Anda di halaman 1dari 2

RADIO DALAM PERJUANGAN:

PELAJARAN BAGI KAUM MISKIN MEMBANGUN RADIO KOMUNITAS

Oleh: redakturdpnspri

Pada tahun 1990-an, penyanyi asal Surabaya, Gombloh, mengeluarkan lagu berjudul
Di Radio. Ketika televesi belum menjamur seperti sekarang, lagu tersebut banyak
diperdengarkan di radio. Beberapa lirik dalam lagu tersebut antara lain berbunyi: “Di
radio aku dengar lagu kesayanganmu/Ku Telepon ke rumahmu sedang apa
sayangku/Kuharap engkau mendengar/Dan kau katakan rindu.” Selama ini, dalam
pengalaman kita, radio memang identik dengan lagu yang diselingi oleh berita dan
pariwara. Namun, pada zaman kemerdekaan, radio memegang peranan yang sangat
penting karena melaluinya kita bisa mengetahui kabar perang yang tengah berlangsung
dan kondisi dunia di luar sana. Dan, puncaknya adalah ketika kabar tentang
kemerdekaan bangsa Indonesia tersiar melalui radio. Kita tidak bisa membayangkan
bagaimana jadinya seandainya kala itu tidak ada radio dan berita proklamasi tidak lekas
diketahui oleh rakyat Indonesia yang tersebar di berbagai pulau di seantero Nusantara.
Kita juga mengenal Radio Pemberontakan yang berperan besar mengobarkan
semangat perjuangan para pemuda dalam pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya. Pun, dalam perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI),
peranan radio tidak dapat diabaikan.

Sejak penyerahan tersebut, suara perjuangan PDRI rutin diperdengarkan melalui radio.
Siaran radio pertama berlangsung pada tanggal 23 Desember 1948, dimana Radio
Tamimi di Halaban akhirnya bisa berhubungan dengan radio AURI yang lain, baik yang
berada di Jawa maupun di Ranau, Jambi, Siborong-borong dan Kotaraja. Lekas saja,
melalui saluran tersebut, Sjafruddin menyebarkan pengumuman tentang berdirinya
PDRI kepada seluruh rakyat Indonesia. Berkat radio, berita berdirinya PDRI menyebar
dengan cepat ke seantero negeri bak cendawan di musim hujan dan segera menjadi
bahan pembicaraan di mana-mana. Rakyat pun menjadi paham bahwa walaupun
presiden dan wakil presiden ditangkap Belanda, tidak terjadi kekosongan kekuasaan.

Dalam kancah internasional, Radio Tamimi turut pula berperan menyebar sederet
tanggapan penting Republik Indonesia atas nasib bangsa dan rakyatnya untuk
disampaikan dalam sidang DK PBB. Inilah salah satu keberhasilan Radio Tamimi
berhubungan dengan Menteri Luar Negeri PDRI Mr. Maramis yang saat itu berada di
India, yang berhasil mendorong terselenggaranya sidang DK PBB. Salah satu hasil
siding tersebut adalah diadakannya gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.

Berbeda dari stasiun radio yang umumnya bekerja dari satu tempat atau bangunan
tertentu bersama menara pemancarnya yang sangat tinggi, cara kerja Radio Tamimi
lain lagi. Selama berdirinya PDRI, Stasiun Radio Tamimi ikut bergerilya bersama para
pejuang demi menghindari kejaran Belanda. Dengan mobil jip, para awak radio yang
terlatih sebagai tentara akan membawa kotak-kotak perangkat radio dari satu tempat
aman ke tempat aman berikutnya, seperti dari Pekanbaru menuju Lubuk Bangku dan
Bangkinang. Begitu tiba di satu tempat aman, para awak radio akan berkejaran dengan
waktu dan pihak musuh untuk memasang semua perangkat radio agar bisa melakukan
satu-dua siaran. Meskipun radio adalah alat komunikasi yang tidak mudah terputus saat
pertempuran, tapi Radio Tamimi bukanlah semacam radio panggil yang perangkatnya
berukuran kecil dan mudah dibawa ke mana-mana. Tugas para awak Radio Tamimi
pun merupakan serangkaian tugas berat yang tidak pantas disepelekan, karena selain
mesti siap membongkar-pasang perangkat radio, juga mesti siap melakukan siaran di
mana dan kapan saja, serta menghindari sergapan dan tangkapan musuh demi
keamanan perangkat radio.

Sebagai alat komunikasi, Stasiun Radio Tamimi jelas berperan sangat besar karena
merupakan sumber berita utama di tengah masa agresi militer Belanda II, khususnya
selama periode PDRI. Meskipun hanya berbekal sinyal masuk yang kasar, tapi cukup
jelas didengar, Radio Tamimi mampu memberikan informasi dari dalam dan luar negeri
sehingga rakyat bisa mengikuti perkembangan yang tengah terjadi kala itu. Ketika di
Yogyakarta terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, misalnya, para pimpinan PDRI bisa
mengetahuinya lewat radiogram dari Wonosari, yang diterima oleh Radio Tamimi dan
dipancarluaskannya. Begitu mendapatkan radiogram tersebut, Radio Tamimi langsung
meneruskannya ke Stasiun Radio AURI di Sumatera, termasuk Koto Tinggi, Aceh. Dari
situ, berita yang sama dikirimkan kepada Perwakilan RI di New Delhi melalui stasiun
radio di India. Tidak hanya sampai di India, berita tersebut juga bisa sampai ke Burma,
sebelum kemudian menyebar dengan sendirinya ke seluruh dunia. Pembombardiran
informasi semacam ini menunjukkan gencarnya propaganda pihak republiken untuk
menghancurkan mental pihak Belanda, termasuk ketekunan Radio Tamimi dalam
menyiarkan perjuangan PDRI.

Nah, kaum miskin juga bisa membangun stasiun radionya sendiri. Inilah yang disebut
sebagai radio komunitas. Radio komunitas bisa digunakan sebagai sarana untuk
menyebarkan gagasan-gagasan perjuangan kaum miskin. Dengan radio tersebut maka
gagasan bisa menyebar dengan luas dan cepat. Lewat radio komunitas juga bisa
disebarkan program kerja, rencana aksi maupun materi-materi pendidikan.
Sebagaimana zaman perjuangan, radio komunitas bisa digunakan sebagai alat
perjuangan. Lewat radio komunitas inilah kaum miskin bisa mengorganisasikan diri.

Kita tidak perlu kalah dengan masa perjuangan. Saat ini teknologi sudah berkembang
pesat sehingga usaha untuk membangun radio komunitas akan lebih mudah.
Tekonologi seperti radio komunitas perlu kita manfaatkan sebagai sarana perjuangan,
seperti kita manfaatkan media sosial. Lewat radio komunitas inilah kaum miskin bisa
membangun kebersamaan antar sesama maupun dengan kelompok-kelompok lain.
Mari kita berjuang lewat darat, pengorganisiran langsung, maupun lewat udara, lewat
siaran radio sebagaimana pendiri negeri ini pernah mengajarkan.***

Anda mungkin juga menyukai