Draft Strategi Pemuda
Draft Strategi Pemuda
Dalam perjuangan suatu bangsa, saya mengutip Bung Syahrir, salah satu tokoh
pembebasan nasional Indonesia, pemuda adalah sumber kekuatan dan sekaligus
penentu dalam perjuangan itu. Jika diibaratkan dengan pedang, maka pemuda adalah
pedangnya suatu bangsa, senjata yang dipergunakan untuk menebas setiap
penghalang kemajuan suatu bangsa.
Tidak mengherankan, dalam sejarah perjuangan nasional bangsa kita, kaum muda
mendapat prestise (penghargaan) yang sangat tinggi. Oleh seorang sejarahwan soal
Indonesia, Bennedict Anderson dikatakan, revolusi Indonesia sebetulnya adalah
revolusi kaum muda. Jadi, kalau diperiksa dari urutan-urutan sejarah, kaum muda
punya peranan sangat penting dalam mencapai Indonesia merdeka. Tanpa pemuda,
kata Pramoedya Ananta Toer, tidak ada kemerdekaan Indonesia itu.
Untuk itu, dalam situasi sekarang ini, tidak ada alasan bagi kaum muda untuk turun
atau keluar dari gelanggang perjuangan bangsa. Soekarno pernah berkata, “pemuda
yang tidak bercita-cita bukan pemuda. Pemuda dan pemudi yang tidak bercita-cita,
sudah mati sebelum mati. Maka, Bung Karno pun menganjurkan agar para pemuda-
pemudi menyusun cita-cita setinggi-tingginya, termasuk meninggikan cita-cita nasional
bangsanya; masyarakat adil dan makmur.
Indonesia sudah merdeka, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, demikian ditulis oleh
diktat-diktat pelajaran sekolah. Tetapi, kemerdekaan 17 Agustus itu baru kemerdekaan
politik, tidak lebih. Kalau mau diibaratkan, meminjam istilah Bung Karno, kemerdekaan
17 Agustus 1945 itu hanyalah sebuah jembatan emas, untuk mencapai cita-cita
nasional kita yang lebih tinggi.
Akan tetapi, setelah 64 tahun berselang setelah kemerdekaan politik, jembatan emas
yang dibangun Soekarno itu telah dirubuhkan. Kemerdekaan politik, yang sering
diasosiasikan (diartikan) dengan bebas dari cengkeraman penjajah dan memiliki
kedaulatan politik tersendiri, telah dilumat oleh sebuah bentuk penjajahan baru
(kolonialisme baru).
Rubuhnya jembatan emas menyebabkan malapetaka bagi jutaan rakyat yang sedang
meniti di atasnya. Mereka telah terjerembab ke dalam lubang kolonialisme baru;
kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan kehilangan hak politik. Tidak
mengherankan, seperti dikatakan Rizal Ramli, sekitar 80% rakyat Indonesia tidak
pernah merasakan arti sesungguhnya kemerdekaan politik itu.
Kita menyebut model penjajahan baru itu dengan istilah neoliberalisme. Teman-teman
semua, pada saat pemilu 2009 lalu, tentu sudah sangat familiar dengan istilah
neoliberalisme itu. Neoliberalisme adalah sebuah system dan ide-ide yang
mempromosikan kebebasan pasar dan penjarahan kekayaan nasional suatu bangsa.
Soal neoliberalisme ini, saya hendak menarik empat dimensi pokok dari aspek
pengrusakannya terhadap sebuah bangsa. Pertama, neoliberalisme menghapuskan
kedaulatan politik negara nasional yang menjadi objek eksploitasinya, dan merubah
pemerintahan nasional mereka sekedar menjadi administrasi bagi perusahaan raksasa
dunia (multinasional). Bahkan, konstitusi dasar kita, yaitu UUD 1945, telah dilucuti
watak anti-kolonialnya dan dipaksa sangat akomodatif dengan kepentingan asing.
Pendek kata, saya mengutip ucapan Alvaro Garcia Linera, wakil presiden Bolivia yang
berfikiran revolusioner, bahwa neoliberalisme telah menciptakan kemiskinan yang
sangat, ketersingkiran dan kemalangan di negeri selatan,--sebutan untuk negeri-negeri
dunia ketiga yang miskin.
Namun, tidak berhenti di situ, neoliberalisme ini membawa konsekuensi lebih buruk
terhadap nasib dan masa depan para pemuda dan pemudi. Neoliberalisme adalah
ibarat banjir bah, yang tiba-tiba menyapu bersih harapan kaum muda Indonesia.
Berikut ini, saya hendak menguraikan dampak lebih jauh neoliberalisme terhadap masa
depan pemuda, tidak terkecuali di Indonesia, tetapi di seluruh dunia:
Pemuda dan pemudi adalah pemilik masa depan. Di tangan pemuda itulah, seperti
seringkali disampaikan founding father, masa depan sebuah bangsa akan diletakkan.
Apakah pemuda sebagai pedang sang pembebas masih sanggup menuai tugas historis
itu? Adakah pemuda-pemuda yang masih menyimpan di hatinya cita-cita nasional
titipan Bung Karno?
Apa hendak dikata, neoliberalisme tidak mau memberi jalan “masa depan” bagi para
pemuda, malah menganjurkan bunuh diri massal. Eksploitasi neoliberal tidak hanya
menjajah fisik kita, sehingga kekurangan nutrisi, bahan makanan, pakaian, rumah,
dsb. Tetapi, melebih dari itu semua, neoliberalisme juga menjajah jiwa dan
kepribadian kita.
Untuk menjajah jiwa dan kepribadian, Neoliberalisme memiliki sebuah pedang dengan
kedua sisinya yang sangat tajam; individualisme dan konsumtivisme. Individualisme
disebarkan melalui pola dan gaya hidup, dan metode fragmentasi sosial; proses
penghancuran bentuk-bentuk kolektifisme dan komunalitas. Konsumtifisme juga
demikian, dia menyerang sel-sel otak kira bagaikan virus mematikan.
Seiring dengan revolusi teknologi informasi, selain memberi manfaat kepada manusia
dalam sistim berkomunikasi, perkembangan media telah menjadi alat atau senjata
paling penting dalam menyebarkan individualisme dan konsumtifisme. Media massa
telah menjadi senjata pembunuh massal di abad modern, dan korban-korbannya
adalah pemuda dan rakyat kita.
Lihatlah, setiap pagi hari, anak-anak muda lebih mendahulukan menyimak dashyat,
inbox, dering, dan berbagai acara musik pagi lainnya, ketimbang mereka harus fokus
untuk menimbah ilmu di bangku sekolah. Lain lagi, ketika anak muda berani
melakukan apapun, termasuk menjual diri, hanya untuk mendapatkan jenis Hand
Phone terbaru; Black Berry, dsb.
Neoliberalisme menyebabkan anak-anak muda lebih hafal deretan lagu-lagu hits dan
penyanyinya, tapi melupakan nama-nama pahlawan nasional dan urutan peristiwa
dalam perjuangan bangsa ini. Maka, benar apa yang dikatakan oleh Willian Grigsby,
mantan pemiminpin Sandinista, neoliberalisme bukan hanya ideology yang menjajah
masyarakat dunia melalui kolonialisme tersembunyi. Neoliberalisme juga merupakan
sebuah ideology yang mengubah masyarakat menjadi sekedar konsumen—dan bukan
hanya menjadi konsumen, masyarakat juga diubah mentalnya menjadi apatis, sinis,
dan sangat individualis.
Ya, tepat pula apa yang dikatakan Bung Karno, bahwa pemuda dan pemudi yang tidak
bercita-cita, sudah mati sebelum mati. Dan, bagi kita, neoliberalisme telah
menganjurkan kepada para pemuda untuk melakukan “bunuh diri massal”.
Namun, itu tidak berarti bahwa nasionalisme dan semangat kebangsaan benar-benar
sudah menghilang di dada kaum muda. Tidak, tidak seperti itu. Sebetulnya, kalau kita
mau mengibaratkan, semangat itu masih tersimpan di dada kaum muda Indonesia,
hanya saja masih tertutup oleh debu-debu pemalsuan dan penipuan sejarah.
Kita bisa melihat, bagaimana semangat nasional dan kebangsaan itu berkobar-kobar di
setiap pertandingan timnas Indonesia melawan negara lain di Stadion Gelora Bung
Karno, meskipun tidak jarang timnas kita ditaklukkan oleh tim lain. Inilah semangat
nasionalistis dan kebangsaan yang terpendam itu, dan bisa menjadi singa jikalau
sanggup dibangunkan.
Hanya dengan revolusi, suatu bangsa atau masyarakat bisa keluar dari teka-teki
sejarah dan jebakan kolonial, begitu kata Chavez. Kita harus berani mengatakan,
keterpurukan dan kemunduran bangsa ini terjadi karena rantai-rantai penjajahan
masih berlangsung, tidak sepenuhnya diputuskan.
Bagaimana kita, sebagai suatu bangsa, dapat berbicara kemakmuran dan keadilan
sosial, jika sumber daya alam, tenaga kerja, pasar, dan potensi nasional kita masih
dicaplok dan dikuasai bangsa asing. “Jangankan masyarakat yang berkesejahteraan
sosial, menyusun masyarakat normal saja tak mungkin, sebelum selesainya tugas
nasional,” demikian dikatakan Bung Karno. Soekarno bahkan mengutip Giuseppe
Mazzini, salah satu tokoh pendiri Italia, yang telah berkata; “menyusun tanah air ini,
malahan satu keharusan. Anjuran-anjuran dan daya upaya-daya upaya yang
kubicarakan tadi, hanyalah dapat diselenggarakan oleh tanah air yang bersatu dan
merdeka…Jangan mengira, bahwa kamu dapat memperbaiki nasib hidupmu sebelum
memecahkan soal nasional lebih dahulu. Ihtiarmu sia-sia”.
