PATTIRO
PUSAT ANALISIS DAN TELAAH REGIONAL
ISBN 978-979-18481-8-3
Penulis:
Ilham Cendekia Srimarga
Markus Christian
Dati Fatimah
Hasrul Hanif
Tri Lindawati
Editor:
Diah Tantri
Tata Letak:
Agus Wiyono
Penerbit:
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)
Jl. Tebet Timur Dalam VIII No.39, Jakarta Selatan
Telp/Fax : +62-21 8379 0541/+62-21 829 4691
Email : sekretariat@pattiro.org; pattiro@yahoo.com
ii
kata pengantar
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 3
perorangan yang diundang adalah: praktisi, aktivis atau pengamat masalah-
masalah HAM, ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia. Dari kegiatan ini,
kami mengharapkan tulisan makalah yang memberi gambaran rasional
mengenai potret pemenuhan hak ekosob di Indonesia dan sistem/kebijakan
yang telah dibuat oleh pemerintah untuk pemenuhan hak-hak tadi.
Dari seluruh kandidat (59 lembaga) yang mengirimkan concept note,
akhirnya terpilih tiga kandidat untuk pemakalah hak atas pangan, hak atas
kesehatan dan hak atas lingkungan. Namun, sampai tahap terakhir, hanya
ada dua pemakalah yang kami nilai berhasil menyelesaikan tulisannya
sesuai standard panitia, yakni Tri Lindawati dari CAPS UGM yang menulis
mengenai hak atas pangan dan Hasrul Hanif (bersama Dati Fatimah) dari
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip UGM yang menulis hak atas kesehatan.
Selanjutnya, karena tidak ada kandidat yang terpilih untuk menulis
pelaporan hak atas pendidikan, maka kami mengundang salah satu penulis
untuk menuliskannya, yakni Markus Christian dari BIGS Bandung (bersama
Ilham Cendekia Srimarga).
Seperti kami sampaikan di awal, mengiringi pelaporan dan penerbitan
laporan riset hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan berikut ini
kami persembahkan juga buku laporan “Situasi Pemenuhan dan Agenda
Mainstreaming Ekosob dalam Sistem Pembangunan di Indonesia”. Buku
laporan ini memuat tulisan tentang hak atas pangan, hak atas kesehatan, dan
hak atas pendidikan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi sehingga
buku laporan ini hadir. Terkhusus kepada penulisnya. Semoga bermanfaat.
4
Daftar isi
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 5
E.4 Demokratisasi dan Klientelisme Baru dalam
Pemenuhan Hak Kesehatan
E.4.1 Privatisasi dan Kuasa Pasar
F. Catatan Penutup
DAFTAR PUSTAKA
6
Daftar tabel
Tabel 7 Persentase Kepala Sekolah dan Guru Menurut Ijazah Tertinggi dan
Jenjang Pendidikan Tahun 2007/2008
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 7
pemenuhan Hak ekosob
Di bidang pendidikan
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 9
10
pemenuhan Hak ekosob
Di bidang pendidikan
oleh:
ilham Cendekia srimarga
Markus Christian
LATAR BELAKANG A
Pendidikan di Indonesia telah mengalami perubahan besar – tetapi
bukan transformasi – dari sebuah sistem yang tersentralisasi menjadi
terdesentralisasi. Sejak Reformasi dan digulirkannya Otonomi Daerah,
sektor pendidikan yang semula merupakan wilayah Pemerintah Pusat kini
menjadi wilayah yang sebagian besar – setidaknya secara teori – di tangan
pemerintah daerah, khususnya Kabupaten dan Kota.
Perubahan besar ini juga diikuti dengan peningkatan dana yang
signifikan. Anggaran pendidikan telah meningkat secara riil dari hanya 2,8
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 11
persen PDB (produk domestik bruto) pada tahun 2001 menjadi 3,1 persen
PDB pada tahun 2006. Yang juga signifikan adalah transfer ke daerah. Dari
total anggaran pendidikan, lebih dari setengahnya atau 56 persen sekarang
berada di daerah (Kota/Kabupaten 51 persen dan Propinsi hanya 5 persen
sisanya).1
Perubahan besar lainnya adalah hubungan antara lembaga-lembaga
pendidikan dengan pemerintah. Kendati undang-undang tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitutsi (MK),
namun jiwa dibalik peraturan tersebut tetap hidup dan bisa menjelma dalam
bentuk lain. Pemerintah dikabarkan akan menjadikan lembaga pendidikan
sebagai BLU (Badan Layanan Umum) yang tentunya memiliki dinamika
hubungan yang berbeda dibandingkan deengan yang berlaku saat ini.
Perubahan penting juga terjadi dalam hal standardisasi pendidikan. Dari
sekadar favorit versus tidak favorit, kini kategori sekolah dibuat lebih beragam
dengan acuan yang semakin jelas.2 Hal yang sama juga terjadi terhadap
para guru. Sertifikasi adalah kata kunci yang sering terdengar menyangkut
standardisasi yang berlaku di kalangan pengajar. Intinya, kata kualitas
sekarang sudah lebih bisa diukur (baca: dikuantifikasi) – dan karenanya
dapat dipertanyakan.
Perubahan-perubahan besar itu tidak lepas dari kesadaran baru tentang
pentingnya pendidikan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Pendidikan dipercaya mampu menjadi alat transformasi kehidupan warga
dan Negara. Itu sebabnya para pengamandemen konstitusi sepakat untuk
memasukan kewajiban alokasi 20 persen untuk pendidikan ke dalam
undang-undang dasar (UUD). Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat
juga semakin kuat bahwa pendidikan adalah hak asasi3.
Perubahan-perubahan tersebut juga telah memunculkan banyak isu di
bidang pendidikan. Seperti biasa, isu-isu tersebut muncul karena adanya
pendapat dan fakta yang menunjukkan kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Setiap isu tidak lepas dari kerangka yang lebih besar, seperti
sistem pendidikan, anggaran pendidikan, peran negara versus masyarakat
dalam pendidikan, akses terhadap pendidikan, struktur desentralisasi, dan
seterusnya.
Setidaknya terdapat dua besar isu (dengan berbagai cabangnya) yang
melanda pendidikan Indonesia kontemporer.
1
Lihat, Investing in Indonesia’s Education at the District Level, World Bank Report, 2009.
2
Kini dikenal istilah SPM (Standar Pelayanan Minimal), SSN (Sekolah Standar Nasional), RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional), dan SBI (Sekolah Berstandar Internasional).
3
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
12
Isu pertama yang penting dan tetap menimbulkan berbagai perdebatan di
banyak kalangan adalah isu pembiayaan pendidikan. Banyak pihak sepakat
bahwa pendidikan itu mahal. Setidaknya itu juga yang dipahami oleh para
pengambil keputusan di pemerintahan, baik pusat maupun daerah, yang
tercermin dari membengkaknya anggaran pendidikan dalam 10 tahun
terakhir. Kendati demikian, banyak perdebatan panas tentang persoalan
pembiayaan ini yang hingga kini belum solusi.
Isu lain yang terkait dengan pembiayaan pendidikan adalah perdebatan
mengenai publik versus privat, yaitu berapa besar yang seharusnya dibiayai
oleh publik (baca: uang negara) dan berapa besar yang mesti menjadi tanggung
jawab aktor bukan negara (swasta, orang tua, masyarakat/komunitas). Isu
lainnya adalah komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan keluhan
nyaring masyarakat tentang biaya pendidikan yang semakin tinggi. Isu
komersialisasi erat hubungannya dengan isu publik versus privat.
Pembiayaan pendidikan juga menyangkut soal desentralisasi mengingat
terjadi tumpang tindih sekaligus konflik antara pemerintah pusat, pemerintah
propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota tentang siapa yang menanggung
apa dan seberapa besar. Desentralisasi ini nantinya juga menimbulkan
isu efektivitas dan efisiensi anggaran pendidikan yang hingga kini masih
dipermasalahkan. Hal ini juga terkait dengan dugaan adanya korupsi di
instansi-instansi yang mengurus pendidikan, mulai dari tingkat pusat hingga
tingkat sekolah.
Selanjutnya yang cukup terkait dengan pembiayaan, meskipun tidak
langsung adalah isu putus sekolah. Putus sekolah atau dropout berarti
keluar dari sistem pendidikan formal dengan berbagai konsekuensi yang
mengikutinya. Ini isu yang keras kepala dan lingkupnya nasional. Angka putus
sekolah ini pun bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Putus sekolah
juga terjadi pada berbagai jenjang, mulai dari yang paling dasar (tidak tamat
SD), dasar (hanya tamat SD atau putus saat SMP), hingga lanjutan (hanya
tamat SMP dan putus di SMA). Isu ini sangat penting karena erat terkait
dengan upaya internasional untuk mewujudkan EFA (Education For All) atau
pendidikan untuk semua.
Isu kedua yang juga menghasilkan berbagai cabang adalah isu kualitas
pendidikan. Kualitas pendidikan Indonesia masih belum bisa dibanggakan,
apakah itu tingkat dasar maupun tingkat lanjut. Bahkan bisa dibilang, kualitas
pendidikan Indonesia masih sangat memprihatinkan.4 Biang keroknya
macam-macam, tetapi secara inti ada tiga hal: rendahnya kualitas guru,
4
Indonesia berpartisipasi dalam PISA (Programme for International Student Assesment) selama beberapa
kali dan secara konsisten “ketinggalan” dibandingkan negara lain. Pada 2003, Indonesia menduduki urutan ke-40 dari 40
peserta pada semua subyek yang diikuti (matematika, sains, dan membaca). Pada 2006, Indonesia mendapat ranking 36
dari 40 peserta di bidang matematika, ranking 54 dari 57 peserta di bidang sains, dan ranking 51 dari 56 peserta di bidang
membaca.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 13
rendahnya kualitas kurikulum, dan buruknya infrastruktur pendukung.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi penyebab permasalahan
kualitas ini tetapi masih belum mencapai hasil yang diharapkan. Sebaliknya,
pemerintah pusat memperkenalkan Ujian Nasional (UN) sejak 2005 yang
mulanya diadakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat dasar
secara nasional. Namun upaya standardisasi ala UN malah menghasilkan
berbagai kontroversi dan tuntutan ke MK yang dimenangkan penggugat
sementara UN sendiri masih diragukan posisinya sebagai acuan kualitas
pendidikan nasional.
Permasalahan-permasalahan diatas tidak lepas dari bagaimana kerangka
hukum yang mengatur sistem pendidikan yang berlaku, baik secara nasional
maupun secara lokal.
Dari segi pembiayaan misalnya, terdapat jaminan konstitusional
menyangkut anggaran 20 persen, baik dari APBN maupun APBD. Kemudian
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih jauh
meminta supaya alokasi 20 persen itu tidak termasuk gaji (sehingga jika
gaji dimasukkan tentu jauh di atas 20 persen). Namun demikian, MK dalam
putusannya menyebut bahwa 20 persen itu termasuk gaji guru dan dosen.
Padahal, gaji guru dan dosen, terutama gaji guru, bisa memakan 70 hingga
90 persen dari seluruh anggaran pendidikan di daerah.
Jaminan dari segi pembiayaan yang memasukkan gaji guru berkonsekuensi
– diantaranya – terhadap pemenuhan akses terhadap semua penduduk usia
sekolah. Terbatasnya anggaran untuk pembangunan sekolah baru dan ruang
kelas baru menyebabkan banyak anak yang dipaksa putus sekolah karena
ketiadaan fasilitas sekolah di daerahnya.
Selanjutnya keterbatasan anggaran juga menyebabkan kesulitan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya. Fasilitas yang terbatas,
insentif guru yang tidak memadai, suplai??(suplai apa?) yang kurang, dan
seterusnya, menyebabkan sulitnya mengharapkan suatu pendidikan yang
menghasilkan para siswa berkualitas dan memenuhi tuntutan zaman. Ini
tentunya di luar isu-isu non anggaran seperti motivasi dan kualitas guru
yang rendah, perbedaan jarak yang jauh di daerah terpencil, hingga sistem
birokrasi pendidikan sendiri yang dinilai masih menjadi hambatan.
Di tengah kesulitan itu, kerangka hukum tentang kualitas sebenarnya
sudah dan tetap berlaku. Beberapa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan
menteri (Permen) telah keluar untuk mengatur kualitas – diterjemahkan
sebagai standardisasi. Standardisasi ini tentunya memunculkan isu tersendiri
mengingat masih cukup lebarnya jurang antara harapan dan kenyataan.
Berbagai isu di atas pada akhirnya juga mempengaruhi sejauh mana hak
masyarakat akan pendidikan bisa terpenuhi atau tidak.
14
HAK PENDIDIKAN DALAM KONTEKS HAK EKOSOB B
Pentingnya pendidikan sebagai hak sebenarnya telah disadari oleh para
pendiri bangsa, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Mereka memiliki
keyakinan bahwa pendidikan mampu menjadi alat dan sarana transformasi
bangsa. Itu sebabnya, para pendiri bangsa telah aktif dalam pendidikan dan
banyak yang memilih jalur pendidikan sebagai salah satu aras perjuangan.
Tidak aneh kalau kemudian pendidikan menjadi salah satu hak yang
disebut dalam Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi hasil
kemerdekaan. Ini merupakan salah satu momen penting yang menegaskan
bahwa pendidikan adalah hak warga negara. Pernyataan tanpa tedeng aling-
aling tentang hak warga ini juga menunjukkan komitmen besar para pendiri
bangsa terhadap pendidikan warga bangsanya. Ini berarti pendidikan
sebagai hak merupakan sesuatu yang tertulis dalam dokumen negara sejak
awal negara ini berdiri. Pendidikan sebagai hak bukan sesuatu yang baru
saja muncul belakangan, apalagi sesuatu yang ‘diimpor dari Barat’.
Sejak saat itu, pendidikan terus mengalami kemajuan dalam hal cakupan,
kendati banyak kritik terhadap kualitasnya. Pendidikan yang semula merupakan
hak istimewa kaum elit, pelan tetapi pasti menjadi sebuah pelayanan yang
dinikmati semakin banyak orang. Kendati pendidikan universal masih dalam
tahap diusahakan, tidak bisa dipungkiri bahwa telah terjadi perluasan akses
pendidikan yang cukup masif dari sejak saat proklamasi kemerdekaan.
Semua itu tidak lepas dari perjalalan pendidikan sebagai hak warga
negara, sebagaimana telah ditintakan oleh para pendiri bangsa. Pendidikan
adalah hak dan hak ini harus dipenuhi oleh negara. Itu sebabnya pendidikan
sejak awal Republik ini telah menjadi portfolio kabinet yang penting dan
tidak pernah sekalipun ditiadakan (lihat Tabel).
Tabel 1
Sejarah Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia
Sumber: Kemendiknas.go.id
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 15
Pendidikan terus menjadi bidang yang penting, sebuah kedudukan yang
strategis, dan dalam beberapa hal menjadi rebutan berbagai kekuatan politik
yang ingin mengusainya.
Terlepas dari itu, promosi negara terhadap hak rakyat atas pendidikan
berjalan dengan berbagai cara dan terus berlangsung dalam beberapa
penggalan sejarah Republik. Dalam masa Orde Baru misalnya, pendidikan
pernah mendapatkan prioritas besar dalam penganggaran seperti tercermin
dari dibangunnya sejumlah besar sekolah dasar instruksi presiden (SD Inpres)
di berbagai wilayah, termasuk wilayah terpencil. Pada saat itu pemerintah
juga melakukan rekrutmen guru secara besar-besaran sekaligus memberikan
berbagai insentif untuk menyejahterakannya.
Itu semua tentunya dilakukan dalam semangat untuk memenuhi hak
rakyat atas pendidikan, sesuai dengan amanat konstitusi.
Waktu terus berjalan dan komitmen terhadap pendidikan semakin
diperkokoh pada Era Reformasi. Melalui amandemen terhadap UUD 1945,
negara pada akhirnya menempatkan pendidikan pada posisi yang sangat
tinggi, seperti termaktub dalam Pasal 31 UUD 1945 Amandemen ke-4 yang
disahkan MPR Tahun 2002:
Terlihat jelas bahwa konstitusi tidak hanya berbicara hak, tetapi juga
kewajiban. Tidak hanya berbicara tentang hak warga negara, tetapi juga yang
lebih penting adalah kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar.
Hal ini kemudian dipertegas dengan kewajiban negara untuk mengalokasikan
sekurang-kurangnya 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan.
