḥmad
ibn Ḥanbal, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ et. al., (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001), cet. ke-1, Juz 32,
p. 483, No. 19711; Abū Bakr Muḥammad ibn Isḥāq ibn Khuzaimah ibn al-Mugīrah ibn Ṣāliḥ ibn
Bakr al-Sulamiy al-Naisābūriy, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, ed. Muḥammad Muṣṭafā al-A‘ẓamiy,
(Beirut: Al-Maktab al-Islāmiy, 2003), cet. ke-3, Juz 2, p. 812, No. 1681; Muḥammad ibn Ḥibbān
ibn Aḥmad ibn Ḥibbān ibn Mu‘āż ibn Ma‘bad al-Tamīmiy Abū Ḥātim al-Dārimiy al-Bustiy, Al-
“Telah menggambarkan kepada kami Isma’il bin Mas’ud ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami Khalid ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Tsabit yaitu Ibnu Umar, dari Gunaim bin Qais, dari Al-
Asy’ari ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wanita mana saja yang memakai minyak wangi kemudian melintas pada
suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah pezina.”
 Ḥadīṡ Kedua

ٍ ِ‫ ح َّد َثنا عثْم ا ُن بن س ع‬:‫ قَ َال‬،‫ص ي‬


ِ ِ ِِ
‫ َح َّد َثنَا‬:‫ قَ َال‬،‫يد‬ َ ُْ َ ُ َ َ َ ‫َخَبَريِن أَمْح َ ُد بْ ُن َس عيد بْ ِن َي ْع ُق‬
ُّ ‫وب احْل ْم‬ ْ‫أ‬

ُ‫ص لَّى اهلل‬


ِ َّ ‫ أ‬،‫الث َق ِفيَّ ِة‬
َ ‫َن نَيِب َّ اللَّه‬ َّ ‫ب‬ ٍِ
َ ‫ َع ْن بُ َكرْيِ بْ ِن اأْل‬،‫ث‬
َ َ‫ َع ْن َز ْين‬،‫ َع ْن بُ ْس ِر بْ ِن َس عيد‬،‫َش ِّج‬ ُ ‫اللَّْي‬
74 ِ ‫‌فَاَل ‌َت ْقرب َّن‬،‫ «أَيَّتُ ُك َّن خرجت إِىَل ‌الْمس ِج ِد‬:‫علَي ِه وسلَّم قَ َال‬
.‫‌طيبًا‬ ََ َْ ْ َ ََ َ َ َ َْ

“Telah mengabarkan kepadaku Ahmad ibn Sa’id ibn Ya’qub al-Hishmi ia


berkata; telah menceritakan kepada kami ‘Utsman ibn Sa’id ia berkata;
telah menceritakan kepada kami al-Laits dari Bukair ibn al-Asyaj dari Busr
ibn Sa’id dari Zainab ibn al-Tsaqafi berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Siapapun dari kalian (kaum wanita) keluar menuju
masjid, maka janganlah sekali-sekali mendekatinya dengan (memakai)
wewangian.”
Ḥadīṡ di atas memiliki penguat dengan redaksi tambahan dari sahabat Abu
Hurairah sebagai berikut;

ِ ‫الس‬ ِ ِ ‫ وأَب و عب ِد‬،‫ظ‬


ُ ‫اهلل إِ ْس َح‬ ِ ِ ِ
‫ ثن ا‬: ‫وس ُّي قَااَل‬ ُّ ‫ف‬ ُ ُ‫اق بْ ُن حُمَ َّمد بْ ِن ي‬
َ ‫وس‬ َْ ُ َ ُ ‫َخَبَرنَا أَبُو َعْبد اهلل احْلَاف‬
ْ‫أ‬
ِ ِ ِ
ُ ‫ مَس ْع‬:‫َخَب َريِن أَيِب قَ َال‬
‫ت‬ ْ ‫ أ‬،‫اس بْ ُن الْ َولي د بْ ِن َم ْزيَ َد‬
ُ َّ‫ أنب أ الْ َعب‬،‫وب‬ ِ َّ‫أَبُ و الْ َعب‬
َ ‫اس حُمَ َّم ُد بْ ُن َي ْع ُق‬
ِ ِ ْ ‫َن ام رأَةً م َّر‬ ِ ‫اأْل َوز‬
ُ ‫ت بِ ه َت ْعص‬
‫ف‬ َ َ ْ َّ ‫ أ‬:َ‫ َع ْن أَيِب ُهَر ْي َرة‬،‫وس ى بْ ُن يَ َس ا ٍر‬
َ ‫ َح َّدثَيِن ُم‬:‫ول‬
ُ ‫اع َّي َي ُق‬ َْ

Iḥsān fī Taqrīb Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1988),
cet. ke-1, Juz 10, p. 270, No. 4424; Abū ‘Abdīllāh al-Ḥākim Muḥammad ibn ‘Abdīllāh ibn
Muḥammad ibn Ḥamdawiyyah ibn Nu‘aim al-Ḥakam al-Ḍabī al-Ṭahmānī al-Ṣamad al-Naisābūrī,
Al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain, Ed. Muṣṭafā ‘Abd al-Qādir ‘Aṭā, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), cet. ke-1, Juz 2, p. 430, No. 3497.
74
Abū ‘Abd al-Raḥmān ibn Syu‘aib ibn ‘Aliy al-Khurrāsāniy al-Nassā’iy, Al-Mujtabā
min al-Sunan (al-Sunan al-Ṣugrā li al-Nassā’iy), ed. ‘Abd al-Fattāḥ Abū Gudah, (Ḥalab: Maktab
al-Maṭbū‘āt al-Islāmiyyah,1986), cet. ke-1, Juz 8, p. 190, No. 5262; Abu ‘Aunah Ya’qub ibn Ishaq
ibn Ibrahim ibn al-Naisaburi, Mustakhraj Abi ‘Aunah, ed. Aiman ibn ‘Araf al-Dimasyqi, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1998), Juz 1, p. 396, No. 1449.
ِ ‫ ولَ ه تَطَيَّب‬:‫ قَ َال‬،‫ َنعم‬:‫ت‬ ِ ِ ِ ِ
:‫ت‬
ْ َ‫ت؟ قَ ال‬ ْ ُ َ َ ‫ الْ َم ْس ج َد تُِري د‬،‫ " يَا أ ََم ةَ اجْلَبَّار‬:‫ َف َق َال‬،‫رحيُ َه ا‬
ْ َ ْ َ‫ين؟ قَ ال‬
‫‌م ا‬ ُ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َي ُق‬ ِ َ ‫ فَ ِإيِّن مَسِ عت رس‬،‫ فَ ار ِجعِي فَا ْغتَ ِس لِي‬:‫ قَ َال‬،‫َنعم‬
َ " :‫ول‬ َ ‫ول اهلل‬ َُ ُ ْ ْ َْ
‫ص اَل َت َها َحىَّت َتْر ِج َع إِىَل َبْيتِ َه ا‬ ِ ِ ِِ ٍ ‫ِ‌م ِن‬
ُ ‫‌امَرأَة‌خَت ُْر ُج‌إِىَل ‌الْ َم ْس جد‌َت ْعص‬
َ ‫ف ِرحيُ َه ا َفَي ْقبَ َل اهللُ مْن َه ا‬ ْ
75
.‫َفَت ْغتَ ِس َل‬

“Telah menggambarkan kepada kami Abu Abdillah al-hafidz dan Abu


Abdillah Ishaq ibn Muhammad bin Yusuf, berkata: Abu al-Abbas
Muhammad ibn Ya’qub, menceritakan al-‘Abbas ibn al-Walid ibn Mazid
telah mengkhabarkan kepadaku Bapaknya berkata telah melihat al-Auza’i
mengatakan telah menceritakan kepadaku Musa ibn Yasar, dari ayahnya
dari Abu Hurairah: “Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya bau
wewangiannya menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata lagi, Pulanglah
saja, lalu mandilah! Karena sesungguhya aku telah mendengar Rasulullah
shalallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika seorang wanita menuju
masjid sedangkan bau wewangiannya menghembus maka Allah tidak
menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi
(baru kemudian shalat ke mesjid).”
a. Takhrīj al-Ḥadīṡ (Ḥadīṡ 1)
Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ tentang
“Tidak diberi parfum atau minyak wangi” ketika berpakaian yang
digunakan oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitabnya
sebagai syarat menggunakan pakaian syar’i termasuk hijab. Adapun
metode takhrīj yang penulis gunakan yaitu melalui topik ḥadīṡ, dengan
menggunakan kitab Kanz al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl karya