Karena itu, kami kembali menegaskan, kaum muda harus berjuang sekeras-kerasnya
bersama gerakan rakyat Indonesia lainnya, untuk mengakhiri sistim neoliberalisme
atau penjajahan gaya baru, yaitu dengan merebut kembali kedaulatan bangsa kita.
Kita sangat menyakini, ketika kedaulatan telah direbut, maka penindasan dan
eksploitasi dari luar dapat diakhiri.
Strategi politik umum perjuangan pemuda dan pemudi Indonesia adalah; Membangun
Front Pesatuan Untuk menuntaskan perjuangan demokrasi-nasional. Front persatuan
ini merangkul, setidak-tidaknya, seluruh tenaga-tenaga nasional yang menentang
penjajahan baru, meliputi; buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin (marhaen), partai
politik pro-rakyat, akademisi progressif, perempuan, seniman, dan pengusaha nasional
yang pro-kepentingan nasional.
Pemuda, karena posisinya sebagai pedang suatu bangsa, tidak bisa menghindar dari
tugas-tugas nasional ini. Siapapun dia, apapun warna kulitnya, dari manapun sukunya,
kalau dia adalah pemuda dan pemudi, maka dia berhak memikul tanggung jawab ini.
Disamping itu, pemuda dan pemudi sangat perlu untuk mengambil sikap terhadap
persoalan-persoalan bangsa lainnya, misalnya korupsi, demokrasi, dsb.
Untuk menjalankan tugas itu, maka pemuda harus menjalankan Gerakan tiga penting;
penting berhimpun, penting belajar, dan penting berjuang di tengah rakyat.
Jalankan-lah gerakan tiga penting ini, saya yakin, dalam 2 atau 3 tahun mendatang,
perjuangan pemuda-pemudi Indonesia akan kembali bergelora, ibarat air bah yang
akan menghapus gundukan-gundukan penindasan di negeri ini.
Stratak Aksi Pendidikan Bacaan
Berangkat dari gambaran yang sudah dikemukakan, perlu dipahami bahwa perubahan
sosial tidak berdiri di atas sudut-sudut kesombongan revolusioner. Bukan seratus kali
aksi, dan puluhan ribu eksemplar selebaran, maupun ribuan kali diskusi yang
menentukan gerak dari perubahan sosial. Akan tetapi seberapa besar organisasi
mampu mengorganisasikan potensi-potensi perlawanan rakyat, dan seberapa besar
pula potensi-potensi tersebut dapat dikembangkan menjadi dasar-dasar bagi
pengorganisasian rakyat yang lebih luas di dalam berbagai bidang kehidupan ekonomi,
politik, sosial dan budaya masyarakat. Artinya kebutuhan organisasi saat ini lebih
berpijak pada upaya pemetaan wilayah-wilayah potensial perlawanan, penyebarluasan
pendidikan politik, dan pengorganisasian politik perlawanan pemuda.
Yang dimaksud dengan pemetaan di sini berbeda artinya dengan membuat sebuah
peta administratif. Namun sebuah kerja pembentukan sel-sel perlawanan di berbagai
wilayah potensial perlawanan. Sel-sel di sini tidak berarti kumpulan tertutup dari
mereka yang bersepakat terhadap gagasan-gagasan organisasi. Sebaliknya ini justru
sebuah kumpulan terbuka yang memiliki tradisi berkumpul di tempat tempat publik
seperti warteg, warung indomie, warung kopi, ataupun tempat tempat lainnya.
Kewilayahan dari sel-sel ini tidak terbatas pada wilayah administratif yang ada, tetapi
keanggotaannya lebih dibatasi oleh pengorganisasian struktur kerja di tingkat sel. Apa
yang dimaksud dengan struktur kerja di tingkat sel?
Politik di sini tidak sama arti dengan demonstrasi, ataupun tindak bergerombol
yang menuntut dan mengancam lawan politik. Hal yang paling penting dalam politik
adalah upaya membicarakan persoalan-persoalan sosial warga masyarakat secara
terbuka, antara pihak warga dengan pihak pemerintah misalnya, di dalam sebuah
pertemuan publik. Upaya pembicaraan ini harus terus menerus dilakukan untuk
membuka kemungkinan keterlibatan massa yang lebih besar di dalam pertemuan
publik. Ekspresi dari masyarakat diupayakan sekreatif mungkin, mulai dari
pengorganisasian petisi sempai dengan panggung panggung kebudayaan.
Program Perjuangan: