Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ILMU SOSIAL DASAR

“TERBENTUKNYA KAUM ELITE TRADISIONAL DAN MODERN”

Kelompok 9
Yollanda De Ilma (1511212003)
Dini Anugrah (15112120)
Sri Budi Mulyani (1511212038)
Fitri Aulia (1511212060)
Wiri Rahma Yulitia (1511212061)
Silviani Efdi (1311211113)

Dosen : Dr. Mhd. Nur, M.S.

Ilmu Kesehatan Masyarakat

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ANDALAS
2016
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang membahas tentang terbentuknya kaum elite tradisional dan modern tepat pada
waktunya. Tanpa pertolongannya mungkin kami tidak dapat menyelesaikan
makalah ini.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Ilmu Sosial
Dasar. Dengan terselesaikannnya makalah ini kami mengucapkan terimakasih
kepada bapak Mhd. Nur selaku dosen pembimbing dan semua anggota kelompok
yang telah bekerja sama untuk menyelesaikan makalah ini. Kami berusaha
menyajikan makalah ini dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Kami menyadari bahwasanya kesempurnaan bukanlah milik manusia.
Mungkin terdapat kekurangan yang perlu diperbaiki dalam pembuatan makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan sebagai bahan untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Padang, Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................2
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................2
1.2 Rumusan masalah..............................................................................................................3
1.3 Tujuan...............................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4
2.1 Teori Elite Menurut Para Ahli...........................................................................................4
2.2 Elite Tradisional................................................................................................................7
2.3 Elite Modern......................................................................................................................9
BAB III PENUTUP......................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................16
3.2 Saran................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................17

BAB I
PENDAHULUAN

3
1.1 Latar Belakang
Kaum elite merupakan suatu istilah yang sering kita dengar, tidak hanya
dalam aktivitas politik namun juga dalam aktivitas sosial. Awal kemunculannya
ialah karena kritik keras terhadap politik sosialisme (sosialisme marxis). Teori ini
juga di arahkan untuk mementang gagasan demokratis dan sebagai bentuk sinisme
terhadap aristrokrat. Menurut pandangan Vilfredo Pareto elite ialah kelompok
orang yang mempunyai indeks kemampuan yang tinggi dalam aktivitas mereka,
apapun bentuknya akan tetapi dia kemudian mengkonsentrasikan diri pada apa
yang disebut sebagai “elite penguasa” yang dipertentangkan dengan massa yang
tidak berkuasa, dan Gaetano Mosca yang meringkaskan konsep umumnya dengan
mengatakan bahwa di semua masyarakat, ada satu hal yang menonjol, yakni “dua
kelas manusia – kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai.
Elite merupakan orang-orang yang dan yang mampu menduduki jabatan
yang tinggi dalam masyarakat. Seperti yang kita ketahui kaum elite di mana pun
berada pasti mempunyai suatu power (kekuasaan) untuk melakukan suatu
kegiatan ataupun tindakan. Dalam menganalisa kedudukan elite dalam
masyarakat, elemen yang perlu di perhatikan adalah konsep kekuasaan. Hal ini
disadari bahwa elite dan kekuasaan merupakan dua variabel yang tidak dapat
dipisahkan, karena elite adalah merupakan sekelompok orang yang memiliki
sumber-sumber kekuasaan dan sebaliknya. Kekuasaan merupakan salah satu unsur
terbentuknya elite. Elite politik adalah sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan politik.
Peranan kaum elite di negara berkembang seperti Indonesia ialah,
sebagai pemegang sumber-sumber kekuasaan seperti sumber ekonomi, sosial
budaya dan lain-lain, sehingga secara otomatis mereka dikenal oleh masyarakat
sebagai salah satu orang yang memiliki pengaruh di dalam masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung. Isu kepemimpinan nasional menjadi penting
guna mengukur posisi elite partai yang akan maju atau elite di luar partai politik
yang dijagokan oleh partai. Walau demikian, elite di luar partai juga termasuk
elite dalam tingkatan kelas sosial dalam strata masyarakat. Elite dalam
pengaruhnya dapat memotori suatu partai ataupun perilaku masyarakat untuk

4
menetapkan pilihannya, untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam suatu
pemilihan umum.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana teori elite menurut para ahli?
2. Bagaimana konsep kaum elite tradisional?
3. Bagaimana konsep kaum elite modern?
4. Bagaimana perubahan elite tradisional ke elite modern?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui teori elite menurut para ahli
2) Untuk mengetahui proses terbentuknya kaum elite tradisional
3) Untuk mengetahui proses terbentuknya kaum elite modern

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Elite Menurut Para Ahli


 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Elite adalah orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok.
 Pengertian secara umum

5
Elit adalah sekelompok orang yang dalam masyarakat menempati kedudukan
tinggi.
 Pengertian secara khusus
sekelompok orang terkemuka di bidang-bidang tertentudan khusunya golongan
kecil
Menurut Para Ahli :
Garis besar perkembangan elite Indonesia adalah dari yang bersifat
tradisional yang berorientasi kosmologis dan berdasarkan keturunan serta kepada
elite modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran dan berdasarkan
pendidikan. Elite modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elite tradisional
Menurut Aristoteles, elite adalah sejumlah kecil individu yang memikul
semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elite yang
dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan
Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat,
suatu minoritas membuat keputusan-keputusan besar. Konsep teoritis yang
dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua
sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.
Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok
kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan
politik. Kelompok kecil itu disebut dengan elite, yang mampu menjangkau pusat
kekuasaan. Elite adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan
tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elite
berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai
kelebihan dalam matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya.
Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang
secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini
kemduain didukung oleh Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”hukum besi
oligarki” tak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada kelompok kecil
yang kuat, dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya,
Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya
tersebar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti pada setiap

6
tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannya pun bisa
naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih penting,
dalam situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat kepada
siapa saja yang kebetuan punya peran penting.
Dwaine Marvick. Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit.
Pertama, dalam tradisi yang lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang
menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan bakat-bakat
unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok
pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Ke dua, dalam tradisi
yang lebih baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun
yang menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor
dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan,
atau pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.
Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang
menempati posisi di dalam masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang
terpenting,, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi pemerintahan, aparat
kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan
seiring dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit adalah mereka yang mengatur
segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang memainkan peran utama yang
fungsional dan terstruktur dalam berbagai lingkup institusional, keagamaan,
militer, akademis, industri, komunikasi dan sebagainya.
Didalam suatu lapisan masyarakat tentu ada sekelompok kecil yang
mempunyai posisi kunci atau mereka yang memiliki pengaruh yang besar dalam
mengambil berbagai kebijaksanaan. Mereka itu mmungkin para pejabat, petugas,
ulama, guru, petani kaya, pedagang kaya, pensiunan dan lainnya. Para pemuka
pendapat inilah pada umumnya memegang strategi kunci yang dimilki status
tersendiri yang akhirnya merupakan elit masyarakatnya.
Teori elite mengandung arti bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua
kategori yang luas yang mencakup :
 Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki
posisi untuk memerintah; dan

7
 Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.

Elite sering di artikan sebagai sekumpulan orang sebagi individu-


individu yang superior, yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-
jaringan kekuasaan atau kelompok yang berbeda dilingkaran kekuasaan maupun
yang sedang berkuasa. Mosca dan Pareto membagi stratifikasi dalam tiga kategori
yaitu elite yang memerintah (governing elite), elite yang tidak memerintah (non-
governing elite) dan massa umum (non-elite).
Dalam sirkulasi elite, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu
sendiri maupun antarkelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi
elite menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi
antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri. Kedua, pergantian terjadi di
antara elite dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa berupa
pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu:
 Individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elite yang
sudah ada
 dan atau Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok
elite baru dan masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elite
yang sudah ada.
Dalam masyarakat yang menganut paham demokrasi, maka keberadaan
elite tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller
(1995:87) mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong
perkembangan elite yakni:
(1) pertumbuhan penduduk
(2) pertumbuhan spesialisasi jabatan
(3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi
(4) perkembangan keagamaan moral

