Anda di halaman 1dari 2

Ayu Putri Ramadhani / 5017211015

Teknik Geofisika / Kewarganegaraan 32


Pendapat mengenai “The New Rules of The World”
Dalam film dokumenter The New Rules of The World terlihaat jelas bahwa Indonesia
adalah sebuah negara yang memiliki banyak kekayaan alam yang berpotensi menjadi negara maju.
Tetapi hal tersebut sulit untuk diwujudkan karena keadaan perekonomian di Indonesia yang sangat
buruk. Dalam film ini berfokus pada dampak globalisasi dibidang ekonomi. Dengan sumber daya
alam yang sangat melimpah di Indonesia, seharusnya Indonesia merupakan negara yang
didalamnya terdapat rakyat dengan hidup secara sejahtera. Namun, itu bergantung kepada atasan
atau para pemimpin di negeri ini. Negara Indonesia miskin teknologi dan modal, sehingga hal ini
membuat para negara negara yang memiliki kekuatan dibidang teknologi dengan mudahnya masuk
ke Indonesia dengan mengatasnamakan globalisasi.
Dalam video tersebut, terlihat jelas bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia ketika
globalisasi berhasil masuk di negara tercinta ini. Pada prinsipnya, adanya globalisas ini diyakini
mampu membawa kesejahteraan rakyat yang merata, pembangunan infrastruktur yang merata, dan
mengurangi jumlah pengangguran atau kemiskinan. Tetapi yang dapat dilihat, prinsip tersebut
tidak sesuai dengan keadaan nyata di Indonesia. Bagaimana tidak, dengan masuknya globalisasi
di Indonesia malah membuat jumlah pengangguran semakin meningkat. Kemiskinan pun
merajalela, dan tentunya terjadi kesenjangan sosial yang cukup tinggi pada masyarakat Indonesia.
Banyak yang menyebut bahwa globalisasi ini membuat “yang kaya semakin kaya, dan yang miskin
semakin miskin”. Secara nyata, masyarakat Indonesia menjadi buruh di pabrik-pabrik yang
terkenal, yakni contohnya GAP dan Nike. Pabrik pabrik tersebut memperlakukan buruh secara
sangat tidak manusiawi. Upah yang didapatkan buruh tersebut, hanya sedikit dibandingkan
kerasnya pekerjaan mereka. Mereka diwaibkan untuk bekerja selama 16 jam dengan 2 kali
istirahat sepanjang hari. Ada yang bekerja sepanjang hari secara berdiri tanpa duduk dan bekerja
pada ruangan dengan suhu 40 derajat panasnya. Di ruangan luas dengan tidak difasilitasi AC ini
terdapat kurang lebih 1000 pekerja. Tentu saja keadaan itu terasa sesak dan jauh dari kata nyaman
padahal barang yang dihasilkan bernilai jual tinggi. Apalagi jam kerja mereka dapat lebih lama
lagi jika terdapat pesanan mendadak untuk diekspor. Waktu dan tenaga buruh dikuras habis
habisan untuk bekerja keras lagi.
UMR atau gaji yang didapat oleh para buruh pada saat itu adalah 9 ribu rupiah perhari.
Dengan upah tersebut, mereka tidak memiliki tempat tinggal dan pengidupan yang layak. Untuk
dapat bertahan hidup, mereka harus pandai-pandai mengatur keuangan mereka dengan cara
mengurangi porsi makan dari 3x sehari menjadi 2x sehari. Atau harus dengan mengurangi gizi
yang ada di makanan mereka. Bahkan ada di salah satu keluarga yang seharusnya anaknya harus
melakukan transfuse darah tiap bulan, karena terhalang biaya, ia terpaksa tidak melakukan
transfusi darah dan menyerahkan kondisinya pada Tuhan.
Dita sari, selaku aktivis pemimpin buruh di Indonesia menyatakan bahwa dengan tingginya
tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia, menyebabkan seluruh buruh rela melakukan
apa saja meskipun dengan upah yang terbilang sangat rendah. Dan diimbangi dengan proses kerja
yang sangat tidak wajar. Hal ini tentunya menyimpang peraturan pabrik yang dibuat oleh GAP.
Namun kode etik baik dari pabrik pembuatan maupun dari GAP tidak pernah disampaikan kepada
para buruh. Film documenter ini memperlihatkan bahwa apa yang terjadi kepada buruh-buruh
Indonesia tak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh para buruh di negara berkembang lainnya
seperti Afrika dan Amerika Latin.
Pada sisi lain, film ini menceritakan tentang ekonomi yang terjadi dunia. John Pilger
sengaja mendatangi Nicholas Stern, pimpinan ekonom dari World Bank atau bank dunia di
Washington DC. John Pilger melakukan wawancara yang serius mengenai bagaimana proses
terjadinya hutang luar negeri yang berasal dari pinjaman Bank Dunia kepada Indonesia. Dalam
wawancara ini timbul lah pertanyaan dari John Pilger, apakah ada hubungannya dengan
pembantaian yang dilakukan oleh rezim orde baru demi terlaksananya globalisasi di Indonesia.
Pada bagian ini terlihat jelas bagaimana kesejahteraan yang seharusnya dibawa dengan adanya
globalisasi, sangat berbeda jauh dengan kenyataan yang ada. Kepada wakil direktur IMF, John
Pilger menanyakan apakah mungkin dihapuskannya hutang Indonesia yang harus dilimpahkan
kepada para rakyat Indonesia. Hutang kepada Bank Dunia yang sangat memberatkan negara jika
dihapuskan diperkirakan dapat mengurangi kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Terungkap pada
film ini bahwa rezim yang berkuasa dan globalisasi yang didukung oleh lembaga keuangan
internasional seperti IMF banyak menciptakan pelanggaran seperti diskriminasi.
John Pilger juga mempertanyakan alasan IMF untuk tetap memberikan pinjaman kepada
rezim yang jelas melakukan tindakan korupsi dan tidak ada transparasi ekonomi. Secara jelas
disebutkan bahwa Bank Dunia dan negara-negara peminjam modal ini mengambil keuntungan
yang besar melalui proyek-proyek yang dilakukan oleh para perusahaan multinasional dari negara
asal masing-masing. Menjadi pion kapitalisme dan imperialism barat, itulah yang terjadi pada
negara ini. IMF dan bank dunia dengan pinjaman yang diberikan pada saat orde baru dengan
pemimpin bangsa pada saat itu adalah Jendral Soeharto sangat dipertanyakan. Pinjaman yang
bahkan belum bisa dilunasi bangsa ini hingga sekarang. Pinjaman yang bahkan 30% dari
jumlahnya yang tidak terhitung hilang dan raib tanpa pernah dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Kemana perginya uang tersebut? Jelas ke pundi-pundi uang para pemimpin dan kroni-kroninya
pada saat itu.
Walaupun globalisasi tidak selalu berdampak buruk, tapi pada film ini sudah terlihat sangat
jelas bagaimana buruknya globalisasi yang terjadi di Indonesia. Dapat kita lihat dimana tenaga
kerja Indonesia tereksploitasi tanpa dapat menyuarakan hak-hak yang seharusnya mereka terima.
Kesenjangan sosial yang jelas terjadi, membuat jurang perbedaan yang makin lama makin besar
antara si kaya dan si miskin. Film ini juga menunjukkan bagaimana negara kapitalis terlah
menjadikan negara dunia ketiga sebagai tempat mereka “mendulang” emas untuk kepentingan
pribadi mereka tanpa memperhatikan dampak yang telah mereka lakukan pada negara-negara
tersebut, dalam film ini, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai