Anda di halaman 1dari 74

BUKU AJAR

MATA KULIAH
KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA

Buku Ajar ini sebagai salah satu realisasi


Kegiatan PPKPS Departemen Sastra Prancis
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Dr. Muhammad Hasyim, M.Si.

DEPARTEMEN SASTRA BARAT ROMAN


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016

i
KATA PENGANTAR

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan


efektifitas dalam proses pembelajaran bagi peserta didik di perguruan tinggi
adalah mengembangkan bahan ajar.
Bahan ajar atau Buku ajar adalah materi pembelajaran yang disusun
sesuai dengan kebutuhan belajar pada mata kuliah tertentu untuk keperluan proses
pembelajaran. Buku ajar disusun dengan mengacu kompentensi utama dan
pendukung serta strategi pembelajaran yang akan dicapai pada mata kuliah.
Perubahan Kurikulum 1994 menjadi KBK akan membawa konsekuensi pada
perubahan pelaksanaan proses pembelajaran di kelas (Depdiknas, 2003: 9). Salah satu
konsekuensi dari perubahan kurikulum KBK adalah pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di
kelas difokuskan pada pengembangan kompetensi setiap peserta mata kuliah. Artinya setiap
peserta didik akan mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan latihan
mengembangkan kompetensi di setiap mata kuliah, sehingga kompetensi itu dikuasai dan
menjadi kebiasaan berpikir dan bertindak yang dilakukan secara konsisten.
Dengan penekanan proses pembelajaran kepada pengembangan kompetensi setiap
individu siswa, penyusunan buku ajar sebagai sistem pembelajaran merupakan jawaban
penerapan KBK. Dalam hal ini buku ajar merupakan pegangan belajar yang meliputi
serangkaian pengalaman belajar yang direncanakan serta dirancang secara sistematis untuk
membantu mahasiswa mencapai tujuan belajar yaitu menguasai kompetensi yang telah
ditetapkan.
Kajian Budaya dan Media adalah mata kuliah yang membahas teori-teori budaya dan
media yang dikemukakan dari berbagai tokoh dan pendekatan-pendekatan yang digunakan
dalam mengkaji fenomena-fenomena budaya dan media baik dalam realitas kehidupan sosial
maupun dalam realitas media (budaya media).
Penyusunan dan penggunanaan buku ajar pada mata kuliah ini adalah dapat
mengarahkan mahasiswa untuk memahami, menjelaskan dan menerapkannya dalam analisis
budaya dan media. Dengan penerapan materi pembelajaran dalam buku ajar, diharapkan
mahasiswa memiliki kompetensi mengakaji teks-teks budaya dan media, khususynya yang
sedang issu-issu kekeinian.
Pencapaian kompetensi penerapan teori dalam analisis teks-teks budaya dan media
bagi mahasiswa adalah sejalan dengan kompetensi utama Departemen Sastra Prancis Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2016

Dr. Muhammad Hasyim, M.Si.

ii
DAFTAR ISI

Hal
Sampul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iv
Pertemuan ke 1: Pengantar Kajian Budaya dan Media 1
Pertemuan ke 2: Wilayah Kajian Budaya dan Media 12
Pertemuan ke 3 dan 4: Semiotika, Analisis Tekstual Budaya dan Media 16
Pertemuan ke 5: Analisis Tekstual: Teori Narasi 23
Pertemuan ke 6: Analisis Tekstual: Teori Narasi 26
Pertemuan ke 7: Etnografi dalam Kajian Budaya dan Media 32
Pertemuan ke 8: Identitas Sosial 36
Pertemuan ke 9: Ideologi 40
Pertemuan ke 10 dan 11: Budaya Media 44
Pertemuan ke 12 dan 13: Budaya Konsumsi 56
Pertemuan ke 14: Simulacra 66
Daftar Pustaka 69

iii
1

PERTEMAN KE-1
PENGANTAR KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA

Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas konsep dasar studi budaya dan media serta ruang
lingkup pengkajian/penelitian budaya dan media
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan konsep dasar dan ruang lingkup pengkajian
budaya dan media.

1. Studi-studi Budaya dan Media

Cultural Studies atau kajian budaya merupakan bidang yang majemuk dengan
perspektif dan produksi teori yang kaya dan beraneka ragam. Dalam ranah keilmuan para
pengkaji budaya meyakini bahwa tidaklah mudah untuk menentukan batas-batas dan wilayah-
wilayah kajian budaya secara khas dan komprehensif, terlebih ditengah perkembangan
globalisasi diberbagai bidang dimana batasan-batasan kultural, politik, dan ekonomi semakin
kabur, selain juga karena wilayah kajian budaya bersifat multidisipliner/interdisipliner atau
pascadisipliner sehingga mengaburkan batas-batas antara kajian budaya dengan subyek-subyek
lain. Suatu arena interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif
dipergunakan dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan, kebutuhan
akan perubahan dan representasi atas kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, khususnya
kelas, gender, dan ras, dengan demikian Cultural Studies adalah suatu teori yang dibangun oleh
para pemikir yang memadang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik.
Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal
posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa, dan untuk tujuan apa? Maka
merupakan pekerjaan rumit dan butuh keseriusan yang mendalam untuk dapat menguraikan
kajian budaya secara komprehensif, apalagi menentukan wilayah pokok penyelidikan intelektual
dan argumenargumen utamanya. Permasalahan inilah yang coba dipaparkan dan dijawab oleh
Chris Barker, ia ingin menguraikan secara komprehensif tentang kajian budaya, termasuk
ringkasan dan pembahasan mengenai argumen-argumen utama dan wilayah-wilayah pokok
penyelidikan intelektualnya.
Bagi Barker menguraikan kajian budaya secara komprehensif berarti melakukan
kontruksi terhadap kajian budaya. Melakukan konstruksi dalam hal ini dimaknai dengan
mereproduksi dan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan kajian budaya, baik berupa teks-teks
tentang kajian budaya maupun teori-teori yang layak disebut sebagai kajian budaya atau yang
mempengaruhi kajian budaya. Dalam menguraikan dan membahas kajian budaya Barker
menggunakan versi yang benar-benar berbeda dibanding dengan para pengkaji budaya lainnya.
Ia lebih memusatkan diri pada teori-teori pascastrukturalisme terutama tentang bahasa,
representasi, makna, dan subyektivitas. Tidak seperti kajian budaya versi lainnya yang lebih
banyak berkutat pada wilayah etnografi, peristiwa-peristiwa hidup, atau kebijakan budaya.
Barker menggunakan tiga kategori untuk menguraikan kajian budaya versinya yaitu menentukan
dan mengkaji dasar-dasar kajian budaya, perubahan konteks kajian budaya, dan situs-situs kajian
2

budaya. Menurut Barker melakukan Kajian Budaya berarti mengkaji kebudayaan sebagai
praktik-praktik pemaknaan dalam konteks kekuasaan sosial, dengan mengajukan berbagai
pertanyaan mengenai pemaknaan yaitu bagaimana peta-peta makna diciptakan dalam
kebudayaan? yang kemudian menjadi sekumpulan praktik pemaknaan, melacak maknamakna
apa saja yang didistribusikan? oleh siapa? untuk siapa? dengan tujuan apa? dan atas kepentingan
apa?.
Sementara dalam ranah praktiknya kajian budaya berpusat pada tiga pendekatan:
- Pertama: Etnografi, yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan kulturalis
dan penekanan pada pengalaman hidup sehari-hari.
- Kedua: pendekatan tekstual, yang cenderung mengambil dari semiotika, pasca
strukturalisme, dan dekonstruksi derridean.
- Ketiga: kajian resepsi, yang akar teoritisnya bersifat eklektik.
Etnografi merupakan pendektan empiris dan teoritis yang diwarisi dari antropologi yang
berusaha membuat deskripsi terperinci dan analisis kebudayaan yang didasarkan atas kerja
lapangan secara intensif.
Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk
sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini
dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap
kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran,
meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu
pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan
menempuh strategi inter dan multidisipliner. Cultural studies memasukkan kontribusi teori
maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan
realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam
kehidupan mutakhir. Cultural Studies etnografis terpusat pada eksploitasi kualitatif tentang nilai
dan makna dalam konteks cara hidup, yaitu pertanyaan tentang kebudayaan, dunia-kehidupan,
dan identitas.
Pendekatan tekstual, menggunakan tiga cara analisis yaitu : semiotika, teori narasi,
dekonstruksionisme. Semiotika mengeksplorasi bagaimana makna yang terbangun oleh teks
didapat melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode-kode budaya,
analisis tersebut banyak mengambil ide dari ideologi, atau mitos teks. Narasi adalah penjelasan
yang tertata urut yang mengklaim sebagai rekaman peristiwa. Narasi merupakan bentuk
terstruktur dimana kisah mengungkapkan penjelasan tentang bagaimana dunia ini.
Dekonstruksionisme diasosiasikan sebagai pelucutan yang dilakukan Derrida atas oposisi biner
dalam filsafat barat, mendekonstruksi berarti ambil bagian, membongkar kembali, demi
menemukan dan menampilkan asumsi suatu teks. Tujuan dekonstruksi bukan hanya membalik
urutan oposisi biner tersebut, melainkan juga menunjukkan bahwa mereka saling berimplikasi,
saling berhubungan satu sama lain. Dekonstruksi berusaha menampakkan titik-titik kosong teks,
asumsi yang tak dikenal yang melandasi gerakan sistem kerja mereka. Kajian resepsi / kajian
konsumsi, menyatakan bahwa apapun yang dilakukan analisis makna tekstual sebagai kritik
3

masih jauh dari kepastian tentang makna yang teridentifikasi yang akan didapat oleh pembaca /
audien / konsumen, dimana audien merupakan pencipta aktif makna dalam kaitannya dengan
teks.
Menurut Barke, r kajian budaya memberi perhatian khusus terhadap budaya, dimana
budaya sangatlah erat kaitannya dengan makna-makna sosial yang dimunculkan lewat tanda
yang disebut bahasa. Bahasa berperan memberi makna pada objek-objek material dan praktik
sosial yang menjadi tampak bisa dipahami karena adanya bahasa, dan proses produksi makna ini
kemudian disebut dengan praktik-praktik pemaknaan. Sementara dalam representasi, kajian
budaya berhadapan dengan pertanyaan mengenai bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan
secara sosial.
Untuk mengetahui secara teoritis bagaimana hubungan antar komponen dalam sebuah
formasi sosial kajian budaya menggunakan konsep artikulasi. Dimana kekuasaan menjadi alat
yang menentukan tingkat sebuah hubungan sosial. Teks dan pembaca dalam kajian budaya tidak
hanya dimaknai sebatas teks-teks tertulis, walaupun ini juga bagian kajian budaya namun pada
seluruh praktik pemaknaan yang disebut dengan teks-teks kultural seperti citra, bunyi, benda,
aktivitas, dan sebagainya karena hal itu dianggap juga mengandung sistem-sistem yang sama
dengan mekanisme bahasa.
Selain itu identitas juga menjadi konsep kunci dalam kajian budaya, dengan identitas
kajian budaya berusaha mengeksplorasi diri kita kini, bagaimana diproduksi sebagai subjek,
bagaimana subyek tersebut diidentifikasi dengan melakukan penilaian baik bersifat fisik maupun
lainnya seperti melalui gender, ras, usia, mapun warna kulit. Serta masih banyak konsep-konsep
teoritis lainnya seperti permainan bahasa, politik, posisionalitas, formasi sosial dan sebagainya
yang semua itu digunakan dalam kajian budaya untuk menjelajahi dan mengintervensi dunia
sosial. Ide-ide yang bersifat filosofis juga menjadi sorotan Barker dalam kajian budaya, dalam
ranah Marxisme misalnya kajian budaya telah tertarik dan belajar banyak dari isu-isu tentang
struktur, praksis, determinisme, ekonomi, dan ideologinya. Dimana kajian budaya memiliki
kesamaan dengan marxisme dalam hal semangat melakukan perubahan dengan kendaraan
manusia lewat teori dan aksi.
Kajian budaya juga mengambil pelajaran dari kapitalisme pada keberhasilan kapitalisme,
transformasi, dan ekspansinya yang diraih atas kemenangannya dalam pertarungan kesadaran
dalam ranah kebudayaan. Sementara strukturalisme dan kulturalisme dipakai dalam kajian
budaya untuk meneropong pertanyaan-pertanyaan mengenai budaya, ideologi, dan hegemoni.
Pada Pasca strukturalisme kajian budaya menganut idenya mengenai makna yang bersifat labil
selalu berproses, bersifat intertekstualitas, tidak terbatas pada makna atau teks tertentu. Dan
menentang adanya struktur dalam membentuk sebuah makna sebagaimana diyakini kaum
strukturalisme. Selain ide-ide filosofis itu Barker juga memaparkan adanya perubahan dan
perkembangan konteks dalam kajian budaya, terutama perkembangan pandangan manusia,
masyarakat dan dunia sosial dari dunia moderen menuju postmoderen. Secara eksplisit dapat
dikatakan bahwa Barker berusaha memaparkan konsep-konsep kunci dan teori-teori dalam kajian
budaya secara tuntas menuju kajian budaya yang lebih komprehensif. maka membaca buku ini
4

kita akan diperkenalkan pada berbagai pengetahuan, teori, bahkan filsafat sekalipun yang
semuanya berkaitan dengan kajian budaya. Meskipun kajian budaya tidak menerima legitimasi
secara institusional atau bahkan menolak adanya pendisiplinan. Kajian budaya merupakan kajian
yang menarik dan menantang terutama dalam memahami dunia yang senantiasa berubah sesuai
dengan perkembangan akal budi manusia. Buku ini paling tidak bisa menjadi acuan atau
pengantar yang komprehensif, argumentative, dan otentik untuk memahami kajian budaya.
Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian,
pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi;
sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Salah satu ciri
terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari
budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar,
dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah
amatan cultural studies.
Budaya bukanlah yang adiluhung saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya tidak jauh
berbeda dari pemahaman antropologis atas budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life)
sekelompok masyarakat. Salah satu pondasi terpenting bagi pendekatan yang memandang
budaya sebagai kegiatan sehari-hari adalah pemahaman tentang konstruksi sosial atas realita (the
social construction of reality). Dalam perspektif ini realitas dipahami dan diabaikan,
diperbincangkan dan dilupakan, dihidupi atau dimatikan, dikelola atau dirusak, dimanfaatkan
atau dihindari, berdasarkan sistem konstruksi yang beredar di kalangan warga masyarakat.
Tugas cultural studies adalah membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun
konstruk tersebut dan cara kerjanya, agar manusia sebagai subyek dapat melibatkan diri secara
aktif dalam dunia konstruksi.
Dalam era teknologi informasi dewasa ini perhatian cultural studies terhadap masalah
konstruksi sosial atas realita telah mengarahkan perhatian mereka pada media komunikasi massa,
khususnya televisi namun, sebenarnya juga pada film, internet, handphone, radio, koran,
majalah, poster, kotbah/pidato, gosip, dan sebagainya. Persoalan yang diajukan adalah perihal
kaitan antararepresentasi dan media yang digunakan.
Di samping itu, perspektif atau cara pandang cultural studies juga ditandai dengan adanya
kesadaran tentang kehadiran relasi kuasa (power relations) tak berimbang di antara para pelaku
budaya, yang terwujud melalui relasi kuasa ekonomis, politis, ideologis, keagamaan, pendidikan,
magis; di samping jasmaniah. Perhatian cultural studies terutama diberikan pada kelompok atau
individu pelaku budaya yang terpinggirkan (marginalized), yang suaranya tidak didengarkan,
yang kehadirannya diabaikan. Berkaitan dengannya, beberapa konsep terpenting dalam
pendekatan konstruksi sosial atas realita adalah hegemoni dan identitas. Selanjutnya pemihakan
pada yang terpinggirkan membawa cultural studies pada pemikiran, strategi dan praktik
resistensi.
Dalam hal metodologi, cultural studies secara garis besar ditandai dengan gabungan
antara metode dekonstruktif (mengurai unsur-unsur pembentuk struktur) dengan analisis teksutal
(membedah struktur teks/bentuk ekspresi), metode etnografi (penggambaran rinci berdasarkan
5

kacamata pemilik budaya), analisa respesi (komunikasi dipahami sebagai peristiwa interaktif
antara sender dan reseptor yang dijembatani oleh media tertentu dalam konteks tertentu), dan
meletakkan teori pada tingkatan praxis (teori yang dipraktikkan theory of practice).
2. Konsep-konsep dasar kajian budaya dan Media
Istilah budaya tentunya merupakan sebuah istilah yang masih diperdebatkan dengan
berbagai makna dalam bermacam konteks dan wacana. Dalam konteks semiotik, budaya dapat
dipandang sebagai ringkasan atas kegiatan simbolis yang terarah, dilakukan bersama-sama oleh
semua anggota masyarakat, dapat dipelajari dan diajarkan dan disalurkan ke semua anggota
masyarakat, serta dapatdigunakan oleh sebuah kelompok masyarakat pada waktu dan tempat
tertentu, demikian menurut definisi yang diberikan oleh Juri Lotman. Culture is the generator
of structuredness [and] the nonhereditary memory of the community (Budaya adalah
generator ketersusunan [dan] peninggalan dari komunitas yang tidak diberikan secara turun
temurun (Lotman). (Juri Lotman, Universe of the Mind: A Semiotic Theory of Culture , 1990, p.
xiii ).
Makna, nilai, dan arti beredar dalam bahasa urutan kedua (lambang, nilai, gambar, cerita,
mitos) yang menggunakan, baik bahasa biasa (bahasa asli seseorang) maupun sistem tanda
lainnya seperti kesan visual, media massa, dan teknologi informasi. Berbagai macam cara yang
ditujukan untuk menyalurkan semua arti yang tersimpan atau yang terpakai oleh semua anggota
masyarakat terikat dalam konteks yang termediasi. Hal yang termasuk dalam Budaya Popular:
nilai-nilai yang berasal dari periklanan, industri hiburan, media dan ikon mode, fashion dan
menargetkan masyarakat umum. Norma-norma atau nilai-nilai ini berbeda dari norma yang
berasal dari lembaga-lembaga yang bersifat tradisional, politis, berpendidikan atau agamis.
Pada tahun 1980an dan 1990an, beberapa ahli antropologi beralih pada sudut pandang
penafsiran atas budaya yang bahkan bersifat lebih radikal, yang secara umum dikenal sebagai
posmodernisme. Posmodernisme mempertanyakan apakah sebuah pemahaman objektif terhadap
budaya lain juga memungkinkan. Pemahaman ini berkembang sebagai sebuah reaksi atas
modernism, yang merupakan pendekatan ilmiah dan rasional terhadap pemahaman atas dunia
yang ditemukan dalam sebagian besar etnografis.
Ahli antropologi postmodern menyatakan bahwa semua orang membentuk budaya
melalui proses terus menerus yang mewakili proses menulis, membaca dan menafsirkan sebuah
teks. Dari sudut pandang inilah, orang selanjutnya menciptakan dan saling memperdebatkan
makna dari semua aspek budaya, seperti kata-kata, ritual dan konsep-konsep. Masyarakat
Amerika Serikat, misalnya, mengalami perdebatan panjang atas masalah-masalah budaya seperti
apa yang membentuk sebuah keluarga, bagaimana seharusnya peranan wanita dan pria dalam
masyarakat dan fungsi apa yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah federal. Banyak ahli
antropologi sekarang ini mengkaji dan menulis tentang pertanyaan-pertanyaan ini, bahkan dalam
masyarakat mereka sendiri.
Teori Budaya
Istilah ini telah digunakan untuk membedakan usaha-usaha membuat konsep dan
memahami dinamisnya budaya. Secara historis, usaha-usaha ini telah melibatkan perdebatan
6

tentang hubungan antara budaya dan alam, budaya dan masyarakat (termasuk proses sosial
material), keretakan antara budaya tinggi dan budaya rendah, dan hubungan saling
mempengaruhi antara tradisi budaya, pertikaian budaya dan perbedaan. Teori budaya juga telah
ditandai oleh perjanjian dengan konsep yang telah sering digunakan untuk menutupi beberapa
latar belakang yang sama yang ditandai dengan gagasan budaya itu sendiri. Yang menonjol disini
adalah konsep ideology dan kesadaran (khususnya bentuk-bentuk kolektifnya).
Karya-karya Raymond Williams (The Long Revolution, 1961) dan E.P. Thompson (The
Making of the English Working Class, 1963) khususnya sangat berpengaruh dalam
perkembangan teori budaya Inggris pasca perang. Penekanan William pada budaya sebagai
keseluruhan cara hidup dan penekanan Thompson atas budaya sebagai cara yang digunakan
kelompok untuk menangani materi sosial yang mentah dan keberadaan materi telah membuka
cara-cara berpikir baru tentang budaya khususnya dalam melepaskan konsep dari kesusastraan
sempit dan referensi estetik. Baik William maupun Thompson, keduanya mengkaji dimensi
budaya yang dihidupkan dan proses kolektif dan aktif dalam menciptakan jalan hidup yang
penuh makna.
Pembacaan budaya seperti ini (dimana budaya adalah segala sesuatu yang muncul dan
ada dalam kehidupan kita termasuk budaya populer) dikembangkan oleh Thompson dan
Williams kemudian jelas-jelas ditantang oleh penafsiran ahli strukturalis lain. Penafsiran ini
menekankan struktur lambang eksternal budaya, sebagaimana yang diwujudkan dalam bahasa-
bahasa dank ode-kode budaya, daripada bentuk nyata dari lambang tersebut. Dalam rumusan ini,
budaya dapat dibaca sebagai sistem pemberian lambang melalui dunia sosial yang dipetakan.
Versi ahli strukturalis tentang teori budaya juga secara tegas dikatakan dalam versi Louis
Althusser tentang Marxisme. Althusser menawarkan sebuah gubahan atas teori Marxist tentang
ideologi yang memberikan lingkup lebih besar terhadap keampuhan dunia ideologi. Dia
menekankan khususnya pada otonomi yang bersifat nisbi (relative) di bidang budaya atau
ideologi sambil berpegang pada prinsip yang akhirnya menentukan karakter hubungan ekonomi
dan proses.
Perhatian atas pengakuan terhadap keampuhan praktik-praktik budaya dalam karya tulis
Althusser selanjutnya dikembangkan dalam teori budaya dengan penyesuaian atas ide-ide milik
Antonio Gramsci. Karya Gramsci membuka cara-cara baru dalam mengkonseptualisasikan peran
budaya dan praktik budaya dalam pembentukan dan persekutuan kelas dan, khususnya,
menambah bobot peranan budaya dalam melindungi bentuk-bentuk kepemimpinan dan otoritas
moral dan politik (hegemoni). Pengaruh ide-ide Gramsci dianggap penting, khususnya dalam
membantu teori budaya mengatasi kebuntuan yang tercipta karena adanya ketegangan antara
sudut pandang ahli budaya dan strukturalis yang bersaing pada tahun 1970an. Ketika pentingnya
ide Gramsci telah pudar dalam teori budaya, saat itulah ide Michel Foucault berkembang.
Kekuatan sentral dari pengaruh Foucault adalah membentuk suatu pemahaman atas bahasa
budaya yang lebih bersifat diskursif (didasarkan pada pemikiran analitis) dan hubungan satu
sama lain antara kekuasaan dan representasi. Pengaruh Foucault juga nampak dalam perdebatan
7

tentang karakter spesifik budaya menurut sejarah dan perkembangannya baik sebagai objek atau
alat pemerintahan.
Hubungan saling mempengaruhi antara ras, etnis dan budaya juga muncul sebagai sebuah
perhatian utama pada teori budaya kontemporer. Hal ini sering melalui kritik atas bentuk-bentuk
etnisitas yang diambil dalam tradisi teori budaya masyarakat Inggris yang dihubungkan dengan
Williams dan Thompson atau seperti istilah yang diberikan Paul Gilroy yaitu daya tarik tak
wajar terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Inggris. Daya tarik ini juga memberi tantangan
berupa nasionalisme baru dari konsepsi budaya yang menghubungkannya pada wilayah
nasional tertentu. Dalam hal ini, para penulis seperti Gilroy malah menekankan pada pergerakan
transnasional dan pencampuran budaya. Pernyataan Gilroy terhadap Atlantis Hitam
menunjukkan sebuah usaha untuk membayangkan proses budaya di luar batasan yang ditentukan
oleh konsepsi budaya yang dibatasi secara nasional. Dalam pengertian ini, konsepsi ini lebih
lazim dihubungkan dengan paham orientalis karya Edward Said, yang tidak hanya mengkaji
kedinamisan internal tapi juga faktor-faktor eksternal dari budaya. Menurut paham orientalis
Said (1978), konsepsi ke-Barat-baratan dari budaya dan peradaban digambarkan sebagai
konsepsi yang telah dibentuk terhadap sebuah proses penamaan dan mengesampingkan paham
Oriental secara simbolis.
Para penganut paham feminis juga menekankan pengaruh penting teori budaya saat ini.
Hal yang nampaknya besar disini adalah hubungan saling mempengaruhi antara paham feminis
dan psikoanalisis. Hal ini telah menyebabkan banyak diskusi tentang cara-cara dimana identitas
gender dibentuk dalam bahasa budaya dan melalui praktik-praktik budaya. Karya terkini berupa
memori, fantasi dan penampilan gender khususnya hanya bersifat sugestif.
Salah satu aliran teori budaya kontemporer adalah pendapat bahwa kehidupan sosial
terutama dibentuk oleh budaya . Sehingga budaya bukanlah sebuah kumpulan artefak atau arsip
perkembangan namun lebih kepada, seperti yang ditulis oleh Antonio Gramsci, sebuah arena
persetujuan dan perlawanan (Stuart Hall, Dekonstruksi, hal. 239) terhadap bentuk kehidupan
sosial. Teori budaya kontemporer telah memperluas pemahaman terhadap budaya melampaui
paham universalis, dan oleh karena itu, andaikata asumsi para kaum elit dan kesimpulan
hegemoni normative tentang budaya dan malah terfokus pada budaya sebagai artikulasi dan
aktifasi makna (Storey, 1998: xiii) atas dasar bahwa hal ini merupakan wacana yang terutama
memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk mendefinisikan realitas sosial (xii). Makna dalam
sebuah budaya yang melindungi dan menentang susunan sosial yang dominan dianggap
membohongi sebagaimana yang disebut Michel de Certeau sebagai hasil kedua (xiii), lebih
pada bidang konsumsi daripada bidang ekonomi dari proses produksi. Dalam artian, konsumen
lah yang mempengaruhi hasil penggunaan (xiii) makna (pengertian) budaya yang menentukan
realita sosial. Sungguh begitu banyak yang terfokus pada praktek-praktek konsumsi dan
identifikasi menjadi berpusat pada proyek kajian budaya (xi) sehingga hanya beberapa orang
saja yang sekadar berpendapat bahwa kajian budaya dapat digambarkan mungkin secara
lebih akurat sebagai kajian ideologi (James Carey qtd. Dalam Storey xii). Fokus kajian budaya
pada kekuatan penting dari wacana untuk menjelaskan realitas sosial telah mengalihkan
8

perhatian kajian budaya dari hubungan sosial yang lebih luas terhadap produksi yang membentuk
ideology dan konsumsi dan nyatanya juga menentukan kenyataan sosial, menjadi sebuah teori
pasar tentang budaya yang meningkatkan penggunaan secara berlebihan dan penunjukan
ulang komoditas budaya sehingga dalam melaksanakan hal ini perlu mengadakan perubahan
bentuk subjek tenaga kerja (buruh) menjadi subjek konsumsi yang, jauh dari campur tangan ke
dalam modal global, mendukungnya lewat hasrat menahan dan aksi menentang konsumsi.
Dengan kata lain kajian budaya bersandar pada asumsi bahwa konsumsi menentukan
produksi daripada cara lain disekitarnya. Sehingga , gaya hidup masyarakat (yang menjadi cara
lain dalam menunjukkan komoditas yang mereka konsumsi dan bagaimana mereka
mengkonsumsinya) dianggap lebih penting, dalam hal ini, daripada hubungan tenaga kerja yang
harus mereka masuki sebagai kondisi awal yang dibutuhkan pada proses konsumsi. Pendapat
semacam ini menyimpulkan bahwa penanda dan keyakinan yang menempatkan seseorang dalam
budaya sebagai pria dan wanita, orang kulit hitam, bangsa Latin, homo, merupakan faktor
yang lebih penting yang menunjukkan identitas mereka.
Sehingga asumsi bahwa konsumsi lebih penting dibanding produksi yang secara tetap
membentuk teori budaya sejak tahun 1960an telah menjadi pengertian umum baik pada teori
budaya maupun budaya harian itu sendiri. Perubahan teknologi yang pesat pada beberapa
dasawarsa terakhir ini telah mengubah sifat dasar budaya dan pertukaran budaya. Masyarakat di
seluruh dunia dapat melakukan transaksi ekonomi dan saling mengirimkan informasi satu sama
lain hampir sseketika itu juga dengan menggunakan komputer dan satelit komunikasi.
Pemerintah dan perusahaan telah memperoleh kekuasaan besar lewat kekuatan militer dan
pengaruh ekonomi. Perusahaan perusahaan juga telah menciptakan sebuah bentuk budaya
global berdasarkan pasar-pasar yang bersifat komersial di seluruh dunia.
Budaya lokal dan struktur sosial sekarang ini dibentuk dengan minat yang kuat dan luas,
dengan cara-cara yang bahkan para ahli antropologipun belum pernah mampu
membayangkannya. Ahli antropologi sebelumnya berpikir bahwa masyarakat dan budaya
mereka merupakan sistem yang benar-benar berdiri sendiri. Namun sekarang, banyak bangsa
yang menjadi masyarakat multi budaya, yang terdiri atas berbagai subkultur (subbudaya) yang
lebih kecil. Budaya juga melintasi batasan Negara. Misalnya, orang-orang di seluruh dunia saat
ini tahu beebagai kata-kata dalam bahasa Inggris dan berhubungan dengan ekspor budaya Negara
Amerika seperti merk pakaian dan produk tenologi, film maupun music, serta makanan yang
diproduksi besar-besaran.
Industri Budaya
Horkheimer dan Adorno (1976) berpendapat bahwa gagasan budaya saat ini telah
berkembang menjadi industri yang aktif, yang berkembang sesuai dengan tren ekonomi. Mereka
khususnya mengamati bahwa produksi barang secara besar-besaran merupakan sebuah sarana
kepuasan terhadap kebutuhan yang akibatnya memberikan kendali kekuasaan terpusat dan
manipulasi terhadap seseorang. Penggandaan pilihan yang disediakan bagi konsumen
memperkuat suatu keyakinan bahwa tiap-tiap kebutuhan dapat dipenuhi (dipuaskan) dengan
sebuah produk tertentu, dengan menciptakan sebuah kesadaran produsen untuk mengetahui dan
9

memenuhi kebutuhan konsumen melalui produk mereka. Produksi barang dalam jumlah besar
diterjemahkan menjadi produksi ide besar-besaran, yang membuat budaya hanya sebagai sebuah
industri yang menyokong perkembangan ideologi-ideologi orang-orang yang memegang
kekuasaan atasnya. Horkheimer dan Adorno (1976) menggambarkan pemberian label atas
gagasan-gagasan melalui paham konsumeris ini sebagai industri budaya. Proses terjadinya hal ini
ditandai dengan beberapa faktor, yang kesemuanya menyatakan bahwa seseorang tidak memiliki
kuasa, namun hanya sedikit berkuasa, sedang beberapa pemimpin menjadi makin berkuasa.
Industri budaya memiliki ciri utama sebagai sebuah monopoli; kendali atas pilihan
konsumen jatuh di tangan kaum minor, kekuasaan terpusat. Secara ekonomis, kekuasaan ini
dikenal sebagai elit perusahaan. Proses pembuatan makna, gagasan dan kesadaran melalui
ketersediaan produk dan paham konsumeris produk mencerminkan minat pasar terhadap
perusahaan. Dalam hal teknologi sebagai sarana dimana industri budaya berkembang sendiri,
Horkheimer dan Adorno (1976) menyatakan dasar dari pernyataan bahwa teknologi berkuasa
atas masyarakat adalah orang-orang yang berkuasa atas masyarakat, kemampuan ekonominya
paling besar. (Horkheimer, M., & Adorno, T. W, 1976, : 120-167). Penciptaan dan perluasan
industri budaya ditentukan oleh kekuatan secara ekonomi. Selain itu, produk yang tersedia juga
ditentukan oleh sedikitnya pilihan. Holzer (Holzer, B., 2006: 405-415) membantah bahwa
keyakinan konsumen pada diri sendiri berpengaruh terhadap produk yang tersedia di pasar,
namun kenyataan yang nampak hanyalah diabadikan oleh kekuatan secara politis demi
mempertahankan ilusi bahwa seseorang juga berpengaruh. Holzer menyatakan konsumen pada
akhirnya hanya mempunyai hubungan sekunder dengan barang dan jasa yang mereka beli.
Para konsumen bergantung pada orang lain yang menghasilkan komoditas untuk mereka dan
oleh karenanya bergantung pada pilihan yang dibuat oleh produsen (hal. 405). Konsumen secara
relatif tidak memiliki kuasa ketika dibandingkan dengan orang-orang yang benar-benar
menghasilkan produk.
Yang kedua, industri budaya memiliki ciri adanya produksi komoditas, yang berperan
sebagai ungkapan atau perwakilan atas realita bagi konsumen. Seseorang menjadi pakar atau ahli
minuman anggur atau opera juga seni kontemporer bukan karena tiap hal ini memperkaya dan
memperluas cita rasa dan kepandaian mereka, namun lebih pada minat terhadap budaya yang
mengesahkan sebuah gaya hidup tertentu yang dipandang sebagai hal yang sangat diinginkan.
Horkheimer dan Adorno (1976) menjelaskan lebih lanjut tentang poin ini:
Yang disebut dengan menggunakan nilai dalam menangkap komoditas budaya digantikan
oleh pertukaran nilai; pada posisi kenikmatan, terdapat kunjungan galeri dan pengetahuan
sesungguhnya: orang yang mengagungkan gengsi menggantikan pakar. Konsumen menjadi
ideology industri plesir, yang kelembagaannya tidak bisa terelakkan. Budaya dan paham
konsumeris dikawinkan menjadi sebuah proses, dimana komoditas memegang nilai hanya untuk
perluasan bahwa komoditas tersebut mengesahkan status yang diinginkan oleh konsumen.
Budaya popular sama dengan sebuah pabrik yang menghasilkan barang-barang budaya
berstandard untuk memanipulasi rakyat menuju kepasifan; kenikmatan yang mudah dan tersedia
lewat konsumsi budaya popular membuat rakyat menjadi patuh dan puas, tak peduli bagaimana
10

sulitnya keadaan ekonomi mereka. Horkheimer dan Adorno melihat budaya yang diproduksi
secara besar-besaran ini sebagai berbahaya bagi seni budaya yang sedikit lebih tinggi dan sulit.
Industri budaya dapat meyebabkan adanya kebutuhan yang salah, yaitu kebutuhan yang dibuat
dan dipuaskan oleh paham kapitalis. Kebutuhan yang sebenarnya, sebaliknya, adalah kebutuhan
akan kebebasan, kreativitas atau kebahagiaan sejati.
Masyarakat disuguhi dengan ilusi sehingga budaya dan pilihan konsumen dikawinkan
menjadi kesatuan tak terpisahkan dan akibatnya paham konsumeris melambangkan peluang
untuk melatih paham individualis yang sesungguhnya. Kenyataan ini diamati di hampir semua
situasi dimana sebuah produk berada. Google memberi contoh bagaimana pilihan seseorang
dapat menciptakan aura individualitas sambil tetap menyokong kekuasaan terpusat sebuah
perusahaan. Dan ketika iklan berusaha mengesahkan identitas budaya, iklan ini pun hampir tidak
mungkin mampu dicurigai sebagai usaha mempromosikan agenda penganut paham fasis.
Pada model Kajian Budaya, budaya merupakan sebuah bidang perselisihan dan
persaingan kekuatan yang berasal dari ketidaksimetrisan bentuk kekuasaan, modal dan nilai.
Kajian Budaya sebagai ilmu akademis telah dituduh sebagai proses mendematerialisasikan atau
mengelompokkan isi media untuk membuat pesan politis dan ideologis menjadi objektif demi
kepentingan analisis. Pendekatan ini seringkali selanjutnya dijadikan ciri sebagai sebuah akibat
model analisis yang berfokus pada mekanisme para penganut paham kapitalis dan badan hukum
terhadap penguasaan dan biasanya mengabaikan perantara dan aktivitas individu, kelompok dan
cabang budaya yang berperan sebagai penerima dan pengguna media.
Pendekatan Marxisme Budaya-nya Stuart Hall membangun model yang lebih
kompleks berdasarkan perluasan teori hegemoni, ekonomi sosial memproses persetujuan
perusahaan diantara kelas-kelas yang lebih rendah (masyarakat mampu-tidak mampu atau
mampu-kurang mampu ) untuk menerima pandangan yang dikembangkan oleh kelas-kelas
berpemilikan (masyarakat mampu).
Menurut pandangan kajian budaya, media massa dan komunikasi khususnya membuat
sandi (secara implicit pada awalnya dianggap sebagai konteks untuk makna) atas sebuah ideologi
dominan yang dapat diterima masyarakat. Media akibatnya secara ideologis diberi kode sehingga
memaksimalkan persetujuan kehendak konsumen dan kaun yang mampu-tidak mampu untuk
bertahan pada program ini dan mengabadikan status quo dari distribusi kemakmuran dan
kekuasaan.
Hegemoni ideologi yang melindungi kelas yang memimpin dan berkepemilikan bukanlah
masalah dari kekuatan, kekerasan atau manipulasi yang sengaja nampak. Hal ini berfungsi
sangat baik karena hegemoni ini berdasarkan pada persetujuan kehendak dari orang-orang yang
kurang memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk menerima sebuah ideology yang dominan, demi
melihat dunia dan berperilaku berdasarkan pandangan di atas. Contoh-contoh ideologi umum
yang beredar di media dan melindungi kekuatan hegemonis:
Kebebasan berbicara (sebagai sebuah keyakinan, saat beberapa orang memiliki
kekuasaan atas apa yang mereka suarakan)
11

Individualitas (bagus untuk pemasaran, karena paham konsumeris membutuhkan


presentasi berkelanjutan atas pilihan maupun identitas serta kebutuhan personal yang
unik untuk melihat dan membeli seperti halnya orang lain dalam sebuah kelompok
identitas)
Kebebasan memilih (bagian dari keyakinan perseorangan, juga gagasan utama dalam
pemasaran dan budaya konsumen: ideologi tempat belanja).
Menurut pandangan hegemoni dan budaya, perilaku sosial sangat ditentukan oleh faktor-
faktor identitas gandaseperti ras, kelas sosial, jenis kelamin dan kebangsaan, yang dilambangkan
dalam hirarkis kekuasaan, kepentingan dan nilai ekonomis. Namun Hall dan pengamat lain
seperti Dick Hebidge menunjukkan bahwa orang-orang memiliki banyak strategi berhubungan
dengan keinginan media: bekerja dalam kode dominan, menggunakan sebuah kode yang dapat
dirundingkan (meski menerima namun mengubah makna berdasarkan posisi penonton maupun
komunitas penonton tersebut), atau mengganti kode yang berlawanan (dengan menggunakan
kesadaran kritis, memusnahkan hal-hal yang membingungkan, ironis, subversi, drama, parody,
seperti sampling DJ). Dalam hal ini, banyak cabang budaya dibentuk di sekitar kelompok yang
menggunakan media, gambar dan musik yang menciptakan identitas dan perbedaan dari
pendapat umum atau budaya yang dominan.
Wilayah yang mungkin bagi Kajian Budaya/Budaya Populer/Budaya Kota:
1. Subkultur (subculture)
2. Gaya (style)
3. Budaya mode (fashion)
4. Budaya Berbelanja (shopping culture)
5. Budaya Selebritis dan Penggemar (celebrity and fandom)
6. Budaya Cyber (dunia maya) dan Paham Cyborgis (cyber culture and cyborgism)
7. Budaya dan Teknologi
8. Budaya Remaja
Semakin susah sesuatu diproduksi ulang, maka sesuatu itu akan semakin dipuja dan
dipertahankan. Sebagaimana budaya yang digunakan oleh paham kapitalis untuk mengendalikan
kesadaran individu, oleh sebab itu budaya tersebut benar-benar diindustrialisasikan dan
dijadikan komoditas. Seni dulu juga pernah dijadikan sebagai komoditas, menurut paham
kapitalis seni secara keseluruhan dijadikan komoditas, dan seringkali sukses dengan
mengumpulkan dan memanipulasi hasrat.
12

PERTEMUAN KE-2
WILAYAH KAJIAN BUDAYA DA MEDIA

Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas wilayah atau objek kajian budaya dan media
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan objek atau wilayah kajian budaya dan media.

1. Area dan topik kajian budaya dan media


Fokus studi kajian budaya (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang
dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di Inggris yang diwarisi oleh
Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai konsep budaya atau "culture" (dalam
bahasa Inggris) merpakan hal yang paling rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut
disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki nilai guna.
Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu
konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna sehari-
hari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup
sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka
(Barker, 2005: 50-55). Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat budaya'
sebagai keseluruhan cara hidup.
Sebab ia menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama,
institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-formasi
pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk
produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan,
termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima,
reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya.
Jika dibandingkan dengan pendapat John Storey, konsep budaya lebih diartikan sebagai
secara politis ketimbang estetis. Dan Storey beranggapan budaya' yang dipakai dalam CS ini
bukanlah konsep budaya seperti yang didefinisikan dalam kajian lain sebagai objek
keadiluhungan estetis (seni tinggi') atau sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan
spritual, melainkan budaya sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari (Storey, 2007: 2). Dalam
hal ini nampaknya Storey setuju dengan definisi budaya' menurut Raymonds Williams, lain
halnya dengan Stuart Hall yang lebih menekankan budaya' pada ranah politik.
To say that two people belong to the same culture is to say that they interpret the world in
roughly the same ways and can express themselves, their thoughts and feelings about the world,
in ways which will be understood by each other. Thus culture depends on its participants
interpreting meaningfully what is happening around them, and `making sense' of the world, in
broadly similar ways.(Hall, 1997: 2).
Menurut Bennet istilah culture digunakan sebagai payung yang merujuk pada semua
aktivitas dan praktek-praktek yang menghasilkan pemahaman (sense) atau makna (meaning).
Baginya budaya berarti :
13

"Kebiasaan dan ritual yang mengatur dan menetukan hubungan sosial kita berdasarkan
kehidupan sehari-hari sebagaimana halnya dengan teks-teks tersebut-sastra, musik, televisi, dan
film-dan melalui kebiasaan serta ritual tersebut dunia sosial dan natural ditampilkan kembali atau
ditandai-dimaknai-dengan cara tertentu yang sesuai dengan konvensi tertentu." (Bennet 1980:
82-30)
Kajian budaya sebagai suatu disiplin ilmu (akademik) yang mulai berkembang di wilayah
Barat (1960-an), seperti Inggris, Amerika, Eropa (kontinental), dan Australia mendasarkan suatu
pengetahuan yang disesuaikan dengan konteks keadaan dan kondisi etnografi serta kebudayaan
mereka. Pada tahap kelanjutannya di era awal abad 21 kajian budaya dipakai di wilayah Timur
untuk meneliti dan menelaah konteks sosial di tempat-tempat yang jarang disentuh para praktisi
kajian budaya Barat, antara lain Afrika, Asia, atau Amerika Latin. Secara institusional, kajian
budaya menelurkan berbagai karya berupa buku-buku, jurnal, diktat, matakuliah bahkan jurusan
di universitas-universitas.
Menurut Barker, inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai
praktik-praktik pemaknaan dari representasi (Barker, 2000: 10). Teori budaya marxis yang
menggali kebudayaan sebagai wilayah ideologi yang lebih banyak dijelaskan pada aliran wacana
(discourse) dan praktik budaya seperti layaknya media berupa teks-teks (sosial, ekonomi,
politik).
Chris Barker (2000) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang
tunggal. Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam pemikiran
strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner, terutama di
Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis
disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-
potongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis.
Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin "kajian budaya"
melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab Frankfurt. Sebuah kritik yang dimaknai
dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian. Sehubungan dengan karakter
akademis, pandangan lain dari Ben Agger (2003) membedakan kajian budaya sebagai gerakan
teoritis, dan kajian budaya sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal
dari poyek teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi (Agger, 2003).
Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya
mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah
praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak suara) dan
menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa.
Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi.
Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin,
maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality. Senada
dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko (2003), kajian budaya mengambil bentuk kajian
yang dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang
hidup), discourse (wacana), text (teks) dansocial context (konteks sosial).
14

Metodologi dalam kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan
konteks sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi antara yang hidup',
yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik, tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan
politik dalam dunia jaman sekarang (modern/kapitalis).
Bagi Saukko, hal yang paling fundamental dalam "kajian budaya", pertama, ketertarikan
dalam budaya yang secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high culture to low
culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang menjadi bagian integral dari
pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus dipenuhi dalam memandang
konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan.
Sedangkan yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian budaya dan
dianggap good/valid research adalah truthfulness, self-reflexivity, polivocality. Dan, menerapkan
sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan oleh peneliti pascastrukturalis,
yaitu postmodern excess (Baudrillard), genealogical historicity (Foucalt), dan deconstructive
critique (Derrida). Pada kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya
itu, Truthfullness digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan
penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism, material
semiotic dan dialogue.
Self-reflexivity ditempatkan pada jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang
dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang
dialog dan wacana saling bertemu, mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola
kekuasaan serta konteks sosial dan sejarahnya.
Polivocality menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan
cakupan teori-teori yang saling mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain, meski
ini membutuhkan ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar
memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya.
2. Metodolodi dan pendekatan dalam penelitian kajian budaya
Kajian budaya dan media terpusat tiga pendekatan, yaitu etnografi, pendekatan tekstual
dan studi resepsi.
- Etnografi
- Pendekatan Tekstual
- Studi resepsi
1. Etnografi
Etnografi atau ethnography, dalam bahasa Latin: etnos berarti bangsa, dan grafein yang
berarti melukis atau menggambar; sehingga etnografi berarti melukiskan atau menggambarkan
kehidupan suatu masyarakat atau bangsa.
Etnografi merupakan:
- Pekerjaan antropolog dalam mendiskripsikan dan menganalisis kebudayaan, yang tujuan
utamanya adalah memahami padangan (pengetahuan) dan hubungannya dengan
kehidupan sehari-hari (kelakuan) guna mendapatkan pandangan dunia masyarakat yang
diteliti (Spradley 1997:3).
15

- Komponen penelitian yang fundamental dalam disiplin akademis antropologi (budaya),


sehingga etnografi merupakan ciri khas dalam antropologi (Durrenberger 1996:421).
Antropolog aliran kognitif berpendirian bahwa setiap masyarakat mempunyai sistem
yang unik dalam mempersepsi dan mengorganisasi fenomena material, seperti benda-
benda, kejadian-kejadian, kelakuan, dan emosi. Oleh karena itu kajian antropologi
bukanlah fenomena material tersebut, melainkan cara fenomena material tersebut
diorganisasikan dalam pikiran (kognisi) manusia. Dengan demikian kebudayaan itu ada
dalam pikiran manusia, yang bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena
material tersebut. Tugas etnografer (peneliti etnografi) adalah menemukan dan
menggambarkan organisasi pikiran tersebut (Marzali 1997:xv).
2. Pendekatan tekstual
- Semiologi
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda
dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Semiotika mempelajari relasi diantara komponen-
komponen tanda, serta relasi antar komponen-komponen tersebut dengan masyarakat
penggunanya. Semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda (sign),
bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudian berkembang menjadi kajian kebudayaan,
adalah akar dari perkembangan gerakan intelektual dan filsafat strukturalisme dan
poststrukturalisme tersebut, yang merupakan bagian dari gemuruh wacana kritis tahun 1950-
1960-an yang mempertanyakan kembali kebenaran-kebenaran universal dan tunggal yang
dibangun oleh rasionalisme, logosentrisme, positivisme, dan modernisme. Meskipun demikian,
Strukturalisme sendiri sesungguhnya masih menggunakan pendekatan ilmiah yang
positivistik, yang kemudian dikritik dan dikoreksi oleh Poststrukturalisme.
- analisis naratif
Menurut Webster dan Metrova, narasi (narrative) adalah suatu metode penelitian
di dalam ilmu-ilmu sosial. Inti dari metode ini adalah kemampuannya untuk memahami identitas
dan pandangan dunia seseorang dengan mengacu pada cerita-cerita (narasi) yang ia dengarkan
ataupun tuturkan di dalam aktivitasnya sehari-hari.
Penelitian naratif adalah studi tentang cerita. Dalam beberapa hal cerita dapat muncul
sebagai catatan sejarah, sebagai novel fiksi, seperti dongeng, sebagai autobi-ographies, dan genre
lainnya. Cerita ditulis melelu proses mendengarkan dari orang lain atau bertemu secara langsung
dengan pelaku melelui wawancara. Studi tentang cerita dilakukan dalam berbagai disiplin
keilmuan, termasuk sastra kritik, sejarah, filsafat, teori organisasi, dan sosial ilmu pengetahuan.
16

Pertemuan ke-3 dan 4


Semiotika, Analisis Tekstual Budaya dan Media

Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas teori semiotika, salah satu teori analisis
tekstual yang digunakan dalam mengkaji tanda dan makna dalam
bidang pengkajian budya dan media.
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan teori semiotika sebagai salah satu
pendekatan analisis tekstual dalam penelitian kajian budaya dan
media.

Semiologi (semiotika)1 adalah studi yang mengkaji tanda dalam kedidupan sosial:
bagaimana tanda berkerja, diproduksi dan digunakan dalam masyarakat. Adalah Ferdinand de
Saussure yang pertama kali menyatakan akan adanya suatu ilmu, yaitu semiologi sebagai ilmu
tentang kehidupan tanda dalam kehidupan sosial, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, Cours
de Linguistique Gnrale2:
On peut donc concevoir une science qui etudie la vie des signes de la vie sociale; elle formerait
une partie de la psychologie, et par consequent de la psychologie gnrale; nous la nommerons
semiologie. (du grec semeionn, signe. Elle nous apprendrait en quoi consistent les signes,
quelles lois les resignent. (Jadi, kita dapat menerima adanya ilmu yang mengkaji kehidupan
tanda-tanda yang ada dalam kehidupan sosial. Ilmu yang akan menjadi bagian dari psikologi
sosial, dan dengan sendirinya dari psikologi umum. Kita akan menyebutnya semiologi. (Dari
bahasa Yunani semionn, tanda). Semiologi mengajarkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-
tanda tersebut, aturan-aturan apa saja yang mengatur tanda-tanda tersebut, Saussure, 1967: 33.)
Semiologi adalah teori dan analisis yang menfokuskan pada tanda-tanda (signs) dalam
kehidupan sosial. Saussure mengajukan konsep tanda dikotomi, yang disebut signifiant
(penanda) dan signifi (petanda), yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satu
contoh yang diberikan Saussure adalah bunyi /arbrr/ yang terdiri atas enam huruf arbror Kata
arbor merupakan penanda dalam sebuah konsep yang berhubungan pada sebuah objek yang
kenyataannya merupakan pohon yang memiliki batang, dan daun. Penanda tersebut (citra bunyi
atau kata) itu sendiri bukanlah sebuah tanda, kecuali seseorang mengetahuinya sebagai hal
demikian dan berhubungan dengan konsep yang ditandainya. De Saussure menggunakan istilah
signifiant untuk segi bentuk tanda, dan signifi untuk segi maknanya.

1
Semiologi adalah istilah yang lebih banyak digunakan di Eropa, dan diperkenalkan oleh Ferdinand de Sausre,
sedangkan semiotika pada umumnya dipakai oleh ilmuwan Amerika dan dipelopori oleh Charle Sander Peirce.
2
Cours de Linguistique Gnrale merupakan buku yang berasal dari catatan kuliah beberapa mahasiswa yang
diajarkan oleh de Saussure. Tiga seri bahan kuliah tentang linguistik umum dikumpulkan oleh mahasiswanya,
(Charles Bally dan Robert Schehaye) dan diterbitkan pertama kali tahun 1916 oleh penerbit Payot Paris. Ferdinand
de Saussure meninggal pada tahun 1913.
17

a. Relasi Penanda (Signifiant) dan petanda (Signifiant)


Tanda merupakan suatu dasar bahasa yang tersusun dari dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, citra bunyi sebagai unsur penanda dan konsep sebagai petanda. Penanda
merupakan aspek material tanda bersifat sensoris dan dapat diindrai, di dalam bahasa lisan
penanda ini diwudjudkan dalam citra bunyi yang berkaitan dengan sebuah konsep atau
petanda. Substansinya bersifat material dan bisa berupa bunyi atau objek. Sedangkan petanda
merupakan aspek mental dari tanda, yang biasa disebut sebagai konsep.
Signifi ini merupakan representasi mental dari tanda dan bukan sesuatu yang diacu
oleh tanda. Jadi petanda bukan benda tetapi representasi mental dari benda. Saussure
menyebut hakikat mental petanda dengan istilah konsep. Penanda dan petanda dapat dibedakan
tetapi dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan, keduanya saling menyatu dan saling
tergantung dan kombinasi keduanya kemudian menghasilkan tanda.
Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek
material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Pengaturan makna
dari sebuah tanda memerlukan konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Dalam hal ini
makna suatu tanda mucul dikarenakan adanya kesepakatan diantara komunitas pengguna
bahasa.
Sedangkan signifi dalah gambaran mental yakni pikiran atau konsep (aspek mental
dari bahas, (Saussure, 1967: 98). Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau
selembar kertas.
Hubungan antara penanda dan petanda terbentuk berdasarkan konvensi dan bukannya
secara alamiah, penanda ini pada dasarnya membuka berbagai peluang petanda.
Lebih jauh Saussure mendefinisikan tanda signified (petanda) sebagai konsep dan
signifier (penanda) sebagai citra bunyi. Terdapat hubungan diadik antara penanda dan petanda
dan memberikan penjelasan bahwa kedua unsur itu bertalian erat, penanda dan petanda dan
reaksi mental terhadap penanda dan petanda menghubungkan satu dengan yang lain melalui
aktivitas mental yang dibentuk oleh budaya dan kesepakatan. Dengan kata lain, tanda yang kita
pakai ditentukan oleh kesepakatan yang mempunyai nilai kultural. Saussure menekankan
bahwa tidak ada hubungan yang logis antara penanda dan petanda. Jadi hubungan yang ada
adalah hubungan yang arbitrer yang dibentuk dari kesepakatan sosial. Kata arbor itu
dapat mewakili suatu citra bunyi di suatu bahasa yang berbeda, kita hanya dapat
menyetujui bahwa ada kearbitreran dan sifat pada tanda ini. Kearbitreran ini dapat
diilustrasikan dengan kenyataan bahwa misalnya, kata arbor dapat mengacu pada sebuah
konsep pohon yang memliki batang dan daun (petanda) atau mungkin sesuatu yang lain jika
hal i ni di se pa ka ti se c a ra sosi a l . Sa ussure memberikan tekanan pada citra akustik
(penanda) dan konsep (petanda) merupakan entitas yang terpisah dan yang satu
menyebabkan timbulnya yang lain sebab kesepakatan sosial bertindak seba gai pere kat
yang melekatkan mereka.
18

Sumber: Cours de Linguistique Gnrale. (Sassure, 1967: 68)

Model tanda penanda-petanda menekankan pentingnya konvensi sosial, yang


mengatur relasi antara wujud konkrit sebuah tanda (sinifier) dengan konsep abstrak atau
maknanya (signified). Sebuah penanda mempunyai makna tertentu disebabkan adanya
kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa tentang makna tersebut (Hasyim,
2014: 31).
b. Konsep Mitos dan Mitologi
Kata mitos berasal dari bahasa Yunani, mythos, yang berarti kata, ujaran, kisan
tentang dewa-dewa. Sebuah mitos adalah adalah narasi yang tokoh-tokohnya adalah para dewa,
para pahlawan, dan makhlus mitis, plotnya berputar di sekitar asal-muasala benda-benda atau di
sekitar makna-benda-benda, dan latarnya adalah dunia metafisika yang dilawankan dengan dunia
nyata. Mitos menciptakan suatu sistem pengetahuan metafis untuk menjelaskan asal usul,
tindakan dan karakter manusia selain fenomena dunia (Danesi, 2008: 46).
Untuk membedakan antara mitos versi tradsional seperti yang dikemukakan di atas dan
versi modern (mitos modern), Barthes menyebut mitos versi modern dengan mitologi (Barthes,
1957). Mitologi berasal dari gabungan mythos yang berarti true mythical thinking, dan logos,
rational-scientific thinking (Danesi, 2004:150).
Mitologi adalah istilah yang digunakan Barthes, untuk membedakan konsep yang
disajikan olehnya dari mitos versi tradisional. Mitologi merupakan mitos modern, di mana
dimasukkan aspek logos (pemikiran yang rasional atau ilmiah). Jadi, mitos versi lama adalah
segala cerita yang tidak masuk akal tetapi diyakini kebenarannya oleh suatu masyarakat.
Sementara mitos modern adalah segala hal atau cerita yang dirasionalkan sehingga mitos tersebut
dianggap suatu hal yang wajar atau benar.
Barthes (1952-1980) mengembangkan pemikiran semiologi Saussure. Dalam teorinya,
Barthes menggunakan istilah expression (E) untuk penanda dan contenu (C) untuk petanda dan
relation (R) yang menghubungkan antara E dan C, sehingga melahirkan makna.

E-R-C

R berfungsi sebagai pembentuk dan pembeda makna (Barthes, 1977: 89-90).


Barthes membagi atas dua tataran atau sistem pemaknaan, tataran pertama adalah
pemaknaan secara umum yang diterima dalam konvensi dasar sebuah masyarakat.
19

ERC
E R C

Tataran kedua merupakan penciptaan maknaan tertentu (makna tambahan) yang disebut
objek dari sistem sekunder.
ERC
E R C

Mitos merupakan sistem penandaan pada tataran kedua yang menciptakan objek baru
(makna baru) yang berbeda dari sistem pertama. Barthes mengatakan bahwa petanda (konsep)
pada sistem pertama merupakan unsur yang membentuk mitos, le concept est element
constituant du mythe (Barthes, 1957: 193).
Konsep mitos Barthes dimuat dalam bukunya Mythologies (1957), yang merupakan
buku seri yang memuat artikel-artikel yang sebagian besar dipublikasikan dalam majalah Les
Heures Nouvelles antara tahun 1954 dan 1956. Buku Barthes diawali dengan mitologi di
Perancis (bagian I). Berdasarkan mitologi tersebut Barthes menyusun teori semiotik, yang
dibahas dalam bagian II (Le Mythe Aujourdhoui). Isi buku Barthes pada dasarnya membahas
tentang kritik ideologi tentang bahasa dalam budaya massa. Inti pembahasan dalam buku
Barthes ini lebih menekankan pada relasi antara bentuk (penanda) dan konsep (petanda).
Mitos yang dilukiskan Barthes dalam buku tersebut berkisar tentang pandangan atau
opini umum dalam kehidupan Prancis pada masa itu. Dalam salah satu artikelnya, Le Monde o
lon catche (Dunia Gulat, 1957: 13), Barthes membahas tentang gulat, yang dikatakannya
bahwa gulat itu adalah sebuah pertunjukan, padahal secara umum dan awam, gulat merupakan
salah satu cabang olah raga. Alasannya, gulat bukan hanya sebagai olah raga yang
mengandalkan kekuatan fisik tetapi lebih dari suatu analisis kritik ideologi peperangan yang
mempermasalahkan antara baik dan jahat. Dalam gulat terdapat dua tingkatan pesan yakni
pertama adalah pesan olah raga, dan kedua adalah pesan moral tentang baik dan jahat.
Kedua jenis pesan tersebut merupakan bagian dari kepuasan penonton, yakni kepuasan terhadap
konflik tentang baik dan buruk yang dikemas dalam pertunjukan gulat, sehingga pesan yang
sebenarnya dalam pertunjukan gulat bukanlah persoalan estetika tetapi sudah ke taraf
ideologis.
c. Mitos sebagai Sistem Semiologi (Le Mythe comme systme smiologique)
Barthes memaknai mitos sebagai tuturan, le mythe est une parole (1957: 181). Karena
mitos disebut suatu tuturan, mitos merupakan sistem komunikasi, suatu cara menyampaikan
pesan, le mythe est un system communication, cest un message (mitos adalah sistem
komunikasi, suatu pesan., ibid). Lebih lanjut dijelaskan bahwa mitos bukan konsep atau ide
tetapi merupakan suatu cara memaknai sesuatu atau menuturkan suatu pesan.
20

Sebagai sistem semiologis mitos dibentuk melalui proses signifikasi penanda, petanda
dan tanda. Proses signifikasi tersebut terjadi pada dua tataran. Tataran pertama disebut sistem
linguistik (bahasa). Tataran kedua disebut mitos.
Sebagai sIstem semiologi tingkat kedua, mitos mengambil sistem semiologi tingkat
pertama sebagai landasaannya dalam menciptakan makna baru.
Mais, le mythe est un systme particulier en ceci quil sdifie partir dune chaine
smiologique qui existe avant lui. . Ce qui est signe - cest dire total associatif dun concept
et dune image dans le premier systme, devient simple signifiant dans le second. (Mitos
merupakan sistem khusus yang dibangun dari mata rantai sistem semiologi yang suda ada
sebelumnya (tataran pertama). Tanda (mitos) sebagai gabungan total antara konsep dan bentuk
pada tataran pertama, menjadi penanda pada tataran kedua, Barthes, 1957: 187).
Jadi, mitos merupakan sistem ganda yang terdiri atas sistem lingustik dan dan sistem
semiologi (mitis).
1. Singifiant 2. Signifi
(Penanda)
3. Signe (Tanda)
Langue (Petanda)
Mythe
I. SIGNIFIANT III. SIGNE II. SIGNIFIE

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes (sumber: Mythologies (Barthes, 1957: 187).

Dalam menerapkan sistem mitos, Barthes memberikan contoh (Mythologies, 1957: 189)
foto seorang prajurit berkulit hitam di antara prajurit berkulit putih, yang sedang member hormat
pada bendera Prancis yang ada pada sampul depan majalah Paris-Match (No 236, 25 Juni-2 Juli
1955). Pada tataran pertama, penandanya adalah foto seorang prajurit muda yang berpakaian
seragam Prancis, yang sedang memberi hormat pada bendera Prancis. Petanda atau konsep
yang dimunculkan dari penanda tersebut adalah prajurit berkulit hitam memberi hormat pada
bendera Prancis. Petanda pada tataran pertama menjadi penanda pada tataran kedua sebagai
sistem mitos, yaitu prajurit berkulit hitam member hormat pada bendera Prancis dan
petandanya adalah konsep keperancisan dan kemiliteran, kekaisaran besar Prancis tanpa ada
diskriminasi memberi hormat pada bendera Prancis.

1. Signifiant 2. Signifi
foto seorang prajuirt prajurit berkulit hitam
remaja yang memberi hormat
Langue berpakaian seragam pada bendera
Prancis, yang Prancis
sedang memberi
3. Signe II. Signifi
hormat pada
I. Signifiant kekaisaran besar
Mythe
prajurit berkulit hitam memberi hormat Prancis tanpa ada
pada bendera Prancis
III. Signe diskriminasi member
Prancis adalah kekaisaran besar di mana warganya
hormattanpa
padaada
bendera
diskriminasi setiap pada Negara
21

d. Fungsi Mitos
Dalam Mythologies (1957: 195) Barthes menjelaskan bahwa fungsi mitos adalah
mendistorsi, mendeformasi dan menaturalisasi makna dari tataran pertama. Makna (tanda
sebagai relasi penanda dan petanda) pada tataran pertama mengalami distorsi untuk menciptakan
makna baru pada tataran kedua. Maka, tanda pada tataran kedua memaknai sesuatu yang lain
yang tidak lagi merujuk pada realitas sesungguhnya, sebagai sistem referen. Fungsi distorsi ini
adalah untuk mengubah bentuk dengan suatu konsep dan konsep yang dikontruksi dalam mitos
pada tataran kedua dilatarbelangi oleh ideologi (kepentingan) pengguna tanda atau pembuat
mitos. Fungsi utama mitos adalah penaturalisasian (naturalization) konsep (sistem gagasan) ke
dalam suatu masyarakat pengguna tanda (misalnya media massa) sebagai suatu yang alamiah
atau wajar.
La naturalization du concept, que je viens de donner pour la fonction essentielle du
mythe, est ici exemplaire: dans une systeme premier (exlusivement linguistique), la causalit
serait, la lettre, naturelle: fruit et lgumes baissent parce que cest la saison. Dans le
systme second (mythique), la cusalit est artificielle, fausse.

Naturalisasi konsep sebagai fungsi utama mitos dapat diberikan contoh yaitu: pada
tataran pertama (linguistik), penyebabnya secara literal bersifat alamiah, yaitu jatuhnya
harga buah-buahan dan sayuran karena musim. Dalam tataran kedua (mitos), penyebabnya
bersifat artifisial (semacam justifikasi) dan palsu (Barthes, 1957: 204).

Dengan demikian, mitos pada dasarnya adalah opini-opini atau konsep yang dikonstruksi
oleh pemakai tanda (misalnya media) yang diyakini sebagai suatu hal alamiah atau wajar
sehingga sesuatu yang dianggap wajar tersebut menjadi kekuatan dominan.

Dengan demikian, konsep adalah lment constituent du mythe (unsur yang membentuk
mitos, Barthes, 1957: 193), misalnya konsep kebaikan, keseluruhan, berperikemanusiaan, dan
lain-lain.
e. Analisis Mitos sebagai Kritik Ideologi Budaya Massa
Dalam berbagai tulisannya, Barthes lebih berfokus pada analisis secara semiologis
(mitos) tentang cara keberadaan ideologi dalam suatu masyarakat dan media, serta cara ideologi
dihasilkan dan dikonsumsi. Hal tersebut telah ditegaskan Barthes dalam kata pengantar buku
Mythologies (1957), yang menyatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis yang
digunakan untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa dan menganalisis secara semiotis
cara kerja bahasa budaya media. Jadi, Barthes menganalisis ideologi dominan secara semiotis
baik dalam kehidupan sehari orang prancis maupun dalam berbagai media.
Dengan memilih media massa sebagai objek kajian, Barthes memeriksa bentuk-bentuk
mitos yang ditemukan dalam media massa dan muatan ideologi di dalamnya. Ini berarti bahwa
kajian Barthes merupakan sebuah kritik atas ideologi budaya media dengan menggunakan
22

semiologi sebagai pendekatannya. Barthes melakukan menganalisis atas berbagai produk media,
seperti iklan dengan menfokuskan sistem tanda (mitos) di dalamnya dan ideologi yang
dibawahnya. Dengan pendekatan semiologi, Barthes memeriksa berbagai bentuk bahasa (mitos)
yang dipakai untuk menghadirkan ideologi dalam media. (Sunardi, 1985: 2004).
23

Pertemuan ke-5
Analisis Tekstual: Teori Narasi

Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas teori narasi, salah satu teori analisis tekstual
yang digunakan dalam mengkaji tanda dan makna dalam bidang
pengkajian budya dan media.
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan teori narasi sebagai salah satu pendekatan
analisis tekstual dalam penelitian kajian budaya dan media.

Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia yang terutama berkaitan dengan
persepsi dan deskripsi struktur (Hawkes dalam Jabrohim, 1996:9). Tentang strukturalisme dalam
penelitian sastra, Pradopo (melalui Jabrohim, 2003:71) mengemukakan bahwa satu konsep dasar
yang menjadi ciri khas teori strukturalisme adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya
sendiri. Karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai
kesatuan yang bulat dengan unsur- unsur pembangunnya yang saling berjalinan. Oleh karena itu,
lanjut pradopo, untuk memahami. Maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya
sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula efeknya
pada pembaca.
Strukturalisme model A.J. Greimas dianggap memiliki kelebihan dalam menyajikan
secara terperinci kehidupan tokoh-tokoh dalam cerita dari awal sampai akhir. Selain itu,
strukturalisme model ini mampu menunjukkan secara jelas dan dikotomis antara tokoh
protagonis dan antagonis. Naratologi disebut juga teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi
maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan
penceritaan (Ratna, 2004:128).
Dalam strukturalisme naratologi yang dikembangkan oleh A.J. Greimas, pada
pengkajiannya, yang lebih diperhatikan adalah aksi dibandingkan pelaku. Subjek yang terdapat
dalam wacana merupakan manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang disebut actans dan
acteurs. Menurut Rimon-Kenan, baik actans maupun acteurs dapat berupa suatu tindakan, tetapi
tidak selalu harus merupakan manusia, melainkan juga nonmanusia. (dalam Ratna, 2004:138).
Kemudian menurut Jabrohim (1996:21), teori struktural naratif dipergunakan untuk menganalisis
karya prosa fiksi berdasarkan pada struktur cerita, dan analisis struktur aktan dan fungsional
merupakan konsep dasar langkah kerja yang dikemukakan Greimas.
Algirdas Julien Greimas adalah seorang ahli sastra yang berasal dari Perancis. Sebagai
seorang penganut teori struktural, ia telah berhasil mengembangkan teori strukturalisme menjadi
strukturalisme naratif dan memperkenalkan konsep satuan naratif terkecil dalam karya sastra
yang disebut aktan. Teori ini dikembangkan atas dasar analogi- analogi struktural dalam
Linguistik yang berasal dari Ferdinand de Saussure, dan Greimas menerapkan teorinya dalam
dongeng atau cerita rakyat Rusia.
Aktan dalam teori Greimas, ditinjau dari segi tata cerita menunjukkan hubungan yang
berbeda-beda. Maksudnya, dalam suatu skema aktan suatu fungsi dapat menduduki beberapa
peran, dan dari karakter peran kriteria tokoh dapat diamati. Menurut teori Greimas, seorang
24

tokoh dapat menduduki beberapa fungsi dan peran di dalam suatu skema aktan. (Jabrohim,
1996:12)
Aktan adalah sesuatu yang abstrak seperti cinta, kebebasan, atau sekelompok tokoh.
Pengertian aktan dihubungkan dengan satuan sintaksis naratif, yaitu unsur sintaksis yang
mempunyai fungsifungsi tertentu. Fungsi itu sendiri dapat diartikan sebagai satuan dasar cerita
yang menerangkan tindakan bermakna yang membentuk narasi. Aktan dalam teori Greimas
menempati enam fungsi, yaitu (1) subjek, (2) objek, (3) pengirim atau sender, (4) penerima atau
receiver, (5) penolong atau helper, dan (6) penentang atau opposant. Keenam fungsi aktan yang
juga dapat disebut sebagai tiga pasangan oposisional tersebut, apabila disusun dalam sebuah
skema dapat digambarkan sebagai berikut. (Jabrohim, 1996:13)

Tanda panah dalam skema menjadi unsur penting yang menghubungkan fungsi sintaksis naratif
masing-masing aktan. Adapun penjelasan dari fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pengirim (sender) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan berfungsi
sebagai penggerak cerita. Sender ini yang menimbulkan keinginan bagi subjek untuk
mendapatkan objek.
2. Penerima (receiver) adalah sesuatu atau seseorang yang menerima objek hasil perjuangan
subjek.
3. Subjek adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi oleh sender untuk mendapatkan
objek yang diinginkannya.
4. Objek adalah seseorang atau sesuatu yang diinginkan atau dicari oleh subjek.
5. Penolong (helper) adalah seseorang atau sesuatu yang membantu memudahkan usaha
subjek dalam mendapatkan objek sebagai keinginannya
6. Penghalang (opposant) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha atau
perjuangan subjek dalam mendapatkan objek.
7. Tanda panah dari sender yang mengarah pada objek mengandung arti bahwa dari sender
ada keinginan untuk mendapatkan objek. Tanda panah dari objek ke receiver
mengandung arti bahwa sesuatu yang dicari subjek atas keinginan sender diberikan pada
receiver.
8. Tanda panah dari helper ke subjek mengandung arti bahwa helper memberikan bantuan
kepada subjek dalam rangka menunaikan tugas yang dibebankan oleh sender. Tanda
25

panah dari opposant ke subjek mengandung arti bahwa opposant mengganggu,


menghalangi, menentang dan merusak usaha subjek.
9. Tanda panah subjek ke objek mengandung arti subjek bertugas menemukan objek yang
dibebankan oleh sender.
10. Bergantung pada siapa yang menduduki fungsi subjek, maka suatu aktan dalam struktur
tertentu dapat menduduki fungsi aktan yang lain, atau suatu aktan dapat berfungsi ganda
sehingga seorang tokoh dalam suatu cerita dapat menduduki fungsi aktan yang berbeda.
Selain analisis aktan dan skema aktansial seperti yang dipaparkan di atas, A.J. Greimas
pun mengemukakan model cerita yang tetap sebagai alur, yang kemudian disebutnya dengan
istilah model fungsional. Greimas menyebut model fungsional sebagai suatu jalan cerita yang tidak
berubah-ubah. Model fungsional mempunyai tugas menguraikan peran subjek dalam rangka
melaksanakan tugas dari sender atau pengirim yang terdapat dalam aktan. (Jabrohim, 1996:16)
Operasi struktur model fungsional terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) bagian pertama
merupakan deskripsi dari situasi awal; (2) bagian kedua merupakan tahap transformasi yang
terbagi lagi dalam tiga tahap, yaitu tahap uji kecakapan, tahap utama, dan tahap kegemilangan;
dan (3) bagian ketiga merupakan situasi akhir.
26

Pertemuan ke-6
Teori Resepsi

Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas teori resepsi, salah satu teori analisis tekstual
yang digunakan dalam mengkaji tanda dan makna dalam bidang
pengkajian budya dan media.
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan teori resepsi sebagai salah satu pendekatan
analisis tekstual dalam penelitian kajian budaya dan media.

Teori resepsi merupakan aliran dalam penelitian sastrayang semenjak tahun 1960-an menggeser fokus
dariyang semenjak tahun 1960-an menggeser fokus dariteks (aliran egosentris atau gerakan otonomi) ke arahteks
(aliran egosentris atau gerakan otonomi) ke arahpembaca. Dalam arti luas! istilah resepsi dipergunakanpembaca.
Dalam arti luas! istilah resepsi dipergunakanbagi setiap aliran dalam penelitian sastra yangbagi setiap aliran dalam
penelitian sastra yangmempelajari bagaimana karya-karya sastra diterimamempelajari bagaimana karya-karya
sastra diterimaoleh pembaca. "ara penerimaan dapat bersifatoleh pembaca. "ara penerimaan dapat
bersifatpsikologis maupun sosiologis.psikologis maupun sosiologis.
Dalam arti sempit, penelitian resepsi sinonim dengan mazhab Konstanz yang meneruskan
penelitian fenomenologi (Ingarden), strukturalisme Praha (Mukarovsky), dan hermeneutika
(Gadamer). Teori resepsi dapat dibedakan dua aliran, yaitu sejarah resepsi yang dipelopori oleh
Hans Robert Jauss dan estetika resepsi (Wirkungsestetik, estetik pengolahan) yang dikenalkan
oleh Wolfgang Iser (Hartoko dan Rahmanto, 1986:117).
Dalam pandangan Jauss, penelitian resepsi didasarkan pada perombakan sejarah sastra.
Ia tidak lagi memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra, melainkan bagaimana sebuah
karya diterima waktu terbit pertama kalinya dan seterusnya. Karena antara masa silam dan masa
kini perlu diadakan dialog, lagi pula untuk menjembatani jarak antara masa kini dan sebuah teks
lama, Jauss memperkenalkan pengertian horison harapan (istilah Hartoko cakrawala harapan)
yang dapat menjadikan pengalaman literer (penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca)
objek penelitian.
Horison harapan seorang pembaca ditentukan berdasarkan komponen-komponen berikut :
(i) pengetahuan mengenai kesenian (poetika) dan jenis-jenis sastra, (ii) pengetahuan mengenai
lingkungan historis-literer, (iii) pengetahuan mengenai perbedaan antara fakta dan fiksi, (iv)
perbedaan antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari (Hartoko dan Rahmanto, 1986:117-118).
Menurut Jauss, penilaian oleh pembaca terjadi berdasarkan komunikasi antara teks dan
horison harapan si pembaca. Bila harapan tadi diperluas karena adanya norma-norma baru (jarak
estetis), maka karya itu dinilai sebagai seni yang sungguh-sungguh. Bila tidak, maka karya itu
termasuk sastra picisan.