‘Alā al-Dīn al-Hindī. Kemudian penulis mendapat sebuah informasi ( ،‫حم‬

‫ عن أيب موسى‬- ‫ ك‬،‫)ن‬,76 maksud dari kode tersebut berarti ḥadīṡ tentang

“Tidak diberi parfum atau minyak wangi” ketika berpakaian diriwayatkan

75
Abū Bakar Aḥmad ibn Husain al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubra, ed. Muhammad ‘Abd al-
Qadir ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), Juz 3, p. 348, No. 5973.
76
‘Alā al-Dīn Ali ibn Ḥisām al-Dīn ‘Abd Malik ibn Qāḍī Khān al-Hindī, Kanz
al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1981), Juz 16, p. 383,
No. 45010.
oleh Aḥmad ibn Ḥanbal dalam kitabnya (Musnad al-Imām Aḥmad ibn
Ḥanbal),77 al-Nassā’iy dalam kitabnya (al-Sunan al-Ṣugrā li al-
Nassā’iy),78 Abū ‘Abdillāh al-Ḥākim dalam kitabnya (Al-Mustadrak ‘alā
al-Ṣaḥīḥain),79 semuanya dari ṣaḥābat Abu Musa al-‘Asy’ari.
b. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa


Tarhīb,80 telah memberikan vonis terhadap ungkapan di atas sebagai ḥadīṡ
yang memiliki kualitas ḥasan.

c. Takhrīj al-Ḥadīṡ tentang Larangan bagi kaum wanita memakai


wewangian ketika hendak ke Mesjid (Ḥadīṡ 2)
Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ tentang
“Larangan bagi kaum wanita memakai wewangian ketika hendak ke
Mesjid” yang digunakan oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī
dalam kitabnya sebagai ḥujjah. Adapun metode takhrīj yang penulis
gunakan yaitu melalui topik ḥadīṡ, dengan menggunakan kitab Kanz
al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl karya ‘Alā al-Dīn al-Hindī.

Kemudian penulis mendapat sebuah informasi (‫الث َقفيَّة‬


َّ ‫ب‬
ْ َ‫)ن عن َزين‬,
81

maksud dari kode tersebut berarti ḥadīṡ tentang “Larangan bagi kaum
wanita memakai wewangian ketika hendak ke Mesjid” diriwayatkan oleh

77
Abū ‘Abdillāh Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn al-Syaibāniy, Musnad
al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ et. al., (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001),
cet. ke-1, Juz 32, p. 483, No. 19711.
78
Abū ‘Abd al-Raḥmān ibn Syu‘aib ibn ‘Aliy al-Khurrāsāniy al-Nassā’iy, Al-Mujtabā
min al-Sunan (al-Sunan al-Ṣugrā li al-Nassā’iy), ed. ‘Abd al-Fattāḥ Abū Gudah, (Ḥalab: Maktab
al-Maṭbū‘āt al-Islāmiyyah,1986), cet. ke-1, Juz 8, p. 153, No. 5126.
79
Abū ‘Abdīllāh al-Ḥākim Muḥammad ibn ‘Abdīllāh ibn Muḥammad ibn Ḥamdawiyyah
ibn Nu‘aim al-Ḥakam al-Ḍabī al-Ṭahmānī al-Ṣamad al-Naisābūrī, Al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain,
Ed. Muṣṭafā ‘Abd al-Qādir ‘Aṭā, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), cet. ke-1, Juz 2, p.
430, No. 3497.
80
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa Tarhīb, (Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 2000), Juz 2, p. 451, No. 2019.
81
‘Alā al-Dīn Ali ibn Ḥisām al-Dīn ‘Abd Malik ibn Qāḍī Khān al-Hindī, Kanz
al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1981), Juz 3, p. 387,
No. 9400.
al-Nassā’iy dalam kitabnya (al-Sunan al-Ṣugrā li al-Nassā’iy),82 dari
ṣaḥābat Zainab al-Ṡaafiyyah.
Selain itu, Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī di dalam
kitabnya menambah satu teks hadis sebagai tambahan redaksi dan penguat
dari ḥadīṡ kedua di atas. Dengan demikian, penulis mencoba untuk
melakukan penelusuran ḥadīṡ tersebut melalui metode takhrij lafaẓ
pertama matan ḥadīṡ dengan menggunakan kitab Jam’u al-Jawāmi’ aw
al-Jāmi‘ al-Kabīr karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī. Maka penulis mendapat

informasi (‫هريرة‬ ‫ عن أيب‬،‫)ق‬,83 yang artinya ḥadīṡ tersebut diriwayatkan oleh


al-Baihaqī dalam kitabnya (al-Sunan al-Kubra),84 dari ṣaḥābat Abu
Hurairah.
d. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Silsilah al-Aḥādīṡ


al-Ṣaḥīḥah85 dan Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaġīr,86 telah memberikan vonis
terhadap ungkapan di atas sebagai ḥadīṡ yang memiliki kualitas ṣaḥīḥ.

6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki


 Ḥadīṡ Pertama

،‫ص الِ ٍح‬ ٍ ِ


َ ‫ َع ْن ُس َهْي ِل بْ ِن أَيِب‬،‫ َح َّد َثنَا ُس لَْي َما ُن بْ ُن بِاَل ل‬: ‫ قَ ااَل‬،َ‫ َوأَبُو َس لَ َمة‬،‫َح َّدثَنَا أَبُو َع ام ٍر‬
َ‫س‌لُْب َس ة‬ َّ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم " لَ َع َن‬
ُ َ‫‌الر ُج َل َ‌ي ْلب‬
ِ َ ‫َن رس‬
َ ‫ول اهلل‬
ِِ
ُ َ َّ ‫ أ‬،َ‫ َع ْن أَيِب ُهَر ْي َرة‬،‫َع ْن أَبي ه‬
.‫الر ُج ِل‬ ِ
َّ َ‫س لُْب َسة‬ُ َ‫ َوالْ َم ْرأَةَ َت ْلب‬،‫‌الْ َم ْرأَة‬
87

82
Abū ‘Abd al-Raḥmān ibn Syu‘aib ibn ‘Aliy al-Khurrāsāniy al-Nassā’iy, Al-Mujtabā
min al-Sunan (al-Sunan al-Ṣugrā li al-Nassā’iy), ed. ‘Abd al-Fattāḥ Abū Gudah, (Ḥalab: Maktab
al-Maṭbū‘āt al-Islāmiyyah,1986), cet. ke-1, Juz 8, p. 190, No. 5262.
83
‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Jam’u al-Jawāmi’ aw al-Jāmi‘
al-Kabīr, (Kairo: Al-’Azhar al-Syarīf, 2005), Juz 7, p. 767, No. 19250.
84
Abū Bakar Aḥmad ibn Husain al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubra, ed. Muhammad ‘Abd al-
Qadir ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), Juz 3, p. 348, No. 5973.
85
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Silsilah al-Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥah, (Riyāḍ: Dār al-Ma’ārif, 1995), Juz 3, p. 86, No. 1094.
86
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaġīr wa Ziyadah, (tk.: Maktabah al-Islamy, tt), Juz 1, p. 524, No. 2693.
87
Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy‘aṡ ibn Isḥāq ibn Basyīr ibn Syidād ibn ‘Amru al-
Azdiy al-Sijistāniy, Sunan Abī Dāwud, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ, (Beirut: Dār al-Risālah
al-‘Ālamiyah, 2009), cet. ke-1, Juz 6, p. 195, No. 4098.
“Telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dan Abu Salamah, berkata:
Telah meceritakan Sulaiman bin Bilal, dari Suhail bin Abi Sholihin, dari
bapaknya dari Huarairah ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang
memakai pakaian laki-laki.”
 Ḥadīṡ Kedua

‫ َع ِن ابْ ِن‬،َ‫ َع ْن ِع ْك ِر َم ة‬،‫ َع ْن حَيْىَي بْ ِن أَيِب َكثِ ٍري‬،‫َّس ُت َوائِ ُّي‬ ِ ِ ِ


ْ ‫َخَبَرنَ ا ه َش ٌام الد‬ ُ ‫َح َّد َثنَا إمْسَاع‬
ْ ‫ أ‬،‫يل‬
ِ ‫ والْمَت ر ِّج‬،‫‌الرج ِال‬
‫الت‬ ِ ِ‫اهلل ص لَّى اهلل علَي ِه وس لَّم‌الْمخنَّث‬
ِ ‫ول‬ ٍ َّ‫َعب‬
َ ُ َ َ ِّ ‫ني‌م َن‬ َ َ ُ َ َ َ َْ ُ َ ُ ‫ لَ َع َن َر ُس‬:‫ قَ َال‬،‫اس‬

‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ُ ‫ " أَخ ِرج وهم ِمن بي وتِ ُكم " فَ أَخرج رس‬:‫ وقَ َال‬،‫ِمن النِّس ِاء‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ َ َْ ْ ُُ ْ ْ ُ ُ ْ َ َ َ
88
.‫َخَر َج عُ َمُر فُالنًا‬
ْ ‫ َوأ‬،‫فُالنًا‬

“Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menggambarkan kepada


kami Hisyam al-Dastu’a’i dari Yahya dari bin Abi Sakir dari Ikrimah dari
Ibnu ‘Abbas berkata: Bahwa Nabi melaknat kaum pria yang bertingkah
seperti seperti wanita dan kaum wanita yang bertingkah seperti laki-laki.
Beliau bersabda, “Keluarkanlah mereka dari rumah kalian. Nabi
Shalallahu’alaihi wasallam pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga
mengeluarkan si fulan.”
 Ḥadīṡ Kegita

ِ ‫اص م بن حُم َّم ٍد يعيِن ابن زي ِد ب ِن عب ِد‬


ِ َّ‫اهلل بْ ِن عُم ر بْ ِن اخْلَط‬ ِ
،‫اب‬ ََ ْ َ ْ ْ َ َ ْ ْ َ َ ُ ْ ُ ‫ َح َّدثَنَا َع‬،‫وب‬
ُ ‫َح َّدثَنَا َي ْع ُق‬
‫ت‬ ِ ِ ‫ عن عب ِد‬،‫َخي ِه عم ر ب ِن حُم َّم ٍد‬
ْ ‫ أ‬:‫ َم ْوىَل ابْ ِن عُ َم َر قَ َال‬،‫اهلل بْ ِن يَ َس ا ٍر‬ ِ
ُ ‫َش َه ُد لََق ْد مَس ْع‬ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ ُ ‫َع ْن أ‬

ٌ ‫ " ثَاَل‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬


‫ث اَل يَ ْد ُخلُو َن‬ ِ ُ ‫ قَ َال رس‬:‫اهلل‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ َْ ُ ‫َس الِ ًما َي ُق‬
ِ ‫ول قَ َال عب ُد‬

88
Abū ‘Abdillāh Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn al-Syaibāniy, Musnad
al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ et. al., (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001),
cet. ke-1, Juz 3, p. 443, No. 1982; Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-
Mugīrah al-Ju‘fiy al-Bukhāriy, Al-Jāmi‘ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūlillah
Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam wa Sunanih wa Ayyāmih, ed. Muḥammad Zuhair ibn Nāṣir al-Nāṣir,
(Beirut: Dār Ṭauq al-Najāt, 1422 H.), cet. ke-1, Juz 7, p. 159, No. 5886.
ُ‫ الْ ُمتَ َش ِّب َهة‬- ُ‫ َوالْ َم ْرأَةُ الْ ُمَتَر ِّجلَ ة‬، ‫اق بَِوالِ َديْ ِه‬
ُّ ‫ الْ َع‬:‫ َواَل َيْنظُ ُر اهللُ إِلَْي ِه ْم َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة‬،َ‫اجْلَنَّة‬

89
.‫وث‬ َّ ‫ َو‬،- ‫الر َج ِال‬
ُ ُّ‫الدي‬ ِّ ِ‫ب‬

“Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami


Ashim bin Muhammad yakni Ibnu Zaid bin Abdillah bin Umar bin
Muhammad dari Abdullah bin Yasar (budak ibnu umar) saya
menyaksikan, saya dengar Salim berkata: Abdullah Radliyallahu anhuma
berkata: Rasullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga
golongan yang tidak masuk surga dan Allah tidak melihat mereka kelak
pada hari kiamat yaitu, seorang yang durhaka kepada kedua orang tuanya,
wanita yang bertingkah seperti laki-laki dan menyerupakan diri dengan
laki-laki dan Dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).”
a. Takhrīj al-Ḥadīṡ (Ḥadīṡ 1)
Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ tentang
“Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki” yang digunakan oleh Syaikh
Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitabnya sebagai syarat
menggunakan pakaian syar’i termasuk hijab. Adapun metode takhrīj yang
penulis gunakan yaitu melalui topik ḥadīṡ, dengan menggunakan kitab
Kanz al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl karya ‘Alā al-Dīn al-Hindī.

Kemudian penulis mendapat sebuah informasi ( ‫هري رة‬ ‫ عن أيب‬،‫)د‬,90 maksud


dari kode tersebut berarti ḥadīṡ tentang “Tidak Menyerupai Pakaian Laki-
Laki” diriwayatkan oleh Abū Dāwud dalam kitabnya (Sunan Abī
Dāwud),91 dari ṣaḥābat Abu Hurairah.
b. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

89
Abū ‘Abdillāh Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn al-Syaibāniy, Musnad
al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ et. al., (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001),
cet. ke-1, Juz 10, p. 322, No. 6180.
90
‘Alā al-Dīn Ali ibn Ḥisām al-Dīn ‘Abd Malik ibn Qāḍī Khān al-Hindī, Kanz
al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1981), Juz 16, p. 34,
No. 43819.
91
Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy‘aṡ ibn Isḥāq ibn Basyīr ibn Syidād ibn ‘Amru al-
Azdiy al-Sijistāniy, Sunan Abī Dāwud, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ, (Beirut: Dār al-Risālah
al-‘Ālamiyah, 2009), cet. ke-1, Juz 6, p. 195, No. 4098.
Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa
Tarhīb92 dan Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaġīr93 telah memberikan vonis terhadap
ungkapan di atas sebagai ḥadīṡ yang memiliki kualitas ṣaḥīḥ.

c. Takhrīj al-Ḥadīṡ (Ḥadīṡ 2)


Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ
tentang “Menjauhi pria yang bertingkah seperti seperti wanita dan
kaum wanita yang bertingkah seperti laki-laki” yang digunakan oleh
Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitabnya sebagai
ḥujjah. Adapun metode takhrīj yang penulis gunakan yaitu melalui
lafaẓ pertama matan ḥadīṡ, dengan menggunakan kitab Jam’u al-
Jawāmi’ aw al-Jāmi‘ al-Kabīr karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī. Kemudian

penulis mendapat sebuah informasi (‫عب اس‬ ‫ ت عن ابن‬،‫ د‬،‫)خ‬,94 maksud

dari kode tersebut berarti ḥadīṡ tentang “Menjauhi pria yang


bertingkah seperti seperti wanita dan kaum wanita yang bertingkah
seperti laki-laki” diriwayatkan oleh Al-Bukharī dalam kitabnya (Ṣaḥīḥ
al-Bukharī),95 Abū Dāwud dalam kitabnya (Sunan Abī Dāwud),96 al-
Tirmiżiy dalam kitabnya (Sunan al-Tirmiżiy),97 semuanya dari ṣaḥābat
Ibn ‘Abbās.
d. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

92
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa Tarhīb, (Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 2000), Juz 2, p. 472, No. 2069.
93
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaġīr wa Ziyadah, (tk.: Maktabah al-Islamy, tt), Juz 2, p. 907, No. 5095.
94
‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Jam’u al-Jawāmi’ aw al-Jāmi‘
al-Kabīr, (Kairo: Al-’Azhar al-Syarīf, 2005), Juz 6, p. 644, No. 17307.
95
Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mugīrah al-Ju‘fiy al-
Bukhāriy, Al-Jāmi‘ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih
wasallam wa Sunanih wa Ayyāmih, ed. Muḥammad Zuhair ibn Nāṣir al-Nāṣir, (Beirut: Dār Ṭauq
al-Najāt, 1422 H.), cet. ke-1, Juz 7, p. 159, No. 5886.
96
Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy‘aṡ ibn Isḥāq ibn Basyīr ibn Syidād ibn ‘Amru al-
Azdiy al-Sijistāniy, Sunan Abī Dāwud, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ, (Beirut: Dār al-Risālah
al-‘Ālamiyah, 2009), cet. ke-1, Juz 4, p. 403, No. 2785.
97
Abū ‘Īsā Muḥammad ibn ‘Īsā ibn Saurah ibn Mūsā al-Ḍaḥḥak al-Tirmiżiy, Al-Jāmi‘ al-
Kabïr wahuwa Sunan al-Tirmiżiy, ed. Basysyār ‘Awad Ma‘rūf, (Beirut: Dār al-Garb al-Islāmiy,
1998), cet. ke-1, Juz 4, p. 481, No. 1173.
Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Ṣaḥīḥ al-
Tarġīb wa Tarhīb98 telah memberikan vonis terhadap ungkapan di atas
sebagai ḥadīṡ yang memiliki kualitas ṣaḥīḥ.

e. Takhrīj al-Ḥadīṡ (Ḥadīṡ 3)


Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ
tentang “Haramnya surga bagi wanita yang bertingkah seperti laki-laki
dan menyerupakan diri dengan laki-laki” yang digunakan oleh Syaikh
Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitabnya sebagai syarat
berpenampilan termasuk berhijab bagi perempuan. Adapun metode
takhrīj yang penulis gunakan yaitu melalui lafaẓ pertama matan ḥadīṡ,
dengan menggunakan kitab al-Fatḥ al-Kabīr fī Ḍammi al- Ziyādah Ilā
al-Jāmi‘al-Ṣaġīr karya Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī. Kemudian penulis

mendapat sebuah informasi (‫رو‬ ‫)حم َعن ابْن َع ْم‬,99 maksud dari kode

tersebut berarti ḥadīṡ tentang “Haramnya surga bagi wanita yang


bertingkah seperti laki-laki dan menyerupakan diri dengan laki-laki”
diriwayatkan oleh Aḥmad ibn Ḥanbal dalam kitabnya (Musnad al-
Imām Aḥmad ibn Ḥanbal),100 dari ṣaḥābat Abdullah bin Umar.
f. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Ṣaḥīḥ al-


Jāmi‘ al-Ṣaġīr telah memberikan vonis terhadap ungkapan di atas
sebagai ḥadīṡ yang memiliki kualitas ṣaḥīḥ.101

98
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa Tarhīb, (Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 2000), Juz 2, p. 472, No. 2068.
99
‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Fatḥ al-Kabīr fī Ḍammi al-
Ziyādah Ilā al-Jāmi‘al-Ṣaġīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 2003), Juz 2, p. 53, No. 5651.
100
Abū ‘Abdillāh Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn al-Syaibāniy, Musnad
al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ et. al., (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001),
cet. ke-1, Juz 10, p. 322, No. 6180.
101
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaġīr wa Ziyadah, (tk.: Maktabah al-Islamy, tt), Juz 1, p. 589, No. 3071.
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir
‫ َح َّدثَيِن حُمَ َّم ُد بْ ُن‬، ‫ َع ْن حَيْىَي‬، ‫ َح َّدثَيِن أَيِب‬،‫ َح َّد َثنَا ُم َع اذُ بْ ُن ِه َش ٍام‬، ‫َح َّدثَنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمَثىَّن‬
ِ ‫َن عب َد‬ ِ ‫إِب ر ِاهيم ب ِن احْل ا ِر‬
‫اهلل بْ َن‬ ْ ‫ أ‬، ٍ‫َن ُجَبْي َر بْ َن نُ َفرْي‬
َْ َّ ‫ أ‬،ُ‫َخَب َره‬ َّ ‫ أ‬،ُ‫َخَب َره‬ َّ ‫ أ‬،‫ث‬
ْ ‫ أ‬،‫َن ابْ َن َم ْع َدا َن‬ َ ْ َ َْ
ِ ‫‌علَ َّي‌ثَ و َبنْي‬ ِ ِ ُ ‫ رأَى رس‬:‫ قَ َال‬،‫ أَخب ره‬،‫اص‬
ْ َ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ َ ُ َ َ ْ ِ ‫َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع‬
ِ ‫ «إِ َّن َه ِذ ِه ِمن ثِي‬:‫ َف َق َال‬،‫ص َفريْ ِن‬
.‫اب الْ ُكفَّا ِر فَاَل َتْلبَ ْس َها‬ َ ْ ‫‌م َع‬
102
َ ْ ُ

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna: Telah


menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam, Telah mencaritakan
kepadaku Bapakku dari Yahya, telah menceritakan kepadaku Muhammad
bin Ibrahim bin Al-Harits: Bahwa Ibnu Ma’dan: Telah menggambarkan
kepada kami, Jubair bin Nufair, telah menggambarkan kepadanya, dan
Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Ash, telah menggambarkan kepadanya, dia
berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam Pernah melihat saya
mengenakan dua buah kain yang diwarnai dengan ‘ushfur (nama
tumbuhan), maka beliau bersabdah “Sesunggunya, ini merupakan pakaian
orang-orang kafir, maka jangan memakainya.”
a. Takhrīj al-Ḥadīṡ
Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ
tentang “Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir” yang
digunakan oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam
kitabnya sebagai ḥujjah. Adapun metode takhrīj yang penulis gunakan
yaitu melalui lafaẓ pertama matan ḥadīṡ, dengan menggunakan kitab
al-Fatḥ al-Kabīr fī Ḍammi al- Ziyādah Ilā al-Jāmi‘al-Ṣaġīr karya Jalāl

al-Dīn al-Suyūṭī. Kemudian penulis mendapat sebuah informasi (‫م‬ ‫حم‬

‫)ن َعن ابْن َع ْم رو‬,103 maksud dari kode tersebut berarti ḥadīṡ tentang

“Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir” diriwayatkan oleh

102
Muslim ibn al-Ḥajjāj Abū al-Ḥasan al-Qusyairiy al-Naisābūri, Al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-
Mukhtaṣar binaql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ilā Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam, ed. Muḥammad
Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al-‘Arabiy, 1424 H.), cet. ke-1, Juz 3, p. 1647, No.
2077.
103
‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Fatḥ al-Kabīr fī Ḍammi al-
Ziyādah Ilā al-Jāmi‘al-Ṣaġīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 2003), Juz 1, p. 397, No. 4288.
Aḥmad ibn Ḥanbal dalam kitabnya (Musnad al-Imām Aḥmad ibn
Ḥanbal),104 Muslim dalam kitabnya (Ṣaḥīḥ Muslim),105 al-Nassā’iy
dalam kitabnya (al-Sunan al-Ṣugrā li al-Nassā’iy),106 semuanya dari
ṣaḥābat ‘Abdullah ibn ‘Amr.
b. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Silsilah al-


Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥah telah memberikan vonis terhadap ungkapan di atas
sebagai ḥadīṡ yang memiliki kualitas ṣaḥīḥ.107

8. Bukan Libas Syuhrah (hijab untuk mencari popularitas)


،‫ َع ْن عُثْ َما َن بْ ِن الْ ُمغِ َري ِة‬،َ‫ َح َّد َثنَا أَبُو َع َوانَة‬،‫ب‬ ِ ِ‫ح َّد َثنَا حُمَ َّم ُد بن َعب ِد الْمل‬
ِ ‫ك بْ ِن أَيِب الشَّوا ِر‬
َ َ ْ ُْ َ
:- ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ُ ‫ قَ َال رس‬:‫ قَ َال‬،‫اج ِر عن عب ِد اللَّ ِه ب ِن عم ر‬
ِ ‫عن الْمه‬
َ - ‫ول اللَّه‬ َُ َ َُ ْ َْ ْ َ َُ ْ َ
.‫ب فِ ِيه نَ ًارا‬
108 ِ ِ ٍَّ ُّ ‫‌ش ْهَر ٍة‌يِف‬
َ ‫‌أَلْبَ َسهُ اللَّهُ َث ْو‬،‫‌الد ْنيَا‬
َ َ‫ مُثَّ أَهْل‬،‫ب َم َذلة َي ْو َم الْقيَ َامة‬ ُ ‫ب‬َ ‫س‌ثَ ْو‬ ِ َ"
َ ‫‌م ْن‌لَب‬

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik bin Abu
As Syawarib telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari
‘Utsman bin Al Mughirah dari Al Muhajir dari Abdullah bin Umar dia
berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdah:
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas)
di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada
hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.”
a. Takhrīj al-Ḥadīṡ

104
Abū ‘Abdillāh Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn al-Syaibāniy, Musnad
al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ et. al., (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001),
cet. ke-1, Juz 11, p. 524, No. 6931.
105
Muslim ibn al-Ḥajjāj Abū al-Ḥasan al-Qusyairiy al-Naisābūri, Al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-
Mukhtaṣar binaql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ilā Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam, ed. Muḥammad
Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al-‘Arabiy, 1424 H.), cet. ke-1, Juz 3, p. 1647, No.
2077.
106
Abū ‘Abd al-Raḥmān ibn Syu‘aib ibn ‘Aliy al-Khurrāsāniy al-Nassā’iy, Al-Mujtabā
min al-Sunan (al-Sunan al-Ṣugrā li al-Nassā’iy), ed. ‘Abd al-Fattāḥ Abū Gudah, (Ḥalab: Maktab
al-Maṭbū‘āt al-Islāmiyyah,1986), cet. ke-1, Juz 8, p. 203, No. 5316.
107
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Silsilah al-Aḥādīṡ al-Ṣaḥīḥah, (Riyāḍ: Dār al-Ma’ārif, 1995), Juz 5, p. 519, No. 2396.
108
Ibn Mājah Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Yazïd al-Qazwīniy, Sunan Ibn Mājah, ed.
Syu‘aib al-Arna’ūṭ (Ḥalab: Dār al-Risālah al-‘Ālamiyyah, 2009), cet ke-1, Juz 4, p. 601, No. 3607.
Dalam prosesnya, Penulis mencoba untuk melakukan takhrij ḥadīṡ
tentang “Bukan Libas Syuhrah (hijab untuk mencari popularitas)” yang
digunakan oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam
kitabnya sebagai ḥujjah. Adapun metode takhrīj yang penulis gunakan
yaitu melalui topik ḥadīṡ, dengan menggunakan kitab Kanz al-‘Ummāl
fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl karya ‘Alā al-Dīn al-Hindī. Kemudian

penulis mendapat sebuah informasi (‫عمر‬ ‫)حم عن ابن‬,109 maksud dari

kode tersebut berarti ḥadīṡ tentang “Bukan Libas Syuhrah (hijab untuk
mencari popularitas)” diriwayatkan oleh Aḥmad ibn Ḥanbal dalam
kitabnya (Musnad al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal),110 dari ṣaḥābat Ibn
‘Umar.
b. Penilaian Ḥadīṡ menurut Syaikh al-Albānī

Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam kitab Ṣaḥīḥ al-


Tarġīb wa Tarhīb telah memberikan vonis terhadap ungkapan di atas
sebagai ḥadīṡ yang memiliki kualitas ṣaḥīḥ.111

D. Metode Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam menilai


Hadits, dan Metode Mengenai Hijab

1. Metode Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam


Menentukan Derajat Hadis

a. Menshahihkan Hadis

Berkenan dengan kaidah hadis shahih secara umum yang dikemukakan oleh
al-Albani tentang ilmu hadis tidak berbeda dengan para pendahulunya. Artinya

109
‘Alā al-Dīn Ali ibn Ḥisām al-Dīn ‘Abd Malik ibn Qāḍī Khān al-Hindī, Kanz
al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af’āl, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1981), Juz 15, p. 317,
No. 41201.
110
Abū ‘Abdillāh Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn al-Syaibāniy, Musnad
al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, ed. Syu‘aib al-Arna’ūṭ et. al., (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001),
cet. ke-1, Juz 9, p. 476, No. 5664.
111
Abū ‘Abd al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūḥ bin Najātī ibn Ādam al-
Albānī, Ṣaḥīḥ al-Tarġīb wa Tarhīb, (Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 2000), Juz 2, p. 480, No. 2090.
rumusan al-Albani bukanlah sebuah formulasi yang baru. Ketika merumuskan
hadis shahih Syaikh al-Albani menyebutnya sebagai:

‫احلديث الص حيح ه و املس ند املتص ل برواي ة الع دل الض ابط عن مثل ه إىل منته اه وال يك ون ش اذا‬
112
.‫والمعلال‬

Hadis shahih adalah hadis yang memiliki sanad yang bersambung dengan
periwayat yang adil dan dabit dari orang sama sampai pada akhir (sanad) dan
tidak terdapat kejanggalan serta ‘illah.

Dari rumusan diatas bahwa apa yang dikemukakan oleh al-Albani bukanlah
hal yang baru, rumusan itu sama juga dengan rumusan ulama’ pendahulunya. 113
Persyaratan yang diajukan oleh al-Albani tentang hadis shahih adalah: Pertama,
Sanad bersambung. Kedua, Periwayat ‘adil. Ketiga, Periwayat dhabit. Keempat,
Tidak ada kejanggalan. Kelima, Tidak terdapat ‘illah.

Al-Albani sangat memperhatikan otentitas sebuah hadis. Meskipun demikian


pemikiran al-Albani sekali lagi tidak tergolong sebagai sebuah pemikiran baru.
Pemikirannya tetap mengacu pada pemikiran ulama hadis konservatif. Adapun
langkah-langkah yang ditempuh al-Albani juga tidak berbeda dengan apa yang
dilakukan mayoritas ulama lainnya. Ketika al-Albani meneliti dan menentukan
otentitas dan kepalsuan hadis, ia akan mendasarkannya pada analisa isnad dengan
cara mencari informasi yang terdapat dalam kamus-kamus biografi periwayat
hadis. Syaikh al-Albani tergolong orang yang sangat ketat dalam menentukan
otentitas hadis ini. Baginya isnad yang tidak siqah, maka hadisnya juga termasuk
katagori tidak kuat.114

b. Menentukan hadis da’if

112
Isam Musa Hadi, ‘Ulumul al-Hadis li al-‘Allamah al-Albani, (Bairut: Dar Ibnu Hazm,
1424 h), p. 11-12.
113
Muhammad Mahfuz al-Tirmisi, Manhaj Zawi al-Naza, (Surabaya: Ahmad Ibn Sa’ad Ibn
Nabhan, 1394 h), p. 8.
114
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta:
Hikmah, 2009), p. 74 dan 79.
Metode dan dasar penelitian hadis al-Albani menilai keda’ifan suatu hadis,
yaitu dari dirinya sendiri sebagaimana ia katakan dalam muqaddimah kitab
Silsilah al-Ahadits al-Da’ifah wa al-Mau’ah wa Atsaruha al-Sayyi’ fi al-Ummah,
“sesungguhnya aku tidak bertaklid kepada seorangpun dalam menentukan hukum-
hukum hadis-hadis tersebut yang terdapat dalam kitab Silsilah al-Ahadits al-
Da’ifah wa al-Maudu’ah. Aku hanya mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang telah
diciptakan oleh ahli hadis. Mereka menggunakan kaidah-kaidah itu dalam
menentukan hukum-hukum hadis, berupa sahih dan da’if “,115 atau dari kritikus
periwayat lain. Dalam kitab Silsilah da’if wa al-Maudu’ah al-Albani menetapkan
kualitas hadis lalu kemudian dikuatkan dengan pendapat kritikus hadis lain. Yaitu
sebagai berikut:

‫ذك ره الس يو طي يف " اجلامع الص غري " من راوي ة أيب نعيم يف " املعرف ة " وابن عس اكر عن ابن أيب‬

‫ لكن ق ل‬,‫ رواه ابن مردوي ه وال ديلمي‬:‫ غ ري أن ه ق ل‬,‫ ومل يتكلم علي ه ش ارحه املن اوي بش يء‬,‫ليلى‬

.‫ وأقره الذهيب وكفى هبما حجة‬,‫ هذا حديث كذب‬:‫شيخ اإلسالم ابن تيمية‬

“Hadis ini maudu’, al-Suyuti menulisnya dalam al-Jami’ al-Saghir riwayat


Abu Nuaim dalam kitab ma’rifat, dan Ibn Asakir dari Abi Laili al-Munawi tidak
berkomentar selain mengatakan “diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih”, tetapi Ibn
Taimiyyah berkata: “hadis tersebut adalah dusta berkala. Pernyataan tersebut
disepakati dan ditegaskan oleh al-Dzahabi dalam Mukhtasar al-Minhaj, dan
cukuplah keduanya sebagai hujjah.”

Redaksi penilaian hadis yang ditetapkan oleh al-Albani dalam kitab ini pun
bervariasi, yaitu:

2) Redaksi yang secara tegas dalam menghukumi suatu hadis dangan lafadh

‫ باطل‬,‫ ضعيف جدا‬,‫ ال أصل له‬,‫موضوع‬ dan masih banyak yang lain.

115
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, “Silsilah al-Ahadits al-Da’ifah”, p. 42
3) Redaksi yang menyatakan hadis tidak ditemukan asalnya seperti ‫الأص ل ل ه‬

‫ال‬ ,‫ ال أصل له مر فو عا ال أصل‬,‫ أعرف له أصال‬,‫ ال أصل هبذا اللفظ‬,‫عن النيب‬

4) Redaksi yang tidak tegas menyatakan hadis tertentu palsu, seperti ,‫اليثبت‬

‫اليصح‬

Kriteria yang di rumuskan oleh al-Albani secara global dalam kitab ini adalah
”seorang zindik bisa memalsukan lebih dari empat ribu hadis, bahkan dipastikan
dari tiga orang yang dikenal sebagai pemalsu hadis, puluhan ribu hadis dibuat, ada
beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya hadis palsu yaitu: Tendensi
politik, demi ashabiyah (rasialisme), fanatisme mazhab, pengakuan demi
bertaqarrub kepada Allah, dan juga karena kesalahan tak sengaja sebagai kaum
sufi karena ketidak tahuannya.”116

2. Metode Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengenai Hijab


Dalam menentukan pendapat Syaikh al-Albani menggunakan metode
pilihannya yang berpijak pada pemaparan dalil terlebih dahulu, lalu mengambil
beberapa faedah dari dalil tersebut yang digunakan untuk menjelaskan
tarjihannya. Syaikh al-Albani pun mencantumkan pendapat-pendapat yang dapat
menguatkannya, kemudian yang ditutup dengan pemilihan dalil yang sesuai
dengan pendapat-nya.117 Penelitian maupun dakwahnya al-Albani menggunakan
metode atau manhaj para Salaf ahlus Sunnah wal jama’ah.