2.2 Elite Tradisional


Elite tradisional adalah golongan elite yang berorientasi kosmologis/berdasarkan
keturunan). Ada dua jenis golongan elite tradisional adalah : 

8
1. Priyai
Golongan elite yang merupakan sekelompok lapisan masyarakat yang
mempunyai kedudukan terkemuka di lingkungan kerajaan dan mempunyai
martabat tinggi dalam masyarakat. Mereka terdiri atas golongan bangsawan,
tentara, rohaniawan, atau pedagang kaya. Kaum bangsawan di Jawa dikenal
sebagai bendoro, di Jawa Barat sebagai menak, bertingkat-tingkat sesuai
dengan yang menurunkannya. Kaum pegawai di Jawa disebut sebagai priyai
yang juga bertingkat-tingkat, mereka mudah dibedakan satu dengan yang lain
berdasarkan pakaian dinasnya dengan kepangkatannya pada lengan baju atau
daerah tempat tinggalnya. Jumlah tentara kerajaan dibandingkan dengan
negara modern relatif kecil, karena kekuatan pertahanan terletak di bawah
para bangsawan seperti bupati. Kaum rohaniawan yang berfungsi dalam
bidang agama memiliki kedudukan yang khas kaena karismanya.

Mereka pada umumnya bertempat tinggal di lingkungan tempat ibadah


seperti dekat pura untuk yang beragama Hindu, dan di dekat Masjid disebut
kauman untuk yang beragama Islam. Dalam masyarakat Jawa dan Bali yang
pernah mengenal sistem Kasta, pedagang di tempatkan sebagai golongan
yang lebih rendah, masuk kasta Waisya, tetapi di Sumatra pedagang kaya
termasuk kaum elite, mereka memperoleh sapaan sebagai urang kayo atau
rangkayo di Sumatra Barat. Kedudukan dan martabatnya tidak kalah dengan
kaum elite yang lain.

2. Syahbandar
Dalam sejarah lama syahbandar sebagai kepala pelabuhan memperoleh
kedudukan sebagai kaum elite. Sebagian dari mereka terdiri atas orang asing.
Hal ini disebabkan karena raja pada masa itu juga mempunyai penghasilan
dari perdagangan, sehingga pejabat yang memegang peran penting dalam
perdagangan diberi kedudukan istimewa. Pemakaian tenaga asing untuk
jabatan tersebut disebabkan karena mereka dinilai ahli dalam perdagangan
termasuk kemahiran memakai bahasa asing.

9
Komponen-komponen kekuasaan dalam elite tradisional adalah seorang
pemimpin dalam mempertahankan kekuasaannya harus memiliki apa yang
namanya kharisma (memiliki wahyu Tuhan atau Dewa), kewibawaan,
wewenang, dan kekuasaan dalam arti khusus, serta sifat-sifat lain yang
menjadi syarat penting bagi seorang pemimpin dalam masyarakat negara
yang seperti itu. Sifat keramat atau karisma seorang raja yang akhirnya
seringkali menjadikan seorang raja harus mengisolasikan diri dari rakyatnya
untuk tidak bertatap muka dan berdialok langsung dengan raja. Bahkan
hingga pada sebuah pemikiran yang memang sengaja didoktrinkan kepada
rakyat, bahwa seorang rakyat biasa tidak diperkenankan untuk melihat atau
menatap wajahnya, karena hal itu adalah merupakan tindakan yang tidak
sopan atau sangat dilarang.

Hal demikian juga terjadi pada negara kuno Jepang, dimana


masyarakatnya tidak diijinkan atau dilarang untuk memandang wajah seorang
Kaisar Meiji yang berkuasa pada saat itu. Hal ini, tidak terlepas dengan
indoktrinasi yang diberikan oleh pihak kerajaan bahwa raja adalah
penjelmaan dari dewa. Untuk Indonesia dan mungkin bagi seluruh elite yang
ingin menjadi dan mempertahankan kekuasaannya, Koentjaraningrat
mengatakan bahwa meskipun kekuasaan pemimpin tradisional memiliki
karisma sebagai komponen yang penting, sehingga menjadi unsur pokok yang
menjaga kontinuitas kepemimimpinannya, akan tetapi seorang pemimpin
tidak dapat mengabaikan komponen lain yakni apa yang disebut sebagai
kekuasaan dalam arti khusus, yaitu: kemampuan untuk mengerahkan
kekuatan fisik, dan untuk mengorganisir orang banyak untuk mengadakan
sanksi. Selain itu seorang pemimpin haruslah memiliki sifat yang adil, baik
hati dan bijaksana. Ketiga sifat ini pada dasarnya juga diperlukan untuk
menjadi seorang pemimpin baik tradisional maupun masa kini.

