Pendapat mengenai “The New Rules of The World” Dalam film dokumenter The New Rules of The World terlihaat jelas bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki banyak kekayaan alam yang berpotensi menjadi negara maju. Tetapi hal tersebut sulit untuk diwujudkan karena keadaan perekonomian di Indonesia yang sangat buruk. Dalam film ini berfokus pada dampak globalisasi dibidang ekonomi. Dengan sumber daya alam yang sangat melimpah di Indonesia, seharusnya Indonesia merupakan negara yang didalamnya terdapat rakyat dengan hidup secara sejahtera. Namun, itu bergantung kepada atasan atau para pemimpin di negeri ini. Negara Indonesia miskin teknologi dan modal, sehingga hal ini membuat para negara negara yang memiliki kekuatan dibidang teknologi dengan mudahnya masuk ke Indonesia dengan mengatasnamakan globalisasi. Dalam video tersebut, terlihat jelas bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia ketika globalisasi berhasil masuk di negara tercinta ini. Pada prinsipnya, adanya globalisas ini diyakini mampu membawa kesejahteraan rakyat yang merata, pembangunan infrastruktur yang merata, dan mengurangi jumlah pengangguran atau kemiskinan. Tetapi yang dapat dilihat, prinsip tersebut tidak sesuai dengan keadaan nyata di Indonesia. Bagaimana tidak, dengan masuknya globalisasi di Indonesia malah membuat jumlah pengangguran semakin meningkat. Kemiskinan pun merajalela, dan tentunya terjadi kesenjangan sosial yang cukup tinggi pada masyarakat Indonesia. Banyak yang menyebut bahwa globalisasi ini membuat “yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin”. Secara nyata, masyarakat Indonesia menjadi buruh di pabrik-pabrik yang terkenal, yakni contohnya GAP dan Nike. Pabrik pabrik tersebut memperlakukan buruh secara sangat tidak manusiawi. Upah yang didapatkan buruh tersebut, hanya sedikit dibandingkan kerasnya pekerjaan mereka. Mereka diwaibkan untuk bekerja selama 16 jam dengan 2 kali istirahat sepanjang hari. Ada yang bekerja sepanjang hari secara berdiri tanpa duduk dan bekerja pada ruangan dengan suhu 40 derajat panasnya. Di ruangan luas dengan tidak difasilitasi AC ini terdapat kurang lebih 1000 pekerja. Tentu saja keadaan itu terasa sesak dan jauh dari kata nyaman padahal barang yang dihasilkan bernilai jual tinggi. Apalagi jam kerja mereka dapat lebih lama lagi jika terdapat pesanan mendadak untuk diekspor. Waktu dan tenaga buruh dikuras habis habisan untuk bekerja keras lagi. UMR atau gaji yang didapat oleh para buruh pada saat itu adalah 9 ribu rupiah perhari. Dengan upah tersebut, mereka tidak memiliki tempat tinggal dan pengidupan yang layak. Untuk dapat bertahan hidup, mereka harus pandai-pandai mengatur keuangan mereka dengan cara mengurangi porsi makan dari 3x sehari menjadi 2x sehari. Atau harus dengan mengurangi gizi yang ada di makanan mereka. Bahkan ada di salah satu keluarga yang seharusnya anaknya harus melakukan transfuse darah tiap bulan, karena terhalang biaya, ia terpaksa tidak melakukan transfusi darah dan menyerahkan kondisinya pada Tuhan. Dita sari, selaku aktivis pemimpin buruh di Indonesia menyatakan bahwa dengan tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia, menyebabkan seluruh buruh rela melakukan apa saja meskipun dengan upah yang terbilang sangat rendah. Dan diimbangi dengan proses kerja yang sangat tidak wajar. Hal ini tentunya menyimpang peraturan pabrik yang dibuat oleh GAP. Namun kode etik baik dari pabrik pembuatan maupun dari GAP tidak pernah disampaikan kepada para buruh. Film documenter ini memperlihatkan bahwa apa yang terjadi kepada buruh-buruh Indonesia tak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh para buruh di negara berkembang lainnya seperti Afrika dan Amerika Latin. Pada sisi lain, film ini menceritakan tentang ekonomi yang terjadi dunia. John Pilger sengaja mendatangi Nicholas Stern, pimpinan ekonom dari World Bank atau bank dunia di Washington DC. John Pilger melakukan wawancara yang serius mengenai bagaimana proses terjadinya hutang luar negeri yang berasal dari pinjaman Bank Dunia kepada Indonesia. Dalam wawancara ini timbul lah pertanyaan dari John Pilger, apakah ada hubungannya dengan pembantaian yang dilakukan oleh rezim orde baru demi terlaksananya globalisasi di Indonesia. Pada bagian ini terlihat jelas bagaimana kesejahteraan yang seharusnya dibawa dengan adanya globalisasi, sangat berbeda jauh dengan kenyataan yang ada. Kepada wakil direktur IMF, John Pilger menanyakan apakah mungkin dihapuskannya hutang Indonesia yang harus dilimpahkan kepada para rakyat Indonesia. Hutang kepada Bank Dunia yang sangat memberatkan negara jika dihapuskan diperkirakan dapat mengurangi kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Terungkap pada film ini bahwa rezim yang berkuasa dan globalisasi yang didukung oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF banyak menciptakan pelanggaran seperti diskriminasi. John Pilger juga mempertanyakan alasan IMF untuk tetap memberikan pinjaman kepada rezim yang jelas melakukan tindakan korupsi dan tidak ada transparasi ekonomi. Secara jelas disebutkan bahwa Bank Dunia dan negara-negara peminjam modal ini mengambil keuntungan yang besar melalui proyek-proyek yang dilakukan oleh para perusahaan multinasional dari negara asal masing-masing. Menjadi pion kapitalisme dan imperialism barat, itulah yang terjadi pada negara ini. IMF dan bank dunia dengan pinjaman yang diberikan pada saat orde baru dengan pemimpin bangsa pada saat itu adalah Jendral Soeharto sangat dipertanyakan. Pinjaman yang bahkan belum bisa dilunasi bangsa ini hingga sekarang. Pinjaman yang bahkan 30% dari jumlahnya yang tidak terhitung hilang dan raib tanpa pernah dinikmati oleh rakyat Indonesia. Kemana perginya uang tersebut? Jelas ke pundi-pundi uang para pemimpin dan kroni-kroninya pada saat itu. Walaupun globalisasi tidak selalu berdampak buruk, tapi pada film ini sudah terlihat sangat jelas bagaimana buruknya globalisasi yang terjadi di Indonesia. Dapat kita lihat dimana tenaga kerja Indonesia tereksploitasi tanpa dapat menyuarakan hak-hak yang seharusnya mereka terima. Kesenjangan sosial yang jelas terjadi, membuat jurang perbedaan yang makin lama makin besar antara si kaya dan si miskin. Film ini juga menunjukkan bagaimana negara kapitalis terlah menjadikan negara dunia ketiga sebagai tempat mereka “mendulang” emas untuk kepentingan pribadi mereka tanpa memperhatikan dampak yang telah mereka lakukan pada negara-negara tersebut, dalam film ini, Indonesia.