Selain itu, Jauss menekankan, bahwa sebuah karya sastra harus didekati baik secara
diakronis (tempatnya dalam sejarah sastra) maupun secara sinkronis. Akhirnya, sejarah sebuah
karya sastra harus dihubungkan dengan sejarah umum. Dengan demikian, dapat dapat diteliti
27

apakah dan bagaimana pengalaman literer mempengaruhi pengalaman hidup serta tindak praktis
seorang pembaca dan sebaliknya.
Pengerian horison harapan oleh Mandelkov diperinci lebih lanjut, menjadi harapan
mengenai seorang pengarang, mengenai karya itu sendiri, dan mengenai jenis sastra. Teori
resepsi dikritik oleh para peneliti Marxis karena kurang memperhatikan diferensiasi sosiologis
dan secara berat sebelah menekankan kriteria pembaharuan (lawan mimesis). Kemungkinan
untuk secara praktis menerapkan sejarah resepsi agak terbatas. Perlu dibedakan antara resepsi riil
dan resepsi ilmiah hipotetis (Hartoko dan Rahmanto, 1986:118).
Dalam teori resepsi, Iser memandang hubungan individual antara teks dan pembaca.
Maksudnya bukan pembaca kongkret individual, melainkan unsur-unsur di dalam teks yang
mengakibatkan komunikasi. Iser juga memperkenalkan istilah Unbestimmheit (ketidaktentuan)
yang dipinjam dari Ingarden. Setiap unsur yang tidak tentu merangsang pembaca. Kemudian
konsep itu diubah dengan konsep tempat kosong, yaitu segala sesuatu yang oleh pengarang
tidak diperinci.
Faktor lain yang mempengaruhi proses bacaan adalah negasi, penyangkalan; ini terjadi
bila beberapa modul untuk menafsirkan kenyataan diragukan atau bila karya-karya sastra
diparodikan. Selain itu, pengarang dapat memakai macam-macam akal (fokalisasi yang berganti-
ganti, flashback) guna menciptakan suatu dunia khayalan, tidak eksplisit dengan kata-kata,
melainkan hanya dengan menimbulkan kesan saja.
Gejala ini oleh Iser disebut negativitas. Penelitian tentang resepsi juga dapat dilakukan
secara eksperimental dan empiris, misalnya dengan mengadakan angket di antara pembaca
(Hartoko dan Rahmato, 1986:118-119).
Menurut Jaus, sejarah sastra selama 150 tahun terakhir menunjukkan tanda-tanda yang
menurun. Tujuan sejarah sastra menjadi hilang. Bukan rahasia lagi bahwa para filolog lebih
merasa bangga terhadap diri mereka sendiri dalam menempatkan penyajian secara tradisional
kesusastraan nasional mereka dalam suatu periode, dan secara keseluruhan dalam kuliah-kuliah
tentang sejarah pendekatan-pendekatan sistematik lain.
Hasil ilmiah menawarkan suatu gambaran yang berhubungan, di antaranya, proyek-
proyek kolektif dalam bentuk buku pegangan, ensiklopedia, dan serangkaian interpretasi yang
dikumpulkan yang telah melahirkan sejarah kesusastraan sebagai bentuk sejarah yang tidak
sungguh-sungguh.
Pada dasarnya, kumpulan-kumpulan pseudohistoris ini jarang dihasilkan dari insiatif para
sarjana, tetapi lebih banyak dihasilkan dari aksi sebagian penerbit yang resah. Sebaliknya, ilmu
pengetahuan yang serius melahirkan monograf dalam jurnal-jurnal ilmiah dan mencontohkan
standar yang lebih tegas tentang metode kritis kesusastraan menyangkut daya, retorika, filologi
tekstual, semantik, puisi, morfologi, filologi historis, sejarah motif, dan aliran.
Jurnal-jurnal ilmiah filologis saat ini tidak bisa dipungkiri merupakan bagian yang baik
yang masih terisi dengan artikel-artikel yang memuat pendekatan historis kesusastraan. Kritik
teori sastra sangat jarang melihat persoalan apa pun secara jelas.
28

Sejarah sastra, dari bentuk yang paling tepat, berusaha untuk menghindarkan diri dari
dilema rangkaian fakta yang menyerupai sejarah dengan menyusun materinya sesuai dengan
kecenderungan-kecenderungan umum, aliran untuk disajikan dalam rubrik-rubrik karya individu
dalam suatu rangkaian yang krono-logis.
Dalam bentuk ekskursis, biografi pengarang dan penilaian terhadap oeuvrenya yang
muncul pada sebagian tempat kejadian, atau sejarah sastra menyusun materinya secara unilinear
menurut kronologi penulis besar dan mengevaluasinya sesuai dengan skema kehidupan dan
karya. Bentuk kedua lebih tepat dengan aturan-aturan penulis klasik; pertama kali lebih sering
ditemukan dalam sastra modern yang harus berjuang menghadapi kesulitan dalam membuat
pilihan dari daftar penulis dan karya-karya yang jarang dapat diteliti (Jauss, 1983:3-4).
Keberhasilan sejarah sastra abad ke-20 jatuh-bangun dengan keyakinan bahwa ide atau
gagasan tentang individualitas nasional merupakan bagian yang tidak tampak dari setiap fakta,
dan gagasan ini merupakan bentuk sejarah yang dapat direpresentasikan dalam serangkaian
karya sastra. Lebih lanjut, keyakinan ini lenyap sehingga benang yang menghubungkan kejadian-
kejadian itu harus juga lenyap, kesusastraan masa lalu dan masa sekarang terceraikan dalam
lingkup penilaian yang terpisah, dan pemilihan, penentuan, serta penilaian fakta-fakta
kesusastraan menjadi masalah.
Perubahan terhadap positivisme, pada dasarnya, dikondisikan oleh krisis ini. Sejarah
sastra positif diyakini dapat melahirkan kebaikan bagi keperluannya jika meminjam metode-
metode ilmu pengetahuan alam yang pasti. Representasi kesusastraan dalam sejarah imanennya
dan dalam hubungannya dalam sejarah pragmatis bersandar di luar kepentingan sejarah ide dan
konsep, di samping itu, juga di luar kepentingan penelitian tradisi yang dikembangkan bagi
kepentingan aliran Warburg.
Perbedaan antara pertimbangan-pertimbangan historis dan estetis dari kesusastraan tidak
banya tercakup di sini dibanding pertimbangan-pertimbangan yang telah ada dalam teori sastra,
Bendetto Croces dengan pembagian puisi dan nonpuisi yang diakui dalam ad absurdum,
Antagonisme antara kesusastraan murni dan kesusastraan yang terkait waktu hanya dapat
diselesaikan ketika estetika dasarnya dipersoalkan.
Dalam hal ini, diakui bahwa perbedaan antara kreasi dan imitasi hanya mewarnai
kesusastraan pada periode seni humanis, meskipun demikian, tidak selalu dapat menjangkau
kesusastraan modern atau bahkan kesusastraan abad pertengahan. Sosiologi sastra dan metode
karya yang imanen dengan sendirinya terpisah dari pendekatan-pendekatan aliran positif dan
idealis.
Hal ini jelas terlihat dalam teori-teori sastra yang berlawanan antara Marxis dan Formalis
yang harus berdiri di tengah-tengah penelitian kritis prahistoris terhadap studi sastra
kontemporer. Kedua aliran berusaha dengan cara yang berbeda, memecahkan persoalan tentang
bagaimana fakta sastra yang terpisah atau karya sastra yang tampak otonom dapat dihasilkan
dalam suatu koherensi historis sastra, dan selanjutnya dipahami secara produktif sebagai proses
sosial atau sebagai momen perkembangan sastra.
29

Bentuk provokasi pertama dari teori sastra Marxis, yang juga selalu diperbaharui, adalah
bahwa teori ini menolak sejarah mereka sendiri dalam seni dan bentuk-bentuk hubungan antara
kesadaran etik, agama, atau metafisika. Sejarah sastra, seperti halnya sejarah seni, tidak selalu
mempertahankan penampilannya yang independen ketika seseorang menyadari bahwa
produksinya menunjukkan produksi materi dan praktik sosial manusia, bahkan produksi artistik
merupakan bagian dari proses kehidupan riil yang menentukan sejarah usaha atau
perkembangan manusia (Jauss, 1983:8-10).
Teori refleksi ortodoks berhubungan dengan cara dari tugas sejarah sastra dialektik-
materialistik yang murni, dan cara penyelesaian persoalan korelasi tentang bagaimana seseorang
menentukan keberhasilan dan pengaruh bentuk-bentuk sastra yang independen dari praktik
kemanusiaan yang objektif. Dimensi-dimensi spesifik bagi historisitas sastra menjadi berkurang.
Karya yang penting, karya yang menunjukkan arah baru dalam kesusastraan, dikelilingi
oleh hasil karya yang tidak dapat diteliti dan berhubungan dengan harapan-harapan tradisional
atau citra realitas, dengan demikian, di dalam indeks sosialnya menjadi tidak kurang bernilai
dibanding karya pembaruan yang sering kali dipahami beberapa saat kemudian.
Hubungan dialektik antara produk karya baru dan reproduksi karya lama dapat dipahami
melalui teori refleksi ketika hubungan ini tidak menekankan homogenitas kontemporer dalam
kesalahan representasi temporal terhadap ketentuan-ketentuan harmonisasi kondisi-kondisi sosial
dan fenomena sastra yang mewarnainya.
Historisitas kesusastraan yang disembunyikan oleh klasikismie estetika Marxis ortodoks
juga diabaikan karena memberikan interpretasi dialektik terhadap konsep refleksi. Pandangan
bahwa esensi historis dari suatu karya seni tidak hanya besandar pada fungsi ekspresif dan
representasinya, tapi juga dalam pengaruhnya harus memiliki dua konsekuensi bagi dasar sejarah
sastra yang baru. Hubungan suatu karya dengan karya lain menghasilkan interaksi antara karya
itu dengan manusia serta koherensi karya-karya historis di antara karya-karya tersebut harus
dilihat sebagai hubungan timbal balik antara produksi dan penerimaan (Jauss, 1983:11-15).
Dari perspektif dilema pengulangan antara teori sastra formalis dan teori sastra Marxis,
dapat dilihat konsekuensi yang tidak dapat disimpulkan dari masing-masing teori. Jika pada satu
sisi perkembangan sastra dapat dipahami dalam sistem perubahan historis, dan pada sisi lain
sejarah pragmatis dapat dipahami dalam hubungan kondisi-kondisi sosial yang menyerupai
proses, maka ada kemungkinan untuk menempatkan seri sastra dan seri nonsastra ke dalam
suatu hubungan yang memahami hubungan antara sastra dan sejarah tanpa menekan sastra.
Dalam usaha menjembatani perbedaan antara sejarah sastra, pendekatan sejarah, dan
pendekatan estetis, Jauss memulainya pada poin dimana kedua aliran tersebut berhenti. Metode-
metode yang mereka susun dimaksudkan untuk memahami fakta sastra dalam suatu lingkungan
tertutup; dalam suatu estetika produksi dan representasi. Dalam mengambil langkah ini, mereka
menghilangkan sastra dari dimensi yang tidak dapat dihilangkan termasuk dalam karakter
estetisnya, begitu juga dalam fungsi sosialnya, yaitu dimensi penerimaan dan pengaruhnya.
Estetika Marxis ortodoks memperlakukan pembaca tidak berbeda dengan penulis: ia
mencari kedudukan sosialnya atau berusaha untuk mengenalkannya dalam struktur masyarakat
30

yang diwakili. Aliran Formalis memerlukan pembaca hanya sebagai subjek yang mengikuti
petunjuk-petunjuk dalam teks guna membedakan suatu bentuk atau temuan dari suatu prosedur.
Dalam hal ini, diasumsikan bahwa pembaca memiliki pemahaman teoretis dari para ahli
filologis yang dapat mencerminkan sarana artistik yang telah diketahui mereka. Sebaliknya,
aliran Marxis menyamakan pengalaman spontan pembaca dengan kepentingan ilmiah dari
meterialisme historis yang akan menemukan hubungan antara superstruktur dan dasar-dasar
dalam literatur (Jauss, 1983:18-19).
Perspektif estetik penerimaan menjadi mediasi antara penerimaan pasif dan pemahaman
aktif, pengalaman yang bersifat normatif bagi norma-norma dan produksi baru. Jika sejarah
litaratur dilihat dengan cara ini, dalam batas-batas dialog antara karya dan audiens yang
membentuk kontinuitas, maka perbedaan antara aspek historis dan estetisnya juga diberikan
mediasi secara kontinu.
Hubungan sastra dan pembaca memiliki implikasi estetis dan juga historis. Implikasi
estetis bersandar pada fakta bahwa penerimaan pertama terhadap suatu karya oleh pembaca
mencakup pengujian terhadap nilai estetisnya dibanding karya-karya yang telah dibaca
sebelumnya. Implikasi historis yang nyata dari hubungan ini adalah bahwa pemahaman pembaca
pertama akan didukung dan diperkaya dalam suatu rangkaian penerimaan dari satu generasi ke
generasi yang lain, dengan cara ini kepentingan historis dari suatu karya akan diputuskan dan
nilai estetisnya menjadi jelas (Jauss, 1983:19-20).
Raman Selden membuka diskusi tentang teori resepsi dengan pernyataan bahwa abad ke-
20 merupakan era pemberontakan terhadap kepastian objektif ilmu pengetahuan abad ke-19.
Selden memaparkan pandangan para filosof seperti Eisntein, Kuhn, dan Gestalt tentang
perubahan orientasi ilmu pengetahuan.
Teori relativitas Einstein sendiri melemparkan keraguan terhadap kepercayaan bahwa
pengetahuan objektif secara sederhana adalah sebuah penumpukan fakta yang keras dan
progresif. Kuhn mengatakan bahwa apa yang muncul sebagai fakta dalam ilmu pengetahuan
tergantung pada rangka referensi yang dibawa pengamat ilmu pengetahuan terhadap objek
pemahaman.
Psikologi Gestalt menyatakan bahwa pikiran manusia tidak memahami benda-benda di
dunia sebagai pecahan dan kepingan yang tidak berhubungan, tetapi sebagai konfigurasi unsur
tema, atau keseluruhan yang terorganisasi dan berarti.
Dari pandangan filosofis tersebut di atas memunculkan pertanyaan, bagaimanakah
penekanan modern ini pada peranan aktif penelitian mempengaruhi teori sastra. Selden
menyodorkan model komunikasi linguistik Jacobson.
Jacobson berpendapat bahwa wacana sastra berbeda dengan jenis-jenis wacana yang lain
sebab ia mempunyai suatu perangkat pesan; sebuah sajak adalah tentang dirinya sendiri
(bentuknya, citraannya, arti sastranya) sebelum tentang penyair, pembaca, atau dunia. Jika kita
menolak formalisme dan memilih perspektif pembaca atau penikmat, pandangan Jacobson
tentang model komunikasi linguistik berubah.
31

Dari sudut ini kita dapat berkata bahwa sajak tidak mempunyai keberadaan nyata sampai
sajak itu dibaca; artinya hanya dapat dibicarakan oleh para pembacanya. Kata berbeda dalam
interpretasi hanya karena cara kita membaca berbeda. Pembacalah yang menerapkan kode yang
ditulis penyair untuk menyampaikan pesan dan cara pengaktualan ini, dengan kata lain, apa yang
akan tetap hanya potensi yang mempunyai makna. Dalam proses interpretasi, penerima sering
secara aktif terlibat dalam penyusunan arti.
32

Pertemuan ke-7
Etnografi dalam Kajian Budaya dan Media

Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas teori etnografi, salah satu teori analisis
tekstual yang digunakan dalam mengkaji tanda dan makna dalam
bidang pengkajian budya dan media.
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan teori etnografi sebagai salah satu
pendekatan analisis tekstual dalam penelitian kajian budaya dan
media.

Etnografi sebagai metode tertua dalam riset kualitatif sangat penting untuk penelitian-
penelitian social yang mempunyai beberapa karakteristik yaitu (1) menggali atau meneliti
fenomena social, (2) data tidak terstruktur; (3) kasus atau sample sedikit; (4) dilakukan analisis
data dan interpretasi data tentang arti dari tindakan manusia /Human Action(Atkinson &
Hammersley, 1994).
Etnografi juga merupakan pendekatan kualitative riset popular yang berfokus pada
kultur/budaya. Selain sangat penting dalam penelitian antropologi, maka etnografi juga sesuai
untuk penelitian keperawatan karena keperawatan berhubungan dengan manusia dan kulturnya.
Menurut Spradley,1980, Atkinson 1992, Wolcott 1997, etnografi adalah penjelasan tentang
budaya dengan maksud untuk mempelajari dan memahami tentang kehidupan individu.
Etnografi berarti belajar dari orang, yang menjelaskan secara langsung dari kultur dan subkultur
individu tersebut.
Wolcott (1977) menjelaskan, etnografi adalah suatu metode khusus atau satu set metode
yang didalamnya terdapat berbagai bentuk yang mempunyai karakteristik tertentu, termasuk
partisipasi etnografer, memahami dan mengikuti kehidupan sehari-hari dari seseorang dalam
periode yang lama, melihat apa yang terjadi, mendengarkan apa yang dikatakan, bertanya kepada
mereka, dan pada kenyataannya mengumpulkan data apa saja yang ada. Budaya sering diartikan
sebagai suatu set petunjuk dimana diikuti oleh individu yang termasuk didalam anggota social
tertentu, dimana menceritakan tentang bagaimana mereka melihat dunia , bagaimana
mendalaminya secara emosional, dan bagaimana berperilaku dalam hubungan dengan manusia
lain terhadap kekuatan supranatural atau Allah S.W.A. dan lingkungan alam (Helman, 1994
pp.2-3). Fokus utama dari etnografi adalah pekerjaan untuk mendiskripsikan budaya, dan untuk
memahami jalan hidup lain, serta pandangan hidup dari orang lain (Spradley, 1980). Etnografi
mencari penjelasan baik aspek eksplisit budaya (bagaimana semua anggota menyadari dan
menerima ) dan elemen lainnya (diluar kesadaran). Metode ini merupakan pendekatan favorit
untuk penelitian antropologi sejak 100 tahun yang lalu dimana umumnya bertujuan untuk
mengidentifikasi peran, ritual-ritual dan kepercayaan pada populasi yang diteliti (Morse, 1992).
Pada akhir-akhir ini etnografi sudah mulai digumakan sebagai metode penelitian pada bidang
pendidikan, kesehatan dll (Atkinson & Hammersley, 1994). Hasil dari interaksi etnograpy adalah
perpindahan ide-ide secara bebas dan saling bertukar informasi (Sorrell & Redmond, 1995).
33

Bentuk etnografi menurut Muecke (1994) ada 4 jenis, yaitu: (1) Etnografi klasik meliputi
penjelasan perilaku dan demonstrasi mengapa dan dalam keadaan apa mereka berperilaku, waktu
dilapangan, observasi secara terus menerus, alas an perilaku, menjelaskan segala sesuatu tentang
budaya. (2) Etnografi sistematis yang lebih mendeskripsikan stuktur dari budaya dari pada
mendeskripsikan tentang seseorang dan social interaksinya, emosi dan materinya. Tipe ini
melihat stuktur budaya tentang bagaimana mengatur jalan hidup dari kelompok yang diteliti. (3)
Etnografi Interpretive atau hermeutic ethnography adalah untuk menemukan arti dari interaksi
social yang diamati. Mempelajari budaya melalui analisa inferensial dan implikasi perilaku yang
diketemukan. (4) Critical ethnography: dilakukan untuk mengkritik teori, peneliti dan anggota
dari budaya untuk kemudian bersama-sama membuat skema cultural. Ahli lain seperti
Sarantokos (1993) membagi jenis etnografi secara lebih sederhana menjadi (1) Descriptive atau
conventional ethnography yaitu deskripsi tentang budaya atau kelompok melalui analisa , pola
yang tidak ditutupi, tipologi dan kategorisasi. (2) Critical ethnography bertujuan untuk
mempelajari factor social yang makro (misalnya kekuasaan) dan mempelajari hal yang umum
dan asumpsi agenda yang tersimpan.
Etnografi: Filosofi and Teori Secara filosofi, etnografi dalam emic didefinisikan oleh
Kim (1993) dari perspektif metodologi yaitu terutama menggunakan interview yang tidak
terstruktur dan berbagai tingkat observasi, dari deskripsi sederhana sampai observasi partisipan
yang lengkap. Etnografi merupakan kegiatan riset yang harus dilakukan melalui pendekatan yang
alamiah. Peneliti harus mengadopsi perilaku yang respek atau menghargai dunia social. Ada dua
dasar yang dapat dipakai dalam mengumpulkan data etnografi yaitu interpretivism dan
interactionism Interpretivism, diperkenalkan sekitar tahun 1930- 1940 sebagai reaksi terhadap
empiris logical dan instrumental rasional dan sebagai pendekatan yang menyertai fenomenologi.
Menurut Schutz (1967) pendekatan ini berfokus pada pengetahuan umum tentang berbagai
masalah manusia. Selain itu, pendekatan interpretif fenomenologi mencari dan mengenal diri dan
kehidupan social dalam kelompok (Strathern, 1981). Symbolic interactionism: Adalah
pendekatan teoritis kedua yang menurut Blumer, (1969) mempunyai tiga maksud yaitu
(1)seseorang bereaksi ke arah objek dan berdasarkan pada arti dari objek itu terhadap dirinya, (2)
Arti tersebut berasal dari hasil interaksi misalnya komunikasi, dan (3) Arti dibangun melalui
proses interpret Persyaratan suatu penelitian social adalah observasi yang cermat tentang
perilaku dan interaksi mereka. Seperti pada umumnya penelitian kualitatif, maka pendekatan
etnografi sejak 30 tahun terakhir ini menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang validitas, konteks
dan tujuan.. Etnografi modern mengembangkan paradigma yang sesuai dengan pendekatan
klasik yaitu dengan observasi dan interpretasi. Hammersley dan Atkinson (1995) menjelaskan
bahwa etnografi bertujuan untuk lebih menghasilkan pengetahuan dari pada peningkatan praktik
klinik, tetapi etnografi pendidikan lebih untuk meningkatkan praktik.
Konsep kunci dalam melakukan etnografi Aktifitas etnografi memiliki elemen sentral
meliputi: (1) Refleksifitas adalah keadaan dimana peneliti dapat menjadikan dirinya sebagai alat
untuk memperjelas data pada proses pengumpulan data dalam melihat respon subjek melalui
kehadiran peneliti dan respon peneliti pada konteks. Bias dan subjektivitas adalah resiko yang
34

bisa terjadi (Hammersley & Atkinson, 1995). (2) Observasi partisipan, merupakan bagian utama
dari metodologi . Ini adalah proses dimana sebagai peneliti, fokusnya adalah dirinyasendiri
secara keseluruhan dalam situasi social. Dengan demikian peneliti akan lebih dekat dengan
mereka (informan) ketika mereka berespon terhadap kehidupan , dan tidak hanya mendengar apa
yang mereka katakan tetapi mengambil semuanya dari yang respon terkecil mereka terhadap
situasinya (Goffman, 1989). Peneliti dianjurkan untuk mempertimbangkan elemen perilaku,
pengetahuan dan semua yang membantu memperjelas.Wawancara etnografi bertujuan untuk
menemukan arti budaya yang terjadi pada group social, terutama interaksi, konteks social dan
konstruksi social dari pengetahuan (Lowenberg, 1993).
(3) Analisis cultural, merupakan titik masuk dari etnografi dan elemen akhir dari
observasi partisipan. Ancaman yang terjadi dalam observasi dan wawancara ditutup dengan
pemahaman aktivitas budaya dan proses yang ditulis dalam catatan lengkap, focus observasi dan
observasi yang diseleksi atau wawancara, analisa dan tema kultur (Spradley, 1980). Gambaran
utama dari etnografi Fokus utama etnografi adalah mengumpulkan data dengan observasi dan
wawancara; deskripsi yang tebal dan mendalam secara alamiah, bekerja bersama informan kunci,
dan dimensi emic/ etic. Persepsi emic adalah persepsi dari dalam atau persepsi partisipan,
sedangkan etic adalah persepsi luar atau persepsi peneliti, emic dan etic diperlukan untuk bisa
memahami perilaku. Dibawah ini dituliskan perbedaan persepsi emic dan etic
Sampling yang dipakai pada penelitian etnografi adalah purposive sampling-non
probalistic,dilakukan pada group yang spesifik dan tatanan yang khusus misalnya : unit/bangsal
perawatan; sekelompok perawat spesialis; atau pasien dengan kondisi spesifik. Pilihkan informan
kunci dengan hati-hati dan cermat, pastikan bahwa mereka ada serta sesuai dan mewakili dari
kelompok yang diteliti. Jadi pada dasarnya penelitian etnografi mempunyai karakteristik: peneliti
sebagai instrumen, penelitian dilakukan dilapangan, koleksi data dilakukan bersama dengan
analisa data. Selain itu, penelitian etnografi berfokus pada budaya; dan akhirnya sering terjadi
ketegangan antara peneliti sebagai peneliti dan peneliti sebagai anggota budaya.
Etnografi dalam pelayanan kesehatan dan keperawatan banyak dilakukan dengan tujuan
menggali persepsi kultural dari orang yang mengalami sakit, dan juga kultur dari pemberi pelayanan
kesehatan. Akhir-akhir ini banyak pihak tertarik pada pendekatan antropologi dalam keperawatan
dengan metode ethno nursing (Leininger (1994) and Morse (1994). Etho nursing adalah
penelitian kultur tentang pengetahuan keperawatan yang terutama berfokus pada dokumentasi,
deskripsi dan penjelasan fenomena keperawatan (Leininger 1994) and Morse (1994). Beberapa
contoh penelitian etnograi dan etno nursing antara lain:
Etho nursing adalah penelitian kultur tentang pengetahuan keperawatan yang terutama
berfokus pada dokumentasi, deskripsi dan penjelasan fenomena keperawatan (Leininger
1994) and Morse (1994). Beberapa contoh penelitian etnograi dan etno nursing antara lain
Etnografi digunakan secara luas pada beberapa penelitian yang ada hubungannya dengan
penyakit, termasuk: Menggali pengalaman sakit (Nichter, 1987), Penggunaan explanatory
model pada penyakit dan penyerapan terhadap penyakit baru kedalam kerangka kerja to
observe record keeping (Allen, 1998), Etnografi juga dilakukan untuk meneliti masa
35

transisi dari status mahasiswa ke perawat yang trampil (Holland, 1999), Menyoroti praktek-
praktek ritual dikamar operasi (Macqueen, 1995), Penelitian tentang peran perawat dalam
menolong persalinan di masyarakat (Rapport & Maggs, 1997). Masih banyak penelitian
lainnya dalam ethno nursing. Etnografi dalam pelayanan kesehatan menjadi sangat berarti
ketika mempertimbangkan penyakit yang berhubungan dengan faktor multi kultural misalnya
HIV-AIDS.
Langkah analisis pada etnografi menurut Fielding (1993) meliputi: (1) Mengatur dan
mengorganisasi materi-materi yang telah dikumpulkan, (2) Membaca kembali data-data tersebut,
(3) Memilah-milah material kedalam bagian-bagian yang teratur, (4) Membangun,
membandingkan dan membedakan kategori-kategori. (5) Mencari hubungan dan
mengelompokan kategori bersama. (6) Menemukan dan mendeskripsikan pola, tema dan
tipologi. (7) Interpretasi dan mencari makna.
Leininger (1994) menjelaskan tentang cara untuk mengevaluasi penelitian etnografi yaitu
1. Kredibilitas : Apakah penelitian bisa dipercaya?, Apakah mereka mewakili dunia nyata dari
partisipan? 2. Konfirmabilitas: apakah semua kejadian telah didokumentasikan? Dan percobaan
audit dilakukan?.Apakah telah dilakukan pengecekan pada anggota?(mengecek informan pada
akhir interview). 3. Arti dari konteks: apakah informan yang diteliti sesuai dengan kontek
penelitian?; Apakah telah diperhitungkan lingkungannya dan situasi total ? 4. Pola yang ada
sekarang : Apakah pola yang tidak ditutup-tutupi kembali terjadi dan terus menerus terjadi? 5.
Saturasi: Apakah peneliti memasukkan dirinya pada fenomena yang akan diteliti? Apakah
penelitian kelihatan padat dan dalam?; Apakah sedemikian jauh tidak ada penjelasan lagi dan
interpretasi lagi? 6. Transferability : Dapatkah hasil penelitian ditransferkan pada kontek yang
sama atau situasi dalam kondisi serupa?
Etnografi sebetulnya adalah alat penelitian yang digunakan oleh anthropologist untuk
meneliti budaya. Metode riset kualitatif ini dipakai dengan cara menyelami manusia secara
sensitif dan alamiah dalam konteks social budayanya serta umumnya ditunjukkan oleh etnik
untuk fenomena yang diteliti. Peneliti etnografi memasukkan dirinya kedalam budaya dan sub
budaya dalam penelitiannya dan mencoba untuk melihat dunia dari sudut pandang budaya. Data
dikumpulkan melalui wawancara dan observasi partisipan. Peneliti mengobservasi cara dan ritual
dari kultur, berusaha memahami makna dan interpretasi. Mereka membandingkan antara
persepsinya sendiri (etic) dan menggali perbedaannya dengan persepsi informan (emic).
Peneliti mendiskripsikan, menganalisa dan menginterpretasi budaya dan persepsi emic .
Kemudian melaporkan dan menulis secara detail berupa tulisan cerita yang hidup , baik berupa
mikro etnografi (fokus pada setting yang kecil) atau makro etnografi ( budaya yang besar).
Perkembangan keperawatan transkultural dan meningkatnya kesadaran bahwa kultur atau budaya
adalah hal terkuat yang menentukan pemahaman seseorang terhadap sehat dan sakit, maka ethno
nursing adalah metode yang sangat sesuai untuk digunakan (ENT).
36

Pertemuan ke-8
Identitas sosial

Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas teori identitas sosial, salah satu teori yang
digunakan dalam penelitian budya dan media.
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan teori identitas sosial sebagai salah satu teori
yang digunakan dalam penelitian budaya dan media.