Syaikh al-Albani memiliki gaya ilmiah tersendiri yang berpijak pada asas-
asas yang kokoh, yaitu:

a. Al-Albani mempunyai metode (manhaj) ilmiah yang jelas dalam setiap


fase pemikiran yaitu manhaj Salaf ahlus Sunnah wal jama’ah.

116
Fatimatuzzahro, “Studi Sanad Hadis-hadis yang Dida’ifkan oleh Muhammad Nashir Al-
Din al-Albani” dalam Skripsi Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018. p. 30.
117
Muhammad Nashiruddin al-Albani, ”Ensiklopedia Fatwa Syaikh Albani”, (Jakarta:
Pustaka As-Sunnah, 2015), p. 7.
b. Al-Albani lebih bersikap teliti dan berhati-hati dalam membahas masalah
hijab, khususnya masalah derajat dan pemaknaan hadits yang digunakan
sebagai details.
c. Memiliki argumentasi yang kuat dalam setiap fatwahnya.
d. Memiliki sifat tegas dalam masalah yang beliau anggap benar berdasarkan
dalil.
e. Memiliki kemampuan berdebat yang ditunjang dengan penguasaan yang
kuat terhadap sunnah, ashar, dan khabar.
f. al-Albani lebih mengutamakan bunyi teks hadits dan pemahaman para
sahabat serta ulama salaf.118

B. Analisis Tentang Ḥadīṡ Hijab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani

1. Kewajiban Menutup Aurat, Kecuali Wajah Dan Telapak Tangan


Secara etimologi kata aurat yang berarti malu. Ada juga kata aurat yang
mengatakan berasal dari kata “awira” artinya hilang perasaan, apabila dipakai
untuk mata (memandang), maka mata itu akan hilang cahayanya dan lenyap
pandangannya. Pada umumnya kata awira ini memberi arti tidak baik untuk
dipandang, adapula kata “aurat” berasal dari kata “aara” yang berarti menutup
dan menimbun. Bahwa aurat adalah sesuatu yang harus ditutup sehingga tidak
dapat dilihat dan dipandang.

Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka serta telapak tangan.
Oleh karena itu perempuan harus menutup tubuhnya dengan pakaian dan hijab.
Adapun hijab yang dimaksud ialah hijab yang dijulurkan hingga kedada,
kemudian tidak menampakkan perhiasan. Hal ini merupakan suatu kemuliaan
dalam agama Islam. Pancaran pesona wanita justru ketika ia mengenakan busana
yang tertutup, bukan dalam balutan busana yang terbuka auratnya.

118
Ukaysah Abdul Mannan at-Taibiy, “Fatwah-fatwah Syaikh Albani”, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2003), p. 12.
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Syarat kedua yang dinukil oleh al-Albani yaitu dalam surat An-Nur ayat

31 yaitu: ‫زينتهن‬
ّ ‫ وال يبدين‬yang artinya “Dan janganlah kaum wanita menampakkan
perhiasan mereka”.

Kesimpulan potongan ayat diatas bahwa kaum wanita diperintahkan untuk


menyembunyikan perhiasannya.

Adapun syarat ke dua yang diperkuat dalam potongan ayat al-Qur’an surat
al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi:

................................................................................

Artinya:

“Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang pertama.”
Ada beberapa larangan-larangan bagi wanita dalam mengenakan hijab
salah satunya yaitu tabarruj. Tabarruj menurut al-Albani adalah perilaku wanita
yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib
ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki.

Awal mula di syariatkan-nya hijab yaitu untuk menutupi perhiasan wanita.


Dengan demikian tidaklah masuk akal jika hijab itu sendiri berfungsi sebagai
perhiasan. Bahkan al-Zahabi dalam kitabnya al-Kabir sebagaimana yang dikutip
al-Albani, bahwa Allah melaknat wanita yang menampakkan perhiasan, memakai
wewangian ketika keluar rumah.

3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis


Yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali harus tebal. Jika
tipis, maka hanya akan semakin memancing fitnah (godaan) dan berarti
menampakkan perhiasan.
Dalil diatas menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang dapat
mensifati dan menggambarkan lekak-lekuk tubuh adalah dilarang. Tipis
(transparan) itu lebih parah dari yang menggambarkan lekuk tubuh (tebal).

Yang dimaksud Nabi saw adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian
yang tipis, yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup
atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi
hakekatnya telanjang.119

Al-Albani menjelaskan bahwa hadis-hadis yang melaknat kaum wanita


yang menyerupai laki-laki dapat dilihat pada pembicaraan mengenai syarat yang
keenam.

4. Longgar, Tidak Ketat, Serta Tidak Menggambarkan Sesuatu Dari


Tubuhnya
Tujuan dari mengenakan pakaian adalah untuk menghilangkan fitnah. Dan
itu tidak mungkin terwujud kecuali pakaian yang dikenakan oleh wanita itu harus
longgar dan luas. Apabila pakaian itu ketat, meskipun dapat menutupi warna kulit,
maka tetap dapat menggambarkan bentuk atau lekuk tubuh, atau sebagaian dari
tubuhnya pada pandangan mata kaum laki-laki. Jika keadaannya begitu, maka
sudah pasti akan menimbulkan kerusakan dan mengundang kemaksiatan bagi
kaum laki-laki. Dengan demikian, pakaian wanita itu harus longgar dan luas.

Rasulullah saw memerintahkan agar wanita yang mengenakan baju


Qubthiyah itu juga mengenakan pakaian dalam, agar tubuhnya tidak dapat
tergambarkan. Perintah di sini menunjukkan arti wajib, sebagaimana ditetapkan
dalam Ushul Fiqih.120

Dalam hadis di atas itu sendiri disebutkan sebagai pakaian tebal yang
dapat menggambarkan bentuk tubuh karena kelenturannya, meskipun pakaian itu
tidak tipis. Pengertian hadis itu sudah cukup jelas, karena:

119
Muhammad Nashiruddin al-Albani, ”Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan
Sunnah”, terj. Abu Shafiyah, (Solo: At-Tibyan, 2014), p. 133.
120
Muhammad Nashiruddin al-Albani, ”Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan
Sunnah”, p. 131.
Pertama: Didalam hadis Nabi telah menjelaskan bahwa baju Qubthiyah
yang beliau berikan kepada Usamah itu adalah baju Qubthiyah yang tebal. Baju
yang seperti itu bagaimana dapat menggambarkan atau mensifati kulit dan tidak
dapat menyembunyikan dari pandangan mata? Barangkali Asy-Syaukani lupa
mengenai adanya kata “tebal” dalam hadis itu, sehingga ia menafsirkan
Qubthiyah sebagaimana baju Qubthiyah pada umumnya, yaitu tipis.

Kedua: Nabi sendiri juga menjelaskan sisi pelanggaran dari Qubthiyah ini
yang beliau khawatirkan, dimana beliau mengatakan “Saya khawatir jika baju itu
masih dapat menggambarkan bentuk tulangnya”.

Ini adalah bukti yang jelas bahwa yang dihindari dalam hadis ini adalah
penggambaran atau pensifatan mengenai bentuk, bukan warna. Fungsinya adalah
untuk menghindari larangan tersebut. Karena baju tersebut terkadang masih bisa
menggambarkan tubuh meskipun ia tebal, karena ia memiliki karakter lembut dan
lentur pada tubuh seperti pakaian yang terbuat dari sutera (silk) dan kain tenun
dari bulu domba yang dikenal sekarang ini. Rasulullah memerintahkan agar
disamping memakai Qubthiyah itu harus juga mengenakan baju dalam dengan
alasan yang telah disebutkan itu.

5. Tidak Diberi Parfum Atau Minyak Wangi


Syarat kelima yaitu, larangan untuk tidak memakai minyak wangi. Namun,
bukan berarti wanita tidak boleh memakai wewangian sama sekali atau dibiarkan
bau tak sedap. Boleh wanita keluar menggunakan parfum hanya untuk sekedar
menghilangkan bau, selama tidak sampai menimbulkan wangi

Islam sangat menegaskan dalam hal ini, mengingat sangat besarnya fitnah
wanita terhadap laki-laki. Bahkan jika sudah terlanjur memakai parfum kemudian
hendak kemasjid, sang wanita diperintahkan mandi agar tidak tercium bau
semerbak-nya.

Adapun maksud hadis tersebut adalah parfum untuk keluar rumah dan
laki-laki bisa mencium wanginya serta bisa membangkitkan syahwat laki-laki.
Maka tidak boleh wanita keluar memakai wewangian dalam bentuk apapun
sehingga membuat laki-laki bisa tertarik dan tergoda. Baik dia sudah bersuami
apalagi belum. Dan seorang wanita juga boleh menggunakan parfum dirumahnya,
didepan suami dan juga para mahramnya, selama tidak menimbulkan fitnah.
Bahkan menggunakan parfum didepan suami termasuk perkara yang dianjurkan
dalam syariat. Karena itu adalah perkara yang membuat suami senang. Dengan
demikian, menjadi jelas bahwa Hadis ini menunjukkan haramnya wanita memakai
parfum sehingga tercium wanginya olah laki-laki non mahram.

Wajhul istidlalnya dari hadis mengenai hal ini, wewangian atau parfum itu
selain ada yang digunakan pada badan ada juga yang digunakan pada pakaian,
lebih-lebih pada hadis yang ketiga diatas disebutkan bakhur (wewangian yang
dihasilkan dari pengasapan, semacam dupa atau kemenyan) yang jelas lebih
banyak digunakan untuk pakaian, bahkan lebih khusus untuk pakaian.

Dari penjelasan hadits di atas, penulis dapat mengambil sebuah


kesimpulan mengapa wanita dilarang untuk memakai minyak wangi atau parfum.
Jika dilihat secara kontekstual, pelanggarannya sudah jelas, bahwa hal itu akan
membangkitkan nafsu birahi. Para ulama bahkan mengikutkan sesuatu yang
semakna dengannya seperti pakaian indah, perhiasan yang tampak dan hiasan
(aksesoris) yang megah, serta ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki.

6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki


Beberapa hadis shahih yang melaknat wanita yang menyerupai kaum laki-
laki, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Al-Albani menyebutkan beberapa
hadis. Hadis diatas menunjukkan jelas mengenai diharamkannya wanita yang
menyerupai kaum laki-laki, begitu pula sebaliknya. Hal ini bersifat umum, yang
meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadis pertama yang hanya
menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.

Adapun hikmah pelaknatan terhadap tindakan menyerupai diri ini, kerena


ia bisa menyimpangkan seseorang dari sifat asli yang diciptakan oleh Allah pada
dirinya. Nabi telah mengisyaratkan hal itu ketika melaknat wanita-wanita yang
menyambung rambut, sabdanya:
ِ
ِ ‫ات خ ْلق‬
‫اهلل‬ َ َ ‫اْملُغَِّيَر‬
“Wanita-wanita yang mengubah ciptaan Allah”
Penjelasan diatas ditetapkan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan
mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki. Wanita tidak
diperbolehkan memakai selendang dan sarung laki-laki, serta pakaian laki-laki
yang lain. Contoh wanita-wanita kaum muslimin dizaman sekarang memakai apa
yang dinamakan dengan “jaket” dan “celana panjang”, Sekalipun pakaian jenis ini
lebih menutup aurat bagi mereka dibandingkan dengan model-model pakaian
asing lain. Karena itu hendaklah kalian mengambil pelajaran, wahai orang-orang
yang memiliki pandangan.

Banyak sekali hadis Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab shahih maupun
kitab-kitab lain, yang melaknat wanita-wanita yang menyerupakan diri dengan
kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita. Dalam
satu riwayat disebutkan bahwa beliau melaknat laki-laki yang bertingkah seperti
perempuan dan wanita-wanita yang bertingkah seperti kaum laki-laki.

Dapat diketahui kaidah mengenai larangan Nabi agar kaum laki-laki tidak
menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanitapun sebaliknya.
Perinsipnya itu tidak dikembalikan kepada semata-mata apa yang dipilih, disukai
dan bisa dipakai oleh kaum laki-laki dan kaum wanita. Sebab andaikata, dalam
suatu masyarakat, kaum laki-laki biasa memakai khimar yang menutup wajah dan
leher serta biasa memakai hijab yang dijulurkan dari atas kepala sehingga hanya
kedua mata pakaiannya yang tampak, sedangkan kaum wanita memakai sorban
dan baju pendek, serta pakaian lain misalnya, tentu hal ini menjadi diperbolehkan.
Sedangkan ini jelas bertentangan dengan nash dan ijma’.

7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir


Dalam syari’at Islam telah ditetapkan bahwa kaum muslimin baik laki-laki
maupun perempuan tidak boleh bertasyabbuh (menyerupai) kepada orang-orang
kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakaian dengan
pakaian khas mereka. Ini merupakan kaidah agung dalam syari’ah Islam yang
pada hari ini sayangnya banyak dilanggar oleh kaum muslimin, hal tersebut
dikarenakan nafsu atau larut arus zaman modern. Akhirnya menjadi salah satu
kelemahan kaum mulimin serta berkuasanya penjajah bangsa-bangsa asing
terhadap mereka.

Seharusnya diketahui bahwa dalil yang menunjukkan kebenaran kaidah


penting ini banyak terdapat dalam al-Kitab dan as-Sunnah, sekalipun dalil-dalil
dalam kitab bersifat global, namun as-Sunnah menafsirkan dan menjelaskannya,
sesuai dengan fungsinya.

8. Bukan Libas Syuhrah (untuk mencari popularitas)

Di dalam Islam, perempuan dilarang menggunakan pakaian untuk mencari


popularitas baik itu hijab dll-nya. Hal tersebut berdasarkan dalam hadits diatas.

Adapun arti pakaian syuhrah ialah pakaian yang dipakai dengan maksud
mencari kepopularitasan ditengah manusia, baik pakaian tersebut mahal, yang
dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun
pakaian yang benilai rendah yang dipakai seseorang untuk menampakkan
kezuhudan-nya, dan dengan tujuan riya’.

Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Autsar mengutip pendapat Ibnu Atsir


bahwa, Syuhrah artinya terlihat-nya sesuatu. Maksud dari libas syuhrah adalah
pakaiannya berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.”121

121
Muhammad Nashiruddin al-Albani, ”Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan
Sunnah”, p. 208.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian analisis data yang dipaparkan dengan judul
“Konsep Hijab Ala Sunnah menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani”,
maka penulis dapat menyimpulkan beberapa point sebagai berikut:

1. Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī merupakan salah seorang


ulama kontemporer yang produktif, sehingga menghasilkan banyak
sekali karya-karya dalam berbagai macam bidang, terutama pada
penelitian hadits. Beliau lebih dikenal dengan sebutan al-Albānī, karena
lahir di Albania tepatnya di Ashqudarrah ibu kota Republik Albania
(eropa timur) pada tahun 1333 H/ 1914 M. Syaikh al-Albānī banyak
mendapatkan pujian dari para ulama, bahkan ulama yang sering
berlawanan dengannya pun ikut memujinya, seperti Syaikh Ahmad bin
Shodiq al-Ghumari: Beliau berkata dalam hadiah-nya untuk al-Albani
“Hadiah dari penulisnya kepada Hadzrat al-Ustadz al-Allamah al-Atsari
asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani ad-Dimasyqi”.
3. Adapun konsep hijab ala sunnah menurut Syaikh Muḥammad Nāṣr al-
Dīn al-Albānī, dapat penulis ambil kesimpulan bahwa beliau
memberikan syarat khusus bagi para wanita yang hendak memakai hijab,
di antaranya sebagai berikut:
a. Menutup seluruh badan, selain yang kecualikan
b. Bukan berfungsi sebagai perhiasan
c. Kainnya harus tebal, dan tidak tipis
d. Harus longgar, tidak ketat, sehingga tidak dapat menggambarkan
tubunya
e. Tidak diberi wewangian
f. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
g. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir dan
h. Bukan pakaian untuk mencari popularitas.
Sedangkan dalam proses mengkaji seputar hijab, Syaikh
Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam penelitianya maupun
dakwahnya menggunakan dalil al-Qur’an dan al-Hadits yang shahih
dengan mendasarkan kepada pemahaman para salaf ahlus sunnah wal
jama’ah. Syaikh al-Albānī juga mempunyai gaya ilmiah tersendiri yang
berpijak pada asas-asas yang kokoh.

4. Dari hasil penelitian terhadap seluruh Ḥadīṡ-ḥadīṡ yang digunakan


sebagai hujjah oleh Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī dalam
kitabnya (Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah Fī Al-Kitab Wa As-Sunnah)
menunjukkan bahwa kualitas ḥadīṡ yang terdapat dalam kitab tersebut
terdapat 8 (delapan) ḥadīṡ yang termasuk dalam kategori shahih (kuat),
dan 3 (tiga) ḥadīṡ yang lainnya termasuk kategori hasan (bagus).

B. Saran
Pada bagian ini, penulis memberikan beberapa point penting, diantaranya:

1. Dengan penelitian ini diharapkan para pembaca dapat mengetahui jelas


mengenai syarat-syarat yang harus dilakukan oleh muslimah ketika
menggunakan pakaian sehari-hari terutama hijab dan diharapkan pula
penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif serta menjadi
sumbangan ilmu pengetahuan.
2. Penulis menyarankan kepada peneliti lain untuk mengkaji lebih dalam
karya-karya Syaikh Muḥammad Nāṣr al-Dīn al-Albānī khususnya pada
kitab yang saat ini penulis lakukan dengan mengkaji aspek-aspek yang
belum penulis kaji lebih dalam.
3. Dengan selesainya skripsi ini, penulis berharap kepada pembaca atas
saran dan sanggahan tentunya yang bersifat membangun, karena penulis
sadar bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna yang memiliki banyak
kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Albānī, Abū ‘Abd Al-Raḥmān Muḥammad Nāṣr Al-Dīn Ibn Al-Ḥāj Nūḥ
Bin Najātī Ibn Ādam, Ṣaḥīḥ Al-Tarġīb Wa Tarhīb, Riyādh: Maktabah Al-Ma’ārif,
2000.

_______, Silsilah Al-Aḥādīṡ Al-Ṣaḥīḥah, Riyāḍ: Dār Al-Ma’ārif, 1995.


_______, ”Ensiklopedia Fatwa Syaikh Albani”, Jakarta: Pustaka As-Sunnah,
2015.

_______, ”Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan Sunnah”, terj.


Abu Shafiyah, Solo: At-Tibyan, 2014.

_______, Silsilah Al-Ahadits Al-Da’ifah Wa Al-Maudu’ah Wa Atsaruha Al-


Sayyi Fi Al-Ummah, al-Riyad: al-Maktabah al-Ma’arif, 1992.

Al-Suyūṭī, ‘Abd Al-Raḥmān Ibn Abī Bakr Jalāl Al-Dīn, Al-Fatḥ Al-Kabīr
Fī Ḍammi Al- Ziyādah Ilā Al-Jāmi‘Al-Ṣaġīr, Beirut: Dār Al-Fikr, 2003.
_______, Jam’u Al-Jawāmi’ Aw Al-Jāmi‘ Al-Kabīr, Kairo: Al-’Azhar Al-
Syarīf, 2005.
Al-Hindī, ‘Alā Al-Dīn Ali Ibn Ḥisām Al-Dīn ‘Abd Malik Ibn Qāḍī Khān,
Kanz Al-‘Ummāl Fī Sunan Al-Aqwāl Wa Al-Af’āl, Beirut: Mu’assasah Al-Risālah,
1981.
Al-‘Aizari, Abdurrahman Bin Muhammad Shalilh, “Juhud Syaikh Al-
Albani Fi Al-Hadits Riwayah Wa Dirayah”, 1427.

Al-Syaibāniy, Abū ‘Abdillāh Aḥmad Ibn Muḥammad Ibn Ḥanbal Ibn Hilāl
Ibn, Musnad Al-Imām Aḥmad Ibn Ḥanbal, Ed. Syu‘Aib Al-Arna’ūṭ Et. Al.,
Beirut: Mu’assasah Al-Risālah, 2001.
Al-Naisābūrī, Abū ‘Abdīllāh Al-Ḥākim Muḥammad Ibn ‘Abdīllāh Ibn
Muḥammad Ibn Ḥamdawiyyah Ibn Nu‘Aim Al-Ḥakam Al-Ḍabī Al-Ṭahmānī Al-
Ṣamad, Al-Mustadrak ‘Alā Al-Ṣaḥīḥain, Ed. Muṣṭafā ‘Abd Al-Qādir ‘Aṭā, Beirut:
Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1990.
Al-Naisābūri, Muslim Ibn Al-Ḥajjāj Abū Al-Ḥasan Al-Qusyairiy, Al-
Musnad Al-Ṣaḥīḥ Al-Mukhtaṣar Binaql Al-‘Adl ‘An Al-‘Adl Ilā Rasūlillah Ṣallā
Allāh ‘Alaih Wasallam, Ed. Muḥammad Fu’ād ‘Abd Al-Bāqī, Beirut: Dār Iḥyā’
Al-Turāṡ Al-‘Arabiy, 1424 H.
Al-Bukhāriy, Abū ‘Abdillāh Muḥammad Ibn Ismā‘Īl Ibn Ibrāhīm Ibn Al-
Mugīrah Al-Ju‘Fiy, Al-Jāmi‘ Al-Musnad Al-Ṣaḥīḥ Al-Mukhtaṣar Min Umūr
Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘Alaih Wasallam Wa Sunanih Wa Ayyāmih, Ed.
Muḥammad Zuhair Ibn Nāṣir Al-Nāṣir, Beirut: Dār Ṭauq Al-Najāt, 1422 H.
________, Al-’Adab Al-Mufrad, Riyādh: Maktabah Al-Ma’ārif, 1998.
Al-Ṭabrānī, Abū Al-Qāsim Sulaimān Ibn Aḥmad Ibn Ayyūb Ibn Muṭayir,
Al-Mu’jām Al-Ṣaġīr, Beirut: Al-Makhtab Al-Islāmiyyah, 1985.
Mūsa, Abū Bakar Aḥmad Ibn Al-Husaīn Ibn ‘Alī Ibn ‘Abdullāh Ibn,
Syu'āb Al-Īmān, Riyādh: Maktabah Al-Rusyd, 2003.
Abū Dāwud, Sulaimān Ibn Al-Asy‘Aṡ Ibn Isḥāq Ibn Basyīr Ibn Syidād Ibn
‘Amru Al-Azdiy Al-Sijistāniy, Sunan Abī Dāwud, Ed. Syu‘Aib Al-Arna’ūṭ,
Beirut: Dār Al-Risālah Al-‘Ālamiyah, 2009.
Al-Baihaqī, Abū Bakar Aḥmad Ibn Husain, Al-Sunan Al-Kubra, Ed.
Muhammad ‘Abd Al-Qadir ‘Atha, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2003.
Al-Nassā’iy Abū ‘Abd Al-Raḥmān Ibn Syu‘Aib Ibn ‘Aliy Al-Khurrāsāniy,
Al-Mujtabā Min Al-Sunan (Al-Sunan Al-Ṣugrā Li Al-Nassā’iy), Ed. ‘Abd Al-
Fattāḥ Abū Gudah, Ḥalab: Maktab Al-Maṭbū‘Āt Al-Islāmiyyah, 1986.
Al-Tirmisi Muhammad Mahfuz, Manhaj Zawi al-Naza, Surabaya: Ahmad
Ibn Sa’ad Ibn Nabhan, 1394 H.
Anwar Ahmadi, Prinsip-Prinsip Metodelogi Research, Yogyakarta:
Sumbangsih, 1995.

Ath-Tharifi Abdulaziz bin Marzuq, “Al-Hijab fisy-Syar’i wal Fitrah”, terj.


Hijab, Busana Muslimah Sesuai Syariat dan Fitrah, Solo: Al Qowam, 2015.

Deni Sutan Bahtiar, Berjilbab dan Tren Bukan Aurat, Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2009.
Efriana Sefti “Hijab Sebagai Fenomena Dan Budaya”, Universitas UIN
Raden Fatah Palembang, 2016.
Fatimatuzzahro, “Studi Sanad Hadis-Hadis Yang Dida’ifkan Oleh
Muhammad Nashir Al-Din Al-Albani”, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2018.

Fadwa El Guibdi, “Hijab Dunia Islam Modern”, Bandung: Mizan, 2001.

Isam Musa Hadi, ‘Ulumul al-Hadis li al-‘Allamah al-Albani, Bairut: Dar


Ibnu Hazm, 1424 H.

Hasyim Inayah Nurul “Hijab Menurut Nahdatul Ulama, Muhammadiyah


Dan Wahdah Islamiyah”, Universitas UIN Alauddin Makassar, 2017.
Muhammad Ali al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2006.
Ibn Mājah, Abū ‘Abdillāh Muḥammad Ibn Yazïd Al-Qazwīniy, Sunan Ibn
Mājah, Ed. Syu‘Aib Al-Arna’ūṭ, Ḥalab: Dār Al-Risālah Al-‘Ālamiyyah, 2009.
Amin Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,
Jakarta: Hikmah, 2009.

Murtadha Mutahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, Bandung: Mizan,


1990.

Mubarok bin Mahfuz Bamuallim, Biografi Syaikh Al-Albani: Mujaddid dan


ahli hadis abad ini, Bogor: Pustaka Imam Al-Syafi’iy, 2003.
Muthoharoh Laili Nur “Metode Pemaknaan Hadis Tentang Cadar
Perspektif Muhammad Al-Ghazali”, Universitas UIN Sunan Ampel Surabaya,
2019.
Nadia Asma, La Tahzan For Hijabers, Depok: Asma Nadia Publishing
House, 1990.
Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan, “Tanbihat ‘ala Ahkam
Takhtashshu bil Mu’minat”, Terj. Abu Ahmad Abdul Fattah, Rambu-rambu
Syariat Praktis Fiqih Wanita, Solo: As-Salam Publishing, 2010.
Winarno Surahkmad, Pengantar Penelitian Ilmu Dasar Metode dan
Tematik, Bandung: Tarsito, 1990.

Anda mungkin juga menyukai