B. DINAMIKA PENYIARAN NASIONAL Menurut Undang-Undang Penyiaran 2002, penyiaran diselenggarakan dalam satu Sistem Penyiaran Nasional. Dalam Sistem Penyiaran Nasional itu, negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan negara itu wajib dilakukan karena spektrum frekuensi radio yang merupakan gelombang elektromanik itu adalah ranah publik. Sumber daya alam Indonesia terbatas, sehingga perlu diatur dan dikendalikan penggunaannya berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Sebelumn lahirnya Sistem Penyiaran Nasional berdasarkan Undang-Undang Penyiaran 2002 (No. 32 Tahun 2002, tanggal 28 Desember 2002, dan Undang-Undang Penyiaran 1997, No.24 tahun 1997, tanggal 18 September 1997) itu, penyiaran Indonesia sesungguhnya telah memiliki sistem yang diatur dengan sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka Sistem Kenegaraan Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, penyiaran Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dan penuh romatika, sebagaimana yang dialami oleh penerbitan pers. Sistem Penyiaran Nasional atau Sistem Penyiaran Indonesia merupakan subsistem dari Sistem Komunikasi Indonesia yang menempatkan Sistem Kenegaraan Indonesia sebagai suprasistemnya. Walaupun peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebelum lahir-nya Undang-Undang Penyiaran 1997 bersifat parsial sesuai denganperkembangan keadaan negara, secara normatif telah dapat membentuk sebuah sistem, yaitu Sistem Penyiaran Indonesia yang mencakup hubungan struktural dan hubungan fungsional antara pemerintah, dengan lembaga penyiaran dan masyarakat (organisasi sosial, politik, atau ekonomi). Hal itu akan mengungkapkan hubungan evolusioner dalam sistem penyiaran setelah melalui dinamika yang panjang terutama yang menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem komunikasi. Hubungan struktural, hubungan fungsional dan hubungan evolusioner tersebut akar. mengungkapkan karakteristik ada tidaknya kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan oleh rakyat yang dikenal juga dengan sebutan informasi publik yang bebas. Informasi publik yang merupakan fokus kajian Sistem Komunikasi Indonesia itu mencakup pengertian tentang kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi dengan suara, gambar (film bisu), atau suara dan gambar (film bersuara) yang biasa juga disebut sebagai gambar hidup melalui media komunikasi publik. Kebebasan yang dimaksud itu ialah tidak adanya pengawasan pemerintah kepada masyarakat melalui izin, sensor, atau pemberedelan (pelarangan) dari penguasa, sebagaimana yang dijamin oleh Undang- Undang Dasar 1945. Hal itu berkaitan juga dengan eksistensi dan kepemilikan radio dan televisi, yang tidak dapat ditentukan sendiri oleh radio dan televisi. 1. Sistem Penyiaran Merdeka Penyiaran Indonesia merdeka yang ditandai oleh proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno- Hatta, tanggal 17 Agustus 1945, merupakan kelanjutan dari radio amatir kalangan bumi putra tahun 1937, yang terhimpun dalam PPRK (Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran). Para pengelola radio amatir itu berhasil menyiarkan dari Jakarta dan Bandung naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang ditangkap di wilayah Indonesia dan di beberapa negara. Dalam waktu tidak cukup satu bulan tokoh-tokoh penyiaran yang kemudian dikenal sebagai angkasawan sejak pendudukan Jepang, berkumpul di kediaman Adang Kadarusman di Jakarta, dan bersepakat mendirikan Radio Republik Indonesia (RRN) tanggal 11 September 1945, serta menetapkan Dokter Abdurrahman Saleh (Pak Karbol) sebagai Pemimpin Umum RRI yang pertama. Para pendiri RRI itu berkomitmen untuk bersikap netral dengan tidak memihak kepada salah satu aliran partai politik atau golongan. Tanggal 11 September itu kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari radio. Dalam bulan April 1946, RRI ditempatkan di bawah Kementerian Penerangan RI. Dengan demikian RRI berkembang menjadi stasiun radio milik pemerintah yang kemudian disebut Lembaga Penyiaran Pemerintah. RRI sebagai organ pemerintah memainkan peranan penting dalam menjalankan fungsi informasi, hiburan, dan pendidikan serta menggelorakan revolusi dan nasionalisme Indonesia kepada khalayak di Indonesia dan di luar