Identitas sosial merupakan suatu proses yang membutuhkan obyek dan subyek
identifikasi. diantara keduanya terdapat hubungan dialektik yang menyebabkan proses identitas
sosial berkaitan dengan waktu dan syarat memungkinkan terjadinya stabilitas dan perubahan
sosial. Proses ini tidak terjadi pada tingkat individu tapi individu menjadi bagian dari identitas
sosial, subyek dalam identitas sosial bersifa aktif.
Contoh:
- Renaldy adalah mahasiswa Jurusan Sastra Prancis Universitas Hasanuddin
- Arman adalah warga kompleks Unhas
Jhon Trunners & Michael Hagg (1992, 1996) psikolog sosial dari Australia menyatakan:
Manusia mendefinisikan dirinya berdasarkan kelompoknya. Konsep diri-perasaan mengenai
siapakah kita tidak hanya berisikan identitas pribadi tapi juga identitas sosial, seperti pada
permainan kartu yang dibagi dalam 4 kelompok yaitu hati, wajik, keriting dan beringin.
Hal yang terjadi pada individu adalah kategori sosial, mempunyai fungsi ganda: sebagai
diferensiasi sosial (orang batak) dan integrasi ideologi (bukan pelajar tapi mahasiswa) Perbedaan
identitas sosial yang sangat mencolok yaitu hubungan antar etnik cina dan pribumi berlatar
belakang sejarah dan kebudayaan.
Henri Tajfel & Turner (Psikolog Sosial Inggris) memperkenalkan Teori Identifikasi
Sosial yaitu: 1. Kita mengkategorikan diri dan orang lain dalam suatu kelompok untuk
mendapatkan label. 2. Kita mengidentifikasi: mengasosiasikan diri kita dengan suatu kelompok
(ingroups). 3. Kita membandingkan dan memperlihatkan perubahan antara group kita dengan
group lain contohnya remaja sering menemukan kebanggaan, kekuatan dan identitasnya dalam
sebuah gang.
Bias dalam in group seperti agama, jenis kelamin, pendidikan seseorang belum tentu
menunjukkan siapa orang itu sebenarnya kelompok merupakan kebanggaan karena merasa
memiliki (kebersamaan) mudah menumbuhkan prasangka pada kelompok lain (out group). 1.
Karena akan mencari dan merasa senang berkelompok dengan orang lain yang juga memiliki
prestasi atau kemampuan yang sama atau sejajar dengan dirinya. 2. Karena adanya identitas
sosial kita harus menyesuaikan dengan norma-norma yang ada di kelompok itu berkaitan untuk
kelompok dampaknya semakin tidak menyukai kelompok lain.
Menurut Tajfel (1982), identitas sosial adalah bagian dari konsep diri seseorang yang
berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan
dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Identitas sosial merupakan
pengetahuan yang dimiliki oleh seorang anggota kelompok atas kelompoknya yang dianggap
37

sesuai dengan identitas yang ada pada dirinya. Keberadaannya pada kelom-pok akan membentuk
ikatan emosi antara dirinya dan kelompoknya. Hogg &Reid (2006), mengartikulasikan peran
norma dalam perspektif identitas sosial sebagai dasar untuk sejumlah fenomena komuni-katif
yang nyata, menjelaskan bagaimana norma kelompok yang direpresentasikan sebagai kognitif
tergantung pada konteks prototipe yang menangkap sifat khas kelompok. Proses yang sama yang
mengatur arti-penting psikologis prototipe yang berbeda, dan dengan demikian menghasilkan
perilaku kelompok normatif, dapat digunakan untuk memahami pembentukan, persepsi, dan
difusi norma, dan juga bagai-mana beberapa anggota kelompok, misal-nya, para pemimpin,
memiliki pengaruh yang lebih normatif daripada yang lain. Hal ini menggambarkan proses di
sejumlah fenomena dan membuat saran untuk masa depan antara perspektif identitas sosial dan
penelitian komunikasi. Kami percaya bahwa pendekatan identitas sosial merupakan kekuatan
yang benar-benar integratif untuk disiplin komunikasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Reicher & Levine (2006) menyatakan bahwa manipulasi identitas mempengaruhi arti-penting
relatif dari identitas pribadi atau sosial dan karenanya pilihan standar untuk mengontrol perilaku.
Penelitian ini memberikan kontribusi untuk perpanjangan argumen ini sesuai dengan manipulasi
identitas, yang tidak hanya mempengaruhi artipenting dari identitas sosial, tetapi juga
komunikasi strategis identitas sosial. Turner (2006) menjelasan dalam hal pengoperasian proses
perbandingan sosial antara kelompok ber-dasarkan kebutuhan akan identitas ingroup positif.
Hubungan antara identitas sosial dirasakan dan perbandingan antar kelom-pok diuraikan secara
teoritis, dan dikatakan bahwa perbandingan sosial menimbulkan proses diferensiasi bersama
antara kelom-pokkelompok yang dapat dianalisis seba-gai bentuk persaingan sosial. Kompetisi
sosial dibedakan dari kompetisi yang realistis (konflik kepentingan kelompok). Sedangkan
Ellemers, Spears, Doosje (2002), pemeriksaan diri dan identitas dengan mempertimbangkan
kondisi yang berbeda di mana hal tersebut dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang orang
milik. Dari perspektif identitas sosial bahwa komitmen kelompok, di satu sisi, dan fitur dari
konteks sosial, di sisi lain, merupakan penentu penting dari masalah identitas pusat.
Mengembangkan taksonomi situasi untuk mencerminkan keprihatinan yang berbeda dan motif
yang ikut bermain sebagai akibat dari ancaman terhadap identitas pribadi dan kelompok dan
tingkat komitmen terhadap kelompok. penentuan untuk setiap sel dalam taksonomi bagai-mana
isu-isu identitas diri dan sosial menimpa berbagai luas respon di tingkat persepsi, afektif dan
perilaku.
Komponen teori identitas sosial terdisi atas dua hal, yaitu:
1. Kategori social merupakan sistem yang membantu ke arah menciptakan dan menggambarkan
individu dalam suatu masyarakat;
2. Identifikasi (identification). Identifikasi digunakan untuk proses katategorisasi. Dengan
identifikasi, individu akan tahu bagaimana posisinya dalam suatu komunitas
Kategorisasi identitas sosial tersebut mengacu pada beberapa asumsi, yaitu:
- Setiap individu selalu berusaha untuk merawat atau meninggikan self-esteemnya:
mereka berusaha untuk membentuk konsep diri yang positif
38

- Kelompok atau kategori sosial dan anggota dari mereka berasosiasi terhadap konotasi
nilai positif atau negatif
- Evaluasi dari salah satu kelompok adalah berusaha mendeterminasikan dan juga
sebagai bahan acuan pada kelompok lain secara spesifik melalui perbandingan sosial
dalam bentuk nilai atribut atau karakteristik (Tajfel, 1974, dalam Hogg & Abrams,
2000
Verkuyten (2005) mengemukakan bahwa adanya identitas dapat lebih memudahkan
manusia menggambar keberadaan sesuatu sehinga dapat memberikan kemudahan manusia untuk
bertindak. Teori Identitas Sosial ini merupakan hasil pengembangan dari teori kategori sosial.
Dimana teori kategorisasi sosial ini juga diperkenalkan oleh Henri Tajfel. Teori kategori sosial
lebih menekankan pada pengkategorian seseorang belum itu menggambarkan secara keseluruhan
keberadaan seseorang tersebut. Untuk itu, kategori sosial hanya melihat nilai umumnya saja dari
suatu individu sebagai dari kelompok yang dia anut.
Identitas sosial terdiri atas beberapa kategori. Misalnya Stangor mengatakan bahwa
kategorisasi sosial terjadi ketika kita berpikir tentang seseorang baik diri kita atau orang lain
sebagai anggota kelompok sosial yang berarti atau bermakna. Untuk itu, kategori sosial hanya
melihat nilai umumnya saja dari suatu individu sebagai dari kelompok yang dia anut.
Selanjutnya, Verkuyten berpendapat bahwa konsep identitas sosial adalah bagaimana seseorang
itu secara sosial dapat dijelaskan, karena dalam teori identitas sosial seorang individu tidaklah
dianggap sebagai individu secara mutlak satu dalam kehidupannya, namun merupakan bagian
dari kelompok tertentu baik disadari maupun tidak disadari.
Menutur pembagiannya, ada dua tipe identotas sosial. Pertama, Identitas yang terberi
disini maksudnya adalah identitas yang dimiliki oleh seseorang merupakan identitas mutlak yang
tidak dapat ditawar lagi, misalnya saja seks, ras, suku, bangsa, keturunan. Kedua, identitas yang
diusahakan adalah identitas yang dalam mencapainya memerlukan usaha terlebih dahulu
misalnya, gelar akademis (sarjana, master, doktor, ustadz).
Dengan adanya identitas kita menjadi tahu siapa kita dan siapa orang lain yang ada
didepan kita, dimana posisi dia berasal, dan seperti apa dia seharusnya. Permasalahannya, suatu
identitas individu itu, yang melekat pada dirinya tidaklah satu identitas, melainkan banyak
identitas.
Contoh kasus. Andrea adalah seorang perempuan lulusan bidang jurnalistik, Ia adalah
seorang penulis berita. Pada saat Ia melamar pekerjaan untuk menjadi penulis, Ia malah diterima
disebuah majalah Fesyen yang mana bukan menjadi seorang penulis berita melainkan menjadi
seorang asisten pemiliki majalah tersebut. Andrea yang notabene seorang jurnalis tidak mengenal
begitu banyak dunia fesyen, ia hanya mengenal fesyen sebagaimana yang sering ia kenakan
sehari-hari dan menurutnya itu sudah cukup. Namun ketika Andrea memasuki lingkungan kerja
barunya ini ia menerima begitu banyak tekanan dari para pegawai di majalah tersebut, Andrea
dikatakan orang yang out up to date mengeani fesyen yang dikenakannya. Selama hampir 4
bulan lamanya Andrea belum dapat menyesuaikan dengan lingkungan barunya sehingga ia
merasa tidak cocok berada dalam lingkungan tersebut, hingga pada akhirnya ia hampir dipecat
39

karena selama 5 bulan bekerja di majalah fesyen tersebut Andrea belum ada perubahan. Demi
mempertahankan pekerjaan, akhirnya Andrea mau merubah penampilannya. Andrea kini
menjelma menjadi seorang perempuan yang modis, trendi, dan glamor meskipun ia merasakan
kurang nyaman dengan kondisi berpakainnya. Seiring berjalnnya waktu, Andrea mulai
menikmati kehidupannya didunia fesyen dan pakaian modis yang dikenaknnya kini telah dirasa
nyaman dan cocok untuk dirinya.

Berdasarkan asumsi pertama, bahwa setiap individu menginginkan penghargaan yang


tinggi dari orang-orang di sekitarnya (Self Esteem). Hal ini dapat dilihat dari usaha Andrea yang
menyesuaikan gaya hidup layaknya seorang perempuan lainnya yang bekerja di dunia fesyen
yang identik dengan segala sesuatu yang up to date, glamour dan trendi. Meskipun pada awalnya
merasa kurang nyaman dengan apa yang di kenakannya sekarang. Namun seiring berjalannya
waktu akhirnya Dia menikamti hal tersebut.
Asumsi kedua: Kelompok atau kategori sosial dan anggota dari mereka berasosiasi
terhadap konotasi nilai positif atau negatif. Karenanya, identitas sosial mungkin positif atau
negatif tergantung evaluasi (yang mengacu pada konsensus sosial, bahkan pada lintas kelompok)
kelompok tersebut yang memberikan kontribusi pada identitas sosial individu. Pada kasus
Andrea bahwa gaya berpakaiannya dinilai negative karena tidak mengikuti fesyen yg
berkembang. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok social up to date memandang hal yg
di kenakan Andrea tidak pantas berada di lingkungan social mereka.
Identitas sangat diperlukan oleh setiap individu untuk mengenali dirinya sendiri, terlebih
untuk membedakannya dengan orang lain yang ada di sekitar tempat dia hidup, dengan begitu
ketika seseorang mengetahui identitasnya maka secara tidak langsung seorang individu akan
mengetahui peranannya dalam lingkungan hidup kelompoknya.
Identitas sosial juga akan memberikan sebuah hierarki dalam komunikasi, dimana sebuah
struktural akan mengatur komunikasi yang akan kita lakukan, misalnya adalah komunikasi
vertikal dan komunikasi horizontal. Komunikasi vertikal berlaku ketika kita melakukan
pembicaraan dengan orang yang kita anggap lebih dewasa dan pantas untuk dihormati atau orang
yang memiliki jabatan lebih tinggi, sehingga pemilihan kata, nada, rait muka dan gesture akan
menunjukan edifikasi yang tinggi. Sedangkan komunikasi horizontal adalah komunikasi yang
dilakukan kepada orang yang memiliki posisi sama atau sederajat misalnya perbincangan antar
sesama teman di kampus. Obrolannya akan lebih cair dan bersifat infomal.
40

Pertemuan ke-9
Ideologi dalam Kajian Budaya dan Media
Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas konsep dasar ideologi dan wilayah kajian
ideologi pada pengkajian budya dan media.
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan kosep dasar ideologi dalam penelitian kajian
budaya dan media.

Ideologi adalah istilah yang pertama kali digunakan pada tahun 1796 oleh Destutt de
Tracy seorang filsuf dan aristokrat prancis untuk mendefinisikan ilmu tentag ide. (Shffner
1996: 1). Secara etimologis, kata ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri atas kata idea
dan logia. Idea berasal dari idein yang berarti melihat. Idea dalam Websters New Calligate
Dictionary berarti someting existing in the mind as the result of the formulation of an opinion, a
plan or the like (sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau
rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari legein
yang berarti to speak (berbicara), logia berarti science (pengetahuan) atau teori. Dalam
Routledge Encyclopedia of Philosophy (1998: 681, ideology didefinisikasi, a set of ideas,
beliefs and attitudes conciously or unconsciously held, which reflects of shape understandings or
misconception of the social and political word.
Secara terminologis, istilah ideologi didefinisikan oleh banyak kalangan secara berbeda-
beda. Dalam Eagleton (1991: 1-2), dikemukakan makna ideologi dengan berbagai sudut
pandang, antara lain:
(a) the process of production of meaning, sign and values in social life;
(b) a body of ideas characteristic of a particular social group or class;
(c) ideas which help to legitimate a dominant political power;
(d) false ideas which help to legitimate a dominant political power;
(e) systematically distorted communication;
(f) that which offers a position for a subject;
(g) forms of thought motivated by social interests;
(h) identity thinking;
(i) socially necessary illusion;
(j) the conjuncture of discourse and power;
(k) the medium in which conscious socal actors make sense of their world.

Menurut Jhon B. Thompson, istilah ideologi digunakan dalam dua cara yang berbeda. Pada
satu sisi, ideologi digunakan oleh beberapa penulis sebagai sebuah istilah yang murni deskriptif;
sebagai sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan
tindakan sosial dan politik. Pengguna an istilah ini telah memunculkan apa yang disebut
dengan konsepsi netral (neutral conception).
This has given rise to what maybe called a neutral conception ideology. According to this
conception, ideology can be regarded a system of thought, systems of belief, or
symbolic system which pertains to social action or political practice ( 1990: 5).
41

Pada basis konsepsi ini, tidak ada upaya untuk memisahkan antara jenis-jenis tindakan
dengan animasi ideologi; ideologi hadir dalam setiap program politik, mengabaikan
program yang dimaksudkan sebagai pemeliharaan dan transformasi sosial. Namun pada sisi
lain, ideologi juga digunakan oleh beberapa penulis yang secara mendasar mempunyai
hubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris, berhubungan
dengan proses pembenaran dominasi. Penggunaan istilah yang demikian menunjukkan apa yang
disebut dengan konsepsi kritis ideologis (critical conception of ideological). Penggunaan ini
mengandung konotasi negatif dan akan selalu mengikat analisa ideologi pada pertanyaan kritis.
Raymond William (dalam Eriyanto, 2001: 87 92) mengklasifikasikan penggunaan ideologi
dalam tiga ranah:
Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok dan kelas tertentu.
Ideologi di sini adalah orientasi tindakan (action-oriented) yang berisi kepercayaan yang
diorganisir dalam suatu sistem yang koheren. Ideologi adalah kumpulan kepercayaan dan
ketidakpercayaan (penolakan) yang diekspresikan dalam kalimat-kalimat yang bernilai
permohonan, dan pernyataan eksplanatoris. Dalam konteks ini, ia terbagi ke dalam ideologi
fundamental dan ideologi operatif. Ideologi fundamental ialah prinsip fundamental yang meyakini
tujuan akhir dan pandangan besar yang akan dicapai. Ideologi operatif adalah prinsip-prinsip
yang secara aktual mendasari kebijakan yang dimaksudkan sebagai pembenaran.
Ideologi dalam pengertian ini dipakai terutama oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi
sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren.
Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat atas dasar ide palsu atau kesadaran palsu
yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat
kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan
menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Karena kelompok yang
dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang
disebarkan ke dalam masyarakat, akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu
tampak natural dan diterima sebagai kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan lewat berbagai
instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa. Jadi, Ideologi di sini bekerja dengan
membuat hubungan-hubungan sosial tampak nyata, wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar kita
menerima sebagai kebenaran.
Ketiga, ideologi merupakan proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Menurut Thawaites dalam
Introducing Cultural and Media Studies (2002: 234), ideologi merupakan makna publik yang
diproduksi serta bersikulasi dalam kehidupan sehari-hari dan proses sistem pertandaannya.
Dalam kaitannya dengan bahasa dan media, ideologi didefinisikan sebagai proses
produksi makna dan ide. Ideologi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
produksi makna dalam teks-teks media. Dari sini, diketahui bahwa ideologi bekerja dalam
memproduksi makna dan dapat dilihat, misalnya dalam teks iklan Coca Cola,
bagaimana dikisahkan aktivitas keseharian seorang pegawai perusahaan produk minuman Coco
42

Cola yang tidak hanya mengantarkan minuman Coca Cola dengan truk besartetapi juga
mengantarkan kegembiraan (melakukan kegiatan sosial): mengantarkan banyak buku ke sekolah,
membantu membuat sebuah pertandingan sepak bola, membantu orang lain membersihkan
pantai, dan mengantarkan perlengkapan olahraga seperti racket ke sekolah.
Dari sudut pandang semiotika, ideologi merupakan sistem referen (sesuatu yang
dirujuk). The systems which provide ads with this basic meaning material are that I call
referent systems. They are clearly ideological system (Williamson, 1978: 19). Jadi, proses
konstruksi makna (pemaknaan) yaitu relasi penanda dan petanda merupakan cara kerja
ideologi sebagai sistem referen.
The referent is the entity to which a word refers or which it stands for in the outside world,
or in extra-linguistic reality. The referent can be an object, a quality, actions or real events.
The referent of the word 'cow' is the animal, cow. (Martin & Ringham, Dictionary of
Semiotics, 2000: 109)

Saussure mengatakan bahwa pada kata E-Q-U-O-S (kuda), sebagai penanda, dengan
konsep kuda sebagai hal yang ditandai, referen kata tersebut adalah dalam dunia nyata seokor
binatang berkaki empat yang dapat menendang dan dalam dunia imaginer adalah gambaran
mental di kepala kita tentang binatang berkaki empat (Saussure, 1967: 97).
Kita dapat memberikan contoh konsep seks, sesuatu yang ada di dalam dunia sebagai
realitas yang bersifat biologis dan emosional. Seks disebut sebagai referen, karena menjadi
yang ingin kita rujuk dengan cara tertentu ketika referen menampilkan dirinya ke dalam
kesadaran kita melalui indra, emosi dan kecerdasan. Konsep seks sebagai referen dapat
direpresentasikan dalam bentuk-bentuk: 1. Gambar laki-laki dan perempuan sebagai perbedaan
jenis kelamin; 2. Ikon laki-laki dan perempuan untuk membedakan kamar mandi (toilet); 3.
Tulisan feminim dan maskulin sebagai penanda produk parfum laki-laki dan perempuan; 4.
Gambar dua orang (laki-laki dan perempuan) yang berciuman dengan sagat mesra yang
dipasang pada bagian belakang mobil truk. Pemaknaan seks yang direpresentasikan
sebagaimana hal tersebut di atas membentuk suatu penanda, sesuatu yang memiliki bentuk
fisik tertentu, dan pelbagai makna yang ditangkap semua hal ini membentuk yag disebut
petanda.
Dalam pandangan semiologi Barthes, ideologi merupakan sistem penandaan tataran
kedua, dengan mengambil petanda (konsep) sebagai referen pada sistem penandaan tataran
pertama. Dalam skema sistem mitos Barthes, petanda sebagai referen pada tataran pertama
menjadi penanda pada sistem kedua yang kemudian pada tataran ini menghasilkan petanda
baru sebagai operasional ideologi sistem mitos.
1. Penand 2. Petanda
Tataran Pertama a (referen)
1. Tanda (Konsep/deologi) II. Petand
(Konotasi)
Tataran Kedua I. Penanda naturalisasi a
(Denotasi - Mitos) III. Tanda (Signifikasi) Konsep baru
43

Dalam satu dari kumpulan tulisan Barthes (2010: 172) dijelaskan bahwa mitos sebagai
tipe tuturan (cerita) yang dapat ditemukan dalam berbagai media seperti iklan, merupakan
suatu cerminan terbalik dengan membalik sesuatu yang cultural menjadi alamiah. Sebagai
pembaca (membedah) mitos, melalui kajian semiologi mitos tersebut dapat dikembalikkan
dengan cara memilah pesan yang dikandungnya ke dalam dua sistem penandaan, yaitu sistem
konotasi yang petanda-petandanya bersifat ideologis, dan sistem denotasi yang berfungsi
menaturalisasikan atau melumrahkan suatu tanda menjadi hal yang wajar (alamiah). Dengan
demikian, ideologi sebagai petanda merupakan sistem referen dengan tujuan untuk
menaturalisasikan suatu pemaknaan (tanda) menjadi hal yang wajar (denotasi). Pada dasarnya
tujuan konstruksi mitos oleh media seperti iklan adalah bagaimana suatu konsep yang
dikonstruksi yang diletarbelangi suatu kepentingan ideologi diterima sebagai makna denotasi
(makna yang bersifat universal atau wajar).
44

Pertemuan ke 10 dan 11
Budaya Media
Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas teori-teori budaya media dalam pengkajian
budya dan media.
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan teori-teori budaya media dan
mengaplikasannya ke analisis teks media.

Budaya adalah bentuk praktek sosial dimana pemaknaan terproduksi, tersikulasi dan
terganti. Budaya adalah aspek sosial yang berkaitan dengan pemaknaan. Budaya dalam society,
bersanding dengan aspek sosial lainnya seperti aspek ekonomi, pendidikan, hukum, pemerintah
dan lainnya. Masyarakat yang hidup tanpa aspek ekonomi bisa disebut dengan kemiskinan atau
jika masyarakat itu hidup tanpa aspek pendidikan disebut masyarakat yang akrab dengan
kebodohan, tapi membayangkan sebuah masyarakat tanpa budaya adalahsesuatu yang mustahil.
Hakekat manusia selalu melakukan pemaknaan menjadikan budaya sebagai dasar kehidupan
masyarakat bahkan menyentuh aspek sosial lainnya. Praktik pemaknaan juga berlangsung di
setiap aspek kehidupan sosial masyarakat, oleh karena itu ada istilah budaya ekonomi atau
budaya hukum.
Media adalah alat komunikasi massa yang terbagi ke dalam dua bagian besar yaitu media
cetak (statis) dan media audio-visual (dinamis). Yang termasuk ke dalam kelompok media statis
adalah bahan-bahan cetak (print) seperti buku, poster, selebaran dan sebagainya. Sedangkan
media audio-visual yang bersifatdinamis dilengkapi dengan teknologi canggih, seperti televisi
dan film. Namun media audio-visual tidak selalu harus berteknologi seperti teater, sirkus, tari-
tarian, wayang dan sebagainya. Budaya tersajikan lewat Budaya Media.
Budaya media bisa ditemukan dalam bentuk images, suara dan tontonan yang
memproduksi struktur kehidupan sehari-hari, mendominasi waktu luang seseorang, membentuk
pandangan politik dan prilaku sosial juga menyediakan material bagi bahan pembentukan
identitas. Budaya media merupakan sarana konstruksi seseorang akan kesadaran kelas,etnik, ras,
kebangsaan seksuality juga istilah kita dan mereka. Budaya mediaadalah industri kebudayaan,
diorganisasikan dalam model produksi massa yang digolongkan kepada type-type atau genre,
dengan formula, kode-kode dan aturantertentu (Kellner, 2003:1). Budaya media terkandung
dalam film, tiap tontonan yang disajikan tv nasional maupun tv berbayar internasional, radio,
musik juga bentuk-bentuk budaya media lainnya.
Budaya Media merupakan medan berlangsungnya kontes reproduksiideologi atau hanya
sekedar makna dan penanamannya kepada khalayak, jadi bukan hanya sebuah instrumen
dominasi (Kellner, 2003:102). Yang inginditemukan pada pengkajian kritis akan sebuah budaya
media adalah ideologi yangtertanam di dalamnya dengan melihat konteks sosial masyarakat yang
luas danterbagi atas kekuatan-kekuatan tertentu. Ada kelompok dominan yang selalu berhasil
menggiring opini karena mereka mayoritas dan memiliki sumber daya, juga kelompok lainnya
yang berjuang dengan ideologi mereka termasuk kelompok resistensi yang mencoba melawan
kekuatan dominasi.
45

Salah satu pengertian budaya media adalah suatu kondisi proses kebudayaan di mana
dialektika dari berbagai unsur budaya dalam membentuk sosok mapan sementara dari suatu
kebudayaan melibatkan banyak interaksi media. Artinya : Kebudayaan tidaklah merupakan
produk akhir yang mantap selama-lamanya. Ia senantiasa dibentuk dalam kondisi tesis-
antitesis antara berbagai unsur budaya.
Dalam masyarakat tradisional (dengan penyangga ekonomi pertanian) istilah budaya
media punya arti tersendiri. Masyarakat etnik dengan latar pertanian tradisi pada
perkembangan dialektiknya mencapai sosok budaya (sistem pertanian, kekerabatan,sistem
budaya) melalui wahana media yang erat dengan ritual/upacara. Upacara-upacara tersebut
mempunyai makna yang khas sebagai media karena berfungsi menyampaikan informasi.
Budaya media bisa ditemukan dalam bentuk images, suara dan tontonan yang memproduksi
struktur kehidupan sehari hari, mendominasi waktu luang seseorang, membentuk pandangan
politik dan prilaku sosial juga menyediakan material bagi bahan pembentukan identitas. Budaya
media merupakan sarana konstruksi seseorang akan kesadaran kelas,etnik, ras, kebangsaan
seksuality juga istilah kita dan mereka. Budaya mediaadalah industri kebudayaan,
diorganisasikan dalam model produksi massa yang digolongkan kepada type-type atau genre,
dengan formula, kode-kode dan aturantertentu (Kellner, 2003:1). Budaya media terkandung
dalam film, tiap tontonan yang disajikan tv nasional maupun tv berbayar internasional, radio,
musik juga bentuk-bentuk budaya media lainnya.
Budaya Media merupakan medan berlangsungnya kontes reproduksiideologi atau hanya
sekedar makna dan penanamannya kepada khalayak, jadi bukan hanya sebuah instrumen
dominasi (Kellner, 2003:102). Yang inginditemukan pada pengkajian kritis akan sebuah budaya
media adalah ideologi yangtertanam di dalamnya dengan melihat konteks sosial masyarakat yang
luas danterbagi atas kekuatan-kekuatan tertentu. Ada kelompok dominan yang selalu berhasil
menggiring opini karena mereka mayoritas dan memiliki sumber daya, juga kelompok lainnya
yang berjuang dengan ideologi mereka termasuk kelompok resistensi yang mencoba melawan
kekuatan dominasi.
Budaya Rakyat (Folklore)
Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman
sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, setiap
daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan
folklornya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklore. Folklor
ialah kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk
lisan maupun gerak isyarat.Dapat juga diartikan Folklor adalah adat-istiadat tradisonal dan cerita
rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, dan tidak dibukukan merupakan kebudayaan
kolektif yang tersebar dan diwariskan turun menurun.
Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut merupakan
kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes
kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan
sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara
46

lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama
yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi,
yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang
telah mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka
memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari
folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan
demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan
secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat
atau alat pembantu pengingat.
Ciri-ciri folklore
Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan lainnya, harus diketahui ciri-ciri
utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
(a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari
mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
(b) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
(c) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan
sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan.
(d) Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya.
(e) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut sahibil
hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan
kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari).
(f) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat
pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam.
(g) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
(h) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.
(i) Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau terlalu
sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia yang
jujur.

Jenis-jenis Folklor
Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, membagi folklor ke dalam tiga
kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
a. Folklor Lisan
Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai berikut:
(1) bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis;
(2) ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;
(3) pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
(4) sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;
47

(5) cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite
(myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat,
Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari
dari Bali;
(6) nyanyian rakyat, seperti Jali-Jali dari Betawi.

Folklor sebagian Lisan


Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut:
(1) kepercayaan dan takhayul;
(2) permainan dan hiburan rakyat setempat;
(3) teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
(4) tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;
(5) adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
(6) upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;
(7) pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.

Folklor Bukan Lisan


Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:
(1) arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di
Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;
(2) seni kerajinan tangan tradisional,
(3) pakaian tradisional;
(4) obat-obatan rakyat;
(5) alat-alat musik tradisional;
(6) peralatan dan senjata yang khas tradisional;
(7) makanan dan minuman khas daerah.
Fungsi Folklor
Adapun fungsi folklor, yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.
b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
c. Sebagai alat pendidik anak.
d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi
anggota kolektifnya.
Sebagaimana telah dikemukakan, manusia praaksara telah memiliki kesadaran sejarah. Salah
satu cara kita untuk melacak bagaimana kesadaran sejarah yang mereka miliki ialah dengan
melihat bentuk folklor.
Bentuk folklor yang berkaitan dengan kesadaran sejarah adalah cerita prosa rakyat. Termasuk
prosa rakyat antara lain mite atau mitologi dan legenda.
48

Budaya Elite
Pengertian kebudayaan elite menyangkut pengetahuan, model-model, skema-skema, pola pikir
(kognisi), blueprint, dan nilai-nilai yang membentuk perilaku manusia dalam suatu masyarakat/
komunitas.
Budaya Populer (Popular Culture)
Istilah budaya pop (popular culture) dalam bahasa sepanyol dan portugis secara harfiah
berarti kebudayaan dari rakyat (de la gente , del pueblo ; da gente , de povo ). Pop , dalam
pengertian ini , tidak berarti tersebar luas , arus utama , dominan atau secara komersial sukses.
Dalam bahasa dan kebudayaan Latin kata ini lebih banyak mengacu pada ide bahwa kebudayaan
berkembang dari kreatifitas orang kebanyakan. Budaya pop berasal dari rakyat ; budaya pop
bukan diberikan kepada mereka. Perspektif ini menjebol pembedaan antara produsen dan
konsumen artifak budaya , antara industri kebudayaan dan konteks penerimaan . Kita semua
memproduksi budaya pop . Membangun kebudayaan pop merupakan pelaksanaan kekuasaan
budaya .
Hubungan antar budaya pop dan kekuasaan budaya ketika dia membahas bagaimana
artifak-artifak yang mencakup mulai dari blue jeans hingga Madonna diintrepatisikan bermacam-
macam dan digunakan secara taktis oleh para pencintanya lewat cara-cara yang sesuai dengan
kepentingan mereka. Tetapi Fiske membawa masalah ini satu langkah lebih lanjut yang
kontroversial. Dia berargumen bahwa budaya pop tak pernah dominan karena budaya pop
selalu terbentuk dalam hubungan dengan dan tak pernah sebagai bagian dari-kekuatan-kekuatan
yang mendominasi.
Proses membuat budaya, merupakan perjuangan kelas. Bertentangan dengan kritik yang
sering diajukan orang bahwa budaya pop tak lain dari eksoploitasi komersial yang kapitalistik
atau budaya massa, Fiske berpendapat bahwa pop tercipta sebagai hasil perlawanan terhadap
dan pengelakan dari kekuatan-kekuatan ideologis dan budaya dominan. kesenangan
kesenangan pop pasti selalu merupakan kesenangan-kesenangan kaum tertindas; kesenangan-
kesenangan itu pasti mengandung unsur-unsur oposisi, mengelak, skandal, menghina, vulgar,
dan menentang. Kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh konfromitas ideologis sifatnya
patuh dan hegemonis; dan jelas bukanlah kesenangan pop dan bertentangan dengannya
(hlm.127)
Budaya populer merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi pupularitas
dan kedangkalan makna atau nilai-nilai. Menurut Ray B. Brownie budaya populer adalah budaya
yang ada di dunia ini, disekeliling mita yang meliputi sikap kita, perilaku, tindakan, makanan,
pakaian, bangunan, jalan perjalanan, hiburan, olah raga, politik, aktivitas serta bentuk dan cara
mengontrolnya. Misalnya HP, jaringan sosial dan lain-lain.
Budaya ini lahir karena adanya hemegoni media masa dalam ruang-ruang budaya publik.
Budaya populer berkembang diluar control budaya tinggi. Ide-ide budaya populer lahir dari
segala budaya baik budaya rendah ataupun budaya tinggi.
Jadi, budaya pop memberdayakan. Media massa menyumbang pada proses itu dengan
mendistribusikan sumber-sumber budaya kepada individu yang tertindas dan kelompok-
49

kelompok bawah untuk kemudian oleh mereka demi mengembangkan taktik-taktik perlawanan
terhadap strategi-strategi pengepungan hegemonial. Salah satu contoh paling tajam mengenai hal
ini yang dikemukakan Fiske adalah bagaimana orang-orang muda pribumi Australia (aborigin)
yang menonton film-film koboi TV Amerika bersimpati pada orang-orang Indian dan
menyemangati mereka ketika mereka menyerang kereta wagon atau rumah, dan membunuh
orang-orang lelaki putih membawa lari perempuan-perempuan kulit putih (hlm. 25)
Kelahiran Budaya Populer
Budaya populer (sering juga dikenal sebagai budaya pop) merupakan kumpulan gagasan-
gagasan, perspektif-perspektif, sikap-sikap, dan fenomena-fenomena lain yang dianggap sebagai
sebuah kesepakatan atau konsensus informal dalam sebuah kebudayaan arus utama pada akhir
abad kedua puluh hingga abad kedua puluh satu. Budaya popuper ini banyak dipengaruhi oleh
media massa dan ia mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari. Istilah budaya populer
sendiri berasal dari abad ke sembilan belas, yang penggunaan awalnya merujuk kepada
pendidikan dan kebudayaan dari kelas-kelas masyarakat yang lebih rendah. Istilah tersebut
kemudian mengandung arti sebuah kebudayaan dari kelas-kelas masyarakat yang lebih rendah,
yang berbeda dari dan bertentangan dengan pendidikan yang sebenarnya yang ada pada akhir
abad tersebut. Makna istilah tersebut saat ini, yaitu budaya konsumsi massa, secara khusus
berasal dari Amerika Serikat, yang muncul pada akhir perang dunia kedua. Sedangkan istilah
yang lebih singkat pop culture muncul pada tahun 1960-an. Istilah ini juga sering disebut
sebagai budaya massa dan sering dikontraskan dengan budaya tinggi (misalnya, musik klasik,
lukisan bermutu, novel sastra, dan yang sejenis lainnya).
Budaya populer atau budaya massa berkembang, terutama sejak dasawarsa 1920-an dan
1930-an, bisa dipandang sebagai salah satu sumber historis dari tema-tema maupun perspektif-
perspektif yang berkenaan dengan budaya populer. Perkembangan ini ditandai dengan
munculnya sinema dan radio, produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme
dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara Barat. Budaya populer pertama kali
dipersoalkan oleh Mazhab Frankfurt. Mazhab ini didirikan pada tahun 1923. Para pendirinya
pada umumnya merupakan para intelektual Yahudi, bangsa Jerman sayap kiri yang berasal dari
kelas atas dan menengah masyarakat Jerman. Fungsi mazhab ini adalah untuk pengembangan
teori dan penelitian kritis. Kegiatan ini melibatkan karya intelektual yang bertujuan
mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi sosial yang melatarbelakangi lahirnya masyarakat
kapitalis pada masa itu maupun kerangka-kerangka ideologis umum untuk membangun sebuah
kritik teoritis terhadap kapitalisme modern. Dari sekian banyak kaum intelektual menonjol yang
kadang-kadang dikaitkan dengan mazhab tersebut, di antaranya yang paling penting adalah
Adorno (1903-1970), Horkheimer (1895-1973) dan Marcuse. Budaya populer diangkat menjadi
persoalan dalam mazhab ini karena budaya populer bertentangan dengan semangat pencerahan,
misalnya: individu melebur dalam massa, dan rasionalitas dalam kenikmatan. Mazhab ini
melihat massa sebagai yang dibuat bodoh oleh industri budaya kapitalis.
Karakteristik Budaya Populer
a. Relativisme
50

Budaya populer merelatifkan segala sesuatu sehingga tidak ada yang mutlak benar maupun
mutlak salah, termasuk juga tidak ada batasan apapun yang mutlak, misalnya: batasan antara
budaya tinggi dan budaya rendah (tidak ada standar mutlak dalam bidang seni dan moralitas.).
b. Pragmatisme
Budaya populer menerima apa saja yang bermanfaat tanpa memperdulikan benar atau salah hal
yang diterima tersebut. Semua hal diukur dari hasilnya atau manfaatnya, bukan dari benar atau
salahnya. Hal ini sesuai dengan dampak budaya populer yang mendorong orang-orang untuk
malas berpikir kritis sebagai akibat dari dampak budaya hiburan yang ditawarkannya. Kita dapat
melihat kecenderungan ini dari semakin banyaknya diterbitkan buku-buku yang bersifat
pragmatis praktis (buku-buku mengenai how to atau buku-buku self-help) atau majalah-majalah
yang berisi tips-tips praktis mengenai berbagai hal praktis.
c. Sekulerisme
Budaya populer mendorong penyebarluasan sekularisme sehingga agama tidak lagi begitu
dipentingkan karena agama tidak relevan dan tidak menjawab kebutuhan hidup manusia pada
masa ini. Hal yang terutama adalah hidup hanya untuk saat ini (here and now), tanpa harus
memikirkan masa lalu dan masa depan.
d. Hedonisme
Budaya populer lebih banyak berfokus kepada emosi dan pemuasannya daripada intelek. Yang
harus menjadi tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup, sehingga
memuaskan segala keinginan hati dan hawa nafsu. Hal seperti ini menyebabkan munculnya
budaya hasrat yang mengikis budaya malu. Para artis dengan mudah mempertontonkan auratnya
sebagai bahan tontonan. Seks yang kudus dan hanya boleh dilakukan dalam konteks pernikahan
dipertontonkan secara murahan dalam film-film dengan tujuan untuk menghibur. Bahkan bisnis
yang berbau pornografi merupakan sebuah bisnis yang mendapatkan penghasilan yang besar.
Diperkirakan sekitar 12, 7 milyar dolar Amerika dihasilkan oleh industri hiburan dewasa yang
berbau pornografi (termasuk di dalamnya majalah playboy, penthouse, mainan seks (sex toy),
dan industri pornografi di internet). Banyak industri yang menjadikan seks sebagai obat mujarab
bagi sukses industri mereka, misalnya: majalah bisnis atau majalah popular yang gambar
sampulnya adalah wanita telanjang, sebuah pameran mobil mewah yang pemandunya adalah
seorang promo-girl yang seksi, sebuah iklan kopi yang presenternya seorang model-girl yang
aduhai. Hal-hal ini merupakan salah satu strategi visual yang sering digunakan untuk
memberikan provokasi dan efek-efek psikologis yang instan, yang biasanya berkaitan dengan
gejolak hasrat dan libido.
e. Materialisme
Budaya populer semakin mendorong paham materialisme yang sudah banyak dipegang oleh
orang-orang modern sehingga manusia semakin memuja kekayaan materi, dan segala sesuatu
diukur berdasarkan hal itu. Budaya populer atau budaya McWorld sebenarnya menawarkan
budaya pemujaan uang, hal ini dapat kita lihat dengan larisnya buku-buku self-help yang
membahas mengenai bagaimana menjadi orang sukses dan kaya.
51

f. Popularitas
Budaya populer mempengaruhi banyak orang dari setiap sub-budaya, tanpa dibatasi latar
belakang etnik, keagamaan, status sosial, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Budaya
populer mempengaruhi hampir semua orang, khususnya orang-orang muda dan remaja, hampir
di semua bagian dunia, khususnya di negara-negara yang berkembang dan negara-negara maju.
g. Kontemporer
Budaya populer merupakan sebuah kebudayaan yang menawarkan nilai-nilai yang bersifat
sementara, kontemporer, tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai tuntutan pasar dan
arus zaman). Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu pop yang beredar, termasuk lagu-lagu pop
rohani yang terus berubah dan berganti.
h. Kedangkalan
Kedangkalan (disebut juga banalisme) ini dapat dilihat misalnya dengan muncul dan
berkembangnya teknologi memberikan kemudahan hidup, tetapi manusia menjadi kehilangan
makna hidup (karena kemudahan tersebut), pertemanan dalam Friendster maupun Facebook
adalah pertemanan yang semu dan hanya sebatas ngobrol (chatting), tanpa dapat menangis dan
berjuang bersama sebagaimana layaknya seorang sahabat yang sesungguhnya. Kedangkalan atau
banalisme ini juga terlihat dari semakin banyak orang yang tidak mau berpikir, merenung,
berefleksi, dan bersikap kritis. Sifat-sifat seperti keseriusan, autentisitas, realisme, kedalaman
intelektual, dan narasi yang kuat cenderung diabaikan. Hal ini menimbulkan kecenderungan
bahan atau budaya yang buruk akan menyingkirkan bahan atau budaya yang baik, karena lebih
mudah dipahami dan dinikmati. Akan muncul generasi yang tidak mau pakai otak secara
maksimal.
Kedangkalan juga dapat dilihat dalam seni, misalnya: koor gereja yang suci yang dulu
hanya diperdengarkan di katedral-katedral, sekarang dapat disimpan di dalam bentuk pita
rekaman yang dibunyikan kembali di kamar tidur sebagai lagu pengantar tidur. Demikian juga
lukisan unik yang dahulu direnungkan secara khimat dan devosional sekarang dapat diperbanyak
secara mekanis menjadi foto-foto yang dapat digantung di dinding mana pun. Kita dapat melihat
contoh-contoh lainnya seperti koran yang dulu penuh dengan berita luar negeri dan dunia,
sekarang banyak diisi dengan gosip-gosip mengenai selebritis, mengenai tren pakaian wanita
muda, dapat hal-hal dangkal lainnya. Televisi juga telah menggantikan drama-drama dan film-
film yang berkualitas tinggi dengan acara masak-memasak, opera sabun dan program-program
gaya hidup yang lain.
i. Hibrid
Sesuai dengan tujuan teknologi, yaitu mempermudah hidup, muncullah sifat hibrid, yang
memadukan semua kemudahan yang ada dalam sebuah produk, misalnya: telepon seluler yang
sekaligus berfungsi sebagai media internet, alarm, jam, kalkulator, video, dan kamera; demikian
juga ada restoran yang sekaligus menjadi tempat baca dan perpustakaan bahkan outlet pakaian.
j. Penyeragaman Rasa
Hampir di setiap tempat di seluruh penjuru dunia, monokultur Amerika terlihat semakin
mendominasi. Budaya tunggal semakin berkembang, keragaman bergeser ke keseragaman.
52

Penyeragaman rasa ini baik mencakup konsumsi barang-barang fiskal, non-fiskal sampai dengan
ilmu pengetahuan. Keseragaman ini dapat dilihat dari contoh seperti: makanan cepat saji (fast
food), minuman ringan (soft drink), dan celana jeans yang dapat ditemukan di negera manapun.
Keseragaman ini juga dapat dilihat dari hilangnya oleh-oleh khas dari suatu daerah, misalnya:
empek-empek Palembang dapat ditemukan di daerah lain selain Palembang seperti Jakarta,
Medan dan Lampung.
j. Budaya Hiburan
Budaya hiburan merupakan ciri yang utama dari budaya populer di mana segala sesuatu harus
bersifat menghibur. Pendidikan harus menghibur supaya tidak membosankan, maka muncullah
edutainment. Olah raga harus menghibur, maka muncullah sportainment. Informasi dan berita
juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan muncul juga religiotainment,
agama sebagai sebuah hiburan, akibat perkawinan agama dan budaya populer. Hal ini dapat
dilihat sangat jelas khususnya ketika mendekati hari-hari raya keagamaan tertentu. Bahkan
kotbah dan ibadah harus menghibur jemaat supaya jemaat merasa betah. Bisnis hiburan
merupakan bisnis yang menjanjikan pada masa seperti saat ini. Hal ini dapat dilihat dari contoh
taman hiburan Disney di seluruh dunia yang memperoleh pendapatan 3,3 milyar dolar AS,
sementara pendapatan Disney per tahun adalah 7,5 milyat dolar AS, dengan pendapatan dari film
3,1 milyar dolar AS dan produk-produk konsumennya (dihubungkan dengan taman hiburan dan
film) memperoleh pendapatan 1,1 milyar dolar AS.

Budaya Konsumerisme
Budaya populer juga berkaitan erat dengan budaya konsumerisme, yaitu sebuah
masyarakat yang senantiasa merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus, sebuah
masyarakat konsumtif dan konsumeris, yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan, namun
keinginan, bahkan gengsi. Semua yang kita miliki hanya membuat kita semakin banyak
membutuhkan, dan semakin banyak yang kita miliki semakin banyak kebutuhan kita untuk
melindungi apa yang sudah kita miliki. Misalnya, komputer membutuhkan perangkat lunak,
yang membutuhkan kapasitas memori yang lebih besar, yang membutuhkan flash disk dan
hal-hal lain yang tidak berhenti berkembang. Ketika kita sudah memiliki memori yang besar, kita
ingin memori yang lebih besar lagi supaya komputer kita dapat bekerja lebih cepat. Barang-
barang tersebut memperbudak manusia sepanjang hidupnya agar mampu mendapatkannya.
Kemudian ada saatnya seseorang mengeluh kalau dia tidak lagi dapat menikmati miliknya
yang dirasakannya malah memilikinya dan tidak lagi terasa sebagai miliknya. Industri budaya
massa bersentuhan dengan kesalahan dan bukan dengan kebenaran, dengan kebutuhan-
kebutuhan dan solusi-solusi palsu dan bukan dengan kebutuhan-kebutuhan dan solusi-solusi riil.
Bahkan kedangkalan yang disebabkan budaya populer dan budaya massa membuat kita tidak
dapat membedakan dengan jelas manakah kebutuhan semu dan kebutuhan asli. Misalnya: apakah
mesin cuci merupakan kebutuhan semu atau kebutuhan asli?
53

Hal tersebut juga disebabkan oleh iklan yang semakin berkembang di zaman ini dengan
tujuan menciptakan rasa ingin (want), walaupun sesuatu yang diiklankan itu mungkin tidak
dibutuhkan (need). Misalnya: banyak orang muda yang membeli telepon seluler blackberry yang
mahal harganya hanya karena trend, bukan karena kebutuhan yang mendesak karena
pekerjaannya menuntut perlunya pemakaian telepon selular seperti itu. Hal yang serupa juga
dapat dilihat dari maraknya penggunaan facebook di kalangan remaja dan orang muda saat ini.
Sebuah benda juga dibeli bukan lagi karena kegunaannya tetapi karena trend, bahkan gengsi
(membelikan status sosial dan bahkan rasa penerimaan diantara teman-teman yang juga memakai
benda yang sama). Maka semakin banyak iklan produk sebuah barang yang memakai ikon artis
atau bintang terkenal, bukan penjelasan deskriptif persuasif mengenai kegunaan barang itu.
Thorstein Veblen, seorang sosiolog Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Theory of
Leisure Class (terbit pertama kali pada 1899), mengidentifikasi kelas borjuis baru yang punya
banyak waktu luang di Amerika. Mereka menggunakan konsumsi untuk mendefinisikan diri dan
status mereka. Alih-alih menggunakan cara-cara tradisional untuk mengartikulasikan status
misalnya dengan kerja dan jabatan,mereka mengartikulasikan status melalui apa yang disebut
Veblen sebagai konsumsi yang menyolok mata. Identitas individu diberikan oleh produk-
produk bermerek dan bergantung kepada apa yang dipakai, sehingga manusia menjadi hamba
materi.
Konsumerisme muncul pada akhir 1950-an dan awal 1960-an momen konsumsi
massa hakikat konsumsi berubah secara mendasar. Pada periode ini, untuk pertama kali
terdapat kemakmuran relatif yang memadai bagi para pekerja untuk mengkonsumsi berdasarkan
keinginan, bukan berdasarkan kebutuhan, misalnya: membeli beberapa mobil,dan liburan ke luar
negeri. Selain itu, periode ini menandai munculnya para pekerja yang menggunakan pola-pola
konsumsi untuk mengartikulasikan rasa identitas. Konsumerisme ini menawarkan janji bahwa
konsumsi adalah jawaban bagi semua problem kita; konsumsi akan membuat kita utuh lagi;
konsumsi akan membuat kita penuh kembali; konsumsi akan membuat kita lengkap lagi;
konsumsi akan mengembalikan kita pada kondisi imajiner yang diliputi kebahagiaan.
Maka berbelanja sudah menjadi sebuah gaya hidup dan budaya populer. Di Inggris dan
Amerika, selain menonton televisi, berbelanja merupakan aktivitas pengisi waktu luang yang
paling populer. Maka pada zaman ini menjamur banyak mal-mal, restoran, bioskop, persewaan
atau penjualan video (VCD, DVD, dll), tempat makan cepat saji, tempat-tempat hiburan, butik,
dan sebagainya. Walaupun gaya hidup berbelanja ini bagi beberapa orang muda berarti
berkumpul di pusat perbelanjaan lokal tanpa membeli apa yang sedang dijual, melainkan hanya
menggunakan ruang publik mal, hanya untuk melihat-lihat atau dilihat-lihat. Di sisi lain, para
produksen juga berusaha menciptakan barang yang semakin canggih (makin cepat, makin keren,
dll), misalnya komputer yang semakin canggih, sehingga konsumer semakin merasa komputer
yang dimilikinya semakin lambat dan ketinggalan zaman, dan ingin membeli yang baru. Hal
tersebut mendorong para produsen melihat semua manusia sebagai alat untuk mencapai sasaran
mereka. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua dijadikan objek produk atau konsumen.
Hal ini dapat dilihat dalam contoh boneka Barbie. Mary Roger mengatakan bahwa boneka
54

Barbie merupakan model busana remaja dan lambang fenomena konsumerisasi anak-anak,
sebuah proses transformasi anak-anak menjadi konsumen.
Ideologi konsumerisme, yaitu sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan
pada apa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan, telah merasuki anak-anak
hingga orang dewasa. Mungkin inilah satu satu penyebab mengapa tidak banyak inovasi atau
penemuan dalam zaman ini seperti penemuan-penemuan pada zaman sebelumnya (misalnya:
pesawat, komputer, mobil, radio, dan televisi.), yaitu karena mentalitas memakai, bukan
menghasilkan. J. I. Packer mengatakan bahwa masyarakat zaman sekarang merupakan
masyarakat yang lebih suka mempraktekan dan mempromosikan belanja daripada menabung,
kesenangan diri daripada pengembangan diri, dan kesenangan diatas segalanya.
Budaya Instan
Segala sesuatu yang bersifat instan bermunculan, misalnya: mie instan, kopi instan,
makanan cepat saji, sampai pendeta instan dan gelar sarjana theologis instan. Budaya ini juga
dapat dilihat dari semakin banyak orang ingin menjadi kaya dan terkenal secara instan, sehingga
banyak orang berlomba-lomba menjadi artis, dengan mengikuti audisi berbagai tawaran seperti
Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan Kontes Dangdut Indonesia (KDI).
Budaya Massa
Karena pengaruh budaya populer, individu melebur ke dalam massa, rasionalitas melebur
ke dalam kenikmatan. Hal ini disebabkan karena segala cara dipakai oleh para produsen untuk
mencari pasar baru, mengembangkan pasar yang ada atau paling tidak mempertahankan pasar
yang sudah ada sejauh memberikan keuntungan dan memasarkan produk mereka semaksimal
mungkin. Sifat kapitalisme ini membawa masyarakat menjadi massa, artinya masyarakat dilebur
dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu massif konsumsi. Maka muncullah berbagai produk
yang diproduksi secara massa yang sering mengabaikan kualitas produknya.
Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial
produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen massa.
Budaya massa ini berkembang sebagai akibat dari kemudahan-kemudahan reproduksi yang
diberikan oleh teknologi seperti percetakan, fotografi, perekaman suara, dan sebagainya.
Akibatnya musik dan seni tidak lagi menjadi objek pengalaman estetis, melainkan menjadi
barang dagangan yang wataknya ditentukan oleh kebutuhan pasar.
Budaya Visual
Budaya populer juga erat berkaitan dengan budaya visual yang juga sering disebut
sebagai budaya gambar atau budaya figural. Oleh sebab itu, pada zaman sekarang kita melihat
orang tidak begitu suka membaca seperti pada zaman modern (budaya diskursif/kata). Pada
zaman sekarang orang lebih suka melihat gambar, itulah sebabnya industri film, animasi dan
kartun serta komik berkembang pesat pada zaman ini.
Budaya Ikon
Budaya ikon erat kaitannya dengan budaya visual. Muncul banyak ikon budaya yang
berupa manusia sebagai Madonna, Elvis Presley, Marlyn Monroe, Michael Jackson, dan
sebagainya; maupun yang berupa artefak seperti Patung Liberty, Menara Eiffel, dan sebagainya,
55

termasuk juga ikon merek seperti Christian Dior, Gucci, Rolex, Blackberry, Apple, Ferrari,
Mercedes, dan sebagainya.
Budaya Gaya
Budaya visual juga telah menghasilkan budaya gaya, di mana tampilan atau gaya lebih
dipentingkan daripada esensi, substansi, dan makna. Maka muncul istilah Aku bergaya maka
aku ada. Maka pada budaya ini, penampilan (packaging) seseorang atau sebuah barang
(branding) sangat dipentingkan.
Hiperealitas
Hiperealitas (hyper-reality) atau realitas yang semu (virtual reality), telah menghapuskan
perbedaan antara yang nyata dan yang semu/imajiner, bahkan menggantikan realitas yang asli.
Hiperealitas menjadi sebuah kondisi baru di mana ketegangan lama antara realitas dan ilusi,
antara realitas sebagaimana adanya dan realitas sebagaimana seharusnya menjadi hilang.
Menjadi hiper berarti menjadi cair, bukan melampaui atau memisahkan, opisi lama. Ketika garis
batas antara yang nyata dan yang imajiner terkikis, realitas tidak lagi diperiksa, untuk
membenarkan dirinya sendiri. Realitas ini lebih nyata daripada yang nyata karena telah
menjadi satu-satunya eksistensi. Realitas semu ini dapat dilihat pada permainan tomagochi atau
hewan peliharaan semu (virtual pet), penggunaan stimulator (untuk permainan, untuk latihan
mengemudikan pesawat dan mobil), permainan video, dan sebagainya.
Menurut seorang kritikus media, Mark Crispin Miller, tujuan televisi adalah membuat
anda tetap menatapnya, sehingga media itu dapat bergerak mengotakkan para pemirsa, di
dalam atau di luar rumah, menggantikan realitas mereka dengan realitas televisi. Maka dunia
realitas yang semu seperti televisi, film, komik, dan yang sejenisnya akan mengimbangi, bahkan
mengambil alih dunia realitas yang nyata. Gambar-gambar komputer, TV, permainan video,
komik, dan yang sejenisnya memberikan rangsangan-rangsangan yang berpotensi dapat
menggantikan rangsangan-rangsangan nyata. Dunia yang nyata dengan segala rutinitas (misalnya
pekerjaan) terasa membosankan, sehingga manusia memerlukan dunia yang lain sebagai
pelarian. Misalnya: kita dapat melihat bahwa semakin banyak orang yang ketika hari libur tiba,
mereka pergi kepada tempat-tempat wisata atau hiburan seperti Disney Land atau Dunia Fantasi
(untuk mengurangi stress karena pekerjaan atau beban hidup dan rekreasi keluarga misalnya).
Bahkan Jenderal Schwarkopf, ahli strategi hebat dalam perang Teluk merayakan kemenangannya
dengan mengadakan pesta besar di Disney World.
56

Pertemuan ke 12 dan 13
Budaya Konsumsi (konsumerisme)

Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas teori budaya konsumsi (konsumerisme oleh
Jean Baudrillard dan penerapannya dalam teks media.
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan teori-teori budaya konsumsi dan
mengaplikasikannya ke dalam teks media.

Di jaman ini konsumsi telah menjadi basis pokok dalam tatanan sosial (Baudrillard:
1967). Obyek konsumen menata perilaku melalui suatu sign function (fungsi tanda) secara
linguistik. Iklan (advertising) telah mengambil alih tanggungjawab moral atau moralitas puritan
masyarakat dan menggantikannya dengan moralitas hedonistik yang mengacu melulu pada
kesenangan. Parahnya lagi, hedinistik itu telah dijadikan sebagai barometer dari hyper-
civilization (peradaban hiper).
Kebebasan dan kemerdekaan pun akhirnya diperoleh dari sistem komoditas: "bebas
menjadi diri-sendiri" pun lantas diterjemahkan sebagai "bebas untuk memproyeksikan keinginan
seseorang pada barang-barang industri"; bebas menikmati hidup berarti bebas menjadi orang
yang irasional. Mentalitas ini pun merasuki masyarakat, dan seolah-olah tak terhindarkan,
bahkan telah menjadi keutamaan dalam moralitas masyarakat. Maka sah-sah saja bila individu
secara simultan menyelaraskan kebutuhan dirinya dengan kelompok di sekitarnya. Manusia pun
akan menjadi mahluk sosial yang sempurna. Membeli komoditas adalah tindakan yang sudah
direkayasa sebelumnya dan terjadi pada persilangan dua sistem. Pertama, relasi individual yang
bersifat cair, tak saling berhubungan dengan individu lainnya. Kedua relasi produksi, yang
dikodifikasi, berkelanjutan dan merupakan sebuah kesatuan. Tentu saja tidak ada interaksi antara
keduanya selain integrasi yang dipaksakan dari sistem kebutuhan kepada sistem produksi. Obyek
konsumsi ialah artikulasi partikular (parole) dari seperangkat ekspresi yang kehadirannya
mendahului komoditas (langue).
Dalam sistem ini kita melihat orang yang sedang membangun menara Babel": setiap hal
berbicara dalam idiomnya sendiri hingga kehilangan syntax (kalimat) yang benar hingga satu-
sama lain bertikai dan berebut pengaruh. Tentu saja ini adalah suatu sistem klasifikasi dan bukan
suatu bahasa. Kebutuhan (needs) semacam ini diciptakan oleh obyek konsumsi: obyek bertindak
sebagai kategori obyek dengan caranya yang sangat sewenang-wenang, menentukan kategori
manusia. Pada masyarakat (konsumen) obyek menandai status sosial dan menggantikan segala
macam perbedaan hirarki sosial yang ada. Pengenalan suatu kode universal memberitahukan
kepada kita bahwa orang yang memakai jam Rolex berada pada status sosial yang tinggi dan
pemakai ponsel buatan China sebagai orang biasa-biasa saja.
Dalam sistem kapitalis hubungan manusia telah ditransformasikan dalam hubungan objek
yang dikontrol oleh kode atau tanda tertentu. Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan
konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari bayaknya tanda yang dikonsumsi.
Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau dianggap sama dengan kelompok
57

sosial tertentu. Demikianlah kode telah mengambil fungsi kontrol terhadap individu. Menurut
pandangan Baudrillard, proses konsumsi dapat diaanalisis dalam perspektif dua aspek yang
mendasar yaitu: pertama, sebagai proses signifikansi dan komunikasi yang didasarkan pada
peraturan (kode) di mana praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini
konsumsi merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa. Kedua, sebagai proses
klasifiaksi dan diferensiasi sosial di mana kali objek-objek/tanda-tanda ditahbiskan bukan hanya
sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan)
dalam sebuah hirarki. Di sini konsumsi dapat menjadi objek pembahasan strategis yang
menentukan kekuatan, khususnya dalam distribusi nilai yang sesuai aturan (melebihi
hubungannya dengan pertanda sosial lainnya: pengetahuan, kekuasaan, budaya, dan lain-lain).
Bagi Baudrillard, dunia dewasa ini tidak ada lagi adegan cermin, yang ada hanyalah layar
dan jaringan. Periode produksi dan konsumsi telah membanjiri jalanan. Manusia abad
kontemporer hidup dalam ekstasi komunikasi yang karut marut, seiring dengan lenyapnya ruang
privat. Ruang publik pun tak lagi menjadi tontonan dan ruang privat pun tak lagi menjadi
rahasia. Hapusnya perbedaan antara bagian dalam dan bagian luar, seiring dengan rancunya batas
antara ruang publik dan ruang privat. Kehidupan yang paling intim, sekarang menjadi penopang
hidup virtual media.
Masyarakat konsumsi adalah masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi,
yang menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan dengan hasrat selalu dan selalu
mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumsi pandangan bahwa barang (komoditi) tidak lebih
dari sekedar kebutuhan yang memiliki nilai tukar dan nilai guna kini pelan-pelan mulai
ditinggalkan dan diganti dari komoditas menjadi tanda dalam pengertian Saussurian. Dengan
demikian konsumsi, tidak dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna, tetapi terutama sebagai
konsumsi tanda. Dalam masyarakat konsumen hubungan menusia ditransformasikan dalam
hubungan objek yang dikontrol oleh kode. Objek adalah tanda.
Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur
dari bayaknya tanda yang dikonsumsi. Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda
atau dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu, jadi kode mengambil fungsi kontrol
terhadap individu. Menurut pandangan Baudrillard, proses konsumsi dapat diaanalisis dalam
perspektif dua aspek yang mendasar yaitu: pertama, sebagai proses signifikansi dan komunikasi,
yang didasarkan pada peraturan (kode) di mana praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil
maknanya.
Di sini konsumsi merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa. Kedua,
sebagai proses klasifiaksi dan diferensiasi sosial, di mana kali ini objek-objek/tanda-tanda
ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai
yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierarki. Di sini konsumsi dapat menjadi objek pembahasan
strategis yang menentukan kekuatan, khususnya dalam distribusi nilai yang sesuai aturan
(melebihi hubungannya dengan pertanda sosial lainnya: pengetahuan, kekuasaan, budaya, dan
lain-lain).
58

Kecenderungan masyarakat konsumsi dalam berbelanja di mal, hipermarket, dan


supermarket sering kali melampaui kebutuhan/keperluan yang semestinya. Hal tersebut dalam
konsep ekonomi merupakan akibat surplus barang-barang produksi, sehingga banyak barang-
barang yang dijual di bawah harga normal dengan sistem discount, bonus, bahkan dengan sistem
discount yang terbatas waktu (discount time) dalam beberapa menit, sehingga memicu konsumen
untuk menghabiskan uang belanja saat itu juga tanpa berpikir panjang.
Berbagai fasilitas dan kenyamanan berbelanja di mal, hipermarket dan supermarket,
masyarakat sebagai konsumen merasa dimanjakan dan sekaligus dipaksa untuk melihat berbagai
pilihan produk dari kebutuhan pokok hingga barang-barang sepele. Baudrillard menyebut
barang-barang sepele tersebut dengan istilah: gad get, kitsch, sebagai objek murahan, yaitu
pernik sederhana (cindera mata) yang merupakan objek semu, meskipun bukan objek nyata,
namun memberi prestige dan simbol status sosial yang memiliki makna tersendiri bagi
kehidupan subjek yang bersangkutan. Hal tersebut merupakan bentuk simulasi dari masyarakat
konsumsi yang dianalogkan dengan masyarakat primitif. Simulasi diartikan sebagai objek
palsu. (Baudrillard, 2009: xxx).
Ciri dari masyarakat konsumsi yang paling menonjol, yaitu bahwa arena konsumsi adalah
kehidupan sehari-hari, dalam hal ini mal, hipermarket, dan supermarket sebagai sarana konsumsi
memfasilitasi berbagai aktivitas masyarakat ikut andil dalam membentuk sikap dan perilaku
konsumen. Nuansa kemewahan dan situasi-kondisi nyaman dalam perpaduan seni (musik) dan
budaya menyebabkan konsumen merasa hanyut dalam suasana bahagia, namun sering kali dibuat
setengah tidak sadar dalam mengambil keputusan berbelanja berbagai barang produksi yang
beraneka ragam yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab mal, hipermarket, dan supermarket sebagai
sarana konsumsi, antara lain sebagai berikut. 1) Perilaku konsumen membutuhkan rasa nyaman,
aman dan bebas dalam berbelanja, serta kepuasan dalam pelayanan berbelanja, antara lain:
ruangan ber-AC dan mekanisme belanja dengan sistem self service. Hal ini mengintegrasikan
kebutuhan psikologis, sosial dan ekonomis konsumen. 2) Prinsip efisiensi dan fleksibilitas dalam
pelayanan berbelanja di Mal dengan fasilitas dan sistem pembayaran melalui ATM dan kartu
kredit memberi kemudahan konsumen dalam mengatur keuangan rumah tangga yang merupakan
gaya hidup masyarakat konsumsi. 3) Mal, hipermarket, dan supermarket yang didesain dengan
kemewahan dan perpaduan seni (musik) dan budaya didukung dengan berbagai bentuk
periklanan, merupakan penyatuan antara logika ekonomi, seni dan kebudayaan, di dalamnya
terdapat manipulasi tanda, di mana konsumen mengonsumsi tanda itu sendiri. Keberadaan mal,
hipermarket, dan supermarket menjadi sarana konsumsi adalah sebagai bentuk distinction
(Bourdieu) antara kelas dominan dengan kelas lainnya, dalam hal ini kelas dominan
membedakan diri melalui 3 struktur konsumsi: (a) makanan/minuman, (b) budaya, (c)
penampilan. Hal ini menjadi strategi kekuasaan pasar untuk mempertahankan kekuasaan dan
akumulasi kapital. Selera dalam hal ini menjadi tidak netral. Tujuan distinction adalah demi
mempertahankan prestige/harga untuk mengejar kehormatan (Ritzer dan Goodman, 2008: 529).
5) Mal, hipermarket, dan supermarket sebagai sarana konsumsi yang menampilkan berbagai
59

mode barang-barang produksi, termasuk fashion sebagai bentuk afirmasi diri konsumen yang
ditopang oleh logika mode.
Kondisi tersebut dalam perkembangannya melahirkan apa yang disebut dengan budaya
konsumerisme sebagai produk dari kapitalisme dan dampak perkembangan ekonomi global yang
didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Melimpah-ruahnya barang-
barang produksi menandakan adanya masyarakat pertumbuhan sebagai salah satu ciri masyarakat
konsumsi yang ditandai dengan berdirinya mal, hipermarket, dan supermarket sebagai sarana
konsumsi sebagai wujud globalisasi pasar dan pemasaran sebagai dampak kapitalisme global
dalam era Posmodernisme (Baudrillard, 2009: 46-47). Dampak lebih lanjut yang ditimbulkan
oleh kapitalisme global antara lain terciptanya kesenjangan sosial-ekonomi antara kelas buruh
yang hanya berpenghasilan minim dengan para pemilik modal dalam proses produksi. Menurut
Baudrillard, dalam masyarakat konsumsi orang tidak hanya mengonsumsi barang, tetapi juga
jasa dan hubungan antarmanusia. Masyarakat konsumsi diidentikkan dengan masyarakat
pertumbuhan yang dalam prosesnya merupakan lingkaran setan pertumbuhan yang dihubungkan
dengan pemborosan. Terkait konteks tersebut, pandangan moral tentang pemborosan sebagai
disfungsi diambil kembali menurut fungsi-fungsi yang sebenarnya (Baudrillard, 2009: 31-33).
Secara moral, pemborosan adalah bentuk perbuatan kesiasiaan, namun dalam siklus
pertumbuhan masyarakat yang merupakan lingkaran setan, pemborosan menjadi logis, yaitu
sebagai penyeimbang kesenjangan sosial antara kelas dominan dengan kelas bawah. Pemborosan
dalam kaitannya dengan perilaku konsumen merupakan bagian dari gaya hidup dan budaya
konsumerisme yang dipicu oleh cepatnya pergantian mode dalam berbagai barang dan kebutuhan
hidup masyarakat konsumsi.
Penawaran barang-barang hasil produksi melalui iklan di media massa
menggeneralisasikan proses simulasi dan sintesis kombinasi berbagai model yang berhubungan
dengan pertukaran simbol. Simulasi sengaja dilakukan untuk menciptakan kebutuhan mayarakat.
Hubungan personal dalam interaksi sosial dan kepedulian sosial disimulasikan, dipaksakan dan
dibirokratisasikan. Hubungan sosial seperti inilah yang membedakan antara masyarakat
konsumsi dalam era Posmodern dengan masyarakat primitif. Relasi personal dalam masyarakat
primitif bersifat resiprokal (timbal balik) dan alamiah. Hal ini yang membedakan dengan
masyarakat konsumsi, akibatnya relasi personal masyarakat konsumsi bersifat emosional
(Baudrillard, 2009: xxxi). Menurut pemahaman Baudrillard terdapat keajaiban konsumsi, bahwa
mentalitas konsumen bersifat individu dan kolektif (Baudrillard, 2009: 13). Hal ini sesuai dengan
eksistensi diri manusia, yaitu sebagai makhluk individu dan kolektif. Kodrat konsumen sebagai
makhluk sosial menjadi dasar pertimbangannya dalam berkonsumsi.
Hakekat konsumsi bukan hanya merupakan objek kepuasan dan kesenangan individu,
melainkan seluruh arena kehidupan manusia sehari-hari (Baudrillard, 2009:18). Konsumsi terkait
dengan hasrat/keinginan individu, maupun kolektif terhadap suatu objek sebagaimana komentar
George Ritzer berikut terhadap pandangan Jean Baudrillard tentang konsumsi.Bagi Baudrillard
konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli berbagai komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu
fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi objek.
60

Konsumsi berada dalam satu tatanan pemaknaan pada satu panoply objek; satu sistem, atau
kode, tanda; satu tatanan manipulasi tanda; manipulasi objek sebagai tanda; satu sistem
komunikasi (seperti bahasa); satu sistem pertukaran (seperti kekerabatan primitif); satu
moralitas, yaitu satu sistem pertukaran ideologis; produksi perbedaan; satu generalisasi proses
fashion secara kombinatif; menciptakan isolasi dan mengindividu; satu pengekang secara
bawah sadar, baik dari sistem tanda dan dari sistem sosioekonomiko-politik; dan satu logika
sosial (Baudrillard, 2009: xxxiv).
Berdasarkan kutipan di atas, makna konsumsi bersifat multi dimensi, sebagai integrasi
sosial yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik materiil, spirituil, jasmani, maupun
rohani, bahkan konsumsi dapat bersifat semu/palsu. Pandangan inilah yang membedakan
Baudrillard dengan para ekonom sebelumnya yang hanya memandang konsumsi sebagai fungsi
pemenuhan kebutuhan berdasarkan faedah (utility) suatu objek/barang. F.4. Nilai Objek
Konsumsi Azis (2001:7), dalam Galaksi Simulakra: Esei-esei Jean Baudrillard, menjelaskan
objek logika yang berkaitan dengan nilai objek konsumsi menjadi 4, menurut Baudrillard sebagai
berikut Nilai Guna Nilai yang Dipertukarkan Pertukaran Simbolik Nilai Tanda Fungsional
Ekonomis/kome rsial hadiah/mauss Konsumsi Operasi praktis Ekuivalensi Ambivalensi
Perbedaan
Nilai Guna Nilai yang Dipertukarkan Pertukaran Simbolik Nilai Tanda Dunia Pasar
Subjek objek lain Alat Komoditas Simbol Tanda apa yang dilakukan objek apa nilainya
Hubungan dengan subjek hubungan tanda-tanda lain Lemari pendingin penyimpan makanan 2
mentega = 1 senjata cincin kawin Mode Logika yang dimaksud dalam skema di atas menurut
hasil akhir adalah logika sosial konsumsi. Skema di atas menunjukkan bahwa konsep kebutuhan
sebagai fungsi utilitas (nilai guna) sebagaimana logika ekonomi hanya menghasilkan tautologi,
suatu pengulangan yang tidak memperjelas di mana subjek ditetapkan oleh objek dan sebaliknya
(objek ditentukan oleh subjek). Legitimasi produksi terdapat pada kenyataan bahwa masyarakat
akan menguraikan konsumen melalui konsep kebutuhan. Kebutuhan ada karena sistem
memerlukannya. Demikian pendapat Baudrillard dalam buku Galaksi Simulakra: Esei-esei Jean
Baudrillard (Aziz, 2001: 6-7). Contoh lain logika taotologi dalam berkonsumsi antara lain: ketika
orang merasa lapar, tentu akan mencari makanan untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Logika
taotologi tersebut telah berubah jika ia harus makan di restoran mewah dengan tujuan untuk
memenuhi hasrat harga dirinya (prestige), yang dalam hal ini konsumsi sebagai nilai tanda
merupakan kekayaan sekaligus pengurangan kekayaan, sebab tindakan konsumsi tidak pernah
sematamata pembelian belaka, tetapi sekaligus pengeluaran uang, sehingga dalam kegiatan
berbelanja merupakan pernyataan kekekayaan sekaligus penghancuran kekayaan. Nilai ekonomis
diubah ke dalam pertukaran tanda berdasarkan monopoli kode.
G. Logika Sosial Konsumsi a) Ideologi Kemapanan (bien-tre) Sebagai Ideologi
Konsumsi Baudrillard dalam The Consumer Society (1998: 49) mengatakan bahwa pembahasan
tentang kebutuhan sebelumnya didasarkan pada antropologi naif, bahwa kecenderungan alamiah
manusia terhadap keberuntungan atau kebahagiaan (le bonheur) memiliki arti sepadan dengan
keselamatan (le Salut). Persoalannya bagi Baudrillard adalah bahwa kekuatan ideologi dan
61

pengertian dasar tentang kebahagiaan dalam peradaban modern sebenarnya tidak datang dari
kecenderungan alamiah setiap individu untuk diwujudkan bagi dirinva sendiri, melainkan secara
sosio-historis persoalan konsumsi muncul dari adanya kenyataan bahwa mitos kebahagiaan
adalah mitos kesamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang, sehingga kebahagiaan harus
terukur (The fact that happinessinitially has that signification and that ideological function has
important consequences for its content: to be vehicle of the egalitarian myth, Happiness has to be
measurable (Baudrillad, 1998: 49). Pandangan tersebut dipengaruhi oleh pandangan John Stuart
Mill bahwa kebebasan manusia sebagai individu adalah salah satu unsur kebahagiaan (Mill,
2005: 105). Baudrillard menyebut dasar pemikiran tersebut sebagai mitos kebahagiaan yang
belum tentu terbukti benar. Pandangan Baudrillard tersebut dipengaruhi oleh positivisme.
Analisis Baudrillard tentang mitos kebahagiaan berangkat dari pengamatannya terhadap dampak
kekerasan politik dan sosiologis masyarakat modern akibat Revolusi Industri dan revolusi-
revolusi abad XIX menyebabkan perhatian masyarakat terfokus pada usaha mencapai
kebahagiaan. Pandangan masyarakat modern sebagaimana pengaruh positivisme, kebahagiaan
sering disejajarkan dengan kemapanan yang dapat diukur dengan objekobjek dan tanda-tanda
kenyamanan. Pandangan tersebut dipengaruhi oleh pandangan Tocqueville tentang adanya
kecenderungan dalam masyarakat demokratis pada kemapanan secara umum. Kebahagiaan
sebagai kenikmatan total dan bersifat batiniah tergantung pada tandatanda yang tercermin dalam
pandangan hidup masyarakat, namun tanpa bukti nyata dipandang tidak sesuai dengan ideologi
konsumsi, di mana kebahagiaan pada awalnya merupakan tuntutan sikap kolektif individu
(masyarakat) atas persamaan hak dan kebebasan. Kebahagiaan dalam makna tersebut merupakan
tuntutan liberalisme yang mengagungkan persamaan hak. Kebahagiaan seperti ini didasarkan
pada prinsip-prinsip individualis, dan diperkuat oleh Tables de Droits de lHomme et de Citoyen
(TDHC) (Daftar hak-hak manusia dan warga negara) yang secara eksplisit mengakui hak
kebahagiaan pada semua orang (Baudrillad, 1998: 49).
Baudrillard memandang bahwa revolusi kemapanan adalah pewaris dan pelaksana pesan-
pesan revolusi borjuis atau secara sederhana dari semua revolusi yang menegakkan semua
prinsip-prinsip persamaan hak semua orang. Prinsip demokratis ini ditransformasi dari
persamaan yang nyata dalam hal kapasitas, tanggung jawab, kesempatan sosial, kebahagiaan ke
dalam penyamarataan di depan objek dan tandatanda lain yang tampak dari keberhasilan dan
kebahagiaan (bonheur) sosial. Baudrillard menyebutnya sebagai demokrasi tingkat kehidupan.
Baudrillard memandang bahwa semua orang sama di depan nilai guna suatu objek dan barang
(padahal objek dan barang tidak sama dan terbagi di depan nilai tukar), karena kebutuhan
diindekskan pada nilai guna, di sini terdapat hubungan utilitas objektif atau hubungan fungsi
natural yang di dalamnya tidak ada lagi kesenjangan sosial maupun historis, antara golongan
ekonomi kelas atas dengan golongan ekonomi kelas bawah (Baudrillad, 1998: 50-51).
Baudrillard mensinyalir ideology para ekonom idealis tentang pertumbuhan sebagai berikut.
growth means affluence; affluence means democracy, bahwa pertumbuhan berarti
kelimpahruahan; kelimpahruahan berarti demokrasi (Baudrillad, 1998: 51). Pip Jones dalam
bukunya yang berjudul Pengantar Teori-teori Sosial (Dari Teori Fungsionalisme hingga
62

