Anda di halaman 1dari 3

Tordesillas, Emas, dan Penjajahan Itu

Oleh: Mas Pingsen

Kapal-kapal yang Membelah Samudera

Tordesillas, Spanyol: 7 Juni 1494.

Awalnya rempah-rempah. Orang-orang Eropa penasaran. Ingin mencari di mana


sebenarnya surga yang menumbuhkan tanaman itu. Sampai-sampai Paus Alexander VI
yang bertahta di Vatikan perlu turun tangan.

Kepada Spanyol sang Paus membagikan wilayah berupa daratan sepanjang 100 league
(320 mil) sebelah barat Pulau Tanjung Verde. Sedangkan sisanya diserahkan pada
Portugis. Tapi Portugi tak terima. Mereka curiga Paus yang berasal dari Spanyol itu tak
adil dalam membagi. Dimintalah pembagian ulang: Raja Portugis, Joan II, menuntut
revisi.

Memang tak mudah membagi bumi menjadi dua. Sebagai wakil Tuhan di muka bumi,
Paus Alexander merasa berhak membagi bumi. Tapi sendiri masih bingung: bumi ini
datar atau bulat. Galileo Galilei belum menemukan teleskopnya. Sedangkan dalam
Kitab Suci. Juga kron ometer—alat untuk mengukur garis bujur secara akurat—juga
belum ditemukan.

Tapi Paus tetap mengambil langkah berani: membagi dunia seperti buah semangka.
Patoknya Pulai Tanjung Verde. Portugis mendapatkan daratan bagian timur dan
Spanyol bagian barat. Masing-masing mendapatkan wilayah seluas 370 league (1.185
mil).

Sebaiknya kita mundur sejengkal. Cataluya mungkin sekarang lebih dikenal sebagai
tempat klub sepak bola Barcelona—tempat Lione Messi merumput. Dalam acara resmi
di Barri Gotic, raja dan ratu Spanyol memimpin perjamuan mewah untuk menyambut
kedatangan Cristopher Columbus. Pada April 1493, ia baru pulang dari Amerika.
Memang ada kesalahpahaman waktu itu. Columbus mengira Amerika adalah Hindia--
tempat rempah-rempah tumbuh.

Sebagai bukti bahwa telah sampai ke surga rempah-rempah, Columbus membawa bukti:
burung kakaktua, orang-orang Indian dan kayumanis. Ia juga membawa segumpal emas.
Sejak itulah, selain El Picante (bumbu), El Darado (emas) juga menjadi buruan.

Rempah memang menjadi obsesi orang-orang Eropa kala itu. Taruhan apapun akan
dipasang demi mendapatkannya. Siapa yang menguasai rempah, maka ia menggenggam
dunia. Dari perjalan dari Selatan ke Utara, harga rempah bisa naik sampai 1000%. Siapa
yang tak tergoda?

Columbus memang pelopor perburuan itu. Tapi ia tak sedirian. Portugis ternyata secara
diam-diam mengirim Vasco da Gama. Kisah pelayaran da Gama telah memberikan
inspirasi bagi penyair Luis Vax de Camoes menulis puisi: Lusiads—sebuah puisi epik
sepanjang 1.102 bait.
Perjalan da Gama menyusuri jalur yang berbeda dengan Columbus. Ia menyusuri pesisir
Afrika sebelum akhirnya sampai ke Malabar, India. Perjalan da Gama bisa dikatakan
lebih berhasil. Ia memang belum sampai ke surga tanaman remah, tapi sudah sampai di
bandar tempat rempah diperjualbelikan dengan harga yang murah. Ia telah membuka
jalan untuk para pemburu rempah-rempah dari Eropa lainnya.

Persaingan Columbus vs da Gama itulah yang memicu perjanjian bertele-tele di


Tordasillas. Paus turun tangan agar Spanyol dan Portugis tak terlibat dalam konflik
berdarah.

Setelah dibelah dua, kapal-kapal Spanyol dan Portugis mulai membelah dunia diiringi
slogan: Gold, gosepel dan glory. Itulah ketika imperialisme mulai disebarkan.