negeri. Penyiaran ke luar negeri itu bertambah efektif ketika RRI membentuk devisi luar negara dengan nama Voice of Indonesia (Muhid, 2005: 36-37). Selain RRI yang tampil sebagai alat perjuangan nasional itu, para angkasawan yang tergabung dalam PRAI (Persatuan Radio Amatir Indonesia) tampil juga berperan serta di angkasa Indonesia dalam menebarkan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan melalui penyiaran radio amatir. PRAI yang terbentuk akhir tahun 1945 itu, dengan bebas menjalankan fungsi informasi, hiburan dan pendidikan, serta fungsi sosial dan politik dengan menyalurkan suara rakyat kepada khalayak di dalam dan di luar negari tanpa larangan dari siapa pun juga. Dengan demikian pada awal revolusi (1945-1949), terdapat kebebasan berbicara bagi rakyat Indonesia. Para angkasawan dengan bebas bersuara inelalui radio amatit. Tidak salah jika dalam awal revolusi (1945-1949) itu, Indonesia menganut Sistem Penyiaran Merdeka sebagaimana yang dialami oleh pers Indonesia berdasarkan pengumuman Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin pada bulan Oktober 1945. Kebebasan berbicara melalui radio itu kemudian berakhir, ketika pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) di bawah Perdana Menteri Muhammd Hatta melarang sementara semua kegiatan penyiaran radio amatir pada awal tahun 1950. Pada saat itu PRAI mengakhiri riwayatnya karena radio amatir pada waktu itu diduga banyak yang terkait dengan partai politik yang saling berkompetisi dan berkonflik. Pada akhir tahun 1950 penyiaran radio amatir diizinkan kembali oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir (1950- 1951) dan terbentuk lagi PARI (Persatuan Amatir Radio Indonesia). Pada tahun 1952 Perdana Menteri Soekiman Wijosandjojo (1951-1952) membekukan lagi kegiatan penyiaran radio amatir. Pembekuan itu berlangsung selama Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menganut Sistem Demokrasi Liberal (17 Agustus 1950-5 Juli 1959). 2. Sistem Penyiaran Terpimpin Pelarangan penyiaran radio amatir (nonpemerintah) dalam Sistem Demokrasi Liberal yang berdasarkan UCDS (Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959) itu tidak lagi mewujudkan adanya kebebasan berbicara tagi rakyat melalui penyiaran radio. Pada masa itu semua radio nonpemerintah (swasta) atau radio amatir dilarang mengudara, dan bagi stasiun radio vang melanggar ketentuan itu dikenakan sanksi subversif. Kebijakan itu ditetapkan oleh pemerintah karena situasi tanah air tidak memungkinkan adanya penyiaran radio nonpemerintah (swasta) atau radio amatir. Hal itu diperkuat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1964 yang mengatur antara lain ketentuan tentang sanksi bagi stasiun radio tanpa izin pemerintah (Mufid, 2010: 34-35). Kebijakan tentang pelarangan bagi radio amatir dilanjutkan lagi oleh Presiden Soekarno yang memimpin pemerintahan berdasarkan UUD 1945 yang dinyatakan berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Soekarno menganut dan menerapkan Sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) menggantikan Sistem Demokrasi Liberal yang berdasarkan UUDS 1950 tidak berlaku lagi. Hal itu berkaitan dengan upaya pemerintah menjaga dan membina integrasi nasional (Persatuan Indonesia), meminimalisasi kompetisi serta konflik politik dan ideologi partai-partai politik yang terjadi selama penerapan Sistem Demokrasi Liberal yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959). Fungsi radio sebagai media penyiaran dalam rangka Sistem Kenegaaraan Indonesia lebih diperjelas dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, yang menggariskan bahwa radio sebagai media massa berfungsi untuk memperkuat usaha penerangan sebagai media penggerak rakyat dan massa revoiusioner, sehingga radio ditetapkan sebagai alat pendidikan dan penerangan. Hal itu tidak mengalami kesulitan karena sejak tahun 1950, lembaga penyiaran yang beroperasi di Indonesia hanyalah RRI, yaitu lembaga penyiaran radio yang dikuasai oleh pemerintah (berada dalam jajaran Departemen Penerangan RN). Dengan demikian radio (RRI) secara mantap berperanan sebagai alat revolusi dalam paradigma revolusi belum selesai yang dianat oleh Presiden Soekarno. Posisi, fungsi, dan peranan radio sebagai bagian dari Sistem Penyiaran Indonesia dalam