Posmodernisme) menjelaskan pengertian ideologi menurut Marx sebagai kritik terhadap sistem
ekonomi kapitalis, yaitu sebagai sistem keyakinan yang melegitimasi sistem produksi berbasis
kelas dengan membuatnya seolah benar dan adil, atau mengaburkan realitas atas konsekuensi-
konsekuensi dari kesadaran orang (Jones, 2009: 86). Dengan kata lain ideologi menurut Marx
merupakan kesadaran palsu.
Analisis Baudrillard tentang kemapanan berkaitan dengan konsep tentang masyarakat
pertumbuhan. Makna pertumbuhan berangkat dari kritiknya terhadap pandangan ekonomi versi
para idealis bahwa: growth means affluence; affluence means democracy (pertumbuhan
adalah kelimpahruahan; kelimpahruahan adalah demokrasi) (Baudrillad, 1998: 51). Hal ini
menggambarkan sebuah disfungsi sementara bahwa pertumbuhan ekonomi sekaligus
menghasilkan efek kesenjangan. Baudrillard menganalisis pendapat Galbraith yang mengatakan
bahwa masalah persamaan dan kesenjangan tidak lagi pada tatanan masyarakat sehari-hari, tetapi
dihubungkan dengan masalah kekayaan dan kemiskinan, dalam hal ini struktur baru masyarakat
telah menyerap masalah tanpa mengindahkan redistribusi yang sebenarnya. Baudrillard
membantah analisis Galbraith tersebut berdasarkan data pertumbuhan ekonomi di Amerika
Serikat tahun, faktanya secara kuantitatif menyisakan 20 % angka kemiskinan 1965 (Baudrillad,
1998: 51).
Ekonom idealis berpendapat bahwa dengan konsep affluence society (masyarakat
berkelimpahan), kemiskinan merupakan sisa (residuelle) yang akan diserap oleh pertumbuhan
tambahan (sampingan). Hal itu berbeda dengan pandangan Baudrillard, bahwa hakikat
pertumbuhan dalam geraknya yang sebenarnya berdasarkan ketimpangan menghasilkan
kesenjangan sosial: growth itself which is a function of equality, bahwa pertumbuhan itu
sendiri adalah sebuah fungsi kesenjangan (Baudrillad, 1998: 53). Pandangan Galbraith yang
mengatakan bahwa dalam affluent society (affluence society) atau masyarakat pertumbuhan pada
hakikathya adalah peningkatan produksi sebagai redistribusi, bahwa makin banyak, maka benar-
benar akan cukup untuk semua orang, hal ini dibantah oleh Baudrillard dalam pernyataannya
sebagai berikut.
There is not in fact-and never has been, any affluent society, any more than there is
an indigen society, since avery society of whatever kind and whatever the volume of goods
produced or available wealth is geared both to a structural excess and a structural penury. The
excess may be the portion set aside for the God or for sacrifice; it may be sumptuary
expenditure, surplus value, economic profit or prestige budgets (Baudrillad, 1998: 53).

Dalam kenyataannva, tidak ada, bahkan tidak akan pernah ada masyarakat
kelimpahruahan, masyarakat paceklik/kelangkaan, karena semua masyarakat apapun ia dan
berapapun besarnya barang yang diproduksi atau berapapun harta kekayaan yang tersedia,
sekaligus berhubungan erat dengan kelebihan struktural dan kelangkaan struktural. Kelebihan
barang kali merupakan bagian dari Tuhan, bagian dari pengorbanan, pengeluaran kemewahan,
nilai tambah, keuntungan ekonomis atau anggaran-anggaran untuk prestise). Pernyataan
Baudrillard tersebut menunjukkan persepsinya terhadap fakta sosial tentang masyarakat
pertumbuhan dalam dimensi sosialis-struktural. Keberadaan realitas dipahami secara biner (dua
63

dimensi: horisontal dan vertikal), dalam hal ini kelebihan struktural mengandaikan adanya
kelangkaan struktural.
Makna Konsumsi dalam Dimensi Keselamatan Baudrillard mempunyai perspektif unik
tentang konsumsi, yaitu bahwa konsumsi dapat dipandang dalam dimensi keselamatan (salut)
(Baudrillad, 1998: 60). Pandangan Baudrillard tentang konsumsi sebagai dimensi keselamatan
didasarkan pada pengamatan bahwa pada umumnya objek-objek hanya sekadar tiruan yang
seolah-olah hal itu merupakan inti dalam kehidupan sosial. Pada hakikatnya terdapat tujuan akhir
yang diidam-idamkan oleh status, keturunan, yaitu keselamatan melalui logika kelas (Baudrillad,
1998: 60). Status juga menghantui lingkungan objek-objek, memotivasi sikap orang yang
memuja (mengagungkan) barang-barang sepele yang dianggap bermakna, seperti cindera mata
(gad get) sebagai tanda ucapan selamat. Konsumsi dalam hal ini menjadi tanda keselamatan
seseorang yang direpresentasikan melalui cindera mata (gad get). Demikian halnya dengan
prestige sebagai objek kuno yang bersumber dari tanda keturunan, seolah merupakan nilai yang
tersebar secara turun temurun juga mencerminkan dimensi keselamatan dari makna konsumsi.
Logika kelas inilah yang meletakkan keselamatan melalui objek (Baudrillad, 1998: 60). Demi
prestige dan status sosial, orang terdorong untuk mengkonsumsi suatu objek yang menandai
kelas sosialnya. Berbagai bentuk cindera mata dari yang sederhana hingga yang mewah menjadi
bukti tanda keselamatan seseorang dalam keberhasilannya meraih apa yang didambakan dalam
hidupnya, seperti souvenir ucapan selamat atas perkawinan, keberhasilan studi, ulang tahun, dan
lain-lain.
Makna Konsumsi Sebagai Pemisahan Kelas Sosial Logika sosial konsumsi berpengaruh
terhadap konsep kelimpahruahan dalam masyarakat pertumbuhan dan dampak yang ditimbulkan.
Kungkungan lingkungan perkotaan dan industri memunculkan hal-hal yang baru: ruang dan
waktu, udara segar, pepohonan, air, dan ketenangan. Beberapa barang yang dulu gratis dan
tersedia dengan berlimpah ruah menjadi barang mewah yang hanya diperoleh oleh orang-orang
kaya meskipun barang-barang pabrik dan pelayanannya diberikan kepada semua orang
(Baudrillad, 1998: 57).
Pandangan kaum idealis tentang ideologi konsumsi yang menyamaratakan secara relatif
terhadap jenis barang kebutuhan pokok faktanya terdapat penyusupan nilai-nilai dan hierarki
baru tentang utilitas. Pengabaian terhadap kesenjangan sosial ekonomi berpindah kepada aspek
kehidupan lain. Objek-objek konsumsi sehari-hari makin lama makin signifikan dengan
kedudukan sosial dan penghasilan golongan masyarakat, sehingga makna konsumsi berubah
dengan beberapa pengertian (Baudrillad, 1998: 57). Ada kalanya konsumsi bermakna
pengeluaran, belanja dan pemilikan objek-objek riil menjadi kehilangan peran utama, berubah
menjadi kriteria lain dan jenis perilaku lain. Hierarki sosial yang tajam berdasarkan jenis
pekerjaan dan tanggung jawab, tingkat pendidikan dan budaya, dan partisipasi dalam
pengambilan keputusan merubah makna dan perilaku konsumsi terhadap jenis objek konsumsi
yang dahulu tersedia secara berlimpah. Objek-objek konsumsi dalam perspektif Baudrillard
menjadi kurang penting dibanding ruang dan penandaan sosial (Baudrillad, 1998: 57). Hal
tersebut dapat dilihat dalam fenomena kehidupan masyarakat sekarang, antara lain dengan
64

munculnya pemukiman dengan berbagai kelas yang berubah fungsi dari fungsi sebelumnya.
Pemukiman sebagai objek konsumsi tidak sekadar sebagai tempat tinggal, melainkan berubah
fungsi yang menyeragamkan dan membeda-bedakan antara kelas ekonomi yang satu dengan
kelas ekonomi lain dalam pemetaan ruang dan lokalisasi.
Objek-objek konsumsi menjadi tanda-tanda perbedaan dan pengeluaran antara dua
kategori sosial yang ekstrem. Angka-angka diskriminasi sosial dihubungkan dengan kualitas
barang yang dicari (Baudrillad, 1998: 58). Objek konsumsi direpresentasikan melalui barang-
barang yang dicari oleh subjek konsumsi yang menandakan status dan kelas sosial individu.
Perubahan makna konsumsi dalam fenomena tersebut berkaitan dengan hak atas kesehatan,
ruang, keindahan, berlibur, mencari ilmu dan budaya, membawa pengaruh terhadap tugas dan
tanggung jawab lembaga pemerintah, sehingga muncul tugas baru dalam kementerian-
kementerian: Menteri Kesehatan, Pariwisata, Menteri Keindahan, Menteri Udara Bersih, dan
lain-lain. Hal ini merupakan kemajuan individu dan kolektif secara umum mempunyai makna
ambigu.
Konsumsi dalam perspektif Baudrillard dipahami sebagai sistem tanda berdasarkan
penafsiran terhadap tanda (simbol-simbol) sosial, antara lain: perbedaan kelas sosial, gender, dan
ras. Baudrillard memakai istilah yang dipakai oleh Bourdieu, bahwa perbedaan kelas tersebut
disebut sebagai: distinction, dimana kelas dominan membedakan diri melalui 3 struktur
konsumsi, yaitu: (a) makanan/minuman (b) budaya dan (c) penampilan (Ritzer dan Goodman,
2008: 529). Melalui 3 struktur konsumsi tersebut perbedaan tingkat konsumsi antara kelas sosial
yang satu dengan lainnya nampak dalam nilai atau kualitas objek konsumsi walaupun fungsi
utamanya sama. Perbedaan inilah yang menjadi ciri masyarakat konsumsi dalam memahami
hakikat konsumsi. Tanda didefinisikan sebagai wahana makna. Kata, bunyi dan sebagainya
merupakan tanda yang dipakai untuk memberitahukan makna. Ada 2 jenis tanda, yaitu tanda
rasional dan tanda buatan. Tanda buatan dinamakan simbol. Situasi yang di dalamnya terdapat
tanda yang mengandung makna bagi seseorang disebut situasi-makna atau situasi-tanda
(Kattsoff, 1986: 165).
Makna Konsumsi Sebagai Institusi Kelas Hierarki dan diskriminasi yang tinggi atas
kekuasaan dan tanggung jawab golongan kelas ekonomi tertentu telah merubah makna konsumsi
menjadi fungsi pemisah dan pembeda antara kelas ekonomi yang satu dengan kelas ekonomi
lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan peluang setiap subjek dalam kepemilikan
terhadap objekobjek tersebut. Perbedaan pendidikan, gender, keturunan, pekerjaan, kedudukan,
kemampuan berbelanja, berpengaruh terhadap kesempatan dan kepemilikan terhadap objek yang
berbeda. Baudrillard tidak sependapat dengan pandangan ekonom idealis, bahwa produk-produk
konsumsi berdasar prinsip demokratis (egaliter) tentang nilai objektif suatu benda (nilai guna).
Menurut Baudrillard hanya ada satu makna dalam logika sosial konsumsi, yaitu makna pembeda
(Baudrillad, 1998: 59).
Keajaiban fungsi konsumsi menyebabkan subjek konsumsi (individu sosial) tunduk
terhadap pihak lain, merupakan fungsi konsumsi sebagai institusi kelas yang bersumber pada
logika sosial otonom dan rasional yang memiliki kemampuan magis. Baudrillard menganalogkan
65

logika sosial konsumsi sama dengan logika pemuja jimat, sebagaimana dalam pernyataannya:
this fethistic logic is, strictly, the ideology of consumption, bahwa inilah logika pemuja jimat
sebagai ideologi konsumsi yang sebenarnya (Baudrillad, 1998: 59).
Subjek konsumsi adalah masyarakat konsumsi. Relevansi epistemologi konsumsi
perspektif Baudrillard dengan budaya konsumerisme terletak pada ideologi konsumsi, yaitu
idealisme liberal-kapitalis dengan konsep affluence society (masyarakat berkelimpahan) yang
mendambakan kemapanan dan kenyamanan hidup. Logika sosial konsumsi masyarakat modern
berdasar pada Ideologi Kemapanan (bien-tre) dan konsep keselamatan. Konsumsi dalam
masyarakat konsumsi telah berubah makna menjadi pemisahan kelas yang berfungsi sebagai
pembeda (distinction) dan institusi kelas. Logika sosial konsumsi adalah logika yang otonom,
rasional, yang hakikatnya tidak ada hubungannya dengan penampilan objek-objek seperti apa
adanya, termasuk objek yang bersumber dari ide, hiburan, pengetahuan, dan budaya. Dengan
kata lain logika sosial konsumsi bersifat logis-metafisik (idealis), berdasarkan ideologi subjek
yang kebenarannya cenderung bersifat subjektif.
Budaya konsumerisme muncul sebagai dampak dari perubahan makna konsumsi yang
disebabkan oleh sikap, pandangan dan pola hidup konsumtif, yaitu kegiatan konsumsi yang
berlebihan demi mengejar status sosial dan harga diri (prestige). Dampak negatif budaya
konsumerisme adalah pemborosan dan menambah kesenjangan sosial. Budaya konsumerisme
dalam perspektif ilmu politik dan ilmu pemerintahan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah
terhadap anggaran anggaran belanja negara dan penataan lingkungan. Dampak negatif sikap
konsumtif di kalangan pejabat negara dapat mendorong timbulnya tindakan korupsi karena
konsumsi lebih besar dari pada gaji yang diperoleh.
66

Pertemuan ke 14
Sumulacra

Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas konsep simulacra Jean Baudrillard dan
aplikasinya dalam teks-teks media.
Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan konsep simulacra dan mengaplikasannya ke
analisis teks-teks media.

Jean Baudrillard
Jean Baudrillard, sosiolog Perancis yang terkenal karena nama buruknya, kritikus
budaya, dan ahli teori postmodernitas, dilahirkan pada tahun 1929 di sebelah utara kota Reims.
Seorang anak pegawai sipil dan cucu lelaki dari seorang petani, Baudrillard adalah mantan guru
sosiologi di sebuah universitas, dan figur intelektual terkemuka pada saat itu. Disertasi untuk
meraih gelar doktor di bidang sosiologi dikerjakan bersama-sama dengan Henri Lefebvre. Ia
kemudian menjadi asisten pada bulan September 1966 di Universitas Nanterre Paris. Ia
bekerjasama dengan Roland Barthes, dalam analisa semiotik dalam kebudayaan , dalam
pertamanya Obyek Sistem (1968). Ia adalah juga dipengaruhi oleh Marshall McLuhan yang
memperlihatkan pentingnya media massa dalam pandangan kaum sosiologis. Karena dipengaruhi
oleh semangat pemberontakan mahasiswa di Universitas Nanterre (1968), ia bekerja sama
dengan suatu jurnal yaituUtopie, yang dipengaruhi oleh anarcho-situationism, teori media
dan Marxisme struktural, di mana ia menerbitkan sejumlah artikel teoritis pada suasana
kemakmuran kapitalis, dan kritik teknologi.
Pada bulan Maret 1965, ia mempertahankan disertasinya Thse de Troisme Cycle
dalam bidang sosiologi, Universitas Paris X Nanterre yang diterbitkan menjadi Le systm des
objets. Berperan aktif sebagai intelektual dalam demonstrasi mahasiswa di Paris, pada bulan
Mei 1968. Pada tahun 1970-1976, ia menjadi matre-assistant di Nanterre. Pada tahun 1977-
1978, ia meluncurkan serial provokatif tentang esai antisosialis dan anti postrukturalis dalam
bentuknya yang sangat atraktif, publikasi gaya pamplet yang menutup kariernya sebagai
akademikus dan political outsider.
Pada tahun 1995 ia mulai mengundurkan diri dari kehidupan kampus, tetapi tetap aktif
sebagai jurnalis, esais, dan intelektual profesional bte noir. Berikut essai-essai yang diterbitkan
dari Baudrillard: Understanding Media, Marshall-McLuhan dalam jurnal Marxis humanis
Lhomme et la socit (1966); Le systme des objets (1967); De la sduction (1980); Simulacres
et simulation (1981); menerbitkan Les stratgies fatales (1982); Amrique (1986); lombre des
majorits silencieuses, ou la fin du social (1978) / In the Shadow of Silent Majorities or, The End
of the Social and Other Essays (1983); Lautre par luimme (1987); La Guerre du Golfe na pas
eu lieu (1991); La transparence du mal (1990), Cool Memories II (1990), dan Lillusion de la fin
(1992).
Pemikiran Baudrillard dipengaruhi oleh pemikiran filsuf lain yang memiliki pemikiran
tentang objectivity and linguistic-sociological interface (Mauss), Surrealism and
67

Eroticism (Bataille), Psychoanalysis dan Freud, dan terutama Marxisme. Lalu ia menjadi seorang
yang dikagumi sebagai seorang yang mengerti akan keadaan yang datang pada kondisi
posmodernisme.
Simulasi dan Simulakrum
Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan melalui
model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan mitos yang tidak dapat dilihat
kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang
kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia seperti seni, rumah, kebutuhan rumah
tangga dan lainnya ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal,
disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga
menciptakan hyperreality dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas.
Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan
entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat tidak sadar akan
pengaruh simulasi dan tanda(signs/simulacra), hal ini membuat mereka kerap kali berani dan
ingin mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulasi membeli, memilih,
bekerja dan macam sebagainya. Teori ekonomi Marx, yang mengandung nilai guna digunakan
oleh Baudrillard dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan
pada nilai tanda.
Dalam pengantar buku Barthes, Mythology, dikemukakan bahwa tujuan buku tersebut
ditulisnya adalah untuk melakukan kritik ideologi atas bahasa budaya massa (critique
idologique pourtant sur le langage de la culture dite de masse) dan melakukan pembongkaran
secara semiologis atas bahasa tersebut untuk memahami dasar pemaknaan yang sudah menjadi
fenomena budaya di dalam masyaraat. Selanjutnya, pada bab kesimpulan bukunya Element of
Semiology (Barthes, 1967: 95), Barthes menekankan bahwa tujuan analisis semiologi adalah
menciptakan simulacrum dari objek-objek yang diobservasi. Barthes sendiri tidak menjelaskan
secara rinci maksud simulacrum.
Kata simulacrum berasal dari bahasa Latin, dan dalam bahasa Prancis, simulacra yang
berarti image, apparence sensible qui se donne pour une realite - gambar, tiruan, atau sesuatu
yang menyerupai ralitas. (Petit Robert, 1983: 1817).
Konsep simulacrum dapat ditemukan dalam pemikiran Baudrillard, salah satu tokoh yang
mengembangkan teori semiotika Barthes. Dalam tulisan Beadrillard, Simulacra and simulation,
(1998, 166) dijelaskan bahwa:

The simulacrum is never what hides the truth. It is truth that hides the fact that there is
none. The simulacrum is truth.

Dalam tulisan lainnya (Barthes, 2010: 96), dijelaskan bahwa tujuan analisis mitis adalah
menciptakan objek baru (makna baru) yang berbeda dengan objek pertama (tanda tingkat
pertama (denotasi) sebagai landasan pembentukan sistem mitos. Yang dimaksud dengan objek
baru adalah simulacrum, yaitu konstruksi pandangan-pandangan umum atau gagasan atas suatu
68

objek (realitas produk) di masyarakat yang tidak memiliki acuan kepada realitas sesungguhnya,
namun pandangan-pandangan tersebut dianggap suatu hal yang wajar alamiah.
Contoh-contoh mitos sebagai simulacrum telah dijelaskan dalam Mythology Barthes.
Misalnya, mitos tentang gulat, yang dikatakannya bahwa gulat itu adalah sebuah pertunjukan,
namun secara umum gulat merupakan salah satu cabang olah raga. Gulat bukan hanya sebagai
olah raga yang mengandalkan kekuatan pisik tetapi lebih dari suatu peperangan yang
mempermasalahkan antara baik dan jahat. Dalam gulat terdapat dua tingkatan pesan yakni
pertama adalah pesan olah raga, dan kedua adalah pesan moral tentang baik dan jahat.
Kedua jenis pesan tersebut merupakan bagian dari kepuasan penonton, yakni kepuasan terhadap
konflik tentang baik dan buruk yang dikemas dalam pertunjukan gulat, sehingga pesan yang
sebenarnya dalam pertunjukan gulat bukanlah persoalan estetika tetapi sudah ke taraf
ideologis.
69

Daftar Pustaka

Allen, D (1998). Record keeping and routine nursing practice: the view from the wards. Journal
of Advanced Nursing 27, 1223-1230.

Altheide, D. L. & Johnson, J. M. (1998). Criteria for assessing interpretive validity in qualitative
research. In: Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (Eds), Collecting and Interpreting
Qualitative Materials. Thousand Oaks, Sage, pp.283-312.

Atkinson, P & Hammersley, M (1994). Ethnography and Participant Observation. In Norman


Denzin and Yvonna Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks:
Sage, pp.249-261.

Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Editions de Suil.

________. 1968. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang

__________. 1976. The Pleasure of the Text. London: Jonathan Cape

_______. 1977. Image Music Text. (Essays selected and translated by Stepehen Heath). London:
Fontana Press

________. 1982. Empire of Signs. New York: Hill and Wang

_______ . 2010. Imaji, Musik, Teks. (Kumpulan Esei Terpilih, Stephen Health (Ed.).
Diterjemahkan oleh Agustinus Hartono.Yogyakarta: Jalasutra.

Baudrillard, Jean P. 1968. Le Systme des objets. Paris: Gallimard.

_______. 2001. Simulacra and Simulations. Selected Writing (Editor: Mrks Poster). California:
Standford University Press.

________. 2004. Masyarakat Konsumsi. (Diterjemahkan oleh Wahyunto). Yogayakarta: Kreasi


Wacana

Burton, Graeme. 2012. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.

Greimas, A.J. 1972. Semantique Structurale. Paris: Larousse.

Hall, Stuart. "Notes on Deconstructing 'the Popular'." People's History and Socialist Theory. Ed.
Raphael Samuel. London: Routledge, 1981.

Hall Stuart et al., Policing the Crisis: Mugging, the State and Law and Order, London,
McMillan, 1978.
70

Hasyim, Muhammad. 2014. Konstruksi Mitos dan Ideologi dalam Iklan Komersial Televisi,
Suatu Analisis Semiologi. Disertasi. Makassar: Universitas Hasanuddin

Holzer, B. International Journal of Consumer Studies, 30, 405-415, 2006.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. The culture industry: Enlightenment as mass deception (J.
Cumming, Trans.). In Dialectic of enlightenment (p. 120-167). New York: Continuum
International Publishing Group, 1976.

Ibrahim, Idi Subandi. 2005. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia Edisi Kedua. Yogyakarta: Jalasutra.

Jabrohim. 1996. Pasar dalam Perspektif Greimas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kellner, Douglas. 2003. Media Culture. London : Rouletdege.


Ken Browne. 2006. Introducing Sociology for AS Level Second Edition. Cambridge: Polity Press.
Laurence Grossberg et al. (eds.), Cultural Studies, New York, Routledge, 1992

Lotman, Juri, Universe of the Mind: A Semiotic Theory of Culture. (Translated by Ann Shukman,
introduction by Umberto Eco). London & New York: I. B. Tauris & Co Ltd, 1990.

Lotman Jurij M.; Uspenskij B.A.; Ivanov, V.V.; Toporov, V.N. and Pjatigorskij, A.M. 1975.
Theses on the Semiotic Study of Cultures (as Applied to Slavic Texts) in Sebeok
Thomas A. (ed.), The Tell-Tale Sign: A Survey of Semiotics. Lisse (Netherlands): Peter de
Ridder, 1975.

Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Luxemburg, Jan Van & Mieke Bal Willem G.W. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahan
oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia Daftar Pustaka.

Nixon, Sean, Hard Looks: Masculinities, Spectatorship and contemporary Consumption,


London, UCL Press, 1996.

Saussure, Ferdinand de. 1967. Cours de Linguistique Gnrale. Paris: Payot

Storey, John. Cultural Theory And Popular Culture: A Reader. Atlanta: U of Georgia P, 1998.

Setyowati, Etnografi Sebagai Metode Pilihan Dalam Penelitian Kualitatif di Keperawatan,


Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 10, No.1, Maret 2006; 35-40

Yasraf, Amir Piliang. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya melampaui Batas-batas
Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/LMM2006-41-Bab%202.pdf
71

http://www.scribd.com/doc/78279639/11/Definisi-Budaya-Media
http://www.slideshare.net/andreyuda/media-dan-budaya-populer

Anda mungkin juga menyukai