Ini jelas komitmen luar biasa, karena tidak ada bidang lain yang
mendapatkan alokasi khusus dan sangat besar seperti ini. Ini juga sekali lagi
menunjukkan konsistensi sikap negara terhadap pendidikan, setidaknya
secara politis.
Secara politis dan strategis pula, negara Republik Indonesia akhirnya
16
menjadi negara yang berkomitmen penuh pada pemenuhan hak atas
pendidikan dalam kerangka hak asasi manusia dengan melakukan ratifikasi
terhadap Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob)
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ratifikasi itu disahkan lewat UU No. 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan the International Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights.
Ada beberapa hal yang penting sehubungan dengan ratifikasi tersebut,
yaitu:
1. Adanya kewajiban untuk Negara Pihak – negara penandatangan
Kovenan – untuk secara progresif merealisasikan berbagai hak yang
termaktub dalam Kovenan.
2. Adanya cakupan yang jelas tentang apa saja yang harus dipenuhi dan
bagaimana mengukurnya
Untuk point pertama, dijelaskan bahwa negara mesti aktif dalam upaya
memenuhi hak-hak warga negaranya. Hal ini dengan gamblang dinyatakan
dalam Pasal 2 ayat 1 Kovenan:
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 17
proaktif. Negara dinilai gagal memenuhi hak warganya apabila kondisi
pendidikan yang buruk – angka tidak sekolah dan putus sekolah yang tinggi
– dibiarkan berlangsung terus tanpa perbaikan. Bahkan jika ada upaya
perbaikan tetapi lambat, maka komitmen negara patut dipertanyakan.
Sifat harus aktif dan proaktif ini tidak lepas dari tuntutan sebagai Negara
Pihak dalam Kovenan, seperti dijelaskan lebih jauh dalam “The Limburg
Principles on The Implementation of The International Covenant on Economic,
Social, and Cultural Rights” dan “Maastricht Guidelines on Violations of Economic,
Social, And Cultural Rights”. Dalam penjelasan dimaksud, negara memiliki
empat kewajiban sehubungan dengan Hak Ekosob ini, yaitu:
1. Negara wajib menghormati (to respect) yang berarti negara harus
memastikan akses terhadap pendidikan yang selama ini dinikmati –
misalnya secara swadaya – tetap dihormati dan dilindungi. Negara
menghormati hak tersebut dan tidak menguranginya.
2. Negara wajib melindungi (to protect) yang berarti negara mesti
melindungi hak warganya terhadap pendidikan dengan memastikan
tidak terjadi upaya-upaya yang menghalangi hak warga negara
terhadap pendidikan. Tidak boleh terjadi diskriminasi atas kelompok
tertentu dalam upayanya mendapatkan pendidikan, baik oleh negara
maupun pihak lain.
3. Negara wajib memenuhi (to fulfill) yang berarti segala produk
kebijakan, mulai dari undang-undang dan peraturan, hingga sistem
yang dikembangkan dan dijalankan, seperti sistem administrasi dan
yudisial, serta instrumen lainnya yang dimiliki negara, ditujukan untuk
menjamin warga negara mendapatkan pendidikan yang merupakan
hak asasinya. Negara harus berusaha agar pendidikan makin luas
cakupannya sehingga tidak ada lagi yang terpaksa tidak mendapat
pendidikan.
4. Negara wajib mengembangkan (to promote) yang berarti negara
seharusnya terus mendorong pemenuhan hak terhadap pendidikan
yang dibuktikan dengan semakin majunya cakupan dan kualitas
pendidikan dari tahun ke tahun, bukannya malah stagnan apalagi
mundur.
18
Tabel 2
Contoh Hak Terhadap Pendidikan dan Tiga Kewajiban
Sesuai dengan point kedua yaitu soal cakupan yang jelas tentang apa dan
bagaimana ukuran pemenuhan hak Ekosob, termasuk di bidang pendidikan,
secara garis besar ada empat aspek penting dalam pemenuhan hak Ekosob di
bidang pendidikan (lihat Tabel 3), yaitu:
1. Ketersediaan, yang berkaitan dengan tersedianya segala yang
diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan, terutama
sumber daya manusia dan dana serta infrastrukturnya.
2. Akses, yang berkaitan dengan dimungkinkannya pendidikan dijangkau
oleh semua elemen warga negara, tanpa memandang latar belakang
baik politis, ekonomi maupun budaya.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 19
3. Keberterimaan, yang berkaitan dengan kelayakan pendidikan yang
disajikan/disampaikan. Pendidikan tidak saja tersedia dan dapat
dijangkau tetapi juga memiliki kualitas yang bisa diterima.
4. Adaptabilitas, yang berkaitan dengan kemampuan sistem pendidikan
yang diberikan negara dalam menjawab tantangan jaman yang terus
berubah.
Tabel 3
Definisi dan Konstruk Aspek Hak EKOSOB Bidang Pendidikan
20
Operasionali- Tersedianya Semua institusi pendidikan Terdapat sistem kurikulum Kurikulum yang
sasi sekolah yang layak bisa diakses oleh semua orang yang berjalan dengan baik diterapkan
dalam jumlah tanpa kecuali dan memenuhi standar sesuai dengan
yang cukup nasional perkembangan
Semua lingkungan setingkat ilmu dan teknologi
Tersedianya desa memiliki minimal satu Terdapat muatan lokal mutakhir
kantor pemerintah sekolah dasar dan semua dalam kurikulum yang
yang mengurusi kecamatan memiliki minimal sesuai dengan kebutuhan Para guru
pendidikan satu sekolah lanjutan nyata daerah mendapatkan
pengayaan secara
Tersedianya guru Sekolah tingkat dasar harus Sistem pengajaran berkala mengikuti
dengan kualifikasi gratis disesuaikan dengan perkembangan ilmu
memadai dan budaya setempat dan pengetahuan
dalam jumlah Sekolah menengah dan
serta teknologi yang
yang cukup tinggi dapat dijangkau oleh Terdapat pengajaran
terus berkembang
kebanyakan warga dan gratis bahasa dan budaya daerah
Tersedianya buku- bagi yang miskin Teknologi informasi
buku ajar yang Terdapat standarisasi
diajarkan dan
memadai dan Sekolah swasta mendapat pendidikan, baik
peralatannya
berkualitas ijin penuh tanpa halangan menyangkut infrastruktur
(terutama komputer)
apapun dan terutama menyangkut
disediakan di setiap
Tersedianya alat substansi isi pelajaran dan
Pemerintah daerah sekolah
bantu ajar yang pengajaran
memadai memberikan subsidi untuk
Pendidikan
membiayai pendidikan Terdapat sertifikasi
kewarganegaraan
Tersedianya khususnya untuk kalangan terhadap guru dan
mengikuti
sanitasi yang siswa miskin pengawasan profesinya
perkembangan
memadai dan yang memadai
Pemerintah daerah demokrasi yang
bersih serta
menyediakan beasiswa Terdapat pelatihan dan makin kuat
terpisah antara
anak laki-laki dan khusus untuk mereka yang pendidikan guru yang
Pengajaran tentang
perempuan miskin dan berprestasi berkualitas serta berkala
globalisasi masuk
dan dibiayai daerah
Terdapat guru-guru dengan dalam kurikulum
kualifikasi minimal S1 I.
Informasi tentang program,
pendanaan, dan isu-isu
pendidikan tersedia dan
mudah diakses
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 21
Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan sebagai hak memang telah
diakui oleh negara. Artinya di sisi legal-formal tidak terdapat permasalahan
yang serius menyangkut hak masyarakat terhadap pendidikan tersebut.
Namun demikian, pendidikan sebagai hak tentunya bukan sekadar urusan
legal-formal. Justru yang terpenting adalah realisasi dari hak tersebut sebagai
terjemahan dari basis legal-formal dalam bentuk kebijakan pemerintah, baik
di pusat maupun daerah.
Di sinilah isu pendidikan mulai muncul ketika basis legal-formal
diterjemahkan ke dalam kebijakan yang dinilai tidak sepenuhnya mendukung
upaya pemenuhan hak warga atas pendidikan. Lebih jauh lagi, kebijakan
yang dianggap pro hak pun menjadi dipertanyakan ketika implementasi
dari kebijakan tersebut dinilai tidak tepat, salah sasaran, atau malah sama
sekali gagal dalam upaya pemenuhan hak itu sendiri.
Lagipula, komitmen yang besar terhadap pendidikan yang tersurat
dan tersirat tidaklah cukup. Komitmen itu harus muncul secara nyata. Di
sini retorika berhenti kegunaannya karena yang dibutuhkan adalah realita
konkrit. Di sini juga landasan legal-formal berhenti kekuatannya dan terancam
menjadi ‘macan kertas’ karena yang dibutuhkan adalah implementasi.
Karena itu ketika berbicara tentang sejauh mana negara benar-benar
memenuhi apa yang menjadi hak asasi warga negaranya di bidang
pendidikan, maka pertanyaannya adalah bagaimana realitanya di lapangan?
Apakah memang telah tersedia cukup sekolah untuk semua orang dengan
usia sekolah? Apakah sekolah yang ada, terutama sekolah publik, bisa
diakses oleh mereka yang miskin atau kaum minoritas? Apakah penderita
cacat diperhatikan pendidikannya? Selanjutnya, apakah sekolah yang ada
dan bisa diakses juga memiliki guru yang andal serta fasilitas yang cukup?
Demikian seterusnya dan seterusnya.
Menjawab semua pertanyaan itu memang penting dan dapat dengan
gamblang memberi gambaran tentang bagaimana sesungguhnya pemenuhan
hak Ekosob bidang pendidikan. Namun sebenarnya potret terhadap beberapa
aspek pendidikan sudah cukup untuk memberi gambaran yang memuaskan
tentang pemenuhan dimaksud.
Secara garis besar, pemenuhan kewajiban pemerintah di bidang Ekosob
terbagi ke dalam dua besar, yaitu kewajiban hasil (obligation of results) dan
kewajiban tindakan (obligation of conduct). Dalam tulisan ini, kewajiban
hasil diterjemahkan sebagai “gambaran pemenuhan” sementara kewajiban
tindakan sebagai “upaya negara” dalam kaitan dengan hak Ekosob di bidang
pendidikan.
C GAMBARAN PEMENUHAN
Pemenuhan pada sisi kewajiban hasil meliputi beberapa aspek sesuai
dengan turunan dari penjelasan hak Ekosob di bidang pendidikan yang
22
erat kaitannya dengan kondisi atau keadaan yang sedang berjalan yang
merupakan hasil dari kebijakan pemerintah sampai titik tertentu, terutama
setelah menandatangani Kovenan.
Namun untuk keperluan tulisan ini, fokus lebih diarahkan kepada aspek-
aspek yang menunjukkan kaitan kuat dengan ketersediaan (availability),
keterjangkauan (accessability), dan kualitas (quality). Ketiga hal tersebut
menjadi acuan apakah negara telah cukup memadai atau tidak dalam hal
pemenuhan hak Ekosob warganya di bidang pendidikan.
Dari segi ketersediaan, negara telah mencoba untuk membangun berbagai
fasilitas pendidikan, mulai dari bangunan sekolah, ruang kelas, hingga
berbagai fasilitas pelengkap lain seperti perpustakaan dan laboratorium.
Tujuannya jelas yaitu supaya seluruh warga negara pada usia sekolah bisa
bersekolah dan mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai.
Secara statistik, bukti bahwa ketersediaan fasilitas pendidikan itu
dirasakan warga adalah pada tingkat APM (angka partisipasi murni) dan
APK (angka partisipasi kasar). Kedua angka ini menunjukkan bahwa warga
usia sekolah di suatu wilayah berpartisipasi dalam pendidikan formal alias
tidak dropout ataupun tidak bersekolah karena alasan lain.
Tabel 4
Partispasi Pendidikan Formal (%)
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 23
Dengan memperhatikan tabel di atas terlihat bahwa di tingkat paling dasar,
negara bisa saja mengklaim pencapaian yang tinggi dalam hal pemenuhan
hak Ekosob di bidang pendidikan. Angka partisipasi pada usia dasar (6-12
tahun) memang tinggi dan itu hasil pencapaian panjang sejak proklamasi
kemerdekaan, termasuk program SD Inpres yang cukup masif di masa Orde
Baru5. Sebuah prestasi yang jelas tidak bisa dinafikkan begitu saja.
Namun begitu bergerak ke tingkat yang lebih tinggi meski masih di
pendidikan dasar, yaitu usia 13-15 tahun alias pendidikan setara SMP/MTs,
maka terlihat terjadi stagnasi yang kentara hingga membuat. Perlu dicatat
bahwa program wajib belajar pendidikan dasar meliputi waktu sembilan
(9) tahun sehingga disebut wajar dikdas 9 tahun. Artinya, sejak program ini
dicanangkan, seharusnya terjadi peningkatan signifikan pada tingkat SMP/
MTs, sepertinya halnya di tingkat SD, dalam hal APK dan APM. Idealnya,
angkanya bahkan sama dengan yang dicapai di tingkat SD alias 97 persen
ke atas. Namun seperti bisa dilihat, angka APM dan APK tingkat SMP/MTs
masih 67 hingga 81 persen.
Perbedaan angka capaian antara SD/MI dan SMP/MTs sebenarnya
memiliki cerita panjang. Ini sekaligus menunjukkan bahwa APK dan APM
tetap menjadi indikator pendidikan yang ampuh untuk menilai apakah
pemenuhan hak warga atas pendidikan itu sudah memadai atau belum.
Cerita panjang dimaksud adalah bahwa masih rendahnya capaian itu terjadi
karena berbagai faktor yang saling menjalin dan tidak bisa dilepaskan dari
kegagalan negara dalam upaya memenuhi hak warganya atas pendidikan
dasar.
Bangunan sekolah memang banyak, tetapi apakah sudah mencapai
daerah-daerah pinggiran dan terpencil? Apakah ada upaya serius untuk
membangun sekolah baru tingkat SMP supaya tiap daerah tidak mengalami
putus sekolah paksa yang menimpa para lulusan SD-nya. Sekalipun ada
daya tampung, adakah kebijakan untuk memampukan para siswa itu untuk
melanjutkan sekolah dan tetap bersekolah – mengingat tingginya biaya
operasional yang harus ditanggung orang tua siswa?
Indikator pendidikan lain yang juga penting terkait dengan pemenuhan ini
adalah tingkat pendidikan yang dicapai oleh masyarakat Indonesia. Statistik
tampaknya tidak menggambarkan Indonesia yang cerdas dan berpendidikan
tinggi, tetapi sebaliknya Indonesia yang masih kurang pendidikan dan –
sayangnya– terbelakang.
5
Program SD Inpres di zaman Orde Baru telah meningkatkan secara dramatis jumlah APK dari 55 persen di tahun 1974 men-
jadi sekitar 100 persen sejak 1983, demikian menurut Sjahrir dalam Refleksi Pembangunan, Ekonomi Indonesia
1968-1992, hlm 67.
24
Tabel 5
Pendidikan yang Ditamatkan Penduduk 10 Tahun Ke atas
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tidak/belum sekolah 8.5 7.92 7.82 7.43 7.57 7.28 6.67
Tidak tamat SD 21.87 21.48 21.43 20.76 20.37 20.48 20.15
SD/sederajat 33.42 32.27 32.33 31.67 31.19 30.4 30.51
SMP/sederajat 16.65 17.62 17.11 17.56 17.49 17.78 17.64
SM +/sederajat 19.56 20.71 21.32 22.57 23.37 24.06 25.02
Sumber: Biro Pusat Statistik
Terlihat dari tabel bahwa sebagian besar penduduk Indonesia (lebih dari
50 persen) hanya tamatan SD ke bawah (alias tidak tamat SD). Bahkan sampai
tahun 2009 sekalipun, sekitar enam persen penduduk kita (yang berarti di
atas 12 juta orang) masih belum mengenyam pendidikan. Artinya di era
yang sangat mengandalkan teknologi tinggi dan sistem administrasi serba
canggih, masih banyak anak bangsa yang untuk baca tulis saja belum bisa.
Kondisi keterbelakangan ini makin terasa jika melihat APK dan APM di
pendidikan tingkat menengah, apalagi di tingkat perguruan tinggi. Dengan
kisaran APK/APM antara 45-60 persen untuk SMA/sederajat, dan 10-
16 persen untuk PT, apa yang bisa diharapkan dari sumber daya manusia
Indonesia menghadapi kompetisi global yang makin keras? Ini jelas menjadi
tantangan besar bagi negara untuk bisa mengatasinya.
Apabila masalah ketersediaan masih menjadi tantangan yang besar, demikian
juga dengan masalah keterjangkauan atau akses. Ada banyak indikator yang
bisa digunakan untuk mengukur keterjangkauan, yang intinya menyinggung
soal ada tidaknya diskriminasi, proximity atau jarak, dan affordability atau
keterjangkauan dari segi biaya. Dari ketiganya, tampaknya dua yang terakhir
yang masih mendominasi permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pertama, masalah jarak antara sekolah dengan tempat tinggal siswa. Kalau
diperhatikan jumlah SD/MI yang ada, tampaknya masalah ini sudah bisa
diatasi. Setidaknya secara statistik. Statistik tahun 2007 menunjukkan bahwa
terdapat 165.755 SD/MI di seluruh Indonesia, yang berarti lebih banyak dari
jumlah desa yang mencapai 73.408. Artinya di banyak tempat terdapat lebih
dari satu SD/MI untuk satu desa. Namun untuk SMP lain lagi ceritanya.
Jumlah SMP mencapai 39.160 unit (statistik 2007), jauh di bawah jumlah
desa. Namun demikian dibandingkan dengan jumlah kecamatan yang 6.131,
maka jumlah SMP tampaknya memadai.
Namun itu angka statistik yang bersifat kasar. Dalam kenyataan beberapa
daerah toh masih mengalami kekurangan baik SD maupun SMP. Terjadi
kesenjangan yang parah antara daerah urban di Jawa dengan daerah terpencil
di Papua, misalnya. Di Kabupaten Yahukimo di Papua, sebagai contoh,
terdapat 510 desa/pemukiman, tetapi hanya 69 SD. Kemudian di Kabupaten
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 25
Bandung Barat yang notabene bersebelahan dengan Kota Bandung di Jawa
Barat, penyediaan gedung SMP masih merupakan masalah yang besar.
Kedua, dari sisi keterjangkauan harga, maka salah satu acuan yang bisa
dijadikan pegangan adalah angka putus sekolah (APS). Seperti terlihat di
tabel, masalah putus sekolah alias dropout memang masalah yang “keras
kepala”. Terlepas dari penurunan angka dropout dalam enam tahun terakhir,
angka itu tetaplah tinggi. Lagipula, statistik resmi dari pemerintah, lebih-
lebih pemerintah pusat, tentunya tidak akan secara akurat menggambarkan
situasi sesungguhnya di lapangan. Dropout sudah pasti lebih buruk daripada
yang tercatat di statistik.
Tabel 6
Perkembangan Angka Putus Sekolah (APS)
Menurut Jenjang Pendidikan 2003-2008
26
banyak sekolah, namun kenyataannya biaya personal (seperti baju seragam,
sepatu, buku tulis, biaya makan/jajan, dan biaya transportasi) sepenuhnya
tanggungan orang tua dan porsinya sangat besar.
Lantas bagaimana dengan kelompok minoritas, khususnya kaum
penyandang cacat atau difabel? Apakah mereka telah terpenuhi pendidikannya?
Secara awam saja, masyarakat mengetahui bahwa sangat sulit menemukan
sekolah untuk penyandang cacat. Untuk di kota besar sekalipun, jumlahnya
bisa dihitung dengan jari, apalagi di daerah terpencil. Dan faktanya, kaum
difabel memang masih sulit mendapatkan akses pendidikan.
Sekarang ini hanya sekitar 10 persen anak difabel yang tertampung di
sekolah formal. Dari 700 ribuan anak difabel, hanya 19.315 bersekolah di
negeri dan 53.037 bersekolah di swasta. Pendidikan inklusi yang diharapkan
membantu peningkatan daya tampung hanya bisa diikuti oleh 13.590 anak
di tingkat SD dan hanya 1.308 anak di tingkat SMP. Bagaimanapun semua
itu tidak lepas dari masih kurangnya peran negara dalam mengurusi kaum
difabel ini, seperti dibuktikan dari rendahnya investasi untuk sekolah
penyandang cacat maupun investasi pengembangan sekolah inklusi.6
Sementara itu, dari sisi terakhir yaitu kualitas, tampaknya ini menjadi
tantangan yang paling besar bagi pendidikan di Indonesia. Berbagai ukuran
bisa digunakan untuk menilai kinerja pendidikan kita, tetapi hampir
semuanya menunjukkan gambaran yang kurang menggembirakan. Prestasi
pendidikan kita tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga.
Tabel 7
Persentase Kepala Sekolah dan Guru Menurut Ijazah Tertinggi dan
Jenjang Pendidikan Tahun 2007/2008
6
Berita Kompas, 3 Desember 2010, “Kesempatan Pendidikan Difabel Belum Merata”, yang memuat pernyataan Ketua Badan
Eksekutif Pusat Kajian Disabilitas FISIP-Universitas Indonesia Irwanto.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 27
Mengapa itu bisa terjadi? Tentu terdapat banyak faktor. Namun, salah
satu elemen penting adalah kualitas guru (plus dosen). Sebelum berbicara
tentang kualitas dalam artian kemampuan mengajar dengan baik yang
menyebabkan transfer ilmu berjalan baik, maka ijazah sebagai salah satu
kualifikasi pendidikan, bisa dijadikan permulaan penilaian. Di titik yang
paling minimal ini pun, para pengajar mengalami permasalahan serius.
Seperti terlihat di tabel, sebagian besar guru SD/MI (77 persen) tidak
tamat S1. Untungnya, persentase tidak lulus S1 ini mengecil sejalan dengan
meningkatnya jenjang pendidikan. Namun demikian, tetap saja mereka yang
belum S1 ini dianggap – oleh Kementrian Pendidikan Nasional sendiri –
sebagai tidak layak mengajar.
Apabila syarat administratif saja membuat mereka tidak layak mengajar,
bagaimana dengan persyaratan yang lebih ketat? Berdasarkan UU No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen, pemerintah melakukan sertifikasi
terhadap para guru. Sertifikasi, sebagaimana wajarnya dipahami, diadakan
untuk menguji kelayakan seseorang pada profesi tertentu. Sertifikasi guru,
dengan demikian, bisa diterjemahkan sebagai pengujian terhadap seorang
guru apakah sudah memenuhi kelayakan mengajar atau belum (atau malah
tidak).
Tetapi yang terjadi dalam kaitan dengan pendidikan di Indonesia,
sertifikasi mengalami reduksi menjadi sekadar pengumpulan portfolio
(ijazah, sertifikat, plakat, dan seterusnya). Sertifikasi terjebak menjadi sekadar
hal yang bersifat administratif. Lebih parah lagi, semua guru akhirnya
diusahakan untuk lulus sertifikasi – tentunya setelah melewati beragam
proses yang “berbiaya”. Para guru tetap tabah menjalani, maklum, lulus
sertifikasi berarti peningkatan pendapatan sebesar satu kali gaji.
Selama ini pemerintah selalu membentuk lembaga baru ketimbang
mengoptimalkan departemen yang ada untuk menyelesaikan permasalahan
kualitas guru. Dalam rangka hari guru 25 November 2010, Presiden
menyatakan akan membentuk lembaga baru bernama Badan Pengembangan
Sumber Daya Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Padahal
lembaga serupa sudah pernah dimiliki pemerintah, yakni Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) yang
kemudian dilikuidasi. Ironisnya, Presiden juga perlu mengatakan kepada
guru yang sudah memiliki sertifikasi pendidikan untuk meningkatkan
kinerjanya (don’t understand why this is ironic?).7
Selain guru, elemen lain yang menyumbang kepada kualitas adalah fasilitas
pendidikan. Jangankan berbicara fasilitas lengkap dengan laboratorium
sains, laboratorium bahasa, plus perpustakaan lengkap berkualitas, data
7
Berita Kompas, 3 Desember 2010, “Dibentuk, Badan untuk Tingkatkan Profesionalisme Guru”. Disebut ironis karena
seharusnya guru yang sudah disertifikasi otomatis sudah baik kinerjanya, sehingga tidak perlu disuruh lagi meningkatkan
kinerjanya.
28
statistik menunjukkan masih banyak ruang kelas yang dalam kondisi rusak.
Untuk tataran SD saja bahkan hampir separuh dari total ruang kelas yang
ada dalam kondisi rusak, 24.91 persen rusak ringan dan 23.03 persen rusak
berat.
8
Sebagian pihak bahkan berani menilai bahwa permasalahan Indonesia adalah permasalahan implementasi.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 29
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 19 Tahun 2007 tentang
Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
8. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Semua ketentuan mulai dari UUD, UU, PP, hingga Permen tersebut
memiliki filosofi yang ideal. Maka kesan kuat yang muncul adalah negara
benar-benar peduli dengan pendidikan warganya dan betul-betul berusaha
mencapainya.
Akan tetapi, pemenuhan hak Ekosob di bidang pendidikan bukan perkara
membuat undang-undang dan peraturan belaka. Semua harus diwujudkan
ke dalam sistem yang terintegrasi dan didukung oleh program yang tepat
serta anggaran yang memadai yang selanjutnya diimplementasikan dengan
konsisten.
Sebenarnya, dalam hal anggaran, pemerintah Indonesia termasuk
yang memiliki komitmen serius. Berkat perintah konstitusi, pemerintah
baik pusat maupun daerah mulai mengalokasikan 20 persen anggarannya
untuk pendidikan. Sayang, yang dimaksud dengan anggaran 20 persen itu
termasuk gaji guru9. Ini jelas mengurangi secara signifikan porsi yang lebih
terkait program dan kegiatan.
9
Kebijakan 20 persen sempat maju mundur. Pada mulanya UUD 1945 Amandemen IV Pasal 31 menyebut secara umum saja
20 persen untuk pendidikan. Di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kalimat dalam UUD itu diterje-
mahkan sebagai “di luar” gaji, yang berarti sebuah kemajuan. Namun, mungkin karena pemerintah tidak sanggup dengan
tuntutan 20 persen tersebut -- yang memang sangat besar -- maka diajukanlah judicial review lewat Mahkamah
Konstitusi (MK). MK dalam putusannya No. 24/PUU-V/2007 menyatakan bahwa 20 persen itu termasuk gaji guru. Dengan
itu, 20 persen anggaran pendidikan dipahami sebagai pengeluaran di bidang pendidikan ditambah gaji guru.
30
Tabel 8
Perkembangan Anggaran Pendidikan 2001-2008 (dalam triliun rupiah)
10
Untuk tahun 2011 misalnya, prioritas lebih pada infrastruktur sehingga rencana anggarannya memiliki besaran lebih besar
dari anggaran pendidikan.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 31
Dalam kaitan anggaran, dua jenis anggaran yang banyak pengaruhnya
terhadap penyediaan infrastruktur pendidikan dan akses terhadap
pendidikan adalah DAK (Dana Alokasi Khusus) dan BOS (Bantuan
Operasional Sekolah). DAK memang ditujukan untuk infrastruktur dan
merupakan dana dari pemerintah pusat yang disalurkan ke kabupaten/kota
untuk diberikan kepada sekolah yang membutuhkan perbaikan ataupun
pengembangan fasilitas fisik. Sementara BOS disalurkan ke semua sekolah
dengan jumlah murid sebagai acuan bagi ukuran dana yang diterima untuk
setiap sekolahnya. Sejak 2009, terdapat perbedaan antara ukuran dana untuk
siswa di kota dengan siswa di kabupaten.
Untuk DAK, pendidikan memang selalu menjadi prioritas yang
penting dan masuk dalam 4 besar. Bahkan untuk periode 2003-2007 (lihat
tabel), bidang pendidikan selalu mendapatkan prioritas pertama dengan
mendapatkan alokasi terbesar. Dana tersebut bahkan lebih besar daripada
bidang infrastruktur yang jelas-jelas pembangunan fisik.
Tabel 9
Alokasi DAK Bidang Prioritas (dalam juta rupiah)
32
digelontorkannya BOS di tahun 2005. Saat itu pemerintah memutuskan
menaikkan harga BBM hingga 100 persen sehingga menimbulkan pukulan
berat bagi kalangan miskin. Ada kekhawatiran tingkat dropout akan melonjak
apabila tidak disediakan beasiswa kepada siswa miskin.
Tabel 10
Alokasi Dana BOS
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 33
lebih luas dalam upaya meningkatkan akses terhadap pendidikan. Ada
yang mengembangkan mekanisme asuransi pendidikan, ada pula yang
mengalokasikan APBD cukup besar untuk memastikan APK/APM
sepenuhnya (zero dropout).
Lantas mengapa masih saja terdapat masalah terkait penyediaan
infrastruktur pendidikan maupun akses masyarakat terhadap pendidikan
formal? Di sinilah masalah implementasi atau pelayanan publik menjadi isu
yang patut diperhatikan.
Masih terdapat isu yang terkait dengan pola dan pelaksanaan DAK. Isu-
isu yang berkembang di antaranya soal alokasi (sekolah mana yang berhak
menerima), penggunaan dan pelaksanaan (tender/lelang atau swakelola),
serta pengawasannya (monitoring dan evaluasinya).11
Untuk masalah BOS, isu yang paling sering muncul adalah penyimpangan.
Penyimpangan belum tentu pelanggaran ataupun korupsi. Namun
penyimpangan ini jelas menganggu terhadap implementasi program BOS
secara konsisten. Beberapa penyimpangan yang penting di antaranya: (1)
Transparansi lemah, (2) Penggunaan tidak sesuai ketentuan, (3) Terjadinya
pungutan illegal, (4) Peran masyarakat lewat komite sekolah lemah.12
Implementasi yang lemah memang berpengaruh serius. Dalam beberapa
hal, implementasi lemah menghancurkan perencanaan dan penganggaran
yang baik. Masalahnya, implementasi merupakan perkara yang membutuhkan
pengawasan ekstra dan bersifat sistemik, sesuatu yang sebenarnya hanya
negara yang bisa memastikan keberhasilan dan konsistensinya.
E KESIMPULAN
Dalam perspektif pendidikan sebagai hak, yang menjadi tujuan akhir
adalah setiap orang mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas.
Pendidikan tersedia cukup dan mudah diakses setiap warga negara tanpa
memandang latar belakangnya. Jika masih ada yang tidak menikmati
pendidikan formal, itu lebih karena pilihannya sendiri dan bukan karena
terpaksa. Perwujudan kondisi ideal ini menjadi kewajiban negara memiliki
kekuatan dan otoritas serta sumber daya.
Berdasarkan perpspektif tersebut, perlu dilihat apakah warga Indonesia
telah mendapatkan haknya dibidang pendidikan ataukah hal tersebut masih
menjadi hak istimewa sebagian warga. Kemudian, bagaimana sikap dan
perilaku negara terhadap pendidikan? Apakah negara sedang berusaha
keras untuk menjadikannya hak setiap orang, atau malah secara sistematis
11
Penelitian SMERU menemukan bagaimana petunjuk teknis Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pen-
didikan Nasional) bisa menyebabkan terjadinya mubazir dalam skala cukup luas. Petunjuk teknis menetapkan pengadaan
meja kursi harus 40 set per ruang kelas, padahal banyak kelas yang jumlah muridnya kurang dari 40 anak, bahkan hanya 20
anak.
12
Temuan berdasarkan penelitian PATTIRO di Kabupaten Bandung Barat, 2009.
34
membuatnya semakin ekslusif bagi sebagian orang saja?
Memenuhi hak asasi warganya, termasuk di bidang pendidikan,
seharusnya menjadi prioritas utama tiap negara. Sudah seharusnya Indonesia
sebagai Negara Pihak dalam Kovenan Hak-hak Ekosob berusaha semaksimal
mungkin memenuhi hak asasi warga negaranya terhadap pendidikan.
Sayangnya, fakta menunjukkan kondisi aktual pendidikan di Indonesia
tidaklah menggembirakan. Ada lima hal yang masih menjadi awan kelam
dalam pendidikan di Indonesia: (1) Banyaknya sekolah yang rusak dan
tidak layak pakai, (2) Rendahnya kualitas dan moral (baca: semangat dan
motivasi) guru, (3) Rendahnya capaian akademis siswa, (4) Masih tingginya
angka putus sekolah di banyak daerah, dan (5) Masih banyaknya anak usia
sekolah yang belum bisa menikmati pendidikan formal.
Kondisi memprihatinkan tersebut terjadi bahkan setelah adanya
peningkatan siginifikan dalam anggaran pendidikan selama 10 tahun
terakhir. Desentralisasi pendidikan – dari sebelumnya yang tersentralisasi –
juga belum banyak mengubah keadaan di atas. Singkat kata, anggaran dan
pembagian kewenangan masih belum berhasil menciptakan keadaan yang
diinginkan.
Dalam perspektif pendidikan sebagai hak negara memegang peranan
penting. Dalam perspektif hak Ekosob, negara harus aktif dan proaktif.
Negara tidak boleh diam dan menyerahkan semuanya kepada masyarakat.
Jika demikian, maka negara akan dinilai lalai dan bahkan gagal memenuhi
kewajibannya.
Perspektif demikian penting karena mempengaruhi apa saja yang
dilakukan dan tidak dilakukan negara terhadap pendidikan. Menganut
perspektif pendidikan sebagai hak membuat negara mengambil posisi untuk
memenuhi semua tuntutan pendidikan warganya dengan menjadikannya
agenda utama pembangunan, prioritas utama penganggaran, dan tujuan utama
keberhasilan kerjanya. Dengan perspektif ini, para pemangku kewajiban,
yaitu para pejabat dan pemimpin, tidak akan tidur nyenyak sebelum bisa
memastikan tersedianya pendidikan universal yang berkualitas.
Lantas bagaimana negara semestinya melangkah untuk mewujudkan
pendidikan sebagai hak asasi warga negaranya? Terdapat banyak pendekatan.
Penulis melihat bahwa tekad negara dalam mewujudkan hak asasi warga
negaranya di bidang Ekosob, termasuk pendidikan, harus diwujudkan
dalam bentuk kebijakan, baik nasional maupun daerah. Dibutuhkan dana
yang cukup untuk mewujudkan kebijakan itu dalam bentuk program dan
kegiatan nyata di lapangan. Untuk itulah, anggaran yang pro-hak juga mesti
dikembangkan. Negara sudah semestinya mengarahkan uangnya untuk
perwujudan hak asasi warganya.13
13
Lihat, Dignity Counts, A guide to using budget analysis to advance human rights, Fundar – Centro de
Analisis e Investigacion and International Human Rights Internship Program – International Budget Project, 2004.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 35
Timbul pertanyaan, apa yang kurang dari Indonesia yang konstitusinya
khusus bicara soal alokasi 20 persen untuk pendidikan dan anggaran
pendidikannya terus meningkat? Mungkin itu pertanyaan yang menjadi
apologia para pengambil kebijakan. Padahal tentu saja, kebijakan dan
anggaran saja tidak cukup. Kebijakan bisa menjadi hanya basa-basi dan
anggaran meski meningkat bisa jadi malah menyebabkan inefisiensi tanpa
menjawab persoalan.
Kebijakan dan anggaran sudah seharusnya menuntaskan jurang yang ada
antara kenyataan dan harapan. Harapan itu sederhana: pendidikan universal
yang berkualitas. Ini berarti mengarahkan kebijakan pada tiga hal pokok
hak Ekosob, yaitu ketersediaan, akses, dan kualitas. Anggaran seharusnya
memastikan tidak ada lagi warga negara yang karena ketiadaan sekolah
akhirnya tidak bisa mengikuti pendidikan formal. Anggaran juga seharusnya
memastikan bahwa kelompok marjinal (baik karena ekonomi ataupun latar
belakang – terutama difabel) tetap bisa mendapatkan pendidikan yang
memadai. Anggaran juga seyogyanya menyentuh aspek kualitas yang hingga
kini masih menjadi tantangan berat pendidikan Indonesia.
Karena itu, pendekatan yang programatik dengan waktu dan pencapaian
yang terukur disertai dengan sanksi bagi siapapun yang menghalangi upaya
ini seharusnya menjadi pegangan negara mewujudkan hak universal di
bidang pendidikan. Program dan anggaran memang telah ditelurkan untuk
mencapai peningkatan pemenuhan hak pendidikan. Namun sanksi bagi
mereka yang dinilai belum berhasil sama sekali belum terpikirkan. Sanksi
ini penting mengingat sudah terlalu banyak dana digelontorkan, dan sudah
banyak program bagus yang ditelurkan, tetapi implementasi di lapangan
masih dinilai jauh panggang dari api.
Pada saat bersamaan, sistem evaluasi dan penilaian kinerja lembaga-
lembaga negara yang mengurusi pendidikan juga perlu dipertajam. Hingga
kini, pendekatan penilaian masih berputar pada input dan process. Sementara
output dan outcome masih belum mendapat perhatian memadai. Belum
cukup dibangun penilaian yang menghubungkan antara jumlah anggaran
yang diterima dengan keluaran produk dan keluaran hasil yang dicapai.
Ini penting karena salah satu acuan dalam hak Ekosob adalah progressive
realization (realisasi progresif) yang bermakna semakin baiknya pemenuhan
hak dari waktu ke waktu.
36
Daftar Sumber
• Badan Pusat Statistik, Indikator Pendidikan Tahun 1994-2009.
• Baswir, Revrisond, dkk., Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi
Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, ELSAM—Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, Cetakan II, Jakarta, Februari 2003
• Indratno, A Ferry T, ed., Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan
Publik, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009
• Krafchik, Warren, Ann Blyberg and Helena Hofbauer, Dignity Counts:
A guide to using budget analysis to advance human rights, Fundar—Centro
de Analisis e Investigacion & International Human Rights Internship
Program International Budget World Bank Team, Investing in Indonesia’s
Education at the District Level: An Analysis of Regional Public Expenditure
and Financial Management, World Bank Report, 2009.
• Rukmini, Mimin, Ilham Cendekia Srimarga, Saafroedin Bahar, R.
Muhammad Mihradi, Tim Ekosob PATTIRO, Yani, Buni, Ed., Pengantar
Memahami Hak EKOSOB, Pusat Telaah dan Informasi Regional, Jakarta,
2006
• Sjahrir, Refleksi Pembangunan: Ekonomi Indonesia 1968-1992, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Media
• Surat Kabar Kompas
• edukasi.kompas.com
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 37
Daftar istilah
38
pemenuhan Hak ekosob
Di bidang kesehatan
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 39
40
adakah kemajuan
pemenuhan Hak kesehatan
di indonesia?
tiga tahun pasca ratifikasi kovenan ekosob
CATATAN PEMBUKA A
Ribuan orang rela antre berjam-jam, bahkan berhari-hari di sebuah desa
di Kabupaten Jombang. Mereka menghabiskan waktu bukan mengikuti
ritual keagamaan atau perayaan, melainkan untuk mendapatkan celupan
1
Bekerja di sebuah Ornop yang bernama “AKSARA” di Yogyakarta. Terlibat dalam berbagai advokasi anggaran dan pemenu-
han hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, bisa dihubungi melalui datifatimah@gmail.com
2
Bekerja di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan pengajar tamu
“Politik dan Kebijakan Kesehatan” di PSIK, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Bisa dihubungi melalui hhanif@
ugm.ac.id, hasrulhanif@gmail.com.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 41
batu petir milik Ponari, seorang dukun cilik. Para pengunjung percaya, air
celupan batu Ponari bisa menyembuhkan segala macam penyakit, dari maag
hingga kanker. Para pengunjung pun tidak diminta biaya macam-macam
selain sumbangan sebesar Rp5.000,-. Biaya yang sangat murah bagi pasien
yang merintih dan merindukan janji kesembuhan penyakitnya.
Ironis. Peristiwa tadi tidak lah terjadi pada satu abad yang lalu ketika
pemerintah Hindia Belanda mulai mencengkramkan cakar kolonialismenya
di Indonesia. Peristiwa ini, tidak pula terjadi di wilayah terpencil di mana
sarana dan prasarana kesehatan merupakan hal yang langka. Drama rakyat
-dari pelbagai pelosok di Pulau Jawa- antre untuk mendapatkan pengobatan
Ponari terjadi pada awal 2009 atau tiga tahun setelah pemerintah Indonesia
meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (selanjutnya disingkat: Kovenan Ekosob) melalui UU No. 11 Tahun
2005.
Peristiwa unik ini berlangsung di Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa
Timur. Parahnya lagi, Kabupaten Jombang merupakan sebuah daerah
otonom dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,07% pada 2007 dan
bupatinya memperoleh gelar “A Few Good Men” seperti ditulis Majalah
Tempo edisi 29 Desember 2008. Julukan ini diberikan karena sang bupati
mampu mendorong seluruh Puskesmas di daerahnya memiliki fasilitas
layaknya rumah sakit kecil dan memastikan dokter spesialis ada di setiap
desa (sic). Sedangkan, Jawa Timur merupakan sebuah provinsi di ujung
timur Pulau Jawa yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata
provinsi lainnya di Indonesia.
Ilustrasi kecil tadi memang bukan satu-satunya indikator untuk melihat
kemajuan pembangunan kesehatan di Indonesia. Namun, seiring dengan
diratifikasinya Kovenan Ekosob, pengelolaan kesehatan sebagai salah satu
isu publik yang paling krusial mestinya memasuki babak baru. Ratifikasi
tersebut seyogyanya menjadi starting point penting bagi pengarusutamaan
hak asasi dalam pembangunan kesehatan (rights-based health development) di
Indonesia. Terlebih lagi, UUD 1945 yang telah diamandemen, secara eksplisit
menegaskan pentingnya pemenuhan hak kesehatan sebagai salah satu hak
asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi. Dalam pasal 28H ayat (1)
disebutkan bahwa: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya dalam pasal
34 ayat (3) ditegaskan bahwa: “negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Tulisan ini berusaha untuk menelusuri perkembangan dan kemajuan
pemenuhan hak kesehatan di Indonesia pasca ratifikasi Kovenan Ekosob
pada 2005 lalu. Argumentasi dalam tulisan ini akan dimulai dengan
pembahasan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak kesehatan.
Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana gambaran kemajuan pemenuhan
42
hak kesehatan di Indonesia dilihat dari capaian atas kewajiban akan hasil
(obligation of results) dan capaian atas kewajiban akan tindakan atau proses
(obligation of conducts). Dalam tulisan ini juga akan dibahas bagaimana
dilema yang mengiringi proses pemenuhan hak kesehatan di Indonesia. Hal
ini penting dikemukakan karena dinamika pengejawantahan prinsip-prinsip
pemenuhan hak kesehatan tidak akan pernah lepas dari konteks sosial dan
politik masing-masing negara. Tulisan ini akan diakhiri dengan catatan
penutup yang akan menguraikan lesson learn dari dinamika pemenuhan hak
kesehatan di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
3
http://www1.umn.edu/humanrts///edumat/IHRIP/circle/modules/. Diunduh tanggal 12 Maret 2008 jam 13.00 WIB
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 43
saat yang sama menegaskan adanya jaminan lebih khusus terhadap hak
kesehatan reproduksi perempuan dan anak. Disebutkan dalam pasal 25 ayat
(2) DUHAM bahwa Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan
bantuan istimewa. Sementara itu, semua anak-anak, baik yang dilahirkan
di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial
yang sama. Sedangkan dalam Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) pasal 12 ayat (1) menyebutkan
bahwa:” Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat
untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang
kesehatan dalam rangka memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara
perempuan dan laki-laki, kesempatan atas pelayanan kesehatan, termasuk
yang berhubungan dengan keluarga berencana”. Selanjutnya dalam pasal 12
ayat (2) diuraikan bahwa: “tanpa mengabaikan ketentuan ayat 1 pasal ini,
Negara-negara Pihak wajib memastikan bahwa perempuan mendapatkan
pelayanan yang layak sehubungan dengan kehamilan, kelahiran dan masa
setelah lahir, demikian juga degan gizi selama hamil dan menyusui”. Dalam
pasal 14 ayat (2) poin b juga ditegaskan bahwa hak untuk memperoleh akses
kesehatan bagi perempuan, termasuk juga informasi, petunjuk dan pelayanan
dalam keluarga berencana, berlaku tidak hanya terhadap perempuan
perkotaan semata tapi juga perempuan pedesaan.
Dari definisi dan penjelasan yang ada, tampak jelas bahwa hak asasi
kesehatan merupakan hak individu yang tidak bisa dikesampingkan
(inalienable) sebagaimana penegasan dari Dewan Ekonomi dan Sosial berikut
ini: “…health is a fundamental human right indispensable for the exercise of other
human rights. Every human being is entitled to the enjoyment of the highest attainable
standard of health conducive to living a life in dignity”. Selain itu, hak kesehatan
tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosialnya (indissocialable) dan bersifat saling
terkait (interdependence) dengan pemenuhan hak asasi yang lain sebagaimana
sudah dijelaskan dalam DUHAM pasal 25 ayat (1) (Özden,tt:5).
Sebagai hak positif atau “rights to…”, Negara berkewajiban secara aktif
untuk memenuhi hak kesehatan tersebut. Menurut Kovenan Ekosob pasal
12 ayat (2) negara berkewajiban melakukan langkah-langkah guna mencapai
perwujudan hak sepenuhnya dan harus meliputi hal-hal yang diperlukan
untuk mengupayakan: (a) ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat
kelahiran-mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat; (b)
perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri; (c) pencegahan,
pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit
lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan; dan (d) penciptaan kondisi-
kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam
hal sakitnya seseorang.
Sebagaimana diatur lebih jauh dalam “The Limburg Principles On The
Implementation Of The International Covenant On Economic Social and Cultural
Rights” dan “Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and
44
Cultural Rights”, kewajiban yang dilekatkan pada negara adalah sebagai
berikut: Pertama, kewajiban untuk menghormati (obligation to respect).
Kewajiban ini mensyaratkan negara untuk menghindari tindakan-tindakan
yang akan menghalangi pemenuhan hak kesehatan, misalnya, negara bisa
mengembangkan mekanisme untuk mencegah diskriminasi pelayanan
kesehatan karena alasan etnis, umur dan jenis kelamin. Pelanggaran
terhadap kewajiban ini akan terjadi apabila ada produk hukum, tindakan atau
kebijakan-kebijakan negara tidak mentaati standar-standar atau ketentuan
yang sudah disebutkan dalam pasal 12 ayat (2) Kovenan Ekosob atau memiliki
kecenderungan untuk memberikan dampak yang membahayakan terhadap
fisik, menimbulkan sakit atau kematian yang sebenarnya bisa dicegah
Kedua, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect). Negara
berkewajiban untuk mencegah adanya pelanggaran terhadap hak kesehatan
oleh pihak ketiga. Negara akan dianggap melakukan pelanggaran apabila
negara gagal dalam mengembangkan ukuran-ukuran dasar untuk melindungi
individu yang ada di wilayah mereka dari tindakan-tindakan yang melanggar
hak kesehatan oleh pihak ketiga. Termasuk juga pelanggaran apabila negara
sengaja melakukan pengabaian dan ekslusi.
Ketiga, Kewajiban untuk memenuhi (obligation to fullfil). Kewajiban ini
mendorong negara untuk merumuskan produk legislasi, mengembangkan
sistem administrasi, sistem yudisial, anggaran dan berbagai instrumen lainnya
untuk merealisasikan secara penuh hak kesehatan. Negara harus menyusun
rencana nasional untuk menyediakan layanan kesehatan, kebijakan akan
jaminan kesehatan dan menyediakan informasi terkait dengan isu-isu
kesehatan.4 Bila negara gagal mengambil langkah-langkah ini, maka negara
dapat dipastikan melakukan pelanggaran terhadap hak kesehatan.
Dalam setiap kewajiban negara terkandung dimensi kewajiban atas hasil
(obligation of results) dan kewajiban tindakan (obligation of conducts). Yang
dimaksud dengan kewajiban atas hasil adalah kewajiban untuk mencapai
dampak (outcome) tertentu melalui implementasi program dan kebijakan
yang aktif. Dengan kata lain, negara berkewajiban untuk mencapai target
khusus untuk memenuhi standar-standar subtansi secara detail. Misalnya,
negara berkewajiban mengurangi angka kematian ibu melahirkan pada
tingkatan yang telah disepakati Konferensi Internasional tentang Populasi
dan Pembangunan tahun 1995. Sedangkan kewajiban atas tindakan lebih
merupakan kewajiban negara untuk melakukan tindakan-tindakan atau
langkah-langkah tertentu (tindakan aktif atau membiarkan) yang seyogyanya
bisa merealisasikan pemenuhan hak kesehatan.
