Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHASAN

BIOGRAFI ABU A’LA AL_MAUDUDI[2]

Namanya adalah Abul al-A’la al-Maududi, lahir pada tahun 1903 di kota Aurangabad di wilayah
Haidar Abad (India). Dia berasal dari keluarga yang sangat terhormat. Keluarganya sangat
terkenal dalam masalah-masalah keilmuan dan Agama.[3]

Ayah Abul al-A’la al-Maududi tidak memasukannya kesekolah-sekolah yang didirikan oleh
inggris. Abul al-A’la al-Maududi diajar sendiri oleh ayahnya dirumah. Abul al-A’la al-Maududi
adalah pimpinan redaksi pada tiga koran yang besar di India. Koran-koran yang dipimpin olehnya
adalah koran At Taj, Muslim dan koran Al-Jam’iyyah. Koran-koran tersebut selalu membela umat
Islam di India.

Pada tahun 1923, Abul al-A’la al-Maududi juga mendirikan majalah bulanan indenpenden yang
bernama Turjuman Al-Qur’an. Majalah tersebut mempunyai peranan yang besar dalam
pergerakan Islam disemenanjung India. Mahatma Ghandi sering mengeluarkan pernyataan yang
menyudutkan Islam dan meragukan akan kebenaran risalah Islam yang suci. Mahatma Ghandi
menuduh bahwa Islam disebarkan hanya melalui pedang. Abul al-A’la al-Maududi membantah
pernyataan-pernyataan Mahatma Ghandi tersebut dengan menulis sebuah buku yang sangat
terkenal berjudul Al-Jihad fi Al Islam.

Abul al-A’la al-Maududi memberikan bantahan terhadap pemahaman orang-orang Qadiyani. Dia
meminta pemerintah agar mengeluarkan para pengikut kelompok Qadiyani dari umat Islam,
karena bertentangan dengan Undang-Undang Negara. Dia kemudian menulis sebuah buku yang
berjudul Al Masalah Al Qadiyaniyah. Dia juga sering mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan
Pemerintah. Karena perbuatannya itu, Abul al-A’la al-Maududi hampir saja dijatuhi hukuman
mati.[4]

Pada tahun 1941 Maududi mendirikan Paratai Jamati Islam, atau persatuan Islam, suatau
perkumpulan yang terorganisasi sangat baik dan bertujuan untukk membentuk kembali
masyarakat yang tertib Islam sedunia. Baik dalam arti politik, hukum dan sosial, walaupun pada
mulanya ia menentang segala jenis nasionalisme sehngga ia pun menentang pendirian negara
Fakistan. Namun, pada akhirnya ia juga pindah ke Fakistan setelah terjadi pemisahan Fakistan
dar India., di mana Jamati Islam sangat giat dalam bidang politik.[5]

Pada tahun 1937, Muhammad Iqbal menulis surat kepada Maududi untuk pindah Ke Punjab dan
bekerjasama dengannnya dalam karya riset raksas rekontruksi dan kodifikassi yurisfrudensi
Islam. Koresfondensi ini diikuti dengan dua pertemuan anattaraa kedua tomkoh tersbut,
akhirnya diputuskan bahawa Maududi harus pindah ke Punjab dan memimpin suatu lembag
riset Islam daar al-Islam. Abu a’la Maududi meninggalkan hyrobaad dan tinggal di Punjab pada
bulan Maret 1938. Akan tetapi takdir menentukan lain, dan MuhammadIqbal mengghembuskan
napas terkhirnya dan meinggalkan tugas yang berat yang seharusnya di garap bersama oleh
karena itu Maududi terpaksa pindah meninggalkan Punjab untuk kemudian pindah ke Lahore, di
mana ia menjdi staf pengajar Fakultas Ushuluddi di Islamiyah college tanpa bayaran.[6]

Tahun 1941 beliau mengorganisasikan gerakan Renaissans[7] , Jamaat Islami[8] dan terpilih
sebagai ketuanya. Setelah pembagian India Pakistan beliau mencanangkan gerakan kostitusi
Islam dan jalan kehidupan Islamm kemudian beliau di tahan pada tanggal 4 Oktober 1948,
setelah 20 bulan dalam penjara beliau dalam penjara beliau di bebaskan dalam bulan mei 1950.
Sekali nestapa menimpa beliau pada tahun 1953 beliau di vonis mati dengan tuduhan menulis
selebaran gelap yag sebenarnya tidak terlarang. Vonis ini di remisi menjadi hukuman seumur
hidup, yang berarti kurungan ketat elama 14 tahun. Tanggal 28 April 1955 keopputusan
Mahkamah Agung bahwa beliau dilepaskan. [9]

Pada Tahun 1942 ia mengarang karya Tafhim Al-qur’an merupakan karya paling revolusioner
dan mengejutkan di zaman itu. Ciriutam tafsir ini adalah menyajikan arti dan risalah al-qur’an
dengan problematika sehari-hari baik secara Indiviual maupun sevacra kolektif atau sosial. Ia
berusahaa menjelaskan ayat-ayat Allah dalam konteks pesan yang menyeluruh.[10]

Tepatnya pada tahun 1948 Maududi menyampaikan lima buah ceramah lewat radio Pakistan
yang di tujukan untuk masyarakat Islam bukan hanya di Pakistan melainkan juga untuk seluruh
duniia. Ceramah tersubut mencakup lima bidang pokok dalam kehidupan ummat Isslam, yatu
moral, poltik, sosial, ekonomi, dan spiritual. Ke lima ceramah tersebut ditebitkan oleh Islamic
Research Academic dalam bentuk buku yang berjudul Islamic way of life.[11]

Pemikiran Politik al-Maududi

Sebagai seorang pemikir Al-maududi sangat memperhatikan doktrin ajaran Islam. Mauddudi
selalu berusaha untuk membangun paradigma pemikirannnya berdasarkan al-qur’an dan
Sunnah. Dalam hal ini Munawir Sdajali[12] dalam anlisisnya berpendapat bahwa terdapat tiga
aliran dalam ummat Islam tentang hubungan Islam dan tata kenegaraan.

Pertama, berpenddirian Islam bukanklah semata-mat agama dalam pemikiran Barat, hanya
menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan.Tetapi Islam adalah suatu agama yang
sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupann manusia termassuk
bernegara. tokoh-tokoh utama aliran ini adalah Rasyid Ridho, Hassan al-Banna, Sayyid Qtub dan
paling vocal adalah Maulana Abu A’la Al-Maududi.[13]

Kedua, Islam adalah agama dalam pengerrtian Barat yang tak ada hubungannnya dengan
kenegaraan untuk aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-
Rasul sebelumnya. Pendapat didukung oleh tokoh seperti ali abd Raziq dan Thaha Husein.[14]

Ketiga, Menola pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa Islam
terdapat sisitem ketatanegaraan . tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahawa Islam adalah
agama dalam penegertian yang hanya mengatur hubungan anytara manusia dengan
penciptanya. Tetapi dalam Islam itu teerdapat seperangkat tat nilai etika bagi kehidupan
bernegara[15]. Tokoh-tokoh yang paling terdengar gaunagannya adalah Muhammad Husein
Haikal seorang penulis buku fenomenal berjudul hayyatu Muhammad, dan Fil Manzil al-wahyi.
Dalam penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Maududi termasuk golongan konservatif.
Beliau menjelaskan bahwa tidak ada ijtihad selain yangtelahdijelaskan dalam nash syariah.
Maududi mengakui keabsahan metodologi hukum Islam yang dikembangkan oleh para Imam
yang mendirikan mazhab. Maududi berebeda pendapat dengan kaum modernis. Kaum
fundamentalis erpaling ke masa lalu, sedangakan kaum modernis memandang ke masa depan.
Kedua kaum ini berpendapat sebagai golongan treformis dan pembaharu. Dalam hal ini penulis
menganggap gambaran bahwa al-Maududi dalam dinamikan politik saat itu berada pada posisi
atau kita sebut tokoh fundamentalis.

Penulis ingin menunjukkan perbedaan pembahruan Maududi dalam bidang kenegaraan dengan
kaum konservatif mau pun dengan kaum modernis. Misalnya konsep kedaulatan Tuhan dalam
negara Islam . pemahaman ini memunculkan paham theo-demokrasi yaitu kekuassaan Tuhan
berada di tangan ummat Islam yang melaksanakan sesuai dengan al-qur’an dan Sunnah. Dalam
konsep khilafah al-Maududi berpendapat bahawa kepala negara yang menjadi khalifah
melainkan semua orang baik laki-laki mau pun perempuan.[16]

Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan
Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978. Teodemokrasi merupakan akomodasi antara
teokrasi yang menekankan kedaulatan pada Tuhan dan demokrasi yang menyebutkan bahwa
kekuasaan (khilafah) ada di setiap individu mukmin. Artinya bahwa Teodemokrasi memberikan
kedaulatan kepada rakyat, namun kekuasaan tersebut tetap dibatasi oleh norma-norma yang
datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, Teodemokrasi adalah kedaulatan rakyat yang berada
dibawah pengawasan Tuhan.

Namun dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and Constitution(1962: 138-139), al-Maududi
menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan
suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995:
17). Akan tetapi inti konsep yang disampaikan sama saja dengan konsep Teodemokrasi yang ada
dalam buku sebelumnya. Jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua istilah dan buku
tersebut.[17]

Ada tiga dasar keyakinan atau anggapan yang melandasi pikiran-pikiran Maududi tentang
kenegaraan menurut islam, yaitu sebagai berikut:

1. Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur
semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan poitik dengan arti bahwa didalam islam
juga terdapat sistem politik. Oleh sebab itulah beliau menekankan bahwa negara islam tidak
perlu meniru-niru sistem politik yang diterapkan di dunia barat. Cukup kembali kepada sistem
politik islam, dengan acuan menunjuk pada masa Al Khulafa Al-Rasyidin sebagai contoh
kenegaraan islam.

2. Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan ada pada Allah dan umat
manusia hanyalah pelaksana atas kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah Allah di bumi. Oleh
karenanya khalifah sebagai pelaksana harus tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah nabi, dan
tidak boleh ada gagasan tentang kedaulatan rakyat seperti yang ada di dunia barat. Maka yang
berhak untuk menjadi seorang khalifah hanyalah laki-laki atau perempuan muslim.

3. Sistem politik islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan
ikatan-ikatan geografi, bahasa, dan kebangsaan.[18]

Berdasarkan tiga landasan berpikir diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem politik yang
akan dan harus diterapkan di dunia islam berbeda dengan sistem politik yang ada di barat.
Maududi tidak sepakat dengan pemerintahan yang menganut kedaulatan rakyat (inti sistem
demokrasi) yang artinya menolak sistem demokrasi, beliau menolaknya berdasarkan dua alasan.
Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang
berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua,
praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik
rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu.
Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa,
yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan
pribadi .[19]

Beliau juga tidak setuju dengan sistem teokrasi seperti yang ada di eropa. Karena menurut
beliau sistem teokrasi yang ada di eropa adalah suatu sistem dimana kekuasaan ada ditangan
kelas tertentu atau biasanya adalah kelas pendeta. Menurut Maududi kelas pendeta yang
memegang kekuasaan akan menyusun perundang-undangan atau hukum untuk rakyat sesuai
dengan keinginan atau kepentingan kelas mereka, namun mengatasnamakan Tuhan.

Akan tetapi, meskipun beliau menolak sistem demokrasi dan sistem teokrasi, beliau masih
melihat ada sisi positif dari kedua sistem tersebut. Dalam sistem demokrasi misalnya, bahwa
kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum Mukmin. Khilafah tidak dikhususkan
bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah yang-menurut al-Maududi- membedakan sistem
Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, “Dan ini pulalah
yang mengarahkan Khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi
antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.[20]

Sedangkan dalam sistem teokrasi, ada satu anasir teokrasi yang diambil al-Maududi, yakni
pengertian kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut al-Maududi,
rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan
atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan
perundang-undangan Allah SWT.[21]

Dasar Pemikiran Al-Maududi (Tentang Negara Islam)


Konsep pemerintahan menurut Maududi bertumpu atas konsepnya yang mendasar tentang
alam semesta, al-Hakimiyah al-Ilahiyah, dan kekuasaan dalam bidang perundang-undangan.
Ketiganya ini dirujuk Al-Maududi dari Al-Quran.[22]

1. Konsep alam semesta :

a. Allah SWT adalah pencipta alam semesta dan pencipta manusia di alam ini.

b. Allah adalah pemilik makhluk ini, penguasanya, dan yang mengurusi segala urusannya.

c. Kekuasaan yuridiksi dan kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta ini hanya bagi Allah,
tidak mungkin menjadi hak siapapun selain Dia dan tidak ada seorang pun yang memiliki satu
bagian dari pada-Nya.

2. Konsep Al-Hakimiyah al-Ilahiyah:

a. Tuhan pemelihara alam semesta ini paa hakikatnya adalah Tuhan pemelihara manusia, dan
tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat-Nya Yang Maha Esa.

b. Hak untuk menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh siapapun kecuali Allah.

c. Hanya Allah sendiri yang memiliki hak mengeluarkan hukum, sebab Dialah satu-satunya
pencipta.[23]

d. Hanya Allah sendiri yang memiliki hak mengeluarkan peraturan-peraturan, sebab Dialah satu-
satunya pemilik.

e. Hukum Allah adalah sesuatu yang hak, sebab hanya Dia sendiri yang mengetahui hakikat
segala sesuatu, di tangan-Nyalah penentuan hidayah yang benar dan penentuan jalan yang sesat
dan lurus.

3. Konsep Kekuasaan Allah di Bidang Perundang-undangan[24]

Konsep kekuasaan Allah di bidang perundang-undangan menurut Maududi adalah bahwa


ketentuan membuat undang-undang harus hanya kepada Allah semata-mata dan umat Islam
wajib mengikuti undang-undang-Nya serta haram atas seseorang meninggalkan peraturan ini
dan mengikuti undang-undang buatan manusia lainnya, perundang-undangan yang dibuatnya
sendiri, atau kecenderungan hawa nafsu.

Di samping itu, kalau dilihat dari sejarah, khitah seorang Rasul menurut Maududi ialah
menyiarkan Islam, menyebarkan petunjuk Allah SWT dan menegakkan kalimah Allah di dunia ini.
Semua Rasul yang diutus Allah, mulai dari Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad SAW,
mempunyai tugasyang sama, yaitu mengajarkan Islam kepada umatnya dan menghimbau
mereka untuk mengakui kedaulatan mutlak Tuhan serta berserah diri kepada-Nya.

Selanjutnya, Maududi mengungkapkan bahwa manusia modern telah dibelenggu oleh


perbudakan atau dominasi manusia. Ini terjadi hampir di seluruh dunia, baik di Rusia,
Amerika,Yugoslavia, Cina, ataupun Inggris. Mereka berada di bawah bayangan satu partai,
seorang pemimpim atau seorang Plutokrat sedemikian rupa sehingga pada hakikatnya konntrol
manusia atas manusia. Penyembahan manusia atas manusia, tetap saja berlangsung tanpa
mengalami perubahan yang berarti. Bahkan kita saat ini menyaksikan suatu bangsa yang
mendominasi bangsa lain.[25]

Al-Maududi menegaskan bahwa semua urusan umat Islam harus dilaksanakan dengan
musyawarah bersama (syura) di kalangan kaum muslimin. Prinsip ini mendapat landasan yang
kuat dalam Al-Quran, diantaranya adalah “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan
kepada mereka.” (QS. al-Syura, 42: 38).

Ayat-ayat di atas walaupun tidak menetapkan bentuk lembaga konsultasi, yang jelas menurut
pemikiran Maududi, umat Islam harus menerapkannya dengan merujuk kepada situasi dan
kondisi yang saat itu ada dan dengan jujur berupaya memahami jiwa prinsip-prinsip serta rincian
prinsip tersebut sebagaimana ditafsirkan dalam kerangka kondisi pada saat itu.[26]

Dalam menjelaskan siapa yang berhak ikut dalam badan permusyawaratan tersebut, Al-
Maududi mencoba menerangkannya dengan merujuk pada perkembangan alamiah para
sahabat Nabi. Dalam hal ini pertimbangan yang diajukan Maududi dibagi menjadi dua hal,
yaitu[27]:

a) Orang-orang yang mempunyai dedikasi dan loyalitas dan mencurahkan seluruh hidupnya
untuk perjuangan Islam, sehingga dengan demikian orang-orang yang semacam ini dikenal oleh
masyarakat Islam secara luas.

b) Orang-orangyang terkemuka karena wawasan serta kemampuan mereka dalam memahami


ajaran Islam. Orang-orang seperti ini merupakan hasil seleksi alamiah dari komunitas Islam dan
mendapat kepercyaan dari mereka.

Secara tegas al-Maududi menekankan bahwa kedua kelompok di atas terpilih melalui seleksi
alamiah dan secara otomatis menjaddi anggota majlis permusyawaratan dalam negara di mana
pemegang eksekutifnya adalah penggamti Rosul. Oleh karena tidak perlu dilaksanakan
pemilihan umum untuk memilih mereka karena kalupun pemilu dilaksanakan ototomatis kedua
kelompok inilah yang akan terpilih. Begitu pentingnya kedua orang tersebut dalam bahasa yang
sama Maududi menyebutkan ahlu halli wa al-aqd yang tanpa sarannya tak akan dibuat
keputusan yang berkaitan dengan massalah kenegaraan.[28]

Tujuan Negara

Menurut al-Maududi, tujuan dibentuknya negara Islam adalah tidak lain untuk menegakkan
syariat Allah. Negara juga bertujuan untuk menuntun masyarakat muslim untuk menjalankan
apa yang telah diperintahkan Allah dalam syariatnya. Dengan menjalankan syariatnya, maka
menurutnya akan tercipta masyarakat Islam yang harmonis dan maju, serta tidak keluar dari
koridor yang telah ditetapkan oleh Allah.[29]

Negara Islam adalah negara yang mempunyai sistem tersendiri yang pada hakikatnya berbeda
dengan negara sekuler, baik menyangkut sifat atau karakteristik maupun tujuannya. Menurut
Al-Mududi, Islam merupakan antiteis dari demokrasi Barat, karena landasan filosofi demokrasi
Barat adalah kedaulatan rakyat sehingga dalam penentuan nilai-nilai dan norma pelaku
sepenuhnya berada di tangan rakyat. Al-Maududi mengkritik demokrasi Barat, yang menurutnya
mempunyai beberapa kelemahan mendasar. Pertama, kelompok penguasa bisa saja bertindak
atas nama rakyat meskipun sebagian pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk
rakyat, tetapi untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang.

Kedua, jika kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan pembuat hukum (law
maker) harus sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak mustahil suatu ketika tindakan-
tindakan yang tidak manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini publik menuntutnya. Bila
sebuah legislasi dikehendaki oleh mayoritas rakyat, meskipun bertentangan dengan ajaran
moral dan agama, maka legislasi itu harus berjalan. Sebaliknya, suatu legislasi lain betapa pun
benar dan adil dapat dibatalkan jika rakyat menghendakinya.

Dengan demikian, terlihat bahwa di satu pihak demokrasi hanya menjadi penutup oligarki, dan
di lain pihak dapat menjadi alat untuk memanipulasi kebenaran, karena kebenaran di identikkan
dengan suara mayoritas. Begitukeras ia mengancama demokrasi , sehingga ia mengatakannya
sebagai sistem musrik bahakan cenderung ke arah ilhad (atheis).[30]

Islam memberikan kedaulatan terbatas kepada rakyat. Rakyat tidak dapat dan tidak boleh
menggunakan kedaulatannya itu dengan semaunya, sebab ada peraturan-peraturan, norma-
norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi. Bahkan norma-norma dan nilai-nilai itu harus menjadi
paradigma program-program sosial, politik, dan ekonomi yang ditentukan oleh rakyat lewat para
wakilnya.