Industrialisasi yang ditempuh oleh penjajahan Inggris di India berdeda dengan Belanda
di Indonesia. Kolonialisme Inggris di India memulai patok kapitalisme dengan Industri
dasar—baja dan besi. Industri ini digunakan untuk menopang pembangunan industri-
industri yang lain. Di Indonesia, kolonialisme Belanda memulai industrialisasi dengan
membangun pabrik-pabrik gula. Belanda terlalu mefokuskan pada barang-barang impor
yang saat itu menjadi idola pasar Eropa. Bagi pemerintah kolonial yang terpenting
adalah mencari cara agar bisa mengakumulasi modal dengan cepat dengan biaya yang
murah.

Pada tahap awal, industri gula memang bisa berkembang cukup pesat, tetapi industri ini
tidak dapat mendorong tumbuh berkembangnya industri-industri yang lain—karena
setelah sarana pendukung tercukupi, jalur kereta api, jalan raya, terpenuhi—industri
gula relatif tidak membutuhkan penunjang dari industri-industri lain. Kalaupun ada
perluasan industri baru, itu bisa terjadi apabila ada perluasan terhadap industri gula—
baik dibukanya pabrik baru maupun perkebunan tebu baru. Sehingga, dapat dikatakan
bahwa perkembangan industri lain—selain industri gula, cukup lambat. Industri-industri
manufaktur lain, seperti industri tekstil tidak dibangun di Indonesia, tapi malah
dibangun di negeri Belanda, begitu juga dengan industri karet, hanya diproses dengan
industri yang sederhana.

Ini semua membawa dampak panjang. Sampai saat ini industrialisasi di negeri kita
tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sehingga, negeri kita tidak bisa secara
maksimal mengolah kekayaan sendiri, yang hanya mampu menjual bahan-bahan
mentah, atau bahkan diserahkan kepada modal asing untuk dikeruk. Akibatnya, kita
tidak memeliki kemandirian ekonomi. Ketika sebuah negara tidak memiliki
kemandirian ekonomi, maka ia tidak akan memiliki kemadirian politik dan budaya. Bisa
dikatakan: merdeka tapi terjajah. Banyak sekali regulasi yang dihasilkan—mulai rokok
sampai minyak dan emas—dipengaruhi kepentingan asing. Negeri kita rupanya memilih
menjalakan doktrin Thomas Friedman: free trade plus free market akan menghasilkan
kemakmuran dan perdamaian. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya, industri nasional
runtuh dan kemiskinan menjadi wabah.

Pada kenyataan doktrin Friedman melahirkan ketimpangan yang menganga antara


negara yang ada di Utara dengan negara di Selatan. Pasar perdangan kenyataannya
dikontrol oleh negara-negara kaya di Utara, sehingga menimbulkan hubungan yang
timpang. Karena tak mampu bersaing, negara di Selatan—termasuk Indonesia—
memusatkan diri pada bentuk produksi yang terbelakang. Keadaan ini semakin parah
ketika investasi asing tak terbendung. Investasi bukan sebatas modal saja tetapi juga
kontrol terhadap industri nasional yang paling vital sehingga mereka mengeruk surplus
ekonomi lewat berbagai cara—repatriasi keuntungan, royalty fees, maupun lesensi-
lesensi. Inilah biang keladi modal lokal dan pengusaha lokal tergusur di negeri ini.

Dampak nyata dari semua hal di atas adalah kemiskinan. Kata-kata Sayidina Ali bin Abi
Thalib yang pantas untuk direnungkan, “Tidak lapar orang miskin kecuali karena
rakusnya orang kaya.” Inilah yang terjadi di negeri kita. Padahal dalam UUD 1945 pasal
33 ayat 3 disebutkan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Tapi
cita-cita mulia tersebut seringkali hanya sebagai pemanis saja. Pada kenyataan, rakyat
ditelantarkan. Sehingga cocok kata-kata ini: gubernatio cives adiuvara non potest—
pemerintah tidak bisa membantu rakyat miskin.

Anda mungkin juga menyukai