Semua proses pemenuhan hak kesehatan mengharuskan negara
memobilisasi segala sumber daya yang ada untuk digunakan secara
maksimal dalam rangka memenuhi hak kesehatan (maximum of available
4
http://www.ohchr.org/Documents/Publications/Factsheet31.pdf.Diunduh 12 maret 2009 jam 13.00 WIB
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 45
resources). Dalam konteks ini, sumber daya yang digunakan bukan sekedar
sumber daya yang dimiliki oleh negara semata. Negara pada saat yang
bersamaan harus mampu memobilisasi potensi sumber daya yang ada dalam
masyarakat dan komunitas internasional secara maksimal untuk memastikan
hak kesehatan terpenuhi. Andaikata proses legislasi yang ada dengan sengaja
membatasi penggunaan sumber daya yang ada di negara untuk memenuhi
hak kesehatan, meskipun sumber daya di dalam masyarakat tersedia dengan
memadai, maka kondisi ini mengindikasikan adanya pelanggaran hak
kesehatan oleh legislatif.5
Alhasil, pemenuhan hak kesehatan sebagai bagian hak asasi manusia
mensyaratkan adanya empat elemen yang esensial dan saling terkait yang
bisa digunakan untuk melihat bagaimana negara memenuhi kewajibannya,
yaitu (Özden,tt:41-42): (1) Ketersediaan. Kesehatan publik yang berfungsi,
fasilitas kesehatan publik, barang dan pelayanan serta program harus
disediakan secara memadai oleh negara, (2) Aksesibilitas. Setiap orang harus
dipastikan bisa mengakses berbagai fasilitas dan layanan kesehatan yang
tersedia tanpa adanya diskriminasi, termasuk terhadap kelompok-kelompok
“rentan” dalam masyarakat. Lebih detail, aksesibilitas ini bisa dimaknai non-
diskriminasi, jaminan aksesibilitas fisik, jaminan aksesibilitas ekonomi, dan
aksesibilitas informasi, (3) Akseptabilitas. Seluruh fasilitas, program, barang
dan layanan kesehatan publik harus menghormati etika medis dan pas secara
kultural, (4) Kualitas. Selain harus tepat secara kultural, berbagai fasilitas,
program, barang dan layanan kesehatan publik juga harus tepat menurut
medis dan keilmuan atau memiliki kualitas yang baik.
5
Loc.cit.
6
Seluruh data dan argumentasi dalam bagian ini bersumber dari PROFIL KESEHATAN INDONESIA 2007, 2006, dan 2005 yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI.
46
(3) kematian maternal.
• Perkembangan kesehatan anak yang akan dilihat dari sub-indikator
kualitas gizi anak.
• Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri (indikator
ini sedikit banyak dibahas dalam hak lingkungan).
• Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular,
endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan
(indikator ini sedikit banyak dibahas dalam hak atas pekerjaaan).
• Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan
dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang. Indikator akses
terhadap layanan kesehatan ini bisa ditilik dari sub-indikator (a)
akses pelayanan preventif dengan fokus pada pelayanan imunisasi (b)
pelayanan kuratif yang meliputi pelayanan untuk pengobatan.
Lebih lanjut kita bisa melihat AKB di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
masih dalam kategori sedang (20-49). Bila dibandingkan dengan negara-negara
di kawasan Asia Tenggara lainnya, kualitas AKB Indonesia berada dalam urutan
keenam di antara negara-negara ASEAN (lihat Diagram 2).
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 47
Demikian juga, selama 5 tahun terakhir (2002-2007) tidak ada penurunan yang
cukup meyakinkan dalam estimasi angka kematian anak Balita (Akaba). Pada 2007,
Akaba sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan pada 2002-2003 Akaba sebesar
46 per 1000 kelahiran hidup. Dengan kata lain, pasca ratifikasi Kovenan Ekosob
tidak ada perubahan signifikan yang terlihat dalam tingkat kematian anak balita di
Indonesia (lihat Diagram 3).
48
Di antara negara-negara ASEAN, berdasarkan data “World Health Statistics
2008”, kualitas Akaba Indonesia juga masih di posisi keenam dari 10 anggota
ASEAN (Diagram 4).
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 49
C.2 Perkembangan Gizi Anak
50
menjadi 11,56 persen. Namun demikian, Setelah itu, persentase tersebut
cenderung menurun sampai tahun 2002, sebelum kemudian meningkat
kembali menjadi 8,8 persen pada tahun 2005. Sedangkan dalam kurun waktu
1989–2000 persentase balita berstatus gizi kurang mengalami penurunan dari
31,17 persen menjadi 17,13 persen. Angka ini meningkat kembali menjadi
19,24 persen pada tahun 2005, walaupun secara keseluruhan mengalami
penurunan yang cukup besar. Menurunnya persentase balita gizi kurang
ini tidak diimbangi dengan turunnya persentase balita yang mengalami gizi
buruk.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 51
terhadap sarana tersebut.
Terkait dengan sarana bisa dilihat dari rasio dan jumlah Puskesmas
dan rumah sakit. Data menunjukkan adanya peningkatan rasio Puskesmas
terhadap penduduk selama periode 2003-2007. Pada 2003, rasio Puskesmas
terhadap penduduk sebesar 3,46 per 100.000 penduduk, sedangkan tahun
2007 rasionya menjadi 3,65 per 100.000 penduduk. Sementara itu, rumah sakit
di Indonesia hingga tahun 2007 tercatat 1.319 unit. Sayangnya perbandingan
jumlah rumah sakit pemerintah dan swasta tidak berbeda jauh, yaitu: 667 unit
(50,57%) berbanding 652 unit (49,43%). Adapun rasio ketersediaan tempat
tidur di rumah sakit per 100.000 penduduk sebesar 61,17 ( tahun 2003), 60,92
(tahun 2004), 62,49 ( tahun 2005), 62,27 ( tahun 2006) dan 63,25 ( tahun 2007)
Sedangkan rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk hingga tahun
2006 adalah sebagai berikut: 5,53 (dokter spesialis), 19,93 (dokter umum),
5,05 (dokter gigi), 137,87 (perawat), 35,4 (bidan), 3,68 (perawat gigi), 4,56
(apoteker), 17,49 (asisten apoteker), 4,36 (sarjana kesehatan masyarakat), 8,09
(sanitarian), 6,86 (Gizi), 2,37 (terapis fisik) dan 4,61 (Teknis medis).
Untuk melihat aksesibilitas terhadap layanan bisa dilihat dari data tentang
indikator pemanfaatan tempat tidur di rumah sakit (BOR). Data yang ada
menunjukkan bahwa pemakaian tempat tidur di rumah sakit selama empat
tahun terakhir ini cenderung meningkat walaupun belum memenuhi angka
ideal yang diharapkan (60-85 persen) karena masih berkisar antara 55,2
persen – 57 persen. Meskipun pada tahun 2006 angka tersebut meningkat 0,8
persen dari tahun sebelumnya menjadi 57 persen. Fluktuasi ini salah satunya
disebabkan oleh semakin banyaknya fasilitas yang tersedia, tapi pada
saat yang bersamaan jumlah populasi yang meminta pelayanan semakin
berkurang.
Lebih jauh untuk melihat aksesibilitas orang dan komunitas miskin
terhadap layanan kesehatan bisa dilihat dari program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (JPKMM). Jumlah kunjungan rawat jalan
yang menggunakan skema JPKMM sebanyak 1.453.000 kunjungan (2005),
6.921.000 kunjungan (2006), dan 5.961.712 kunjungan (2007). Sedangkan
rawat inap tercatat 526.000 kunjungan (2005), 1.580.000 kunjungan (2006),
dan 1.916.198 kunjungan (2007)
52
D.1 Proses Kebijakan Kesehatan
Bagian ini akan fokus pada penilaian mengenai seberapa jauh kesempatan
bagi seluruh warga negara, tanpa pengecualian, untuk terlibat dalam proses
pembangunan dan pemenuhan hak kesehatan secara partisipatif dan
demokratis. Ada dua sub-indikator yang akan digunakan untuk melihat hal
tersebut, yaitu kesetaraan politik dan keterlibatan publik. Hal ini nampak
dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1
Indikator Kesempatan Warga Terlibat dalam Pemenuhan
Hak Kesehatan
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 53
Kotak 1
Sudah Miskin, Pendatang Pula
Mahalnya biaya berobat adalah masalah serius dalam penegakan hak atas kesehatan. Sampai-
sampai, keluar pameo, orang miskin dilarang sakit, karena biaya sakit sungguh tak terjangkau oleh
mereka-mereka ini. Lantas, bagaimana kalau mereka miskin, sakit dan pendatang? Masalahnya
menjadi jauh lebih panjang.
Di Jakarta saja misalnya, jumlah penduduk tidak tetap semakin bertambah. Setiap tahun,
di kantor Kependudukan dan Catatan Sipil tercatat angka 223 ribu jiwa yang masuk Jakarta.
Ketimpangan ekonomi yang terjadi, membuat magnet Jakarta tidak memudar walaupun cerita
gagal juga tidak kalah banyak. Di antara ratusan ribu pendatang tersebut, persoalan catatan
kependudukan menjadi masalah pelik, karena banyak yang statusnya tidak jelas. Percaloan dan
biaya pengurusan KTP yang tidak sedikit, menjadi penghalang utama.
Sebetulnya, dengan sistem jaminan sosial yang baru, untuk warga non-jakarta, tersedia
skema askeskin ataupun mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM). Namun, keduanya ini
bukanlah lembaran surat yang mudah didapat dan bermanfaat banyak. Mengurus askeskin juga
banyak masalah dan kadang biaya, apalagi karena banyak masalah dalam distribusinya.
SKTM juga memiliki catatan serius. Selain percaloan yang juga marak, persepsi keliru tentang
cakupan SKTM di kalangan rumah sakit juga menjadi hambatan. Surat ini sering dianggap sebagai
keringanan saja untuk keluarga miskin, sehingga si pasien tetap harus membayar sebagian biaya
pengobatan (Kompas, 5 Oktober 2007). Lantas, bagaimana nasib jutaan pendatang yang semakin
menyesaki Jakarta? Pertanyaan yang sama juga kita ajukan atas nasib ratusan ribu warga lainnya
yang berduyun-duyun memasuki Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, dan kota-kota lainnya.
Ketika ketimpangan pembangunan dan migrasi menjadi persoalan, sementara sistem dan
pencatatan juga tidak mendukung, tantangan ini memang harus segera diselesaikan
54
D.1.2 Keterlibatan Publik
Yang dimaksud dengan keterlibatan publik di sini adalah derajat
keterlibatan publik (public engagement) dalam proses kebijakan pemenuhan
hak kesehatan dalam pembangunan di Indonesia. Secara sederhana,
derajat keterlibatan publik nanti bisa dikategorisasikan ke dalam tiga
level yaitu: (1) Invited space. Keterlibatan warga jenis ini muncul karena
ruang yang diinisiasi dan disediakan oleh negara, (2) Conquered space.
Penyediaan ruang bagi keterlibatan warga sudah mulai dilembagakan
dalam proses kebijakan pemenuhan hak kesehatan. Proses pelembagaan
ini bisa dalam bentuk legalisasi pelibatan publik, (3) Popular space. Dalam
ruang ini, kehadiran partisipasi publik tidak hanya terlembagakan secara
apik tapi juga sudah mampu mempengaruhi seluruh proses kebijakan
pemenuhan hak kesehatan yang ada.
Secara umum, dengan beberapa catatan, bentuk keterlibatan yang
sudah mulai nampak adalah bentuk yang pertama. Forum-forum
perencanaan pembangunan organik dari bawah bernama musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang), menjadi media di mana
isu dan prioritas pembangunan –termasuk kesehatan- didiskusikan
bersama oleh masyarakat. Ada beberapa catatan di sini, di mana isu-isu
pembangunan prasarana fisik jauh lebih mendominasi dibandingkan
deretan isu pembangunan manusia –termasuk kesehatan di dalamnya.
Catatan yang lain adalah bahwa tingkat akomodasi usulan dari
bawah masih sangat rendah, termasuk ketika sampai ke aspek
penganggarannya. Selain dalam proses perencanaan organik, dalam
implementasi pembangunan kesehatan, nampak beberapa cara pandang
yang tidak tepat terkait keterlibatan masyarakat ini. Saat ini, partisipasi
atau keterlibatan masyarakat adalah jargon yang sangat populer, namun
lebih dimaknai sebagai keterlibatan dalam implementasi program
pembangunan dan partisipasi dalam pembiayaan. Dibandingkan dengan
beberapa negara ASEAN yang lain, Indonesia adalah salah satu negara
dengan total pengeluaran kesehatan yang terendah, namun dengan
persentase pengeluaran privat yang tertinggi untuk kesehatan.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 55
kesejahteraan dan sistem jaminan sosial nasional. Walaupun amandemen
ini dilakukan sebelum ratifikasi Kovenan Ekosob, namun implikasinya
sangatlah berarti terhadap progres pemenuhan hak ekosob di tanah air.
Beberapa amandemen penting yang terkait di sini antara lain:
• Perubahan pasal 28H ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
• Perubahan pasal 28 ayat (3): Setiap orang berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat.
• Perubahan pasal 34 ayat (2): Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
7
Lihat misalnya di http://tkpkri.org/berita/berita/strategi-nasional-penanggulangan-kemiskinan-(snpk)-2005102849.html.
Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 16.00 WIB.
56
Dan sebagai tindak lanjut dari amandemen konstitusi, maka pada 2004,
dikeluarkan UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), melalui
UU No. 40 tahun 2004. Substansi penting dari UU ini antara lain memberi
kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Bentuknya adalah jaminan sosial sebagai bentuk perlindungan
agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak.8 UU yang
ditandatangani masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri itu
mengamanatkan jaminan sosial baik di bidang kesehatan, tunjangan hari
tua, kecelakaan kerja, sampai pengangguran. Mengacu kepada UU ini, maka
muncul lima program jaminan sosial, yaitu jaminan kesehatan, kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, pensiun dan kematian. Selain prinsip asuransi sosial
dan ekuitas, muatan pentingnya adalah menyangkut pembiayaan bagi
asuransi. Dalam pasal 17 ayat (4) disebutkan bahwa iuran jaminan sosial
bagi warga miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh negara. Waktu
itu, jumlah orang miskin yang akan ditanggung negara, berdasar data BPS
sebanyak 36,15 juta jiwa.
Namun, 4 bulan pasca dikeluarkan, UU ini langsung menuai respons.
Salah satunya adalah uji materi yang diajukan oleh wakil beberapa
pemerintah daerah yang merasa kewenangan konstitusionalnya dirugikan
dengan penunjukan PT Askes untuk mengelola jaminan kesehatan bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Bagi penggugat, aturan ini bertentangan
dengan semangat desentralisasi dan mengakibatkan monopoli pengelolaan
di pusat. Bagi sebagian yang lain, nuansa politis sangat kental dalam kasus
ini, mengingat kewenangan pengelolaan dana untuk jaminan sosial yang
tidak kecil. Pasca uji materil ini, kewenangan menyelenggaraan sistem
jaminan sosial nasional bukan saja menjadi kewenangan pemerintah pusat,
tetapi juga dapat menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pembentukan
badan pengelola jaminan sosial di tingkat daerah ini dimungkinkan, dengan
tetap mengacu kepada UU No. 40 tahun 2004.
8
Lihat dalam http://sjsn.menkokesra.go.id/dokumen/publikasi/buku_reformasi_sjsn_ind.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret
2009 jam 16.30 WIB.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 57
Tabel 2
Pengeluaran untuk Kesehatan Beberapa Negara di ASEAN
58
mengafirmasi kewajiban pemenuhan. Lebih jauh, watak ideologi negara dan
dinamika konteks sosial, politik, dan ekonomi yang lebih makro juga turut
menentukan.
Kita sudah mafhum bahwa proses ratifikasi Kovenan Ekosob melalui UU
No.11 Tahun 2005 dilakukan ketika berbagai transformasi sosial, politik dan
ekonomi sedang berlangsung di Indonesia dalam satu warsa terakhir ini.
Setidaknya ada tiga proses yang sedang berlangsung (1) Demokratisasi politik.
Proses demokratisasi di Indonesia mendorong penataan ulang pola hubungan
kekuasaan antara negara dan masyarakat, (2) Devolusi. Proses devolusi
(desentralisasi politik) dalam beberapa tahun terakhir ini meletakkan dasar
pola hubungan pusat-derah yang baru. Berbagai kewenangan dan urusan
yang sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat, termasuk
kewenangan dan urusan kesehatan, kini dilimpahkan dan diserahkan
kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom, dan (3) Privatisasi.
Seiring dengan menguatnya ide-ide neoliberalisme dan good governance
dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia, muncul kecenderungan baru
untuk mengelola berbagai urusan publik dasar dalam mekanisme pasar dan
meminimalisasi otoritas negara atau dikenal dengan istilah privatisasi. Ada
keyakinan ideologis yang sangat kuat, terutama yang dipromosikan oleh
para pemuja New Public Management (NPM), bahwa mekanisme pasar bisa
mendorong proses penyelenggaraan/delivery pelayanan publik, termasuk
juga pelayanan kesehatan, menjadi efektif dan efisien.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 59
Sementara itu, di Renstra Depkes 2005-2009, terdapat pernyataan eksplisit
yang menegaskan adanya kebijakan kesehatan sebagai bagian upaya
pemenuhan hak asasi manusia. Dalam bab 3 Renstra Depkes 2005-2009 yang
terkait dengan rumusan nilai-nilai, disebutkan salah satu nilai penting yang
mesti mendasari kebijakan kesehatan di Indonesia adalah keberpihakan
terhadap rakyat. Sebagaimana ditegaskan bahwa:
60
E.2 Salah Tafsir, Kewajiban Negara=Beban Negara
Semangat UU No. 40 Tahun 2004 sebetulnya sangat penting dan
berkontribusi untuk pemenuhan hak kesehatan yang lebih baik. Bila melihat
UU ini, terdapat periode transisi selama lima tahun atau hingga akhir 2009
untuk penerapan sistem ini secara menyeluruh. Namun hingga awal 2009,
kemajuan terbangunnya sistem jaminan sosial ini masih jauh dari sempurna.
Salah satu persoalan utamanya terkait dengan UU ini adalah adanya
persepsi keliru, bahwa program jaminan sosial akan membebani anggaran
negara. Beberapa kajian melihat bahwa beban anggaran ini akan memberati
pengeluaran negara serta tidak sejalan dengan kecenderungan global berupa
menurunnya peran negara dalam penyediaan jaminan sosial.9 Tarik menarik
peran negara dalam pemenuhan hak dasar muncul dengan sangat kuat.
Privatisasi, deregulasi dan paket–paket liberalisasi yang lain masuk dengan
sangat intensif dalam pembangunan kesehatan. Dalam pandangan ini, peran-
peran negara perlu dikurangi dan seharusnya diserahkan kepada pasar.
Kekhawatiran terkurasnya anggaran negara untuk membayar premi
jaminan sosial tampak berlebihan. Implementasi sistem sosial yang baru ini
memang membutuhkan dukungan dan perubahan kebijakan fiskal yang
makan waktu tidak sekejap. Namun, mengacu pada UU No. 40 Tahun 2004,
sebetulnya negara akan amat terbantu dengan terselenggaranya program
jaminan sosial, salah satunya melalui terbentuknya dana jaminan sosial.
Kebijakan ini bahkan akan meringankan beban anggaran negara melalui
pembaruan program jaminan pensiun PNS serta anggota TNI/POLRI.
Kontribusi peserta program jaminan sosial, khususnya program jaminan
hari tua dan jaminan pensiun, akan mampu membentuk tabungan nasional
yang amat besar sehingga bisa mendukung pembangunan.10 Sayangnya,
kekeliruan pandangan ini memperlambat implementasi jaminan sosial
bagi seluruh rakyat. Selain isu fiskal, pranata legal, kelembagaan dan
adminisitrasi, serta infrastruktur kesehatan yang ada juga belum tertata dan
belum memungkinkan sistem ini bekerja dengan baik.11 Sebagaimana respons
di awal, proses sinkronisasi antara lembaga di pusat dengan daerah dalam
implementasi sistem, masih menunjukkan banyak lubang seperti yang akan
diuraikan di bawah ini.
9
Lihat, http://www.smeru.or.id/report/workpaper/jamsosnas/Jamsosnasind.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 15.00
WIB.
10
Sulastomo, “Negara Tanpa Jaminan Sosial”, Kompas, Sabtu 14 Maret 2009.
11
http://www.adb.org/Documents/Books/Indonesia-National-Social-Security-System/prelims.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret
2009 jam 13.00 WIB.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 61
Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004.
Proses ini membuka peluang bagi daerah untuk terlibat lebih jauh dalam
proses kebijakan, termasuk kebijakan pembangunan kesehatan. Kewajiban
pemenuhan hak kesehatan sebagai hak asasi warga tidak lah lagi semata-
mata dibebankan pada otoritas pemerintah pusat, melainkan juga otoritas
pemerintah daerah.
Sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit pihak yang meyakini pilihan
devolusi merupakan salah satu jalan penting untuk menguatkan peran
publik dalam proses kebijakan dan penciptaan civic services dan public
services yang lebih baik. Para penganjurnya tampak yakin bahwa devolusi
–yang menekankan aspek subsidiaritas- akan mendekatkan berbagai proses
kebijakan yang ada sesuai dengan preferensi dan kepentingan warga di ranah
lokal. Tentu saja, hal ini secara ideal akan memantik hadirnya pelayanan
publik yang lebih baik karena berbagai output dan outcome kebijakan yang
muncul kemudian akan sesuai dengan hasrat dan kepentingan publik dan
proses penyelesaian berbagai problema sosial akan sensitif dengan konteks
(Manor, 1999; Devas and Delay, 2006).
62
Kotak 2.
Yang Tersisa dari Purbalingga dan Jembrana
Dua kabupaten, Purbalingga dan Jembrana, bukanlah masuk kategori kabupaten kaya.
Karena itu, menarik untuk melihat bahwa dengan sumber daya yang terbatas, daerah tetap
bisa berkontribusi untuk pengadaan sistem jaminan kesehatan daerah. Kedua daerah tersebut
dipaparkan di sini untuk menjadi pelajaran tentang peran daerah dalam pemenuhan hak atas
kesehatan.
Jembrana merupakan kabupaten termiskin di Provinsi Bali. Pada 2005, ketika rata-rata APBD di
berbagai daerah Indonesia adalah sekitar Rp 400 miliar, justru total APBD Jembrana hanyalah Rp
235 miliar dan kemudian naik menjadi Rp 353 miliar pada 2006. Namun, reformasi birokasi –sistem
rekrutmen, remunerasi serta jenjang karir- perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa, serta
efisiensi belanja membuat daerah ini bisa mengalokasikan cukup dana untuk membayar premi
asuransi kesehatan yang kemudian berujung pada pelayanan kesehatan gratis. Di tingkat daerah,
jaminan yang dikelola melalui Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) ini memungkinkan setiap
penduduk pemegang KTP Jembrana bisa berobat gratis di manapun, termasuk praktik dokter, RS
dan bidan swasta. Ini merupakan terobosan karena tidak hanya mengatasi masalah harga, tetapi
juga menyelesaikan masalah aksesibilitas.
Sementara itu, Purbalingga yang terletak di Jawa Tengah merupakan kabupaten pertama di
Indonesia yang memulai program jaminan kesehatan masyarakat miskin sebagai pengganti skema
JPS-BK (Jaring Pengaman Sosial-Bidang Kesehatan). Keluarga miskin mendapatkan pelayanan
kesehatan gratis karena subsidi pemerintah, sedangkan yang bukan keluarga miskin membayar
premi hanya 50 persen atau 100 persen. Dalam mendorong kemandirian anggaran daerah,
Purbalingga juga menyusun skema untuk secara bertahap meningkatkan premi sampai mencapai
biaya riil paket bantuan.
Inisiatif Jembrana dan Purbalingga di bidang kesehatan bukannya tanpa catatan. Inisiatif
Jembrana dikritik karena mengandalkan top leader (bupati) yang baik dan tanpa dukungan institusi
politik yang ada seperti DPRD. Ini memunculkan tantangan untuk keberlanjutan inisiatif ini bila
terjadi pergantian kepala daerah. Begitu juga inisiatif di Purbalingga yang mendapat kritik oleh
salah satu fraksi di DPRD Purbalingga karena LKPJ Bupati yang menyebut bahwa kualitas pelayanan
yang masih kurang baik bagi pasien pemegang JPKM.
(Diolah dari berbagai sumber)
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 63
Work for the Poor in Indonesia: A Report on Health Financing Mechanisms in
Kabupaten Purbalingga,” menyebutkan bahwa muncul komplikasi baru
dalam program JPKM di Purbalingga ketika pemerintah pusat mencoba
meresentralisasi program jaminan kesehatan dan mengadopsi program
ini pada level nasional di tahun 2004 (Arifianto, Marianti, Budiyati & Tan
2005).
Singkat kata, bila menggunakan indikator dampak pembangunan
kesehatan, beberapa kemajuan justru nampak setelah desentralisasi.
Angka kematian ibu, menurun dari 334 per 100.000 kelahiran hidup
pada 1997, menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada 2003. Begitu
juga angka kematian bayi menurun dari 46 per 100.000 kelahiran
hidup pada 1997 menjadi 35 per 100.000 kelahiran hidup pada 2003.
Indikator lain, yaitu umur harapan hidup juga mengalami perbaikan,
dari 65,8 pada 1997 menjadi 66,2 pada 2003. Ini menunjukkan bahwa
bukanlah desentralisasi yang menjadi faktor penentu pencapaian target
pembangunan kesehatan.12
Di sini, memperhatikan problem ketimpangan dalam capaian
pembangunan kesehatan, penyusunan dan penerapan standar pelayanan
kesehatan yang berperspektif hak di era desentralisasi memang sangat
diperlukan. Begitu juga persoalan peningkatan kapasitas kelembagaan
dan aparatur di daerah untuk membuat daerah memiliki kecakapan dan
kemandirian dari pusat.
64
daerahnya mencapai Rp 4.3 Miliar (Fatimah 2004).
Selain itu, beberapa kajian juga menunjukkan walaupun desentralisasi
sudah berjalan sekitar 8 tahun, pembiayaan kesehatan di daerah masih
menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap sumber-sumber
pembiayaan pusat. Beberapa analisis menyebutkan bahwa sebelum dan
setelah desentralisasi, pembiayaan kesehatan di daerah masih sangat
bertumpu pada pemerintah pusat (buletin Desentralisasi Kesehatan Vol
II/2/2004). Setelah desentralisasi, ketergantungan ini terjadi baik melalui
DAU ataupun dana dekonsentrasi, sementara dahulu bentuknya adalah
dana sektoral melalui departemen. Di sisi lain, alokasi anggaran kesehatan
daerah masih sangat jauh dari mencukupi. Kesepakatan bupati/walikota
se-Indonesia untuk mengalokasikan 15 persen dari APBD untuk kesehatan
hanya sebatas deklarasi kesepakatan.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 65
tidak cukup ada bukti yang kuat untuk menegaskan bahwa ini dilahirkan
dari komitmen memenuhi hak dasar warga ( Bandingkan Eko, 2008;
Savirani 2005). Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya akuntabilitas
dan transparansi terutama dalam proses perumusan anggaran dan
implementasi kebijakan kesehatan di pusat dan daerah (bandingkan
dengan Thamrin & Wijayanti (eds.), 2006).
Menariknya, studi yang dilakukan oleh Hanif & Mohan (2009)
menunjukkan bahwa proses demokratisasi di Indonesia juga membuka
peluang bagi partai politik sebagai penyedia pelayanan kesehatan.
Melemahnya komitmen dan kapasitas negara dalam memenuhi hak dasar,
terutama hak kesehatan, membuat partai politik muncul sebagai pemain
baru dalam penyediaan layanan kesehatan. Beberapa partai politik sangat
serius menggarap pos layanan kesehatan, pengobatan gratis, sebagai
bagian upaya komunikasi politik mereka dengan konstituen.
Fenomena negara budiman dan ikut terlibatnya partai politik
lebih jauh dalam penyediaan layanan kesehatan lagi-lagi menegaskan
bahwa kepentingan negara dan partai politik dalam menyediakan
layanan kesehatan masih didorong oleh semangat klientelisme dan
bukan kewargaan. Negara dan partai politik berperan sebagai patron
yang menguasai sumber daya publik dan mengalokasikannya kepada
masyarakat yang menjadi klien mereka. Sang klien kemudian memberikan
loyalitas politik mereka kepada sang patron berupa dukungan politik atau
legitimasi politik. Lebih tegasnya, mereka yang tidak bisa memberikan
loyalitas atau dukungan politiknya tidak akan mendapatkan layanan
optimal apa pun dari sang patron.
Meskipun demikian berita baik pula menunjukkan bahwa klientelisme
yang muncul adalah bentuk klientelisme baru di mana pola hubungan
patron-klien lebih ‘kontraktual’. Masyarakat kini tidak lagi pasif dalam
menerima alokasi sumber daya publik dan mulai membangun posisi
tawar (ibid). Studi yang dilakukan oleh Jawa Pos Pro-Otonomi Institute
terhadap proses PILKADA di Jawa Timur dalam kurun waktu 2005-2007
menunjukkan apabila kepala daerah yang berkewajiban (incumbent) gagal
mengembangkan inovasi layanan daerah yang mampu menunjukkan
kinerja yang baik dan bisa menjangkau seluruh warga, maka masyarakat
tidak akan memilih mereka kembali.13
13
http://www.jpip.or.id/articles/view/86 diunduh tanggal 12 Maret 2009 jam 12.30 WIB.
66
diprivatisasi dan proses penanganan kesehatan diserahkan ke mekanisme
pasar. Beberapa rumah sakit milik pemerintah didorong untuk berubah
statusnya dari badan layanan umum (BLU) menjadi perseroan terbatas
(PT). Perubahan ini tentu saja merugikan masyarakat yang kurang mampu
karena rumah sakit didorong menjadi alat komersial untuk mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya. Sebut saja beberapa RS pemerintah
yang berubah status jadi perseroan terbatas (PT), yaitu Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan RS Haji di
lingkungan Pemerintah DKI Jakarta.14
Pemenuhan hak kesehatan bagi seluruh warga juga kembali terancam
ketika mekanisme pasar turut bermain dalam produksi dan distribusi
obat di Indonesia. Dalam Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007, disebutkan
Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI dan WHO mensinyalir
harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari rata-rata harga obat di dunia.
Mahalnya harga obat tidak lepas dari kuatnya ‘kongkalikong’ antara
perusahaan farmasi dan para dokter. Perusahaan farmasi membebankan
biasa insentif sebesar 20 persen untuk dokter yang meresepkan obat.15
CATATAN PENUTUP F
Sebagaimana telah diuraikan panjang lebar pada bagian-bagian
sebelumnya, dinamika pemenuhan hak kesehatan pasca ratifikasi Kovenan
Ekosob memang masih menunjukkan ‘jauh panggang daripada api’.
Meskipun pemerintah telah berusaha mendorong berbagai kemajuan
pembangunan kesehatan, namun tampaknya capaiannya belum maksimal.
Mobilisasi sumber daya yang ada juga belum maksimal.
Setidaknya ada dua aspek penting yang harus kita perhatikan untuk
menemukan lesson learnt yang nantinya akan berguna bagi pemenuhan
hak kesehatan ke depan. Pertama, aspek teknokratis. Aspek ini terkait
dengan kemampuan pemerintah merumuskan dan menghadirkan berbagai
perencanaan strategis, dokumen dan instrumen kebijakan yang diharapkan
bisa merespons berbagai persoalan yang terkait dengan pembangunan
kesehatan. Sementara ini, pemerintah cukup berhasil dalam aspek ini,
namun masih perlu mensinkronkan dan menyamakan paradigma, orientasi
antardokumen serta instrumen kebijakan yang ada.
Kedua, aspek politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa aspek ini juga merupakan
the significant others yang sangat menentukan keberhasilan pemenuhan hak
kesehatan di Indonesia. Berbagai dokumen dan instrumen teknokratis yang
sudah dibuat akan sia-sia tanpa ditopang oleh adanya infrastruktur politik.
Infrastruktur politik ini terkait dengan pola hubungan negara-masyarakat,
pemerintah pusat dan daerah serta negara-masyarakat-pasar. Tanpa menata
14
http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=37 diunduh 12 Maret 2009 jam 12.00 WIB.
15
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18808&cl=Kolom.diunduh 12 Maret 2009 jam 13.30 WIB.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 67
ulang secara serius pola hubungan dalam berbagai domain tersebut,
maka proses pemenuhan kesehatan di Indonesia akan jatuh pada praktik
klientelistik, asimetris dan bisa saja koruptif.
68
DAFTAR PUSTAKA
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 69
Törnquist, Kristian Stokke & Neil Webster (eds.), Rethinking Popular
Representation. Palgrave Macmillan.
• UNDP Indonesia, 2005. Indonesian Human Development Index 2004,
UNDP Indonesia-BAPPENAS-BPS
• UNDP Indonesia, 2008. Laporan Perkembangan Pencapaian Millineum
Development Goals Indonesia 2007. UNDP Indonesia
• UNDP, 2007. Human Development Report 2006, UNDP
• World Bank-INDOPOV, 2006. Inovasi Pelayanan Pro-Miskin: Sembilan
Studi Kasus di Indonesia. World Bank-INDOPOV.
Situs Internet
• http://www1.umn.edu/humanrts///edumat/IHRIP/circle/
modules/. Diunduh tanggal 12 Maret 2008 jam 13.00 WIB
• http://www.ohchr.org/Documents/Publications/Factsheet31.pdf.
Diunduh 12 maret 2009 jam 13.00 WIB
• http://tkpkri.org/berita/berita/strategi-nasional-penanggulangan-
kemiskinan-(snpk)-2005102849.html. Diunduh tanggal 13 Maret 2009
jam 16.00 WIB
• http://sjsn.menkokesra.go.id/dokumen/publikasi/buku_reformasi_
70
sjsn_ind.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 16.30 WIB
• http://www.smeru.or.id/report/workpaper/jamsosnas/
Jamsosnasind.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 15.00 WIB
• http://www.adb.org/Documents/Books/Indonesia-National-Social-
Security-System/prelims.pdf. Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam
13.00 WIB
• www.litbang.depkes.go.id/download/seminar/desentralisasi6-
80606/ Diunduh tanggal 13 Maret 2009 jam 19.00 WIB
• http://www.jpip.or.id/articles/view/86 diunduh tanggal 12 Maret
2009 jam 12.30 WIB
• http://www.solusihukum.com/kasus2.php?id=37 diunduh 12 Maret
2009 jam 12.00 WIB
• http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18808&cl=Kolom.
diunduh 12 Maret 2009 jam 13.30 WIB
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 71
72
pemenuhan Hak ekosob
Di bidang pangan
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 73
74
Hak atas ketahanan pangan
Hak akan pangan merupakan hal yang diakui secara universal dan melekat
pada manusia karena kodrat dan kelahirannya. Hak ini diakui secara universal
dan dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan tanpa mempedulikan warna
kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, agama atau kepercayaan
spiritual. Hak ini juga dikatakan melekat atau inheren karena dimiliki oleh
setiap orang, berdasar kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan
karena pemberian oleh orangtua atau organisasi apa pun. Karena dikatakan
melekat itu pula lah maka pada dasarnya hak itu tak boleh dirampas atau
dicabut1.
UU No 11/2005 yang merupakan pewujudan dari ratifikasi Kovenan
ECOSOC (Economic Social and Cultural Rights) di Indonesia menyebutkan
“Hak atas pangan adalah hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap
dan bebas, baik secara langsung atau dengan cara pembelian atas pangan
1
Soetandyo Wignjosubroto, Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Konteks Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Historis
dari Perspektif Relativisme Budaya Politik. www.ifid.org
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 75
yang memadai dan cukup, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang
berhubungan secara langsung pada tradisi dari masyarakat dimana suatu
konsumen itu berasal, dan dengan itu memastikan bahwa kehidupan fisik
maupun mental, individu maupun kolektif, yang penuh dan bermartabat
yang bebas dari ketakutan”.
Ketahanan pangan menjadi isu yang sangat vital dalam pengaksesan
pangan selama beberapa dekade terakhir. Warga negara dihadapkan pada
persoalan yang menyangkut kerentanan pangan atau bahkan menjadi
korban dalam menghadapi berbagai bahaya pangan. Dan, ide ketahanan
pangan berpengaruh signifikan manakala pangan dikaitkan dengan hak
asasi manusia. Ini berarti setiap orang mempunyai hak untuk terbebas dari
kelaparan dan mempunyai hak untuk memperoleh kecukupan pangan yang
aman dan bernutrisi bagi kelangsungan hidupnya.
Pangan mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Bahkan bisa dikatakan pangan merupakan urat nadi kehidupan. Masalah
pangan dewasa ini lebih dari sekedar makan, tetapi juga menyangkut
kehidupan bagi setiap orang. Berdasarkan data FAO, lebih dari 800 juta orang
di Afrika, Asia, dan Amerika Latin masih berada di bawah bayang-bayang
kemiskinan. Pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan pencanangan
Millennium Development Goals, yang salah satu tujuannya adalah mengurangi
jumlah penduduk miskin dan kelaparan di dunia pada pertengahan 2015.
Ketahanan pangan mencerminkan kuantitas dan kualitas pangan yang dapat
diakses oleh seluruh umat manusia.
Sebaliknya, perkembangan ketahanan pangan di negara Asia mempunyai
kemajuan yang menggembirakan. Hal ini ditunjukkan oleh berkurangnya
jumlah orang yang kurang gizi secara signifikan. Kesuksesan perkembangan
ketahanan pangan memacu pembangunan ekonomi dan hasil pertanian,
investasi umum di ilmu gizi, pendidikan yang lebih tinggi bagi masyarakat,
dan perbaikan demokrasi di sebagian besar Asia Timur, khususnya di sebelah
Timur Laut Asia (FAQ, 2001). Menurut FAQ-GIEWS (2002), negara-negara
yang mempunyai pencapaian terbaik ketahanan pangan selama 1990 sampai
1999 adalah Cina, Vietnam, dan Thailand.
Negara yang mempunyai ketahanan pangan yang paling buruk adalah
DPR Korea dan Mongolia. Di samping cerita sukses tentang kemajuan
ketahanan pangan, negara-negara di Asia juga mempunyai cerita buruk
dibalik itu. Jumlah orang yang lapar secara kronis di Asia Selatan dan Timur
lebih besar daripada daerah lain di mana pun. Kamboja, Cina, Indonesia,
Filipina, Thailand, dan Vietnam (di Asia Timur) dan India dan Nepal (di Asia
Selatan) mempunyai jumlah penduduk yang menderita kurang gizi lebih
dari 35 juta jiwa (Zeigler, 2002).
76
KONSEP KETAHANAN PANGAN A
Konsep ketahanan pangan masih kontroversial. Masing-masing orang
dan organisasi memandang ketahanan pangan dari perspektif mereka
sendiri. Dari berbagai definisi ketahanan pangan, ada beberapa kesamaan
pendekatan yang mengacu pada kondisi pangan dunia dewasa ini.
Tabel 1
Berbagai definisi Ketahanan Pangan
Institusi/Individu Definisi
1st World Food Ketahanan pangan didefinisikan sebagai ketersediaan
Conference 1974, UN pasokan pangan yang cukup sepanjang waktu untuk
1975 menjamin konsumsi pangan yang berkelanjutan... dan
mengawasi fluktuasi produksi dan harga.
FAO 1992 Ketahanan pangan adalah keadan dimana semua orang pada
setiap saat memiliki pangan aman dan bergizi yang cukup
secara kualitas dan kuantitas untuk beraktivitas dan hidup
secara sehat.
World Bank 1996 Ketahanan pangan adalah akses yang dimiliki oleh semua
orang setiap saat untuk dapat memperoleh cukup pangan
untuk beraktivitas dan hidup yang sehat.
Oxfam 2001 Ketahanan pangan adalah kondisi dimana setiap orang
sepanjang waktu mempunyai akses dan kontrol atas
kecukupan pangan baik secara kuantitas maupun kualitas
untuk kehidupan yang aman dan sehat. Definisi tersebut
mencakup dua aspek vital ketahanan pangan, yaitu:
ketersedian secara kuantitas dan kualitas; dan akses (hak
memperoleh pangan melalui pembelian, pertukaran maupun
klaim).
FIVIMS 2005 Ketahanan Pangan adalah kondisi ketika semua orang
pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki
akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk
pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary needs) dan pilihan
pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan
sehat.
Sumber: Jonatan Lassa, Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1952-2005. http://www.zef.de/module/register/
media/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan%20Indonesia%201950-2005.pdf
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 77
1. Ketersediaan pangan.
2. Aksesibilitas yang menggambarkan kemampuan untuk menguasai
pangan yang cukup
3. Keamanan yang dapat diartikan sebagai stabilitas (menunjuk pada
kerentanan internal seperti penurunan produksi) dan keandalan
(menunjuk pada kerentanan eksternal seperti fluktuasi perdagangan
internasional)
4. Keberlanjutan yang merupakan kontinuitas dari akses dan ketersediaan
pangan yang ditunjukkan oleh keberlanjutan usaha tani.
Jadi dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan mencakup empat aspek,
yaitu sufficiency, acces, security, dan time.
78
SEKILAS PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA C
Pada tahun 2006, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diperkirakan
mencapai US$ 364.8 milyar, meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai
US$287 milyar. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 mencapai 5,5 persen
atau lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 5,7 persen. Bank
Dunia memperkirakan pada periode tahun 2006-2010, Indonesia mampu
membukukan pertumbuhan ekonomi hingga 6,5 persen. Sementara itu,
PDB per kapita Indonesia mencapai US$1280 (2005) dan GNI per kapita
mencapai US$ 1,420 pada tahun yang sama dengan rata-rata pertumbuhan
pada periode 1990-2005 mencapai 2,1 persen. Angka pertumbuhan ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan yang dicapai pada periode
tahun 1970-1990 yang mencapai 4,7 persen.
Gambar 1
Pertumbuhan PDB (%), pengangguran (%), inflasi (%), dan tingkat
kemiskinan (angka kemiskinan terhadap total penduduk), 1999-2007*
Gambar 2
Pertumbuhan Sektor Manufaktur, Jasa, dan Pertanian, 1994-2007 (%)
80
KARAKTERISTIK SOSIAL DAN DEMOGRAFI INDONESIA D
Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang sangat besar, paling
tidak terdapat kurang lebih 223 juta penduduk pada tahun 2006 (perhitungan
BPS), sementara itu World Bank memperkirakan sebesar 221.3 juta jiwa
(World Bank, 2006). Sebesar 67 persen hidup di Pulau Jawa yang hanya 7
persen dari total luas Indonesia. Sebagian penduduk Indonesia merupakan
penduduk usia produktif (berumur 15-64 tahun), yaitu sebesar 66,71 persen.
Sementara itu, usia non produktif lainnya (0-14 tahun) mencapai 28,26 persen
dan diatas 65 tahun sebesar 5,03 persen. Sementara itu rasio angka harapan
hidup penduduk Indonesia mencapai 49,90 persen pada tahun 2006.
Jumlah penduduk Indonesia tumbuh sebesar 2,1 persen selama periode
1970-1990, setelah itu mengalami perlambatan pertumbuhan pada angka 1,3
persen pada periode 19902005. Pada tahun 2006, pertumbuhan penduduk
Indonesia sama dengan pertumbuhan pada periode 1990-2005 yaitu sebesar
1,3 persen. Perlambatan jumlah penduduk yang besar ini disebabkan oleh
perbandingan jumlah kelahiran yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
jumlah kelahiran secara nasional. Tingkat kematian mencapai 17 per 1000
orang pada tahun 1970, turun pada tahun 1990 yaitu sebesar 9 per 1000
orang, menurun lagi pada tahun 2005 pada angka 7 per 1000 orang.
Sementara itu tingkat kelahiran nasional pada tahun 1970, 1990, dan
2005 adalah 41 per 1000 orang, 26 per 1000 orang, dan 20 per 1000 orang.
Perlambatan angka kelahiran ini disebabkan oleh suksesnya program
keluarga berencana pada masa Orde Baru. Dampak dari program ini,
Indonesia mampu mengurangi tingkat kelahiran dari 5,4 persen pada
tahun 1970 menjadi 3,1 persen pada tahun 1990 dan turun lagi pada tahun
2005 menjadi 2,3 persen. Sementara itu angka kematian bayi di Indonesia
mencapai 28 per 1000 kelahiran pada tahun 2006, lebih tinggi dari rata-rata
angka kelahiran bayi di kawasan Asia dan Pasifik, yaitu 26 per 1000 kelahiran
pada tahun yang sama.
Meskipun demikian, pertumbuhan populasi di Indonesia lebih tinggi jika
dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penduduk di negara-negara
Asia Pasifik (0,9 persen). Sementara itu, indikator kesejahteraan lainnya,
yaitu nutrisi anak menunjukkan bahwa 28 persen anak di bawah 5 tahun di
Indonesia mengalami gizi buruk pada pertengahan tahun 2006, hampir dua
kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata di negara Asia Pasifik, yaitu 15
persen.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 81
tingkat harapan hidup yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki,
mencapai kurang lebih 106 persen. Namun demikian, di tingkat regional
Indonesia masih berjuang untuk meningkatkan tingkat harapan hidup. Rata-
rata angka harapan hidup di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan
dengan rata-rata harapan hidup negara-negara Asia Pasifik yang mencapai
71 tahun.
82
Berdasarkan kajian regional, tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan
persebaran yang tidak merata, baik itu di wilayah perkotaan-pedesaan
maupun antarpulau. Kemiskinan tertinggi terjadi di Pulau Jawa-Bali yaitu
sebesar 70 persen dimana 60 persen penduduk tinggal di wilayah ini. Selain itu,
Indonesia bagian timur juga mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan Indonesia bagian barat. Secara umum, wilayah
pedesaan lebih miskin jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Menurut
data SUSENAS 2004, 69 persen penduduk di wilayah pedesaan mengalami
kemiskinan dan kebanyakan dari mereka hidup dari sektor pertanian.
Penduduk di bawah garis kemiskinan pada tahun 2006 mencapai 17,75
persen atau 39,04 juta penduduk (BPS, 2006). Angka ini lebih tinggi dari tahun
sebelumnya yang mencapai 15,97 persen atau 35,1 juta jiwa. Kemiskinan di
Indonesia seakan-akan merupakan persoalan yang rumit untuk diselesaikan.
Hal ini terlihat jelas dari Gambar 3 yang menunjukkan tren angka kemiskinan
yang mempunyai potensi cenderung meningkat. Krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 1997 menyebabkan pengangguran yang sangat tinggi.
Akibatnya sebanyak 45 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Pengurangan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
mulai nampak setelah krisis, kecuali pada tahun 2000, 2002, dan 2006.
Gambar 3
Tingkat Kemiskinan di Indonesia, Angka dan Persen, 1996-2006
Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 83
miskin ada di pulau-pulau lainnya. Pulau Sumatra (14,06 persen), Jawa-
Bali (11,78 persen), Sulawesi (7,70 persen), dan Kalimantan (7,51 persen).
Sementara itu, di wilayah pedesaan, sekitar 20,11 persen penduduk hidup
di bawah garis kemiskinan (BPS, 2004). Tingkat kemiskinan tertinggi ada di
wilayah timur Indonesia (24,78 juta), jumlah penduduk miskin di Jawa-Bali
sebesar 19,69 persen; Sumatera (19,29 persen), Sulawesi (20,23 persen), dan
Kalimantan (13,00 persen), sementara itu pulau-pulau lainnya sebesar 31.00
persen.
Ibu Kota Indonesia, DKI Jakarta mempunyai tingkat kemiskinan yang paling
rendah jika dibandingkan wilayah lainnya, yaitu sebesar 3,18 persen penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, Papua merupakan
provinsi dengan tingkat kemiskinan yang paling tinggi, yaitu sebesar 38,69
persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Pulau-pulau lainnya
(di luar pulau-pulau besar) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di
perkotaan dan pedesaan mempunyai jumlah yang hampir sama.
Tabel 2
Tipologi Keragaan Ketahanan Pangan dan Swasembada Pangan
Negara Anggota ASEAN
84
Sumber: Diolah kembali dari Human Development Report 2005
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa negara kategori B, yaitu Indonesia,
Filipina, Myanmar, dan Laos mampu mencapai ketahanan pangan, namun
tidak memilikinya. Di sisi lain, negara kategori C, seperti Singapura tidak
melakukan swasembada pangan karena wilayah negara tersebut yang tidak
optimal untuk lahan pertanian. Namun negara-negara tersebut mampu untuk
menyediakan akses pangan bagi penduduknya sehingga ketahanan pangan
yang kuat dapat tercapai. Singapura lebih menekankan pada kemampuan
impor pangan untuk menyediakan akses dan stok cadangan pangan bagi
penduduknya.
Sementara itu, negara kategori A seperti Brunei, Thailand, Malaysia,
dan Vietnam cukup berhasil melakukan swasembada pangan dan dapat
dialokasikan sebagai bentuk ketersediaan akses pangan bagi penduduknya.
Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara aspek swasembada dan
ketahanan pangan. Kondisi ini akan bertolak belakang dengan negara Kamboja
yang tidak mampu melakukan swasembada pangan sekaligus tidak mampu
menyediakan akses pangan yang cukup bagi penduduknya. Solusi bagi negara
dengan kategori D adalah intervensi bantuan pangan internasional.
Tabel 3
Model Tipologi Keragaan Ketahanan Pangan Provinsi di Indonesia
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 85
status ketahanan pangan di Indonesia dengan menggunakan data SUSENAS
dari BPS (2005).
Tabel 4
Tipologi Keragaan Ketahanan Pangan Provinsi di Indonesia
Tahun 2005
86
yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif, dan efesien dalam mengatasi
permasalahan ketahanan pangan.
Proses analisis komponen utama (principal component analysis) dalam
pemetaan ketahanan pangan nasional ini menggunakan 10 indikator yang
dianggap berpengaruh sangat besar terhadap terjadinya kerawanan pangan
(memiliki pengaruh yang signifikan). Kesepuluh indikator yang tercakup
di dalam tiga aspek/ dimensi ketahanan pangan tersebut adalah (Deptan,
2006):
1. Dimensi Ketersediaan Pangan (Food Availibility)
• Kebutuhan konsumsi normatif terhadap ketersediaan serealia
(Consumption to Net Cereal Availibility Ratio);
2. Indikator Akses Terhadap Pangan (Food Access)
• Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
(Population Below Poverty Line);
• Persentase rumah tangga yang tidak dapat mengakses listrik (Access
to Electricity);
• Persentase infrastruktur jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda
empat (Villages with connectivity);
3. Indikator Penyerapan Pangan (Utilization)
• Angka kematian bayi waktu lahir/Infant Mortality Rate (IMR);
• Umur harapan hidup anak usia satu tahun (Life Expectancy);
• Persentase anak yang kurang gizi (Children Underweight);
• Persentase penduduk yang dapat mengakses air bersih (Access to
Safe Drinking Water);
• Persentase penduduk yang tinggal > 5 km dari puskesmas (Access to
Puskesmas);
• Persentase wanita yang buta huruf (Female Illiteracy)
Peta ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada 10 indikator di atas.
Peta ketahanan pangan ini akan menunjukkan daerah yang rawan pangan
secara spasial dan dalam perspektif geografis. Daerah rawan pangan dibagi
menjadi 2 (Deptan, 2006), yaitu
1. Rawan pangan kronis, yaitu rawan pangan yang disebabkan karena
daerah tersebut tidak dapat memenuhi tig aspek rawan pangan dengan
10 indikator di atas. Rawan pangan tipe kronis bersifat jangka panjang
sehingga waktu pemulihan kepada kondisi tahan pangan juga relatif
lama.
2. Rawan pangan transient, yaitu rawan pangan yang cenderung
disebabkan oleh masalah bencana alam dan bersifat jangka pendek.
Permasalahan rawan pangan transient mencakup area puso, fluktuasi
curah hujan, bencana gempa bumi, banjir dan sebagainya.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 87
Berikut ini disajikan peta ketahanan pangan di Indonesia
Gambar 4
Peta Kerawanan Pangan di Indonesia
Tabel 5
Klasifikasi Ketahanan Pangan Berdasarkan Indikator Komposit
88
warna hampir merata). Hanya saja untuk daerah yang sangat tahan pangan
(prioritas 6, warna hijau tua) persentasenya lebih besar dibandingkan
kategori lainnya yaitu terdapat di 65 kabupaten dari 265 kabupaten yang ada
di Indonesia atau sebesar 24,53 persen.
Untuk daerah yang tahan pangan (prioritas 5, warna hijau) terdapat di 50
kabupaten atau sebesar 18,87 persen, begitupun daerah yang cukup tahan
pangan (prioritas 4, warna hijau muda) yang juga terdapat di 50 kabupaten
atau sebesar 18,87 persen. Sedangkan untuk daerah yang agak rawan pangan
(prioritas 3, warna merah muda) terdapat di 40 kabupaten atau sebesar 15,09
persen dan untuk daerah yang rawan pangan (prioritas 2, warna merah) serta
daerah yang sangat rawan pangan (prioritas 1, warna merah tua) samasama
terdapat di 30 kabupaten atau sebesar 11,32 persen.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 89
kemerdekaan. Secara umum kebijakan pangan di Indonesia dipengaruhi
oleh faktor kepentingan politik. Pemerintah kolonial pada zaman penjajahan
menekankan pada kebijakan bahan pangan dengan harga murah dengan
tujuan menurunkan tingkat upah buruh pribumi.
Pada zaman era Orde Lama, pola kebijakan pangan yang cenderung sejalan
dengan kebijakan politik kembali diterapkan pemerintah Presiden Sukarno.
Pemerintah Sukarno berusaha menumbuhkan semangat nasionalisme dan
kesetiaan pada negara dengan memberikan insentif bulanan bagi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dan militer dalam bentuk bahan pangan (beras).
Sementara pada zaman rezim Suharto di masa Orde Baru juga masih
menghubungkan kebijakan politik dengan kebijakan pangan. Program
swasembada pangan di awal Orde Baru (1970-an) diwujudkan dengan
pemberian insentif pangan (beras) bagi PNS dan militer. Pemberian insentif
ini hampir bersamaan dengan akan dilaksanakannya Pemilu pertama pada
masa Orde Baru. Hal ini semakin menunjukkan bahwa kebijakan pangan
selalu dikorelasikan dengan kepentingan politik.
Pemerintahan rezim Suharto membentuk Badan Urusan Logistik
(BULOG), yaitu badan khusus yang diproyeksikan untuk mengelola
pangan dan logistik nasional. Tujuan pembentukan BULOG adalah menjaga
ketahanan pangan melalui dua mekanisme, yaitu stabilisasi harga dan
pengadaan insentif pangan bulanan bagi PNS dan militer. BULOG berfungsi
sebagai badan kontrol harga beras dengan mematok harga beras domestik
lebih tinggi dari beras dunia (Timmer 2002, dalam Lassa 2005).
Di sisi lain, pola kinerja BULOG sebagai badan khusus yang mengelola
pangan nasional ternyata mulai terkontaminasi masalah kepentingan politik.
BULOG dalam pola aktivitasnya menjadi badan yang bernuansa kolusif dan
korupsi. Menurut Simatupang (1999), BULOG merupakan mesin uang dan
politik bagi pemerintahan rezim Suharto.
Pada pertengahan pemerintahan Suharto, peran BULOG justru lebih
luas dengan menjadi badan kontrol harga di beberapa komoditi lain selain
beras (gula, gandum, jagung, kedelai dsb). Namun di akhir pemerintahan
Suharto sampai awal pemerintahan Presiden Habibie, peran BULOG kembali
dipersempit untuk hanya komoditi beras.
Kebijakan BULOG sebagai manajemen logistik (penyediaan, kontrol,
dan distribusi) dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Abdurahman
Wahid. Kebijakan BULOG sebagai manajemen logistik di masa Presiden
Wahid diwujudkan oleh pemerintahan Presiden Megawati dalam bentuk
Keputusan Presiden (Keppres) No 132 Tahun 2001 tentang pembentukkan
Dewan Ketahanan Pangan Nasional. Keppres No 132 Tahun 2001 di masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperbarui melalui
Peraturan Presiden No 88 Tahun 2006.
Secara umum pola kebijakan pangan atau ketahanan pangan dari masa
90
Orde Lama sampai dengan masa kini (pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono) dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 6
Kebijakan Pangan di Indonesia Tahun 1945-2005
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 91
Orde Baru Soeharto: Swasembada 1978: Keppres39/1978,
Repelita 3 & 4 pangan Pengembalian tugas Bulog sebagai
1979-1989 kontrol harga untuk gabah,
beras, tepung gandum, gula pasir
dll. 1984: Medali dari FAO atas
tercapainya Swasembada Pangan.
Orde Baru Soeharto: Swasembada 1995: Penganugerahan pegawai
Repelita 5,6,7 beras Bulog sebagai Pegawai Negeri
1989-1998 Sipil 1997: Perubahan fungsi Bulog
untuk mengontrol hanya untuk
harga beras dan gula pasir. 1998:
Penyempitan peran Bulog yang
berfungsi sebagai pengontrol harga
beras saja.
Transisi Habiebie Swasembada 1998/1999: Penjualan Pesawat
Reformasi 1998/1999 beras IPTN yang ditukar dengan Beras
Thailand.
Transisi A. Wahid Swasembada 2000: Penegasan tugas Bulog
Reformasi 1999/2000 beras untuk management logistic beras
(penyediaan, distribusi dan kontrol
harga)
Reformasi Megawati Swasembada 2003: Privatisasi Bulog 2004:
Soekarno P beras No-Option Strategy . Kecuali
2000/2004 Swasembada Beras.
Reformasi S. Bambang Revitalisasi 2005: “revitalisasi pertanian”
Yudhoyono pertanian – komitmen (janji) untuk
(SBY) (2004- peningkatan pendapatan pertanian
2009) untuk GDP, pembangunan
agribisnis yang mampu menyerap
tenaga kerja dan swasembada
beras, jagung serta palawija.
Sumber: Diolah kembali dari Mears (1984) dan Lassa (2005)
92
ketahanan pangan nasional
Tugas Dewan Ketahanan Pangan Nasional secara umum adalah membantu
Presiden dalam mempersiapkan kebijakan yang meliputi penyediaan
pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, diversifikasi pangan dan
penanggulangan masalah gizi.
Perbedaan posisi Dewan Ketahanan Pangan Nasional di masa Presiden
Megawati dengan masa SBY, terletak pada pola struktur organisasi. Dewan
Ketahanan Pangan Nasional (zaman Megawati) diketuai oleh Presiden
dengan Menteri Pertanian sebagai Sekretaris. Proses kerja Dewan Ketahanan
Pangan ini dilakukan secara hierarkis dari pusat, provinsi dan sampai
dengan tingkat kabupaten/kota. Sementara pada zaman Susilo Bambang
Yudhoyono, Dewan Ketahanan Pangan dipimpin presiden namun dengan
Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian.
Pada masa pemerintahan SBY, untuk mendukung kebijakan revitaliasi
pertanian maka pemerintah menyusun program 100 hari. Program 100 hari
pemerintah SBY di bidang pangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Kebijakan Menjamin Ketahanan Pangan dan Nutrisi Nasional.
2. Kebijakan Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Nutrisi Nasional.
Kebijakan pemerintah dalam menjamin ketahanan pangan dan nutrisi
dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
• Ketersediaan pangan
• Keterjangkauan pangan
• Kualitas gizi
Program 100 hari SBY pun ternyata masih sekedar upaya politis untuk
pencitraan politik. Belum ada mekanisme evaluasi program 100 hari
tersebut, apalagi kemudian banyak musibah yang melanda negeri ini.
Seharusnya Dewan Ketahanan Pangan menjadi lembaga independen yang
lepas dari bayang-bayang kepentingan eksekutif. Kewenangan yang lebih
besar ini akan memperluas ruang gerak di seluruh lapisan masyarakat
dengan menggandeng berbagai kalangan dan tak segan untuk mengkritisi
kebijakan yang menganggu hak atas pangan, serta mengutamakan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 93
Daftar Pustaka
• Anonymous. (2001)., Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
132 Tahun 2001 Tentang Dewan Ketahanan Pangan.
• Anonymous. (2005)., “Pangan Untuk Indonesia: Program 100 Hari
Pemerintah”, World Bank
• Anonymous. (2005)., Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga di
Indonesia, Badan Pusat Statistik Indonesia.
• Anonymous. (2002)., Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan.
• Anonymous. (2006)., Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83
Tahun 2006 Tentang Dewan Ketahanan Pangan.
• Anonymous. (2005)., “Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan”,
Komite Penanggulangan Kemiskinan Indonesia.
• Anonymous. (2003)., “Sustainable Agricultural Development in
Southeast Asia”, PSDR LIPI.
• Anonymous. (2004)., “The New Perspective of Food Security”, AIRLIE
Foundation.
• Baliwati, Y.F. (2001)., “Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Petani”, Disertasi PPS IPB, tidak diterbitkan, Bogor.
• Chung, K, L. Hawddad, J. Ramakrishna, and F. Riely, (1997).,
“Identifying the Food Insecure the Application of Mixed-Method
Approaches in India”, International Food Policy Research Institute,
Washington DC.
• Dewan Bimas Ketahanan Pangan, (2001)., “Kebijakan Pemantapan
Ketahanan Pangan Nasional”, Sekretariat Dewan Bimas Ketahanan
Pangan, Jakarta.
• Dove, et al., (1985)., “Peranan Budaya Tradisional Indonesia dalam
Modernisasi”, Yayasan Obor Indonesia.
• Easterly., (2002)., “The Elusive Quest for Growth”, The MIT Press
Cambridge, England.
• Hayashi, et. Al., (2003)., “Sustainable Agriculture in Rural Indonesia”,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia.
• Hunt, J., (2001)., “Food Policy and Nutrition Security”, Asian
Development Bank Report, Manila.
• IFAD, (1998)., “South Asia -How Women and their Households Cope
with Food Insecurity.”
• Lassa, J. (2005)., “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005”,
(online: www.deptan.go.id).
• Lovendal. C. R., M. Knowles, and N.Horii, (2004)., “Understanding
Vulnerability to Food Insecurity: Lessons from Vulnerable Profiling.”
94
ESA Working Paper No. 04-18, Agricultural and development
Economics Division, The Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
• Maxwell S. & Slater, R., (2003)., “Food Policy Old and New. Development
Policy Review”, Vol. 21(5-6), pp 531-553.
• Maxwell, S. and T.R. Frankenberger, (1997)., “Household Food Security:
Concept, Indicators, Measurements”, UNICEF and IFAD.
• Mears, L. (1978)., “Problems of Supply and Marketing of Food in
Indonesia in Repelita III”, BIES Vol. XIV No. 3 pp 52-62.
• Nainggolan, (2006)., “Melawan Kemiskinan dan Kelaparan di Era
Konvergensi Abad 21”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Indonesia.
• Neuman, (1997)., “ Social Research Methods, Qualitative and
Quantitative Approaches”, University of Wisconsin at Whitewater.
• Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi, (1998)., “Panduan Lokakarya
Proyek Pengembangan Wilayah Jambi”, Regional Develompment
Project.
• Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, (2001)., “Assessment
on Indonesian Food Security Situation”, Pusat Pengembangan
Ketersediaan Pangan, BBKP, Departemen Pertanian RI.
• Rachman et.al (2005)., “Prospek Ketahanan Pangan Nasional: Analisis
Dari Aspek Kemandirian Pangan”, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, IPB Bogor.
• Rachman et.al (2005)., “Distribusi Provinsi Di Indonesia Menurut
Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga”, Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, IPB Bogor.
• Sen, Amartya. (1981)., “Poverty and Famines: An Essay on Entitlement
and Deprivation”, Oxford, Clarendon Press.
• Shackleton, et. al., (2002)., “Devolution and Community-based Natural
Resource Management: Creating Space for Local People to Participate
and Benefit?”, Natural resource Perspective, Nos. 76, London.
• Simatupang, P., (1999)., “Toward Sustainable Food Security: The Need
for A New Paradigm”. ACIAR Indonesia Research Project, Working
Paper 99.15. 33 pp.
• Sittirak, (1996)., “Daughters of Development, the Stories of Women and
the Changing Environment in Thailand”, WENIT Thailand.
• Smith, (2002)., “Afforestation and Reforestation in the Clean
Development Mechanism of the Kyoto Protocol: Implications for Forest
and Forest People”, International Journal of Global Environmental
Issues, Vol. 2 Nos. ¾ , 322-339.
• Soetrisno, (2005)., ”Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan”, Majalah
Pangan Perum Bulog.
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 95
• Stevens, C., Greenhill, R., Kennan, J., & Devereux S. (2000)., “The WTO
Agreement on Agriculture and Food Security”, Commonwealth
Secretariat.
• Thomas, V. et.al, (2001)., “The Quality of Growth”, PT. Gramedia, Jakarta.
• Timmer, (2004)., “Food Security and Economic Growth: An Asian
Perspective”, ANU Australia.
• Timmer, (2002)., “Food Security and Rice Price Policy in Indonesia: The
Economics and Politics of the Food Price Dilemma”. IFPP-Bappenas/
Departemen Pertanian/ USAID/DAI Working Paper.
• Usfar, A.Avita, (2002)., “Household Coping Strategies for Food Security
in Indonesia and the Relation to Nutritional Status: A Comparison before
and after the 1997 Economic Crisis.” http://archiv.ub.uniheidelberg.de/
volltextserver/volltexte/2003/3708/pdf/zusammfass.pdf
• Xuan Tinh, undated, “Looking for Food: The Difficult Journey of the Hmong
in Vietnam, Anthropological Perspective on Food Security”, Institute of
Anthropology, Hanoi, Vietnam Widodo, (2006)., “Ketahanan Pangan di
Indonesia”, Proceeding Seminar Ketahanan Pangan di Indonesia, PSAP
UGM.
96
Laporan peneLitian
Hak ekosob dan Hak atas pendidikan 97