Badan eksekutif dalam pemerintahan ini, menurut Al-Maududi adalah dibentuk berdasrkan
kehendak umum kaum muslimin yang juga berhak untuk menumbangkannya. Semua masalah
pemerintahan dan masalah yang tidak diatur secara jelas dalam syariah diselesaikan antara
kaum muslimin[31]. Dari sudut ini terlihat negara Islam itu adalah demokrasi, tetapi ia juga
negara teokrasi dimana terdapat pemerintah secara eksplisit dari Tuhan maupun Rasul yang
tidak seorang pun baik pemimpin Islam, ulama atau undang-undang dapat membuat penilaian
yang independen.

Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa negara Islam bersifat universal, tidak membatasi
ruang lingkup kegiatannya.Sifat universal itulah yang membuat ruang lingkup dari kekuasaan
negara Islam tidak terbatas pada teritorial wilayah. Negara bangsa yang mendasarkan dirinya
pada rasa keterikatan berdasarkan wilayah, suku atau tradisi tidak dikenal dalam Islam. Negara
Islam dalam hal ini mendasarkan dirinya pada rasa keterikatan ideologis, yaitu ideologi Islam.
Dengan kata lain, di manapun itu, selama dia beragama Islam, maka dia termasuk warga negara
Islam.[32]

Berdasarkan prinsip inilah, menurut penulis Al-Maududi membagi golongan Islam yang ada
dalam negara Islam menjadidua golongan, yaitu ; muslim dan nonmuslim. Namun di sisi lain,
Maududi menekankan bahwa pembagian ini bukan berarti mengurangi hak nonmuslim
untukmenikmati kehidupan mereka. Negara Islam tetap memberikan jaminan perlindungan,
kehidupan nafkah dan kekayaan, serta jaminan kebudayaan, keimanan dan martabat warga
nonmuslim.
Selanjutnya, Maududi menjelaskan bahwa negara Islam mempunyai tujuan yang akan
dicapai demi untuk terjaminnya masyarkat Islam sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran,
yaitu ;

1. Untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antar manusia, antar-kelompok atau antar-kelas


dalam masyarakat.

2. Untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga dan
melindungi seluruh warga Negara dari invasi asing.

3. Untuk menegakkan system keadilan social yang seimbang sebagaimana dihendaki dalam
al-Qur’an.

4. Untuk memberantas setiap kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebajikan yang
dengan tegas telah digariskan pula oleh al-Qur’an.

5. Menjadikan Negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap
warga Negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.[33]

SISTEM KEKUASAAN POLITIK MENURUT AL-MAUDUDI

Al-Maududi mengharuskan adanya lembaga yang akan berfungsi sebagai pengukur dan pemutus
perkara yang harus selalu tetap berpedoman kepada kitab Allah dan Sunah Rasul secara ketat.
Selanjutnya, Al-Maududi mengemukakan tiga lembaga penting yang rakyat harus memberikan
ketaatan terhadap negara melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga
tersebut, yaitu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[34]

a. Lembaga Legislatif[35]

Menurut Al-Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang berdasarkan terminologi fiqh
disebut dengan lembaga penegah dan pemberi fatwa atau sama dengan Ahl al-Halli wa al-‘Aqd.
Dalam menformulasikan hukum, lembaga ini harus dibatasi dengan batasan-batasan Allah dan
Rasul-Nya dan tidak boleh bertolak belakang dengan legislasi yang ditetapkan Allah dan Rasul
walaupun konsensus rakyat menghendakinya.

Selanjutnya, lembaga ini menurut Maududi mempunyai tugas-tugas :

a. Jika terdapat petunjuk-petunjuk Allah dan Nabi-Nya yang eksplisit, maka lembaga inilah yang
berkompeten menjabarkan dan memuat peraturan-peraturannya.

b. Bila terdapat kemungkinan beberapa penafsiran terhadap petunjuk-petunjuk eksplisit itu.

c. Jika tidak ada ketentuan dalam Al-Quran dan Hadis.

d. Jika tidak ada ketentuan dari sumber-sumber di atas.[36]

b. Lembaga Eksekutif[37]

Tujuan lembaga ini adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman serta menyiapkan


masyarakat agar menyakini dan mengatur pedoman-pedoman ini untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam Al-Quran, terminologi uli al-amr pada dasarnya menunjukkan
lembaga ini dan kaum muslimin diperintahkan untuk patuh kepadanya.

c. Lembaga Yudikatif

Dalam terminologi Islam, lembaga yudikatif sama dengan lembaga peradilan atau qadha.
Lembaga ini berfungsi sebagai penegak hukum Ilahi, menyelesaikan, dan memutuskan dengan
adil perkara yang terjadi di antara warganya. Lembaga ini bersifat bebas dan terlepas dari segala
campur tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga lembaga ini dapat membuat keputusan yang
sesuai dengan konstitusi tanpa dihalangi oleh rasa takut.

Mengenai bagaimana hubungan antara lembaga eksekutif,dan lembaga legislatif, Maududi


menyatakan bahwa kedua lembaga tersebut berfungsi secara terpisah dan mandiri satu dengan
yang lain. Lembaga legislatif atau Ahl al-Halli wa al’Aqd berfungsi sebagai badan penasihat
kepala negara yang menyangkut dalam berbagai hal. Di samping itu, kepala negara harus
mengadakan konsultasi atau bermusyawarah dengan lembaga legislatif. Namun dalam berbagai
hal kepala negara boleh menerima atau menolak suara mayoritas dan mengambil pendapatnya
sendiri sesuai dengan pertimbangannya. Di sini kepala negara menurut Maududi mempunyai
hak veto.[38]

Namun yang sangat disayangan adalah ketidak jelasan konsep Al-Maududi tentang siapa yang
mengangkat dan menunjuk kepala negara dan anggota majelis syura apabila mereka telah
terpilih, dan bagaimana pula kalau seandainya masyarakat muslim mencopot jabatannya
dengan cara bagaimana dan lembaga mana yang akan melakukannya?

Al-Maududi menyerahkan urusan tersebut kepadaa umat Islam untuk menempuh jalan yang
mereka anggap terbaik untuk situasi dan kondisi mereka. Menurutnya, Islam tidak
mencontohkan cara tertentu untuk itu. Al-Maududi seolah-olah kembali pasrah dengan situasi
politik yang berkembang dengan tidak memberikan tuntunan ke arah penyelesaian masalah. Hal
ini juga menjadi tradisi politik Islam dari beberapa aliran, termasuk kalangan Sunni. Ahmad
Syafi’i Maarif mengomentari masalah ini dengan menyatakan, “Sekalipun para yuris Sunni
dengan gigih mempertahankan teori pemilihan, mekanismenya tetap tidak jelas”.[39]

Jadi dapat disimpulkan struktur pemerintahan islam yang diinginkan oleh alMaududi terdiri dari
tiga lembaga yaitu : yang pertama Amir atau eksekutif, yang kedua Ahl Alhalli wal ‘Aqdi (majlis
suro atau legislative, yang ketiga Qadha atau Yudikatif.

Menurut alMagdudi dalam Negara Islam kekuasaan tertinggi berada di tangan Amir atau kepala
Negara dan hak untuk menetapkan undangundang sepenuhnya berada ditangan Amir. Untuk
itulah al Magdudi menetapkan berbagai syarat untuk menjadi Amir. Syaratsyarat itu antara lain:

1. Beraga Islam

2. Lakilaki

3. Sehat fisik dan mental

4. Warga Negara yang terbaik

5. Shaleh
6. Dan kuat komitmennya terhadap Islam

Pemikiran Maududi Tentang Wanita

Konsep Maududi tentang wanita terlihat dalam buku Purdah and the status of Woman in Islam.
Yang menguraikan bahwa status wanita tergantung pada perubahan zaman dan peradaban
(pada masing-masing negara).

Serangkaian generalisasi mengenai sikap budaya terhadap perempuan di negara Yunani kuno,
Roma, Eropa Kristen, dan Eropa modern. Dimana status wanita pada beberapa negara ini adalah
tergantung dari tema yang sama, yaitu peradaban. Menurut Maududi, penyimpangan seksual
dan korupsi yang terjadi itu merupakan penyebab dari penurunan peradaban masing-masing.

Pada abad ke- 20 di Eropa, Maududi mengiidentifikasikan tiga doktrin masyarakat barat, yaitu:

1. Kesetaraan antara pria dan wanita.

Di barat, wanita diperbolehkan bekerja sama seperti laki-laki. Menurut Maududi melihat
kesalahan terhadap kesetaraanya, karena wanita menjadi sangat terpengaruh dengan ekonomi,
politik, dan pengejaran sosial. Sehingga ia mengabaikan kewajibannya untuk merawat keluarga.

2. Kemandirian ekonomi pada wanita.

Wanita yang mandiri ekonominya, mereka tidak lagi merasa berkewajiban untuk memiliki suami
atau keluarga. Kebanyakan wanita muda di beberapa negara barat memilih hidup tanpa
menikah, dan bersetubuh dengan siapa saja.

3. Pembauran bebas dari jenis kelamin.

Hal ini cenderung dilakukan karena pamer. Mereka berkumpul tanpa busana dan melakukan
penyimpangan seksual. Pria lebih tinggi nafsu seksual, sementara wanita mengabaikan
pengendalian moralnya unutk menarik lawan jenis.

Maududi mengatakan bahwa, tampaknya otoritas wanita di negara Islam itu akan sedikit
dibatasi. Menurut Maududi, pria secara alami dapat menjadi jenderal, negarawan, dan
administrator, dan seorang wanita merupakan seorang istri, ibu dan pembantu rumah tangga.
Ini adalah pembagian kerja yang bersifat alamiah dan telah tersuusun antara kedua jenis
kelamin (pria dan wanita).