10
2.3 Elite Modern
a. Konsep Elite Modern
Dalam perkembangan sejarahnya dengan ditandai kemajuan dari segi
budaya, teknologi dan logika berpikir yang lebih maju dan rasional dari
masyarakat, menjadikan konsepsi elite dalam memandang kekuasaan di masa kini
(era modern) memiliki perbedaan yang cukup mendasar dari konsepsi elite
tradisional. Kalau untuk menjaga kewibawaan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya dalam negara tradisional, ia harus mengisolasi diri untuk tidak bertatap
muka dan dialog dengan masyarakat walau dengan dalih karena seorang raja
adalah keturunan dewa yang suci dan harus menjaga kesucian dan
kekeramatannya itu, sedangkan masyarakat adalah manusia yang hina yang dapat
mencemari kesuciannya.
Disini jelas bahwa ada kemajuan berfikir yang lebih dan sangat maju
antara elite tradisional dan elite modern. Terutama dalam keinginan untuk
mempunyai pendidikan agar dapat lebih baik kemasa depannya kelak.  Maka
dalam masyarakat modern, seorang pemimpin dalam membangun kewibawaan
terhadap rakyatnya tidak lagi dengan menggunakan cara-cara yang demikian, tapi
lebih pada bagaimana membangun citra yang baik dihadapan masyarakat. Ini
artinya, mengharuskan seorang pemimpin untuk lebih dekat dengan rakyatnya,
karena sumber legitimasi dan wewenang seorang penguasa, terlebih dalam negara
yang telah menganut sitem politik demokrasi modern, bukan lagi para dewa dan
roh nenek moyang, bukan pula kekuatan sakti yang terhimpun dalam pusaka-
pusaka keramat, tetapi sumber kekuasaan dan wewenang seorang pemimpin ada
pada masyarakat.
Elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan
pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elite tradisional.
Secara struktural ada disebutkan tentang administratur-administratur, pegawai-
pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual,
tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit
fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah
pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang

11
mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat
yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat
dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan
sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa
ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai
pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis
daripada praktis. 

b. Proses terbentuknya kaum elite modern


Istilah elit modern mungkin sangat jarang didengar saat ini di Indonesia
dalam perspektif sejarah. penulis mencoba kembali mengulas cerita tentang elit
modern di Indonesia pada masa kolonial dalam penelitian sederhana ini. Sembari
kembali menyegarkan ingatan kita tentang suatu tonggak perubahan sangat
signifikan kehidupan Indonesia yang kelak berdampak sangat besar pada
perjalanan bangsa Indonesia kedepannya.
Elit modern itu sendiri dianggap begitu penting dan menarik, karena
merupakan bagian penting dari suatu rentetan peristiwa seputar sejarah pendidikan
di Indonesia. Jadi, pada masa sebelum kolonialisasi Belanda hingga pada masa
politik etis di Indonesia, terdapat satu kesatuan budaya asli yang masih tradisional
yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Kebudayaan asli ini masih dijaga
eksistensinya oleh masyarakat Indonesia, seperti pengabdian kepada raja, pemilik
tanah hingga pada kelayakan perolehan pendidikan hanya pada golongan
bangsawan. Maka muncullah golongan elit tradisional seperti raja, tuan tanah dan
bangsawan yang memiliki harkat, martabat dan derajat sangat tinggi di Indonesia
dikarenakan kedudukan atau jabatan yang dipegangnya.
Selintas kemunculan elite modern tidak bisa dipisahkan dari peristiwa
politik etis yang terjadi di Indonesia . politik etis adalah gerbang perubahan
budaya tradisional dalam hal pandangan hidup kepada modernisasi ala Barat
melalui pendidikan. dalam politik etis ini terdapat kebijakan yang diantaranya
adalah penerapan pendidikan kepada rakyat Indonesia. Setelah kebijakan politik

12
etis ini diterapkan, banyak rakyat Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan di
sekolah umum.
Dan setelah itu, banyak bermunculan elite-elite modern yang intelektual
yang berwawasan luas. Yang pada perkembangan berikutnya golongan elite
modern terpelajar ini mulai merambah dan berkecimbung di berbagai bidang,
seperti politik, sosial, budaya, dan pendidikan. Tujuan mereka sama, yaitu
memperoleh hak-hak layak hidup sebagai manusia yang bebas. Tidak terkecuali
kesempatang mengenyam pendidikan bagi rakyat jelata, sampai kepada tuntutan
kebebasan yang pada akhirnya berujung pada konsep kemerdekaan yang hakiki.

2.4 Kesimpulan perbandingan antara karakteristik elite tradisional dan elite


modern
Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara elit
tradisional, dan elit masa kini (modern) dalam melihat kekuasaan dan
kepemimpinan sebuah negara. Perbedaannya yang memdasar ada pada cara
membangun karisma dan wibawa. Di mana dalam masayarakat tradisional
memahami bahwa seorang pemimpin atau raja dalam sebuah negara tradisional
(kuno) memandang untuk menjaga wibawa dan karisma, mengharuskan seorang
raja harus memisahkan diri atau mengisolasikan dirinya dari kehidupan
masyarakat. Hal ini dilakukan dengan melalui indoktrinasi ajaran dari sebuah
kepercayaan agama bahwa seorang raja adalah titisan dewa yang suci, maka
rakyat yang dianggap hina harus menjauh atau dilarang untuk menatap dan
berdialok dengan raja, karena dapat mencemari kesucian raja.
Berbeda kemudian dalam masyarakat masa kini (modern), dalam
membangun karisma dan wibawa seorang pemimpin tidak lagi mengisolasikan
diri dari kehidupan rakyatnya, justru sebaliknya seorang pemimpin harus lebih
dikenal dan dekat dengan rakyat. Hal tidak lain karena legitimasi kepemimpinan
seseorang dalam negara modern bukan didapat dari dewa, atau hal-hal keramat
sebagai mana dalam masyarakat kuno, tetapi legitimasi seorang pemimpin ada
pada masyarakat itu sendiri, karena masyarakat lah yang langsung memilih

13
seseorang untuk menjadi pemimpin mereka. Inilah yang mengharuska
kewibawaan dan karisma seorang pemimpin harus dibangun melalui popularitas.

2.5 Perubahan Elit Tradisional ke Elit Modern


Ada baiknya kita menelisik salah satu faktor yang mempelopori bangsa
Eropa untuk sedikit memanusiakan manusia jajahannya. Tilaar (2007:83)
menyebutkan “teori yang dicetuskan Rousseau pada masa Aufklarung tentang
pendidikan yang wajib memberikan kebebasan kepada manusia dalam memilih
sesuai dengan keinginannya”. Sedikit banyak pendapat Rouseau tersebut memiliki
pengaruh secara tidak langsung kepada golongan pribumi untuk memperoleh
pendidikan dan memperoleh kebebasan.
Jika kita menetapkan standar baku dan batasan elit tradisional adalah
orang – orang besar (priyayi) yang belum terpengaruh pemikiran Barat, seperti
Kejawen dan Islam santri. Pada umumnya mereka (elit tradisional) berasal dari
keluarga raja, bangsawan atau priyayi yang memperoleh status
kebangsawanannya dari garis keturunan. Disamping itu ciri khusus elit tradisional
seperti diungkapkan Niel (1984:58) “dualisme...orang Indonesia...pendidikan
(rasionalitas) dan takhyul”. Lebih lanjut Graves (2007:11) menyebutkan...tingkat
pengaruh yang dimiliki pihak elit tradisional dalam persaingan memperoleh
kekayaan dan prestise didasarkan keturunan itu sendiri. Maka Suryanegara
(2009:277) memiliki pendapat sendiri bahwa “perubahan pola pikir masyarakat
Islam akan kesadaran teritorial dan identitas telah tergambarkan jauh sebelum
pemikiran Barat hadir di Indonesia”. Artinya tidak bisa kita mengatakan bahwa
Islam atau sebelum pemikiran Barat datang di Indonesia bahwa elit tradisional
sangat rendah wawasannya.
Kembali pada mengapa dengan mudahnya kaum tradisional menerima
segala perubahan yang datang dari Barat. Hal ini sangat unik dan membutuhkan
penguraian teori kebudayaan yang membahas tentang perubahan kebudayaan.
Seperti yang disebutkan Havilland (1988:252) menyebutkan bahwa “kemampuan
berubah selalu merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa
hal tersebut, kebudayaan tidak akan mampu menyesuaikan dengan keadaan yang