perubahan sistem politik, senantiasa diatur dan ditetapkan dalam rangka kehidupan kenegaraan Indonesia karena penyiaran Indonesia merupakan bagian penting dari Sistem Kenegaraan Indonesia. Dalam tahun 1962 RRI sebagai lembaga penyiaran pemerintah diperkuat dengan kehadiran TVRI (Televisi Republik Indonesia) tanggal 24 Agustus 1962 dalam rangka pelaksanaan Asian Games IV di Jakarta. TVRI yang melakukan penyiaran percobaan tanggal 17 Agustus 1962 itu digagas dan diprakarsai oleh Presiden Soekarno, dan merupakan penyiaran televisi yang pertama di Indonesia. TVRI yang berbentuk yayasan itu kemudian ditempatkan di bawah Kementerian Penerangan tahun 1974. Dalam waktu beberapa tahun saja TVRI berhasil mendirikan stasiun daerah di beberapa ibu kota provinsi, untuk menjangkau beberapa wilayah Indonesia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh RRI yang telah berhasil mendirikan stasiun daerah di berbagai ibu kota provinsi untuk dapat menjangkau sebagian besar wilayah Negara Republik Indonesia. RRI juga telah memiliki divisi luar negeri, Voice of Indonesia. Dengan demikian RRI dan TVRI yang diposisikan pemerintah sebagai alat revolusi benar- benar memonopoli informasi publik di Indonesia, dengan fungsi memperkuat usaha penerangan sebagai media penggerak rakyat dan massa revolusioner. Selain itu RRI dan TVRI juga wajib mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan kepribadian bangsa dan menjadi pendukung, pembela, serta penyebar dasar ideologi negara Pancasila dan Manfesto Politik (Manipol), melalui fungsi radio dan televisi sebagai media-pendidikan dan penerangan sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Berdasarkan hal tersebut, radio yang bisa mengudara selama masa berlakunya Sistem Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1965) hanyalah RRI yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Demikian juga siaran televisi, hanya dapat dilakukan oleh TVRI saja (1962-1988) sebagai satu-satunya lembaga penyiaran televisi yang ada di tanah air. Dengan demikian terjadi monopoli penyiaran oleh RRI (1952-1966) dan TVRI (1962-1988), sehingga kebebasan berbicara bagi rakyat melalui radio dan televisi benar-benar tidak terwujud sesuai dengan konstitusi. Hal itu merupakan dinamika dan romantika dalam perkembangan Sistem Penyiaran Indonesia sebagai bagian dari Sistem Kenegaraan Indonesia yang berubah secara dinamis sesuai dengan perkembangan dan realitas objektif. Dengan dijadikannya radio dan televisi sebagai alat revolusi untuk memelihara persatuan nasional dan mencapai tujuan revolusi, radio dan televisi dibebani tanggung jawab yang besar tanpa adanya kebebasan berbicara bagi masyarakat. Adanya monopoli pemerintah dalam penyiaran radio melalui RRI dan penyiaran televisi melalui TVRI saja, jelas menunjukkan bahwa dalam Sistem Penyiaran Indonesia terdapat model hubungan pemerintah dengan lembaga penyiaran bersifat pemilikan dan penguasaan. Sebaliknya hubungan lembaga penyiaran radio dengan masyarakat (organisasi sosial, politik, ekonomi) berbentuk hubungan bebas. Masyarakat sama sekali tidak dapat berpartisipasi (berperan serta) sebagai pengelola media penyiaran radio dalam Sistem Penyiaran Indonesia. Hal itu mirip dengan sistem penyiaran yang terjadi di negara komunis terutama di Uni Soviet dahulu. Hal itu terjadi pada lembaga penyiaran radio tahun 1952 hingga 1966 dan terjadi dalam lembaga penyiaran televisi tahun 1962 hingga 1988. Model hubungan antara pemerintah dengan lembaga penyiaran bersifat penguasaan. Sedangkan hubungan antara lembaga penyiaran dengan masyarakat (organisasi sosial, politik, ekonomi) bersifat bebas sebagaimana yang terjadi antara hubungan pemerintah dengan masyarakat yang juga bersifat bebas. Dengan demikian hubungan yang terjadi antara pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat tidak bersifat interaksional, tetapi bersifat satu arah saja, sehingga boleh dikatakan penyiaran pada masa itu mengikuti model penyiaran atau sistem penyiaran di negara komunis yang menutup sama sekali adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lembaga penyiaran. Hal itu dapat dipahami selain karena keadaan negara yang belum stabil, tetapi juga masyarakat belum mampu berpartisipasi khususnya dalam lembaga penyiaran televisi.