Konsep wanita menurut al Maududi bisa dikategorikan pada empat macam:[40]

1. Laki-laki mempunyai tugas untuk mendidik perempuan tentang arti sebuah kehidupan.

2. Perempuan itu untuk menjaga urusan rumah tangga dan membuat kehidupan rumah
tangga yang harmonis, menyenangkan dan damai. Pendidikan merupakan alat untuk mencapai
tugas tersebut.
3. Wanita itu untuk mempertahankan sistem keluarga dan menyelamatkannya dari
kebingungan. Laki-laki harus dapat menjadi pemimpin dalam keluarga.

4. Harus ada perlindungan dalam sistem sosial untuk mencegah individu dari kebingungan
dan mencampuradukkan jenis kegiatan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Maududi menjelaskan bahwa prinsip-prinsip fundamental yang mendasari sistem sosial islam
bisa membantu untuk mengendalikan dan mengatur dorongan sexual seseorang.

Selain itu, ketika wanita hendak pergi keluar rrumah atau bertemu dengan laki-laki tanpa
disertai dengan mahram nya dia harus menutupi seluruh badannya. Untuk laki-laki yang harus
ditutup yaitu antara pusar sampai pada lutut. Tapi untuk wanita adalah semuanya dari
tubuhnya.

Pria muslim dan wanita harus menjaga pandangan mereka dari lawan jenisnya. Dan wanita
harus menarik pakaian mereka ke atas dada, serta tidak menunjukkan perhiasan mereka kecuali
kerabat dekat, perempuan lain, dan budak.

Pernyataan akhir dari Maududi di atas, adalah pesan spirit al Qur’an. Al Qur’an bukan hanya
menyeru untuk berjilbab saja, tapi lebih dari itu al Qur’an menyuruh wanita untuk menutup
seluruh tubuh termasuk muka dan tangan.[41]

Al-Maududi dan Non-Muslim

Masalah yang sering dihadapi suatu negara adalah menentukan ideologi negara. Karena ideologi
ini menjadi dasar pemikiran dan petunjuk ke arah mana negara mau di bawa. Seorang Muslim
hanya bisa menjalankan keimanannya dalam sebuah negara dan masyarakat Islam, sebagaimana
friman Allah, “barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, ia termasuk kafir”.

Seorang hakim yang telah menentukan suatu putusan pun masih dilingkupi keraguan. Maududi
berpendapat bahwa ketika hakim harus memutuskan suatu perkara, maka setidaknya itu
dilakukan oleh beberapa orang Muslim yang saleh. Hal ini, mengindikasikan bahwa non-Muslim
tidak mungkin diharapkan untuk menempati posisi penting di negara ala Maududi. Maududi
menolak politik pluralisme agama[42].

Namun, non-Muslim atau pun kafir dzimmi yang menunjukan loyalitas mereka kepada negara
Islam, mereka termasuk penduduk dan mendapatkan hak-hak sebagai penduduk.
Bagaimanapun Maududi membedakan hak antara kafirdzimmi dengan muslim, ia bukan seorang
pengikut kesamaan HAM.

Maududi menjamin untuk melindungi kafir dzimmi dari kehidupan dan anggota badan,
kepemilikan dan budaya, kepercayaan dan kehormatan mereka. Hanya Islam yang menegakan
undang-undang dan aturan-aturan Islam dan memberikan hak yang sama kepada non-Muslim
sebagai penduduk pada umumnya. Tetapi, bentuk negara Islam yang ditawarkan Maududi
berbeda dengan bentuk negara Islam yang ada dalam sejarah, yang mana membolehkan non-
Muslim melaksanakan kegiatan mereka seperti membuat dan menjual alkohol, mengembang
biakan dan menjual babi. Bagaimanapun, secara politik non-Muslim mempunyai posisi yang
terbatas. Pria atau wanita non-Muslim tidak bisa menjadi kepala negara, akan tetapi boleh
menjadi anggota musyawarah.[43]
Negara Islam yang sempurna adalah sempurna berdasarkan definisi ; merupakan sebuah bentuk
akhir dan dan tidak ada kelonggaran. Ekpresi-ekspresi dari bentuk dan kepercayaan lain harus
lah ditahan dan dibatasi. Hal ini, terlihat jelas dalam tulisan Maududi bahwa non Muslim
diberikan toleransi tetapi menyediakan untuk mereka jarak dan tidak diperbolehkan
mengembangkan ideologi mereka di dalam komunitas.

Satu hal yang penting, Maududi berusaha keras memberikan hal yang paling fundamental yang
ditawarkan oleh negara demokrasi modern di dalam sistem Islamnya, sebagaimana dogma
tradisional dibatasi oleh politik liberal dan kebebasan berekspresi dan kepercayaan. Maududi
menegaskan bahwa hak hidup, kebebasan dan kepemilikan semuanya milik rakyat (baik Muslim
maupun non-Muslim), kebebasan bereskpresi, membuat perkumpulan dan sebagainya, semua
dijamin oleh negara Islam dan tidak akan dijebloskan ke penjara tanpa melalui pengadilan.[44]

[1] Makalah ini di tulis untuk memenuhi tugas kuliah PMDI di UIN Jakarta, Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Aqidah Filsafat. Penulis berharap makalah ini bisa berguna untuk civitas akademi UIN
Jakarta.

[2] Maulana Maududi mengawali pendidikan agama yang bersifat tradisional kemudian
mempelajari sendiri pemikiran Barat. Inilah yag membuat ia menjadi kritukus terhadap Barat.
Selain itu, ia jiga produktif dalam menulis baik di media massa maupun dala bidan ilmiah. Boleh
dikatakan ia seorang cendikiawan sekaligus politikus.

[3] http://himajinasiiainarraniry.blogspot.co.id/2013/09/biografi-dan-pemikiran-politik-abul-
al.html, di akses pada Rabu 18 November 2015.

[4] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam Dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-
masalah.(dari judul aslinya : Islam Intransition ; Muslim Perspective), PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1995, hlm. 158

[5] Ibid, hal. 158-159


[6] http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7970/1/MUHAMMAD
%20IQBAL-FUF.pdf, di akses pada rabu 118 November 2015.

[7] Gerakan pembangunan dan pengembangan kemali keilmuewan untuk memghadap masa
depan. (lihat KBBI).

[8] Partai revivalis Islam di Pakistan organisassi ini merupakan salah satu gerakan Islam tertua
dan paling berpengaruh dalam perkembangan revivalisme Islam di seluruh dunia Islam.

[9] Lihat skipsi Muhammad Iqbal alumni UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin. Dengan tema Skipsi
Implementassi pemikiran Maududi dalam dinamika Politik kontemporer.

[10] Ibid. hal. 20

[11] Lihat buku Maryam Jamelah Biografi Abu A’la al-maududi , hassil terjemahan Dedi
Jamluddin Malikhal 5 sampai 16. Atau lihat Refository UIN.Jkt. ac.

[12] Lihat Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran karangan Munawir Sdajali
(Jakarta: UI Press, 1993) hal.1-2

[13] Ibd. Hal. 2

[14] Ibid hal. 2

[15] Ibid 3

[16] http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7970/1/MUHAMMAD
%20IQBAL-FUF.pdf, di akses Rabu, 18 November 2015.

[17] http://ahmadhariantosilaban.blogspot.co.id/2011/06/pemikiran-politik-al-maududi.html, di
akses Rabu, 18 November 2015.

[18] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam Dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-
masalah.(dari judul aslinya : Islam Intransition ; Muslim Perspective), PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1995, hlm. 464.

[19] Tulisan ini penulis kutip dari esay Amien rais terkait Neagara Islam, terdapat dalam Blog
Anandia. Blogsport. Pemikiran Amin Rais dan Maududi, di akses pada Rabu, 18 Oktober 2015.

[20] http://ahmadhariantosilaban.blogspot.co.id/2011/06/pemikiran-politik-al-maududi.html,
diakses pada Rabu, 18 Novemeber 2015.

[21] Lihat karya Muhammad Anwar, Pokok Pemikiran al-Maududi, (Jakarta: PT: Raihan Abadi,
2010) hal. 23

[22] Abu al-A’la Maududi, al-Khilafah wa al-mulk, hal. 45 juga terdapat Pemikiran Politik Islam
dari klasik Hingga Indonesia dan kontemporer karya Muhammad Iqbal hal. 174.

[23] Muhammad Iqbal dan Amin husein Nasution, Pemikiran Politik Islam ; Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Kencana, 2003), hal.,174.
[24] Ibid. 175

[25] Ibid. 176

[26] Ibid. 178

[27] Ibid 178-179

[28] Ibid 179

[29] http://chaerulfuad.blogspot.co.id/2015/05/pemikiran-politik-abu-al-ala-al-maududi.html, di
akses pada tanggal 18 Oktober 2015.

[30] Muhammad Iqbal. Op.ic hal. 180

[31] Din Syamsuddin, Islam Dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta : Logos, 2001), hal.,141.

[32] Ibid. 142

[33] Muhammad Iqbal dan Amin husein Nasution, Op Cit.,hal.183.

[34] Muhamadda Iqbal dan Amin Husein Nasution. Op. ic. hal. 184

[35] Lihat Amin Rais, Pengantar Khilafah dan kerajaan, hal. 31

[36] Muhamadda Iqbal dan Amin Husein Nasution. Op. ic. Hal. 184-185

[37] Ibid. 185

[38] Ibid. 186

[39] Ibid. 188

[40] Penulis kutip dari http://fadhilahaqiqi.blogspot.co.id/2014/01/abul-ala-al-maududi.html,


pada Rabu 18 November 2015.

[41] Roy Jackson, Mawlana Maududi and Political Islam Authority and the Islamic State,
(London: Routledge), 2011, h. 133-139. Penulis kutip dari internet pada Rabu, 18 November
2015.

[42] Roy Jackson, hal. 160

[43] Ibid. 161

[44] Jhon Donohue dan Jhon Esposito, op.ic hal. 474

Anda mungkin juga menyukai