14
selalu dinamis”. Lebih lanjut lagi disebutkan perubahan – perubahan yang terjadi
pada kalangan elit tradisional menuju pada elit modern yang lebih bersifat Barat
disebabkan oleh invention yang terjadi di Eropa dan dibawa melalui akulturasi
antara pemerintah kolonial Belanda dengan penduduk pribumi dalam hal ini elit
tradisional.
Tidak selamanya akulturasi berjalan mulus antara pemerintah kolonial
dengan rakyat pribumi. Hal ini didasari atas perbedaan yang sangat mendasar,
yaitu agama yang Islam yang dianut orang Pribumi Indonesia, sedangkan Belanda
memiliki keyakinan Protestan. Pada mulanya golongan elit tradisional khususnya
Islam santri memiliki keraguan atas pendidikan yang ditawarkan pemerintah
kolonial. Jelas penyebabnya adalah pendidikan dengan sistem modern ala Barat
yang mengesampingkan agama Islam dalam kurikulumnya. Namun disinilah letak
kebrilianan Hurgronje sebagai antropolog profesional (bidang Islam) dari pihak
pada Belanda yang berhasil meyakinkan para raja dan bangsawan Islam agar
menyekolahkan anaknya di sekolah umum.
Seperti kita ketahui sebelumnya bahwa hanya sedikit dari golongan
pribumi yang ingin bersekolah di sekolah – sekolah Belanda.  Hal ini didukung
oleh pendapat Nagazumi (?:22) bahwa ”pada tahun 1902 hanya ada empat dari
delapan bupati yang mampu menggunakan bahasa Belanda. Salah satu dari
mereka adalah R.M. Koesoemo Oetoyo sebagai pemimpin gerakan Budi Utomo,
sebagai komisaris pada 1909 dan sebagai ketua pada 1926”. Ini artinya belum
banyak pribumi Jawa yang mau mengenyam pendidikan dari Belanda pada saat
itu.
Hal yang menarik, diantara pribumi yang memperoleh pendidikan Barat
seperti Koesoemo Oetoyo menularkan ide – ide yang luar biasa pada pribumi lain
yang tidak tertarik pada pendidikan Belanda. Ide – ide tersebut antara lain
memperkenalkan hierarki kolonial Belanda pada kaum elit pribumi dan
bagaimana hierarki tersebut bekerja, juga proses dimana mereka (elit pribumi)
semakin dalam terlibat (Nagazumi, ?:23). Ide – ide semacam itu semakin
merangsang elit pribumi lain untuk bersekolah dan melakukan perubahan –

15
perubahan sosial yang pada akhirnya nanti membentuk Budi Utomo dan
Volksraad.  
Untuk tahap awal para elit modern ini biasanya muncul dan berkembang
setelah mendapat pendidikan di Eropa. Seperti contoh, Achmad Djajadiningrat
seorang anak bangsawan Banten dan keturunan Paku Alam yang banyak
melanjutkan studi di Eropa. Namun berikutnya setelah didirikannya sekolah
dokter STOVIA pada 1902 di Jawa, maka banyak muncul elit – elit modern yang
memiliki pemikiran – pemikiran Barat yang, brilian seperti Radjiman
Wideodiningrat, Boedi Oetomo, Tjipto Mangunkusumo, Wahidin Wirohoesodo
dan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hatmosoeprobo dalam Suwarno
(1995:60) “anak-anak priyayi lulusan sekolah yang bahasa pengantarnya bahasa
Belanda...kemudian hari tumbuh menjadi golongan intelektual yang biasa disebut
modern Indonesia”. Kelak mereka akan membuka wawasan dan kesadaran
masyarakat Indonesia akan nasionalisme, identitas dan hak layak untuk hidup
sebagai manusia bebas. Tidak hanya itu pada tahun 1916 juga muncul organisasi
massa bercorakkan agama yang disebut SI (Serekat Islam). Cukup banyak
kontribusi para pemikir Serikat Islam bagi masyarakat seperti SI menghendaki
natie dan berpemerintahan sendiri bagi rakyat Nusantara (Kusuma, 2001:152).
Lebih lanjut Kartodirdjo dalam Suwarno menyebutkan (1995:8) “BO, SI,
Muhammadyah, IP dan sebagainya berfungsi sebagai lambang identitas baru
berdasarkan solidaritas modern (non-primordialis). Ide nasionalisme
mentrasenden etnosentrisme, etno nasionalisme, serta segala jenis primordialisme
dan komunalisme diganti solidaritas nasional.”
Maka pada perkembangan berikutnya golongan elit modern terpelajar ini
mulai merambah dan berkecimpung di berbagai bidang, seperti politik, sosial,
budaya dan pendidikan. Tujuan mereka sama, yaitu memperoleh hak – hak layak
hidup sebagai manusia yang bebas. Tidak terkecuali kesempatan mengenyam
pendidikan bagi rakyat jelata, sampai kepada tuntutan kebebasan yang pada
akhirnya berujung pada konsep kemerdekaan yang hakiki.
Dalam hal ini kegiatan awal golongan elit modern dapat ditandai dengan
mulai dibentuknya organisasi yang bersifat sosial – budaya seperti Boedi Oetomo

16
pada tahun 1908 oleh Wahidin Wirohusodo. Mereka memfokuskan perhatian pada
kesadaran identitas bangsa, nasionalisme dan persatuan beragam suku yang ada di
Indonesia. Wahidin merekrut para mahasiswa alumni STOVIA untuk bergabung
kepada Boedi Oetomo dalam rangka menyatukan visi dan misi yakni kebebasan
dan hak layak hidup. Beberapa dari mereka yang bergabung pada Boedi Oetomo
antara lain Tjipto Mangukumo dan Suwardi Suryaningat serta Soetomo. Dan dari
mereka akan berkembang pula organisasi Indische Partij yang bergerak pada
bidang politik yang fokus memperjuangkan nasionaslisme sebagai kesadaran
nasional seluruh rakyat Indonesia dan lainnya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara elite
tradisional, dan elite masa kini (modern) dalam melihat kekuasaan dan
kepemimpinan sebuah negara. Perbedaannya yang mendasar ada pada cara
membangun karisma dan wibawa. Di mana dalam masyarakat tradisional
memahami bahwa seorang pemimpin atau raja dalam sebuah negara tradisional
(kuno) memandang untuk menjaga wibawa dan karisma, mengharuskan seorang
raja harus memisahkan diri atau mengisolasikan dirinya dari kehidupan
masyarakat. Berbeda kemudian dalam masyarakat masa kini (modern), dalam

17
membangun karisma dan wibawa seorang pemimpin tidak lagi mengisolasikan
diri dari kehidupan rakyatnya, justru sebaliknya seorang pemimpin harus lebih
dikenal dan dekat dengan rakyat.

3.2 Saran
Dengan keterbatasan dalam memberikan informasi yang terkait dengan
materi diatas, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk dapat memperbarui
dan melengkapkan informasi yang ada di makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/5585036/Teori_Elit

Riyani, Riskya (2012). Kelompok Sosial.

thomasyg.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/21058/Materi+ISD.pdf

https://ml.scribd.com/doc/106689940/Ilmu-Sosial-Dasar

18

Anda mungkin juga menyukai